Muhammad
A’adil, Jihan Nuzula Binti Sholihah dan
Kholida Zuhairoh
Mahasiswa
PAI-B Semester 3 UIN Maliki Malang
Abstract
In Islam we have
studied various sources of law in determining a case from ancient times to the
present. Al-Quran is a revelation originating from Allah and put together to
the Prophet Muhammad, besides the Qur'an is also the source of all sources of
scholarship. In this case the Qur'an is described in various other sources, one
of them is the Hadith. Hadith is an explanation of Al-Quran, hadith is a source
of law that comes from the Prophet Muhammad SAW either words, deeds, or
statutes. And these two sources of Islamic law are the guidance and guidance of
men in the world for the afterlife. Classification of hadith in 'Ulumul Hadith
is divided into two namely the classification of hadith in terms of quantity
and classification of hadith in terms of quality aspects. In the classification
of the division of hadith this much difference. In the division according to
the quality of the opinions of the scholars is divided into three types which
include hadist shohih, hadith hasan, and hadist dhoif. From the types of hadith
has the characteristics and requirements that must be met.
Keywords: Hadith, classification, quality, characteristic, and requirements.
Abstrak
Dalam
Islam kita telah mempelajari berbagai sumber hukum dalam menentukan suatu
perkara sejak zaman dulu sampai saat ini. Al-Quran merupakan wahyu yang
bersumber dari Allah dan dirunkan kepada Rasulullah SAW, selain itu Al-Qur’an
juga sumber dari segala sumber keilmuan. Dalam hal ini Al-Qur’an dijelaskan
dalam berbagai sumber lain salah satunya yakni Hadits. Hadits merupakan
penjelas dari Al-Quran, hadits merupakan sumber hukum yang bersumber dari
Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan. Dan kedua sumber
hukum Islam ini adalah menjadi pegangan dan pedoman manusia di dunia untuk
menuju akhirat. Klasifikasi hadits dalam ‘Ulumul Hadits ini dibagi menjadi dua
yakni klasifikasi hadits yang ditinjau dari aspek kuantitas dan klasifikasi
hadits yang ditinjau dari aspek kualitas. Dalam klasifikasi pembagian hadits
ini banyak perbedaannya. Dalam pembagian menurut kualitas dari pendapat para
ulama dibagi menjadi tiga jenis yang meliputi hadist shohih, hadits hasan, dan hadist
dhoif. Dari jenis-jenis hadits tersebut mempunyai ciri-ciri dan syarat yang
harus dipenuhi.
Kata
Kunci : Hadits, klasifikasi, kualitas, ciri-ciri, dan syarat.
A.
Pendahuluan
Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an merupakan
wahyu yang bersumber dari Allah dan dirunkan kepada Rasulullah SAW. Sedangkan
hadits menurut istilah ahli hadits adalah apa-apa yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW yang berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah
Rasulullah, baik sebelum atau sesudah kenabian.[1]Dan
kedua sumber hukum Islam ini adalah menjadi pegangan dan pedoman manusia di
dunia untuk menuju akhirat.
Hadits dan sunnah, baik secara struktural maupun fungsional,
disepakati oleh mayoritas kaum muslimin dari berbagai madzhab Islam, sebagai
sumber ajaran Islam, karena adanya hadits dan sunnah itulah ajaran Islam
menjadi jelas, rinci dan spesifik.
Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam berbagai kitab
hadits yang ada, berasal melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga
menghasilkan kualitas hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya.
Implikasinya, telah terdapat berbagai macam kitab hadits, yang sering kali
dijumpai keanekaragam redaksi (matan hadits) dan sanadnya, karena diantara
kolektor hadits tersebut memakai kriteria dan standar masing masing.
Dalam hal ini kita perlu mempelajari ulumul hadits dalam bidang
pengkajian klasifikasi hadits yang mana pada materi ini membahas tentang klasifikasi
hadits dari segi kualitasnya. Yang meliputi syarat-syarat klasifikasi hadits
tersebut serta ciri-ciri hadits tersebut.
Pembagian Hadits yang ditinjau dari aspek kualitasnya berbeda
dengan hadits yang ditinjau dari segi kuantitasnya. Sebagai mana
pengklasifikasian menurut kuantitas yakni hadits ahad yang hanya memberikan
faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita melakukan
penyelidikan, baik terhadap matan, maupun sanadnya sehingga hadits tersebut
menjadi jelas. Sedangkan pengklasifikasian hadits menurut kualitasnya menurut
para ulama ahli hadits membaginya menjadi 3 bagian, yaitu hadits shahih, hadits
hasan, dan hadits dhoif. Yang akan dijelaskan pada pembahsan ini.[2]
B.
Hadits
Shohih
a)
Pengertian
Hadits Shohih
Shohih menurut bahasa antonim dari saqim (sakit). Menurut kamus
bahasa Indonesia shohih diartikan sebagai, sah, benar, sempurna, sehat, pasti.[3]Al- nawawi
Shahih secara bahasa artinya “sah, benar, sempurna, tidak ada celahnya”. Secara
istilah, menurut Imam, hadits shohih adalah hadits yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh perawinya yang adil lagi dhabith, tidak ragu (syadz), dan
tidak ber’illat.[4]
Menurut
Ibn Al Sholah hadits shohih adalah hadits yang sanadnya bersambung (muttashil)
melalui periwayatan orang yang adil dan dhabit, sampai akhir sanad tidak ada
kejanggalan dan tidak ber illat (cacat).[5]
Hadits shohih terdiri atas dua macam, yaitu hadits shahih lidzatihi
dan hadits shahih lighairihi.[6]
Hadits shahih lidzatihi yaitu hadits yang tidak membutuhkan keterangan lain
sebab telah memenuhi kelima syarat hadits shahih. Contohnya, sebuah hadits yang
berbunyi: qala rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: al-muslim man salima
al-muslimun min lisanihi wa yadihi wa al-muhajir man hajara ma naha allahu
‘anhu muttafaq ‘alaihi (orang islam adalah orang yang tidak mengganggu muslim-muslim
lainnya, baik lidah maupun tangannya, dan orang berhijrah itu adalah orang yang
pindah dari apa yang dilarang oleh Allah). Hadits ini antara lain diriwayatkan
oleh Bukhari dengan sanad sebagai berikut:
a.
Adam ibn Iyas
b.
Syu’bah
c.
1. Ismail
2.ibn safar
d. Al-Sya’by
e. Abdullah ibn
Amr ibn Ash
Rawi
dan sanad al-Bukhari ini semuanya memenuhi syarat hadits shahih lidzatihi. Oleh
karena itu, hadits tersebut termasuk hadits shahih lidzatihi.
Kemudian
hadits shahih lighairihi yaitu hadits yang shahihnya karena adanyaketerangan
lain. Jadi, hadits ini belum mencapai kualitas shahih, kemudian ada keterangan
lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi shahih
lighairihi.
Contohnya,
“lawla an asyuqqa ‘ala ummatiy
la-amartahum bi assiwak ‘inda kulli shalatin rawahu al-bukhari ‘an abi
hurairah(sekiranya tidak akan memberatkan kepada umatku, niscaya akan
kuperintahkan untuk siwakan setiap menjelang shalat).
Salah
seorang perawi dari sanad hadits ini ada yang bernama muhammad ibn Amr ibn
‘alqamah, dia termasuk orang kepercayaan, tetapi rawi-rawi yang lain pada sanad
itu semuanya tsiqah. Karenanya, kualitas hadits tersebut termasuk hasan
lidzatihi. Kemudian, ada sanad lain yang
memuat hadits tersebut. Jadi, hadis tersebut meningkat derajadnya menjadi
hadits shahih lighairihi.
b)
Syarat-syarat
Hadits Shohih
Syarat-syarat
daripada hadits shohih adalah:
a)
Sanadnya bersambung, maksudnya
setiap perawi yang dalam sanad hadist menerima riwayat hadist dari periwayat
terdekat sebelumnya, dan bersambung sampai akhir sanad dari hadist tersebut.
b)
Perawi yang adil, maksudnya dalam
meriwayatkan hadits perawinya harus adil. Adapun syarat sebagai perawi yang
adil selain harus islam dan baligh yaitu: 1) sebagai perawi harus taat
melaksanakan semua perintah agama islam dan menjauhi setiap larangan agama
islam, 2) selalu menjauhi perbuatan dosa kecil, 3) menjaga ucapan dan perilaku
yang dapat menodai muru’ah (menjaga kehormatan),
Sifat
adil sebagai perawi yaitu dapat diketahui melalui: a) terkenalnya keutamaan
pribadi perawi di kalangan ulama ahli hadits, b) penilaian dari para kritikus
perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi, c)
perawi menerapkan kaidah al-jahr wa al-ta’dil, jika tidak ada kesepakatan
dengan kritikus perawi hadist yang mengenai kualitas para perawi tertentu.
Menurut
sebagian besar ulama ahli sunnah, perawi pada tingkat sahabat seluruhnya adil.
Menurut kaum mu’tazilah, para perawi yang terlibat dengan pembunuhan ali
dianggap fasik, maka periwayatannya di tolak.
c)
Perawinya dhabith, arti dhabith
adalah “yang kokoh, kuat, yang sempurna hafalannya”. Menurut Ibnu Hajar
al-asqalani, perawi yang dhabith adalah yang kuat hafalannya terhadap apa yang
sudah pernah di didengarnya, lalu mampu dalam menyampaikan hafalannya kapanpun
dan dimanapun.
Dalamn
periwayatan hadist, dhobith di golongkan menjadi 2 yaitu dhabith fi al-sadhr
dan dhabith fi al-kitab. Dhabith fi al-sadhr adalah terjaganya periwayatan
dalam ingatan sejak menerima hadits sampai meriwayatkannya kepada orang lain.
Sedangkan dhabith al-kitab adalah terjaganya kebenaran suatu periwayatan
melalui tulisan. Menurut para ulama, sifat kedhabithan perawi dapat diketahui
melalui kesaksian para ulama dan kesesuaian antara riwayat satu dengan riwayat
orang lain yang telah dikenal kedhabithannya.
d)
Tidak syadz (janggal), maksudnya
adalah hadist yang tidak syadz itu hadits yang matannya tidak bertentangan
dengan hadits lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqah.
e)
Tidak ber’illat(cacat), maksudnya
adalah haditsnya tidak cacat dan yang tidak merusak keshahihan hadist. Sehingga
hadits yang tidak ber’illat itu hadits
yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keraguan. [7]
c)
Ashah
Al-Asanid (sanad-sanad terbaik)
Para ulama menyeleksi para periwayat yang bisa diterima dan
berusaha menyelidiki sanad-sanad beserta kriterianya melalui pendekatan
periwayat hadits yang diakui kapasitas keilmuannya, ke-dhabith-an, keadilannya,
dan sebagainya.
Lebih lanjut, mereka melihat bahwa ada beberapa di antara
sanad-sanad yang shahih menempati kedudukan yang lebih tinggi dibanding sanad
yang lainnya karena memiliki nilai yang lebih baik dari segi periwayatannya
atau segi yang lain. mereka memberi istilah tersebut dengan sanad yang paling
shahih dan para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang termasuk dalam
kriteria ashahh al-asanid.[8]
1.
Sanad terbaik
melalui jalur riwayat Ibn Syihab Az-Zuhri dari Salim Ibn Abdullah Ibn Umar dari
Ibn Umar.
2.
Sanad terbaik
dari Abu bakr adalah Ismail bin Abi Khalid dari Ibn Abi Hazm dari Abu Bakr.
3.
Sanad terbaik
dari Ali bin Abi Thalib adalah
a.
Muhammad bin
Sirrin dari ‘Ubaidah Al-Salmani dari Ali
b.
Al-Zuhri dari
Ali bin Husain dari ayahnya dari Ali
c.
Ja’far bin
Muhammad bin Ali bin Al-Husain dari ayahnya dari kakeknya dari Ali.
d.
Yahya bin Sa’id
al-Qaththan dari Sufyan Al-Tsawri dari Sulaiman Al-Tamami dari Harits bin Suwaid dari ali
4.
Sanad terbaik
dari Aisyah adalah:
a.
Hisyam bin
Urwah dari ayahnya dari Aisyah
b.
Aflah bin
Humaid dari Al-Qasim dari Aisyah
c.
Sufyan
Al-Tsawri dari Ibrahim dari Al-Aswad dari Aisyah
d.
‘Abd al-Rahman
bin Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah
e.
Yahya bin Sa’id
dari Ubaidillah bin Umar dari Al-Qasim dari Aisyah
f.
Al-Zuhri dari
Urwah bin Zubair dari Aisyah
5.
Sanad terbaik
dari Sa’ad bin Abi Waqqash adalah Ali bin Al-Husain bin Ali dari Sa’id bin
al-Musayyab dari Sa’ad bin Abi Waqqash
6.
Sanad terbaik
dari Ibn Mas’ud adalah:
a.
Al-A’masy dari
Ibrahim dari Aisyah dari Ibn Mas’ud
b.
Sufyan
Al-Tsawri dari Manshur bin Ibrahim dari Alqamah dari Ibn Mas’ud
7.
Sanad terbaik
dari Ibn ‘Umar adalah
a.
Malik dari
Nafi’ dari Ibn Umar
b.
Al-Zuhri dari
Salim dari ayahnya dari Ibn ‘Umar
c.
‘Ayyub dari
Nafi’ dari Ibn ‘Umar
8.
Sanad terbaik
dari Abu Hurairah adalah:
a.
Yahya Bin
Katsir dari Abi Salamah dari Abi Hurairah
b.
Al-Zuhri dari
Sa’id bin Musayyab dari Abi Hurairah
c.
Malik dari Abi
al-Zinah Abd Allah bin Dzakwan dari Al-A’raj dari Abu Hurairah
d.
Hammad bin Zaid
dari Ayyub dari Muhammad bin Sirrin dari Abu Hurairah
e.
Isma’il bin Abi
Hakim dari Ubaidah bin Sufyan Al-Hadrami dari Abu Hurairah
f.
Ma’mur bin Hamnain
dari Abu Hurairah
9.
Sanad terbaik
dari Umm Salamah adalah Syu’bah dari Qatadah dari Sa’id dari Amir Akh Umm
Salamah dari Umm Salamah
10.
Sanad terbaik
dari Abd Allah bin Amr bin Al-Ash adalah Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari
kakeknya, yang terbaik (shahih) menurut para pengkritik.
11.
Sanad terbaik
dari Abu Musa al-Asy’ari adalah Syu’bah dari Al-Asy’ari dari Amr bin Murrah
dari Ayahnya dari Abi Musa.
12.
Sanad terbaik
dari Anas bin Malik adalah:
a.
Malik dari
Al-Zuhri dari Anas
b.
Sufyan bin
Uyainah dari Al-Zuhri dari Anas
c.
Ma’mar dari
Al-Zuhri dari Tsabit dari Anas
d.
Syu’bah dari
Qatadah dari Anas
e.
Hisyam
Al-Daztawai dari Qatadah dari Anas
13.
Sanad terbaik
dari Ibn Abbas adalah al-Zuhri dari Ubaidilah bin ‘Abd Allah bin ‘Utbah dari
Ibnu Abbas
14.
Sanad terbaik
dari Jabir bin Amir adalah Al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin Abd Allah bin
Hubaib dari Abi Al-khair dari ‘Uqbah dari Jabir bin Amir.
15.
Sanad terbaik
dari Abi Dzar adalah Sa’id bin Abd Al-Aziz dari Rabi’ah bin Yazid dari Abi
idris al-Khawlani dari Abi Dzarr.
16.
Sanad terbaik
dari Buraidah adalah Al-Husain bin Wahid dari Abd Allah bin Buraidah dari
ayahnya, Buraidah.
Sanad-sanad terbaik dari kalangan sahabat agung kemudian dilengkapi
dua sanad yang kuat, Syu’bah dan Al-Auza’i, dua ulama tabi’in yang meriwayatkan
hadits dari sahabat, yaitu:
a.
Syu’bah dari
Qatadah dari Sa’id bin al-Musayyab dari guru-guru sahabat.
b.
Al-Awza’i dari
Hasan bin ‘Athiyah dari guru-guru sahabat.
d)
Hukum Hadits
Shohih
Berdasarkan
kesepakatan ulama ahli hadits, ahli ushul fiqih, dan ulama ahli ushul fiqih,
hadits shahih wajib diamalkan karena ia merupakan salah satu hujjah (dasar)
syari’at islam.[9]
e)
Sumber-sumber
Hadits Shohih
Sumber-sumber disini dimaksudkan pada kitab-kitab yang mengandung
hadits shahih, seperti kitab Al-Muwattha’, Al-Jami’ As-Shahih Al-Bukhari,
Shahih muslim, Shahih Ibn huzaimah, dan Shahih Ibn Hibban.[10]
1.
Al-Muwattha’
merupakan kitab pertama yang disusun oleh Imam Malik pada tahun 93-179 H atau
712-798 M.
2.
Al-Jami’
As-Shahih Al-Bukhari merupakan kitab terbaik yang disusun oleh Imam Abu
Abdullah Muhammad Ibn Ibrahim
Al-Mughirah Ibn Birdizbah Al-Ja’fari Al-Bukhari, yang lahir hari Jum’at, 13
syawal 194 H di Bukhara.
3.
Shahih Muslim
merupakan kitab terbaik setelah kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini disusun oleh
Imam Muslim Ibn Al-Hajaj Al-Qusyairy An-Naisabury yang lahir pada 206 H dan
wafat pada 20 Rajab 261 H.
4.
Shahih Ibn
Huzaimah merupakan kitab hadits shahih yang disusun oleh Abu Abdullah Ibn Abu Bakar
Al-Huzaimah. Kitab ini memuat hadits shahih yang belum ada dalam kitab
Al-Bukhari.
5.
Shahih ibn
Hibban merupakan kitab shahih yang ditulis oleh Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban
yang wafat pada 354 H.
f)
Contoh
Hadits Shohih
حدثنا
قتيبة بن سعيد حدثنا جرير عن عمارة ابن
القعقاع عن ابي زرعة عن ابي هريرة قال : جاء رجول الى رسول الله صلى الله علييه و
سلم فقال: يا رسول الله: من احق بحسنى صحابتى؟ قال : امك قال : ثم من؟ قال: امك, قال : ثم من ؟ قال :
امك, قال: ثم من ؟ قال :ثم ابوك
{رواه
البخارى و مسلم}
Artinya:
“ telah meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Said, ia berkata: telah
meriwayatkan kepada kami Jarir dari Umarah bin Qada dari Abu Zurah dari Abu
Hurairah, ia berkata “datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. Lalu berkata,
‘ya Rasulullah, siapakah yang berhak mendapat perlakuan yang baik?’ Rasulullah
menjawab, “Ibumu”. Orang itu bertanya lagi, ‘kemudian siapa?’ Rasulullah
menjawab, “ibumu”. Orang itu bertanya lagi, kemudian siapa?, rasulullah
menjawab, “ibumu”. Orang itu bertanya lagi, kemudian siapa?, Rasulullah
menjawab, “bapakmu”.[11]
و عن
عائشة رضي الله عنها قالت قال النبي صلى الله عليه و سلم : لا هجرة بعد الفتح, و
لكن جهاد و نية, و إذا استنفرتم فانفروا, متفق عليه. ومعناه : لا هجرة من مكة
لأنها صارت دار إسلام
Artinya: Dari Aisyah R.A, berkata: Nabi Nabi Muhammad
SAW bersabda: “ Tidak ada hijarh setelah pembebasan Makkah, akan tetapi yanga da ialah jihad dan niat. Maka dari itu,
apabila engkau semua diminta untuk keluar oleh pemimpin untuk berjihad, maka
keluarlah dan berangkatlah” (Muttafaqun ‘Alaih). [12]
C.
Hadits
Hasan
a)
Pengertian
Hadits Hasan
Menurut
bahasa Hasan artinya yang baik, yang bagus. Menurut para ulama seperti Ibnu
Hajar, hadist hasan adalah hadist yang telah memenuhi lima persyaratan hadits
shohih sebagaimana disebutkan terdahulu, bedanya dengan hadist shohih terletak
pada daya ingatan perawinya sempurna, sedang hadits hasan daya ingat perawinya
kurang sempurna. Hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil, tetapi tidak begitu kuat ingatannya, bersambung sanadnya, dan tidak
terdapat ‘illat serta keraguan pada matannya. [13]
Menurut
Subhi As-Salih hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, dinukilkan
oleh penukil yang adil, namun tidak terlalu kuat ingatannya meski tetap
terhindar dari keganjilan dan penyakit. [14]
Menurut
At-Tirmizi, sebagaimana yang dikutip oleh Fatchur Rahman, hadits hasan adalah
hadits yang pada sanadnya tidak terdapat rawi yang tertuduh berdusta, tidak
terdapat kejanggalan pada matannya, dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu
jalur periwayatan saja. [15]
b)
Syarat-syarat
hadits hasan
1.
Sanadnya bersambung
2.
Para periwayat bersifat
adil(tidak tertuduh berdusta)
3.
Diantara periwayat terdapat orang
yang kurang dhabith
4.
Sanad dan matan hadis terhindar
dari syadz dan illat.[16]
Menurut
Ajaj Al-Khatib, terdapat perbedaan antara hadits shohih dan hadits hasan adalah
jika pada hadits shahih diisyaratkan ke-dhabithan yang sempurna, sedang dalam
hadist hasan di isyaratkan ke dhabitan dasar.[17]
c)
Pembagian hadits
hasan:
Hadist
hasan memiliki 2 jenis, yaitu hasan li dzati hi, dan hasan lighairi hi. Hasan
li dzati hi adalah hadits yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya,
sedikitpun tidak ada dukungan dari hadis lain. dan kalau hanya disebutkan
hadist hasan maka yang dimaksudkan adalah hadits hasan lidzatihi. Menurut
Ibrahim As-suqi As-Syahawiy hadits Hasan lidzatihi adalah hadits yang sanadnya
bersambung, dinukil oleh periwayat yang adil dan dhabith, namun kedhabithannya
tidak sempurna, meski tidak terdapat syadz dan illat padanya.
Sedang
hasan lighairihi menurut Ibrahim As-Sauqiy as-Syahawiy adalah hadits yang diriwayatkan
oleh periwayat yang lain yang dari si periwayat yang dhaif, namun kedhaifannya
tidak karena banyaknya kesalahan, tidak bersifat fasik, dan hadis tersebut
diriwayatkan oleh periwayat yang lain dari si periwayat yang dhaif tadi atau
dari yang lebih tinggi darinya (baik lafalnya maupun maknanya).
Hadits
hasan lighairihi pada mulanya merupakan hadist dhoif, yang naik menjadi hasan
karena adanya penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena adanya
penguat tersebut, seandainya tidak ada penguat maka disebut hadist dhoiif.
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah dan diamalkan sebagaimana halnya dengan
hadits shahih, meskipun kekuatannya tetap dibawah hadist shohih. Oleh karena
itu, jika terjadi kontradiksi, maka harus dimenangkan hadits shohihnya.[18]
d)
Sumber-sumber
hadits hasan:
Diantara
sumber-sumber hadits hasan adalah sebagai berikut:
1.
Al-jami’ karya At-Turmudziy
2.
As-sunan karya imam Abu dawud
(202-273 H)
3.
Al-Mujtaba karya Imam An-Nasai
4.
Sunan Al-Mushthafa karya Ibn
Majah [19]
e)
Contoh Hadits
Hasan
طلب
العلم فريضة على كل مسلم
“Menuntut
ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim”. (HR. Ibnu Majah)[20]
D.
Hadits Dhoif
a)
Pengertian
Hadits Dhoif
Menurut
bahasa dha’if berarti lemah. Hadits dha’if berarti hadist yang lemah, atau
hadist yang tidak kuat. Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat tentang
rumusan definisi hadits dhaif. Tetapi, pada dasarnya isi dan maksudnya tidak
berbeda. Hukum dari hadits dhaif ini adalah mardud (tertolak). Beberapa
definisi antara lain sebagai berikut:
Menurut
Al-Nawawi, hadits dho’if adalah hadist yang didalamnya tidak terdapat
syarat-syarat hadist shahih dan syarat-syarat
hadist hasan.
Menurut
Nur Al-Din ‘Athr’, hadist dha’if adalah hadist yang hilang satu syaratnya dari
syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang
shohih atau hadits hasan).[21]
Pada
definisi ini, disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja yang hilang,
berarti hadist itu dinyatakan sebagai hadist dha’if. Apalagi jika hilang itu
dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, tidak dhabith, dan terdapat kejanggalan dalam matan. Hadits
seperti ini jelas adalah hadist dha’if yang sangat lemah.
b)
Macam-macam
Hadits Dhoif
Para
ulama menemukan kedhoifan hadist itu pada tiga bagian yaitu pada sanad, matan
dan perawinya. Dari ketiga bagian ini mereka membagi kedalam macam hadist
dha’if. Antara lain;
a)
Hadist mursal adalah hadist yang
gugur sanadnya setelah tabi’in. yang dimaksud gugur disini adalah nama sanad
terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima
hadist dari nabi saw.
Menurut
al-hakim hasdist mursal adalah hadist yang disandarkan oleh tabi’in langsung
kepada rasulullah saw, baik perkataan perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi’in
tersebut termasuk tabi’in kecil maupun tabi’in besar. Berdasarkan definisi yang
dikemukakan oleh Al-Hakim di atas dapat diketahui bahwa ada dua macam hadist
mursal, yaitu hadist mursal jali dan mursal khafi. Yang dimaksud mursal jali
adalah tidak disebutkan nya nama sahabat oleh tabi’in besar, sedang musal khafi
yaitu pengguguran nama sahabat yang dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.
Hadist
diriwayatkan oleh sahabat, yang ia sendiri tidak langsung menerima dari
rasulullah saw, karena mungkin masih kecil atau menghadiri majlis rasul pada
saat itu, juga termasuk hadits mursal(mursal as-shahabi).
Para
ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadist mursal (musal al-shahabi).Para
ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadist mursal sebagai hujjah, yang
kesemuanya dapat diringkas kedalam 3 pendapat.. pertama, Imam Malik, Abu
Hanifah, Imam Ahmad, membolehkan berpegang kepada hadist mursal secara mutlak.
Kedua, imam syafi’i dan kebanyakan ahli fiqih dan ushul fiqih tidak
membolehkannya secara mutlak. Ketiga, pendapat yang membolehkan penggunaan
hadist mursal apabila ada riwayat lain yang musnad, diamalkan oleh sebagian
ulama, atau sebagian besar ahli ilmu. Demikian pendapat jumhur ulama dan ahli
hadist.
b)
Hadist munqathi’ adalah hadist
yang perawinya gugur, tidak terjadi pada tingkatan pertama (thabaqah
al-shahabah), tetapi pada thabaqah berikutnya, kemungkinan pada thabaqah kedua,
ketiga atau keempat. Kemudian digugurkan itu terkadang seorang perawi atau dua
orang perawi dengan tidak berturut-turut.
Dilihat
dari segi kesinambungan sanadnya, hadist munqathi’ jelas termasuk ke dalam
kelompok hadist dhaif, dengan demikian, hadist ini tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah. Hal ini karena, dengan gugurnya seorang perawi atau lebih,
menyebabkan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat sahih, yang berarti
tidak memenuhi syarat hadist shahih.
c)
Hadist mu’dhal adalah hadist yang
gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut.[22]
Para ahli hadist
memasukkan hadits yang mawquf dan maqthu’ ke dalam kelompok hadist dhoif dari
sudut sandarannya.
1)
Hadist mawquf adalah: hadist yang
diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir
sahabat. Dikatakan mawquf karena sandaran nya terhenti pada tingkatan sahabat.
Kemudian ia tidak dikatakan marfu’, karena hadist ini tidak disandarkan kepada
rasulullah saw.
Ibn
Shalah membagi hadist mauquf menjadi dua bagian, yaitu mawquf maushul, mawquf
ghairu maushul. Mawquf mawshul adalah hadist mawquf yang sanadnya bersambung
sampai kepadaa sahabat, sebagai sumber hadist. Sedangkan mauquf gharu mawshul
adalah hadist yang sanadnya tidaak bersambung. Dilihat dari segi persambungan
ini, maka yang dinilai sebagai ghair mawshul yang lebih rendah daripada hadist
mauquf mausul.
2)
Hadist maqthu’ adalah hadist yang
diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perbuatan maupun
perkataannya.[23]
Ke-dhaif-an
disini dimaksudkan pada kecacatan dari segi matan dan rawinya. Kecacatan ini
banyak sekali bentuknya. Para ulama menyampaikan beberapa bentuk saja.
1.
Hadits munkar
Hadits munkar
adalah hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang sering berbuat
kekeliruan, kelalaian, dan kefasikan secara nyata.
Menurut
Al-Qasimi, hadits ini matannya tidak diriwayatkan kecuali oleh seseorang saja
yang memiliki tingkat kedhabithan sangat rendah. Kemudian hadits ini
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah atau
terpercaya, dan hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang lemah.
2.
Hadits matruk
Hadits matruk
adalah hadits yang sanadnya terdapat perawi yang tertuduh dusta.[24]
Menurut
Al-Qasimi, hadist ini merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
terkenal berdusta dalam persoalan selain hadits dan orangnya banyak melakukan
kesalahan.
Ahli hadits
menyebutkan bahwa antara hadits munkar dan hadits matruk itu merupakan hadits
yang paling lemah setelah hadits maudhu’.
3.
Hadits syadz
Hadits syadz
adalah hadits yang diriwayatkanoleh perawi yang maqbul, tetapi bertentangan
dengan perawi yang lebih tsiqah atau lebih baik daripadanya.
Dalam
periwayatan hadits ini hanya dilakukan melalui satu jalur sanad, bukan
dikatakan sebagai syad, meskipun sanadnya tersebut lemah. Periwayatan baru
dapat dikatakan syadz apabila matannya terjadi pertentangan dengan dalil yang
lebih kuat. Jika ada hadits yang diriwayatkan melalui satu jalur sanad, dan
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan melalui dua jalur atau tiga jalur
sanad, maka hadits yang diriwayatkan melalui satu jalur sanad tersebut menjadi
syadz. Dengan kata lain, hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang
diterima periwayatannya, tetapi riwayat itu menyalahi riwayat perawi yang lebih
kuat. Maka, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat disebut hadits
mahfudz, sedangkan yang satunya disebut hadits syadz.
4.
Hadits maqlub
Hadits maqlub
adalah hadits yang terbalik redaksinya baik pada sanad maupun matan. Ada dua
jenis hadits yang terbalik atau tertukar, yaitu maqlub fi al-matan (yang
terbalik adalah matan hadits) dan maqlub fi al-sanad (yang terbalik adalah
sanad hadits). Kedua jenis hadits maqlub itu tidak dibenarkan, karena menjadi
sebab dari perubahan makna hadits tersebut.[25]
c)
Pengamalan
hadist dhoif
Para
ulama berbeda pendapat tentang pengamalan hadist dhoif yang di rangkum menjadi
tiga pendapat:
1)
Menurut abu dawud dan imam ahmad,
hadist dhaif bisa diamalkan secara mutlak. Alasannya hadist dhoif lebih kkuat daripada akal
perorangan (qiyas) .
2)
Menurut ibnu hajar, hadist dhaif
bisa digunakan dalam masalah fadha’il, mawa’izh, atau yang sejenisnya sesuai
dengan beberapa syarat, yaitu:
a)
Kedhaifaannya tidak terlalu.
Tidak tercakup didalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh berdusta, ataau
terlalu seering melakukan kesalahan.
b)
Hadist dhaif itu masuk dalam
cakupan hadist pokok yang bisa diamalkan.
c)
Ketika mengamalkannya tidak
meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati.
3)
Hadist dhaif tidak bisa diamalkan
secara mutlak, baik mengenai fadhail, maupun hokum-hukum. Demikian pendapat ibn
arabi, imam al-bukhori, imam muslim, ibn hazm, dan lainnya. [26]
Menurut Muhammad ‘ajaj al –khatib,
pedndapat ketigalah yang paling aman. Ia memberikan alas an bahwa kita memiliki
hadist hadist shahih tentang fadhail, targhib dan tarhib yang merupaka sabda
nabi Muhammad saw, yang aangat padat dan berjumlah bessar. Hal ini menunjukkan kita tidak perlu
menggunakan dan meriwayatkan hadist dhaif mengenai masalah fadhail dan
sejenisnya.
d)
Contoh Hadits
Dhoif
Hadits yang diriwayatkanoleh
At-Tarmidzimelaluijalan hakim Al-Atsramdari Abu Tamimah Al-Hujaimidari Abu
HurairahdariNabi SAW bersabda :
وَمَنْ أَتَي حَائِضَا
أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي
مُحَمَّد
“Barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau
pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah
mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW”.
Dalamsanadhaditsdiatasterdapatseorangdhaifyaitu
Hakim Al-Atsram yang dinilaidhaifolehparaulama. Al-HafizhIbnuHajardalamThariq
At- Tahzibmemberikankomentar :فِيْهِ لَيِّنٌpadanyalemah.[27]
Contoh
hadits munkar, hadits riwayat al-Nasa’i dan Ibn Majah dari Abu Zakir Yahya bin
Muhammad bin Qais dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah dalam bentuk
hadits marfu’
كلوا
البلح با التمر فإن ابن أدم إذ أكله غضب الشيطان
Artinya:Makanlah kalian buah kurma
yang menah dengan yang masak, apabila bani adam memakannya, syetan akan marah.
Imam Nasa’i berkata, bahwa hadits
ini hadits munkar, yang diriwayatkan secara sendirian oleh Abu Zakir, seorang
guru yang shalih. Imam muslim juga meriwayatkan dalam al-Mutaba’at, hanya saja
beliau tidak menjelaskan adanya perawi yang sendirian.
Contoh hadits matruk
Haditsnya Amr bin Syamr al-Ja’fiy
al- kufiy al-Syi’iy dari Jabir dari abu Thufail dari ali dan ‘ammr, keduanya
telah berkata:
كان
النبي صلعم يقنت فى الفجر و يكبر يوم عرفة من صلاة الغداة, ويقطع صلاة العصر أخر
أيام التشريق
Menurut an-nasa’i, al-daruquthniy
dan lainnya dari Amr bin Syamr bahwa hadits tersebut adalah matruk.[28]
e)
Penutup
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat
kita simpulkan bahwa pengklasifikasian hadits dari segi kualitasnya ada tiga
macam. Terdiri dari hadits shahih, hadits hasan dan hadits dhoif.
Hadits shahih dibagi jadi dua, yaitu
hadits shohih lidzatihi dan hadits shohih lighairihi. Kemudian hadits hasan
dibagi jadi dua, yaitu hadits hasan lidzatihi dan hadits hasan lighairihi. Dan
hadits dhaif dibagi menjadi tiga dari aspek kedhoifan sanad, matan, rawi. Dan
ketiga bagian tersebut dibagi lagi menjadi beberapa pembagian hadits. Hadits
dari aspek sanad meliputi hadits mursal, munqathi’, maudhu’. Dari segi sanadnya
adalah hadits Mauquf dan munqathi’. Dan dari aspek kedhoifan rawinya adalah
hadits munkar, matruk, syadz, dan maqlub.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
Mifdhol. 2005. Terjemah kitab Manna’ Al-Qathathan “Pengantar Studi Ilmu
Hadits”. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
A, Muhammad.2000.Ulumul
Hadits, Bandung: CV. Pustaka Setia
Smeer,Zeid
B.2008.Ulumul Hadits “Pengantar Studi Hadis Praktis”,Malang: UIN Malang
Press.
Sulaiman,M.
Noor .2008. Antologi Ilmu Hadits, Jakarta,: Gaung Persada Press.
Suparta,
Munzier .2002.Ilmu Hadits,Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryadilaga,M.
Alfatih.2010.Ulumul Hadits,Yogyakarta: Teras.
Thahhan,Mahmud.2007.Intisari
ilmu hadits,Malang: UIN Malang Press.
Zuhri
Suhaeri. 2013. Pembahasan Ilmu Hadits, Jombang : MA Unggulan Darul Ulum.
Benpani.
2011. Makalah “Pembagian dari Segi Kuantitas dan Kualitas Hadits”: UIN Jambi.
An-Nawawi
Imam.2016. Riyadhus Shalihin. Ikhwanuddin
(Penyunting). Jakarta: Shahih.
.
Catatan:
1.
Makalah ini
mempunyai similarity 32%.
2.
Hadis shahih
dan hasan dalam bentuk lidzaithi dan lighairihi perlu diberikan contoh.
3.
Usahakan
menuliskan hadis dalam bentuk Arabnya.
4.
Tolong diteliti
penulisan footnotenya.
[1]Abdurrahman
Mifdhol. Terjemah kitab Manna’ Al-Qathathan “Pengantar Studi Ilmu Hadits”. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005 ),22
[2]M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: GaungPersada Press, 2008), 95-96
[3]Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 126
[4]Ibid, hlm. 96
[5]Ibid, hlm. 96
[6]M. Alfatih
suryadilaga, Ulumul Hadits (yogyakarta: Teras, 2010) hlm 249-250
[7]Ibid, hlm.
96-98
[8]M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm 98-101
[9]Mahmud Thahhan,
Intisari ilmu hadits (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm 60-61
[10]M. Alfatih
Suryadilaga, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm 248-249
[11]Muhammad A, Ulumul
Hadits (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm, 101
[12]An-Nawawi Imam.
Riyadhus Shalihin. Ikhwanuddin (Penyunting) (Jakarta: Shahih. 2016),
hlm.5
[13]M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008),
hlm.102-103
[14]Ibid, hlm. 261
[15]M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.103
[16]M. Alfatih
Suryadilaga, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 262
[17]M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.103
[18]M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.104
[19]M. Alfatih
Suryadilaga, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 266-267
[20]H. Zeid B.
Smeer, Ulumul Hadits “Pengantar Studi Hadis Praktis” (Malang: UIN Malang
Press, 2008). hlm. 35
[21]M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.105
[22]M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.107
[23]Ibid. Hlm, 112
[24]Suhaeri Zuhri, Pembahasan
Ilmu Hadits,(Jombang : MA Unggulan Darul Ulum,2008), hlm. 45
[25]M. Noor Sulaiman,
Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.112
[26]Ibid, hlm. 112
[27]Benpani,
Makalah “Pembagian dari Segi Kuantitas dan Kualitas Hadits”, (Jambi,
2011), 15
[28]Muhammad A, Ulumul
Hadits (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm, 122-124
Tidak ada komentar:
Posting Komentar