Nur Dhuha Zulfatul Aliyya dan Muhammad Fani Bakhrudin
PAI D Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
The classification of tradition in terms of quality is grouped into two parts, namely Hadith Maqbul (accepted) and Hadith Mardud (rejected). In the Hadith Maqbul there is the Hadith of Shohih and Hadith of Hasan. The Hadith of Shohih and Hadith of Hasanis divided into two, lighoirihi and lidzatihi. Maqbul Hadith can be used as a hujjah for a problem. Whereas in the Hadith Mardud there is Dhoif Hadith. The quality of this Dhoif Hadith is also stratified level in terms of sanad and matannya. The rejection of a hadith is due to the number of syudzdud and illat that exist in the hadith, both derived from matan, rowi, and sanad. Hadith Dhoif this can not be used hujjah in addressing a thing.
Keywords: Classification of Hadith from Quality, Maqbul Hadith, Hadith of Mardud, Hadith of Shohih, Hadith of Hasan, Hadith of Dhoif.
The classification of tradition in terms of quality is grouped into two parts, namely Hadith Maqbul (accepted) and Hadith Mardud (rejected). In the Hadith Maqbul there is the Hadith of Shohih and Hadith of Hasan. The Hadith of Shohih and Hadith of Hasanis divided into two, lighoirihi and lidzatihi. Maqbul Hadith can be used as a hujjah for a problem. Whereas in the Hadith Mardud there is Dhoif Hadith. The quality of this Dhoif Hadith is also stratified level in terms of sanad and matannya. The rejection of a hadith is due to the number of syudzdud and illat that exist in the hadith, both derived from matan, rowi, and sanad. Hadith Dhoif this can not be used hujjah in addressing a thing.
Keywords: Classification of Hadith from Quality, Maqbul Hadith, Hadith of Mardud, Hadith of Shohih, Hadith of Hasan, Hadith of Dhoif.
Abstrak
Klasifikasi hadis dari segi kualitasnya dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu Hadis Maqbul (diterima) dan Hadis Mardud (ditolak). Di dalam
Hadis Maqbul terdapat Hadis Shohih dan Hadis Hasan. Hadis Shohih dan Hadis
Hasan ini dibagi menjadi dua, lighoirihi dan lidzatihi. Hadis Maqbul ini dapat
dijadikan sebagai hujjah atas suatu permasalahan.Sedangkan dalam Hadis Mardud
terdapat Hadis Dhoif. Kualitas Hadis
Dhoif ini pun juga bertingkat tingkat dilihat dari segi sanad maupun matannya.
Ditolaknya suatu hadis disebabkan karena banyaknya syudzdud maupun illat yang
ada pada hadis tersebut, baik berasal dari matan, rowi, maupun sanad. Hadis
Dhoif ini tidak bisa digunakan hujjah dalam menyikapi suatu hal.
Kata Kunci : Klasifikasi Hadis dari Segi Kualitas, Hadis Maqbul,
Hadis Mardud, Hadis Shohih, Hadis Hasan, Hadis Dhoif.
A.
Pendahuluan
Dalam artikel ini kami akan membahas sedikit tentang pembagian atau
klasifikasi hadis dari segi kualitasnya.Sebelum membahas kualitas hadis,
sebelumnya apasih hadis itu. Hadits dari segi bahasa artinya berita, baru.
Sedangkan secara terminologis, hadis ialahsegala sesuatu yang bersumber dari
Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifatnya.[1]Kualitas
Hadis ditinjau dari kehujjahannya, diterima atau tidaknya sebuah hadis sebagai
sumber Islam digolongkan menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
Menurut Hasbi Asshiddiqy, Hadis Maqbul ialah hadis yang menunjukkan suatu keterangan
bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya, dan adanya lebih berat daripada
ketiadaannya.
ما دلّ دليل على
رجْحان ثبوته
Lebih jelas lagi, Hadis Maqbul adalah hadis yang diterima dan dapat
digunakan sebagai hujjah, pedoman dan pengamalan syariat. Hadis yang termasuk
Hadis Maqbul ialah Hadis Shohih (lidzatihi wa lighoirihi) dan Hadis Hasan
(lidzatihi wa lighoirihi).
Sedangkan Hadis Mardud adalah kebalikan dari Hadis Maqbul.
Ditolaknya suatu hadis mardud didasarkan pada tidak adanya sifat yang dimiliki
oleh para perowi Hadis Maqbul didalam Hadis Mardud.Menurut istilah muhadditsin,
mardud berarti
مالم يدلّ دليل
على رجحان ثبوته ولاعدم ثبوته بل يتساوى الأمران فيه
“ suatu hadis yang tidak ditunjuki oleh suatu keterangan atas berat
adanya dan tidak ditunjuki pula atas berat ketiadaannya, adanya dengan tidak
adanya bersamaan. “
Hadis Mardud ini hanya terdiri dari satu, yaitu Hadis Dhoif. Dan
Hadis ini tidak bisa diterima sebagai hujjah.
Untuk lebih jelasnya dalam pengertian dan pembagian Hadis Shohih,
Hasan dan Dhoif. Kami akan menerangkannya satu persatu dalam bab selanjutnya
B.
Hadis Shohih
Kata sahih diambil dari bahasa Arab as-shahih dari bentuk
pluralnya ashihha. Menurut bahasa, kata ini mempunyai beberapa arti,
yaitu: selamat dari penyakit, bebas dari aib/cacat. Sedangkan menurut istilah,
para pakar ulama mempunyai pendapat bahwa hadis shahih ialah: “hadis yang
sanadnya bersambung (sampai kepada nabi Muhammad) dan diriwayatkan oleh
periwayat yang adil dan dhabit sampai ke akhir sanadnya, dan pada
hadis tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.[2]
Sedangkan menurut istilah lain kata sahih secara bahasa diartikan selamat,
sehat, sah, benar, dan sempurna. Jadi, hadis sahih menurut bahasa adalah hadis
yang selamat, sehat, sempurna dan tidak sakit. Ibnu As Solah mendefinisikan
Hadis Shohih sebagai berikut
المُسْنَدُ
الَّذِى يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه وَلا يكون شاذا
ولامعللا
“hadis yang disandarkan kepada nabi muhammad yang sanadnya
tersambung, dan diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith, diterima
dari periwayat yang adil dan dhabit hingga sampai ke akhir sanad, tidak ada
syadz (kejanggalan) dan tidak mengandung cacat
Sedangkan menurut Al Qosimi dalam kitabnya, Hadis Shohih ialah
مااتّصل
سنده بنقل العدل الضّابط عن مثله وسلم عن شذوذ و علة
“ hadis yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan dan diterima dari periwayat yang adil dan
dhobith, serta selamat dari kejanggalan dan kecacatan.”[3]
Maka dari definisi
di atas dapat di simpulkan bahwa kriteria hadis sahih ialah:
1.
Sanadnya
bersambung.
2.
Seluruh
periwayat dalam hadis bersifat adil.
3.
Semua
periwayat dalam hadis bersifat dhabit.
4.
Sanad
dan matan hadis terhindar dari syads (kejanggalan).
5.
Sanad
dan matan hadis terhindar dari suatu yang ilat (cacat).
Jadi jika dalam suatu hadis tidak memenuhi persyaratan tersebut
maka kualitas hadis tersebut tidak sahih. Berikut ini pembahasan dari lima ciri
tersebut.
Ciri pertama dari hadis sahih ialah sanadnya harus bersambung.
Maksudnya, adalah sanad dari hadis tersebut bersambung sampai terakhir atau
disebut musnad.
Semua periwayat dalam sanad hadist sahih bersifat adil. Yang
dimasudkan periwayat yang adil adalah periwayat memenuhi ciri-ciri berikut:
beragama islam, mukallaf, melaksnakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah
(memelihara kehormatan dirinya).
Semua periwayat dalam sanad harus bersifat dhabit. Dhabit memiliki
arti ingatan dan hafalan yang sempurna. Periwayat memahami secara baik apa yang
telah diriwayatkan dan mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja
dikehendaki.
Adapun cara untuk mengetahui kedhobitan seorang periwayat dapat
diketahui dari:
a.
Berdasarkan
kesaksian para ulama
b.
Riwayatnya
yang disampaikan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh rowi lain yang
terkenal kedhobitannya
c.
Apabila
ia sekali kali melakukan kesalahan, maka ia masih dapat disebut dhobit. Tapi
bila ia melakukannya berkali kali atau sering dilakukan, maka ia tidak termasuk
kategori periwayat yang dhobit[4]
Sanad dan matan hadis yang sahih itu terhindar dari syad.
Periwayat dikatakan mengandung syadz apabila periwayat yang meriwayatkan hadis
itu sebenarnya sudah terpercaya, akan tetapi periwayat tersebut menyalahi
periwayat-periwayat lain yang lebih tinggi.
Sanad dan matan hadis yang sahih terhindar dari illat. Illat
ialah sifat yang tersembunyi yang menyebabkan hadis tersebut cacat dalam
penerimaanya.
Sanad-sanad yang Paling Sahih
Para ulama telah menyeleksi periwayat-periwayat yang dapat diterima
dan mengusahakan menyelidiki sanad-sanad beserta kriterianya melalui pendekatan
periwayat-periwayat hadis yang sudah diakui kapasitas keilmuanya, ke-dhabit-an,
ke-adil-an dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui lebih lanjut, para ulama melihat bahwa ada
beberapa diantara sanad-sanad yang sahih menempati kedudukan yang lebih tinggi
dibandingkan sanad yang lain. Para ulama memberi istilah tersebut dengan sanad
yang paling sahih (ashahhu al-asanid) dan para ulama berbeda pendapat
tentang siapa yang termasuk dalam kriteria ashahh al asanid.
1.
Menurut
sebagian ulama bahwa ashahh al-asanid adalah jalur riwayat yang melalui ibn syihab
az-Zuhri dari salim Ibn Abdullah ibn Umar dari Ibn Umar.
2.
Pendapat
Imam al-Bukhari, ashahh al-asanid ialah yang telah diriwayatkan melalui
Malik ibn Anas dari Nafi’(pembantu Umar) dari ibn Umar.
3.
Sebagai
ulama muta’akhirin berpendapat bahwa sanad-sanad yang paling sahih adalah yang
diriwayatkan Ahmad ibn Hanbal dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari
ibn Umar.[5]
C.
Macam -macam Hadis Sahih
Para
ulama mengklasifikasi hadis sahih menjadi dua, yakni sahih li dzatih dan
sahih lighairih. Pengertian sahih li dzatihi ialah hadis sahih
yang telah memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti syarat-syarat
yang di atas.[6]
Misalnya, seperti hadis yang berbunyi: qala rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam: al-muslim man salima al-muslimun min lisanihi wa yadihi wa
al-muhajir man hajara ma naha allahu ‘anhu . muttafaq alaihi (seorang islam
adalah orang yang tidak mengganggu muslim-muslim lainnya, baik dengan lidah
maupun tanganya; dan orang berhijrah itu adalah orang yang pindah dari apa yang
dilarang oleh Allah).
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan sanad sebagai berikut:
1.
Adam
ibn Iyas
2.
Syu’bah
3.
a.
Ismail
b. Ibn safar
4.
Al-Sya’by
5.
Abdullah
ibn Amr ibn Ash.
Rawi
dan sanad al-bukhari ini semua sudah memenuhi ciri hadis shahih li dzatih. oleh
karenannya, hadis tersebut termasuk hadis sahih lidzatih.
Sedangkan
hadis sahih li ghairihiialah hadis yang kesahihanya lantaran di bantu
oleh keterangan yang lain. Maka pada hadis tersebut belum mencapai kualitas
kesahihannya, kemudian ada dalil yang lain yang menguatkannya sehingga hadis
itu meningkat menjadi sahih li ghairih.
Syuhudi
ismail membeikan contoh sebagai berikut: misalnya ada dua hadis yang maknanya
sama dan sama-sama berkualitas hasan lidzatih kemudian ada ayat yang
meningkat menjadi hadis hasan lidzatih li ghairih; demikian juga bila
ada hadis hasan lidzatih maka dilihat dari jurusan hadis yang tadinya
berkualitas hasan tersebut menjadilah ia hadis sahih li ghairih.
Sedangkan yang kualitasnya sahih lidzatih tetap berkualitas sebagaimana
asalnya.[7]
D.
Kehujjahan Hadis Sahih
Para
ulama telah sepakat bahwa hadis sahih dapat dijadikan sebagai hujjah untuk
menetapkan syariat islam, baik itu hadis ahad terlebih yang mutawatir, namun
pebedaaan penadapat ini dalam masalah akidah. Perbedaan pendapat terjadi karena
penilaian para ulama tentang hadis sahih yang ahad itu berstatus qath’i (pasti),
sebagaimana hadis mutawattir, atau berfaedah zhanni (samar).
Dalam
hal ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat: pertama sebagian
ulama memandang bahwa hadis sahih tidak berstatus qhat’i sehingga tidak
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
persoalan akidah. Kedua, sebagian ulama hadis, yang sebagaimana
dinyatakan oleh al-Nawawi, berpendapat bahwa hadis-hadis yang sahih riwayat
al-Bukhari dan Muslim berstatus qhat’i. Ketiga sebagian ulama, yang
antara lain Ibn Hazm, memandang bahwa semua hadis yang sahih berstatus qhat’i
tanpa adanya membedakan apakah diriwayatkan kedua ulama tersebut atau
tidak. Menurutnya semua hadis yang sudah memenuhi syarat kesahihanya adalah
sama dalam status sebagai hujjah.
Dengan
demikian, hadis sahih baik yang ahad ataupun yang mutawatir, yang shahih li
dzatihi ataupun sahih li ghairih dapat di jadikan hujjah atau dalil agama dalam
bidang hukum, ekonomi, sosial, ahklak ataupun yang lainya kecuali akidah.[8]
E.
Hadis Hasan
Hadis
hasan ialah hadis yang sanadnya sambung, terhindar dari syadz dan illat serta
dinukil oleh periwayat yang adil, namun salah satu periwayat ada yang tidak
terlalu dhobit. Menurut para muhadditsin, hadis hasan ialah
ما نقله عدل قليل الضبط متصل السند غير معلّل ولا شادّ
“ Hadis yang dinukilkan oleh seorang yang
adil, kurang dhobid (tak begitu kokoh ingatannya), sambung sanadnya, dan tidak
terdapat ‘illat(cacat) serta syadz(janggal)”[9]
Perbedaan
hadis hasan dan shohih terletak pada keadaan perawinya. Pada hadis shohih perawinya
sempurna dhobidnya (dhobid tam). Sedangkan pada hadis hasan, kedhobidan
perowinya kurang sempurna. Oleh karena itu posisi hadis hasan dibawah hadis
sohih.[10]
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa uraian hadis hasan antara lain :
a.
Sambung
sanadnya
b.
Rowinya
adil
c.
Terhindar
dari syadz (kejanggalan)
d.
Terhindar
dari illat (cacat)
e.
Rowinya
kurang dhobit
Sedangkan
pembahasannya sama seperti hadis sohih diatas.
F.
Macam Macam Hadis Hasan
Hadis
hasan dibagi dua, hadis hasan lidzatihi dan hadis hasan lighoirihi.
Hadis
hasan lidzatihi adalah hadis yang menjadi hasan karena syarat dan kriterianya
terpenuhi secara tersendiri (internal) bukan karena faktor lain. Lebih tepatnya
hadis hasan lidzatihi ini memenuhi 5 kriteria hadis hasan diatas.Sedangkan
hadis hasan lighoirihi adalah hadis lemah yang tidak parah kedhoifannya yang
diriwayatkan di jalan lain dengan kualitas sanad yang lebih tinggi derajatnya sehingga
hadis tersebut meningkat kualitasnya menjadi hasan lighoirihi[11]
Sedangkan
menurut kitab ilmu mustolah hadis, hadis hasan ialah hadis yang diriwayatkan
oleh orang yang adil, yang kurang kuat hafalannya, bersambung sambung sanadnya
dan tidak mengandung cacat serta tidak ada kejanggalan. Hadis hasan lidzatih
ini bisa naik derajatnya menjadi shohih lighoirihi apabila ada hadis yang sama
dari jalur lain yang menguatkan hadis tersebut, baik serupa maupun lebih banyak
ataupun lebih rendah.
Contohnya
ialah hadis tentang siwak yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi melalui jalur
Muhammad bin Amer. Dia menjadi kuat dan naik tingkatannya menjadi sohih
lighoirihi karena ada hadis seperti itu melalui jalur Al A’roj[12]
G.
Kehujjahan Hadis Hasan
Meskipun
hadis hasan kekuatannya berada dibawah hadis sohih, hadis hasan dapat dijadikan
hujjah atau landasan hukum dalam suatu permasalahan, karena hadis hasan masih
termasuk hadis yang maqbul (diterima) kehujjahannya.
H.
Hadis Dhoif
Menurut Bahasa, Dhoif artinya lemah. Secara terminologis, para ulama mendeskripsikan dengan redaksi
yang beragam. Meskipun maksud dan kandungannya sama.
Al
Nawawi dan Al Qoshimi mendefinisikan hadis dhoif dengan
ما لم يوجد فيه شروط الصّحّة ولا شروط الحسن
“ Hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat
syarat hadis shohih dan syarat syarat hadis hasan”
Muhammad ‘Ajjaj Al Khotib menyatakan, hadis dhoif ialah
كل حديث لم تجْتمعْ فيه صفة القبول
“
Segala hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat sifat hadis yang diterima
(maqbul)”[13]
Muhammad
Ajjaj Al Khotib merumuskan, suatu hadis dikatakan Dhoif apabila[14]:
a.
Periwayatnya
seorang pendusta
b.
Atau
tertuduh berdusta
c.
Banyak
membuat kekeliruan
d.
Suka
pelupa
e.
Suka
maksiat dan fasik
f.
Banyak
berangan angan
g.
Menyalahi
periwayat kerpercayaan
h.
Periwayatnya
tidak dikenal
i.
Penganut
bid’ah bidang aqidah
j.
Tidak
baik hafalannya
Berikut ini penjabaran dari masing masing diatas, Hadis dhoif dalam
segi rawinya terdapat kecacatan para
Rowi, baik mengenai keadilannya maupun kedhobitannya:
a.
Periwayatnya
seorang pendusta, baik itu berdusta
walaupun hanya sekali seumur hidup. Hadis Dhoif yang rowinya dusta disebut
hadis maudhu’. Hadis maudhu’ adalah
هوالمختلعالمصنوعالمنسوب
إلى رسول الله ص م زوراً وبهتاناً سواء كان ذالك عمداً أم خطأً
“ Hadis yang dicipta serta dibuat oleh seorang
(pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rosulullah SAW secara palsu dan
dusta baik disengaja ataupun tidak “
b.
Tertuduh
dusta, yaitu seorang Rowi yang terkenal sebagai pendusta namun belum dapat
dibuktikan bahwa ia pernah berdusta dalam membuat hadis
c.
Fasik,
fasik ialah kecurangan dalam beramal dan sering berbuat maksiat
d.
Tidak
baik hafalannya sehingga menyebabkan ia lengah dalam hafalan dan banyak salah.
Dalam penerimaan hadis biasanya terjadi kelengahan, sedangkan dalam
penyampaian banyak kesalahan yang
terjadi. Hadis yang rowinya fasik, lengah dalam hafalan dan banyak salah disebut
hadis munkar.
e.
Menyalahi
periwayat kerpercayaan. Yaitu membuat sisipan baik pada sanad maupun matan,
melalui perkataannya sendiri maupun perkataan orang lain, baik dari sahabat
maupun tabi’in.
f.
Penganut
bid’ah, maksudnya ialah adanya
kecurangan dalam i’tikad, mereka mengi’tikadkan suatu i’tikad yang berlawanan
dengan yang diterima dari Nabi Muhammad SAW dengan dasar syubhat. Bid’ah
adakalanya mengkafirkan adakalanya memfasikkan.[15]
I.
Macam Macam Hadis Dhoif
Darisegi sanadnya, suatu hadis dinyatakan dhoif apabila sanadnya
tidak bersambung (tidak muttashil), rowi murid tidak bertemu dengan rowi guru
sehingga terdapat inqitha’ (gugur rowi) pada sanad.[16]
Macam macam Hadis dhoif karena sanadnhya terputus antara lain[17]
a.
Hadis
Muallaq
Adalah hadis
yang terputus diawal sanad, muallaq artinya tergantung. Secara terminologis,
hadis mu’allaq adalah hadis yang periwayatnya yang diawal sanad (periwayat yang
disandari oleh penghimpun hadis) gugur atau terputus seorang atau lebih secara
berurut. Jika lebih, keterputusan harus secara berurutan. Karena patokan
keterputusannya berada diawal sanad, maka bila putusnya bukan diawal sanad atau
beberapa periwayat yang guur tidak secara berurutan, maka hadis itu tidak
termasuk Hadis Muallaq
b.
Hadis
Munqothi’
Munqothi’
berasal dari kata ‘iqothoa yang berarti berhent, kering, pecah, pata, atau
putus. Keterputusan di tengah sanad dapat terjadi pada satu sanad atau lebih,
secara tidak berturut turut. Jika keterputusan berada ditengah sanad, atau
dalam dua tempat dalam keadaan tidak berturut turut maka hadis ini termasuk
Hadis Munqothi’.
c.
Hadis
Mu’an’an dan Muannan
Kata mua’an’an
dalah bentuk maful dari kata ‘an’ana yang berarti periwayat berkata عن..عن...(dari...dari..). sedangkan muannan berasal dari kata anna yang
menunjukkan bahwa periwayat meriwayatkan hadis dari periwayat lain dengan
menggunakan metode انّ
d.
Hadis
Mu’dhol
mu’dhol berasal
dari kata ‘adhola yang berarti melemahkan, menutup rapat, melelahkan atau
menjadikan cacat. Secara terminologi, hadis mu’dhol adalah hadis yang gugur dua
orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut
e.
Hadis
Mursal
Mursal berarti
lepas atau terceraikan. Sebuah hadis dinyatakan mursal apabila diriwayatkan
langsung oleh tabi’in tanpa menyebutkan sahabat. Secara terminologis, hadis
mursal adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabi’in, tanpa
terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat,
f.
Hadis
Mauquf dan Maqthu’
Hadis mauquf
adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat Nabi atau hadis yang diriwayatkan
oleh para sahabat baik berupa perkataan, perbuatan ataupun persutujuan. Dilihat
dari segi bahasa, mauquf berasal dari kata waqofa yang berarti di berhentikan
atau diwakafkan. Maksudnya hadis ini
diberhentikan penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi.
Berhubung matan hadis tidak disandarkan pada Nabi, maka hadis mauquf termasuk
hadis dhoif yang tidak dapat dijadikan hujjah karena menilik dari pengertian
hadis sendiri, hadis ialah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.
Maqthu’ berasal
dari kata qotho’a yang berarti memotong. Secara istilah ialah hadis yang
disandarkan kepada seorang tabi’in atau sesudahnya baik perkataan ataupun
perbuatan
Pembagian Hadis Dhoif sebab lain dari keterputussan sanad[18]
a.
Hadis
Maqlub, yaitu hadis yang menyalahi riwayat orang yang dipercaya dengan memutar
balikkan susunan kata atau kalimat. Pemutarbalikan dimaksud bisa saja terjadi
dalam sanad maupun matan hadis.
b.
Hadis
Mudraj, yaitu hadis yang di dalamnya terdapat sisipan atau tambahan (yang tidak
berasal dari potongan hadis tersebut, tetapi bisa berasal tafsiran dari sahabat
atau perawi sesudahnya )
c.
Hadis
Mushohhaf, yaitu hadis yang mengalami perubahan pada titik atau garis pada
huruf hurufnya sehingga terjadi keslahan makna
d.
Hadis
Syadz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perowi yang tsiqoh tetapi
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang lebih
tsiqoh ( mukholafat al tsiqoh li al tsiqaat)
e.
Hadis
Munkar, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perowi dhoif yang bertentangan
dengan periwayatan yang disampaikan oleh perowi tsiqoh
f.
Hadis
Matruk, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh berdusta
g.
Hadis
Maudhu’, yaitu Hadis yang dibuat buat, diadakan dan dinisbahkan oleh seorang
pendusta kepada Rosulullah secara palsu baik dengan sengaja (‘amdan) maupun
tidak sengaja (khothoan). Sebagian ulama’ menilai ini adalah hadis dhoif yang
paling parah, sedangkan sebagian ulama’ menyatakan hadis maudhu’ bukan termasuk
hadis dhoif, karena motif dibuatnya hadis palsu dengan motif periwayatn hadis
dhoif itu berbeda. Hadis maudhu’ sejak awal (kebanyakan) memang diniatkan untuk
melakukan kebohongan atas nama Nabi Muhammad SAW, sedangkan hadis dhoif
kedhoifannya bisa terjadi dalam proses periwayatannya.
Hadis dhoif karena sanad yang terputus dinilai tidak cukup parah
dibandingkan dengan kedho’ifan karena perowi yang dinilai cacat kepribadiannya.
Semua sebab itulah yang menyebabkan berbedanya kualitas kedhoifan suatu hadis.
J.
Kehujjahan Hadis Dhoif
Pada dasarnya, jumhur ulama’ menolak penggunaan Hadis Dhoif untuk
dijadikan hujjah. Penolakan penggunaan hadis dhoif itu didasarkan pada
keyakinan bahwa hadis tersebut sangat sulit untuk dipertanggung jawabkan baik
yang berasal dari Nabi dari sisi sanad maupun matannya. Namun ada beberapa
ulama yang menggunakan hadis dhoif apabila telah melewati seleksi yang cukup
ketat.[19]
Apabila telah diketahui bahwa hadis dhoif kualitasnya bertingkat
tingkat, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah boleh tidaknya
melakukan sebuah amalan ibadah berdalil dengan menggunakan hadis dhoif. Dalam
masalah ini ada 3 pendapat yang paling populer yaitu[20] :
1. Hadis Dhoif tidak boleh diamalkan sama sekali. Baik untuk ibadah
maupun fadhoilul amal. Pendapat ini dianut oleh Al Qadhi Abu Bakar ibn Arobi.
Alasan mereka karena hadis sohih dan hasan sekarang sangat lah cukup untuk
dijadikan sebagai dasar dalam melaksanakan amal ibadah dan muamalah dengan
sesama.
2. Hadis Dhoif boleh diamalkan secara mutlak, selama tidak terdapat
nash shohih yang menjelaskan permasalahan tersebut. Ini pendapat yang dianut
oleh Imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud dan lainnya.
3. Hadis Dhoif boleh diamalkan, namun dengan syarat dan ketentuan :
a. Untuk Fadhoilul Amal ( Motivasi dalam beramal )
b. Kualitas Dhoifnya tidak Parah
c. Berada di bawah payung nash shohih yang diakui kebenarannya,
baik dari ayat maupun hadis sohih.
d. Saat mengamalkan hadis tersebut
tidak meyakini keabsahan sumbernya dari Nabi Muhammad SAW
perlu
diketahui bahwa, pembagian hadis sohih, hasan dan dhoif belum dikenal pada masa
Imam Ahmad bin Hambal. Pada masa itu, ulama hanya mengenal 2 pembagian hadis,
yakni hadis sohih dan hadis dhoif. Dalam hadis dhoif ini dibagi menjadi dua
tingkatan. Yang pertama hadis dhoif yang tidak dilarang pengamalannya (sekarang
setingkat hadis hasan) dan yang kedua hadis dhoif yang wajib ditinggalkan.
Menurut ibnu Taimiyah, pembagian hadis hasan baru muncul pada masa Abu Isa
al-Turmudzi.[21]
K. Penutup
Dari
penjelasan artikel diatas dapat diketahui bahwa, secara umum pembagian kualitas
hadis dibagi 3, yakni hadis sohih, hasan dan dhoif. Hadis sohih dan hadis hasan
ini termasuk ke dalam hadis maqbul, yakni hadis yang diterima kehujjahannya
atau hadis yang bisa dijadikan landasan hukum. Sedangkan hadis dhoif termasuk
kedalam hadis mardud, yaitu hadis yang ditolak untuk dijadikan hujjah. Namun
ada beberapa ulama’ yang menggunakan hadis dhoif sebagai hujjah untuk melakukan
fadhoilul amal, bukan menggunakannya dalam bidang hukum ataupun akidah.
DAFTAR PUSTAKA
Idri, Studi
Hadis ( Jakarta : Penada Media Group, 2010 )
M. Al Fatih
Suryadilaga, Ulumul Hadis ( Yogyakarta: Teras, 2010 )
Endang Soetari,
Ulum Al Hadis ( Bandung : Pustaka Setia, 2010 )
Umi Sumbulah
dkk, Studi Al quran dan Hadis ( Malang : UIN Malang Press, 2014 )
Zeid B. Smeer,
Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis ( Malang : UIN Malang Press, 2008 )
M. Alfatih
Suryadilaga, Ulumul Hadis(Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009
Zainul Arifin,
Studi Kitab Hadis ( Surabaya: Al Muna, 2013)
Fadlil Sa’id,
Ilmu Mustolah Hadis diterjemahkan dari kitab Minhatul Mughits karya Hafidz
Hasan Al Mas’udi (Surabaya: Al Hidayah, 1420 H)
E-journal,
Syarat Syarat Hadis Sohih IAIN Salatiga tahun 2015
Rustina N,
Mengenal Musnad Ahmad bin Hambal e-journal
Catatan:
1.
Similarity
20%.
2.
Sistematika
makalah ini kacau, tolong diperbaiki TOTAL. Tanyakan ketika di kelas apa yang
tidak dipahami.
[1] Zainul
Arifin, Studi Kitab Hadis ( Surabaya: Al Muna, 2013) hal 1-2
[3] Idri,
studi hadis, prenada media grup, Jakarta 2010, hlm, 157-158.
[4]
E-journal, Syarat Syarat Hadis Sohih IAIN Salatiga tahun 2015 hal 8-9
[5] Ibid.
hlm. 246-247
[6] Ibid.
hlm 144
[7] Ibid.
hlm 249-250
[8] Ibid,
hlm. 175
[9] Endang
Soetari, Ulum Al Hadis ( Bandung : Pustaka Setia, 2010 ) hal 123
[10] Ummu
Sumbulah dkk, Studi Al quran dan Hadis ( Malang : UIN Malang Press, 2014 ) hal
208
[11]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar
Studi Hadis Praktis ( Malang : UIN Malang Press, 2008 ) hal 35
[12] Fadlil
Sa’id, Ilmu Mustolah Hadis diterjemahkan dari kitab Minhatul Mughits karya
Hafidz Hasan Al Mas’udi (Surabaya: Al Hidayah, 1420 H) hal 13-14
[13] Idri,
Studi Hadis ( Jakarta : Penada Media Group, 2010 ) hal 177
[14] M. Al
Fatih Suryadilaga, Ulumul Hadis ( Yogyakarta: Teras, 2010 ) hal 276
[15] Endang
Soetari, Ulum Al Hadis ( Bandung : Pustaka Setia, 2010 ) hal 124-128
[16] Ibid,
hal 129
[17] Idri,
Studi Hadis ( Jakarta : Penada Media Group, 2010 ) hal 179-202
[18] Umi Sumbulah
dkk, Studi Al quran dan Hadis ( Malang : UIN Malang Press, 2014 ) hal 218-225
[19] M. Al
Fatih Suryadilaga, Ulumul Hadis ( Yogyakarta: Teras, 2010 ) hal 280
[20]Zeid B.
Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis ( Malang : UIN Malang Press,
2008 ) hal 36-37
[21] Rustina
N, Mengenal Musnad Ahmad bin Hambal e-journal hal 183
Tidak ada komentar:
Posting Komentar