Sumber Hukum Fiqih yang Muttafaq.
Lovi Anita sari : 15110048
Tata Shofiatul Mashanah Al-huda :151100
Email :
Abstract
Fiqih is knowledge in Islamic Law that
specifically talk about the issue of the
law governing various aspects of human life, whether personal, societal
as well as human life with God. Some ulama’
like Imam Abu Hanifa defines knowledge of jurisprudence as a Muslim on the
obligations and rights as a servant of God. All the laws contained in the
Islamic jurisprudence back to four sources. On this, the scholars agreed
that ahlussunnah,
syar'i arguments that form the basis and recognized as a proposition of the religion of Islam is the Qur'an, hadith, ijma and qiyas.
syar'i arguments that form the basis and recognized as a proposition of the religion of Islam is the Qur'an, hadith, ijma and qiyas.
Keywords: Al Quran,
Sunnah, ijma '.
PEMBAHASAN.
1. Definisi
Al-qur’an.
Al-qur’an secara etimologis adalah mashdar dari kata
qa ra a setimbang dengan kata fu’lan , Al-qur’an secara
terminologis adalah Kalam Alloh , mengandung mu’jizat dan diturunkan kepada
rosululloh , Muhammad SAW dalam bahasa arab yang dinukilkan kepada generasi
sesudahnya secara mutawattir , membacanya merupakan ibadah terdapat
dalam mushaf dimulai dari surat al-fatihah dan ditutup dengan surat Annas.[1]
Dari definisi ini ,para ulama’ushul fiqih
menyimpulkan ciri-ciri khas al-qur’an
sebagai berikut :
Al-qur’an juga merupakan
kalam alloh yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Apabila bukan kalam alloh
dan tidak diturunkan kepa nabi Muhammad maka tidak di namakan Al-qur’an seperti
Zabur,Taurat dan Injil.ketiga kitab yang disebut terakhir ini adalah kalam
alloh tetapi bukan diturunkan kepada Muhammad SAW, karenanya tidak dinamakan
al-qur’an .Bukti bahwa al-qur’an adalah kalam alloh kemu’jizatan yang dikandung al-qur’an itu
sendiri dari struktur bahasa,isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya ,
ramalan-ramalan bahasa depan yang di ungkap al-qur’an[2]
Al-qur’an itu dinukilkan
kepada beberapa generasi sesudahnya secara muttawatir (dituturkan oleh orang
banyak sampai sekarang.mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta) tanpa
perubahan dan penggantian satu kata pun.
Ciri terakhir dari
al-qur’an yang dianggap sebagai suatu kehati-hatian bagi para ulama untuk
membedakan al-qur’an dengan kitab-kitab lainnya adalah tata urutan surat yang
terdapat dalam al-qur’an ,disusun sesuai dengan petunjuk alloh melalui malaikat
jibril kepada nabi Muhammad SAW. Tidak boleh diubah dan diganti letaknya.[3]
A.
Kehujjahan Al-qur’an Al-karim.
Para ulama ushul fiqh dan lainnya sepakat menyatakan
bahwa al-qur’an itu merupakan sumber hukum utama hukum islam yang diturunkan
alloh dan wajib di amalkan dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan
dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat al-qur’an .
apabila hukum permasalahan yang ia cari tidak ditemukan dalam al-qur’an maka
barulah mujtahid tersebut mempergunakan dalil lain.
B.
Hukum,-hukum yang dikandung al-qur’an.
·
Hukum-hukum I’tiqad yaitu
hukum yang mengandung kewajiban para mukallaf untuk mempercayai
Alloh,Malaikat,Rasul,Kitab, dan Hari Kiamat.
·
Hukum-hukum yang berkaitan
dengan akhlak dalam mencapai keutamaan pribadi mukallaf.
·
Hukum-hukum praktis yang
berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan penciptanya dan antara sesama
manusia.[4]
C. Beberapa
kaidah ushul fiqih yang terkait dengan al-qur’an.
·
Al-qur’an merupakan dasar
dan sumber utama hukum islam sehingga
seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada kaidah
umum yang dikandung al-qur’an.
·
Untuk memahami kandungan
al-qur’an mujtahid harus mengetahui secara baik sebab-sebab diturunkannya
alqur’an karena ayat-ayat alqur’an itu diturunkan secara bertahap sesuai dengan
situasi dan kondisi sosial masyarakat ketila itu.
·
Dalam memahami kandungan
hukum dalam al-qur’an ,mujtahid juga dituntut untuk memahami secara baik adat
kebiasaan orang arab baik yang berkaitan dengan perjataan maupun perbuatan ,
karena seandainya tidak memahami hal ini akan membawa kepada keracunan dalam
memahami al-qur’an.[5]
2 .Definisi
Sunnah.
Sunnah secara etimologis berarti
“jalan yang bisa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan “.
Sunnah terminologi sunnah bisa dilihat dari 3 bidang ilmu ,
yaitu dari ilmu hadist , ilmu fiqih dan ushul fiqih. Sunnah menurut para ahli
ilmu hadist “ seluruh yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw , baik
perkataan,perbuatan,maupun ketetapan atau sifatnya sebagai manusia biasa ,
akhlaknya , apakah itu sebelum maupun setelah di angkat menjadi rasul.
Sunnah menurut ahli ushul fiqih
adalah “ segala yang diriwayatkan dari nabi Muhammad saw, berupa
perbuatan,perkataan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
Sedangkan sunnah menurut para ahli fiqih,
disamping pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqih juga di maksudkan
sebagai salah satu hukum taklifi yang mengandung pengertian “perbuatan yang
apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa “[6]
A. Macam-macam
sunnah
·
Sunnah fi’liyyah yaitu
perbuatan yang dilakukan Nabi saw . yang dilihat atau diketahui dan disampaikan
para sahabat kepada orang lain misalnya tata cara sholat yang ditujukan
rosululloh saw. Kemudian disampaikan sahabat yang melihat atau mengetahuinya
kepada orang lain.
·
Sunnah qauliyyah yaitu
ucapan Nabi saw yang didengar oleh dan disampaikan seorang atau beberapa
sahabat kepada orang lain.
·
Sunnah taqririyyah yaitu
perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi
saw , tetapi nabi hanyaa diam dan tidak mencegahnya. Sikap diam dan tidak
mencegahnya Nabi saw ini menunjukkan persetujuan.[7]
Para ulama sepakat
mengatakan bahwa sunnah rosululloh saw dalam tiga bentuk di atas
(fi’liyyah,qauliyyah dan taqririyah) merupakan sumber asli dari hukum-hukum
syara’ dan menempati posisi kedua setelah alqur’an .
3.
Definisi Ijma’
Secara etimologis , ijma’ berarti
“kesepakatan” atau keputusan berbuat
sesuatu.
Secara
terminologi ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat islam dari masa ke masa
setelah wafatnya rosululloh saw, tentang hukum syara’ dalam perkara-perkara
yang bersifat amaliyah.[8]
Tokoh ushul fiqh syafi’iyyah
mengikuti pandangan imam syafi’I yang menyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan
dan dihasilkan oleh seluruh umat islam karena suatu pendapat yang dapat
terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh umat
islam.selanjutnya al-amidi merumuskan ijma’ dengan kesepakatan sekelompok ahl
al-hall wa al-‘aqdi dari umat nabi Muhammad Saw pada suatu masa terhadap
suatu hukum dari suatu peristiwa/kasus.Rumusan al-Amidi ini menunjukkan bahwa
yang terlibat dalam ijma’ tidak semua orang melainkan orang-orang tertentu yang
disebut dengan ahl al-hall wa al-‘aqdi yang bertanggung jawab langsung terhadap
umat.[9]
A. Rukun-rukun
dan syarat ijma’
·
Yang terlibat dalam
pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila
ada di antara mujtahid yang tidak setuju sekalipun jumlahnya kecil , maka hukum
yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
·
Mujtahid yang terlibat
dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
dari berbagai belahan dunia islam.
·
Kesepakatan itu di awali
setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
·
Sandaran hukum ijma’
tersebut haruslah al-qur’an dan hadist rosulullah saw.
B. Kehujjahan
Ijma’.
Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun
ijma’telah terpenuhi , maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’i(pasti) wajib
diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya bahkan orang yang mengingkarinya di
anggap kafir. Disamping itu permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui
ijma’ menurut para ahli ushul fiqh tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama
generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum
syara’ setelah al-qur’an dan sunnah.
Adapun
bagian golongan syi’ah , ijma’ tidak mereka terima sebagai hujjah karena
pembuat hukum menurut keyakinan mereka adalah imam yang mereka anggap mashum
( terhindar dari dosa). Ulama khawarij dapat menerima ijma’ sahabat sebelum
terjadinya perpecahan politik dikalangan sahabat.[10]
C. Tingkatan
ijma’.
Ijma’ sharih/lafzi adalah kesepakatan para
mujtahid,baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu
kesepakatan itu dikemukakan dalam siding ijma’ setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibahas.ijma’ seperti ini
sangat langka terjadi apalagi bila dilakukan kesepakatan itu didalam satu
majlis atau pertemuan yang dihadiri seluruh mujtahid pada masa tertentu.
Menurut jumhur ulama ushul fiqih , apabila ijma’ seperti ini berlangsung dan
menghasilkan suatu kesepakatan tentang suatu hukum maka bisa dijadikan hujjah
dan kekuatannya bersifat qath’i(pasti).
Ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian
mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas sedangkan
sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid
yang dikemukakan di atas tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.ijma’ sukuti
ini pengaruhnya terhadap hukum tidak meyakinkan , karenanya para ulama’ ushul
fiqih menepatkannya sebagai dalil zhanni.
Kemungkinan
terjadinya ijma’ ketika para ulamaushul fiqh klasik dan modern telah membahas
persoalan kemungkinan terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik mengatakan
tidaklah sulit untuk melakukan ijma’ , bahkan secara aktual ijma’ itu telah
ada.
Mereka mencontohkan hukum-hukum
yang telah disepakati seperti kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek
sebesar seperenamdari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada
ditangan penjual. Akan tetapi ulama klasik lainnya seperti imam ahmad ibn
hanbal mengatakan bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma’terhadap hukum suatu
masalah, maka ia berdusta karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju .
oleh sebab itu menurutnya sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma’terhadap
hukum suatu masalah.[11]
4.
Definisi Qiyas.
Secara etimologis kata qiyas
berarti قدرyang
artinya mengukur, dan membandingkan sesuatu dengan yang lain.[12]
Ulama ushul mendefinisikan qiyas , yaitu menjelaskan hukum suatu masalah
yang tidak ada nash hukumnya di analogikan dengan masalah yang telah diketahui
hukumnya melalui nash (alqur’an dan sunnah) mereka juga mendefinisikan qiyas
dengan redaksi lain yaitu menganologikan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan masalah lain yang ada nash hukumnya, karena kesamaan illat hukumnya.
Misalnya seorang mujtahid ingin
mengetahui hukum minuman bir atau wisky dari hasil pembahasan dan penelitiannya
secara cermat kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan seperti zat yang
ada pada khamr. Zat yang memabukkan
inilah yang menyebabkan diharamkannya khamr. Hal ini sesuai dengan
firman alloh dalam surat al-maidah 5:90-91. Dengan demikian, mujtahid tersebut
telah menemukan hukum untuk bir d an wisky yaitu sama dengan hukum khamr karena
illat keduanya adalah sama yakni memabukkan. Kesamaan ‘illat antara
kasus yang tidak ada nashnya dengan hukum yang ada nashnya dalam al-qur’an atau
hadist , menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Dari definisi qiyas tersebut
dapat diketahui hakikat qiyas , yaitu :
·
Ada
dua kasus yang mempunyai ‘illat yang sama.
·
Satu
di antara dua kasus yang bersamaan illatnya itu sudah ada hukumnya yang
ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
·
Berdasarkan
‘illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada
nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah
ditetapkan berdasarkan nash[13].
A.
Rukun
qiyas.
·
Ashl
menurut para ahli ushul fiqih merupakan objek yang
telah ditetapkan hukumnya oleh ayat al-qur’an hadist rosululloh saw atau ijma’
Misalnya seorang mujtahid ingin mengetahui hukum
minuman bir atau wisky dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat
kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan seperti zat yang ada pada
khamr. Zat yang memabukkan inilah yang
menyebabkan diharamkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman alloh dalam surat
al-maidah 5:90-91.
·
Fur’u
adalah objek yang akan ditentukan hukumnya yang tidak
ada nash nya atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukummya seperti wisky
dalam kasus di atas.
·
‘illat
adalah sifat yang menjadi motiv dalam menentukan
hukum, dalam kasus khamr di atas ‘illatnya adalah memabukkan.
·
Hukm
al-ashl adalah hukum
syara’ yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’ yang akan diberlakukan kepada
far’u , seperti keharaman meminum khamr. Adapun hukum yang ditetapkan pada
far’u pada dasarnya merupakan buah (hasil) dari qiyas dan karenanya tidak
termasuk rukun.
B.
Kehujjahan
Qiyas.
Terhadap
kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’ terdapat perbedaan pendapat
ushul fiqih. Jumhur ulama ushul fiqh berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan
sebagai metode atau sarana untuk mengistibatkan hukum syara’.
Ulama zhahiriyyah termasuk imam
al-syaukani (ahli ushul fiqih ) berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang
boleh tetapi tidak ada satu nash pun dalam ayat al-qur’an yang menyatakan wajib
melaksanakannya, argumentasi ini mereka kemukakan dalam menolak pendapat jumhur
ulama yang mewajibkan pengalaman qiyas.
Ulama syi’ah imamiyah dan al-nazzan
dari mu’tazillah menyatakan qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak
wajib di amalkan karena kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang
bersifat mustahil menurut akal.
C.
Syarat-syarat
qiyas.
1)
Ashl
Patokan dalam penetapan hukum adakalanya nash da nada
kalanya ijma’ . menurut jumhur ulama apabila hukum yang ditetapkan berdasarkan
nash bisa diqiyaskan maka hukum yang ditetapkan melalui ijma’ boleh diqiyaskan.
Menurut Imam Al-Ghazali :
·
Hukum
ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di nash
kan ( dibatalkan)
·
Hukum
itu ditetapkan berdasarkan syara’.
D.
Hukum
Ashl.
·
Tidak
bersifat khusus dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada far’u.
·
Tidak
keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas, maksudnya suatu hukum yang ditetapkan
berbeda dengan kaidah qiyas, maka hukum lain tidak boleh diqiyaskan kepada
hukum itu.
·
Tidak
ada nash yang manjelaskan hukum far’u yang akan ditentukan hukumnya.
E.
Far’u.
·
‘illat-nya
sama dengan ‘illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya.
Contoh ‘illat yang sama zatnya adalah mengqiyas kan wisky pada khamr , karena
keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak , apabila diminum hukumnya haram
( H.R. Muslim , Ahmad ibn hanbal , abu daud al-tirmidzi , ibn majah dan
al-nasa’i)
·
Hukum
ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas , misalnya tidak boleh meng-qiyaskan
hukum men-zhihar( menyerupakan istri dengan punggung ibu), karena keharaman
hubungan suami istri dalam menzhihar istri yang muslimah bersifat sementara
yaitu sampai suami membayar kafarrat.
·
Hukum
far’u tidak mendahului hukum ashl , artinya hukum far’u itu harus datang dari
hukum ashl. Contohnya adalah dalam masalah wudhu dan tayamum.
·
Tidak
ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan
dengan qiyas , karena jika demikian maka status qiyas ketika itu bisa
bertentangan dengan nash atau ijma’
Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’ disebut
para ulama sebagai qiyas fasid atau qiyas rusak. Misalnya mengqiyaskan hukum
meninggalkan sholat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak
berpuasa , karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma’.[14]
Daftar Pustaka.
Harun, nasroen.1997 ushul fiqih 1, Jakarta:logos wacana
Shihab,m quraish.1992 membumikan al-qur’an ; fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat ,
bandung : mizan
Mardani .2010 hukum islam , pengantar ilmu hukum islam
diindonesia,yogyakarta:pustaka pelajar
Catatan Revisi:
1.
Makalah tidak ada indikasi
copy-paste.
2.
Makalah ini belum sesuai
dengan format yang dijadikan acuan, maka harus dirubah total agar sesuai.
3.
Daftar referensi hanya
tiga, padahal minimal lima.
4.
Kerapian makalah belum
diperhatikan, jadi tolong diedit lagi.
5.
Masalah dilalah (qot’i dan
dzonni) tolong juga diulas sekalian contohnya. Baca bukunya Abdul Wahab Khalaf,
Ilmu Ushul Fiqih.
6.
Masalah footnote tolong
dipelajari lagi, sebab masih salah.
7.
Tolong diberikan
pencantuman ayat-ayat al-Qur’an ataupun sunnah.
8.
Makalah belum sesuai
dengan tuntutan halaman.
Makalah tolong diperbaiki secara maksimal. Saya lihat
makalah ini perlu perombakan besar-besaran agar bisa baik. Selamat
merevisi!!!!!!
[1] Nasrun
haroen , ushul fiqih 1, Jakarta:logos wacana ,1997, hal 20
[2] M.quraish
shihab,membumikan al-qur’an ; fungsi dan
peran wahyu dalam kehidupan masyarakat , bandung : mizan hal. 29-32
[3] Nasrun haroen , ushul
fiqih 1,Jakarta:logos wacana , 1997, hal 23
[4] Nasrun haroen , ushul
fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal 29
[5] Nasrun haroen , ushul
fiqih 1 ,Jakarta:logos wacana 1997 hal 36
[6] Nasrun haroen , usshul
fiqih 1,Jakarta :logos wacana,1997 hal 38
[7] Nasrun haroen , ushul
fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal :39
[8] Mardani ,hukum islam ,
pengantar ilmu hukum islam diindonesia,yogyakarta:pustaka pelajar,2010 hal 148
[9] Nasrun haroen , ushul
fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal 52
[10] Nasrun haroen,ushul
fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal 54
[11] Nasrun haroen ,ushul
fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal 61
[12] Mardani , hukum islam,
pengantar ilmu hukum islam diindonesia ,Yogyakarta:pustaka pelajar,2010 hal 150
[13] Mardani , hukum islam,
pengantar ilmu hukum diindonesia, Yogyakarta:pustaka pelajar,2010 hal 51
[14] Nasrun haroen, ushul
fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal 62-76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar