SUMBER HUKUM IJMA’ DAN QIYAS
M. Asny Fajri
Ulama’i, Fela Ayu Ambarwati, Luthfi Elviana Zahroin
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail :
fajrey12@gmail.com
Abstract
Sources of law approved the Ulama' was there 4 that is Al-Quran,
As-Sunna,
Ijma’ and
Qiyas. Ijma 'and Qiyas is part of the source of Islamic law which answer the
problems that occur when these are not stated in the Qur'an and As-Sunna. Ijma’ and Qiyas is ijtihad
derived from human (ulama ') in determining whether a legal case. The existence
of ijma 'and qiyas easier for Muslims to find a law that is not contained in
the Qur'an and Sunna. So ijma 'and Qiyas agreed by the mujtahid. In use, many
of which responded positively and some negatively to use the ijma 'and
qiyas as a source of Islamic law with the opinions of the background for the
response. In this paper will discuss the ijma' and qiyas in
more detail as a source of law in Islam.
Keywords: Resources of Law, ijma ',
Qiyas
Abstrak
Sumber hukum yang disetujui
para Ulama’ itu ada 4 yaitu Al-Quran, As-Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Ijma’ dan
Qiyas merupakan bagian dari sumber hukum
islam yang mana menjawab persoalan-persoalan yang terjadi saat ini yang tidak
tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ijma’ dan Qiyas berasal dari ijtihad
manusia (para ulama’) dalam menentukan suatu hukum perkara. Adanya ijma’ dan
qiyas memudahkan umat Islam dalam menemukan hukum yang tidak terdapat dalam
Al-Quran dan As-Sunnah. Sehingga ijma’ dan Qiyas disepakati oleh para mujtahid.
Dalam penggunaannya, banyak yang menanggapi positif dan ada pula yang negatif
terhadap penggunaan ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum Islam dengan berbagai
pendapat yang melatar belakangi tanggapan tersebut. Dalam jurnal ini akan
dibahas mengenai ijma’ dan qiyas secara lebih detail sebagai sumber hukum yang
ada dalam Islam.
Kata Kunci : Sumber Hukum, Ijma’, Qiyas,
A.
Pendahuluan
Sepeninggalnya Rasulullah SAW kepemimpinan umat Islam
digantikan oleh para khalifah. Setelah berlalunya kepemimpinan para khalifah,
banyak permasalahan-permasalahan yang timbul dalam umat Islam yang berkaitan
dengan hukum syara’. Perbedaan pandangan terhadap suatu hukum itulah yang memunculkan
perselisihan dalam umat Islam sehingga umat Islam terpecah-pecah dalam beberapa
madzhab teologis. Hal inilah yang memicu timbulnya ijma’(kesepakatan) para
mujtahid dalam menentukan suatu hukum perkara yang menjadi jalan tengah dalam
menjalankan kehidupan.
Selain adanya ijma’, dalam Islam juga ada qiyas yang juga menjadi sumber
hukum setelah Al-Quran, hadits dan ijma’. Seiring berkembangnya zaman banyak
pula permasalahan-permasalahan baru yang dahulu tidak ada pada zaman Rasulullah
ataupun para sahabat. Banyak permasalahan yang tidak terjadi pada zaman
Rasulullah SAW membuat umat Islam bingung dalam menyikapi suatu perkara
sehingga, muncullah qiyas yang menjadi tolak ukur masyarakat dalam menyikapi
permasalahan-permasalahan baru yang marak terjadi. Seperti dalam firman
Allah Qur’an surah An Nahl : 43
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Artinya : “Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak
mengetahui” (An Nahl : 43).
Ijma’ dan qiyas dijadikan sumber hukum setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah
dengan berdasarkan hadits berikut :
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا
بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”،
قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ:
فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ
رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ”
Artinya :
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi SAW ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi
bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya
berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab
Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah SAW”. Nabi
berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan
berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada
Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya
(Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah SAW”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
B.
Pembahasan Sumber Hukum Ijma’
A.
Pengertian Ijma’
1. Definisi
secara Bahasa
a. Ijma’
dengan
arti العزم
عل الشيئ atau
ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma’
dalam artian pengambilan keputusan itu dapat dilihat dalam firman Allah pada surat
Yunus : 71 :
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ
مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا
أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا
إِلَيَّ وَلا تُنْظِرُونِ
" Dan bacakanIah
kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya:
"Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku
(kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu
lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku".
b. Ijma’
dengan arti “ sepakat”,
ijma’ dalam artian ini dapat
dilihat dalam Q.S. Yusuf : 15:
فَلَمَّا
ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا
إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ
“ Maka tatkala mereka membawanya
dan sepakat memasukkanya kedalam sumur”
2. Definisi
secara istilah
Sedangkan
menurut istilah terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama’ adalah
seperti yang dipaparkan oleh:
a. Al-Ghazali
yang dinyatakan dalam kitab al-Mustasfa.[3]Kesepakatan
umat Muhammad SAW atas satu
perkara yang berhubungan dengan urusan agama. Jadi, Ijma’
adalah kesepakatan atau persetujuan para mujtahid dalam penetapkan suatu hokum
syara’ tentang suatu perkara atau peristiwa setelah wafatnya Rasulullah SAW.
b. Menurut
dari kelompok ahli sunnah adalah apa yang dikemukakan Abdul
Wahab Khallaf, yang juga dikutip oleh ulama’ lainya, yaitu :
اتّفاق جميع
المجتهد ين من المسلمين في عصرمن المصور بعد ؤفاةارسول عل حكم شرعيّ في واقعة
الوقائع
“ Konsensus semua mujtahid muslim
pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu
kasus”
Dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma’
itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim
berlaku dalam satu masa tertentu sesudah wafatnya nabi. Di sini ditentukan “
sesudah masa Nabi”, karena selama nabi masih hidup,
Al-Qura’an lah yang menjawab persoalan hukum karena ayat Al-Qur’an kemungkinan
masih turun dan nabi sendiri sebagai tempat bertanyanya tentang hukum syara’,
sehingga tidak diperlukan adanya ijma’. Ijma’ itu berlaku dalam
setiap masa oleh seluruh mujtahid semua masa sampai hari kiamat.[4]
Disebutkan secaara jelas juga definisi ijma’ berarti kesepakatan yang
hanya terdapat dalam masalah hukum
amaliyah bukan maslah akidah. Jadi, Ijma’ adalah suatu kesepakatan atau
persetujuan dari para mujtahid setelah meninggalnya Rasulullah Saw yang
berkaitan dengan penetapan suatu hukum perkara, yang mana hukum tersebut dapat
menjadi patokan bagi umat Islam dalam
menjalankan kehidupannya.
3. Kedudukan
Ijma’
Dalam
penetapan ijma’ sebagai sumber hukum
ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah,
banyak dari berbagai golongan yang berbeda pendapat mengenai boleh dipakai atau
tidak ijma’ dalam penetapan hukun agama.
Golongan
yang menerima ijma’ selain ijma’ sahabat mengajukan banyak
syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk dapat menerimanya sebagai hujjah.[5]
Disamping itu dalam menerima ijma’ mereka
memberikan beberapa syarat:[6]
1. Bila
yang disepakati (ijma’) adalah satu hukum
agama, maka oleh keseluruhan mujtahid, persepakatan kebanyakan ulama tidak
dianggap ijma’ dan tidak bisa dipakai
sebagai hujjah.
2. Harus
ada dalil syara’ yang memperkuat hukum
yang di ijma’ itu. Sebagian mereka mensyaratkan dalil syara’
tersebut haruslah nash yang qath’i
dan zahir, tidak boleh dalil yang lain, seperti qiyas misalnya.
3. Sebagian
mensyaratkan bahwa ijma’ harus
didapat dengan jalan mutawattir, jika didapat dengan Khabar
Ahad
tidak dapat berhujah dengannya. Yang demikian karena menurut mereka berita ahad
juga boleh dijadikan hujjah.
Golongan yang menolak adanya ijma’ (selain ijma’ sahabat ) beralasan dengan beberapa alasan:[7]
1. Kemungkinan
mengetahui hal-hal mana saja yang telah di ijma’kan adalah tidak mungkin
2. Tidak
mungkin mengetahui seluruh ulama yang bertaraf mujtahid di negeri Barat dan
Timur. Kemungkinan untuk menemui semua mujtahid saja tidak mungkin karena
terbatasnya umur, lagipula tidak ada ketentuan seseorang untuk diberi gelar
mujtahid.
4. Unsur-unsur
Ijma’
Tentang
rukun atau unsur ijma’ ini,
dikalangan ulama ushul ada yang mengatakan empat unsur dan ada pula yang
menyebutkan lima unsur. Abdul Wahab Khalaf dan Safi Hasan Abu Tholib misalnya
menyebutkan bahwa rukun atau
unsur ijma’ ada empat, yaitu:[8]
1. Adanya
kesepakatan sejumlah mujtahid pada suatu masa tentang suatu peristiwa yang
terjadi, kesepakatan ini harus dari sejumlah mujtahid dan tidak dipandang ijma’ jika hanya ada seorang mujtahid. Dalam pengambilan suatu keputusan memerlukan banyak orang
untuk mengkolaborasikan pandangan-pandangan yang akan menghasilkan kesepakatan
yang falid dan dapat diterima oleh semua kalangan, sehingga semakin banyaknya
mujtahid akan menghasilkan keputusan yang mufakat
2. Kesepakatan
para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan. Tidak dipandang
ijma’ jika kesepakatan tersebut hanya
berasal dari satu tempat saja. Pengambilan suatu keputusan harus dari segala sudut, tidak pandang
golongan, ras, suku atau apapun karena hasil keputusan tersebut akan digunakan
oleh semua ummat.
3. Kesepakatan
para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat
dilihat dalam perbuatan.
4. Kesepakatan
itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang ijma’, jika kesepakatan itu hanya berasal
dari sebagian besar mujtahid saja sedangkan sebagian kecil lainnya
menyalahinya.
5. Macam-macam
Ijma’
Pertama, ijma’ sharih
(bersih atau murni) yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hokum mengenai suatu
peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat dalam
fatwa dan dalam memutuskan suatu peristiwa. Tiap-tiap mujtahid itu merupakan
sumber hukum. Jelas terlihat dari pendapat
mereka.
Kedua, ijma’ sukuti, sebagian
mujtahid itu terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa, atau
memutuskan suatu perkara. Dan sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti
dia mnyetujui, atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam
mengupas suatu masalah.
6.
Sandaran Ijma’ (Sanad)
Yang dimaksud sandaran di sini
adalah dalil yang kuat dalam bentuk nash Al-Qur’an atau As-Sunnah, baik
secara langsung maupun tidak. Dalil itu dapat dijadikan rujukan bagi keputusan ijma’.
Apakah adanya sandaran itu merupakan syarat bagi kekuatan ijma’. [10]
Jumhur ulama’ mengatakan, ijma’
harus ada sanad yang dijadikan dalil sebagai rujukan oleh para mujthidin dalam
menetukan hukum syar’i bagi
masalah yang mereka hadapi sehingga jauh dari noda berbicara agama tanpa ilmu,
dorongan hawa nafsu, atau motif inkonstitusional. Dan ini sama artinya dengan
membuat syari’at baru yang tidak
dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Sanad ijma’ dapat berupa nash
Al-Qur’an, As-sunnah, atau qiyas. Contoh ijma’ yang sandaranya adalah
Al-Qur’an adalah kesepakatan para mujtahid tentang haramnya menikahi nenek, sebab
sandaranya adalah Allah : Telah diharamkan bagi kalian ibu-ibu kalian “ karena
maksud dari kata ibu adalah yang asal secara mutlak, yaitu setiap orang yang
dinasabkan kepadanya dan nenek masuk dalam kategori ini ( ibunya ibu)[11]
7. Contoh Ijma’
Mengangkat seorang imam Besar atau seorang pemimpin. Dalam proses
pemilihannya masyarakat ijma’ untuk menentukan siapa yang berhak
menduduki singgah sana seorang pemimpin namun, dengan syarat dan ketentuan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Cara ijma’ merupakan cara yang terbaik
untuk menyatukan semua suara masyarakat dalam mengemukakan pendapat melalui
perwakilan rakyat dengan cara pemilu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ
اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin(mu), maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim”. (Q.S
Al-Maidah : 51)
C.
Sumber Hukum Qiyas
A.
Pengertian Qiyas
Secara etimologis qiyas berasal dari bahasa
Arab, qiyas merupakan bentuk masdar dari qasa - yaqisu (قاس - يقيس) yang berarti ukuran, mengetahui
ukuran sesuatu. Atau dapat diartikan dengan تقدير شيء بشيء آخر yaitu mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.[12] Juga
dapat diartikan mengukur dan menyamakan antara dua hal, baik yang kongkret,
seperti benda-benda yang dapat dipegang, diukur, dan sebagainya, maupun yang
abstrak, seperti kebahagiaan, kepribadian, dan sebagainya.[13] Misal
"fulan mengukur baju dengan hasta”. Jadi, jika seseorang menemukan
masalah yang tidak terdapat dalam A-Qur’an dan As-Sunnah, lalu menemukan
masalah yang serupa dan menyamakannya dengan masalah tersebut, maka secara
etimologi hal ini dinamakan dengan qiyas.
Sedangkan secara terminologis, qiyas ialah menetapkan
sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum
yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan adanya persamaan diantara
keduanya.[14]
Menurut ulama ushul fiqih adalah :
هُوَ اِلحَاقُ وَا قِعَةٍ لاَ نَصَّ عَلَى حُكْمِهَا بِوَا
قِعَةٍ وَرَدَ نَصٌّ بِحُكْمِهَا فِى الْحُكْمِ الَّذِى وَرَدَبِهِ النَّصُّ,
لِتَسَا وِى الوَا قِعَتَيْنِ فِى عِلَّةِ هذَالحُكْمِ
“menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash tentang
hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya, dalam hukum yang
tersebut dalam nash, karena sama dua kejadian itu dalam ‘illat hukum ini”.[15]
Menurut Syaikh Khudari Beik yaitu :
هُوَ تَعْدِيَةُ حُكْمٍ مِنَ الأ صْلِ اِلَى الْفَرْعِ
بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ
"Qiyas adalah
memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal) kepada cabang
(persoalan pokok baru yang tidak disebut dalam nash) karena adanya pertautan
‘illat keduanya”.[16]
Sedangkan
menurut Wahbah Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan : “Menyatukan sesuatu
yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan
hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.[17]
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa
definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih di atas tentang qiyas, tetapi
mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas
bukanlah menetapkan hukum dari awal melainkan hanya menjelaskan hukum apa pada
suatu kasus belum jelas hukumnya. Penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan
mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu masalah yang sedang
dihadapi. Apabila ‘illatnya sama dengan ‘illat hukum yang disebutkan
dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum
yang telah ditentukan nash tersebut.
Dengan demikian, qiyas hanya dapat dilakukan apabila
telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Karena itu tugas pertama yang harus
dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan qiyas adalah mencari apakah ada nash
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian.
Jika telah diyakini benar-benar tidak ada nash yang dimaksud barulah
dilakukan qiyas.
B.
Rukun Qiyas
Ulama ushul sepakat bahwa qiyas harus berpijak pada empat rukun yaitu :[18]
a.
Pokok (Ashl)
Sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash,
ini disebut dengan ashal atau maqis alaih atau musyabbah bih
yang artinya “diserupai/disamai/tempat menyerupakan”
b.
Cabang (Furu’)
Sesuatu yang belum ditemukan hukumnya secara
jelas dalam nash, ini disebut dengan furu’ atau maqis atau musyabbah,
yang artinya “yang disamakan/yang diserupkan).
c.
Hukum Pokok (Hukum Ashl)
Hukum yang telah disebutkan dalam nash
pada ashal, disebut dengan hukum ashal, dan dikehendaki hukumnya
berlaku untuk cabang.
d.
‘Illat
‘Illat, adalah alasan hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula
pada furu’. Alyasa Abu Bakar menjelaskan bahwa ‘illat itu
merupakan sesuatu yang harus jelas, relatif dapat diukur, mengandung relevansi
sehingga kuat dan dialah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan hukum.[19]
Keempat rukun inilah yang menjadi dasar untuk melakukan
qiyas. Misalnya : Minum khamr adalah Ashl yang terdapat dalam nash
QS. Al-Maidah ayat 91 “maka jauhilah khamr”, hukumnya haram karena menunjukkan
‘illat “memabukkan”, memakai Ganja adalah furu’ yang tidak
terdapat dalam nash, tetapi sifatnya disamakan dengan khamr karema
memabukkan (merusak akal). Maka disamakanlah hukum memakai Ganja dengan hukum
meminum khamr.
C.
Syarat Qiyas
Syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam menentukan suatu masalah, jika
tidak diperhatikan syarat-syaratnya maka hasil qiyas dipandang tidak sah.
Syarat disini merupakan hal yang berkenaan dengan rukun qiyas.
a.
Syarat Pokok[20]
Imam Ghazali menyebutkan yang menjadi syarat ashl
adalah sebagai berikut :
1)
Ashl hendaklah merupakan ketentuan yang tidak
boleh berubah. Maksudnya sebagai tempat melakukan qiyas sudah jelas dan pasti
dari nash dan tidak termasuk kepada kemungkinan dinasakh.
2)
Ashl hendaklah mempunyai ‘illat yang menjelaskan
hukum syara’. Artinya, ‘illat hukum pada pokok dapat diketahui
dan dipahami dengan jelas bahwa ketentuan hukum pada pokok memang didasarkan
pada ‘illat tersebut.
3)
Ashl bukan menjadi cabang dari pokok yang lain.
Maksudnya, tidak boleh terjadi bahwa pokok juga menjadi cabang bagi pokok yang
lainnya.
4)
Hendaklah ada dalil yang memastikan ‘illat pada pokok tidak mencakup
‘illat pada cabang secara langsung. Maksudnya ‘illat pada pokok
dapat dibuktikan secara jelas.
5)
Hukum pokok tidak boleh berubah dengan penentuan ‘illat. Maksudnya,
pokok setelah dilakukan qiyas tidak boleh berubah.
6)
Ashl tidak
boleh keluar dari ketentuan qiyas. Maksudnya, pokok bukanlah dalil yang berlaku
khusus bagi suatu persoalan. Dalil yang berlaku khusus tidak boleh dijadikan
pokok sebagai tempat qiyas, sebab akan membatalkan kekhususannya. Contoh nash
yang berkaitan dengan Nabi, seperti mempunyai istri sembilan orang, menikahi
wanita dengan hibah (tanpa mahar).
b.
Syarat Cabang
Agar furu’ dapat dialihkan hukum ashl
kepadanya, maka harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :[21]
1)
Hendaklah terdapat ‘illat pada ashl. Karena prinsip dasarnya, qiyas adalah
memberlakukan hukum pokok kepada cabang dan bisa terjadi bila terdapat kesamaan
‘illat antara keduanya.
2)
Jangan lebih dahulu ada furu’ daripada ashl. Misalnya
mengqiyaskan wudhu pada tayamum dalam hal “wajib niat” dengan ‘illat sama-sama
beribadah. Padahal wudhu lebih diutamakan daripada tayamum.
3)
Hukum yang dialihkan pada furu’ harus sama dengan hukum ashl.
4)
Pada furu’ tidak ada sifat yang lebih kuat yang bertentangan dengan ‘illat
ashl.
c.
Syarat Hukum Pokok[22]
Hukum pokok adalah ketentuan hukum yang sudah
tetap didalam nash dan ketentuan hukum inilah yang akan diberlakukan
kepada cabang. Adapaun syarat-syarat hukum pokok adalah sebagai berikut :
1)
Hukum pokok hendaklah ketentuan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Dengan kata lain, ketentuan hukum pokok merupakan ketentuan yang
ditetapkan oleh nash, bukan merupakan hasil ijtihad. Terdapat perbedaan
pendapat dalam menentukan syarat ini. Golongan pertama, mengatakan bahwa
hukum pokok yang didasarkan pada ijma’ tidak dapat digunakan sebagai
sandaran qiyas. Gololangan kedua, mengatakan bahwa pemberlakuan hukum pada cabang dengan qiyas, meskipun ia
merupakan hasil ketetapan ijma’ adalah dapat digunakan.
2)
Hukum pokok hendaklah berdasarkan ‘illat yang bisa diketahui oleh
akal. Artinya, akal mampu mendeteksi keberadaan ‘illat tersebut,
sehingga memungkinkan memberlakukan hukum pokok pada cabang. Contoh, hukum
haram khamr, bahwa akal mampu mengetahui ‘illat yaitu memabukkan. Dan
karena ‘illat dapat diketahui maka qiyas dapat dilakukan atasnya. Akan
tetapi, jika ‘illat hukum itu tidak ada jalan untuk mengetahuinya maka,
ia digolongkan pada urusan yang tidak dapat dijadikan sandaran qiyas seperti
jumlah rakaat shalat, mencium Hajar Aswad, dll.
3)
Hukum pokok hendaklah hukum yang mempunyai ‘illat yang dapat
diberlakukan dan dijangkau oleh cabang. Jika ‘illat hukum hanya berlaku
pada pokok saja, maka qiyas tidak dapat diberlakukan, karena qiyas itu adalah
terdapatnya persamaan ‘illat antara pokok dan cabang. Contoh seperti
kebolehan mengqashar shalat dan berbuka puasa karena dalam perjalanan. ‘Illat
dari kedua hukum ini adalah dalam perjalanan (safar). Dibolehkannya
adalah untuk rukhsah seorang musafir. Akan tetapi, ‘illat ini
tidak berlaku bagi pekerja berat yang ingin mengqashar shalatnya.
4)
Hukum pokok bukan ketentuan hukum yang berlaku khusus. Karena ketentuan
yang berlaku secara khusus tidak dapat diterapkan atau diperlakukan ke cabang.
Contoh kekhususan Rasulullah SAW, bahwa beliau boleh beristri lebih dari empat
orang, dan haram menikahi istri beliau setelah sepeninggalnya.
d.
Syarat ‘Illat[23]
1)
Sifatnya harus jelas. Arti jelas disini adalah dapat dirasakan dengan
indera. Misalnya, khamr rasanya adalah memabukkan, dibenarkan wujudnya dalam
air buah lain yang dapat memabukkan. Maka dibenarkan dengan perasaan yang pada
keduanya menurut kadarnya adalah memabukkan.
2)
Adanya sifat terkuat. Arti terkuat disini yaitu mempunyai hakikat nyata
membatasi kemungkinan membenarkan adanya pada furu’. Misalnya, pembunuhan
yang direncanakan oelh dua phak yang bermusuhan dan dalam masalah hak waris.
Hakikatnya itu ditekankan pada kemungkinan untuk membenarkan terjadi pembunuhan
terhadap orang yang berwasiat kepada penerima wasiat. Pembunuhan yang terjadi
dalam hal memperjualbelikan barang yang diperjualbelikan oleh saudaranya. Pada
hakikatnya ditekankan ada kemungkinan membenarkan dalam perkara seseorang
menyewa atau disewa saudaranya.
3)
Sifatnya itu sesuai. Sesuai disni artinya ada perkiraan untuk membenarkan
hikmah hukum. Hukum itu mengikat “ada dan tidaknya” tentang keadaanya itu dan
membenarkan apa yang ada dalam nash, mendatangkan manfaat dan
membuang mudharat. Contoh, hal yang memabukkan itu cocok untuk mengahramkan
khamr, dibina diatasnya guna memelihara akal. Pembunuhan yang direncanakan itu
cocok untuk diwajibkannya qishas. Qishas dilakukan guna
memelihara kehidupan masyarakat. Mencuri itu cocok untuk diwajibkan potong
tangan, guna memelihara harta benda orang lain.
4)
Yang disifatkan kepada ashl itu tidak boleh pendek. Maksudnya, yang
disifatkan itu memungkinkan untuk menetapkan sebab yang terdapat pada ashl.
Hendaklah sifat terdapat pada cabang.
Karena ‘illat merupakan dasar qiyas, ia tidak boleh hanya terbatas pada ashl
saja, karena qiyas menyamakan antara cabang dengan pokok atas dasar ‘illat
hukum. Jika ‘illat hanya terbatas pada pokok saja dan tidak terdapat
pada cabang, maka qiyas tidak dapat dilakukan.
D.
Macam-macam Qiyas
1.
Qiyas Aulaa
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ
وَكَانَ الْفَرْعُ أَوْلَى بِاالْحُكْمِ فِيْهِ مِنَ الْأَصْلِ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya mewajibkan
adanya hukum dan keadaan far’un lebih utama mendapatkan hukum (tersebut)
daripada ashl.”[24]
Contoh mengqiyaskan memukul orang tua dengan
mengatakan “cis”, kedua perbuatan tersebut haram hukumnya karena mempunya ‘illat
“menyakiti”.
Allah SWT berfirman :
....فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا....
Artinya : “....Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan ‘cis’ dan janganlah kamu membentak mereka....” (QS.
Al-Isra’: 23).
2.
Qiyas Musawi
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ
وَكَانَ الْفَرْعُ مُسَاوِيًا بِاالْحُكْمِ فِيْهِ لِلْأصْلِ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya
mewajibkan adanya hukum dan keadaan far’un sama dengan ashl untuk
mendapatkan hukum”.[25]
Contoh mengqiyaskan seseorang yang membakar
harta anak yatim dengan memakan harta anak yatim, yang hukumnya adalah haram,
dengan ‘illat harta tersebut akan lenyap, habis, dan tidak bisa
dimanfaatkan.
Allah SWT berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Qiyas Aulaa dan Musawi bisa disebut sebagai Qiyas
‘Illat karena qiyas ini mempunyai kesamaan furu’ dengan ashl
karena adanya persamaan ‘illat.
3.
Qiyas Dilalah
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ دَالَةً عَلَى الْحُكْمِ
وَلكِنْ لاَ تَكُوْنُ مُوْجِبَةً لَهُ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya,
menunjukkan kepada hukum, tetapi tidak mewajibkannya.”[26]
Menurut Ibn Qoyyim Al-Jauziyah, yang dimaksud
dengan qiyas dilalah adalah mengumpulkan antara sumber (pangkal) dengan
cabangnya berdasarkan petunjuk ‘illat dan kemestiannya.[27]
Contoh mengqiyaskan wajibnya zakat pada harta
anak kecil dengan orang dewasa, dengan ‘illat keduanya merupakan harta
yang dapat berkembang dan bertambah.
4.
Qiyas Syabah
قِيَاسٌ كَانَ الْفَرْعُ فِيْهِ مُتَرَدِّ دًابَيْنَ
أصْلَيْنِ فَيُلْحَقُ بِأكْثَرِهِمَا شِبْهًا
“yaitu qiyas yang keadaan furu’ padanya
bolak-balik antara kedua ashl lalu ia dihubungkan dengan ashl
yang lebih banyak persamaan dengannya.”[28]
Contoh seorang hamba yang cacat karena kejahatan orang lain, apakah dalam
masalah ganti rugi (dhaman), ia diqiyaskan kepada orang yang merdeka
karena sama-sama anak Adam, atau diqyaskan kepada benda karena ia harta milik.
Persamaanya dengan harta lebih banyak daripada persamaanya dengan orang
merdeka, karena dapat dijual, dihibahkan, dan diwaqafkan.
Allah SWT berfirman :
قَالُوا إِنْ يَسْرِقْ
فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَهُ مِنْ قَبْلُ فَأَسَرَّهَا يُوسُفُ فِي نَفْسِهِ وَلَمْ يُبْدِهَا
لَهُمْ قَالَ أَنْتُمْ شَرٌّ مَكَانًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَصِفُونَ
Artinya : ” Mereka berkata:
"Jika ia mencuri, maka sesungguhnya, telah pernah mencuri pula saudaranya
sebelum itu". Maka Yusuf menyembunyikan kejengkelan itu pada dirinya dan
tidak menampakkannya kepada mereka. Dia berkata : "Kamu lebih buruk
kedudukanmu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu terangkan itu". (QS. Yusuf : 77).
Ini adalah kisah tentang saudara-saudara Nabi Yusuf, dimana mereka berkata
ketika menemukan minuman gelas ditempat tinggal saudaranya.
Mereka tidak mengumpulkan sumber ashl dengan furu’ dan dengan
‘illat, dan tidak ada dalil yang menunjukkan padanya ‘illat
tersebut, tetapi mereka menghubungkan salah satunya dengan yang lain tanpa
adanya dalil yang mempertemukan persamaannya selain persamaan itu sendiri yang
mengumpulkan antara dia dengan Yusuf. Mereka berkata, ini adalah qiyas kepada
saudaranya, dimana keduanya terdapat persamaan dari segi perhitunyan. Hal ini
dikarenakan dia telah mencuri, demikian juga dengan yang dilakukan oleh satunya
lagi.[29]
5.
Qiyas Adwan
قِيَاسٌ كَانَ الْفَرْعُ أدْوَنَ بِا الْحُكْمِ فِيْهِ مِنَ
الْلأصْلِ
“yaitu qiyas yang furu’nya lebih rendah
kedudukannya daripada ashl untuk mendapatkan hukum yang sama”.[30]
Contoh menqiyaskan perhiasan perak bagi
laki-laki dengan perhiasan emas, yang hukumnya adalah haram, dengan ‘illat berbangga-bangga,
sombong, riya, dll.
D.
Kesimpulan
ijma’ berarti sepakat, ( إجماع) mengandung dua arti
Ijma’ dengan arti العزم عل الشيئ atau ketetapan hati
untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma’ dalam
artian pengambilan keputusan. Sedangkan menurut istlah dari Al-Ghazali
yang dinyatakan dalam kitab al-Mustasfa.
Kesepakatan umat Muhammad SAW atas satu
perkara yang berhubungan dengan urusan agama. Jadi, Ijma’
adalah kesepakatan atau persetujuan para mujtahid dalam penetapkan suatu hokum
syara’ tentang suatu perkara atau peristiwa setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Tentang
rukun atau unsur ijma’ ini,
dikalangan ulama ushul ada yang mengatakan empat unsur dan ada pula yang
menyebutkan lima unsur yitu:
1. Adanya kesepakatan sejumlah mujtahid pada suatu masa
tentang suatu peristiwa yang terjadi, kesepakatan ini harus dari sejumlah
mujtahid dan tidak dipandang ijma’ jika
hanya ada seorang mujtahid.
2. Kesepakatan
para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan. Tidak dipandang
ijma’ jika kesepakatan tersebut hanya
berasal dari satu tempat saja. Pengambilan suatu keputusan harus dari segala sudut, tidak pandang
golongan, ras, suku atau apapun karena hasil keputusan tersebut akan digunakan
oleh semua ummat.
3. Kesepakatan
para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat
dilihat dalam perbuatan.
4. Kesepakatan
itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang ijma’, jika kesepakatan itu hanya
berasal dari sebagian besar mujtahid saja sedangkan sebagian kecil lainnya
menyalahinya.
Secara etimologis qiyas berasal dari bahasa Arab, qiyas
merupakan bentuk masdar dari qasa - yaqisu (قاس - يقيس) yang berarti ukuran, mengetahui
ukuran sesuatu. Atau dapat diartikan dengan تقدير شيء بشيء آخر yaitu mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lainnya
Macam-macam Qiyas
Qiyas Aulaa
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ
وَكَانَ الْفَرْعُ أَوْلَى بِاالْحُكْمِ فِيْهِ مِنَ الْأَصْلِ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya mewajibkan
adanya hukum dan keadaan far’un lebih utama mendapatkan hukum (tersebut)
daripada ashl.”[31]
Contoh mengqiyaskan memukul orang tua dengan
mengatakan “cis”, kedua perbuatan tersebut haram hukumnya karena mempunya ‘illat
“menyakiti”.
Allah SWT berfirman :
....فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا....
Artinya : “....Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan ‘cis’ dan janganlah kamu membentak mereka....” (QS.
Al-Isra’: 23).
Qiyas Musawi
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ
وَكَانَ الْفَرْعُ مُسَاوِيًا بِاالْحُكْمِ فِيْهِ لِلْأصْلِ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya
mewajibkan adanya hukum dan keadaan far’un sama dengan ashl untuk
mendapatkan hukum”.[32]
Contoh mengqiyaskan seseorang yang membakar
harta anak yatim dengan memakan harta anak yatim, yang hukumnya adalah haram,
dengan ‘illat harta tersebut akan lenyap, habis, dan tidak bisa
dimanfaatkan.
Qiyas Dilalah
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ دَالَةً عَلَى الْحُكْمِ
وَلكِنْ لاَ تَكُوْنُ مُوْجِبَةً لَهُ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya,
menunjukkan kepada hukum, tetapi tidak mewajibkannya.”[33]
Menurut Ibn Qoyyim Al-Jauziyah, yang dimaksud
dengan qiyas dilalah adalah mengumpulkan antara sumber (pangkal) dengan
cabangnya berdasarkan petunjuk ‘illat dan kemestiannya.[34]
Contoh mengqiyaskan wajibnya zakat pada harta
anak kecil dengan orang dewasa, dengan ‘illat keduanya merupakan harta
yang dapat berkembang dan bertambah.
Qiyas Syabah
قِيَاسٌ كَانَ الْفَرْعُ فِيْهِ مُتَرَدِّ دًابَيْنَ
أصْلَيْنِ فَيُلْحَقُ بِأكْثَرِهِمَا شِبْهًا
“yaitu qiyas yang keadaan furu’ padanya
bolak-balik antara kedua ashl lalu ia dihubungkan dengan ashl
yang lebih banyak persamaan dengannya.”[35]
Contoh seorang
hamba yang cacat karena kejahatan orang lain, apakah dalam masalah ganti rugi (dhaman),
ia diqiyaskan kepada orang yang merdeka karena sama-sama anak Adam, atau
diqyaskan kepada benda karena ia harta milik. Persamaanya dengan harta lebih
banyak daripada persamaanya dengan orang merdeka, karena dapat dijual,
dihibahkan, dan diwaqafkan.
Qiyas Adwan
قِيَاسٌ كَانَ الْفَرْعُ أدْوَنَ بِا الْحُكْمِ فِيْهِ مِنَ
الْلأصْلِ
“yaitu qiyas yang furu’nya lebih rendah
kedudukannya daripada ashl untuk mendapatkan hukum yang sama”.[36]
Daftar Pustaka
Ahmad, Zainal Abidin, 1981, Ushul Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang.
Al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim, I’lamul Muwaqi’in,
diterjemahkan oleh Asep Saefullah dan Kamaluddim, 2007, Panduan Hukum Islam,
Jakarta : Pustaka Azzam.
Amir, 2008, Ushul Fiqih, Jakarta : Prenada Media
Group.
Basiq, Djalil, 2010, Ilmu Ushul
Fiqih, Jakarta : Kencana.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih,
diterjemahkan oleh Halimuddin, 2005,
Jakarta : PT. RINEKA CIPTA.
Rasyad, Hasan, 2009, Tarikh Tasyri’, Jakarta : HAMZAH.
Rifa’i, Moh., 1973, Ushul Fiqih, Bandung
: PT. Al-Ma’arif.
Romli, 2014, Studi Perbandingan Ushul Fiqih, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Syarufudin, Amir, 2008,
Ushul Fiqih jilid 1, Jakarta : Prenada Media
Group
Zuhdi, Masjfuk, 1987, Pengantar Hukum
Syariah, Jakarta : CV. Haji Masagung.
Sumber Jurnal
Haika, Ratu, 2012, Konsep Qiyas dan
Ad-Dalil dalam Istimbath Hukum Ibn Hazm (Studi Komparatif), Jurnal FENOMENA
Vol. IV No. 1, STAIN Samarinda.
Catatan:
1.
Pendahuluan itu bukan seperti yang ada dalam makalah ini. Ia adalah pengantar
untuk memahami materi, dan bukan materi itu sendiri.
2.
Penulisan kesimpulan bukan dengan pengulangan materi, tetapi dengan kata-kata
singkat yang menyimpulkan materi.
3.
Penulisan footnote tolong memakai format: Nama Penulis, Judul Buku (Kota
terbit: Penerbit, tahun), hlm. (..).
4.
Pergunakan kata ibid. Dalam footnote.
[9] Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Halimuddin, 2005, Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, hal. 56.
[17] Ratu Haika, 2012, Konsep
Qiyas dan Ad-Dalil dalam Istimbath Hukum Ibn Hazm (Studi Komparatif), Jurnal
FENOMENA Vol. IV No. 1, STAIN Samarinda, hal. 94.
[23] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Halimuddin, 2005, Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, hal. 79-81.
[27] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in, diterjemahkan oleh Asep
Saefullah dan Kamaluddim, 2007, Panduan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka
Azzam, hal. 121.
[29] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in, diterjemahkan oleh Asep
Saefullah dan Kamaluddim, 2007, Panduan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka
Azzam, hal. 126.
[34] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in, diterjemahkan oleh Asep
Saefullah dan Kamaluddim, 2007, Panduan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka
Azzam, hal. 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar