Asbabun
Nuzul
Robby
Arief Hadirizky Perwira
Umi
Anisa
Mahasiswa/i
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial kelas E angkatan 2015
Abstract
As
the primary basis of Islamic law, Al-Quran be understood by every Muslim as a
way of life. As the Syariat of Allah, Al-Quran was revealed gradually does not
necessarily go down one full volume. Behind release of Al-Quran that gradually
these are important events that go with it, whether it was based on the
conflict or merely a process of socialization of the Muhammad SAW with his
companions (micro), and includes the historical circumstances that the real
case as the social, political, science, psychology Prophet, economic etc.
(macro), causes what is called asbab al-nuzul. By looking back in the context
of the revelation of the Al-Quran (Asbab Nuzul) we can easily understand what
is contained in it.
Keyword
: Al-Quran, Asbabun Nuzul, Micro, Macro
Abstrak
Sebagai
landasan utama hukum Islam, Al-Quran wajib dipahami oleh setiap muslim
sebagai pedoman hidup. Sebagai syariat dari Allah SWT, Al-Quran diturunkan
secara berangsur-angsur tidak serta-merta turun satu jilid penuh.
Dibalik turunnya Al-Quran yang berangsur-angsur tersebut terdapat
peristiwa-peristiwa penting yang mengiringinya, baik itu dilandasi oleh konflik atau sekedar proses
sosialisasi Rasulullah SAW dengan para sahabatnya (mikro),
maupun mencakup situasi dan kondisi historis yang riil terjadi seperti sosial, politik, iptek, psikologi
Nabi, ekonomi dan lain sebagainya (makro), penyebab-penyebab
itulah yang disebut Asbabun Nuzul. Dengan melihat kembali konteks diturunkannya
Al-Quran (Asbabun Nuzul) kita bisa dengan mudah memahami apa yang terkandung di
dalamnya.
Kata
Kunci : Al-Quran, Asbabun Nuzul, Mikro, Makro
A. Pendahuluan
Al-Quran
adalah perkataan (kalam) Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk
disampaikan kepada umatnya melalui
Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Quran sebagai kitab Allah
menempati posisi sebagai sumber hukum
pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam serta berfungsi sebagai petunjuk
atau pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat.
Al-Quran
diturunkan untuk menuntun manusia kedalam jalan yang terang benderang yaitu
Islam dan mengeluarkan mereka dari jeratan Jahiliyah. Juga menyimpan
jejak rekam petualangan para nabi terdahulu dengan para sahabatnya dan bahkan
menguraikan apa yang akan terjadi di masa depan. Al-Qur’an pada mulanya diturunkan untuk
tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah
menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka peristiwa
khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih menjadi hal tabu bagi
mereka untuk memutuskan tindakan yang akan diambil, kemudian mereka bertanya
kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu, maka Al-Qur’ān turun untuk
peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah
yang dinamakan Asbabun Nuzul.
Dalam karya tulis ini penulis mencoba
untuk mengulas apa itu yang dinamakan Asbabun Nuzul beserta macam-macamnya dan apa
manfaat kita mempelajarinya, sehingga pengetahuan mengenai asbabun nuzul besar
sekali manfaatnya bagi setiap orang yang hendak menafsirkan Al Qur’an, selain
membantu mempermudah menghafalkan dan memahami maksud dari isi kandungan
tersebut, banyak sekali sejarah yang terukir di dalam Al-Quran. Dengan
mempelajari Asbabun Nuzul seseorang dapat mengetahui kandungan makna Al Qur’an
secara tepat sekaligus dapat menghindarkan seseorang dari pemahaman yang salah.
B. Pengertian Asbabun Nuzul
A. Definisi Secara Etimologi (Bahasa
Harfiah)
Asbāb an-Nuzūl
secara etimologi terdiri dari kata asbāb dan an-nuzūl. Asbāb dapat
berarti كل شيئ يتوصل الى غيره (sesuatu yang
menyampaikan kepada sesuatu yang lain), الحبل (tali, tambang),
dan كل حبل حدرته من فوق (tiap tali yang kamu turunkan dari atas), sedang An-nuzūl
artinya نزلهم و نزل عليهم و نزل بهم قد و
الحلول (menempati dan menempati tempat mereka). [1]
B. Definisi Secara Terminologi
(Istilah-Syara')
Secara terminologi menurut Az-Zarqani dalam
bukunya Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān, pengertian asbāb an-nuzūl adalah
sesuatu yang menyebabkan satu ayat atau beberapa ayat diturunkan untuk
membicarakan sebab atau menjelaskan hukum sebab tersebut pada masa terjadinya
sebab itu.[2] Hal yang sama juga diungkapkan Sedangkan menurut Subhi
As-Salih Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat
atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat
sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya
suatu peristiwa.oleh T.H. Thalhas bahwa Asbabun Nuzul adalah semua yang
disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung
sebabnya, atau memberi jawaban terhadap sebabnya, serta menerangkan hukumnya
pada saat terjadinya peristiwa itu.[3]
C.
Asbabun
Nuzul Mikro dan Makro
Untuk memahami Asbabun Nuzul diperlukan pemahaman tentang
sejarah pengertian (definisi) Asbabun Nuzul. Pengertian Asbabun Nuzul dalam
kesejarahan ilmu tafsir dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Asbabun
Nuzul mikro dan Asbabun Nuzul makro.
Asbabun Nuzul mikro adalah Asbabun Nuzul yang sering
diketemukan dalam khazanah ilmu tafsir tradisional yang berkembang sejak abad 2
H. Ulama-ulama tafsir tradisonal memberikan batasan peristiwa dan pertanyaan
kasuistik yang melatarbelakangi turunnya ayat sebagai Asbabun Nuzul (yang
kemudian dikenal dengan Asbabun Nuzul mikro). Pendekatan tradisional
konvensional ini dapat dilacak dalam sejarah ilmu tafsir generasi awal. Setelah
diadakan eksplorasi terhadap beberapa kitab 'Ulumul Qur’an,
definisi Asbabun Nuzul adalah semua yang
disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung
sebabnya, atau memberi jawaban terhadap sebabnya, serta menerangkan hukumnya
pada saat terjadinya peristiwa tersebut.
Pengertian Asbabun Nuzul kemudian berkembang
menjadi pengertian yang bersifat makro yaitu bahwa Asbabun Nuzul bukan hanya
berupa peristiwa dan pertanyaan yang melatarbelakangi turunnya ayat tetapi juga menyangkut kondisi sosio-historis yang
melatarbelakngi turunnya ayat. Perkembangan pengertian ini terjadi pada abad 8
H seiring kritik-kritik yang muncul atas pengertian Asbabun Nuzul mikro.
Bahkan kritik tajam Asbabun Nuzul mikro muncul dari al-Dahlawi yang menganggap
bahwa Asbabun Nuzul yang tercantum dalam kitab-kitab tafsir yang berdasarkan
riwayat adalah rekaan (zanni). Berbeda dengan definisi-definisi
tradisional konvensional, Asbabun Nuzul makro lebih bersifat formil untuk
membedakan Asbabun Nuzul mikro yang bersifat materiil.
Ulama yang mendefinisikan Asbabun Nuzul makro ini antara
lain Al-Syatibi yang menjelaskan bahwa memahami Asbabun Nuzul adalah
memahami konteks (situasi dan kondisi) yang melingkupi turunnya ayat. Konteks
itu meliputi al-Mukhatib (Allah swt), al -Mukhatab dan al-Mukhatab
fiih. Al-Qasimi menambahkan bahwa pengetahuan Asbabun Nuzul itu
tidak bisa dipahami essensinya kecuali juga harus mengetahui situasi dan
kondisi ketika ayat itu turun. Pendapat ini kemudian diikuti Fazlur Rahman
dengan definisi yang dikemukakannya yaitu bahwa Asbabun Nuzul mencakup situasi
dan kondisi historis yang riil terjadi (sosial, politik, iptek, psikologi Nabi,
ekonomi dan sebagainya).[4]
D.
Definisi
Sebab Nuzul
Menurut Al Ja’bari
Al qur’an diturunkan dalam dua kategori yaitu:
A.
Turunnya diawali oleh suatu sebab
Ayat-ayat Al qur’an turun
karena sebab-sebab tertentu, misalnya:
a)
Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Al Qur’an mengenai
peristiwa itu. Hal itu seperti diriwayatkan oleh Ibn Abbas, yang mengatakan:
لما نزلت ( وانذر عشيرتك الاقربين) خرج النبي صلى الله عليه
وسلم حتى صعد الصفا, ياصباحاه فاجتمعوا اليه , فقال: ارايتم لو اخبرتم ان خيلا
تخرج بسفح هذ الجبل اكننتم مصدقي؟ قالو : ما جربنا علييك كذبا , قال : فاني نذير
لكم بين يدي عذاب شديد, فقال ابو لهب :تبا لك ما جمعتنا لهذا ؟ ثم قام, فنزلت هذه
السورة ( تبت يدا ابي لهب و تب)
Ketika turun :
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat,
Nabi pergi dan naik ke bukit safa, lalu berseru: “ wahai kaumku!” Maka mereka
berkumpul ke dekat Nabi, Ia berkata lagi : “bagaimana pendapatmu bila aku
beritahukan kepadamu bahwa dibalik gunung ini ada pasukan berkuda yang hendak
menyerangmu, percayakah kamu apa yang kukatakan?” mereka menjawab : “ kami
belum pernah melihat engkau berdusta . Dan Nabi melanjutkan ; “ Aku
memperingatkan kamu tentang siksa yang pedih “. Ketika itu Abu Lahab lalu
berkata : “celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan
ini?” lalu ia berdiri, maka turunlah ayat ini Binasalah kedua tangan Abu
Lahab.[5]
Adapun
ayat yang diturunkan karena suatu peristiwa menurut Az-Zarqani ada tiga bentuk
yaitu:
Pertama,
peristiwa khushūmah (pertengkaran) yang sedang berlangsung, semisal
perselisihan antara kelompok Aus dan Khazraj yang disebabkan oleh rekayasa kaum
Yahudi sampai mereka berteriak: “as-silāh, as-silāh” (senjata, senjata). Dari
kejadian ini turunlah beberapa ayat dari surat Ali ‘Imrān yang di mulai dari
ayat 100 hingga beberapa ayat berikutnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا
فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
كَافِرِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika
kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka
akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman” (Ali ‘Imrān:
100).
Kedua, peristiwa
berupa kesalahan seseorang yang tidak dapat di terima akal sehat. Seperti orang
yang masih mabuk mengimami shalat sehingga ia salah dalam membaca surat
al-Kāfirūn. Kemudian turunlah ayat dari surat an-Nisā.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ
حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (An-Nisā: 43).
Ketiga, peristiwa
mengenai cita-cita dan harapan, seperti muwāfaqāt (persesuaian, kecocokan) Umar
RA. Aku ada persesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku katakan kepada
Rasulullah bagaimana kalau Maqām Ibrahim kita jadikan tempat shalat, maka
turunlah ayat :
وَاتَّخِذُوا
مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
Artinya
: “Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125).
Dan
aku berkata wahai Rasulullah: “Sesungguhnya di antara orang-orang yang menemui
istri-istrimu ada yang baik (al-barru) dan ada yang jahat (al-fājir), bagaimana
kalau anda memerintahkan kepada mereka untuk membuat hijāb (tabir). Kemudian
turunlah ayat hijāb, yakni ayat dari surat al-Ahzāb ayat 53.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ
يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا
دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ
لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ
وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا
فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ
وَقُلُوبِهِنَّ ۚ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ
تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ
اللَّهِ عَظِيمًا
Artinya
:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila
kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai
makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang
demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu
keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta
sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.
Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini
isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu
adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.”[6]
b) Rasulullah SAW ditanyai
Bila Rasulullah
ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Al Qur’an yang
menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khaulah
binti Sa’labah dikenakan zihar oleh suaminya, Aus bin Samit. Lalu ia
datang kepada Rasulullah mengadukan hal itu. Aisyah berkata: “Mahasuci Allah
yang pendengaran-Nya meliputi segalanya, Aku mendengar ucapan Khaulah binti
Sa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya. Ia mengadukan suaminya kepada
Rasululah. Katanya: “Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan
sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua
dan tidak beranak lagi, ia menjatuhkan zihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya
aku mengadu kepada-Mu”. Aisyah berkata :” Tiba-tiba Jibril turun membawa
ayat-ayat ini: “Sungguh, Allah telah
mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang
suaminya....., yakni Aus bin Samit.”[7]
Ayat-ayat
yang diturunkan karena ada pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW
juga ada tiga bentuk, yaitu :
Pertama,
pertanyaan tentang peristiwa yang sudah lampau, semisal firman Allah SWT. dalam
surat al-Kahfi ayat 83.
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُمْ مِنْهُ ذِكْر
Artinya :“Mereka
akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah: “Aku akan
bacakan kepadamu cerita tantangnya.”
Kedua,
pertanyaan tentang peristiwa yang sedang berlangsung, semisal firman Allah SWT.
dalam surat al-Isrā ayat 85.
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ
الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya : “Dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Ketiga,
pertanyaan tentang peristiwa yang akan datang, semisal firman Allah SWT. dalam
surat an-Nāzi‘āt ayat 42.
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا
Artinya : “(Orang-orang kafir)
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”[8]
B.
Ayat-ayat yang turunnya tidak awali oleh sebab
Ayat-ayat semacam ini banyak
terdapat di dalam Al Qur’an dan jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat hukum
yang mempunyai Asbabun Nuzul. Seperti ayat-ayat yang menceritakan tentang umat
terdahulu beserta para Nabinya, menceritakan hal-hal yang gaib yang akan
terjadi dan menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksaan
neraka. Ayat-ayat yang demikian itu diturunkan Allah bukan untuk memberikan
tanggapan terhadap suatu pertanyaan dari suatu peristiwa yang terjadi pada
waktu itu, melainkan semata-mata untuk memberi petunjuk kepada manusia agar
menempuh jalan yang lurus. Dan Allah menjadikan ayat-ayat ini mempunyai
hubungan yang erat dengan kontek Al Qur’an dengan ayat-ayat sebelumnya dan
ayat-ayat sesudahnya.[9]
Memang
demikianlah ayat-ayat Al-Quran. Ada yang diturunkan tanpa didahului sebab dan
ada yang diturunkan sesudah didahului oleh suatu sebab. Menurut Az-Zarqani
tidak semua ayat atau beberapa ayat mempunyai asbāb an-nuzūl, diantaranya ayat
yang berbicara mengenai kejadian atau keadaan yang telah lampau dan akan
datang, semisal kisah nabi-nabi dan umat terdahulu, kejadian tentang as-sā‘ah
(kiamat) dan yang berhubungan dengannya. Ayat-ayat seperti ini banyak terdapat
dalam Al-Quran Al-Karim.
E. Ayat-ayat Al-Quran diturunkan secara
berangsur-angsur
Orang-orang kafir mempertanyakan,
‘Mengapa Al-Quran tidak diturunkan sekaligus?’ Oleh Allah, Al-Quran dirinci
untuk dibacakan kepada manusia dengan sabar. Al-Quran mengandung berbagai macam
perumpamaan yang disajikan secara berangsur-angsur. Maka, dengan maksud untuk
meneguhkan hati manusia, Al-Quran pun harus dibacakan berangsur-angsur, dan
ayat-ayat pun diturunkan secara berangsur-angsur pula. Namun, manusia memang
sejenis makhluk yang paling banyak bantahannya. Perhatikan ayat suci dibawah
ini :
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلًا
Artinya :
Sesungguhnya kami menurunkan
kepadamu berangsur-angsur (Al-Insaan : 23)
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى
النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Artinya :
Dan Al-Quran itu Kami perinci agar
engkau bacakan kepada manusia dengan sabar dan Kami menurunkannya
berangsur-angsur (Al-Israa’ : 106)
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ
عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ
وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Artinya :
Orang-orang kafir itu berkata
,’Mengapa tidak diturunkan Al-Quran kepadanya sekaligus ?’ demikianlah supaya
Kami meneguhkan hatimu dengan Al-Quran dan Kami membacakannya berangsur-angsur
(Al-Quran : 32).[10]
Pertanyaan “mengapa teks diturunkan
secara bertahap?” merupakan pertanyaan yang wajar sekali dalam suatu peradaban
pada umumnya, dan bagi ulama Al-Quran khususnya. Pertanyaan ini sudah pernah
digulirkan sebagai bentuk penolakan oleh orang-orang musyrik Makkah. Mereka meminta
Muhammad agar menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit, selain
mukjizat-mukjizat lainnya yang mereka minta. Pertanyaan ini muncul dari
kalangan kaum musyrik karena mereka memiliki konsep mengenai kitab-kitab
sebelumnya yang diturunkan kepada para nabi Yahudi, bahwa kitab-kitab tersebut
diturunkan secara lengkap dan terbukukan sebagaimana diturunkannya “lauh/papan”
kepada Musa. Oleh karena itu, sikap mereka menolak model penurunan Al-Quran
secara bertahap tersebut merupakan semacam sikap meragukan sumber (munculnya)
teks.
Akan tetapi, pemahaman ulama
Al-Quran terhadap alasan mengapa Al-Quran diturunkan secara bertahap melampaui
bingkai kondisi penerima pertama sebagai dasar pertimbangan, justru
mengindikasikan adanya dialektika antara teks dan realitas. Pertanyaan yang
muncul dalam hati dari sudut pandang agama adalah: mengapa harus mengembangkan
realitas dan sebab dalam menurunkan secara bertahap, padahal Allah SWT
mengetahui seluruh realitas, baik secara global maupun detilnya, sebelum
realitas terjadi? Tentunya, pertanyaan semacam ini mengabaikan kenyataan bahwa
tindakan Tuhan dalam dunia adalah tindakan dalam waktu dan ruang, tindakan yang
terjadi melalui hukum-hukum alam itu sendiri, baik itu alam fisik maupun alam
sosial. Jika hukum-hukum itu sendiri dari sudut pandang agama merupakan ciptaan
Allah maka pertanyaan itu sebenarnya kehilangan legalitasnya untuk dilontarkan.
Akan tetapi, yang melegitimasi pertanyaan ini menurut ulama adalah konsepsi
mereka sendiri yang mengatakan bahwa mempertimbangkan hukum-hukum waktu dan
ruang untuk tindakan Tuhan mengandung semacam penghinaan terhadap “kekuasaan
Tuhan” yang mutlak. Jawaban ulama Al-Quran terhadap pertanyaan-pertanyaan ini
menyingkapkan sebuah kesadaraan yang sayangnya tidak menjalar ke dalam semua
ilmu Al-Quran. Pertanyaan yang dilontarkan adalah : bukankah masih dalam
jangkauan kekuasaan Allah yang mutlak untuk menurunkan Al-Quran sekaligus,
bukankah Ia mampu menjadikan Nabi SAW menghafalnya sekaligus? Jawaban yang
diberikan :
“Tidaklah semua yang mungkin
terjadi harus terjadi. Dan, di dalam Al-Quran sendiri terdapat banyak jawaban
mengenai berbagai pertanyaan. Inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa
diturunkan bertahap. Sebab lain karena sebagian ada yang me-naskh dan
sebagian ada yang di-naskh. Alasan-alasan inilah yang tidak memungkinkan
untuk diturunkan kecuali dengan cara bertahap.”[11]
Paling tidak ada empat hikmah atau
tujuan kenapa Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur, yaitu :
·
Menetapkan
atau menguatkan hati Nabi Muhammad SAW, seperti yang digambarkan dalam ayat
Al-Furqon ayat 32
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ
عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ
وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Artinya :
“Berkatalah orang-orang yang kafir:
"Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?";
demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara
tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan 32)
Dengan turunnya Al-Quran secara
berangsur-angsur, maka berarti Nabi Muhammad SAW akan selalu berjumpa Jibril
dan menerima Al-Quran. Hal itu secara psikologis akan berpengaruh kepada Nabi
Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah ilahi; dia akan menjadi tegar dan kuat.
Berbeda dengan turunnya secara sekaligus, berjumpa dan mendapatkan seluruh ayat
kemudian tidak muncul lagi.
·
Berangsur-angsur
dalam mendidik umat, yang sedang tumbuh ini, untuk menanamkan ilmu dan amal.
Hal ini dapat memberikan kemudahan kepada para sahabat memahami dan menghafal
setiap ayat yang diturunkan, terlebih lagi mengamalkannya. Betapa sulitnya
memahami dan menghafal setiap ayat yang diturunkan, terlebih lagi
mengamalkannya. Betapa sulitnya memahami dan menghafal ayat-ayat yang begitu
banyak jika ia diturunkan sekaligus. Dan bahkan lebih sulit lagi
mengamalkannya, karena perintah dan larangan yang begitu banyak muncul secara
bersamaan. Maka untuk itulah Allah menurunkan ayat-ayat tersebut dengan
berangsur-angsur.
·
Menyesuaikan
dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa itu. Paling tidak ada dua
hal yang menyebabkan perlunya penyesuaian penurunan ayat dengan peristiwa yang
sedang terjadi; pertama akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga
umat Islam benar-benar merasakan butuhnya mereka kepada Al-Quran. Bagaikan
orang yang sedang sakit, kemudian diberikan obat yang langsung menyembuhkannya.
Dan kedua adalah berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para
sahabat secara langsung dengan wahyu yang diturunkan ketika itu juga atau
menunggu beberapa lama. Hal ini selain menimbulkan kesan yang yang dalam kepada
para penanya, juga dapat menambah keyainan mereka bahwa Al-Quran benar-benar
datang dari Allah, sehingga Nabi harus menunggu turunnya ayat berkenaan.
·
Memberikan
isyarat yang nyata kepada musuh-musuh Islam, bahwa Al-Quran adalah Kalam Tuhan
yang datang dari Allah bukan perkataan Nabi. Jika ia kalam Muhamad SAW, maka
dia dapat mengungkapkannya kapan dan di mana saja, tidak perlu menunggu.[12]
F. Faedah Mengetahui Asbab Nuzul
Beberapa
pakar ‘Ulum Al-Quran misalnya Al-Zarqani dan Al-Suyuthi mensinyalir adanya
sementara kalangan yang beranggapan bahwa mengetahui Asbab Nuzul tidak ada
gunanya. Hal itu dianggapnya tidak lebih daripada sejarah turunnya ayat yang
tidak ada kaitannya dengan pemahaman Al-Quran. Anggapan semacam ini, oleh
kebanyakan ulama termasuk diantaranya Ibnu Taimiyah yang mendalami ilmu-ilmu
Al-Quran, dinilai sebagai pandangan yang keliru. Karena banyak sekali hal yang
dapat dibantu oleh pemahaman Asbab Nuzul di dalam upaya memahami Al-Quran.
Faedah-faedah itu diantaranya adalah :
1. Membantu di dalam memahami, sekaligus
mengatasi ketidakpastian di dalam menangkap ayat-ayat Al-Quran. Untuk ini
simaklah firman Allah berikut :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya :
“Dan kepunyaan Allah SWT, lah timur
dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah.”
(Al-Baqarah 115).
Menurut zahir ayat ini, orang yang
shalat, boleh menghadap kea rah mana saja, sesuai kehendak hatinya. Ia
seakan-akan tidak berkewajiban menghadap Ka’bah di dalam shalat. Dan zahir ayat
itu, membolehkan orang menghadap kearah mana saja dalam shalat, baik ketika bermukin
maupun tidak dalam berpergian. Akan tetapi setelah memahami Asbabun Nuzul ayat
di atas, ternyata tidak demikian. Orang yang di dalam shalatnya dibenarkan
menghadap arah mana saja, hanyalah orang yag tidak tahu arah kiblat dan
kemudian dia berijtihad.
2. Mengatasi keraguan terhadap ayat yang
diduga mengandung pengertian umum. Misalnya firman Allah SWT yang berbunyi:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا
مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ ۚ
Artinya :
Katakanlah: “Tidak kudapati di
dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu (berupa) bangkai, atau darah yang
mengalir, atau daging babi, karena semua itu kotor, atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. . . . “ (Al-An’am, ayat 145)
Menurut Imam al-Syafi’i, bahwa
pengertian yang dimaksud ayat ini tidaklah umum (hashr). Untuk mengatasi
kemungkinan adanya keraguan di dalam memahami ayat di atas, Imam Syafi’i
menggunakan “alat bantu” Sebab Nuzul” ayat. Ayat ini, seperti diturunkan
Al-Zarqaniy, menurut Syafi’i diturunkan sehubugan dengan orang-orang kafir yang
tidak mau memakan sesuatu yang telah mereka halalkan. Karena menjadi kebiasaan
orang-orang kafir, terutama Yahudi, mengharamkan apa saja yang dihalalkan Allah
SWT dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT. Maka turunlah ayat 145
Surah Al-An’am di atas untuk menetapkan pengharaman dan bukan untuk
menetapkan penghalalan makanan yang tidak disebut ayat tersebut.[13]
Mengetahui hikmah
diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam
menghadapi segala peristiwa, karena sayangnya kepada ummat.
3.
Mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi,
bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat
bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus dan bukannya lafal yang
umum, sebagai contoh dapat dikemukakan dalam firman Allah berikut:
لا تحسبن الذين يفرحون بما اتو ويحبون ان يحمدوا بما لم يفعلوا فلا تحسبنهم
بمفازة من العذاب ولهم عذاب اليم.
“ jangan sekali-kali kamu mengira
bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka
dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan , jangan sekali-kali kamu
mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang
pedih.” (Ali Imran/3: 188)
Diriwayatkan
bahwa Marwan berkata kepada penjaga pintunya : “ pergilah hai Rafi’ kepada Ibn
Abbas dan katakan kepadanya : sekiranya setiap orang diantara kita bergembira
dengan apa yang telah dikerjakan dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum
dikerjakannya itu akan disiksa, tentulah kita semua akan disiksa. “ Ibn
Abbas menjawab : “mengapa kamu
berpendapat demikian mengenai ayat ini? Ayat ini turun berkenaan dengan ahli
kitab. Kemudian ia membaca ayat : Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji
dari orang-orang yang telah diberi kitab (Ali ‘Imran/3:187).” Kata Ibn Abbas:
“Raslullah menanyakan kepada mereka tentang sesuatu , mereka meyembunyikannya,
lalu mengambil persoalan lain dan itu yang mereka tunjukkan kepadanya. Setelah
itu mereka pergi, dan menganggap bahwa mereka telah memberitahukan kepada
Rasulullah apa yang ditanyakannya kepada mereka. Dengan perbuatan ini mereka
ingin dipuji oleh Rasulullah dan mereka bergembira dengan apa yang telah mereka
kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang ditanyakan kepada mereka itu.
4.
Apabila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum dan terdapat dalil atas
pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai Asbabun Nuzul membatasi pengkhususan
itu hanya terdapat selain bentuk sebab.
5.
Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna al qur’am
dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat
ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya
6.
Asbabun Nuzul dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu diturunkan
sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan
permusuhan dan perselisihan.[14]
G. Kesimpulan
Pertama,
Asbāb an-Nuzūl secara etimologi terdiri dari kata asbāb dan an-nuzūl. Asbāb dapat
berarti كل شيئ يتوصل الى غيره (sesuatu yang
menyampaikan kepada sesuatu yang lain), sedang An-nuzūl
artinya نزلهم و نزل عليهم و نزل بهم قد و
الحلول (menempati dan menempati tempat mereka), Sedangkan secara
terminologi menurut Subhi As-Salih,
Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya
sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab
turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu
terjadinya suatu peristiwa.
Kedua,
Asbabun Nuzul terbagi menjadi dua, yaitu Asbabun Nuzul
mikro dan makro. Asbabun Nuzul mikro adalah Asbabun Nuzul yang sering
diketemukan dalam khazanah ilmu tafsir tradisional yang berkembang sejak abad 2
H. Ulama-ulama tafsir tradisonal memberikan batasan peristiwa dan pertanyaan
kasuistik yang melatarbelakangi turunnya ayat sebagai Asbabun Nuzul (yang
kemudian dikenal dengan Asbabun Nuzul mikro), sedangkan Asbabun Nuzul makro
yaitu bahwa Asbabun Nuzul bukan hanya berupa peristiwa dan pertanyaan yang
melatarbelakangi turunnya ayat tetapi
juga menyangkut kondisi sosio-historis yang melatarbelakngi turunnya
ayat.
Ketiga,
Menurut Al Ja’bari Al qur’an diturunkan dalam dua
kategori yaitu turunnya diawali oleh suatu sebab (apabila terjadi suatu
peristiwa dan apabila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal) dan Ayat-ayat
yang turunnya tidak awali oleh sebab.
Keempat,
Ayat-ayat Al-Quran diturunkan secara
berangsur-angsur karena Al-Quran dirinci untuk dibacakan kepada
manusia dengan sabar. Al-Quran mengandung berbagai macam perumpamaan yang
disajikan secara berangsur-angsur. Maka, dengan maksud untuk meneguhkan hati
manusia, Al-Quran pun harus dibacakan berangsur-angsur, dan ayat-ayat pun
diturunkan secara berangsur-angsur pula.
Kelima, hikmah
mempelajari Asbabun Nuzul adalah :
a) Membantu di dalam memahami, sekaligus
mengatasi ketidakpastian di dalam menangkap ayat-ayat Al-Quran
b) Mengatasi keraguan terhadap ayat yang
diduga mengandung pengertian umum. Misalnya firman Allah SWT yang berbunyi:
c) Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan
perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa
d) Mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan
sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum
e) Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami
makna al qur’an
f) Asbabun Nuzul dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat
itu diturunkan.
Daftar
Pustaka
Marzuki, Kamaluddin. (1994). Ulum
Al-Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Yusuf, Kadar M.. (2009). Studi Al
Quran. Jakarta: AMZAH
Ash Shiddieqy, T.M.H. (2002). Ilmu-ilmu
Al Qur-an. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Zaid, Nasr Hamid Abu. (2003). Tekstualitas
Al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS
Mimbar, Saubari M.. (2006). Rangkuman
Firman Allah. Malang: Departemen Pendidikan Nasional Universitas Brawijaya
Al-Qattan, Manna’ Khalil. (2015). Studi
Ilmu-ilmu Quran Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Thabathaba’I, S.M.H. (2000). Memahami
Essensi Al-Quran. Jakarta: Lentera
Thalhas, T.H. (2008). Fokus Isi &
Makna Al-Quran, Jakarta: Galura Pase
Bakri, Syamsul. (2016). “Asbabun Nuzul: Dialog
Antara Teks dan Realitas Kesejarahan”. At-Tibyan.
1. 1-18
Zaini, Ahmad. (2014). “Asbab An-Nuzul
dan Urgensinya dalam Memahami Makna Al-Qur’an”. Hermeneutik. 8. 1-20
Alifuddin, Muhammad. (2012). “Asbabun
Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami Makna Qur’an”. Shautut Tarbiyah : Ilmu-ilmu
Sosial dan Keislaman. 26. 115-123.
Catatan:
1. Makalah ini belum sesuai dengan format artikel yang
menjadi acuan.
2. Perujukan masih sangat minimalis, perlu ditambahi.
3. Penulisan footnote dan daftar pustaka masih salah.
4. Menulis bukan hanya memindah data. Jangan karena
diperbolehkan mengambil referensi dari jurnal ilmiah yang online kemudian
langsung copy-paste. Seharusnya tulisan dalam jurnal tersebut diparafrase.
5. Sistematika makalah ini masih belum baik. Perlu
pembenahan dari aspek sistematika agar pembaca dalam memahami dengan baik.
[1] Ahmad Zaini, 2014, “Asbab An-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami
Makna Al-Qur’an”, Hermeneutik, Vol 8, 2014, 4
[2] Ahmad Zaini, 2014, “Asbab An-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami
Makna Al-Qur’an”, Hermeneutik, Vol 8, 2014, 4-5
[3] T.H. Thalhas, Fokus Isi & Makna Al-Quran, Jalan Pintas Memahami
Substansi Global Al-Qur’an, (Jakarta: Galura Pase, 2008), hlm. 39
[4] Syamsul Bakri, 2016, “Asbabun Nuzul:
Dialog Antara Teks dan Realitas
Kesejarahan”, At-Tibyan, Vol. 1 No. 1, Januari 2016, hlm. 3
[5] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran, (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2015), hlm. 105
[6] Ahmad Zaini, 2014, “Asbab An-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami
Makna Al-Qur’an”, Hermeneutik, Vol 8, 2014, 5-6
[7] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran, (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2015), hlm. 105
[8] Ahmad Zaini, 2014, “Asbab An-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami
Makna Al-Qur’an”, Hermeneutik, Vol 8, 2014, 5-7
[9] Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’I, Memahami Essensi Al-Quran,
(Jakarta: Lentera, 2000), hlm. 134
[10] Saubari M. Mimbar, Rangkuman Firman Allah, (Malang: Departemen
Pendidikan Nasional Universitas Brawijaya, 2006), Hal 115-116
[11] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran, (Yogyakarta: LKiS, 2003),
hlm. 116-118
[12] Kadar M. Yusuf, Study Al-Quran, (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 19-20]
[13] Kamaluddin Marzuki, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1994), hlm. 32-34
[14]Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran, (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2015), hlm. 108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar