MACAM-MACAM TAFSIR
Lina Alfiatur Rochmania dan Burhana Alfikri
PAI D
Semester III
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang
e-mail: lyna.9key@gmail.com
Abstract: Al-Qur’an is the guidance
that given by Allah to human. Therefore, we must study and understand contents inside
al-Qur’an. Interpretation starting from the time of the prophet, friends, tabi'in,
and until the current generation. This article attempt to explain the various
interpretations that become a reference, namely the interpretation bil ma’tsur
and bir ra’yi. The tafsir bil ma’tsur an interpretation based on the
interpretation of the prophet, friends and tabi'in while tafsir bir ra'yi
interpretation based on the ratio of interpreter.
Keywords: Based on, Interpretation,
Ratio
Pendahuluan
Memahami Kitabullah dengan
pemahaman yang benar adalah tujuan setiap insan muslim. Yang membantu untuk
memahami al-Qur’an dengan benar adalah menafsirkannya dengan baik, yang dapat
menjelaskan tujuan-tujuan dan makna, menyingkap tirai-tirai yang menutupi
rahasianya serta membuka pintu-pintu akal dan hati.
Dalam rangka bagaimana pemahaman terhadap al-Qur’an
menjadi mudah ulama-ulama tafsir kemudian mencoba menafsirkan ayat demi ayat
dalam al-Qur’an dengan metode yang berbeda-beda. Perbedaan latar belakang
mufassir terutama di bidang pendidikan memiliki peran yang sangat dominan
terhadap hasil penafsiran seorang ahli tafsir. Sehingga tafsir al-Qur’an
memiliki corak yang khas sesuai dengan spesifikasi keilmuan mufassir. Dengan
demikian sangat perlu dilakukan pengkajian macam-macam tafsir yang telah
dilakukan sejak jaman Rasulullah SAW sehingga kita dapat selangkah lebih dekat
dengan kebenaran dan tidak jatuh dalam kesesatan.
Mengenal Tafsir
1.
Makna tafsir
Secara harfiah (etimologis), tafsir berarti
menerangkan (al-tibyan), menampakkan (al-izhhar), menyibak (al-kasyf),
dan merinci (at-tafshil). Kata tafsir sendiri diambil dari kata al-fasr
yang berarti al-ibanah dan al-kasyf yang
keduanya berarti membuka (sesuatu) yang tertutup.[1]
Ada juga yang mengatakan bahwa kata tafsir diambil dari kata tafsirah, yaitu :
perkakas yang dipergunakan tabib untuk mengetahui penyakit orang sakit.
Sedangkan secara istilah disebutkan oleh Az Zarkasyy dalam Al Burhan
adalah menerangkan makna-makna al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan
hikmah-hikmahnya. Sebagian ulama juga memberikan definisi yang hampir sama, “Ia
adalah ilmu yang membahas tentang redaksi-redaksi al-Qur’an dengan
memperhatikan pengertian-pengertiannya untuk mencapai pengetahuan tentang apa
yang dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai dengan kadar kemampuan manusia.”[2]
Tentunya dalam definisi ini ada batasan
‘sesuai kadar kemampuan manusia’ yang harus diperhatikan meskipun tidak
diucapkan terutama yang berkaitan dengan kalam Allah SWT.
2. Sejarah singkat
perkembangan tafsir
Sebagian ahli tafsir, secara global membagi
periodesasi penafsiran al-Qur’an ke dalam tiga fase yaitu: periode mutaqaddimin
(abad 1-4 Hijriyah), periode mutaakhhirin (abad ke-4-12 Hijriyah), dan periode
baru (abad ke-12-sekarang).[3]
Penafsiran al-Qur’an yang dilakukan sejak
Nabi Muhammad SAW (571-632 M) dan masih tetap berlangsung hingga sekarang
bahkan di masa-masa mendatang, sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat
panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan
ilmu-ilmu al-Qur’an khususnya tafsir.
Pada
periode mutaqaddimin mereka belum menaruh perhatian kepada segi nahwu
dan dan i’rab, dan mereka pun belum mengadakan kajian terhadap suatu lafadz al-Qur’an,
susunan-susunan kalimat majaz, ithnab, I’jaz, taqdim dan ta’khir, washal dan
qatha’, serta nida’ dan istisna.
Syekh
Hasan Husein dalam suatu pendapatnya tentang sejarah ilmu tafsir berkata: “Para
sahabat dan tabi’in tidak menaruh perhatian kepada ilmu tafsir, majaz dan
I’rab, pada masa pembukuan tafsir, bahkan metode para ahli hadits dalam
meriwayatkan makna-makna al-Qur’an. Kondisi demikian berubah pada masa
berikutnya (mutaakhirin) disebabkan semakin bertambah meluasnya dzauq
(rasa kebahasaan)”.
Tafsir bil Ma’tsur
Kata al-ma’tsur adalah isim maf’ul
(obyek) dari kata atsara
- yatsiru/yasturu
- astran yang secara etimologis berarti menyebutkan
atau mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati (akrama).
Al-atsar juga berarti sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh dan kesan. Jadi,
kata-kata al-ma’tsur, al-naql/al-manqul dan al-riwayah pada hakikatnya
mengacu pada makna yang sama yaitu mengikuti sesuatu yang sudah ada dari orang
lain atau masa lalu.[4]
Sejalan dengan pengertian harfiah tafsir bil
ma’tsur atau juga sering disebut tafsir riwayah merupakan penafsirkan Rasulullah
dan para sahabat, karena para sahabatlah yang lebih faham maksud kandungan al-Qur’an.[5]
Selain itu, mereka pula yang mendengar langsung penjelasan dari Rasulullah SAW
dan merupakan saksi atas turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Sahabat yang paling ahli
dalam bidang ini adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Abdullah bin Masud. Ada pula yang mengatakan
bahwa tafsir bil ma’tsur adalah gabungan dari tiga sumber, yakni: penafsiran
Nabi Muhammad SAW, penafsiran para sahabat, dan para tabi’in. Ada perselisihan
pendapat diantara para mufassir: apakah riwayat dari tabi’in mendekati tafsir
bil ma’tsur atau tafsir penalaran.[6]
Dari berbagai pendapat, mayoritas mengatakan: bahwa tafsir yang diriwayatkan
oleh Tabi’in termasuk ke dalam tafsir bil ma’tsur, karena mereka hidup dan
bergaul dengan Sahabat Nabi. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa tafsir bil
ma’tsur sangat pantas dijadikan rujukan dan pedoman dalam memahami al-Qur’an
karena merupakan jalan pengetahuan yang benar, serta merupakan cara paling aman
untuk menjaga diri dari kesesatan dalam memahami Kitabullah.
Kronologi tafsir bil ma’tsur ada dua periode,
riwayat dan pembukuan. Dalam periode riwayat dimulai dari masa Rasulullah SAW
yang menerangkan ayat-ayat yang sulit dipahami kepada para sahabat. Kemudian
para sahabat menafsirkan al-Qur’an dari
ketetapan yang telah diberikan Rasulullah SAW atau dari pendapat dan ijtihadnya
sendiri. [7]Selanjutnya
para tabi’in yang mencurahkan perhatiannya kepada tafsir, mengumpulkan
tafsiran-tafsiran dari Rasulullah SAW, sahabat-sahabat Rasul, kemudian mereka
menambahkan penafsirannya dengan kemampuan nalar dan ijtihadnya. Akhirnya
datang kemudian generasi setelah tabi’in yang melakukan penafsiran sebagaimana
pendahulunya sampai berkelanjutan kepada generasi yang lain.
Periode kedua adalah periode pembukuan,
dimana ketika itu kitab tafsir bil ma’tsur masih bercampur dengan hadits-hadits
Rasulullah SAW, hal ini dilakukan oleh Imam Malik bin Anas al Asbahi. Kemudian
setelah itu tafsir telah terpisah dengan hadits.
1.
Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an ada yang
dalam bentuk menafsirkan bagian atau tepatnya kosa kata tertentu ayat al-Qur’an
dengan bagian ayat al-Qur’an yang lain dalam ayat dan surat yang sama; ada yang
dalam bentuk menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam surat yang
sama, dan ada pula dalam surat yang berbeda. Ungkapan yang paling bagus tentang
tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah apa yang diungkapkan oleh Imam
Muhammad bin Ibrahim al Yamani yang terkenal dengan Ibnul Wazir-dalam karyanya:
Liitsar al-Haq ‘ala al-Khalq. [8]Ia
berkata,
“Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah
diulangnya penyebutan suatu hal, dan dalam satu ayat diungkapkan dengan lebih
jelas dan terperinci dari ayat yang lain. Penafsiran semacam ini telah
dikumpulkan dalam satu kitab tafsir tersendiri, seperti dikatakan oleh Syekh
Taqiyuddin atau Ibnu Daqiqul Aid dalam Syarh al-Umdah ”
Diantara
contoh tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an seperti firman Allah SWT, QS Al Hajj
ayat 30 yang berbunyi:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ
لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الأنْعَامُ إِلا مَا يُتْلَى
عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ
الزُّورِ.
Artinya:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang
terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya. Dan
telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan
kepadamu kaharamannya, maka jauhilah olehmu barhala-berhala yang najis itu
dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta.” (Al
Hajj:30)[9]
Kata: إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ ditafsirkan dengan ayat
lain, yakni QS Al Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا
ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ
وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ
غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agamamu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat
dosa,sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Maidah:3)[10]
2.
Penafsiran al-Qur’an dengan sunnah yang sahih
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Muqaddimah
fi Ushulut Tafsir, “Cara penafsiran yang paling sahih adalah al-Qur’an
menafsirkan al-Qur’an. Apa yang disebut secara ijmal (global) pada suatu tempat
diperinci pada tempat lain, dan apa yang disebut secara simpel pada suatu
tempat dijelaskan pada tempat lain. Jika engkau tidak menemukan tempat itu,
maka engkau mengambil sunnah, karena ia adalah penjelas al-Qur’an. Bahkan, Imam
Syafi’I berkata bahwa seluruh apa yang dihukumkan oleh Rasulullah SAW adalah
dari apa yang beliau dapatkan dari al-Qur’an.”
Imam az-Zarkasyi berkata dalam karyanya al-Burhan,
“Namun harus hati-hati dalam melakukan itu, dari hadits yang dhaif dan maudhu’,
karena yang seperti itu banyak.” [11]
Contoh tafsir al-Qur’an dengan sunnah yang
sahih diantaranya:
Allah SWT berfirman:
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟
Artinya:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (Al-Hasyr:7)[12]
Yakni apa pun yang dilarang olehnya, maka
tinggalkanlah. Karena sesungguhnya yang diperintahkan oleh Rasul itu hanyalah
kebaikan belaka, dan sesungguhnya yang dilarang olehnya hanyalah keburukan
belaka.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan
hadits ini melalui Sufyan As-Sauri, di dalam kitab Sahihain telah
disebutkan pula melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
اِذَاأَمَرْتُكُمْ
بِأَمْرٍ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَ مَا نَهَيْتُكُم عَنْهُ
فَاجْتَنِبُوهْ.
“Apabila aku perintahkan kalian dengan
sesuatu, maka kerjakanlah ia menurut kemampuan kalian; dan apa yang aku larang
kalian mengerjakannya, makatinggalkanlah ia”
Imam Nasai mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad Ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah
menceritakan kepada kami Mansur Ibnu Hayyan, dari Sa’id Ibnu Jubair, dari Umar
Ibnu Abbas, bahwa keduanya menyaksikan Rasulullah SAW melarang minuman perasan
yang dibuat dari duba, hantam, naqir dan muzaffat. Kemudian Rasulullah
SAW membaca firman-Nya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (Al-Hasyr:7)[13]
3.
Tafsir Sahabat dan Tabi’in
Imam Ibnu Taimiyah berkata bahwa jika engkau
tidak menemukan tafsir suatu ayat dalam al-Qur’an dan tidak juga di dalam
sunnah, maka engkau harus mencarinya dalam perkataan para sahabat. Karena
mereka adalah orang yang paling mengetahui hal itu, disebabkan mereka melihat qarain
(indikator) dan situasi yang terjadi saat al-Qur’an itu turun yang hanya
mereka mengetahuinya, juga karena mereka mempunyai pemahaman yang sempurna dan
ilmu yang benar, terutama para ulama dan tokoh mereka, seperti imam yang empat:
al-Khulafa ar-Rasyidin, imam yang mendapatkan hidayah, dan Abdullah bin Mas’ud,
yang berkata, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya; tidak ada suatu ayat
al-Qur’an yang turun, kecuali aku mengetahui di mana diturunkan, dan tentang
apa ia diturunkan.”
Ibnu Mas’ud berkata bahwa penafsir al-Qur’an
yang paling ulung adalah Ibnu Abbas. Menurut riwayat yang sahih, Ibnu Mas’ud
wafat pada tahun 33 H, dan Ibnu Abbas masih hidup selama 36 tahun lagi
setelahnya, maka betapa banyak ilmu yang ia dapatkan lagi setelah Ibnu Mas’ud
itu?[14]
Kemudian Ibnu Taimiyah menambahkan, “ Jika
engkau tidak menemukan tafsir suatu ayat al-Qur’an di dalam al-Qur’an dan
Sunnah, dan tidak engkau dapat juga dari sahabat, maka banyak imam yang kembali
kepada pendapat tabi’in. seperti Mujahid bin Jabar, Qartadah, Sa’id bin Jubair,
Ikrimah, Ibnu Abbas, Atha, Hasan al-Bashri, Masruq, Ibnu Musayab, Abi al-Aliah,
Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya.”
Penting untuk diperhatikan, banyak pendapat
sahabat dan tabi’in dalam tafsir al-Qur’an bukan suatu penentuan yang pasti
tentang makna yang dimaksud dari suatu lafal, bahkan sekadar perumpamaan,
seperti diingatkan tentang hal itu oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama
lainnya.[15]
Hal itu sebagaimana pendapat mereka bahwa,
“jalan yang lurus” (al-Fatihah:6) adalah Islam, al-Qur’an, atau Sunnah, atau
sunnah Khulafa ar-Rasyidin atau sunnah Abu Bakar dan Umar atau jalan ubudiyah,
atau ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Semua pendapat itu tidak
bertentangan, dan seluruhnya menggambarkan tentang sirathal mustaqim dari satu
segi.[16]
4.
Macam-macam kitab tafsir bil ma’tsur
Diantara kitab-kitab tafsir bil ma’tsur
adalah sebagai berikut:
a. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, karangan Ibnu Jarir al-Thobari. Tafsir ini
adalah rujukan utama para ilmuwan yang pembahasannya didasarkan atas
riwayat-riwayat dari Rasulullah SAW, para sahabat, dan tabi’in.
b. Ma’alimut tanzil, karya Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud bin
Muhammad al Farra’ Al-Baghawi.
c. Bahru al-Ulum, karangan Abi Laits as-Samarqandi.
Al muharrir al-Wajiz fi
Tafsir Al Kitab Al ‘Aziz, karya Abdul Haqq bin Ghalib bin Abdi Rahman bin
Ghalib bin Abdi Rauf bin Tamam bin Abdillah bin Tamam bin Athiyyah al-Andalusi
al-Gharnathi. Kitab tafsir ini lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Ibnu
‘Athiyyah dan memiliki posisi tinggi diantara
kitab-kitab tafsir, menurut jumhur ulama. [17]
d. Tafsirul Qur’anil Adzim, karangan Al Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr
bin Katsir al-Quraisyi ad-Dimasyqi. Kitab ini merupakan tafsir paling terkenal
diantara sekian banyak kitab tafsir bil ma’tsur yang pernah ditulis, dan
menduduki peringkat kedua setelah tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari.
e. Ad-Dur al-Mantsur fi Tafsir
al-Ma’tsur, karangan Jalaluddin
al-Suyuthi.
Tafsir Bir Ra’yi
Maksud
dari Ra’yi adalah rasio serta antonim
dari nash dan riwayat. Oleh karena itu, Tafsir Bir Ra’yi dinamakan dengan
tafsir bid dirayah (dengan rasio). Makna Ar Ra’yi adalah ijtihad dan olah pikir
serta penelitian dalam memahami al-Qur’an dalam bataspengetahuan tentang bahasa
arab, serta dalam kerangka kewajiban yang memang harus dipenuhi oleh penafsir al-Qur’an
mulai dari perangkat keilmuan dan akhlak.
Al
Baihaqi meriwayatkan dalam as sya’ah dari Imam Malik, beliau berkata bahwa jika
ada orang yang tidak mengetahui ilmu bahasa Arab, kemudian ia menafsirkan kitab
Allah maka datanglah ia kepadaku, niscaya akan aku hajar dia.
Beberapa ulama’ menyaratkan bagi penafsir
untuk memiliki sejumlah ilmu yang harus dikuasai, diantaranya adalah bahasa
arab yang meliputi nahwu, sharaf, isytuiqaq, lughah, balaghah, qira’at,
ushuluddin, ushul fiqih, asbabun nuzul, nasikh, mansukh. Kemudian juga harus
menguasai hadits hadits penjelas ayat al-Qur’an, fikih, serta ilmu pemberian
dari Allah.
Selain syarat tersebut, para ulama’ juga
menyaratkan adanya kebersihan hati dari penyakit kibr, hawa nafsu, bid’ah,
cinta dunia, dan senang melakukan dosa. Para penafsir al-Qur’an berbeda beda
tingkatan mereka satu sama lain, dalam hal sejauh mana mereka diberikan
pemahaman.
Tafsir Al-Qur’an dengan Ra’yu bisa berupa
seseorang menafsirkan suatu ayat sesuai dengan madzhab yang ia yakini. Seperti
yang dilakukan ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu). Ia mengatakan, maksud ayat ini
adalah begini dan ayat itu adalah begitu, sesuai dengan madzhabnya. Pemikiran,
keyakinan, dan madzhab-madzhab itulah
yang membuat orang yang menafsirkan al-Qur’an atau berdalil dengannya, mencekik
ayat itu dan menyeretnya untuk mendukung pemikiran dan keyakinannya.
Dengan demikian al-Qur’an menjadi pengikut
bukan yang diikuti, dihukumi bukan menjadi hakim, serta menjadi cabang bukan
menjadi pokok. Ra’yu seperti itu tidak diperkenankan dalam menafsirkan al-Quran.
Bisa pula seseorang tak memiliki pengetahuan
tentang bahasa, tidak pula secara syar’i lalu menafsirkan ayat al-Quran, maka
ia sungguh telah memberikan penafsiran tanpa landasan ilmu yang menjadikan ia
bedosa. Penafsiran seperti itu termasuk perbuatan haram, karena orang yang
menafsirkan al-Quran berarti menyatakan bahwa Allah bermaksud demikian dan
demikian. Ini perkara berat, karena Allah mengharamkan atas kita untuk berkata
atas nama Allah dengan sesuatu yang tidak kita ketahui.
Allah berfirnan di dalam al-Qur’an surat al-A’raf
ayat 33 yang artinya; “Katakanlah, Rabbku hanya mengharamkan perbuatan keji,
baik yang nampak, maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak tanpa
alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak menurnkan
hujah untuk itu, serta mengucapkan atas nama Allah apa yang tidak kamu
ketahui.”
Maka siapapun yang menyatakan sesuatu atas
nama Allah tanpa didasari pengetahuan tentang makna firman-Nya atas nama
sebagian hukum-hukum-Nya, maka ia telah bersalah dengan kesalahan yang besar.
Orang yang berpendapat tentang al-Qur’an
sekadar dengan rasio, maka ia adalah orang yang salah, meskipun ia benar.
Karena ia melakukan sesuatu yang tidak diketahui sama sekalii, dan mejalankan
sesuatu yang tidak diperintahkan kepadanya. Maka jika pun ia tepat dalam
memahami makna pada saat itu, namun pada saat itu ia tetap salah, karena ia
melakukan sesuatu tidak sebagaimana seharusnya. Hal ini seperti orang yang
memutuskan perkara diantara manusia dengan tidak dibekali ilmu pengetahan, maka
ia akan masuk neraka.
Dalil yang mencegah dan melarang tafsir bir
ra’yi adalah hadits Ibnu Abbas secara marfu’ yang artinya ;”....dan barang
siapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri,
maka bersiaplah untuk menempati tempat di neraka.”
Hadits Jundud secara marfu’, yang artinya: “Barang
siapa mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, kemudian
ia tepat, ia tetap telah membuat kesalahan.”
Diriwayatkan dari Abu Bakar, Beliau berkata,
“Bagian bumi mana yang akan menahanku, dan langit mana yang akan menaungiku,
jika aku mengatakan tentang kitab Allah apa yang aku tidak ketahui ?”
Diantara contoh tafsir bir ra’yi yakni:
وَفَا كِهَةً وَ
اَبٌاً
Artinya : “Dan buah-buahan serta
ruput-rumputan (Abasa[80] : 31)[18]
Kalau ada orang ditanya apa makna firman-Nya
: wa fakihatan wa abban, maka ia memahami secara rancu dengan menyangka
kata abban sama dengan abbun yang berarti ayah. Dalam hal ini
telah menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya ditambahkan dengan kebodohannyta,
karena ia mendengar orang-orang menyebut abbun dengan nmemberi tekanan
pada huruf ba’, maka ia menganggap firmanNya: wa fakihatan wa abban,
maksudnya “buah-buahan dan ayah.” Berarti di sini ia menafsirkan Al-Qur’an
dengan ra’yunya semata[19].
Macam Macam Tafsir Bir Ra’yi
Tafsir Bir Ra’yi dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Tafsir Bir
Ra’yi al Mahmud
Tafsir
Bir Ra’yi merupakan metode penafsiran dari al-Qur’an dengan cara ijtihad yang
disandarkan kepada ilmuilmu ushul, baik dari ilmu lughoh atau ilmu syar’i dan
juga ulumul Qur’an.
Diantara kitab kitab bir ra’yi al mahmud adalah :
a. Mafatihul Ghaib, karya Muhammad Bin
Umar Bin Husain ibnu Al Hasan bin Ali At Tamimi Al Tabaristani Ar Razi
(Fakhruddin Ar Razi), masyhur dengan sebutan ibnu Khatib Asy syafi’i.
b. Al Jami’ Liahkami Qur’an karya
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh
Al Anshari Al Khazrani Al Andulisy.
c. Madarikut Tanzil wa Haqa’iqut Ta’wil, karya syeikh Al Alim Az Zahid
Abdullah bin Ahmad An Nasafi. Tafsir ini biasa dikenal dengan tafsir An Nasafi
(dinisbahkan pada penulisnya).
d. Tafsir al-Jalalain, karya dua ulama besar, yaitu Jalaluddin Muhammad
bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Asy-Syafi’I
Al Mahalli.[20]
2. Tafsir bir
ra’yi mazhmum
Tafsir bir ra’yi mazhmum adalah penafsiran al-Qur’an
tanpa berdasarkan ilmu atau mengikuti hawa nafsu dan kehendak pribadi tanpa
didasarkan dengan kaidah kaidah kaidah bahasa atau ulumul Qur’an, atau
menafsirkan ayat berdasarkan madzhab yang rusak ataupun bid’ah yang tersesat
seperti syi’ah, mu’tazilah, khawarij, dan lain lain.
Hukum tafsir ini adalah haram sesuai dengan
firman Allah Swt, “ dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu
ketahui, tidak mempunyai pengetahuan tentangnya (Qs Al Isra’ [17];36)
Diantara kitab kitab Bir Ra’yii Mazhmumah:
a. Tanjihul Qur’an ‘Ani Matha’in,
karya Abu Hasan Abdul Jabar bin Ahmad bin Khalil Al Hamdani Asy syafi’i. Beliau
adalah kalangan terkenal dari ulama’ mu’tazilah
b. Mir’atul Anwar wa Misykatul Ashrar,
karya Maula Abdul Latif Al Kazarani
c. Tafsir Gharibul Qur’an, karya Imam
Zayid Bin Ali.
d. Himyanul Zad Ila Daril Ma’ad karya
Muhammad bin Yusuf bin Isa bin shalah Iyhfisy Al Wahabi.
Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai macam-macam tafsir,
kita mengetahui bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an ada dua macam, yakni tafsir
bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi. Tafsir bil ma’tsur yang tidak lain adalah
tafsir yang berdasarkan riwayat Rasul, sahabat, dan tabi’in terdiri dari:
tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, tafsir al-Qur’an dengan Sunnah yang sahih,
dan tafsir sahabat dan tabi’in. sedangkan tafsir bir ra’yi yang berlandaskan
pada rasio terdiri dari Tafsir bir ra’yi al-mahmud dan Tafsir bir ra’yi
mazhmum. Tafsir bir ra’yi al-mahmud diperbolehkan karena penafsirannya berasal
dari Al-Qur’an dengan cara ijtihad, sedangkan tafsir bir ra’yi mazhmum tidak
diperbolehkan karena berdasarkan pada kehendak pribadi dan tanpa kaidah.
Daftar
Rujukan
Al Munawar, Said Agil.. 2003. Al-Qur’an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press.
Nizhan, Abu. 2008. Buku Pintar Al-Qur’an. Jakarta:
Qultum Media.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1999. Berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Jakarta: Gema Insani.
As-Shiddieqy, Hasbi. 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir.
Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Suma, Muhammad Amin. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Taimiyah, Ibnu. 2002. Pengantar Memahami Tafsir Al-Qur’an. Solo: Al Qowam.
Catatan Revisi:
1.
Tidak ditemukan indikasi adanya copy-paste.
2. Perbaiki
keywords dalam makalah Anda.
3. Penulisan
footnote perlu disertai keterangan buku (kota terbit: penerbit, tahun terbit).
4. Pelajari
cara penulisan footnote.
5. Berikan
contoh tafsir dari sahabat dan tabi’in secara jelas.
6. Sejarah
kemunculan tafsir bil ra’yi belum dipaparkan.
7. Pengutipan
dari internet adalah hal yang dilarang.
8.
Berikan contoh tafsir bil
ra’yi yang mahmudah.
Selamat mengerjakan revisi!!!!!
[1] Muhammad Amin Suma, Studi
Ilmu-ilmu al-Qur’an, hlm. 15.
[2] Yusuf Al-Qaradhawi, Berinteraksi
dengan al-Qur’ani, hlm. 284.
[3] Departemen Agama RI,
Al-Qr’an dan Terjemahnya, bagian Muqaddimah, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
Suci al-Qur’an, 1984/1085, hlm. 28.
[4] Muhammad Amin Suma, Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, hlm. 47-48.
[5] Abu Nizhan, Buku
Pintar Al-Qur’an, hlm. 44.
[6] Said Agil Husin Al
Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, hlm. 77.
[7] Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, hlm. 78.
[8] Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi
dengan al-Qur’an, hlm. 319.
[9] Al-Qur’an (22:30)
[10] Al-Qur’an (5:3)
[11] Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi
dengan al-Qur’an, hlm. 324.
[12] Al-Qur’an (59:7)
[13] Tafsir Ibnu Katsir
jilid 8, hlm. 108.
[14] Ushul Tafsir,
Ibnu Taimiyah, hlm. 95-97.
[15] Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi
dengan al-Qur’an, hlm. 332.
[16] Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi
dengan al-Qur’an, hlm. 333.
[17] Abu Nizhan, Buku
Pintar al-Qur’an, hlm. 45.
[18] Al-Qur’an (80:31)
[19] Syaikhl Islam Ibn
Taimiyah, Pengantar Memahami Tafsir Al-Qir’an, hlm 273
[20] Abu Nizhan, Buku
Pintar Al-Qur’an, hlm. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar