QAWA’ID KHAMSAH
Dinda Ni’amul Izzati dan Fian Tri Purnomo
PAI E UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: izzati.dinda@yahoo.co.id
Abstract
The
principles of Fiqhiyyah the results or conclusions of law detailed fiqh
(juz'iyyah)
and fragmentary as the end result of their
diligence, then the parts separate, tied into a single bond or principles.
The principles set up the scholars' basically originate and have its main office to the five basic principles. These five basic principles that has led to a variety of principles that are branches. Most scholars refer to the five basic principles that the term al qawa'id al-khams (principles were five).
The fifth principle is very famous in the prop al-Syafi'i schools in particular and among other schools in Islam generally, though not always the same order.
The fifth principle is:
1. Everything that depends
on its
purpose
الأُمُوْرُبِمِقَا صِدِهَا
2. Confidence cannot be eliminated with trepidation
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
3. The difficulty was interesting at ease
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
4. The danger it must be eliminated
الضَرَرُيُزَالُ
5. Habits can be used as a law
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
Keywords: Qawa’id Fiqhiyyah
and Qawa’id Khamsah.
PENDAHULUAN
Sebagai
umat islam, kita harus mengetahui dasar-dasar hukum, prinsip-prinsip serta
kaidah-kaidah yang benar,dalam menyikapi berbagai masalah. Dalam pembahasan fiqh,terdapat
bermacam-macam kaidah. Adapun kaidah-kaidah yang dibentuk para ulama’ pada dasarnya
berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah
yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama’ menyebut
kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al qawa’id al-khams (kaidah-kaidah
yang lima).
PEMBAHASAN
Definisi Qawa’id
Fiqhiyyah
Qawa’id
adalah jama’ dari kata qa’idah yang menurut bahasa berarti al-Asas artinya
dasar, maksudnya dasar atau fondasi dari berdirinya sesuatu atau pokok suatu
perkara. Maka Qawa’id Fiqhiyyah merupakan hasil atau kesimpulan dari
hukum-hukum fiqh yang terperinci (juz’iyyah) dan terpisah-pisah sebagai
hasil akhir dari ijtihad mereka, lalu bagian-bagian yang terpisah-pisah tersebut
diikat menjadi satu ikatan atau kaidah, sehingga hubungan antara qawa’ih
fiqhiyyah dengan fiqh dalam hukum islam, dapat disejajarkan antara shorof
dengan aplikatif dari suatu percakapan dalam susunan bahasa arab.[1]
T.M.Hasbi
ash-shiddiieqy memberikan pengertian kaidah kulliyah fiqhiyyah dengan “Kaidah-kaidah
kulliyah itu tiada lain daripada prinsip-prinsip umum yang melengkapi
kebanyakan juz’iyyah-nya”.”Kaidah fiqhiyyah itu mencakup rahasia-rahasia
syara’ dan hikmah-hikmahnya yang dengannya seluruh furu’ dapat diikat, dan
dapat diketahui hukum-hukumnya serta dapat diselami maksudnya. Jadi,
kaidah-kaidah fiqh itu mengklasifikasikan masalah-masalah furu’ (fiqh) menjadi
beberapa kelompok dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan-kumpulan dari
masalah-masalah yang serupa.[2]
Pengertian
kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain seperti dalam ilmu
nahwu/grammer bahasa arab seperti maf’ul itu manshub dan fa’il itu marfu’. Dari
sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli
(menyeluruh,general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya. Dengan demikian
maka al-Qawaidh al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih) secara etimologis adalah
dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau
jenis-jenis fikih. Para ulama’ memang berbeda dalam mendefinisikan kaidah fiqih
secara istilah. Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitnya. Akan tetapi
substansinya tetap sama sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan
kaidah dengan[3]:
مجموعة الأحكام المتشبهات التي ترجع إلى قياس واحد
يجمعها
“Kumpulan
hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang
mengumpulkannya.”
Sedangkan AL-Jurjani
mendefinisikan kaidah fikih dengan:
قضية كلية منطبقة علي جميع جزءياتها
"Ketetapan yang kulli (menyeluruh,general) yang
mencakup seluruh bagian-bagiannya “
Imam Tajjudin al-subki
(w.771H) mendefinisikan kaidah dengan:
الأمرالكلي الذي ينطبق عليه جزءيات كثيرة يفهم أحكامها
منها
"Kaidah adalah sesuatu
yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa
dipahami hukum bagiantersebut dengan kaidah tadi”
Bahkan Ibnu Abidin
(w.1252 H) dalam muqaddimah-nya dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab al-asybah
wa al-nadzair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah:
معرفة القواعد التي ترد إليها و فرعوا الأحكام عليها
“Sesuatu
yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”
Sedangkan menurut Imam
al-Suyuti di dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan
kaidah dengan,
حكم كلي ينطبق على جزءياته
“Hukum
kulli (menyeluruh,general) yang meliputi bagian-bagiannya.”
Dari definisi-definisi
tersebut diatas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi
bagian-bagianya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya
(bagian-bagiannya).
Objek dalam bahasan kaidah-kaidah fiqih itu adalah perbuatan
mukallaf sendiri dan materi fikih itu sendiri yang dikeluarkan dari
kaidah-kaidah fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan nash-nya
secara khusus didalam Al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’ (konsesus para
ulama’).
Keutamaan
orang yang ingin tafaqqah (mengetahui, meneladani menguasai) ilmu fiqih
akan mencapainya dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih, oleh karena itu ulama
berkata:
من راعى الأصول كان
حقيقا بالوصول ومن راعى القواعد كان خليقا بإدراك المقاصد
"Barangsiapa mengetahui ushul fiqih tentu dian akan
sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa yang mnguasai kaidah-kaidah fikih
pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya.”
Kaidah fikih adalah bagian dari ilmu fikih. Ia memiliki
hubungan erat dengan Al-Qur’an, Al-Hdits, Akidah dan Akhlaq. Sebab, kaidah-kaidah
yang sudah mapan, sudah dikritisi oleh ulama’ dan diuji serta diukur dengan
banyak ayat dan hadits nabi, terutama tentang kesesuainnya dan
substansinya.apabila kaidah fikih tadi bertentangan dengan banyak ayat
Al-Qur’an atau Al-Hadits yang bersifat dalil kulli (general) maka dia tidak
akan menjadi kaidah yang mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Qur’an dan
Hadits, setidaknya kepada semangat dan kearifan Al-Qur’an dan Hadits juga.
Hukum
mempelajari kaidah-kaidah fikih adalah fardhu kifayah, seperti hukum
dari ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat. Meskipun sebagian ulama’
mewajibkan mempelajari dan menguasai kaidah-kaidah fikih bagi para pemegang
keputusan dan terutama bagi para hakim pengadilan.
Pada hakikatnya sandaran kaidah fikih seperti telah
dijelaskan dimuka adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan sering pula dari kata-kata
hikmah dan kearifan para sahabat nabi serta para ulama’-ulama’ mujtahid, yang
sangat dalam ilmu fikihnya.
Tujuan dibentuknya qawaidh
fiqhiyyah adalah sebagai berikut[4]:
a. Untuk
memelihara dan menghimpun berbagai masalah yang sama, juga sebagai barometer
dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya.
b. Untuk
menunjukan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun berbeda-beda merupakan
satu jenis ‘illat dan maslahat.
c. Untuk
mempermudah fuqaha dalam menetapkan hukum perbuatan seorang mukallaf. Misalnya
bagaimana hukum sesorang yang dipaksa meminum khamar, boleh atau tidak? Melalui
pendekatan kaidah الضرر يزال kasus ini dapat dijawab,
yaitu boleh meminum khamar karena terpaksa (madarat).
Qawa’id fiqhiyyah mempunyai beberapa
kegunaan (urgensi) sebagai berikut:
a. Dengan
mendalami qawa’id fiqhiyyah ,sesorang betul-betul dapat mendalami ilmu
fiqih dan mampu menganalisa berbagai masalah
b. Qawa’id
fiqhiyyah akan membantu menghafal dan menetapkan hukum berbagai masalah yang
berdekatan. Disamping itu melalui qawa’id fiqhiyyah orang yang menetapkan hukum
tidak merasa lelah dan tidak memerlukan waktu yang panjang.
c. Qawa;id
fiqhiyyah berguna untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang semakin
kompleks. Apalagi pada masa sekarang menghafal dan memahami qawa’id fiqhiyyah
bagi para penggali hukum fiqh sangat penting.
Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah
Menurut Ali Ahmad
al-Nadawi, perkembangan qawa’id fiqhiyyah dapat dibagi kedalam tiga fase
berikut[5]:
1) Fase
pertumbuhan dan pembentukan
Masa
kerasulan dan masa tasyri’(pembentukan hukum islam) merupakan embrio
kelahiran qawa’id fiqhiyyah .Nabi Muhammad SAW menyampaikan
hadits-hadits yang jawami’ ammah (singkat dan padat). Hadits-hadits
tersebut dapat menampung masalah-maslah fiqh yang sangat banyak jumlahnya.
Dengan demikian hadits nabi muhammad saw disamping sebagai sumber hukum juga
sebagai qawa’id fiqhiyyah. Beberapa hadits nabi muhammad saw yang jami’
al kalim mendukung statement ini diantaranya sebagai berikut:
a. الخراج بالضان (hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian)
b. الجماء جرحها جبار (kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak
dikenakan ganti rugi)
Peletakan batu pertama pembentukan qawa’id
fiqhiyyah telah dimulai sejak tiga kurun waktu pertama (ke-1,2 dan3
H),meskipun dalam bentuk sederhana. Ini karena pada saat itu qawa’id
fiqhiyyah belum begitu dibentuk menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri.
Kaidah yang dibentuk ke-1,2 dan3 H mempunyai pengaruh kuat terhadap kitab-kitab
fikih sesudahnya. Kaidah tersebut kadang-kadang dijadikan sebagai penjelasan (syarah)
hadits Nabi Muhammad SAW.
2) Fase
perkembangan dan pengkodifikasian
Qawa’id
fiqhiyyah
menjadi satu disiplin ilmu tersendiri pada IV H,dan dimatangkan pada abad-abad
sesudahnya. Ketika ruh taklid menyelimuti abad ini (IV H dan sesudahnya),
ijtihad menjadi berhenti dan para ulama kurang kreatif. Hal ini ditambah dengan
adanya kekayaan fiqih yang melimpah berupa pengkodifikasian hukum fiqih dan
dalil-dalilnya, juga banyaknya madzhab dan hanya mentarjih yang rajih- sekarang
disebut dengan istilah perbandingan madzhab. Kondisi ini mendorong para ulama’
untuk membahas hukum suatu peristiwa baru hanya dengan berpegang pada fiqh
madzhab saja.
Ketika
hukum furu’ dan fatwa para ulama’ semakin berkembang dengan seiring dengan
banyaknya persoalan, para ulama’ mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan
dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama’ tersebut dari
kesemerawutan. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Khakhi (w.340H)
dalam risalahnya (ushul al-Karkhi) dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430H)
dalam kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila
ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh maka disebut kaidah, sedangkan
kalau hanya mencakup satu masalah fiqh disebut dhabit.
Pada
abad VII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang pesat meskipun belum
mencapai puncaknya. Hal ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh ulama
dalam hal ini seperti Muhammad bin Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki (w.613H) yang
menyusun kitab al-Qawa’id fi Furu’ al-Syafi’iyyah. Pada masa VII ilmu qawa’id
fiqhiyyah mengalami masa keemasan ditandai dengan banyak bermunculannya
kitab-kitab qawa’id fiqhiyyah. Dengan demikian ilmu qawa’id fiqhiyyah
berkembang secara berangsur-angsur. Pada abad VIII H perkembangan ilmu qawa’id
fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama’
sebelumna khususnya dikalangan ulama’ syafi’iyah.
Pada
abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang. Dengan
demikian, fase kedua dari ilu qawa’id fiqhiyyah adalah fase perkembangan
dan pembukuan (pengkodifikasian). Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi
(w.340H) dan al-Dabbusi (w.430H).Para ulama yang hidup dalam rentangan waktu
ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu qawa’id fiqhiyyah.
3) Fase
Pemantapan dan Fase Pensistematisan
Pengkodifikasian
qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusun Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi
Abdul Aziz Khan al-Ustmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H (1292 H). Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini
menjadi rujukan (referensi) lembaga-lembaga peradilan masa itu.
Para
fuqaha memasukkan qawa’id fiqhiyyah pada majalah ini setelah terlebih
dahulu mempelajari sumber-sumber fiqh dan beberapa karya tulis tentang qawa’id
fiqhiyyah seperti al-asybah wa al-Nadhair karya Ibnu Nujaim (w.970H) dan Majami
al-Haqaiq karya al-Khadimi (w.1176H). mereka sangat selektif dalam meilih
dan memilah kaidah yang akan dimasukkan ke dalam majalah. Mereka menyusun
majalah ini dengan menggunakan redaksi yang singkat padat seperti undang-undang
(qanun). Eksistensi majalah dapat mengangkat kedudukan dan popularitas kaidah. Majallat
al-Ahkam al-‘Adliyyah memberikan banyak kontribusi bagi perkembangan fiqh
dan perundang-undangan.
QAWA’ID KHAMSAH
PENGERTIAN QAWA’ID
KHAMSAH DAN PERCABANGANNYA
Kaidah-kaidah
yang dibentuk para ulama’ pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima
kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah
yang bersifat cabang. Sebagian ulama’ menyebut kelima kaidah pokok tersebut
dengan istilah al qawa’id al-khams (kaidah-kaidah yang lima).[6]
Kelima
kaidah tersebut sangat masyhur di kalang madzhab al-Syafi’i khususnya dan
dikalangan madzhab-madzhab lain umumnya, meskipun urutannya tidak selalu sama.
Kelima kaidah tersebuat
adalah:
1. KAIDAH
PERTAMA
A. Teks
Kaidah
Segala Sesuatu Itu Tergantung Pada Tujuannya
الأُمُوْرُبِمِقَا صِدِهَا
Maksudnya adalah niat yang terkandung dalam hati
seseorang saat melakukan amaliyah, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai
dan status hukum amal-amaliyah yang telah dilakukan, baik yang berhubungan
dengan peribadahan maupun adat-kebiasaan.
Dengan demikian, setiap amaliyah pasti didasarkan pada
niat, jika tidak, maka amaliyah tersebut bersifat spekulatif. Oleh karena itu,
niat memiliki posisi yang sangat penting, sebab ia sebagai penentu segala gerak
tingkah dan amaliyah yang dilakukan menjadi bernilai baik atau tidak.[7]
B. Landasan Hukum[8]
·
Firman Allah SWT dalam Surah Al-Bayyinah(98) ayat 5
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Artinya: “ (Padahal)
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).
·
Sabda Nabi SAW:
إِنَّمَا الْاَ عْمَا لُ
بِا لنِّبَا تِ (اخرجه البخاري و مسلم )
Artinya: “Sesungguhnya
amal itu tergantung niatnya.” (HR.Bukhori dan Muslim)
C. Tujuan disyari’atkannya
niat[9]
Menurut al-Suyuti (w.911 H), yang paling penting dari
disyari’atkannya niat adalah untuk membedakan antara ibadah dengan
adat-kebiasaan. Selain itu, juga untuk mengurutkan tingkatan-tingkatan ibadah,
seperti wudhu dan gusl (mandi) dapat diartikan sebagai membersihkan diri
(tandhif), mencari kesegaran (tabarrud), dan ibadah. Begitu juga,
seperti menahan diri (imsak) dari segala hal yang membatalkan puasa,
dapat diartikan sebagai hamiyyah (kesehatan badan), berobat, dan karena
tidak ada yang memerlukannya.Demikian juga, kata al-Suyuti (w.911 H), duduk di
Masjid dapat diartikan sebagai istirahat, memberikan uang kepada orang lain
dapat berarti sebagai hibah, menyambungkan tali silaturahmi, atau karena
maksud-maksud duniawi, dan dapat juga berarti mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub)
seperti zakat, sadaqah, dan kifarat. Menyembelih hewan dapat bertujuan untuk
makan, dan juga dapat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub)
karena telah mengalirkan darah (membunuh). Dalam hal ini, niat disyari’atkan
untuk membedakan antara yang taqarrub dengan yang bukan.
Setiap ibadah, seperti wudhu, gusl (mandi),
shalat, dan saum (puasa) kadang-kadang sebagai perbuatan fardhu, nazar, dan nafl
(sunnah). Tayammum, kadang-kadang dari hadats atau janabah, padahal cara
pelaksanaannya sama. Karena inilah, niat disyari’atkan untuk membedakan
tingkatan-tingkatan ibadah.
Contoh
penerapannya, ketika wanita dalam keadaan haid, ketika membaca bismillah dengan[10]:
·
Diniati membaca Alqur’an, maka hukumnya haram
·
Diniati berdzikir, maka tidak haram
·
Diniati baca Alqur’an dan dzikir, maka hukumnya
haram
·
Tidak diniati apa-apa, maka juga haram.
2. KAIDAH KEDUA
A. Teks Kaidah
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
Maksudnya ialah semua hukum yang sudah berlandaskan
pada suatu keyakinan itu, tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan
yang muncul kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul
setelah keyakinan, tidak akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah ada
sebelumnya.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah
kedua adalah tercapainya suatu kemantapan hati pada suatu obyek yang telah
dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai pada kadar ukuran pengetahuan
yang mantap atau baru sekadar dugaan kuat (asumtif/dzan). Makanya tidak
dianggap suatu kemantapan hati yang disertai dengan keragu-raguan pada saat
pekerjaan itu dilaksanakan, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukkan kedalam
kategori yakin. Hal-hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda
tanya, tidak dapat disejajarkan dengan suatu yang sudah diyakini.[11]
B. Landasan Hukum[12]
·
Firman Allah SWT dalam Surat Yunus ayat 36
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا
ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Artinya: ”Dan
kebanyakan dari mereka tidak mau mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai suatu kebenaran”
(QS. Yunus : 36).
·
Sabda Nabi SAW:
اِذَاوَجَدَ أَحَدُ كُمْ فِي بَصْنِهِ
شَيْئًا فَآَ شْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْ ءٌأَمْ لاَفَلاَ يَخْرُجَنَ
مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ صَوْتًاأَوْيَجِدْرِيْحًا (رواه مسلم عن أبى
هريرة)
Artinya: “Apabila
seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu
apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut
tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium
baunya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
C. Beberapa Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
Beberapa kaidah minor, diantaranya:
1. Kaidah minor pertama, kaidah kontinu
الآَصْلُ بقَاءُمَاكَانَ
عَلَى مَاكَانَ
Artinya: “Pada dasarnya, asal itu meneruskan apa yang ada menurut
keadaannya semula”
Maksudnya ialah suatu
perkara yang sudah berada pada satu kondisi tertentu dimasa sebelumnya, akan
tetapi seperti kondisi semula, selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap
hukum lain, sebab dasar dari segala sesuatu adalah tidak berubahnya atau tetap
seperti sedia kala (baqa’), sedang kemungkinan untuk terjadi perubahan
dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan sifatnya spekulatif, sehingga
tidak dapat dijadikan sebagai pijakan hukum.[13]
Contoh penerapan dalam
kaidah ini adalah dalam kasus orang ragu-ragu tentang apakah ia sudah berhadas
ataukah belum, maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi yang telah ada
sebelumnya, yaitu[14]:
a. Jika kondisi sebelumnya ia belum wudlu, maka ia dianggap batal.
b. Jika kondisi sebelumnya ia sudah pernah berwudlu, maka yang dianggap suci.
2. Kaidah minor kedua, kaidah nihilis
من شك أفل شيأاملا
فالاصل أنهلم يفعل
Artinya: “Jika ada orang ragu-ragu tentang
apakah ia telah melakukan sesuatu ataukah belum? Maka hukum yang diambil adalah
ia belum melakukan sesuatu”.
Maksudnya ialah pada
dasarnya hukum yang bisa dijadikan pijakan dari kasus orang ragu-ragu apakah
dirinya sudah mengerjakan suatu amaliyah atau belum adalah belum mengerjakan,
sebab menurut asalnya ia belum mengerjakan amaliyah tersebut, kecuali jika
amaliyah tersebut benar-benar sudah terwujud dalam kenyataan, dan keberadaannya
meyakinkan[15].
Contoh penerapan dalam
kaidah ini adalah dalam kasus ada seseorang yang sedang ragu-ragu perihal
apakah ia sudah melakukan qunut atau belum, maka yang diambil adalah ia
belum melakukan qunut. Karena ia disunnahkan melakukan sujud syahwi.
3. Kaidah minor ketiga, kaidah minimalis
من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل لأنه متيقن
Artinya: ‘Siapa saja yang telah yakin bahwa ia
telah melakukan sesuatu dan ia ragu-ragu dalam hal sedikit banyaknya jumlah
pekerjaan yang telah dilakukannya, mak hukum yang diambil adalah yang paling
sedikit, sebab ketetapan seperti ini yang lebih meyakinkan”.
Maksudnya, jika ditemukan ada seseorang yang dalam
dirinya sudah yakin melakukan suatu amaliyah, tetapi ia masih ragu-ragu, apakah
yang telah ia lakukan itu adalah bilangan yang lebih banyak atau sedikit, maka
hendaknya ia memilih bilangan yang sedikit, sebab minimal ini sudah pasti
dikerjakan[16].
Contoh penerapan dalam kaidah
ini adalah dalam kasus orang sholat yang ragu-ragu dalam rakaat yang telah ia
lakukan, apakah sudah mendapat tiga rakaat atau empat rakaat? Maka yang harus
diambil adalah yang tiga rakaat, sebab tiga rakaat inilah yang paling
meyakinkan.
3. KAIDAH KETIGA
A. Teks Kaidah
Kesulitan itu menarik pada kemudahan
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
Yang dimaksud taisir
ialah kelonggaran atau keringanan
hukum yang disebabkan karena adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada
kaidah umum. Dan yang dimaksud masyaqqat ialah suatu kesukaran yang
didalamnya mengandung unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak
termasuk didalamnya pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan
komplementer. Dengan
demikian, maka semua bentuk keringanan dalam syari’ah islam itu, selalu
bersumber dari kaidah komprehensip ketiga ini. Sedang yang menjadi dasar
pijakan munculnya kaidah komprehensip ketiga ini adalah firman Allah surat
An-Nisa’ ayat 28 sebagai berikut[17]:
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ
Artinya:
“Allah itu mencintai kemudahan bagi kamu sekalian”.
Landasan Hukum[18]
·
Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah(2) ayat 185
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرِوَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ
الْعُسرَ
Artinya : “Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS.
Al-Baqarah [2]: 185).
·
Sabda Nabi SAW:
الدِيْنُ يُسْرٌاخُبُ الدِيْنِ إلَى اللهِ الخفِيَةَ
السَمْحَةَ (رواه البخري)
Artinya : “Agama itu adalah
mudah, sedang agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah” (HR.
Bukhori).
B. Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
1. Kaidah minor pertama, kaidah longgar
إذا ضاق الأمر إتسع
Artinya: “Suatu perkara apabila sempit maka
diperluas”.
Maksudnya,
jika muncul kesulitan dalam suatu perkara, maka perkara tersebut menjadi di
perlonggar dan diperluas. Makanya keringanan hukum akan bisa diperoleh jika
disebabkan adanya kondisi yang sulit dan sempit.[19]
Contohnya
seperti
najis ma’fu (dimaafkan), jika najis yang mengenai tubuhnya itu sulit dihindari,
seperti musim lalat yang dalam kebiasaannya senang dibenda-benda najis, lalu
menempel tubuh.
2.
Kaidah
minor kedua, kaidah sempit
إذا اتسع الأمر ضاق
Artinya: “Suatu perkara apabila luas maka
dipersempit”
Contohnya seperti dalam
kondisi berperang, orang boleh melakukan shalat dengan cara apapun, sekalipun
dengan cara berlari akan tetapi jika peperangan sudah selesai maka ia harus melakukannya
sesuai dengan syarat dan rukunnya, dan ia tidak boleh melakukan gerakan yang
banyak.
Kasus-kasus
yang menjadi contoh kedua kaidah minor seperti itu, sama halnya dengan
pandangan Ibnu Abi Hurairah, yang mengatakan bahwa segala sesuatu, aku telah meletakan
pada landasan kaidah minor (kaidah kondisional) berikut[20]:
إذا ضاقت اتسعت وإذا
اتسعت ضاقت
Artinya:
“segala sesuatu jika keadaannya sempit (artinya pelaksanaanya sulit), maka ia
menjadi luas dan jika luas (dan mudah pelaksanaanya), maka hukumnya menjadi
sempit.
3.
Kaidah
minor ketiga, kaidah kebablasan
كل ما تجاوز حده
إنعكس إلى ضده
Artinya: “Semua yang melampaui batas itu,
hukumnya berbalik pada kebalikannya”.
Kaidah
minor ini dibuat oleh imam al-Ghazali akibat dari adanya dua kaidah minor yang
secara lahiriyah bertentangan, sehingga dengan kaidah yang dibuatnya bisa
dijadikan dasar untuk mengkompromikan keduanya[21].
Contohnya Rasa
manis atau asin itu memang enak, akan tetapi jika terlalu manis atau asin, maka
jadinya tidak menjadi enak.
Pada saat tidak punya apa-apa, makan nasi pohong dengan lauk pauk ikan asin,
sudah terasa enak, tetapi dalam kondisi banyak harta, makan nasi beras dengan
lauk pauk sate kambing, gule dan sebagainya, terasa kurang enak.
4. KAIDAH KEEMPAT
A.
Teks
Kaidah
Kemadlaratan
itu harus dihilangkan
الضَرَرُيُزَالُ
Seperti dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn Abd al-Salam
bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka
maslahat membaa manfaat sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan.
Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk
merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan
cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.[22]
B. Landasan Hukum[23]
·
Firman Allah SWT dalam Surah Al-A’raf ayat 55
وَلا تُفْسِدوَافِى الْاَرْضِ
(الاعراف: ه ه)َ
Artinya :” Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi”. (QS. al-A’raf: 55)
·
Sabda Nabi SAW:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Artinya :“Tidak
boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang
lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
C.
Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
a.
Kaidah
minor pertama, kaidah netralitas
الَضَرُوْرَة تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “Kemadlaratan itu membolehkan larangan”
Maksudnya keadaan dhorurot dapat memperbolehkan
seseorang melakukan perkara yang asalnya dilarang. Kiranya perlu ditegaskan
disini bahwa ada tiga hal yang menjadi pengecualian kaidah ini, yakni kufur,
membunuh, dan berzina. Ketiga jenis perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan
dalam kondisi apapun termasuk kondisi dlorurot. Artinya, ketiga hal
tersebut dalam kondisi apapun tetap diharamkan[24].
Contohnya boleh membuka
aurot didepan dokter saat proses pengobatan.
b.
Kaidah minor kedua, kaidah
standar dlarurat (miqdaru al-dlarurat)
مَاأُبِيْعَ للضَرُورَاتِ يُقَدَرُبِقَدَرِهَا
Artinya: “Seseuatu yang diperbolehkan karena kondisi dlarurat, harus
disesuaikan menurut batasan ukuran yang dibutuhkan dlarurat tersebut”.
Maksudnya, sesuatu yang
asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran keadaannya yang memaksa, harus
disesuaikan dengan ukuran darurat yang sedang dideritanya, dan tidak boleh
dinikmati sepuas-puasnya atau seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan
batasan pada kemutlakan kaidah yang pertama tadi, dimana kebolehan yang terkandung
didalamnya hanya sekedar untuk menghilangkan kemadlaratan yang sedang menimpa.
Contoh penerapannya dalam
kasus kelaparan yang kondisinya mendekati kematian (dlarurat). Orang
seperti ini, mendapatkan keringanan (rukhshah), berupa kebolehan makan
daging bangkai, yang asalnya berstatus haram. Sekalipun demikian, kebolehan
tersebut hanya sebatas sebagai penyambung hidup, dan tidak boleh (haram) makan
sepuas-puasnya, sehingga setelah merasa kenyang, maka tidak boleh lagi
memakannya.
Dengan demikian, hokum
diperbolehkan makan barang haram telah hilang, lantaran sudah hilangnya alasan (‘illat)
yang memperbolehkannya.[25]
c.
Kaidah minor ketiga, kaidah
اَلضَرَرُلاَيُزَالُ بِا لضَرَرِ
Artinya: “Bahaya itu tidak dapat dihilangkan dengan bahaya yang lain”.
Maksudnya ialah seseorang
itu tidak boleh menghilangkan suatu bahaya yang ada pada dirinya dengan
menimbulkan bahaya pada diri orang lain, sebab semua manusia memiliki kedudukan
yang setara, sehingga satu jiwa tidak dapat dikorbankan hanya untuk menjaga
kelangsungan hidup bagi jiwa yang lain.
Contoh penerapannya,
seperti dalam kasus tidak bolehnya orang sedang kelaparan mengambil makanan
orang lain yang keadaannya juga akan mati kelaparan jika makanan yang menjadi
miliknya hilang.[26]
5. KAIDAH KELIMA
A.
Teks Kaidah
Kebiasaan dapat dijadikan
suatu hukum
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
Kaidah ‘Adah ini, diambil dari realita social
kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh
nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga
mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan
nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama
inisudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran
nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adat-istiadat,
budaya, tradisi dan sebagainya. Kebudayaan itu bisa dianggap sebagai perwujudan
aktivitas nilai-nilai dan hasilnya.[27]
B. Landasan Hukum[28]
·
Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 236
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ
قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ
Artinya :” Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah
(pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang
demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Al-Baqarah: 236)
·
Sabda Nabi SAW:
المكيال
مكيال اهل المدينة والوزن وزن اهل مكة
Artinya:“Takaran itu
pemilik penduduk madinah dan timbangan itu milik penduduk makkah”
C.
Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
a.
Kaidah minor pertama, kaidah Ta’yin
al-‘Urf
التَعْيِيْنُ بِا لعُرْ فِ كَا لتَعْبِيْنِ بِا لنَص
Artinya: “Yang sudah tetap
berdasarkan kebiasaan sama hal-nya dengan yang sudah tetap berdasarkan nash”.
Kaidah Ta’yin
al-‘Urf ini searti dengan kaidah Tsabitu
al Ma’ruf berikut:
الثابت بالمعروف كاالتابت باانص
Atinya: “Yang ditetapkan oleh ‘urf sama dengan yang
ditetapkan oleh nash”
Contohnya Adat Minangkabau tentang hubungan
kekerabatan, yaitu Matrilenial, artinya:keturunan itu hanya dihitung menurut
garis perempuan saja bukan laki-laki, sehingga suami dan anaknya harus diam
dirumah keluarga pihak perempuan (matrilokal). Sekalipun demikian pada umunya
kekuasaan masih dipegang oleh suami (matriarchat). Dalam hal ini islam bisa
mentolerirnya, sebab tidak bertentangan dengan nash, baik al-qur’an maupun
Hadits.[29]
b.
Kaidah minor kedua, kaidah ma’rufu
al-‘Urf
الْمَعْرُوْفُ عُرْ فًا كَا لَمَشْرُوْ طِ شَرْ طاً
Artinya: “Yang sudah dianggap
baik itu sebagai ‘urf sebagaimana yang disyari’atkan menjadi syarat”.
Kaidah Ma’rufu al-‘urf ini searti dengan kaidah
Thardil ‘adah berikut:
العادة المطردة فى ناحية تنزل
عادتهم منزلة الشرط
Artinya: “’adah yang umum
berlaku dimasyarakat, maka ‘adah mereka menempati posisi syarat”
Contoh penerapannya dalam kasus menjual buah di pohon.
Menurut qiyas, hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya
tidak jelas (majhul), tetapi karena sudah menjadi kebiasaan yang umum
dilakukan ditengah masyarakat, maka ulama’ membolehkannya.[30]
c.
Kaidah minor ketiga, kaidah
penguatan budaya
كل ما ورد به الشرع مطلقا ولا
ضابط له فيه ولا فى اللغة يرجع فيه الى العرف
Artinya: “Semua yang telah
diatur oleh syara’ secara mutlak tanpa ada ikatan atau qayyid dan tidak ada
ketentuannya secara pasti dalam agama dan tidak ada juga dalam bahasa, maka hal
tersebut harus dikembalikan kepada ‘urf”.
Contoh penerapannya dalam kasus negara yang
sedang mengalami krisis moneter global, dan tidak sedikit dalam satu negara
ditemukan banyak mata uang yang beredar dan bisa dipergunakan sebagai alat
pembayaran. Dalam kasus fluktuatif ini, warga negara bersangkutan yang sedang
melakukan transaksi, harus terlebih dahulu menjelaskan mata uang apa yang akan
dipakai sebagai alat pembayaran, sebab masing-masing masyarakat akan memiliki
kepentingan yang berbeda dalam memilih mata uang yang dikehendaki.[31]
KESIMPULAN
Qawa’id Fiqhiyyah
merupakan hasil atau kesimpulan dari hukum-hukum fiqh yang terperinci (juz’iyyah)
dan terpisah-pisah sebagai hasil akhir dari ijtihad mereka, lalu bagian-bagian
yang terpisah-pisah tersebut diikat menjadi satu ikatan atau kaidah.
Kaidah-kaidah yang
dibentuk para ulama’ pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah
pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang
bersifat cabang. Sebagian ulama’ menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan
istilah al qawa’id al-khams (kaidah-kaidah yang lima).
Kelima
kaidah tersebut sangat masyhur di kalang madzhab al-Syafi’i khususnya dan
dikalangan madzhab-madzhab lain umumnya, meskipun urutannya tidak selalu sama.
Kelima kaidah tersebuat
adalah:
1. Segala
Sesuatu Itu Tergantung Pada Tujuannya
الأُمُوْرُبِمِقَا صِدِهَا
2. Keyakinan tidak bisa
dihilangkan dengan keraguan.
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
3. Kesulitan itu menarik
pada kemudahan
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
4.
Kemadlaratan itu harus
dihilangkan
الضَرَرُيُزَالُ
5. Kebiasaan dapat
dijadikan suatu hukum
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam Kulliyah Al–Khamsah (Malang:Uin-Maliki Press, 2010),
A.Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih (Jakarta:Kencana, 2006),
Yahya Khusnan Manshur.Ulasan
Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al Faroid Al Bahiyyah (Jombang:Pustaka Al
Muhibbin,2011),
Ade Dedi Rohayana, ILMU
QAWA’ID FIQHIYYAH Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta:Gaya Media Pratama,
2008),
A.Djazuli, Ilmu Fiqh
(Jakata:Kencana,2006),
Revisi:
1.
Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.
Penulisan abstrak cuma satu paragraf saja.
3.
Makalahnya tidak rapi dan tolong dirapikan,
sehingga sama seperti artikel yang saya jadikan acuan dalam perkuliahan ini.
4.
Penulisan footnote tolong diselaraskan.
5.
Masing-masing kaidah mayor, tolong diberikan
kaidah minornya.
6.
Pendahuluan masih kurang greget.
[1] Dahlan Tamrin,
Kaidah-Kaidah Hukum Islam Kulliyah Al–Khamsah (Malang:Uin-Maliki Press,
2010),hlm.4-6.
[2] A.Djazuli, Ilmu
Fiqh (Jakata:Kencana,2006),hlm.11.
[3] A.Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih (Jakarta:Kencana, 2006),hlm.2-4.
[4] Ade Dedi
Rohayana, ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta:Gaya
Media Pratama, 2008),hlm.38-39.
[5]
Ibid.,hal:48-65.
[6] Ibid.,hlm.201.
[7] Dahlan
Tamrin.op.cit.hlm.25-26.
[8] Ibid.hlm:26.
[9] Ade Dedi
Rohayana, hlm.210.
[10] Yahya Khusnan
Manshur.Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al Faroid Al Bahiyyah
(Jombang:Pustaka Al Muhibbin,2011),hlm.18.
[11] Dahlan Tamrin,op.cit,hlm.75-76
[12] Ibid,hlm:76
[14] Ibid.hlm.80.
[15] Ibid. Hlm:84
[16] Ibid.hlm:86
[18]Ibid,hlm: 122.
[19] Ibid,hlm: 149.
[20] Ibid,hlm: 150.
[21] Ibid,hlm: 151.
[27] Ibid.hal:203.
[29] Ibid.hal:240
[30] Ibid.hal:241
[31] Ibid.hal:245
Assalamualaikum Wr. Wb
BalasHapusTerima kasih atas materinya tentang Qawaidul Khamsahnya
saya copy materinya, saya buat mengajar Ilmu Fikih Kelas XII MAN 1 Jepara
Syukran Jazakumullah Khairan Katsira, Aaamiin
Semoga menjadi Amal Jariyah
BalasHapus