Klasifikasi Hadist dari Aspek Kualitasnya
(PAI-B
Semester III)
Alya
Nashar Zulfa dan Arif Rifqy Nur Pelangi
Pendidikan
Agama Islam
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract:
Hadist have sections with different terms. However, all
of that aim essentially back on three objects of discussion, namely in terms of
honor, sanad, as well as honor and sanad together. And most of them classify overall
tradition into three categories, namely legal, hasan and is weak. Hadith by
simple division into three kinds is in because basically the tradition is
sometimes maqbul (received) and sometimes mardud (rejected). maqbul traditions
that are sometimes caused it has met the requirements to be perfectly
acceptable and sometimes meet the requirements for admission but less than
perfect. Hadist maqbul eligible for admission to perfect so-called hadith
shahih, was not meeting the requirements for admission to perfect so-called
hadist hasan, while the hadist mardud
(rejected) is a hadith Dhaif.
Keywods:
Hadist, Shahih, Hasan, Dhaif.
Pendahuluan
Allah mewahyukan al-qur’an kepada
nabi Muhammad saw masih bersifat mujmal (global), sehingga untuk memahaminya
secara benar diperlukan penjelasan dan penafsiran, orang yang paling mengetahui
isi kandungan al-qur’an tak lain adalah nabi Muhammad saw.
Penjelasan
nabi Muhammad saw, bias berupa perkataan, perbuatan,maupun ketetapan beliau
yang lebih dikenal hadist atau sunah. Dalam perkembangannya, hadist sudah
melewati berbagai sejarah zaman hadist kemudian menjadi kajian khusus umat
islam. Demi menjaga kemurniannya, hadist diklasifikasikan atas dua macam yaitu
:
1.
Hadist berdasarkan kuantitasnya. Yang terdiri dari hadist mutawatir dan hadist
ahad.
2. Hadist berdasarkan kualitasnya yang
terbagi atas hadist sahih, hadist hasan, dan hadist dha’if.
Dalam
makalah ini kita akan membahas klasifikasi hadist berdasarkan kulitasnya yang
terdiri dari tiga macam yaitu hadist sahih, hadist hasan, dan hadist dha’if,
mengenai pengertian, syarat-syarat dan yang lain agar dapat diketahui apakah
hadist tersebut dapat dijadikan untuk berhujjah atau tidak.
Klasifikasi Hadist Berdasarkan Kualitasnya
1.Hadist Shahih
Shahih menurut bahsasa
berarti ‘’sehat’’, kebalikan dari ‘’sakit’’.[1] Sedangkan menurut
istilah Hadist Shahih adalah hadist yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawi
yang adil, sempurna ingatanya serta sanadnya bersambung, tidak ber’ilat (cacat)
dan tidak janggal.[2]
Sebuah hadist yang dikatakan
shahih terkandung arti bahwa hadist tersebut telah memenuhi kriteria
kesahihan suatu Hadist. Namun tidak serta merta bisa dipastiakan bahwa Hadist
tersebut benar-benar merupakan sabda Nabi Muhammad Saw, Sebaliknya, jika
terdapat sebuah hadis di katakan bahwa Hadist tersebut tidak shahih, maka
maksud dari pernyataan itu bahwa system sanad Hadist tersebut tidak memenuhi
kriteria sanad yang dibutuhkan suatu hadist shahih.[3] Dari
definisi tersebut dapat dipahami bahwa hadist shahih adalah hadist yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Kebersambungan Sanad (Ittishal al-sanad)
Kebersambungan sanad dalam
periwayatan hadist, artinya bahwa seorang perawi dengan perawi hadist di
atasnya atau perawi di bawahnya terdapat pertemuan lansung (liqa’) atau adanya
pertautan lansung dalam bentuk relasi guru-murid, mulai dari awal hingga akhir
sanad.[4]
b. Para Perawi Adil (‘ad alat al-ruwat)
Adil adalah perangai yang
senantiasa menunjukkan pribadi yang taqwa dan muru’ah (menjauhkan diri dari
sifat atau tingkah laku yang tidak pantas untuk dilakukan). Yang di maksud adil
di sini adalah adil dalam hal meriwatkan hadist, yaitu orang muslim yang
mukallaf (cakap bertindak hukum) yang selamat dari fasiq dan sifat-sifat yang
rendah. Oleh karena itu, orang kafir,fasiq,gila, dan orang yang tidak pernah
dikenal, tidak termasuk orang yang adil. Sedangkan, orang perempuan, budak, dan
anak yang mumayyiz bisa digolongkan orang yang adil apabila memenuhi kriteria
tersebut.[5]
c. Para Perawi Dhabit (dhawabith al-ruwat)
Yang di maksud sempurna
kedhabitanya ialah kedhabitan pada tingkatan yang tinggi. Dalam hal ini, dhabit
ada dua maca, yaitu:
·
Dhabit Hati, seseorang dikatakan dhabit hati apabila dia mampu menghafal
setiap hadist yang didengarnya dan sewaktu-waktu dia bisa mengutarakan atau
menyampaikanya.
·
Dhabit Kitab, Seseorang dikatakan dhabit kitab apabila setiap hadist yang
dia riwayatkan tertulis dalam kitabnya yang sudah di tashih (di cek
kebenaranya) dan selalu dijaga.[6]
d. Terhindar dari kerancuan/ syadz (‘adam syudz udz)
Yang dimaksud syadz di sini
ialah hadist yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang terpercaya itu tidak
bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tingkat
dipercayanya lebih tinggi.
e. Terhindar dari kecacatan (‘adam’ilal)
Kata ‘illat secara lughawi
berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan. Adapun dalam
terminology ilmu hadist, ‘illat didefinisikan sebagai sebuah hadist yang di
dalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak kesahihan hadist
yang secara lahir tampak sahih. Jadi ‘illat di sini ialah cacat yang samar yang
mengakibatkan hadist tersebut tidak dapat diterima.
Macam-macam
Hadist Shahih
Hadist shahih terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Hadist sahih Li Dzatihi. Yaitu hadist yang memuat semua sifat-sifat
penerimaan hadist pada tingkatan tertinggi atau dengan kata lain memenuhi
seluruh persyaratan ke-shahihan hadist.
2. Hadist shahih li Ghairihi. Yaitu hadist yang
tidak mengandung sifat-sifat hadist maqbul yang tinggi, yakni hadist-hadist
yang asalnya tidak shahih, akan tetapi bisa meningkat mmenjadi hadist shahih
karena ada sesuatu hal yang mendukung sehingga menutup kekuranganya.
Hukum-hukum Hadist Shahih
Adapun mengenai hukum-hukum hadist shahih ialah sebagai berikut:
1. Berakibat kepastian hukum, hal ini apabila
hadist tersebut terdapat pada shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian
pendapat yang dipilih dan dibenarkan oleh Ibnu Al-Shalah
2. Imperatif diamalkan, menurut Ibnu Hajar dalam
kitab Syarah Al-Nuhbah, wajib mengamalkan setiap hadist shahih, meskipun hadist
dimaksud tidak termasuk yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
3. Imperatif untuk menerimanya. Menurut Al-Qasim
dalam kitab Qawa’idu Al-Tahdits, bahwa wajib menerima hadist shahih walaupun
hadist shahih itu tidak pernah diamalkan oleh seorang pun.
4. Imperatif segera diamalkan tanpa menunggu
sampai adanya dalil yang bertentangan. Menurut Syekh Al-Fallaani di dalam kitab
Liqaadzu Al-Himami, bahwa mengamalkan hadist dhahih tidak usah mengetahui tidak
adanya nasikh atau tidak adanya ijma’ atau dalil-dalil lain yang bertentangan
dengan hadist itu. Akan tetapi, harus segera diamalkan sampai benar-benar
diketahui adanya dalil-dalil yang bertentangan denganya, dan kalau toh ada maka
harus diadakan penelitian terlebih dahulu.
5. Hadist shahih tidak membahayakan. Menurut
Ibnu Qayyim dalam kitab Ighaatsatu Al-Lahfan, bahwa hadist shahih walaupun
hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja tidak membahayakan, yakni tidak
mengurangi kader keshahihanya
6. Tidak harus diriwayatkan oleh orang banyak.
Hadist yang shahih tidak pasti diriwayatkan oleh orang banyak, sebagai dasarnya
ialah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Muadz.
Tingkatan-tingkatan Hadist Shahih
1. Hadist yang disepakati keshahihanya oleh
Al-Bukhari dan Muslim
2. Hadist yang dishahihkan oleh Al-Bukhari saja.
3. Hadist yang dishahihkan oleh Muslim saja.
4. Hadist shahih yang diriwayatkan oleh selain
Bukhari dan Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat shahih Al-Bukhari dan Muslim
5. Hadist shahih menurut syarat Bukhari namun
perawinya bukan beliau.
6. Hadist shahih menurut syarat Muslim namun
perawinya bukan beliau.
7. Hadist shahih bukan menurut Bukhari dan
Muslim serta atas dasar syarat bukan dari mereka berdua.[7]
2. Hadist Hasan
Hasan menurut bahasa ialah
“Sesuatu yang baik dan cantik.” Sedangkan menurut terminologi adalah hadist
yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat
ingatanya,dan terhindar dari keganjilan serta penyakit. Untuk menghilangkan
kejumbuhan ini, adalah bahwa keadilan pada Hadist Hasan disandang oleh orang
yang tidak begitu kuat ingatanya, sedangkan pada hadist shahih melekat pada
rawi yang benar-benar kuat ingatanya. Tetapi keduanya bebas dari krganjilan dan
penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan kandunganya dapat
dijadikan penguat.[8]
Atas dasar pengertian hadist
Hasan tersebut, maka syarat-syarat hadist hasan itu ada lima macam, yaitu:
1. Muttasil Sanadnya.
2. Rawinya adil.
3. Rawinya dhabith.
Kedhabitan rawi di sini tingkatanya di bawah
keshabitan rawi hadist shahih, yakni kurang sempurna kedhabitanya.
4. Tidak
termasuk hadist syadz.
5. Tidak terdapat illat (cacat).
Dengan demikian,
syarat-syarat hadist hasan adalah seperti syarat-syarat hadist shahih, kecuali
syarat yang tersebut pada huruf ke-3, yaitu tentang dhabith, dimana di dalam
hadist shahih kedhabitanya itu harus dalam tingkatan yang lebih tinggi,
sedangkan dalam hadist hasan tingkat kedhabitanya ada di bawahnya[9].
Macam-macam Hadist Hasan
Hadist Hasan terbagi menjadi dua, yaitu:
1.
Hadist Hasan li dzatih (hasan dengan
sendirinya), apabila hanya disebut “Hadist Hasan”, yang dimaksudkan adalah
hadist hasan lidzatih, dengan batasan seperti tersebut di atas. Dinamakan hasan
lidzatih, karena sifat kehasananya muncul di luarnya. Dengan demikian, hasan
lidzatih ini dengan sendirinya telah mencapai tingkatan shahih dalam berbagai
persyaratanya, meskipun nilainya sedikit di bawah hadist shahih berdasarkan
ingatan para perawinya.
2.
Hadist Hasan li Ghairih (hasan dengan topangan hadist lain), hadist yang di
dalam isnadnya terdapat orang yang tidak diketahui keadaanya, tidak bisa
dipastikan kelayakan atau ketidaklayakanya.
Hukum Hadist Hasan
Hukum hadist hasan dalam hal fungsinya
sebagai hujjah dan implementasinya adalah sama seperti hadist shahih, meskipun
kualitasnya di bawah hadist shahih. Hanya saja, jika terjadi pertentangan
anatara hadist shahih dengan hasan, maka hahrus mendahulukan hadis shahih, ri
karena tingkatan kualitas hadist hasan berada di bawah hadist shahih. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari dimensi kesempurnaan kedhabitan rawi-rawi
hadist hasan, yang tidak seoptimal kesempurnaan kedhabithan rawi-rawi hadist
shahih.[10]
3. Hadist
Dha’if
Kata “dha’if” menurut bahasa berasal dari
kata “dhu’fun” yang berarti lemah lawan kata dari “qawiy” yang berarti kuat[11], sedangkan menurut
istilah adalah hadist yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat hadist
shahih ataupun hasan. Satu syarat saya
tidak terpenuhi maka hadist itu termasuk
hadist dha’if.[12] Hadist dha’if
dapat di bagi menjadi beberapa macam sesuai dengan sudut pandangnya, yaitu:
1.
Dha’if dari sudut sandaran matanya (karena keterputusan sanad)[13]
a). Hadist
mawquf, yaitu hadist yang diriwayatkan dari para sahabat berupa
perkataan,perbuatan dan taqrirnya. Contohnya adalah:
حد ثنا عبيد ا لله بن موسي عن معروف
بن خربوذ عن ابى الطفيل عن علي وقال حدثوا الناس بما يعرفون, اتحبون ان يكذب الله
رسوله
“Ali
berkata, sampaikanlah kepada manusia apa yang kamu ketahui, apakah kamu senang
untuk berbohong atas nama allah dan rasulnya.”
b). Hadist Maqthu’, yaitu hadist yang
diriwayatkan dari tabi’in berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya.
Contoh:
وقال الحسن البصرى فى الصلاة خلف
المبتدع صل و عليه بد عته
“Hasan
al-Bashri berkata, shalatlah di belakang pelaku bid’ah karena bagi dia sendiri
(dosa) dari bid’ah yang diperbuatanya.
Hadist riwaya al-Bukhari
tersebut dinamakan sebagai hadist maqthu’ karena diriwayatkan atau berupa
perkataan yang dikemukakan oleh tabi’in, yakni Hasan al-Basri. Dengan demikian
hadis tersebut tidak berasal dari rasulullah swt.
c). Hadist
Mursal, yaitu hadist yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Contohnya:
حدثنى محمد بن رافع حدثنا حخين بن
المثنى حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب عن سعيد بن المسيب ان رسولالله- صلى الله
عليه و سلم- نهى عن بيع المزابنة
“dari
Said ibn Musayyab bahwa rasulullah saw, melarang jual beli muzabanah.”
Said’ ibn Musayyab
adalah seorang tabi’in, namun ia meriwayatkan hadist tersebut langsung dari
rasulullah. Berarti ada keterputusan di tingkat sahabat, sehingga hadist ini
disebut sebagai hadist mursal.
d). Hadist mu’allaq, yaitu hadist yang
gugur perawinya seorang atau lebih, yang terjadi dari awal sanad. Contoh:
وقا ل ا بو موسى غطى النبى - صلى الله عليه وسلم - ر كبتيه حين دخل عسمان
“Abu Musa berkata, rasulullah saw, menutupi
kedua lututnya pada saat usman masuk (menemuinya).
Hadist tersebut
tergolong mu’allaq kerena dihilangkan seluruh jajaran perawi yang terdapat
dalam jalur sanad hadist tersebut kecuali pada tingkat sahabat , yakni Abu
Musa.
e). Hadist
Mudallas, yaitu hadist yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan
bahwa hadist itu tida bernoda, atau
hadist yang didalamnya terdapat penyembunyian cacat yang di lakukan oleh
perawinya.
f). Hadist munqathi’, yaitu hadist yang
gugur seorang perawinya sebelum sahabat pada suatu tempat, atau gugur pada dua
tempat yang tidak berturut-turut.
g). Hadist Mu’dhal, yaitu hadist yang
gugur dua orang perawi atau lebih jalur sanadnya secara berturut-turut.
2. Hadist dha’if sebab lain dari keputusan
sanad[14]
a). Hadist
Maqlub, yaitu hadist yang menyalahi riwayat orang yang dipercaya dengan
memutarbalikan suasana kata atau kalimat. Pemutarbalikan dimaksud, bisa saja
terjadi baik dalam sanad atau pada matan hadistnya. Berikut adalah contoh
pemutarbalikan pada sisi matan.
عن زهير بن و محمد بن المثنى كذا
قالوا عن يحيى القطا ن عن عبيد الله ورجل تصد ق
“dari Ubaidillah, dan seorang yang bersedekah kemudian
menyembunyikannya sehingga (seakan-akan) tangan kananya tidak tahu tentang apa
yang di sedekahkan oleh tangan kirinya.”
Hadist di atas
dinyatakan maqlub karena terbalik matanya.
b). Hadist
Mudraj, yaitu hadist yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan (yang
tidak berasal dari potongan hadist tersebut, tetapi berasal dari tafsiran para
sahabat atau perawi sesudahnya terhadap hadist tersebut). Contoh:
اخبر نا مؤمل بن هشا م قال ثنا اسما عيل عن شعبة
عن محمد بن زياد عن ابي هريرة قل قل رسو ل الله صلعم : اسبغوا الو ضوء ويل للاّ
عقا ب من النار
“Rasulullah
saw bersabda, sempurnakanlah wudhu’ dan terancam neraka bagi siapa yang
berwudhu’ dengan tidak membasuh tumitnya.”
Pada lafadz yang di garis bahawi
di atas, sebenarnya merupakan tambahan yang di berikan oleh perawi
sendiri, bukan asli teks dari Rasulullah
saw. Dalam konteks ini, kalimat tambahan tersebut merupakan tafsiran atau tambahan
penjelesan yang diberikan oleh para perawi hadist tersebut, dan bukan bagian
dari hadist itu sendiri.
c). Hadist Mushahhaf, yaitu
hadist yang mengalami perubahan pada titik atau garis pada huruf-hurufnya,
sehingga terjadi keslahan makna.
d). Hadist Syadz, yaitu
hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah tetapi bertentangan dengan
hadist yang di riwayatkan oleh sejumlah perawi yang lebih tsiqah.
e). Hadist Munkar, yaitu
hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if bertentangan dengan
periwayatan yang disampaikan oleh perawi yang tsiqah.
f). Hadist
Matruk, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh orang yang terdutuh berdusta,
sebagaimana contoh sebagai berikut:
عن عمرو بن شمر الجعفى الكو فى الشيعى عن جابر
عن ابى الطفيل عن على وعمار قالا كان رسو ل الله صلعم يقنت فى الفجر ويكبر يوم عر
فة من صلاة الغداة , ويقطع صلاة العصر اخر ايام التشريقز
“Rasulullah
saw, selalu membaca qunut pada shalat fajar, bertakbir pada hari arafah dari
semenjak shalat shubuh dan berhenti pada waktu shalat ashar di terakhir dari
hari tasyrik.”
Menurut al-Nasa’I dan al-Daruquthni,’Amr
ibn Syamir dinilai sebagai perawi yang tertuduh berdusta di dalam meriwayatkan
hadist (matruk al-hadist) sehingga hadist yang diriwayatkan juga dinilai
matruk.
g). Hadist mawdhu’, yaitu
hadist yang dibuat-buat, diadakan, didustakan dan dinisbahkan oleh seorang
pendusta kepada rasulullah secara palsu baik secara sengaja maupun tidak
sengaja (khatha’an). Seperti contoh adalah hadist yang berbunyi:
افة الدين ثلاثة فقيه فاجر وامام
جاءر و مجتهد جاهل
“Lenyapnya
agama disebabkan tiga hal, yaitu ahli fiqh yang durhaka, pemimpin yang lalim,
dan mujtahid yang bodoh.
Hadist di atas adalah riwayat imam
al-Dailami yang berasal dari ibnu abbas. Hadist tersebut menurut penilaian
al-Hafidz Ahmad al-Ghomari adalah hadist maudhu’.
Kesimpulan
Pembagian hadist secara simple
menjadi tiga macam ini dikarenakan pada dasarnya hadist itu adakalanya maqbul
(diterima) dan adakalanya Mardud (ditolak). Hadist yang maqbul adakalanya
disebabkan ia telah memenuhi syarat-syarat untuk diterima secara sempurna dan adakalanya memenuhi syarat-syarat untuk
untuk diterima tetapi kurang sempurna. Hadist-hadist maqbul yang memenuhi
syarat untuk diterima dengan sempurna di sebut hadist shahih, sedangkan
yang kurang memenuhi syarat-syarat untuk diterima dengan sempurna disebut hadist
hasan, sedangkan hadist mardud yang (ditolak) ialah Hadist dhaif. Pembagian
hadist denagan segala macam dan aneka ragamnya itu tidak bisa keluar dari tiga
macam pembagian tersebut.
Daftar Rujukan
Prof.Dr. Alawi
Al-Maliki Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadist. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Dr. As-Shalih
Subhi. 2000. Membahas Ilmu-ilmu Hadist. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dr.Hj.
Umi Sumbulah, M.Ag; Kholil Akhmad , M.Fil.I; Dr.H. Nasrullah, M.Th.I.
2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang:
UIN-Maliki Press.
Al-Nawawi Imam. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hadist.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
M. Rahmat Kurnia; M. Sigit Purnawan Jati; M.
Ismail Yusanto. 2002. Prinsip-prinsip
Pemahaman Qur’an dan Hadist, Jakarta selatan: Khairul Bayan.
Revisi:
1.
Tidak ada indikasi copy-paste.
2.
Penulisan footnote perlu diperbaiki lagi.
3.
Dalam tulisan ilmiah, penyebutan gelar
dihilangkan.
4.
Contoh hadis shahih dan hasan kok tidak ada?
5.
Berikan contoh pada masing-masing jenis hadis,
dan jelaskan secara gamblang mengapa ia dihukumi demikian.
6.
Berikan keterangan hukum mengamalkan hadis
shahih, hasan, dan dhaif secara jelas.
[1]
Prof.Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadist, hlm. 52
[2]
M. Rahmat Kurnia; M. Sigit Purnawan Jati; M. Ismail Yusanto, Prinsip-prinsip
Pemahaman Qur’an dan Hadist, hlm. 142
[3]
Imam Al- Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadist, hlm.3
[4]
Dr.Hj. Umi Sumbulah, M.Ag; Kholil Akhmad
, M.Fil.I; Dr.H. Nasrullah, M.Th.I, Studi Al-qur’an dan Hadist, hlm.204
[5]
Prof.Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadist, hlm. 52
[6]
Prof.Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadist, hlm. 53
[7]
M. Rahmat Kurnia; M. Sigit Purnawan Jati; M. Ismail Yusanto, Prinsip-prinsip
Pemahaman Qur’an dan Hadist, hlm.144
[8]
Dr, As-Shalih Subhi, Membahas Ilmu-ilmu
Hadis, hlm.142
[9]
Dr.Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm.59
[10]
Dr.Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm.60
[11]
Dr.Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm.63
[12]
M. Rahmat Kurnia; M. Sigit Purnawan Jati; M. Ismail Yusanto, Prinsip-prinsip
Pemahaman Qur’an dan Hadist, hlm.145
[13]
Dr.Hj. Umi Sumbulah, M.Ag; Kholil Akhmad
, M.Fil.I; Dr.H. Nasrullah, M.Th.I, Studi Al-qur’an dan Hadist, hlm.210
[14]
Dr.Hj. Umi Sumbulah, M.Ag; Kholil Akhmad
, M.Fil.I; Dr.H. Nasrullah, M.Th.I, Studi Al-qur’an dan Hadist, hlm.218
Tidak ada komentar:
Posting Komentar