FIQH INDONESIA
(STUDI PEMIKIRAN FIQH KH.
MA. SAHAL MAHFUDH)
M. farih Al- Fawaid dan Nikita
Fatimatuz Zahro
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang
Abstract:
This paper discusses the
Indonesian fiqh studies KH.Sahal thought Mahfouz. Study Thought someone in the background by the
background conditions and social and cultural
situations that exist in the society that surrounded him. Similarly, the study of fiqh thinking KH.Sahal.
which his fiqh thinking in background backs by the developments and demands of more
advanced age. Where the demands on the science
of fiqh in order to adapt modern life as it is today.
his paper discusses the study
of fiqh thinking by KH.Sahal Mahfouz, biography, some of the products / results of
KH.Sahal Mahfouz thinking about a problem and the solution of the problem, according to the
times. And how KH.Sahal in exploring the
legal rulings. Regardless of which is derived from the ideas of KH.Sahal Mahfudz studying fiqh
in tune with the circumstances in accordance with the times,
about the problems that exist and its solutions, to fiqh in globlalisasi era or the modern era.
Keywords : KH.Sahal Mahfouz, Fiqh, Indonesia, modern thinking
Pendahuluan
Fiqh di definisikan sebagai ilmu untuk mengetahui kumpulan-kumpulan
dari berbagai aturan hukum sayara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang
di peroleh dari dalil-dalinya secara
rinci. [1]
Fiqh dalam kenyataanya upaya manusiawi, ynag melibatkan proses
penalaran baik dalam tatanan teoritis maupun praktis, dalam memahami,
menjabarkan dan mengelaborasikan hukum-hukum agama.
Rumusan berfiqh yang di
tokohi oleh ulama-ulama NU ini merupakan sejarah baru yang cukup fantastis di
tubuh NU. Dalam rumusan ini fiqh telah mengemban tugas baru sebagai perangkat
hermeneutika, yang implikasinya sangat besar dalam kehidupan .[2]
Di Indonesia sendiri, materi hukum fiqh sudah jauh berkembang kedalam hukum kebiasaan, dan dalam
pendapat umum, sehingga telah mempunyai hukum yang kuat baik dalam
sumber-sumber formal maupun sumber-sumber material dari hukum itu sendiri. Fiqh
akan berperan jika ijtihad di terapkan secara proporsional dalam rangka
keutuhan ajaran Islam.[3]
Biografi KH.MA Sahal
Mahfudh
1. Latar
Belakang Kehidupan KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh
KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh lahir pada 17 Desember 1937 di Desa
Kajen, Mergoyoso, Pati, Jawa Tengah. Putra K.H. Mahfudh Salam Al-Hajani. Dia
anak ketiga dari enam bersaudara pasangan K.H. Mahfudh Salam (w.1944) dan Nyai
Hj. Badriyah (w.1945). Ayah K.H.Sahal adalah saudara misan dari KH. Bisri
Sansuri, salah seorang pendiri jam’iyah NU yang sangat di segani, wafat pada
hari Sabtu, 25 April 1981[4].
Sejak kecil KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh tidak lepas dari pesantren,
hidupnya memang di pesantren, lahir, besar, belajar di pesantren.
Dari ayah maupun ibu,
Sahal berada di lingkungan kiai yang mendalam tradisi penguasaan khazanah
klasiknya (kitab kuning), mengedepankan harmoni sosial dan sopan santun, serta
jauh dai kesan menonjolkan diri.
Seperti yang telah di katakan sebelumnya saudara KH. Muhammad Ahmad
Sahal Mahfudh berjumlah enam. Yaitu M. Hasyim, Hj. Muzayyanah (istri KH.
Mansur, Pengasuh PP An-Nur Lasem dan cucu KH. Abdussalam Kajen), Salamah (istri
KH. Mawardi, pengasuh PP Bugel-Jepara, kakak istri KH.Abdullah Salam), Hj.
Fadhilah (istri KH. Rodhi Soleh Jakarta, wakil Ra’is Am PBNU sejak 1984), Hj.
Khadijah (istri KH. Maddah, pengasuh PP Assuniyah – Jember yang juga cucu KH.
Nawawi, adik kandung KH. Abdussalam, kakek KH. Sahal).
Kiai Mahfudh
meninggal di penjara Ambarawa 1944 saat melawan tentara Jepang. KH. Mahfudh
waktu itu memimpin santri Kajen membendung perlawanan Jepang bersama ayahnya
(KH.Abdussalam), KH.Nawawi dan KH.AbdullahThahir Nawawi. Waktu itu usia Sahal
baru 7 tahun. Kakak KH. Sahal sendiri yakni Muhammad Hasyim juga meninggal
ketika melawan agresi militer Belanda tahun 1949 bersama Abdullah Sa’id (putra
KH.Mustaghfirin Kajen). [5]
2. Pendidikan
KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh
Pendidikan formal Kiai Sahal di mulai sejak usia 6 tahun (1943) di Perguruan
Islam Matha’ilul Falah, madrasah pimpinan bapaknya sendiri. Ia menamatkan
pendidikan tingkat dasarnya pada tahun 1949. Sahal menyelesaikan studi sampai
tingkat Tsanawiyah tahun 1953.
Setelah beberapa waktu di rumah, Sahal akhirnya memilih pesantren
Bendo Kediri sebagai tempat mengajinya. PP asuhan KH. Muhajir beliau adalah
murid Syekhana Cholil Bankalan Madura. Sahal dalam belajar selalu mempunyai
target. Misalnya, harus menguasai fat ini dan itu selama sekian bulan. Oleh
karenanya ia berusaha semaksimal mungkin untuk mencapainya.[6]
KH. Sahal pernah menjadi guru di Pesantren Serang (1958-1961), dosen
di kuliah Tahassus Fiqh di Kajen (1966-1970), dan menjadi staf pengajar di
Universitas Cokroaminoto (Uncok) Pati
(1974-1976), menjadi dosen di fakultas Syariah IAIN WaliSongo Semarang
(1982-1985), dan sejak tahun 1989 mejadi Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama
Jepara. Pada tahun 2003 memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) dari
Universitas Islan Negeri Jakarta, karena kealimannya dalam ilmu Fiqh. Beliau di
kenal sebagai ahli fiqh abad modern.[7]
3. Menikah
Pada tahun 1968/1969 Gus Sahal menikah dengan Nafisah binti KH.Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pondok
Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang. Kedua pengantin tersebut hidup apa
adanya, Gus Sahal tetap dengan kesibukannya, mengajar, sibuk di NU, dan melayani
umat. Waktunya habis untuk memberdayakan umat. Ibu Nafisah juga tidak mau
kalah. Beliau merintis usaha, jual kain, bahkan pernah menjahit, di samping
kegiatannya mengajar dan memberikan ceramah-ceramah agama, sebagai muballighah.
Kesederhanaan dan kewiraan KH. Sahal keliahatn pada saat makan dulu
dan sekarang, menu makanan beliau adalah sambal, tempe dan sayur-mayur.
Kiai Sahal kini mengasuh
seorang putra bernama Abdul Ghaffar Razin, M.Ed., yang nantinya di harap
meneruskan estafet kepemimpinannya.[8]
4. Pengabdian
KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh
Perjalanan organisasi KH. Sahal di mulai dengan menjadi Katib
Syuriah PCNU Pati (1967-1975), Ketua II PC LP Ma’arif Pati (1968-1975), Wakil
Ra’is PCNU Pati (1975-1985), Wakil Ketua RMI Jawa Tengah (1977-1982), Ra’is
Syuriah PWNU Jawa Tengah (1982-1985).
Sejak Mu’tamar 1984 terpilih sebagai Ra’is Syuriah PBNU. Dalam
Mu’tamar NU ke-30 di Lirboyo, Kediri terpilih sebagai Ra’is Aam PBNU. Begitu
juga dalam Mu’tamar NU ke-31 di Donohudan, Solo (2004), terpilih lagi sebagai
Ra’is Aam PBNU berpasangan dengan K.H.A Hasyim Muzadi sebagai ketua Tanfi
dziyahnya.[9]
5. Pengalaman
Lain KH. MA.Sahal Mahfudh
Sejak 1982 sering berkunjun ke luar negeri. Kiai Sahal banyak
mendapatkan kepercayaan untuk melakukan studi banding keluar negeri. Di
anataranya Philiphina dan Korea Selatan (1983), Tokyo-Jepang (1983), Srilanka
dan Malaysia ( 1984),Arab Saudi (1987), Kairo-Mesir (1992), Malaysia, Thailand,
Beijing (1997).
Sejak 1991 sampai sekarang, kiai Sahal menjabat Ketua Umum MUI
Pusat. Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Mergoyoso, Pati, Jawa
Tengah ini juga di kenal produktif menulis. Sejak tahun 1959 hingga 1993, ia
telah menghasilkan 107 macam tulisan dalam bentuk buku maupun makalah.[10]
Untuk lebih jelasnya mengenai biografi
KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh:
Nama lengkap
|
KH. Muhammad Ahmad Sahal
Mahfudh
|
Tempat, tanggal lahir
|
17 Desember 1937 di Desa
Kajen, Mergoyoso, Pati, Jawa Tengah
|
Ayah
|
K.H. Mahfudh Salam
Al-Hajani
|
Ibu
|
Nyai Hj. Badriyah
|
Saudara
|
M. Hasyim, Hj.
Muzayyanah (istri KH. Mansur, Pengasuh PP An-Nur Lasem dan cucu KH.
Abdussalam Kajen), Salamah (istri KH. Mawardi, pengasuh PP Bugel-Jepara,
kakak istri KH.Abdullah Salam), Hj. Fadhilah (istri KH. Rodhi Soleh Jakarta,
wakil Ra’is Am PBNU sejak 1984), Hj. Khadijah (istri KH. Maddah, pengasuh PP
Assuniyah – Jember yang juga cucu KH. Nawawi, adik kandung KH. Abdussalam,
kakek KH. Sahal).
|
Istri
|
Nafisah binti KH.Abdul Fatah Hasyim
|
Anak
|
Abdul Ghaffar Razin,
M.Ed.
|
pendidikan
|
- MI Perguruan Islam Matha’ilul
Falah (sejak usia 6 tahun), 1943-1949
- Tsanawiyah Perguruan Islam
Matha’ilul Falah, th 1953
- Pesantren Bendo Kediri
|
Pengabdian
|
-Guru di Pesantren
Serang (1958-1961)
-Dosen di kuliah Tahassus Fiqh di Kajen (1966-1970)
-menjadi staf pengajar
di Universitas Cokroaminoto (Uncok)
Pati (1974-1976), -menjadi dosen di
fakultas Syariah IAIN WaliSongo Semarang (1982-1985),
-sejak tahun 1989 mejadi
Rektor Institut Islam NU Jepara
-Pada tahun 2003
memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) dari Universitas Islam Negeri
Jakarta
|
Organisasi/ pengalaman
|
-menjadi Katib Syuriah
PCNU Pati (1967-1975),
- Ketua II PC LP Ma’arif
Pati (1968-1975),
-Wakil Ra’is PCNU Pati
(1975-1985),
- Wakil Ketua RMI Jawa
Tengah (1977-1982),
-Ra’is Syuriah PWNU Jawa
Tengah (1982-1985).
-Sejak Mu’tamar 1984
terpilih sebagai Ra’is Syuriah PBNU.
-Dalam Mu’tamar NU ke-30
di Lirboyo, Kediri terpilih sebagai Ra’is Aam PBNU.
-Begitu juga dalam
Mu’tamar NU ke-31 di Donohudan, Solo (2004), terpilih lagi sebagai Ra’is Aam
PBNU berpasangan dengan K.H.A Hasyim Muzadi sebagai ketua Tanfidziyahnya
|
Produk Produk Fiqh KH. MA.
Sahal Mahfudh[11]
Epistemologi fiqh sosial Kiai Sahal akhirnya menghasilkan
pemikiran-pemikiran maju, dinamis, solutif dan berdimensi sosial masyrakat.
Antara lain:
1. Ahlusunnah
wal jama’ah.
Ahlusunnah menurut kiai Sahal harus di kembangkan supaya tidak
sempit. Sikap warga aswaja yang mencukupkan apa yang telah di ketahui dan di
pelajari serta tidak mau berdialaog dengan ilmuwan dan teknorat yang lain,
jelas akan merugikan pengembangan wawasannya. Aswaja harus di kembangkan secara
mendalam dari sudut pandang berbagai ilmu, khusunya ilmu sosial, sehingga
aswaja bisa direintrodusi secara rasional, sistematis, dan kontekstual sesuai
dengan transformasi kultural yang sedang berproses.
2. Pengembangan
wawasan
Perubahan di masayarakat menghendaki perubahan wawasan. Perubahan
wawasan itu menjadi amat penting karena sangat mempengaruhi perubahan
sikap dan perilaku yang dapat
menumbuhkan kemauan, kepekaan dan ketrampilan melihat masalah, bahkan pada
akhirnya merumuskan pemecahan masalah. Perubahan wawasan itupun akan semakin
berarti jika di topang dengan penguasaan islam secara utuh. Pemgembangan
dinamika keilmuwan merupakan jawaban atas tantangan – tantangan yang muncul
akibat adanya arus globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Pengembangan
dinamika keilmuwan harus mampu menjadi sarana pemandu transformasi sosial dan
sekaligus sebagai sarana kontekstualisasi ajaran islam dalam tata kehidupan
masyarakat. Keterbukaan juga harus di tekankan. Sikap keterbukaan sikap akan
menumbuhkan keberanian para ulama maupun intelektual untuk saling memberikan
kritik konstruktif, bahkan melalui autokritik.
3. Kesadaran
Pluralisme
Pelaksanaa keadilan dan kesejahteraan merupakan keharusan bagi suatu
pemerintahan yang tidak perlu berlabel islam. Sebab realitas bangsa menunjukkan
adanya pluralitas dari berbagai macam etnis dan agama.
Ini sangat memerlukan
kepedulian tinggi dari para politisi Islam untuk dapat menumbuhkan semangat
baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer dengan corak dan formmalitas
yang tidak berlawanan dengan Islam. Sekaligus menanggalkan cara
tradisional seperti keterkaitan masa dan
simbol-simbol Islam secara emosional semata.
4. Pengentasan
kemiskinan.
Mengentaskan kemiskinan harus melalui kerja terencana, terprogram,
sistematis dan kontinu. Kemiskinan adalah sebab-akibat. Penyebab kemiskinan
harus di tutup. Kalau penyebabnya tidak ada sumber penghasilan, maka harus di
beri alat untuk medapatkan penghasilan. Tidak cukup hanya di beri hal-hal yang
sifatnya konsumtif, hal ini membuat masyarakat menjadi pasif, boros dan tidak
mempunyai kemauan kuat. Untuk itu perlu di motivasi agar punya keinginan dan
kemauan kuat untuk berusaha, di bimbing, di arahkan, di beri ketrampilan
khusus, dan di beri modal usaha dengan perencanaa dan pengawasan kontinu.
5. Penanganan
zakat.
Zakat menurut kiai Sahal harus di jadikan senjata ampuh bagi
pengentasan kemiskinan. Caranya adalah dengan menggunakan harta zakat secara
produktif. Lembaga yang menangani harus yang handal, profesional dan
berorientasi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Harus ada monitoring dan evaluasi
agar tujuan zakat terealisir secara maksimal.
6. Pengaturan
sumber daya manusia NU
Kekayaan SDM NU harus di lakukan secara integral, tidak sporadis dan
alami, di perlukan ketrampilan manajerial dan pengorganisasian yang mampu
memproyeksikan suatu rintisan aktual dan kontekstual terhadap permasalahan umat
dan warga NU. Di perlukan proses perencanaan dan tahapan-tahapan yang harus
jelas, baik strateginya, tujuannya, metode maupun pendekatan masalahnya.
7. Mamanjemen
Dakwah
Dakwah bagi kiai Sahal parameternya adalah perubahan sikap perilaku,
mental, kondisi riil ekonomi, pendidikan dan budayanya. Walau dakwah hanya di
ukur dari lucunya muballigh dan pengunjungnya yang banyak, maka dakwah islam
tidak banyak manfaatnya bagi peningkatan kualitas ekonommi masyarakat. Untuk
itu perlu ada dakwak progresif yang mencoba melakukan proyeksi dan
kontekstualisasi ajaran agama islam dalam proses proses transformasi sosial.
Hal ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial muballigh agar mampu melakukan
pendekatan kebutuhan yang di sertai sumber islam.
8. Masalah
krisis Ekologi[12]
Bagi Kiai Sahal, krisi ekologi ini di timbulkan dari pandangan
manusia yang kelliru terhadap alam.
Masyarakat menganggap alam layaknya “prostitut”, tubuhnya di eksploitasi
dan setelah itu di campakkan. Kerusakan alam menurut kiai Sahal akan berdampak
pada kemiskinan dan sebaliknya, pelestarian alam dan lingkungan akan
berimplikasi positif pada kesejahteraan hidup an peningkatan ekonomi. KH. Sahal
berpendapat bahwa dalam penggunaan alam harus di dasarkan pada aspek manfaat
dan mafsadat, untuk menunjang kebutuhan dan kehidupan. Dalam pandangan kiai
Sahal alam tidak di pandang sebagi mesin, melainkan sebagai satu kesatuan yang
harmonis yang tidak di pisah-pisahkan. Suatu jaringan relasi yang dinamis
meliputi manusia dan kesadarannya secara essensial. Konsep kesatuan harmonis
dari kiai Sahal itu akan mentransmisikan dunia ke dalam sebuah aliran yang
padu, menjadi gerakan positif bagai perubahan ekonomi, politik, sosial, dan
kultural.
Dalam amatan kiai Sahal, krisis ekologi dapat diatasi dengan cara
mengubah mengubah persepsi manusia yang keliru. Persepsi tentang pandangan
dunia mekanistik. Seiring dengan itu di perlukan sebuah wacana baru dalam
mekanisme pengelolaan alam berupa konsep kesatuan harmonis.
9. Masalah
prostitusi dan Insustri seks [13]
Pendapat kiai Sahal tentang penganangan masalah prostitusi. Menurut
beliau ada dua cara terbaik menanggulangi prostitusi. Pertama sentralisasi
pelacuran. Artinya pelacuran perlu di lokalisir dalam satu tempat yang cukup
jauh dadri kontak penduduk lokal. Cara ini merupakan jalan tengah dari dua rus
pemmikiran, yakni kelompok yang menghendaki pelacuran dan kelompok yang
bersikeras membumihanguskan lokalisasi.
Solusi yang di berikan kiai Sahal, yakni menyentralisasi lokasi
pelacuran dalam rangka meminimalisir dari madlarat pelacuran. Karena
bagaimanapun pelacuran tersebut tidak dapat dapat di hapuskan, yang dapat di
lakukan adalah meminimalisir. Pendapat kiai Sahal itu di dasarkan pada kaidah
akhafudz al-dlararain, yaitu mengambil sikap yang resikonya paling kecil dari
dua macam bahaya.
Kedua, melalui pendekatan
kusatif atau sosiologis. Metode ini dalam rangka mengetahuii sebab-sebab latar
belakang dari para pelaku pelacuran. Kiai Sahal menyebutnya cara ini sebgai
kunci utama mengatasi prostitusi. Konsekuensinya, jika pelacuran di sebabkan
kemiskinan, maka perlu di upayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
pembangunan ekonomi yang tepat guna dan tepat sasarn. Jika kar persoalannya
karena minimnya pengetahuan agama, maka di perlukan upaya penanaman etika dan
moralitas yang di landasi semangat keagamaan. Prinsip Kiai Sahal ini juga
mengacu pada kaidah ushul, sad al-dzari’ah, yaitu menutup jalan yang menuju perbbuatan terlarang.
10. Masalah
pendidikan integralistik[14]
Pendidikan dalam rumuan kiai Sahal adalah usaha sadar yang membentuk
watak dan perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Bagi kiai Sahal
pendidikan tidak sekedar memenuhi tuntutan pasar bebas, meskipun pemenuhan
kebutuhan pragmatis juga penting. Kiai Sahal sering memnyebut bahwa pendidikan
harus bernuansa pada terciptanya manusia yang shalih dan akram.
Konsep pendidikan kiai Sahal sebenarnya berangkat dari pandangan,
bahwa manusia itu makhluk yang utuh, humanistik dan komprehensif.
Menurut kiai Sahal langkah
terbaik untuk mengatasi krisi pendidikan adalah dengan menyerahkan model
pendiidkan itu keppada masyarakat untuk mengelola sesuai dengan kebutuhan dan
kultur masing-masng daerah. Di sinilah sebetulnya kia Sahal menawarkan pesantren
sebagai alternatif. Solusi kiai Sahal kepada pesantren itu karena berangkat
dari logika keberagaman tersebut. Dengan begitu pendidikan ke depan dalam
pandangan kiai Sahal adalah pendidikan yang menghormati heterogenitas dan mampu
menyiapkan orang yang bisa berubah di satu isi, serta pendidikan yang dapat
membentuk watak, sikap dan prilaku islami yang meliputi dimensi iman (akidah),
islam (syari’at), dan ikhsan (akhlak, etika, tasawuf) di pihak lain. Inilah
pendidikan integralistik.
Prinsip Pengambilan Hukum
Fiqh KH. MA. Sahal Mahfudh[15]
Metode pengambilan hukum (al-istinbath al-ahkam) KH.Sahal pada
dasarnya di bagi dalam dua tipologi, yakni metode tekstual (madzhab qauli) ,
dan metode kontekstual/ metodologis (madzhab manhaji).
1. Metode
Tekstual (madzhab Qauli)
Metode ini di gunakan ketika kiai Sahal memberikan fatwa hukum
terutama di harian suara merdeka. Dalam operasionalnya kiai Sahal menggunakan
kitab-kitab yang di gunakan oleh ulam Syafi’iyah (buku syafi’i). Kitab-kitab
yang sering di jadikan rujukan oleh kiai Sahal dalam memberikan fatwa hukum
antara lain: Nihayah al-Zain, Subul al-Salam, Mizan al-Kubro, Rawa’i al- Bayan,
al-Iqna, al-Banjuri, Fath al-Mu’in, dan lain-lain. Sedangkan ulama yang sering
di jadikan referensi antara lain: al-Rafi’i, (w.623 H/1209 M), al-Nawawi (w.
627/1277), al-Qaffal (w. 365/976), al-Razi (w.606/1209).
Banyak kitab besar antara lain: al-Muhazzab, al-Maj-mu,
al-Mukhtasar, yang di tulis masing-masing oleh Syra-zi, Nawawi, dan Muzani.
Apalagi kitab karya Syafi’i sendiris seperti al-Umm, al-Risalah, Musnad,
Ikhtilaf al-Hadis dan lain-lain. Ada beberapa nama ulama seperti al-Jaziri, Abu
Hanifah, Yusuf Qardhawi atau Mahmud Syalthut yang di ambil pendapatnya.
Misalnya ketika ketika kiai Sahal mengungkap makna sabilillah dalam QS. At-Taubabh:60,
Beliau mengambil pendapatnya Syekh Mahmud Syalthut yang mengatakan bahwa
sabilillah tidak semata-mata berarti orang yang berjihad secara sukarela
(al-ghuzzal al-ghairu al-murtaziqah)
seperi yang di katakan ileh para fuqaha pada uumunya, akan tetapi kata tersebut
mencakup segala bentuk kebaikan.
Jika di cermati dengan seksama pengambilan fatwa hukum kiai Sahal di
suara merdeka sifatnya ekletik, yakni mengambil beberapa pendapat beberapa
fuqaha yang mendukung atau sesuai dengan pertanyaan yang di ajukan tanpa di
dukung atau sesuai dengan analisa.
Sebagai contoh, ketika
kiai Sahal berpendapat tentang boleh dan tidaknya air musta’mal untuk
menghilangkan hadas, dengan berpegang pada madzhab Syafi’iyyah. Kiai Sahal
cenderung menerapkan pendapat umum ynag tidak membolehkan air musta’mal untuk
menghilangkan hadas.
Kiai Sahal sendiri memang sebetulnya kurang sreg dengan metode
tekstual ini. Namun cara madzah qauli itu harus di lakukan mengingat dua hal,
pertama pertanyaan yang di ajukan bersifat praktis dan hanya berkaitan dengan
masalah-masalah furu’iyah di biang ibadah. Karenna pertanyaanya bersifat
praktis maka jawabannya punharus sesuai dengan kapasitas si penanya.
Di samping itu, jika di perhatikan penerapan metode tekstual dari
kiai Sahal dengan mengambil pendapat (qaul) para fuqaha itu sifatnya tidak
memaksa. Artinya kiai Sahal tetap memberi peluang kepada si penanya untuk
memilih dari pendapat-pendapat yang di sebutkan. Ini tampak dalam setiap
jawabannya, tidak pernah menyebut satu qaul saja melainkan beberapa qaul. Cara
ini tidak di lakukan dalam rangka memberi kebebasan sekaligus mendidik kepada
khalayak tentang tata cara memnyikapi teks-teks asgar tidak terpaku pada salah
satu madzhab saja.
2. Metode
Konteksual (madzhab manhaji)
Bermadzhab secara metodologis menurut kiai Sahal merupakan suatu
keharusan. Hal ini di sebabkan karena memahami fiqh secara tekstual merupakan
aktivitas yang ahistoris dan paradoks
dngan makna fiqh itu sendiri.
Metode kiai Sahal dalam mengistinbatkan hukum secara metodologis ini
dengan cara menferifikasi persoalan yang tergolong ushul dan
permasalahan-permasalahan ushul dan furu’, Kiai Sahal lebih dahulu melakukan klasifikasi
atau mengidentifikasi sebuah kebutuhan.
KH. Sahal dalam mengistimbatkan hukum selalu mengacu pada kerangka
maslahat.namun begitu ia tetap berpegang pada kaidah-kaidah ushul fiqh, tradisi
kenabian, praktek-praktek sahabat dan fuqaha awal. Cara itu di tempuh agar
proses penggalian hukum tidak terjerat ke dalam arus modernitas – liberal
semata tetapi tetap berada dalam kerangka profetis da frame kewahyuan.
Kesimpulan
Dari
pemmaparan makalah di atas, maka dapat di ambil suatu kesimpulan, Fiqh dalam
kenyataanya upaya manusiawi, ynag melibatkan proses penalaran baik dalam
tatanan teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan dan
mengelaborasikan hukum-hukum agama. Salah satunya adalah study pemikiran
KH.Sahal Mahfudz yang mana pemikiran fiqh di sesuaikan dengan perkembangan
zaman sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, serta memberikan solusi atas
masalah-masalah yang ada dengan penggalian hukum secara kontekstual dan tekstual.
KH. Sahal dalam mengistimbatkan hukum selalu mengacu pada kerangka
maslahat.namun begitu ia tetap berpegang pada kaidah-kaidah ushul fiqh, tradisi
kenabian, praktek-praktek sahabat dan fuqaha awal. Cara itu di tempuh agar
proses penggalian hukum tidak terjerat ke dalam arus modernitas – liberal
semata tetapi tetap berada dalam kerangka profetis da frame kewahyuan.
Daftar Pustaka
Qurtuby,
Sumanto.2000. Era Baru Fiqh Indonesia
. Yogyakarta: Cermin
Fadeli,Soeleiman, dkk.
2007 . Antalogi NU (Sejarah-Istilah-Amaliah- Uswah)
. Surabaya: Khalista
Asmani, Jamal Ma’mur. 2007
. Fiqh Sosial KH.Sahal Mahfudh Antara Konsep
dan Implementasi. Surabaya: Khalista
Tim Aswaja NU Center. 2012
. Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah. Surabaya:
Khalista
Yafie, Alie. 1994 . Menggagas
Fiqh Sosial .Bandung: Mizan
Ahmad, Noor, dkk . 2000 . Epistemologi
Syara’ . Yogyakarta: Walisongo Press
Revisi:
1. Tidak ada indikasi copy-paste.
2. Abstrak Cuma satu paragraf saja.
3. Tolong lebih dielaborasi pemikiran dalam
bidang fiqihnya.
4. Pengulangan dalam penulisan footnote tolong
diperbaiki.
[2] Sumanto Al-Qurtuby, KH.MA Sahal Mahfudh Era Baru Fiqh
Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 1999),halm 9-11
[5] Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh :
Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya: Khalista, 2007), halm 11
[7] Soeleiman Fadeli dan muhammad Subhan, Antologi NU:
Sejarah- Istilah- Amaliah –Uhwah, (Surabaya: Khalista, 2007), halm 269
[8] Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh :
Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya: Khalista, 2007), halm 25-16
[9] Soeleiman Fadeli dan muhammad Subhan, Antologi NU:
Sejarah- Istilah- Amaliah –Uhwah, (Surabaya: Khalista, 2007), halm 269
[11] Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh :
Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya: Khalista, 2007), halm 81-83
[12] Sumanto Al-Qurtuby, KH.MA Sahal Mahfudh Era Baru Fiqh
Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 1999), halm
94-98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar