Siti Suwaibatul Islamiyah (16110141)
Fahmi Fachruddin Abdul Ghoni (16110171)
PAI E
2016
UIN
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Email:
batulislamiyah16@gmail.com
Abstract
This article discusses the meaning of ijtihad and
fatwa, the classification of mujtahid and mufti, and the position of ijtihad
and fatwa in Islam. This Fiqh is the legal istinbath through ijtihad by the
Mujtahids. Ijtihad can be regarded as one of the methods to extract the source
of Islamic law, either through real or implied statements. In the ijtihad,
there must be some provisions that must be achieved by a mujtahid, not all
scholars' can and are allowed to ijtihad. The classification of ijitihad is
divided into 6, among others: Mujtahid Mutlaq or Mujtahid fi Syar'i, Mujtahid
muntasib, Mujtahid fi al-Madzhab, Mujtahid fi al-Masail, Ahlu Takhrij, and
Tarjih Expert. In addition to the term ijtihad, there is a term fatwa in Islam.
Fatwas also have an important position and role in Islam. Fatwa is an opinion
or view of a law in Islam. Often we meet, fatwa usually tend to be dynamic,
because answer from problem faced by most society today. There are two kinds of
mufti, including: Mufti Mustaqil, and Mufti Ghairu Mustaqil or Mufti Mufti.
From some of these statements, that ijtihad and fatwa have an important
position in Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas mengenai pengertian ijtihad dan fatwa, klasifikasi
mujtahid dan mufti, serta kedudukan ijtihad dan fatwa dalam Islam. Fiqih ini merupakan
istinbath hukum melalui ijtihad oleh para mujtahid. Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu
metode untuk menggali sumber hukum islam, baik melalui pernyataan yang sudah
nyata atau yang harus memenuhi beberapa ketentuan. Dalam berijtihad, harus ada
beberapa ketentuan yang harus dicapai oleh seorang mujtahid, tidak semua ulama’
bisa dan diizinkan untuk berijtihad. Klasifikasi ijitihad dibagi menjadi 6
antara lain : Mujtahid Mutlaq atau Mujtahid fi Syar’i, Mujtahid muntasib,
Mujtahid fi al-Madzhab, Mujtahid fi al-Masail, Ahlu Takhrij, dan Ahli Tarjih. Selain
istilah ijtihad, terdapat istilah fatwa dalam islam. Fatwa juga memiliki
kedudukan dan peranan yang penting dalam islam. Fatwa merupakan pendapat atau
pandangan mengenai suatu hukum dalam islam. Sering kita temui, fatwa biasanya
cenderung dinamis, karena menjawab dari persoalan yang sedang dihadapi
kebanyakan masyarakat saat ini. Ada dua macam mufti, diantaranya : Mufti
Mustaqil, dan Mufti Ghairu Mustaqil atau Mufti Muntasib. Dari beberapa keterangan
tersebut, bahwa ijtihad dan fatwa sama-sama memiliki kedudukan penting dalam
islam.
Keywords : Ijtihad,
Fatwa, Mujtahid, Mufti.
A.
Pendahuluan
Menghadapi
perkembangan zaman, memang semakin sulit. Termasuk sumber hukum dalam islam
seringkali disalah gunakan oleh masyarakat, karena minimnya pengetahuan mereka
mengenai keagamaan. Yang perlu diketahui, ada 2 hal yang terpenting
mengenai hukum islam. Yakni, syariat dan fiqih. Pertama, adalah syariat.
Syariat islam bersifat fundamental, yakni mempunyai lingkup yang lebih luas
dari cakupan fiqih Bersifat konstan dan tetap sepanjang zaman, tidak mengenal
perubahan, dan tidak boleh atau tidak bisa disesuaikan oleh zaman.
Sedangkan fiqih ini, merupakan istimbath hukum melalui ijtihad oleh para
mujtahid.
Pada hakikatnya antara fatwa dan ijtihad memiliki perbedaan. Menurut
Rifyal Ka’bah, sebagaimana H. Uyun Kamilududdin bahwa fatwa
merupakan usaha untuk memberikan penjelasan tentang hukum syara’
oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahui. Kemudian menurut
Shiddieq Amien, fatwa adalah “pendapat di bidang hukum” atau official
legal opinion. Sehingga fatwa lebih spesifik dari pada ijtihad
karena ijtihad adalah istinbath hukum, baik ada maupun tidak ada
persoalan atau pertanyaan. Fatwa lebih bersifat kasuistik karena ia
merupakan respon atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa.
Seperti telah diungkapkan di atas fatwa tidak memiliki daya ikat
sehingga masyarakat maupun orang yang meminta fatwa tidak harus melaksanakan
rumusan hukum yang diberikan kepadanya. Meskipun fatwa cenderung dinamis
karena ia merupakan respon terhadap perkembangan isu yang sedang
dihadapi masyarakat, tetapi isi fatwa tidak selamanya dinamis dan
responsif.
Menurut Amir Syarifuddin, ada pakar ushul fiqih yang membandingkan
antara fatwa dengan ijtihad yang menurut maknanya bahwa fatwa
lebih khusus dari pada ijtihad. fatwa dilakukan setelah ada
seseorang bertanya, sedangkan ijtihad dilakukan tanpa menunggu adanya
pertanyaan dari pihak manapun.[1]
Seorang mujtahid
dalam kehidupan sehari-hari pada waktu mengamalkan ajaran agama sering
mmenemukan hal-hal yang perlu diselesaikan dengan berijtihad. Bertaqlid kepada
orang lain tidak diperbolehkan bagi seseorang yang memiliki kualifikasi sebagai
mujtahid. Kalau tidak deperbolehkan bertqlid, berarti ia harus berijtihad.
Kalau tidak berijtihad, maka ia tidak
akan dapat beramal, karena tidak mamperoleh petunjuk dari dalil-dalil yang
kuat.[2]
B.
Pengertian
Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari
kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan)
dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam Al-Quran disebutkan:
... وَالَّذِيْنَ لَمْ يَجِيْدُوْنَ اِلاَّ جُهْدَهُمْ ... (التوبة
: ٧٩)
Artinya:
“...
Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.”
(Q.S. At-Taubah : 79)
Kata al-jahd beserta seluruh
derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit
untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam
pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata
صَلُّوْا عَلَيَّ
وَاجْتَهِدُوْا فِي الدُّعَا ءِ
Artinya:
“Bacalah
shalawat padaku dan bersunguh-sungguhlah dalam berdo’a.”
وَاَمَّاالسُّجُوْدٰ
فَاجْتَهِدُوْا فِي الدٌّعَا ءِ
Artinya:
“Pada
waktu sujud bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a.”
قَالَتْ عَا
ئُشَةٰ رَضُيَ اللهُ عَنْهَا كَانَ رَسُوْلُاللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الأَ وَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ
Artinya:
“Aisyah
mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Bersungguh-sungguhlah dalam beribadah pada
sepuluh hari terakhir (bulan puasa) yang berbeda dengan hari yang lainnya.”
Demikian
pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung arti
sungguh-sungguh dan tidak disenangi.
Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi
ijtihada-yajtahidu-ijtihadan. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da
menjadi ijtihada pada wajan if-ta-a’-la berarti “usaha itu lebih
sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha
lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras
atau pengerahan daya upaya (istighfar al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan
demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh
sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak
menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar
biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.
Dalam istilah fuqaha (para pakar hukum
islam), pada umumnya, ijtihad dibicarakan dalam buku ushul fiqih.
Pembicaraannya sering dikaitkan dengan hadits uang menjelaskan Mu’adz bin Jabal
ketika diutus ke Yaman. Pada hadits tersebut terdapat kata-kata ajtahidu ra’yu.
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama
ushul fiqih. Namun secara umum adalah sebagai berikut:
عَمَلُيَّةُ
اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِلِيَّةِ فِي
الشَّرِيْعَةِ
Artinya:
“Aktivitas
untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’dari dalil terperinci
dalam syariat.”
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan
segala kesanggupan seorang fiqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh
pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah
inilah, ijtihad lebih banyak dikenal dan dugunakan bahkan banyak para fuqaha
yang menegaskan bahwa ijtihad itu bisa dilakukan dibidang fiqih.
Pendapat ahli fiqih dan ulam’ ushul
tersebut diperkuat oleh At-Taftazani dan Ar-Ruhawi. Kedua ulama’ tersebut
mengatakan bahwa ijtihad tidak dilakukan dalam masalah qath’iyat dan masalah
ushul ad-din (akidah) yang harus dipegang secara matang. Selain itu, mayoritas
ulama ushul fiqih tidak memasukkan masalah akidah pada lapangan ijtihad, bahkan
mereka melarang ber-ijtihad pada masalah tersebut. Mereka beranggapan bahwa
orang yang keliru dan salah dalam ijtihad pada masalah akidah tersebut
dipandang kafir atau fasik.
Imam Malik termasuk yang memiliki
pandangan seperti itu. Beliau berpendapat bahwa akidah bukan masalah
ijtihadiyah dan beliau juga menolak pembahasan ayat-ayat mutasyabihat. Dalam
hal ini, beliau berpegang teguh pada dhohir Al-Qur’an atau As-Sunnah serta
mengimani hal-hal yang gaib tanpa membahas hal-hal yang mendalam. Beliau
berpendapat bahwa kebenaran mujtahid dalam hal ini adalah satu. Namun,
minoritas ulama ushul, seperti Al-Kamal Ibnu Al-Hummam dan Ibnu Taimiyah
mengakui adanya ijtihad dalam aqidah.
Menurut Harun Nasution, arti ijtihad
seperti yang telah dikemukakan diatas adalah ijtihad dalam arti sempit. Dalam
arti luas, menurut beliau, ijtihad juga berlaku pada bidang politik, akidah,
tasawuf dan falsafa.[3]
Secara bahasa,
ijtihad berasal dari kata al-jahd dan al-jujd, yang berarti al-thaaqah (tenaga,
kuasa dan daya), sementara al-ijtihad dan al-tahajud berarti penumpahan segala
kesempatan dan tenaga (bazl al-wus’I wal-majhud). Sedangkan Luwis
Ma’luf menulis bahwa kata ijtihad berasal dari kata dasar jahada yang berarti
mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban. Ijtihad menurut para ahli
lughot ialah usaha yang optimal dan menanggung beban berat. Al-Amidi merumuskan
ijtihad sebagai mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i
yang bersifat zhanni, dalam luas batas sampai dirinya merasa tidak mungkin
mampu melampaui usahanya tersebut.[4]
Dalam hal lain, Al-Ghazali merumuskan
ijtihad dalam arti bahasa sebagai pencurahan segala daya usaha dan penambahan
segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu kekuatan yang menghasilkan arti yang
berat atau sulit. Dari pengertian semacam itu, Muhammad Iqbal, di waktu
membicarakan prinsip gerak dalam struktur Islam, mengidentifikasikan ijtihad
dengan mujahadah. Seperti yang terdapat dalam surat al-Ankabut ayat 69 yang
isinya:
وَالَّذِيْنَ
جَاهَدُوْا فِيْنَالَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَاِنَّاللهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِيْنَ.
Artinya:
“Dan
orang-orang yang berusaha sungguh-sungguh (mujahadah) untuk (mencari keridaan)
Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Usaha
sungguh-sungguh atau yang dalam al-Qur’an disebut dengan mujahadah, sebenarnya
merupakan perwujudan dari ketidakmungkinan seseorang “menguasai” keseluruhan
paradigma secara universal.[5]
Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad bisa
dipandang sebagai salah satu cara untuk mengenali suber hukum Islam.
Yang
menjadi landasan diperbolehkannya berijtihad banyak sekali, baik melalui
pernyataan yang jelas maupun berdasarkan syarat, diantaranya:
1.
Firman Allah SWT.
اِنَّا
اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّا سِ بِمَآ
اَرَاكَ اللهُ. (النساء : ١٠٥)
Artinya:
“Sesungguhnya
kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi diantara manusia
dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu.” Dalam ayat tersebut terdapat
penetapan ijtihad berdasarkan qiyas.
اِنَّ فِي ذَلِكَ
لَاٰ يَا تٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ.
Artinya:
“Sesungguhnya
pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.”
2.
Adanya keterangan dari sunah,
yang membolehkan berijtihad, sebagai berikut:
Hadits yang
diriwayatkan oleh Sahabat Umar bin Khattab:
إِ ذَا حَكَمَ
الْحَا كِمُ فَا جْتَهَدَ فَاَصَا بَ فَلَهُ أجْرَانِ وَاِذَا حَكَمَ فَا جْتَهَدَ
ثُمَّ أخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ.
Artinya:
“Jika
seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila
salah maka ia mendapat satu pahala.
Dan hadits Mu’adz bin Jabal ketika
Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman untuk menjadi halim di Yaman.
قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ لِمُعَادٍ : بِمَ تَقْضِي ؟ قَالَ : بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ . قَالَ :
فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَا بِ اللهِ؟ قَالَ : أَقْضِي بِمَا قَضَي بِهِ
رَسُوْلُ اللهِ . قَالَ : فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْمَا قَضَي بِهِ رَسُوْلُ اللهِ ؟
قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْ يِي . قَالَ : اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي وَفَّقَ
رَسُوْلَ رَسُوْلِهِ .
Artinya:
“Rasulullah
SAW bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi?” Ia menjawab,”Dengan apa yang ada
dalam kitab Allah. Bertanya Rasulullah,”Jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab
Allah?” Dia menjawab: “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah”.
Rasul bertanya lagi,”Jika tidak mendapatkan ketetapan dalam Rasulullah?”Berkata
Mu’adz,”Aku berijtihad dengan pendapatku.”Rasulullah bersabda,”Aku bersyukur
kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasulul-Nya.”
Dan hal itu telah diikuti oleh kalangan
para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika ada masalah yang
ditemukan dan dicari jalan keluarnya melalui Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.[6]
Fungsi Ijtihad
Ijtihad
berfungsi baik untuk menguji kebenarfan riwayat hadits yang tidak sampai ke
tingkat hadits mutawatir seperti hadits Ahad, atau sebagian upaya memahami
redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung
dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan
prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah sedperti dengan
qiyas,istihsan, dan maslahah mursalah. Dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadits-hadits hukum yang sangat terbatas jumlahnya dapat menjawab berbagai permasalahan
yang tidak terbatas jumlahnya.[7]
Macam-macam Ijtihad
Kalangan ulama’,
mendapati perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam
Syafi’i
menyamakan iktihad dengan qiyas, yaiti dua nama tapi maksudnya satu. Beliau
tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau masalahah mursalah.
Dibalik itu, para ulama’ lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad.
Menurut mereka, ijtihad mencakup qiyas, ra’yu dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu seperti
yang telah diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang
dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati
syari’at, tanpa melihat akankah hal ini ada dasarnya atau tidak. Berdasarkan
pendapat tedsebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad ke dalam tiga bagian, yang
bagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, ialah:
a.
Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad
untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dan nash.
b.
Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad
terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
menggunakan metode qiyas.
c.
Ijtihad Al-Istishlah, yaitu
ijtihad terhadap permasalahan yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan
kaidah istishlah.
Pembagian diatas masih belum bulum
dikatakan sempurna, seperti yang telah diungkapkan oleh Muhammad Taqiyu
Al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani.
Menurutnya, ijtihad ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni:
1.
Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad
yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid
dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti, misalnya:
menjaga kemadaratan, hukum dikatakan jelek apabila tidak disertakan penjelasan
dan lain-lain.
2.
Ijtihad syari’, yaitu ijtihad
yang didasarkan pada syara’, dalam pembagian ini termasuk ijma’, qiyas,
istihsan, Istishlah, ‘urf, istishab dan lain-lain.[8]
Syarat-Syarat Seorang Mujtahid
Sesungguhnya
ijtihad itu butuh proses dan tidak bisa langsung dilakukan, karena ada
Prosedur
yng dibahas secara kompeehensif dan memperhatikan persoalan furu’iyahnya.
Begitu juga hal-hal yang harus diperhatikan ialah kajian yang akan diuji,
apakah dikatakan analogis, maslahah dan lain sebagainnya. Maka dari itu, tidak
mudah bagi seseorang bisa dikatakan seorang mujtahid dalam fiqh Islam karna
banyak prosedur yang harus dipenuhi. Di samping itu seorang mujtahid harus
jujur dan tidak berat sebelah dalam menghukumi suatu hukum. Ada beberapa skill
yang harus dimiliki seorang mujtahid, yakni:
1.
Seseorang mujtahid harus
mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum, baik makna semantik, maupun
konotasi hukumnya.
2.
Seseorang mujtahid juga harus
mengetahui dan memahami makna hadits-hadits hukum, baik makna semantik maupun
konotasinya.
3.
Seoarang mujtahid harus
mengetahui ayat-ayat yang mansukh dan menasakhnya, sehingga ia tidak berpegang
pada dalil yang secara hukum tidak terpakai lagi.
4.
Eorang mujtahid juga harus
mengetahui ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan lewat ijma’ sehingga
ia tidak melahirkan pendapat yang berbeda dari hasil ijma’ tersebut.
5.
Mengetahui dan menguasai
metodologi qiyas dengan baik, dan mampu menguasai identifikasi furu’ dengan
baik.
6.
Kemudian, seorang mujtahid juga
harus menguasai kaidah-kaidah ushul fiqih dengan baik dan bahkan seorang
mujtahid harus menguasai dasar-dasar pemikiran yang menjadi rumusan
kaidah-kaidah tersebut.
Dan terakhir, seorang mujtahid harus menguasai maqasid
al-Syari’ah itu merupakan tujuan akhir yang harus dicapai bagi seorang mujtahid
untuk melaksanakan hukum-hukum islam.[9]
Pembahasan
diatas telah menerangkan pemahan tentang kriteria yang harus dimiliki
Oleh seprang mujtahid. Perlu diketahui bahwasanya
kriteria menjadi seorang mujtahid begitu berat dan kebanyakan seorang mujtahid
itu tidak mudah dicari seseorang yang handal memilikinya. Banyak sekali
kapasitas ilmu yang wajib dimiliki dalam diri mujtahid, sebab seorang mujtahid
dampaknya sangat berfungsi dikalangan masyarakat. Serta unsur yang
harus dimiliki ialah tanggung jawab yang besar kepada umat dan Tuhan sekaligus.
Maka dari itu, produk ijtihad akan memperoleh dampak yang signifikan dalam
kslsngan kehidupan kaum mudlimin.
Menurut Nadiyah Syarif Al-Umri, para
ulama’ membagi syarat mujtahid itu kepada tiga bagian, yakni:
a.
Pemahaman terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan sumber dari segala sumber yang diutamakan oleh semua kaum muslimin,
karna Al-Qur’an sebagai rujukan dari semua masalah yang sedang dihadapi yang
sampai sekarang masih terpercaya kedudukan hukumnya dari pada sumber lainnya.
Perlu diketahu apakah sebagai mujtahid perlu memahsmi dan menrla’ah isi
kandungan yang begitu banyak jawaban permasalahan yang hanyabisa terjawab oleh
Al-Qur’an itu sendiri. Al ghazali berpendapat bahwasanya tidak membebani bagi
para ulama untuk memahami keinginan untuk berijtihad dengan suatu leharusan
untik memahami isi kandungan isi Al-Qur’an. Demikian juga Al-Ghazali tidak
memberatkan untuk menghafal ayat-ayat Al-Qur’an itu. Menurutnya yang perlu
dipahami oleh para ulama dalam mencari suatu rujukan masalah dalam Al-Ur’an
hanya perlu mengetahui ayat-ayat yang bersangkutan dengan masalah tersebut.
b.
Pemahaman terhadap Sunnah
Sunnah
merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Syarat yang harus diutamakan
seorang mujtahid bahwasanya perlu penguasaan suatu pandangan kedudukan antara
fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an yang harus diuraikan kepada hal-hal penting
yang berkaitan persyaratan yang mutlak diperlukan bahi seorang mujtahid. Hal
yang yang perlu dipahami misalnya pemahaman tentang ilmu dirayah hadits,
mengetahui nasikh dan mansukh suatu hadits dan sebab-sebab wurud hadits.
c.
Kemampuan Bahasa Arab
Ketika kedua
syarat tersebut sudah dipahami (Al-Qur’an dan Sunnah) seorang mujtahid harus
memiliki bentuk pemahaman agar dapat dicapai keduanya yakni bahasa Arab,
sungguh seorang mujtahid harus memakai alat yang dijadikan syarat untuk mampu
memiliki redaksi taentang pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits adalah
bahasa Arab.
Kriteria ideal ini merupakan rumusan
yang diambil sesuai dengan beban ijtihad yang sangat berat itu. Karna sesungguhnya
kriteria diatas hanya ditujukan kepada mujtahid mutlaq, dan bukan kriteria para
mujtahid pada umumnya. Apabila mujtahid-mujtahid yang bukan mujtahid mutlaq,
setidaknya harus memiliki klarifikasi kemampuan yang dapat mengacu terhadap
kriteria-kriteria diatas.[10]
Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
Secara Universal mujtahid terbagi
menjadi dua golongan, yaitu mujtahid “mustaqil”, dan mujtahid yang tidak
mustaqil. Mujtahid yang tidak mustaqil terbagi dalam empat tingkatan yaitu:
mujtahid mutlaq yang tidak mustaqil, mujtahid takhrij, mujtahid tarjih dan
mujtahid fatwa.
1.
Mujtahid Mustaqil
Mujtahid
mustaqil adalah seorang yang melakukan ijtihad dalam menanggapai suatu
permasalahan sangat mandiri terhadap kajian ijtihadnya. Dia berijtihad dengan
kaidah-kaidahnya sendiri dan dia sendiri
merupakan perumusan dasar-dasar pemikiran yang menjdai asas dalam perumusan
kaidah-kaidahnya tersebut. Mereka ini merupakan para mujtahid salaf yang
diketahui telah melahirkan para madzhab-madzhab fiqh.
2.
Mujtahid yang tidak mustaqil
a. Mujtahid
Mutlaq yang tidak Mustaqil
Pada yingkatan ini, mereka yang
memiliki kriteria-kriteria diatas, akan tetapi mereka tidak melahirkan
kaidah-kaidahnya sendiri, dan dia hanya mengikuti kaidah-kaidah imamnya
walaupun kendati mereka berbeda.
b. Mujtahid
Takhrij
Mujtahid takhrij adalah mereka
yang sangat terikat dengan kaidah-kaidah imamnya, dan juga melesaikan
permasalahan furu’iyah sama dengan kaidah-kaidah imamnya. Mereka tidak pernah
mengkritik fatwa imamnya, dan tidak melahirkan fatwa baru dalam berfatwa.
c. Mujtahid
Tarjih
Mujtahid tarjih adalah mereka
yang tidak mengikuti kriteia diatas, namun dia dapat menguasai ilmu fiqh dengan
baik. Menguasai madzhab imamnya memahami dalil-dalil yang menjadi dasar fiqhnya
serta mampu mengaplikasikan kaidah-kaidah tersebut.
d. Mujtahid
Fatwa
Mujtahid fatwa adalah mereka
yang cukup menguasai fatwa-fatwa fiqh imam madzhabnya, tapi sedikit menguasai
kaidah ushulnya itu, sehingga tidak mempunyai kecakapan dalam mengaplikasikan
kaidah-kaidahnya.[11]
Ibnu Qayyim membagi para mujtahid dalam
empat tingkatan sebagai berikut:
1.
Mujtahid yang mengetahui kitab
Allah, sunnah Rasul serta pendapat-pendapat para sahabat. Dan inilah para
mujtahid yang menetapkan suatu hukum dalam segala macam kejadian.
2.
Mujtahi yang terkait dalam suatu
madzhab imam yang diikutinya. Dia mengetahui fatwa imamnya dan
pemdapat-pendapat pada umumnya. Serta dapat mengeluarkan hukum dari pendapat
imamnya tanpa bertaqlid sedikitpun.
3.
Mujtahid yang dalam imam diikuti,
berusaha menguatkan madzhab dengan dalil dengan pengetahuan baik fatwa-fatwa
imamnya.
Orang yang mempelajari suatu madzhab
dengan sumbernya dan mengaku dirinya seorang muqallid.[12]
C.
Klasifikasi
Mujtahid
Kerja para ulama pada masa ini masih
sekitar hasil ijtihad para imam-imam Mujtahid sebelumnya. Misalnya membuat ikhtisar-ikhtisar
yang disebut matan. Kemudian matan ini diberi penjelasan-penjelasan lagi yang
disebut hasyiah. Hal ini tidak mengandung arti yang sama sekali tidak dimiliki
oleh ulama dalam berijtihad, hanya saja mereka dalam ijtihadnya mengikatkan diri
mereka dengan madzhab yang ada. Dari dasar inilah akhirnya keluar istilah lain
berikut ini:
1.
Mujtahid Mutlaq atau Mujtahid fi
Syar’i
Merka
yang disebutkan yaitu mujtahid yang mempunyai metodologi kemandirian dalam
istinbat hukum, mereka inilah Imam-imam madzhab seperti Abu Hanifah, Maliki,
al-Syafi’i dan Anmad bin Hanbal.
2.
Mujtahid muntasib, yaitu para
mujtahid yang mengikuti Imam maszhab dalam usul atau metode ijtihad. Akan
tetapi hasil iktihadnya ada yang sama dan ada juga uang berbeda dengan pendapat
imam madzhab. seperti al-Muzani dalam madzhab al-Syafi’i.
3.
Mujtahid fi al-Madzhab
Yaitu
mujtahid yang mengikuti Imam madzhab baik dalam usul maupun furu’ hanya berbeda
dalam penerapannya. Seperti al-Ghazali dalam madzhab al-Syafi’i.
4.
Mujtahid fi al-Masail, yaitu mujtahid
yang membatasi diri hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh
imam-imam mereka. Seperti al-Karhi dikalangan madzhab Hanafi
5.
Ahlu Takhrij
Yaitu
fuqoha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan memperjelas pendapat-pendapat
yang samar dan janggal yang ada dalam madzhabnya. Seperti al-Jashos dalam
madzhab Hanafi.
6.
Ahli Tarjih
Yaitu
fuqoha yang kegiatannya hanya menarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang
berbeda yang terdapat pada madzhabnya.[13]
D.
Kedudukan
Ijtihad
Ijtihad mempunyai kedudukan yang penting
dalam hukukm Islam. Dalam kajian ushul Fiqh dan ilmu fiqh ijtihad merupakan
sumber hukum yang ketiga setelah Aal-Qur’an dan hadits. Legitimasi ijtihad sering disandarkan pada
beberapa hadits dari Nabi saw. beberapa hadits tersebut mensinyalir bahwa Nabi
Muhammad saw.mendorong dan mengizinkan para sahabatnya untuk menggunakan
ijtihad sebagai sarana untuk memutuskan hukum dalam masalah-masalah tertentu.
Jadi, penggunaan kata ijtihad sudah dimulai sejak zaman Rasululloh saw.
Sebgaian ulama besar mengatakan bahwa
mereka sependapat bhwa ijtihad memiliki legistimilasi yang valid sebagai sumber
huklum Islam yang ketiga, yakni setelah al-Qur’an dan al-Hadits. Jika ijtihad
adalah menekankan penggunaan akal atau nalar dalam memutuskan hukum mengenai
suatu perkara sebenarnya, di dalam ayat-ayat al-Qur’an juga banyak yang
medorong manusia untuk menggunakan akalnya dalam memahami dalil hukum.[14]
E.
Pengertian fatwa
Secara etismologi, fatwa berasal dari kata al-fatwa atau
al-futya, artinya jawaban terhadap sesuatu
permasalahan (musykil) dalam bidang hukum. Sehingga fatwa dapat diartikan
sebagai memberikan penjelasan (al-ibanah). Menurut Ibnu Manzhur fatwa berasal dari kata fata, yatfu,
fatwan, yang mempunyai arti penjelasan, penerangan. Sedangkan al-Fayumi berpendapat
bahwa al-fatwa berasal dari kata al-fata artinya pemuda yang kuat, sehingga
orang yang berfatwa disebut (mufti) karena diyakini mempunyai kekuatan dalam
memberikan penjelasan (al-bayan) dan jawaban terhadap suatu masalah yang
dikemukakan.
Sedangkan secara terminologis, Zamakshyari mengemukakan fatwa adalah penjelasan hukum
syara’ tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok. Yusuf
Qardawi berpendapatv bahwa, fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu
persoalan sebagai suatu jawaban dari pertanyaan yang dikemukakan oleh peminta
fatwa (mustafti).
Pandangan Ulama tentang konsep fatwa dalam hukum islam
yang menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits ebagai landasan hukum dan pedoman
hidup. Imam Asy-Syathbi mengatakan Fatwa menempati posisi yang sangat penting,
karena mufti (pemberi fatwa) adalah berkedudukan sebagai khalifah dan
ahli waris Nabi Saw, sebagaimana hadits diriwayatkan oleh Abud Daud dan
Tirmidzi bahwa “ulama merupakan ahli waris para Nabi” dalam menyampaikan
hukum syariat, kepada mereka agar sadar dan berhati – hati.[15]
Para
ulama salaf tidak berlebihan dalam mengeluarkan fatwa, tetapi dalam berfatwa
para ulama sangat berhati-hati dan bahkan mengatakan ketidak tahuan mengenai
permasalahan yang belum mereka ketahui secara pasti dan belum dipahami. Para
ulama lebih menekankan kepada kemampuan seseorang atau kelompok untuk
mengeluarkan fatwa harus memiliki kemampuan dan pengetahuan terhadap
permasalahan yang terjadi sehingga tidak terjadi kesalahan. Abdulloh bin Mas’ud
(ahli hadist dan tafsir al-Qur’an), beliau bersumpah dan menegaskan bahwa
seseorang atau kelompok yang memberikan fatwa meskipun tidak dimintai fatwa
atau tidak ada yang meminta fatwa kepadanya makatermasuk kategori orang gila,
sekalipun mereka sampai berani bersumpah tentang dirinya menganggap mampu, maka
sumpahnya tersebut dianggap palsu.
Para ulama dengan tegas menolak fatwa yang dikeluarkan
oleh orang yang bukan ahlinya serta kurang memahami mngenai dasar agama. Para
ulama juga telah menetapkan bahwa kepada seseorang yang telah mengeluarkan
fatwa tetapi bukan dalam kategori seorang ahli berfatwa, maka sesungguhnya
orang tersebut telah melakukan dosa dan bermaksiat kepada Allah swt.,
Rasululloh saw., dan umat Islam. Ibnu
Qayyim telah berpendapat bahwa : “Mereka yang memberi fatwa padahal tidak layak
untuk memberi fatwa sama halnyadengan dokter yang tidak mengerti mengenai ilmu
kedokteran tetapi nekat melakukan praktik”. Dan jika dibandingkan dengan dokter
tersebut, seorang mufti yang telah berfatwa ltersebut lebih jelek keadaanya.
Dalam
pendapat Ibnu Qayyim tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang berani
memberikan fatwa namun tidak memiliki pengetahuan Agama dan pengetahuan umum
yang komperehesif maka, fatwa yang diberikan akan ditinggalkan oleh masyarakat.
Kondisi tersebut sering terjadi pada saat ini, ketika seseorang yang kurang
memiliki pemahaman terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah serta tidak mengetahui ilmu
fiqih dengan segala persoalan yang ada, kemudian orang tersebut dimintai fatwa
maka jelas bahwa fatwa yang telah dikeluarkan salah. Dalam kaitan tersebut,
Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa orang-orang yang tidak memiliki
pendirian yang kuat, tetapi mereka senang memberikan fatwa tentang keagamaan,
maka orang tersebut digambarkan sebagai seorang mufti yang bodoh dan
mempermainkan hukum syariah.
Dari
penjelasan yang telah di uraikan , bahwa para ulama menyoroti pada integritas
dan kemampuan seorang mufti dalam mengeluarkan fatwa, dalam hal ini disebabkan
oleh pengetahuan mereka terhadap fatwa. Fatwa mempunyai kedudukan yang mulia
dan agung di dalam Agama Allah swt dan di dalam kehidupan manusia dari segala
aspeknya, sehingga para ulama menjelaskan apa yang diperbuat sebagai berikut :
a. Pertama, ulama salaf sangat berhati-hati dalam
memberikan fatwa, dan mereka tidak berani mengeluarkan fatwa apabila mereka
memang benar-benar belum memahami tetang masalah yang
dipertanyaka mustafti.
b. Kedua, para ulama salaf sangat mengingkari orang yang
berani mengeluarkan fatwa jika tidak didasari dengan ilmu pengetahuan dan
mereka diianggap bedosa dan telah berbuat bermaksiat.
c. Ketiga, ulama salaf memberikan persyaratan yang cukup
kuat bagi seorang mufti untuk dapat mengeluarkan fatwa, salah satunya adalah
pengetahuan umum yang beerhubungan dengan kehiduapan alam semesta, paham
terhadap al-Qur’an , as-Sunnah dan mengetahui ilmu fiqih dengan segala
persoalannya.[16]
Fatwa
merupakan hasil ijtihad para ahli (mujtahid dan mufti) dalam bentuk ucapan atau
lisan. Fatwa dalam bentuk tulisan ini dikenal sebgai fatwa-fatwa yang berharga
untuk kepentingan umat manusia. Hubungan fatwa dan ijtihad sangat erat, karena
ijtihad merupakan suatu usaha maksimal untuk melakukan istinbath terhadap
hukum-hukum tertentu, sedangkat fatwa adalah hasil usaha dari ijtihad. Hukum
Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits sebagian besar ditentukan
berdasarkan hasil ijitihad para mujtahid yang kemudian dituangkan fatwa
keagamaan oleh para mufti, apabila tidak ada ijtihad maka tidak ada fatwa.
Terdapat
beberapa istilah yang berkaitan dengan fatwa :
- Al- Ifta atau al-Futya, adalah suatu kegiatan menerangkan hukun syara’ (fatwa) sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
- Mustafti, adalah seseorang atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atas suatu peristiwa atau yang meminta fatwa.
- Mufti, adalah orang atau kelompok yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan atau seseorang atau kelompok yang memberikan fatwa.
- Mustafti Fih, adalah suatu peristiwa, masalah, kasus atau sesuatu yang dipertanyakan status hukumnya.
- Fatwa, adalah suatu jawaban hukum atas suatu peristiwa, masalah, kasus atau sesuatu yang dipertanyakan.[17]
Syarat berfatwa
(mufti)
Orang yang pantas untuk dimintai
fatwa tidaklah sembarang orang, untuk menjadi seorang mufti diperlukan
syarat-syarat tertentu yang menjadikan sesorang layak untuk diikuti fatwanya.
- Jalaluddin al-Mahalli menyebutkan bahwa diantara syarat seorang mufti adalah :
“Menguasai pendapat-pendapat dan kaidah-kaidah dalam
ushul fiqih dan fiqih, mempunyai kelengkapan untuk melakukan ijtuhad, dan
mengetahui ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk memformulasikan suatu hukum
(istinbat al-hukm), misalnya ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu mushthalah
al-hadits, tafsir ayat-ayat dan hadits-hadits hukum”.
- As-Syaukani menyebutkan tiga syarat yaitu, mampu berijtihad, adil dan terhindar dari kesan memperlonggar dan mempermudah hukum.
- Al-Imam an-Nawawi menyebutkan seorang mufti harus wara’, tsiqah, terpercaya, terhindar dari fasiq, tajam berfikir, sehat jasmani dan rohani.
- Imam Ahmad bin Hambal, menyatakan ada lima syarat untuk mengeluarkan fatwa
a. Mempunyai
niat yang tulus dan ikhlas. Setiap orang yang mengeluarkan fatwa harus
diniatkan lillahi ta’ala.
b. Mempunyai
ketenangan dan kewibawaan, orang yang tidak mempunyai ketenangan dan kewibawaan
akan sulit untuk menyampaikan secara jelas mengenai fatwanya.
c. Mempunyai kapasitas keilmuan yang memadai untuk
menetapkan fatwa, seseorang yang mengeluarkan fatwa tanpa didasari oleh
keyakinan akan keilmuannya termasuk orang yang membuat-buat hukum (tahakkum)
dan telah diancam oleh hadits :
أجرؤكم
على الفتيا اجرؤكم على النار
d. Mempunyai
kecukupan dalam penghidupannya, jika tidak mempunyai penghidupan yang cukup
maka dikhawatirkan menggantungkan kehidupannya dari berfatwa dan menjadi tidak
independen dalam berfatwa.
e. Memiliki
kecermatan dan kecerdikan dalam menghadapi masalah, hal tersebut sangat
diperlukan mufti agar tidak terjebak dalam tipu daya orang yang menjadikan
fatwa sebagai tempat berlindung dari masalah yang dihadapinya.[18]
- Jalaluddin al-Mahalli menyebutkan, menguasai pendapat-pendapat dan kaidah-kaidah dalam ushul fiqh dan fiqih, mempunyai kelengkapan untuk melakukan ijtihad, menguasai ilmu nahwu, ilmu bahasa, ilmu mushthalah al-hadits, tafsir ayat-ayat dan hadits-hsdits hukum.
Dalam memberikan fatwa ada 2 macam fungsi hukum antara
lain :
- Fatwa bersifat responsive, fatwa yang merupakan jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu permintaan ada pertanyaan fatwapada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan dari suatu peristiwa yang telah terjadi. Seorang pemberi fatwa (mufti) boleh untuk menolak memberikan fatwa atas pertanyaan yang belum terjadi, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Umar : “Jangan kalian menanyakan tentang peristiwa yang belum terjadi karena Umar ra. (pernah) melarang hal tersebut”. Meskipun seperti itu, seorang mufti disunnahkan untuk menjawab pertanyaan dari mustafti, sebagai langkah hati-hati agar tidak termassuk orang yang menyembunyika ilmu.
- Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum (legal opoinion) yang bersifat tidak mengikat. Dengan kata lain, pihaak yang memint fatwa (mustafti) baik perorangan, lembaga dan kelompok masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepada nya. Disebabkan fatwa tidaklah bersifat mengikat sebagiamana putusan pengadilan (qadha’).[19]
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan masalah fatwa, yaitu permasalahan tentang bolehnya
memberikan fatwa dengan cara taqlid (ikut) pendapat orang lain tanpa mengetahui
alasannya. Dalam hal tersebut Ibnu Qayyim berpendaat :
a. Seseorang tidak boleh memberikan fatwa denagn cara taqlid
karena akan dianggap bukan orang yang
berilmu, sedangkan berfatwa tanpa mempunyai ilmu dianggap haram.
b. Apabila tidak ada orang yang mamu berijtihad dengan
pendapat yang paling benar, memberi fatwa cara taqlid diperbolehkan keetika
sangat dibutuhkan.[20]
Syarat dan adab meminta
fatwa (mustafti)
Sebagaimana
seorang mufti harus syarat dab adab dalam berfatwa, maka mustafti juga
mempunyai sayrat dan adab yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut :
- Mustafti harus merupakan orang atau pihak yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan atau menetapkan fatwa sendiri. Apabila orang atau pihak tersebut mengalami atau mengahadapi permasalahan yang membutuhkan jawaban syar’i, maka menjadi suatu kewajiban baginya untuk menanyakan kepada seseorang atau lembaga yang mempunyai kapasitas dan kompetensi untuk mengeluarkan fatwa dalam masalah tersebut.
- Mustafti harus meneliti terlebih dahulu apakah orang atau lembaga yang dimintainya fatwa benar-benar kmempunyai kompetensi untuk menetapkan fatwa. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari pemberian fatwa yang tidak dilandasi oleh dalil-dalil dan argumentasi yang jelas dan tidak dapat dijadikan landasan keagamaan untuk melaksanakan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh mustafti.
- Mustafti tidak harus mengetahui bahwa fatwa yang dikeluarkan adalah menurut madzhab tertentu. Cukup baginya untuk menjadikan fatwa yang ada menjadi landasan untuk melaksanakan aktivitasnya, disebabkan orang awam tidak harus bermadzhab tertentu karena tidak mungkin baginya memilah dan memilih dalil hukum dan argumentasi yang diajukan oleh para madzhab dalam menjawab suatu masalah yang ada.
- Mustafti ketika mendapati adanya dua fatwa yang berbeda dari seorang mufti atau lembaga mufti, maka mustafti mendahulukan fatwa dari seorang mufti atau lembaga mufti yang lebih luas dan telah diakui berkompeten dalam mengeluarkan fatwa. Ketika mustafti tidak memahami hal tersebut, maka diperbolehkan baginya untuk memilih yang paling aman atau meminta fatwa kepada mufti yang menjadi pertimbangan mana diantara fatwa yang sesuai dengan salah satu dari kedua fatwa sebelumnya.
- Mustafti apabila hanya mmendapati satu orang atau lembaga yang mempunyai kompetensi untuk berfatwa, maka dirinya terikat dengan fatwa oleh orang atau lembaga mufti tersebut. Karena dalam kondisi seperti ini, fatwa tersebut akan berlaku sama kedudukannya seperti putusan hakim yang mengikat.
- Mustafti jika mengalami atau menghadapi suatu permasalahan yang sama dengan yang pernah di fatwakan, maka tidak harus baginya untuk menanyakan kembali fatwanya karena fatwa terhadap masalah tersebut telah ditetapkan sebelumnya, sehingga cukup baginya untuk merujuk kepada fatwa yang sudah ada sebelumnya.
- Mustafti diharapkan datang langsung kepada mufti dalam menanyakan hukum dari suatu permasalahan yang dihadapi, apabila terpaksa menggunakan perantara maka perantara tersebut harus mencermati hasil teks fatwanya dari permasalahan yang dihadapi dan dimintakan oleh mustafti mengenai fatwanya kepada mufti, untuk menghindari keterangan dari perantara yang dikhawatirkan akan beerbeda maksud dari fatwa sebenarnya.
- Ajaran agama Islam mensyari’atkan kepada mustafti untuk berprasangkan dan berperilaku baik kepada mufti.
- Mustafti seyogyanya tidak menuntut kepada mufti untuk menyertakan dalil dan argumen hukum yang telah dikeluarkan, karena mustafti cukup melaksanakan hukum yang telah difatwakan.
- Mustafti yang bisa menjumpai mufti didaerahnya ataupun sekitarnya, dan tidak ada cara lain untuk mengakses pendapat mufti serta tidak mempunyai kemampuan untuk mencari hukum sendiri dalam kitab-kitab fiqih. Maka mustafti tersebut dihukumi seperti orang yang belum mendapatkan petunjuk, sehingga dalam masalah tersebut tidak dikenakan taklif dan diperbolehkan baginya untuk melaksanakan aktifitasnya sesuai dengan ketetapan hatinya.[21]
- Macam-macam Mufti
Abu Umar ibn al-Shalah, sebagaimana
dikutip Al-Nawawi menyebutkan ada dua macam mufti, diantaranya sebagai berikut
:
- Mufti Mustaqil, seorang mufti yang mampu melakukan istinbath hukum sendiri tanpa bersandar kepada madzhab tertentu.
Seorang
mufti mustaqil harus memilki syarat sebagi berikut :
a. Mengetahui
dengan pasti dalil hukum dari kitab, sunnah, Ijma’, qiyas, dan hal-hal yang
berkaitan dengannya.
b. Mengetahui
syarat-syarat dilalahnya dan bagaimana mengambil hukum darinya sesuai dengan
yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh.
c. Mengetahui
ilmu al-Qur’an, Hadits, Nasikh dan Mansukh, Nahwu, Bahasa, Tashrif serta
perbedaan ulama di dalamnya.
d. Mengetahui
Fiqh, baik masalah Ushuliyah dan Furu’iyyah.
e. Mengetahui
disiplin ilmu tertentu sesuai dengan bidang fatwa.
Dengan
memiliki kualifikasi tersebut, seseorang dapat dikategorikan sebagi Al-Mufti
al-Muthlaq al-Mustaqil yang keberadaannya merupakan fardhu kifayah.
- Mufti Ghairu Mustaqil atau Mufti Muntasib, seorang mufti yang tidak taklid kepada Imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya, namun tetap menisbatkan kepada Imamnya karena mengikuti metode seperti yang dilakukan oleh Imamnya. Seorang Mufti Ghairu Mustaqil atau Mufti Muntasib, memiliki menurut Imam Al-Nawawi ada empat kondisi yaitu :
a. Orang
yang tidak berlaqlid kepada Imamnya dalam bermadzah dan dalilnya, namun dia
mengikuti metodenya dalam berijtihad.
b. Orang
yang mendapat titel mujtahid muqayyad kepada madzhab Imamnya. Orang tersebut
ber-taqlid kepada Imamnya dalam dalil dan kaidah Ushuliyahnya.
c. Orang
yang hafal dan memahami madzhab Imamnya, orang tersebut mengetahui dalil-dalil
dan alasan –alasan dalam menentapkan hukum, dan beliau bisa menilai hukum,
serta bisa menilai hukum Imam madzhabnya tersebut.
d. Orang
yang hafal dan memahami madzhab Imamnya, namun orang tersebut tidak bisa
menguraikan dalil yang digunakan dan metode qiyas yang digunakan dalam menetapkan
hukum.
- Kedudukan fatwa dalam Islam
Fatwa memiliki
kedudukan penting dalam hukum Islam, karena fatwa
merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam (fuqaha) tentang
suatu hukum mengenai masalah yang baru muncul di kalangan masyarakat. Ketika ada permasalahan
baru muncul dan belum ada hukumnya secara tegas, baik dalam al-Qur’an,
al-Hadits dan ijma’ maupun pedapat para fuqaha terdahulu,maka fatwa merupakan
salah satu institusi normatif yang berkompeten menjawab serta menetapkan
kedudukan hukum atas masalah tersebut.[22]
Sehingga fatwa sebagai salah satu dasar hukum Islam setelah al-Qur’an dan
al-Hadits, fatwa yang menurut pandangan para ulama adalah bersifat opsional
“ikhtiyariyah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat
secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedangkan bagi selain
mustafti bersifat “i’laniyah” atua informatif yang lebih dari sekedar wacana
mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti
yang lain.[23] Dalam artian, Kedudukan fatwa dalam hukum Islam sebagai dasar hukum
memiliki kekuatan hukum yang tidak mutlak dan tidak mengikat sebagaimana
berlaku pada ketentuan sebuah undang-undang
ataupun putusan hakim yang sifatnya mengikat,oleh pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat karena jelas fatwa
tidak mempunyai daya ikat yang mutlak.
Fatwa
dalam agama Islam memiliki kedudukan yang tergolong penting. Karena fatwa
merupakan penuntun dalam menjalankan ibadah bagi seseorang dalam menjalankan
suatu amal ibadahnya. Fatwa mempunyai kedudukan yang luhur dalam islam. Allah
sudah menjelaskan dalam Al Qur’an dalam surat an nisa’ ayat 127:
y7tRqçGøÿtGó¡our
Îû
Ïä!$|¡ÏiY9$#
(
È@è%
ª!$#
öNà6ÏGøÿã
£`ÎgÏù
$tBur
4n=÷Fã
öNà6øn=tæ
Îû
É=»tGÅ3ø9$#
Îû
yJ»tGt
Ïä!$|¡ÏiY9$#
ÓÉL»©9$#
w
£`ßgtRqè?÷sè?
$tB
|=ÏGä.
£`ßgs9
tbqç6xîös?ur
br&
£`èdqßsÅ3Zs?
tûüÏÿyèôÒtFó¡ßJø9$#ur
ÆÏB
Èbºt$ø!Èqø9$#
cr&ur
(#qãBqà)s?
4yJ»tFuù=Ï9
ÅÝó¡É)ø9$$Î/
4
$tBur
(#qè=yèøÿs?
ô`ÏB
9öyz
¨bÎ*sù
©!$#
tb%x.
¾ÏmÎ/
$VJÎ=tã
ÇÊËÐÈ
Artinya : “Dan
mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al
Quran[354] (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak
memberikan kepada mereka apa[355] yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu
ingin mengawini mereka[356] dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah.
dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan
kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahuinya”.
Fenomena
dan realita permintaan fatwa (istiftaa) sudah ada dan umum dan berlaku sejak
awal perkembangan Islam. Pada zaman nabi Muhammad saw. banyak sahabat yang
bertanya tentang berbagai masalah kepada beliau. Jawaban atas pertanyaan para
sahabat tersebut, ada yang termaktub dalam al-Qur’an dan ada yang termaktub
dalam as-Sunnah Rasululloh saw.[24]
Allah
Swt sudah menjelaskan bahwa Allah lah yang memberi fatwa kepada hamba Nya.
Berkaitan dengan fatwa dalam kehidupan islam, fatwa ini juga mengaskan bahwa
fatwa memang tidak mengikat secara hukum, tapi bersifat mengikat secara agama,
sehingga tidak ada peluang lagi bagi umat islam untuk menentang fatwa jika
fatwa itu didasarkan pada dalil-dalil yang sudah jelas yakni al-Qur’an dan
al-Hadits.
Dalam menetapkan fatwa, harus mengikui
tata cara dan prosedur tertentu yang telah disepakati oleh para ulama,
termasuk dalam halam hal penggunaan
dasar yang menjadi landasan hukum dalam penetpan fatwa. Penetapan fatwa harus
didasari dan didasarkan pada dalil dan argumentasi yang kuat. Tidak boleh hanya
didasarkan pada keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan-dugaan semata
tanpa didasarkan pada dalil-dalil yang
benar.[25]
Kesimpulan
Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang fiqih (pakar fiqih
Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’
(agama). Kemudian mujtahid diklasifikasikan menjadi 6 diantaranya:
1.
Mujtahid Mutlaq atau Mujtahid fi
Syar’i, Mereka yang disebutkan yaitu mujtahid yang mempunyai metodologi
kemandirian dalam istinbat hukum, mereka inilah Imam-imam madzhab seperti Abu
Hanifah, Maliki, al-Syafi’i dan Anmad bin Hanbal.
2.
Mujtahid muntasib, yaitu para
mujtahid yang mengikuti Imam maszhab dalam usul atau metode ijtihad. Akan
tetapi hasil iktihadnya ada yang sama dan ada juga uang berbeda dengan pendapat
imam madzhab. seperti al-Muzani dalam madzhab al-Syafi’i.
3.
Mujtahid fi al-Madzhab, yaitu
mujtahid yang mengikuti Imam madzhab baik dalam usul maupun furu’ hanya berbeda
dalam penerapannya. Seperti al-Ghazali dalam madzhab al-Syafi’i.
4.
Mujtahid fi al-Masail, yaitu mujtahid
yang membatasi diri hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh
imam-imam mereka. Seperti al-Karhi dikalangan madzhab Hanafi
5.
Ahlu Takhrij, yaitu fuqoha yang
kegiatannya terbatas menguraikan dan memperjelas pendapat-pendapat yang samar
dan janggal yang ada dalam madzhabnya. Seperti al-Jashos dalam madzhab Hanafi.
6.
Ahli Tarjih, yaitu fuqoha yang
kegiatannya hanya menarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang
terdapat pada madzhabnya.
Ijtihad
mempunyai kedudukan yang penting dalam hukukm Islam. Dalam kajian ushul Fiqh
dan ilmu fiqh ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Aal-Qur’an dan
hadits. Legistimilasi ijtihad serig disandarkan pada beberapa hadits dari Nabi
saw. beberapa hadits tersebut mensonyalir bahwa Nabi Muhammad saw.mendorong dan
mengizinkan para sahabatnya untuk menggunakan ijtihad sebagai sarana untuk
memutuskan hukum dalam masalah-masalah tertentu.
Fatwa adalah penjelasan hukum syara’ tentang suatu
masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok. Yusuf Qardawi berpendapatv
bahwa, fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai
suatu jawaban dari pertanyaan yang dikemukakan oleh peminta fatwa (mustafti).
Abu
Umar ibn al-Shalah, sebagaimana dikutip Al-Nawawi menyebutkan ada dua macam mufti,
diantaranya sebagai berikut :
- Mufti Mustaqil, seorang mufti yang mampu melakukan istinbath hukum sendiri tanpa bersandar kepada madzhab tertentu.
- Mufti Ghairu Mustaqil atau Mufti Muntasib, seorang mufti yang tidak taklid kepada Imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya, namun tetap menisbatkan kepada Imamnya karena mengikuti metode seperti yang dilakukan oleh Imamnya.
Fatwa
memiliki kedudukan penting dalam hukum Islam, karena fatwa merupakan pendapat
yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam (fuqaha) tentang suatu hukum mengenai
masalah yang baru muncul di kalangan
masyarakat. Ketika ada permasalahan baru muncul dan belum ada hukumnya secara
tegas, baik dalam al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’ maupun pedapat para fuqaha
terdahulu,maka fatwa merupakan salah satu institusi normatif yang berkompeten
menjawab serta menetapkan kedudukan hukum atas masalah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Afrelian, Sainul
dan Muhammad Ibnu. jurnal hukum dan ekonomi syariah, Aspek hukum fatwa
DSN-MUI dalam operasional lembaga keuangan syariah,vo.03
Amin, Ma’ruf. 2017.Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta : elsas
Dede,Rosyada.
1995.Hukum Islam dan
Pranata Sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Djalil, Basiq. 2012.Peradilan Islam, Jakarta :
Amzah
Djazuli,A..2005.Ilmu
Fiqih; Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta. PT Adhitya
Andrebina Agung
Effendi, Satria.2005.Ushul
Fiqh, Jakarta : prenada media
Riadi,M. Erfan.2010.Ulumuddin, kedudukan fatwa ditinjau dari hukum Islam
dan hukum posistif, vol.VI
Suyatno.2011.Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih.
Jogjakarta. Ar-Ruzz Media
Syafi’i,Rachmat.2015.Ilmu Ushul Fiqih. Bandung. CV.
Pustaka Setia
Syarifuddin, Amir. 2005 Ushul Fiqh, Jakarta :
kencana prenada media group
Catatan:
1.
Bedakan
istilah mujtahid dan ijtihad
2.
Perbaiki
kata-kata yang salah salam makalah ini.
3.
Perbaiki
pendahuluan.
4.
Perbaiki
footnote.
5.
Kesimpulan
tidak boleh copy paste dan tidak boleh panjang-panjang.
6. Similarity 34 %
6. Similarity 34 %
[1] M. Erfan
Riadi,Ulumuddin, kedudukan fatwa ditinjau dari hukum Islam dan hukum posistif,
vol.VI, 2010, hal.474
[2] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta : kencana prenada media group, 2005,
hal. 262
[3] Rachmat,
Syafi’i. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung. CV Pustaka Setia.2015, Hlm. 97
[4] Rosyada, Dede.
Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada, 1995. Hlm.
111
[5] Suyatno.
Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. Jogjakarta. Ar-Ruzz Media, 2011.
Hlm,171
[6] Rachmat,
Syafi’i. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung. CV Pustaka Setia. Hlm. 97
[7] Satria Effendi,
Ushul Fiqh, Jakarta : prenada media, 2005, hal,249
[8] Ibid, Hlm. 97
[9] Rosyada, Dede.
Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada, 1995. Hlm.
111
[10] Ibid,Hlm. 111
[11] Ibid,Hlm. 111
[12]
Suyatno.Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. Jogjakarta. Ar-Ruzz Media,
2011. Hlm,171
[13] A. Djazuli.
Ilmu Fiqih; Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta. PT
Adhitya Andrebina Agung. 2005. Hlm, 187
[14] Ibid, hal.175
[15] M. Erfan Riadi,
Op.cit,hal.470
[16] Ibid, hal.471
[17] Ma’ruf Amin, Fatwa
dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta : elsas, 2017, hal 20-23
[18] Ibid, hal.40
[19] Ibid, hal.20
[20] Basiq Djalil, Peradilan
Islam, Jakarta : Amzah, 2012, hal.105
[21] Ibid,hal.43
[22] Sainul dan
Muhammad Ibnu Afrelian, jurnal hukum dan ekonomi syariah, Aspek hukum fatwa
DSN-MUI dalam operasional lembaga keuangan syariah,vo.03,hal 183
[23] M. Erfan
Riadi,Ulumuddin, kedudukan fatwa ditinjau dari hukum Islam dan hukum
posistif, vol.VI, 2010, hal.475
[24] Ma’ruf Amin, Fatwa
dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta : elsas, 2017, hal 23-24
[25] Ibid,hal.59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar