Debi Firda dan Dira Rahmadini
PAI E UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: rahmadinidira@gmail.com
Abstract
This
article talks about the understanding and history of qawaidul fiqhiyyah. in the
rule of fiqih found a beautiful picture of the fundamental principles that are
univerasal. binds the branches of amaliyah law with several ties that explain
that each branch group has a bond and is related to each other even though the
problem is different. if these rules were not there, then the legal
jurisprudence would be a scattered law without any basic ties leading and
opening the way for comparative effort. The rules essentially nurture the Five basic rules. Because these five
basic bundles create various kinds of rules that are branches. And the scholars
termed the five basic rules with Al-Qawa'id Al-Khamsah or can be called the
five rules.
A. Each case depends on its intent
الأموربمقاصدها
B. Something sure can not be lost with
doubt
اليقين لا يزول بالشك
C. Difficulty Brings Ease
المشقة تجلب التيسير
D. The harm should be eliminated
الضرر يزال
E. Adat Can Be Considered Being Legal
العادة محكمة
Keyword: Qawa’id Fiqhiyah and Qawa’id
Al- Khamsah
PENDAHULUAN
Sebagai calon pendidik, kita sebagai mahasiswa harus mengetahui dasar
dasar hukum serta kaidah- kaidah di dalam pembahasan Fiq. Dan kaidah
tersebut yang berpangkal yang mendasari atas lima kaidah pokok, dan kaidah
tersebut memiliki cabang- cabang kaidah dari setiap kaidah pokok
PEMBAHASAN
QAIDAH FIQHIYAH
A. Pengertian
Fiqh
dalam bahasa artinya pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengarahan potensi
akal.[1]
Qawa’id adalah jama’ dari kata qa’idah yang menurut bahasa berarti al-asas,
artinya dasar, maksudnya dasar/fondasi dari berdirinya sesusatu atau pokok
suatu perkara.[2]
Qawa’id fiqhiyyah
merupakan kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yaitu kata Qowa’id dan
fiqhiyyah, yang masing-masing memiliki pengertian tersendiri. Qawa’id merupakan
bentuk jamak (plural) dari kaidah yang secara etimologi (bahasa) diartikan
sebagai dasar-dasar atau fondasi seseuatu, baik yang bersifat konkrit, materi
atau inderawi (hissi) seperti fondasi rumah, maupun yang bersifat
abstrak, non-materi atau non-inderawi (ma’nawi) seperti ushul al-din (dasar-dasar
agama)[3]
Pengertian kaidah terdapat pula dalam ilmu-ilmu nahwu/grammer
bahasa Arab, seperti maf’ul itu manshub dan fa’il itu marfu’. Dari sini ada
unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh, general)
yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[4]
Kaidah yang berarti dasar-dasar (fondasi) yang bersifat materi
terdapat dalam al-Quran Surat al-Baqarah (2) ayat 127 dan Surat an-Nahl (16)
yang berbunyi :
واذ يرفع ابراهم القواعد من البيت واسما عيل
(البقرة )
Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim
meninggikan dasar-dasar (fondassi) Baitullah beserta Isma’il . . .”(al-Baqarah:2:127)
Qawaid
Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid
dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara
etimologi, kata qaidah (قاعدة), jamaknya qawaid (قواعد ).
berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat
kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang
bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar
agama).1 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas
yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil.[5]
Qaidah dengan
arti dasar atau fondasi sesuatu yang bersifat materi terdapat dalam al-
Qur’an
surah al-Baqarah ayat 127 :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ
الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ
Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan
kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Begitu
pula terdapat dalam al-Qur’an surah al-Nahl ayat 26:
قَدْ مَكَرَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَأَتَى ه اللُّ
بُنْيَانَهُم مِّنَ الْقَوَاعِدِ
Sesungguhnya
orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah
menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya...QS.
al-Nahl 26)
Kata
fiqhiyyah berasal dari kata fiqh (الفقه)ditambah dengan
ya nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara
etimologi fiqhberarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan
dan perkataannya.[6]
Al-Qur’an
menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah al-Taubah
ayat 122 :
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً
فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْطَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي
الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ
Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.
Begitu
pula dalam surah Hud ayat 91 :
قَالُو ا يَا شُعَيْبُ مَا
نَفْقَهُ كَثِير اً مِّمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيفًا وَلَوْلا
رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ وَمَا أَنتَ عَلَيْنَا بِعَزِيزٍ
Mereka
berkata: "Hai Syu`aib, kami tidak banyak mengetahui (mengerti) tentang apa
yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang
yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah
merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.
Kata
fiqh juga ditemukan dalam Hadis Rasulullah SAW. antara lain:
مَنْ يُرِدِ اللُّ خيرًا يُف ه قههُ فى الدين. رواه مسلم.[7]
Siapa
yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, akan diberikan-Nya pengetahuan
dalam agama.
Secara
terminologi Kata fiqh dikemukakan oleh Jamaluddin al-Asnawy (w.772 H),
yaitu :
العلم بالأحكام ال ه شرعية العمل
ه يةِ المُكْتَسَبُ من أدلتِها التفصيليةِ[8]
Ilmu
tentang hukum-hukum syara` yang praktis yang diusahakan dari dalil-dalilnya
yang terperinci.
Ulama
ushul kontemporer, antara lain Abd al-Wahhab Khallaf memberikan definisi
fiqh secara ekslusif, yaitu :
مَجْمُوْعَةُ
الأحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ المُسْتَفَادَةِ مِن
اَدِلَّتِهَاالتَّفْصِلِيَّةِ.[9]
Kumpulan
hukum-hukum syara’ yang
bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Dari
pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut
etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh.
Sedangkan
pengertian qawaid fiqhiyyah menurut terminologi, al-Taftazany (w. 791
H.) memberikan rumusan, yaitu:
إنَّهَا حُكْمٌ كُلِّىٌّ يَنْطَبِقُ على جُزْئِيَّاتِهَا
لِيُتَعَرَّفَ أحكامُها منهُ[10]
Suatu
hukum yang bersifat universal yang dapat diterapkan kepada seluruh bagiannya
agar dapat diidentifikasikan hukum-hukum bagian tersebut darinya.
Al-Jurjani
(W. 816 H) dalam kitab al-Ta’rifat memberikan
rumusan, yaitu:
قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ
جُزْئِيَّاتِهَ[11]
Ketentuan
universal yang bersesuaian dengan seluruh bagian-bagiannya.
B.
Sejarah
Pertumbuhan Dan Perkembanagan Qawaid Fiqhiyyah
Masa
kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio
kelahiran qawa’id fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW menyampaikan
hadits-hadits yang jawami’ammah (singkat dan padat). Hadits-hadits
tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang sangat banyak jumlahnya.
Dengan demikian, hadits Nabi Muhammad SAW di samping sebagai sumber hukum, juga
sebagai qawa’id fiqhiyyah.[12]
Ali
Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode
penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan
penyempurnaan.[13]
1.
Periode
Kelahiran.
Masa kelahiran
dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama tiga abad
lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari
segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi
Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih, zaman tabi’in,
dan zaman tabi’it al-tabi’in yang
berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan adalah masa tasyri’ (pembentukan
hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad
SAW. menyampaikan Hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat
dan padat). Hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang
banyak jumlahnya. Berdasarkan hal tersebut, makaHadis Rasulullah Muhammad SAW.
disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawaid fiqhiyyah. Demikian
juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan sebagai jawami’al-kalim
dan qawaid fiqhiyyah oleh banyak ulama. al-Nadwi, menyebut
beberapa sabda Rasulullah SAW. yang telah berbentuk qaidah-qaidah, terutama
qaidah hukum. Rasulullah Muhammad SAW. yang memiliki kemampuan dalam
menghasilkan jawami’ al-kalim
yaitu ungkapan-ungkapan yang ringkas ,namun padat makna dan berdaya
cakup luas. Misalnya Rasulullah SAW. bersabda: الخراج بالضمان(keuntungan adalah imbalan resiko); لاضررولاضرار(Tidak ada mudharat (bahaya) dan tidak ada
pula memudharatkan); dan البينة على المدعى واليمين على من انكر(bukti adalah kewajiban bagi penuduh,
sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang telah membantahnya.[14]
Hadis-Hadis
tersebut di atas memiliki daya berlaku untuk banyak ketentuan hukum karena
bentuknya sebagai jawami’ al-kalim
tadi, sehingga dalam satu segi menyerupai qaidah fiqhiyyah. Meskipun
terdengar sederhana, namun daya cakupnya melingkupi banyak bab fiqh.
Sahabat
Rasulullah SAW. juga menciptakan qaidah antara lain Umar bin Khattab
dalam kitab shahih Bukhari mengatakan: مقاطع الحقوق عند الشروط(Penerimaan hak berdasarkan kepada
syarat-syarat)
Ulama tabiin
antara lain al-Syafi’i misalnya menulis qaidah fiqhiyyah dalam
kitabnya al-Umm diantaranya: الاعظم إذا سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه
(apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur). al-Qadhi Surayh
bin al-Harits (w. 76 H) membuat qaidah:من شرط على نفس طائعا غير مكروه فهو عليه (barangsiapa membuat janji secara suka rela
tanpa paksaan, maka janji itu menjadi tanggungannya). Hal ini menyangkut
syarat-syarat yang disanggupi seorang dalam bertransaksi.Meskipun beberapa
orang pada awal Islam disebut telah menciptakaan qaidah, Pada umumnya,
para pengkaji sulit untuk menentukan siapakah yang menjadi perintis penyusunan
disiplin ilmu ini. Banyak kitab yang menyebutkan nama Abu Yusuf Ya’qub bin
Ibrahim (182 H) murid Imam Abu Hanifah, sebagaiorang pertama yang membuat
rumusan qaidah fiqhiyyah berdasarkan satu qaidah fiqhiyyah yang
telah dijumpai dalam kitab karangannya yaitu al-Kharaj.[15]
Kitabtersebut telah dikarang oleh Abu Yusuf sebagai rujukan asas perundangan
ketika pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid berhubung sistem al-kharaj dan
muamalah ahl al-dhimmah yang kemudian telah digunakan dan disebarluaskan
ketika zaman pemerintahan daulah Abbasiyah tersebut. Qaidah yang
dimaksudkan adalah seperti berikut:
ليس
للأمام أن يخرج شيئأ من يد أحد إلا بحق ثابت معروف.
Tidak ada hak bagi seorang pemimpin untuk mengambil sesuatu dari
seseorang rakyat kecuali dengan hak-hak yang telah tersedia diketahui oleh
mereka
Sahabat Abu
Yusuf yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) juga melakukan
rintisan yang sama. Hanya saja yang ia lakukan adalah lebih banyak merupakan
upaya ta’lil (mencari
alasan hukum). Hasil dari ta’lil adalah sangat berguna bagi upaya peng-qaidah-an hukum, sebab
banyak sekali illat hukum yang ditemukan bisa berfungsi sebagai qaidah hukum.Ibnu
Nujaym (w. 970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa:
Sesungguhnya sahabat-sahabat kami (para ulama Hanafiyyah), mempunyai
keistimewaan merintis usaha dalam penyusunan qaidahini. Dan orang
mengikuti mereka dan mereka pula bergantung kepada Imam Abu Hanifah dalam
masalah fiqh.[16]
2.
Periode
Pembukuan
Pada abad ini
terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai munculnya
kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat
sampingan dari tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan
pemikiran fiqh yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan
pendapat antar mazhab beserta hasil perbandingannya (tarjih). Oleh
karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah upaya takhrij,
yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah tersedia dalam mazhab tertentu
untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru.[17]
Karena faktor
mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri,
ditandai dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang
terpisah dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai permulaan era
pertumbuhan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah.[18]
Pada periode
pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut
dapat diwariskan sebagai salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga. Abu
Tahir al-Dabbas, seorang fukaha yang hidup pada abad ketiga dan keempat Hijrah
adalah orang pertama yang mengumpulkan qawaid fiqhiyyah. Pada waktu itu,
ia telah mengumpulkan sebanyak 17 qaidah.[19]
Usaha ini
kemudian diteruskan oleh Abu al-Hasan al-Karakhi (w. 340 H.) dengan menghimpunkan
sejumlah 39 qaidah.30 Kemudian Abu Zayd Abd Allah Ibn Umar al-Din
al-Dabusi al- Hanafi (W. 430H.), telah menyusun Kitab Ta’sis al-Nazar
pada kurun kelima Hijrah. Kitab ini memuat sejumlah 86 qaidah
fiqhiyyah berserta dengan pembahasan terperinci berkenaan qawaid tersebut.[20]
Kegiatan
tersebut di atas diikuti oleh Ala al-Din Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (w.
540 H.) dengan judul ‘Idah al-Qawaid. Pada kurun ketujuh Hijrah,
penulisan ilmu ini telah dilanjutkan oleh Muhammad bin Ibrahim al- Jarmial
Sahlaki (w. 613 H.) dan Izz al-Din Abd al-Salam dengan masing-masing tulisan
mereka berjudul al-Qawaid fi Furu’ al-Syafi’iyyah
dan Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam.[21]
Menjelang abad
kedelapan Hijrah muncul lagi beberapa penulis dalam ilmu ini yang telah
dilakukan oleh beberapa orang ulama pada masa itu seperti al-Asybah wa al-
Nazhair oleh Ibn al-Wakil al-Syafi’i (w. 716 H.), Kitab al-Qawaid oleh
al- Muqarra al-Maliki (w. 758 H.), al-Majmu al-Muhadzdzab fi Dabt Qawaid
al-Madzhab oleh al-‘Allai al-Syafii (w. 761 H.), al-Asybah wa al-Nazhair
oleh Taj al-Din al-Subki, al-Asybah wa al-Nazhair oleh Jamal al-Din
al-Isnawi (w. 772 H.), al-Manthur fi al-Qawaid oleh Badr al-Din al-Zarkasyi
(w. 793H), al-Qawaid fi al-Fiqh oleh Ibn Rajb al-Hanbali (w. 795 H.) dan
al-Qawaid fi al-Furu` oleh `Ali bin Usman al-Ghazzi (w. 799.H.). Masa
ini merupakan masa keemasan dalam proses penulisan dan pembukuan ilmu al-Qawaid
al-Fiqhiyyah.[22]
Diabad kesembilan
Hijrah, yang membukunan ilmu ini antara lain: Muhammad bin Muhammad al-Zubayri
(w. 707H) dengan kitabnya Asna al-Maqasid fi Tahrir al-Qawaid, Ibn
al-Haim al-Maqdisi (w. 815H) dengan kitabnya al-Qawaid al-Manzumah,
Taqiy al-Din al-Hisni (w. 729 H.) dengan kitabnya Kitab al-Qawaid.
Diabad kesepuluh, yang merupakan puncak usahapembukuan ilmu ini di mana al-Imam
Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 910 H.) telah mengeluarkan sebuah kitab dalam
bidang ini yang berjudul al-Asybah wa al- Nazhair.[23]
Kitab tersebut telah menggabungkan semua qaidah
yang terdapat di dalam kitab karangan al-`Allai, al-Subki dan al-Zarkasyi.
Begitu pula, Zayn al-Abidin Ibn Ibrahim al-Misri telah menyusun sebuah kitab
dalam bidang ini yang turut diberi nama al-Asybah wa al-Nazhair. Kitab
ini pula telah memuatkan 25 qaidah fiqhiyyah yang telah dibagikan kepada
dua bagian yaitu, bagian pertama mengandung qaidah asas yang berjumlah
enam qaidah, sedangkan bagian kedua mengandung sembilan belas qaidah yang
terperinci.[24]
Diskripsi
sejarah pembukuan kitab qawaid fihiyyah tersebut di atas, maka fukaha
Malikiyyah telah memainkan peranan penting dalam pembukuan qawaid fiqhiyyah.
Diantaranya ialah Juzaym yang merupakan tokoh fuqaha Malikiyyah yang telah
mengarang kitab dalam bidang ini yang berjudul al-Qawaid. Kemudian
diikuti pula dengan Syihab al-Din Abi al-Abbas Ibn Idris al-Qarafi (w. 684H.)
(dari kalangan fuqaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menyusun pula sejumlah
548 qaidah fiqh di dalam kitabnya yang bernama Anwar al-Furuq fi Anwa’ al Furuq’.
Tiap-tiap qaidah yangdikemukakannya pasti akan dinyatakan sekali dengan
contoh-contoh masalah cabang atau furu’ yang munasabah sehingga jelas
perbedaan di antara qaidah yang terdapat di dalam kitab karangannya itu.[25]
Dari kelompok
fukaha Syafi’iyyah, antara lain ulama yang terkenal dalam menyusun kitab qawaid
fiqhiyyah ini adalah Muhammad Izz al-Din Abd al-Salam (dari kalangan fukaha
abad ketujuh Hijrah) yang telah menulis kitab yang berjudul Qawaid al-Ahkam
fi Masalih al-Anam. Kemudian pada abad kelapan Hijrah Taqiy al-Din al-Subki
telah menulis sebuah kitab yang bernama al-Asybah waal-Nazhair yang
kemudian telah disempurnakan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman Abi Bakr
al-Suyuthi (w. 911H) dengan tulisannya yang juga diberi nama yang sama yaitu al-Asybah
wa al-Nazhair.[26]
Dari kelompok
fukaha Hanabilah, ulama yang terkenal, antara lain tokoh yang terlibat dalam
kegiatan menulis dalam bidang ini adalah Najm al-Din al-Tufi (w. 177 H) yang
telah menulis kitab al-Qawaid al-Kubra dan al-Qawaid al-Sughra.
Selain itu, terdapat seorang lagi tokoh dari kalangan fukaha Hanbaliyyah yang
telah menyumbangkan kepada perkembangan ilmu ini, yaituAbd al-Rahman Ibn Rajab
(w. 795 H). yang menulis kitab dengan judul al-Qawaid fi al-Fiqh.[27]Periode
pertumbuhan dan perkembangan berakhir dengan tampilnya al-Majllah al-Ahkam
al-‘Adhiyyah pada
abad ke 11 H.36
3.
Periode
Penyempurnaan
Pada abad ke 11
H. lahirlah kitab al-Majllah al-Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi yang
telah disempurnakan. Misalnya qaidah:
لا
يجوز لاحد أن يتصرف فى ملك الغير بلاإذنه
(sesungguhnya tidak berhak
bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain tanpa izin
pemliknya). Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu
hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk
perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu
penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak asasi manusia.[28]
Al-Majallah merupakan undang-undang hukum
perdata yang dalam mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan
umum pasal 1 adalah tentang definisi fiqh. Sedangkan pasal 2 sampai 100
adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan dari pasal- pasal pada
bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah fiqh disertai
dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.[29]
Pada abad ke 11
H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad
bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan
kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn
Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam kitabnya yang
berjudul Ghamzu ‘Uyun al-Basa’ir.[30]
Pada
pertengahan abad yang ke-12 Hijrah, seorang fukaha yang bernama Muhammad Said
al-Khadimi (w. 1154H) telah menyusun sebuah kitab usul al-fiqh yang
diberi nama Majma‘ al-Haqaiq.
Menerusi kitab ini, sejumlah 154 buah telah disusun di dalamnya mengikuti
urutan susunan huruf kamus (mu’jam) atau susunan abjad dihimpunkan dalam karya tersebut. Kemudian
kitab ini telah disyarahkan pula oleh Mustafa Muhammad dengan nama Manaf‘i al-Haqaiq.[31]
Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ilmu qawid fiqhiyyah, dengan jelas
menunjukkan bahawa para ulama dalam bidang fiqh sejak awal abad ketiga
Hijrah, telah begitu serius mengembangkan pembahasan qawaidfiqhiyyah ini.
Hal ini adalah berdasarkan kepada gerakan atau usaha pengumpulan dan pembukuan qawaid
tersebut yang ditemui sejak awal abad ketiga Hijrah.40 Sejumlah permasalahan
yang mempunyai persamaan dari sudut fiqhiyyah telah dihimpunkan serta
diletakkan di bawah satu qaidah fiqhiyyah. Apabila terdapat masalah fiqh
yang dapat dicakup di bawah sesuatu qaidah fiqhiyyah, maka, masalah fiqh
itu ditempatkan di bawah qaidah fiqhiyyah tersebut. Selain itu,
melanjutkan himpunan Qawaid fiqhiyyah yang bersifat umum itu, juga ia
memberikan peluang kepada generasi berikutnya untuk terus mengkaji dan menelaah
permasalahan yang dibicarakan dalam bidang fiqh yang secara keseluruhan
melibatkan pembahasan hukum. Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah tersebut,
permasalahan tersebut akan lebih mudah diselesaikan dalam jangka waktu yang
tidak begitu lama.[32]
QAWAID
AL- KHAMSAH
Pengertian Qawaidul Khamsah
Para ulama membentuk kaidah- kaidah pada dasarnya menginduk pada Lima kaidah
pokok. Karena kelima kadah pokok ini terciptalah macam- macam kaidah yang
bersifat cabang. Dan para ulama mengistilahkan lima kaidah pokok tersebut
dengan Al- Qawa’id Al- Khamsah atau bisa disebut kaidah- kaidah yang lima.[33]
A.
Setiap
perkara tergantung kepada niatnya
الأموربمقاصدها
Diinterpretasikan
dan dijelaskan oleh para Ulama maksud dari kaidah ini, di samping membuat
kaidah kaidah yang menjadi cabang darinya. Mereka melihat kaidah ini sangat
penting dan urgensinya yang sangat besar dalam mengembangkan dan perkembangan
pada hukum islam. Kaidah ini, niat adalah kedudukan yang sangat besar
urgensinya dalam setiap perbuatan. Kaidah ini menerangkan bahwa setiap perilaku
atau tindakan memunyai (natijah) dan hukum yang berbeda, tergantung pada
maksud dan niatnya. [34]
a.
Asal
Kaedah
انّماالأعمال بالنّيّات
Lafadz di atas adalah petikan dari sebuah hadits Rasulullah SAW
yang sangat masyhur dari Umar bin Khathab
عن عمربن الخطاب- رضيالله عنه – قال سمعت رسول الله – صلي الله عليه و
سلم – يقول : إنّما الأ عمال بالنّيّات, وانّما لكلّ امرئ ما نوي, فمن كا نت هجرته
إلي دنيا يصيبها أوإلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما ها جر إليه
Dari Umar bin Khatab berkata,” Saya mendengar Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka
barang siapa yang hijrahnya untuk Allah dan Rasul Nya maka hijrahnya itu untuk
Allah dan Rasul Nya, dan barag siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia,
maka dia akan mendapatkannya atau hijronya untuk seorang wanita maka dia akan
menikahinya, maka hijrahnya itu tergantug pada apa yang dia hijrah untuknya.”
(HR bukhari 1. Muslim 1907)
Kaidah dengan lafadl diatas lebih diutamakan untuk dijadikan sebagai sebuah kaedah dari pada sebuah lafadl
yang sangat masyhur yaitu:
الأموربمقاصده
“ Semua perkara itu tergantug pada tujuannya”.[35]
b.
Urgensi
Kaedah ini
Kaedah ini adalah
kaedah yang sangat penting dan masuk di dalam masalah- masalah agama. Imam Asyatibi
mengatakan “ Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan
sebuah tujuan itu dijadikan sandaran dalam menghukumi sebuah perbuatan baik
yang berupa ibadah maupun adat. Sangat banyak sekali dali- dalil yang mendasari
masalah ini dan bagimu cukuplah mengetahui bahwasanya niat itu yang dapat
membedakan suatu perbuatan yang merupakan ibadah atau adat, dan bisa membedakan
ibadah yang wajib dilakukan atau yang bukan wajib dilakukan, dan pada adat juga
yag membedakan adat tersebut wajib, sunnah, mubah, makhruh, atau haram, serta
dilihat sah dan tidak sahnya atau hukum- hukum yang lain yang brhubungan dengan
masalah ini.”[36]
c.
Landasan
atau Rujukan Kaedah Ini
Pada
landasan atau rujukan dari kaidah ini, akan menguatkan kaidah ini yang memiliki
urgensi yang sangat penting. Setelah berlandaskan dari rujukan Al- Qur’an dan
Hadits yang mendapatkan legitimasi atau penerimaan putusan dalam peradilan yang
berbasis dari kualitas hukum pada kaidah ini.
وما أمروا إلّى ليعبدوا الله مخلصين له الدّين
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
meneymbah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Nya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus.”
(QS. Al- Bayyinah: 5)
وليس عليكم جناح فيما اخطأتم به و لكن ما تعمدت قلوبكوم
“ dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilafkan padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu”. (QS. Al- Ahzab : 5)
نيّة المؤمن خير من عمله
"Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya”. (HR. Thabrani
dari Sahala bin Sa’id al- Sa’idi).[37]
d.
Kaidah
percabangannya dan contoh penerapanya
مالا
يشترط التعرض له جملة وتفصيلا إذا عينة وأخطأ لم يضرّ
Sesuatu yang
(dalam niat) tidak diisyaratkan untuk dipastikan, baik secara garis besar
ataupun secara terperinci, apabila kemudian dipastikan dan ternyata salah, maka
kesalahan ini tidak membahayakan (syahnya perbuatan).
Contoh: orang
yang niatnya dalam shalat tentang harinya shalat yaitu rabu atau hari kamis;
tempatnya shalat di masjid atau rumah; Imamnya dalah shalat jamaah si umar atau
si zaid, kemudian dalam penegasannya salah atau keliru, maka shalatnya sah.[38]
وما
يشترط فيه التعرض فاخطأ فيه مبطل
Sesuatu niat
yang harus dipastikan, jika dalam pemstiaannya terdapat kesalahan maka akan
batal perbuatan yang dilakukkanya.
Contoh: Orang
yang mengerjakan shalat dhuzur dengan
shalat ashar, puasa arafah dengan puasa Asyura, kafarat pembunuhan dengan niat
kfarat dhihar. Kesemuanya tidak sah.[39]
ومايجبا
التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلاإذا عينه وأخطأ ضرّ
Sesuatu niat
yang harus disebutkan secara garis besar, tidak harus terperinci, kemudian
disebutlan dengan terperinci dan salah, maka akan membahayakan perbuatannya.
Contoh: Orang
yang niat berjamaah dengan niat makmum pada ahmad, kemudian salah niatnya
dengan niat makmum dengan si Ali, maka batal atau tidak sah makmumnya.
Orang shalat
jenazah dengan niat mayit laki- laki dan ternyata salah, kemudian ternyata
mayitnya perempuan maka shalatnya tidak sah atau batal. Demikian kalau niatnya
disebutkan jumlah mayit salah, maka shalatnya harus diulang.[40]
مقاصد
اللفظ على نية اللافظ إلاّفى مو ضع واحد وهو اليمين عند القاضى فاإنها على نية
القاضى
Niat yang didalam hal sumpah yang
mengartikan hal mengkhususkan lafadz aam, tidak menjadikan lafadz yang aam
kepada ladafz yang khos.
Contoh: Orang
bersumpah dia tidak akan berbicara dengan seseorang, dan seseorang itu si Abi,
maka sumpah tersebut berlaku hanya kepada si Abi. [41]
العبرة
فى العقود للمقا صد والمعانى لا للالفاظ والمبانى
Yang di anggap
dalam akad adalah makna dan maksud bukan bentuk dan lafadz perkataan.
Apabila dalam
akad terjadi perbedaan antara niat atau maksud dengan lafadz yang diucapkannya,
maka yang dianggap sebagai akad yaitu dari niat atau maksudnya, selama masih
dapat diketahui.
Contoh: Jika
ada dua orang melakukan akad dengan lafadz memberi barang dengan adanya uang
atau pembayaran dari harga barang tersebut, maka aqad ini disebut akad jual
beli, karena aqad yang ditunjukkan oleh niat atau maksud dari makna lafadz dari
si pembuat aqad, bukan aqab memberi sebagaimana yang dikehendaki dari lafadz tersebut.[42]
B.
Sesuatu
yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan
اليقين لا يزول بالشك
Keyakinan
adalah kepastian akan tetapnya sesuatu, sedangkan keraguan adalah kepatian
antara tetap atau tidak tetapnya sesuatu tersebut. Asumsi kuat yang membuat
sesutu hampir atau mendekati dengan makna yakin dari segi tetap nya atau tidak
tetapnya, menurut syara’ dihukumi sama dengan keyakinan.
Kaidah
ini menerangkan bahwa keyakinan yang sudah tetap atau mantap, yaitu sangkaan
yang kuat, maka tidak bisa dikalahkan dengan keraguan yang muncul dalambentuk
kontradiktif, tetapi bisa dibantah atau dipatahkan dengan keyakinan atau yang
asumsi kuat yang menyatakan akan sebaliknya.[43]
a.
Landasan
atau Rujukan Kaedah Ini
وما
يتبع أكثرهم الّاظنّا إنّ الظّن لا يغنى من الحق شيئا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan,
sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran.” (QS. Yunus: 36)
عن
أبى هريرة قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا و جد أحدكم فى بطنه شيئا فأشكل
عليه أخرج منه شيء أم لا فلا يخرجن من المسجد حتّى يسمع صوتا أو يجد ريحا
Dari Abu
Huroiroh berkata: Rasulullah bersabda:” Apabila salah seorang diantara kalian
merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah
keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan shalatnya sampai
dia mendengar sura atau mencium bau.” (HR. Muslim 362).[44]
b.
Kaidah
percabangannya dan contoh penerapanya
اليقين
يوزال با ليقين مثله
“ Apa yang
yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
Contoh:
Kita yakin bahwa kita sudah wudhu,
tetapi setelah itu kita merasa yakin bahwa setelah wudhu telah buang air, maka
wudhu kita menjadi batal.
Si A berhutang kepada si B, tetapi
kemudian ada bukti bahwa si A telah membayar hutang kepada si B, misalnya ada
kuitansi yang di tanda tangani oleh si B. Maka si A yang tadinya berhutang,
sekarang sudah bebas dari hutangnya.[45]
الصل
بقاء ما كا ن على ما كان
“ Pada dasarnya
sesuatu itu tetap sebagaimana hukum semula”
Makna kaedah
yaitu, sesuatu yag telah diketahui hukumnya pada masa lalu dan tetap berlaku
hukumnya dan tidak bisa berubah sampai ada dalil yang merubahnya.
Contohnya:
Kalau seorang yang berhutang pada
orang lain, dan ia mengaku bahwa ia sudah membayar hutangnya, namun yang di
hutangi mengingkarinya, maka kalau yang berhutang dapat mendatangkan saksi maka
yang berlau dalah perkataan yang kedua, dan sebaliknya jika tidak dapat
mendatangkan saksi maka yang berlaku adalah ucapan yang menghutangi setelah
mereka bersumpah kepada Allah SWT bahwa yang berhutang belum bayar.[46]
الصل
براءة الذمة
“Hukum asal
adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
Contoh:
Pada dasarnya manusia dilahirkan
dalam keadaan bebas dari tuntutan apapun, bai dari hubungan dengan hak Allah
maupun dengan hak Adami, dan setelah dia lahir muncullah Hak dan tanggung jawab
atau kewajiban atas dirinya.
Anak kecil lepas dari tanggung
jawabnya atas kewajiban sampai datang ia baligh. Tidak hak san kewajiban antara
laki- laki dan perempuan yang bersifat pernikahan sampai terbukti adanya akad
nikah.
Makan dan minum sebenarnya tidak
hukum dari halal dan haramnya sebelum datangnya dalil yang melarang halal dan
haramnya.[47]
الأصل
فى الصفات أوالأمور العارضة العدم
Pada dasarnya
sebuah sifat atau sesuatu yang baru itu dianggap tidak ada. Makna kaedah ini menerangkan
bahwa sifat di bagi menjadi dua yaitu:
·
Sifat Asli ,
yaitu sifat dasar yang ada pada sesuatu pertama kali. Misalnya, pada dasarnya
barang dagang itu tidak ada cacatnya.
·
Sifat Baru,
yaitu sifat yang tidak ada sejak pertama kali. Misalnya adanya cacat pada
barang dagangan.
Contoh:
Jika ada seseorang yang membeli montr, lalu beberapa hari, dia mengaku kepada
si penjual, bahwa dia menemukan kerusakan atau aib dari montor tersebut yang
sudah ada sejak semula, namun si penjual mengingkari, maka yang dibenarkan
adalah ucapan si penjual, karena ia berpegang pada hukum asal bahwa sebuah
barang dagangan tidak ada cacatnya. Hali ini dilakukan kalu si pembeli tidak
ada bukti akan dakwaanya.[48]
الأصل
إ ضا فة الحادث إلى اقرب أو قاته
Hukum asal adalah penyandaran
sesuatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadianya”.
Contoh: Seorang
wanita yang sedang hamil, dan tidak sengaja bahwa ada yang memukul perutnya,
kemudian si bayi keluar atau melahirkanlah wanita itu, dan bati itu dalam
keadaan hidup dan sehat. Sedang beberapa bula kemudian bayi itu meniggal. Maka
meninggalnya si bayi tersebut tidak di sandarkan kepada pukulan yang terjadi
pada waktu yang lama, tetapi disandarkan yang di sebabkan oleh hal lain yang
merupakan waktu yang paling dekat kepada kematiannya.[49]
C.
Kesulitan
Membawa Kemudahan
المشقة
تجلب التيسير
Dari segi bahasa kedah ini dapat diartikan
bahwa sebuah kesuliatn akan menjadi sebab datangnya kemudahan atau keringanan.
Dan pada istilahnya para ulama mengertikan kaedah ini adalah dalil- dalil yang
syar’i yang di dalam mempraktekkan menimbulkan kesulitan dan kepayahan serta
kerumitan pada seseorang tertentu dalam beban syar’i , maka syariat Islam
meringankan agar bisa dilakukan dengan mudah atau ringan.[50]
Bisa
dimaksudkan juga bahwa hukum islam menginginkan kemudahan, pada ajaran Islam
tidak membani seseorang dang sesuatu yang diluar kemampuannya. Allah dan Rasul-
Nya menginginkan serta merintahkan pemeliharaan terhadap kemudahan dan
keringanan.[51]
a.
Landasan
atau Rujukan Kaedah Ini
·
Firman
Allah dalam QS. Al- Baqarah ayat 185
yang artinya:
“ Allah
menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesulitan nagi kamu”
·
Firman
Allah dalam QS. Al- Baqarah ayat 286
yang artinya:
“ Allah tidak
membani seseorang kecuali kemampuannya”
·
Firman
Allah dalam QS. An- Nisa ayat 28 yang
artinya:
“ Allah
menghendaki keringanan bagi kamu”
·
Firman Allah
dalam surat Al- Maidah ayat 6 yang artinya:
“Allah tidak
menghendaki kesulitan bagi kalian”.
·
Firman
Allah dalam QS. Al- A’raf ayat 157 yang
artinya:
“Dan membuang dari
mereka beban- beban dan belenggu- belenggu yang ada pada mereka”
·
Firman
Allah dalam QS. Al- Hajj ayat 78 yang
artinya:
“ Allah tidak
menghendaki kesulitan bagi kalian dalam agama”[52]
b.
Kaidah
percabangannya dan contoh penerapanya
إذا
ضاقت الأمر إتّسع
Apabila sesuatu
itu sempit, maka hukumnya menjadi luas.
Contoh: seorang
wanita yang walinya berpergian jauh, maka boleh menyerahkan perwaliannya pada
laki- laki yang dia percayai.[53]
إذااتسع
الامر ضا قت
Apabila sesuatu
itu luas (pelaksanaannya mudah), maka menjadi sempit hukumnya.
Contohnya:
Orang yang dalam keadaan biasa (longgar atau lapang), shalatnya harus dalam
waktu dan menempati semua syarat dan rukunnya.[54]
إذا
تعذر الاصل يصار إلى البدل
Apabila yang
asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”.
Contoh:
Tayamum sebagai
pengganti wudhu. Seseorang yang menggasab harta milik orang lain, maka wajib
mengembalikan harta aslinya. Dan jika ada yang meminjam barang milik orang lain
dan kemudian barang tersebut hilang atau rusak, maka yang meminjam harus
mengembalikan dengan barang yang sama seperti aslinya, dari sisi bentuk, harga
dan lainnya.[55]
مالا
يمكن التحرز منه معفو عنه
Apa yang tidak
mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”.
Contoh: Pada
waktu sedang puasa, ia berkumur- kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa
air di mulut atau masih ada sisa- sisa. Dan seperti darah pada pakaian yang
sulit dibersihkan dengan cucian, maka tersebut dimaafkan.[56]
يغتفر
في الإبتداء ما لا يغتفر في الدوام
Dimaafkan pada
permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya.
Contoh: pria
dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu bahwa di antara mereka
dilarang melangsungkan akad baik karena sepersusuan. Selang beberapa tahun,
baru mengetahui bahwa diantara pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau
hubungan sepersusuan, yang menghalangi sahnya pernikahan. Maka pernikahan
tersbut harus dipisahkan dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami
istri.
Seorang yang
baru masuk Islam minum minuman keras yang masih belum bisa meninggalkan
kebiasaannya sebelum masuk islam, dan baru mengetahui bahwa Islam mengharamkan
hal tersebut, maka di maafkan untuk permulaannya karena ketidak tahuannya.[57]
D.
Kemudaratan
harus dihilangkan
الضرر
يزال
Dari kaedah
tersebut bahwa tujuan syariat itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan. Apabila dijelaskan dengan jelas, bahwa maslahat membawa manfaat
dan mafsadah mengakbatkan kemudaratan. Dan kaidah ini sering diungkapkan
seperti apa yang disebutkan pada hadits:
لاضرر
ولا ضرار
“ tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan”[58]
a.
Landasan
atau Rujukan Kaedah Ini
·
Firman Allah
tenatng larangan wasiat yang membahayakan QS. An- Nisa’ ayat 12 yaitu:
“Setelah
ditunaikan wasiat yang dibuat olehnya atau setelh dibayar hutangnya dengan
tidak memberi madharat kepada ahli waris”[59]
·
Firman Allah
tentang larangan ruju’ kepada istri untuk tujuan membahayakannya QS. Al-
Baqarah ayat 231 yaitu:
“ Apabila kamu
mentalaq istri- istrimu, lalu mereka mendekati masa iddahya, maka rujuklah
kepada mereka dengan cara yang bagus atau ceraikanlah dengan cara yang baik
pula, janganlah kamu rujuk pada mereka untuk memberi kemudhorotan, karena
dengan deikian kamu telah berbuat yang menganiaya mereka. Barang siapa yang
berbuat demikian maka berarti dia telah berbuat dholim kepada dirinya sendiri”[60]
·
Firman Allah
tentang masalah menyusui anak QS. Al- Baqarah ayat 233 yaitu:
“janganlah
seorang ibu mendapatkan kemudhorotan di sebabkan oleh anaknya dan juga seorang
ayah karena anaknya”.[61]
·
Firman Allah
SWT dalam QS. Ath- Thalaq: 6 yaitu:
“ Tempatkanlah
mereka (para istri ) dimana kamu bertempat tiggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka”[62]
b.
Kaidah
percabangannya dan contoh penerapanya
الضرورات
تقدربقدرها
“ Keadaan darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar
kedaruratnnya”
Contoh:
Seorang dokter
diperbolehkan untuk melihat aurat wanita yang sedang diobati sekedar yang
diperlukannya untuk pengobatan, itu pun apabila tidak ada dokter perempuan.
Orang yang
kelaparan dan hampir meninggal dan hanya bisa diselamatkan dengan makan yang
haram, maka boleh untuk memakannya sekedar untuk penyelamat dirinya dan tidak
boleh memakannya sampai kenyang.[63]
يحتمل
الضرر الخاص لأجل الضررالعام
“ kemudaratan
yang khusus boleh dilakukan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”.
Contoh:
·
Boleh melarang
tindakan hukum seseoarng yang membehayakan kepentingan umum. Misalnya,
mempailitkan sesuatu perusahaan demi menyalamatkan para nasabah.
·
Menjual barang-
barang debitor yang telah di tahan demi untuk membayar utangnya para nasabah
·
Menjual barang
timbunan dengan cara paksa untuk kepentingan umum
·
Memperbolehkan
memenjarakan seseorang yang menolak untuk memberikan nafkah kepada orang yang
wajib dinafkahi[64]
الضرر
الأشد يزال بالضرر الاخف
“ kemudaratan
yang lebih berat dihilangkan dengan kemuaratan yang lebih ringan”
Contoh: Apabila
tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al- Qur’an dan Hadits dan
ilmu berdasarkan agama kecuali digaji, maka boleh menggajinya.
Sanksi- sanksi
yang diterapkan yang berhubungan dengan sesuatu yang bermaksiat baik barupa
sanksi hudud, kisas, diat, dan ta’zir, semuanya berkaitan denagn kaidah
tersebut.[65]
كل
رخصة أبيحت للضرورة والحاجة لم تستبح قبل وجودها
“setiap
keringanan yang diperbolehkan karena atau karena Al- Hajah, tidak boleh dilaksanakan
sebelum terjadinya kondisi darurat atau al- Hajah”
Contoh: memakan
makanan- makanan yang haram, baru bisa dilaksanakan jika pada kondisi yang
sangat darurat atau al- hajah, misalnya, tidak ada makanan selain makanan yang
haram tersebut.
كل
تصرف جر فسا دا أودفع صلاحا منهى عنه
“setiap
tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah
dilarang.”
Contoh:
Menghambur-
haburkan hartanya atau boros dalam memakainya tanpa ada manfaatnya. Contoh
lainnya: melakukan akad riba, perjudian, pornografi, pornoaksi, kesepakatan
untuk melakukan perampokan dan yang lain sebagainya.[66]
E. Adat Dapat Dipertimbangkan Menjadi Hukum
العادة
محكمة
Adat dalam
kaidah ini dapat di bagi menjadi dua yaitu, ‘ammah dan khassah, adat ‘ammah
atau adat umum adalah perbuatan atau sebuah perilaku yang berlaku secara umum
di seluruh negara, sedangkan ‘adat khassah (adat khusus) mkasudnya adalah suatu
perbuatan atau perilaku yang berlaku umum di sebuah negara.[67]
Jadi arti
kaedah ini secara bahasa dan istilah bahwa sebuah adat kebiasaan dan ‘urf adat
kebiasaan dijadikan rujukan dalam semua hukum syar’i yang belum ada
ketentuannya.[68]
a.
Landasan
atau Rujukan Kaedah Ini
·
Firman Allah
SWT dalam surat Al- Baqarah ayat 228 yaitu:
“Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan keawjibannya menurut cara yang ma’ruf
(baik)”
·
Firman Allah
SWT dalam surat An- Nisa’ ayat 19 yaitu:
“ Dan
bergaullah dengan mereka secara baik”
·
Firman Allah
SWT dalam Surat Al- Maidah ayat 89 yaitu:
“Allah tidak
akan menghukum kamu disebabkan sumpah sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah- sumpah yang kamu
sengaja, maka kafarat melanggar sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang
miskin yaitu dari makanan yang iasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi pakaian kepada mereka”
·
Firman Allah
SWT dalam QS. Al- A’araf ayat 199 yaitu:
“Jadilah engkau
pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari
orang- orang yang bodoh”
·
Firman Allah
SWT dalam QS. Al- Maidah ayat 89 yaitu:
“Kaffarat
(melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian”[69]
b.
Kaidah
percabangannya dan contoh penerapanya
إستعمال
الناس حجة يجب العمل بها
"Apa
yang digunakan oleh banyak orang itu
dapat sebagai hujjah yang wajib di laksanakan”
Kaidah ini sama
seperti kaedah umum, yaitu bahwa apa yang digunakan mausia dan mejadi sebuah
adat kebiasaan mereka, maka itu semua bisa menjadi sandaran amal yang wajib di
gunakan dan dilaksankan.
Contoh:
Jika ada seseorang meminta tolong kepada orang
lain, dalam rangka untuk menjualkan tanahnya, kemudian setelah tanah itu
terjua, yang dimintatolong tersebut minta bagian upah karena imbalan dari apa
yang sudah ia usahakan, maka hal ini dikembalikan kepada urf yang sudah menjadi
adat kebiasaan di dalam masyarakat setempat. Maka wajib memberikannya.
Jika ada
seorang tukang yang bekerja dan waktu istirahat dan upahnya ditentukan pada urf
yang berlaku.[70]
العبرة
للغا لب الكثير لا للقليل النادر
“ Yang
dijadikan dasar adalah yang berlaku umum bukan yang jarang”
Contoh: para
ulama’ berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila digunakan
kaidah tersebut, maka waktu hamil terpanjang tidak akan lebih dari satu tahun.
Demikian pula dalam menentukan menopouse wanita dengan 55 tahun.[71]
الحقيقة
تترك بدلا لة العادة
“Arti
hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat.”
Contoh:
Yang disebut
jual beli adalah penerimaan barang dan penyerahan uang, dalam waktu yang
bersamaan antara pembeli dan penjual. Akan tetapi, jika pembeli menyerahkan
tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli
tersebut telah terjadi.[72]
DAFTAR PUSTAKA
.
Ade Rohayana. 2008..Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Gaya
Media Pratama
Abdull Mudji. 1984. Al- Qowa’idul Fiqhiyyah
Ahmad Sabiq. 2009, Al- qawaidu Alfiqhiyah.Gresik: Pustaka
Al- Furqon,
Dahlan Tamrin. 2010. Kaidah-kaidah
Hukum Islam. Malang: UIN Maliki Press.
Djazuli. 2006.Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta:
Kencana Media Group
Fathurrahman Azhari. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah .Banjarmasin:
Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU).
Nashr Farid M. Washil- Abdul Aziz M. Azzam. 2009. Al- Madkholu fii Al-
Qawa’idi alfiqhiyyati wa atsaruha fiil ahkamil syari’yati. Diterjemahkan
oleh Wahyu Setiawan dengan judul: Qawa’id Fiqhiyya, Jakarta: Amzah,
Catatan:
1.
Similarity cukup
baik 13%.
2.
Rerefensi hanya
tujuh?
3.
Abstrak
seharusnya hanya satu paragraf.
4.
Makalah ini
tidak sesuai dengan format acuan.
5.
Pendahuluannya
tidak semestinya hanya ditulis seperti itu.
6.
Kesimpulan/penutup
mana?
Makalah ini secara sistematika kacau, sepertinya tidak diedit sebelum
dikirimkan ke dosen. Harus diperbaiki secara total!!!!!!!!
[5]Fathurrahman
Azhari..Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin:Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU). 2015) Hlm.1.
[7]
Fathurrahman Azhari. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah .(Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU). . 2015). Hlm.4.
[13]Fathurrahman
Azhari. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU). 2015) .Hlm.29.
[16]
Fathurrahman Azhari.. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU). 2015)Hlm.32.
[17]Ibid.h.33.
[21]
Fathurrahman Azhari. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU) . 2015). Hlm.35.
[26]
Fathurrahman Azhari. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU) . 2015). Hlm.37.
[32]
Fathurrahman Azhari.. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU). 2015 )Hlm.39-40.
[33] Ade
Rohayana.. Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. )Jakarta: Gaya Media Pratama2008(. Hlm.201.
[34] Ibid
[35]
Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009).
Hlm.14-15
[36] Ibid.
Hlm. 17-18
[37] Ade
Rohayana.. Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. )Jakarta: Gaya Media Pratama2008(. Hlm.204-205
[38] Abdull Mudji. Al- Qowa’idul Fiqhiyyah (Nur
Cahaya, 1984). Hlm. 22
[39] Ibid.
Hlm. 23
[40] Ibid.
[41] Ibid.Hlm.
23
[42] Ibid
[43]
Nashr Farid M. Washil- Abdul Aziz M. Azzam. Al- Madkholu fii Al- Qawa’idi
alfiqhiyyati wa atsaruha fiil ahkamil syari’yati. Diterjemahkan oleh Wahyu
Setiawan dengan judul: Qawa’id Fiqhiyya, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 15
[44]
Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009).
Hlm 30
[45] A.
Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 47
[46]
Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009).
Hlm 37
[47] [47] A.
Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm 48
[48]
Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009).
Hlm 44-45
[49] A.
Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm 50-51
[50]
Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009).
Hlm 61
[51] Ade
Rohayana.. Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. )Jakarta: Gaya Media Pratama2008(. Hlm 225
[52] Ibid,
hlm. 226
[53]
Abdull Mudji. Al- Qowa’idul Fiqhiyyah (Nur Cahaya, 1984). Hlm 34
[54] Ibid
[55] A.
Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm 62
[56] Ibid.hlm.
63
[57] Ibid,
hlm.65
[58] Ibid,
hlm 67
[59]
Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009).
Hlm 90
[60] A.
Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm 69
[61] Ibid
[62] Ibid
[63] Ibid.
Hlm. 73
[64] Ibid.
Hlm. 74
[65] Ibid.
Hlm. 75
[66] Ibid.
Hlm. 78
[67] Ade
Rohayana.. Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. )Jakarta: Gaya Media Pratama2008(. Hlm 218
[68]
Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009).
Hlm 104
[69] A.
Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm 81
[70]
Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009).
Hlm 115
[71] Ibid.
hlm. 116
[72] Ibid.
hlm. 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar