Senin, 04 Maret 2019

Sumber-Sumber Hukum Islam yang Disepakati (PAI F Semester Genap 2018/2019)



SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM : (AL-QUR’AN, AL-SUNAH, IJMA’ DAN QIYAS)

Ulum Wahyu Febri Anggraini (16110070) dan Bahrul
Ilmi Ismawan (16110072)
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI-F), angkatan 2016
e-mail:
ulumanggraini@gmail.com
Abstrak
Sumber hukum Islam (Ushul al- ahkam) menjadi bagian dari ilmu ushul fikih. Disiplin ilmu ini menurut syara’ berarti “ilmu tentang berbagai kaidah serta pembahasanya yang dijadikan sebagai saran untuk mendapatkan dan menetapkan hukum syari’at praktis dari sumber dalil yang terperinci”. Oleh karena itu pembahasan sumber hukum Islam sangat berkaitan dengan tugas ilmu ushul fikh yakni sebagai suatu metode yang menjelaskan proses cara atau mekanisme yang harus dilakukan ulama’ ahli fiqh (faqih)dalam mengeluarkan hukum, yakni berupa memberi pertimbanan atas dalil dalil yang hendak dipakai. Hal ini menjadi penting karena sumber hukum Islam sebagai landasan atas pelaksanaan disiplin ilmu ushul fiqh. Adapun beberapa sumber hukum Islam yang mutlak digunakan sebagai landasan dimulai dari yang terpenting yakni, pertama ialah Al-qur’an, al-Sunah, ijma’, dan qiyas. Bebrapa sumber hukum Islam tersebut menjadi penting karena sebagai pedoman hidup manusia dan menjawab segala permasalahan yang dihadapinya.
Kata Kunci: Al-Qur’an, Hadits, Sunnah, Ijma’, Qiyas

Abstract
The source of Islamic law (Ush al-Ahkam) is part of the science of ushul fiqh. This discipline according to syara 'means "the knowledge of various rules and discussions which are used as suggestions for obtaining and establishing practical shari'ah law from the sources of detailed propositions". Therefore, the discussion of the sources of Islamic law is very much related to the task of the science of Ushul Fikh, namely as a method that explains the process of a method or mechanism that must be carried out by scholars of fiqh in issuing laws, namely in the form of giving arguments on the arguments to be used This is important because the source of Islamic law is the basis for the implementation of the ushul fiqh discipline. As for some sources of Islamic law that are absolutely used as a foundation starting from the most important, namely, first is Al-Qur'an, al-Sunah, ijma ', and qiyas. Some sources of Islamic law are important because they are human guidelines and answer all the problems they face.

Keyword: Al-Qur’an, Hadits, Sunnah, Ijma’, Qiyas
A.    Pendahuluan
Dalam pandangan sejarah, hukum Islam mengalami proses perkembangan dan perubahan pada aspek sosio-kultural, hal tersebut berkembang  secara dinamis dan mempengaruhi pemikiran manusia. Oleh karena itu Islam dituntut untuk mampu menghadapi segala permasalahan yang dihadapi umat manusia. Agama Islam memiliki sumber hukum yang disepakati oleh para ulama’, meliputi : Al-Qur’an, sunah, ijma’ dan qiya. Sumber hukum tersebut dapat membantu menyelesaikan permaslahan hidup umat manusia baik sekarang maupun yang akan datang. Sebagaimana diketahui, para ulama sepakat bahwa al-Qur'an dan sunnah merupakan sumber hukum yang fundamental. Al-Qur'an diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, dan syariatnya adalah yang terakhir,sedangkan sunah merupakan penjelas terhadap hukum dalam al-quran, walaupun terkadang juga menentukan hukum baru sesuai dengan perkembangan jaman[1], sedangkan ijma’merupakan kesepakatan para ulama’mengenai penetapan suatu hukum dan qiyas diartikan sebagai suatu langkah menghubungkan antara satu perkara yang hukumnya tidak terdapat didalam nas al-qur’an kepada perkara lain yang hukumnya telah ditetapkan didalam nas al-qur’an. Hal tersebut terjadi karena ada kesamaan dalam ‘illat hukum.Tujuanmenginterpretasikan hukum ialah demi menjawab tantangan kehidupan di masa sekarang maupun yang akan datang sesuai dengan syari’at Islam.[2]

B.    Al-Qur’an
Al- Qur’an berarti “membaca” dalam segi bahasa. ‘Abd al- Wahhab khallaf menyebutkan “bahwa Al-qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan melalui perantara malaikat Jibril ke dalam hati sanubari nabi Muhammad saw dengan lafal yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar untuk menjadi hujjah bagi rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi media mendekatkan diri (qurbah) dan ibadah ketika membacanya.”[3]Al-Quran dibukukan dengan bentuk mushafdengan dimulai bacaan al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas dan diriwayatkan[4]. 
Kekuatan Al-Qur’an sebagai hujjah dalam pengambilan hukum Islam sangat tidak diragukan kebenarannya, hal itu karena al-qur’an diturunkan langsung dari Allah Swt. kepada manusia dengan cara yang pasti dan kebenarannya tidak dapat diragukan lagi. Hukum yang terkandung didalam al-qur’an berupa undang –undang yang wajib di taati. Tujuan hal tersebut ialah agar tata kehidupan manusia dapat berjalan baik sesuai syari’at Islam.[5]
Adapun dalil yang menunjukan urutan dalam menggunakan empat dalil
di atas antara lain Qs. An-Nisa: 59

“Artinya : hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya),dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an)dan rasul (sunnah) Nya, jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa:59).”[6]
Bentuk-bentuk kemukjizatan Al-Qur’an antara lain:
1.    Kesatuan dalam kalimat, makna,hukum,dan teori yang terkandung didalamnya
2.    Keselarasan ayat dengan teori yang mampu diungkap oleh ilmu pengetahuan
3.    Pemberitaan tentang berbagai hal yang tidak diketahui oleh manusia dan hanya Allah swt. yang maha mengetahui yang ghaib
4.    Kebalaghahan ungkapan, kefasihan lafal serta kekuatan pengaruh al-qur’an kepada kehidupan manusia.[7]
Terdapat 3 pembagian hukum dalam Al-Qur’an, yaitu:
1.      Hukum akidah, yakni berupa hukum yang berorientasi pada aspek keyakinan diri seorang mukallaf, baik berupa Allah, Malaikat, Rasul, dan hari akhir.
2.      Hukum akhlak, yakni hukum yang berorientasi pada aspek kewajiban seorang mukallaf. Akhlak tersebut baik berupa akhlak terhadap Allah swt dan antar sesama makhluk ciptaan Allah, serta mengetahui segala perintah dan larangan Allah swt.
3.      Hukum perbuatan, yakni hukum yang berorientasi pada aspek ucapan, tindakan, akad yang bertalian anata sesama makhuk Allah, serta berbagai bentuk pengelolaan yang timbul dari perbuatan mukallaf. Hukum ini juga disebut sebagai fikih al-Quran.[8]
Berdasarkan dalih hukum syara’ al-Qur’an merupakan  kehendak dari Allah swt. yang berisi pedoman atas dasar tentang tingkah lakumanusia mukalaf, maka dapat diipahami bahwa pencipta hukum di dunia ini (law giver) adalah AllahSwt. Oleh karena itu, ditetapkan bahwa Al-qur’an sebagai sumber utama bagi hukumIslam, beserta sebagai dalil utama bidang keilmuan fiqh. Karena pada hakikatya Al-Quran bertugas membimbing danmemberikan petunjuk dalam berbagai persoalan hidup manusia serta sebagai landasan pencetusan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagianayat-ayat-Nya.[9]

C.    As-Sunnah
Pendapat Imam Mazhab Empat tentang Kriteria Kehujjahan Hadis.
1.      Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menjadikan hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua seusai al-Qur`an. Dalam kitab tarikhnya al-Baghdadi, “Abu Hanifah berkata: Saya terlebih dahulu mengambil pada kitab Allah, tetapi kalau saya tidak menemukan di dalamnya, maka saya mengambil pada sunnah Rasulullah saw.”“Al-Sya’rani dalam kitabnya, al-Mizan al-Kubra menulis, bahwa Abu Hanifah berkata: Demi Allah, telah berdusta dan telah mengada-ada terhadap saya, orang yang mengatakan, sesungguhnya saya mendahulukan qiyas atas nash”. Kalangan ini memperdebatkan tentang diperlukan qiyas sesudah ada nash. Jumhur ulama pun menegaskan bahwa Imam Abu Hanifah ber-hujjah dengan hadis mutawatir. Sebagian ulama Hanafiyah menyamakan hadis mutawatir dengan hadis masyhur. Mereka bersepakat dalam menegaskan bahwa  hadis masyhur tidak menyangkut soal yang bersifat keyakinan, melainkan yang bersifat zhanni (di luar keyakinan atau akidah). Jadi dapat diartikan bahwa hadis masyhur dapat dijadikan hujjah ataupun diamalkan. Namun tingkat hadis masyhur ini dibawah dari tingkat hadis mutawatir. Di dalam pandangan beberpa ulama pengikut Imam Abu Hanifah menyatakan terdapat perbedaan  dalam mendudukkan hadis sebagai hujjah. Beberapa pendapat ada yang menyamakan kedudukan hadis mashur dan hadis mutawatir , disisi lain juga ada beberapa ulma’ yang menyatakan bahwa kedudukan hadis mutawatir lebih tinggi dari pada hadis masyhur. Oleh karena itu terdapat dualism persepsi diantara keduanya, namun pada hakikatnya, kedua pendapat tersebut  menyetujui  bahwa hadis mutawatir sebagai hadis yang dapat dijadikan hujjah dalam menetap-kan hukum dan bersifat kuat. [10]

Abu Hanifah menerima hadis ahad dengan menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Periwayatnya tidak menyalahi riwayatnya
b.      Riwayatnya tidak menyangkut soal yang umum
c.       Riwayatnya tidak menyalahi qiyas.
Hadis ahad dapat didahulukan penggunaannya dari pada Qiyas, dengan syarat :
a.       Qiyas yang ‘illat-nya mustanbath dari sesuatu yang zhanni
b.      Istinbath zhanni walau dari asal yang qath’i
c.       Di-istinbath-kan dari yang qath
“Pada dasarnya Imam Abu Hanifah menetapkan al-Qur`an sebagaipokok sumber hukum utama dalam Islam serta menerima sunnah jika datang dari orang yang terpercaya. Menerima hadis ahad sesudah al-Qur`an, dengan syarat  jika hadis ahad tidak bertentangan dengan kaedah yang telah di-ijma’-i oleh ulama dan tidak termasuk soal yang umum dan tidak menyalahi qiyas. Abu Hanifah menerima juga hadis mursal sebagai hujjah jika tidak bertentangan dengan al-Qur`an, serta menggunakan hadis mutawatir sebagai hujjah.ke-hujjah-an hadis masyhur, yang apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafiyah.”[11]
Jadi dapat disimpulakan bahwa “Imam Abu Hanifah menjadikan alsunnah sebagai hujjah dalam penetapan hukum-hukum syari’ah, dengan syarat, al-sunnah itu diriwayatkan oleh orang orang kepercayaan. Sedangkan khusus hadis ahad ia persyaratkan, harus tidak bertentangan dengan kaedah yang telah disepakati oleh ulama dan matan-nya tidak menyangkut soal-soal yang umum serta tidak bertentangan dengan qiyas. Bahkan hadis mursal pun diterimanya jika tidak bertentangan dengan al-Qur`an”.
2.      Imam Malik bin Anas
Imam Malik adalah imam yang terkenal dengan kitab al-Muwaththa`nya. Kitab ini bergerak pada bidang fikih dan hadis. Al-Qadhi ‘Iyadh dari Imam Malik  menyebutkan dalam kitab al-Madari, bahwa terdapat 4pedoman dasar dalam menetapkan hukum Islamyakni:, yaitu al-Kitab, al-sunnah, ‘amal ahli Madinah dan qiyas.
Menurut Imam Malik, kedudukan al-sunnah terhadap al-Qur`an terbagi dalam tiga hal, yaitu:
a.       Mentaqrir-kan hukum hukum dalam al-Qur`an
b.      Menerangkan apa yang dfikehendaki al-Qur`an
c.       Mendatangkan hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Qur`an.
Menurut pendapat Imam Malik, berkenaan dengan pengambilan hukum Islam, mazhab ini menempatkan al-sunnah sebagai dasar pengambilan hukum yang kedua setelah al-Qur`an. Imam Malik berpandangan bahwa sunah sebagai sumber keberadaan timbulnya hukum-hukum baru di luar ketentuan al-qur’an.
“ Imam Malik menegaskan menerima hadis mursal, hadis munqathi’ dan hadis- (dalam kitab al-Muwaththa`) dita’bir-kan dengan ‘ibarat balaghani (sampai kepadaku), walaupun ia tidak terangkan sebab-sebab ia menerima hadis-hadis tersebut, mengingat pada masa itu, belum dipersoalkan ulama tentang kedudukan hadis mursal; dan ia sendiri tidak menerima hadis melainkan dari orang yang dipercayainya. Imam Malik menegaskan pula bahwa dirinya berpegang kepada ‘amal penduduk Madinah dan menggunakan qiyas dalam membina dan menetapkan masalah hukum yang dihadapinya”.
Ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkannya hadis ahad jika dirasa bertentangan dengan amalan-amalan atau ‘urf ulama-ulama Madinah, karena menurutnya amalan-amalan ulama Madinah sama dengan riwayatnya. jadi dapat dipahami bahwa, Imam Malik membina hukum-hukum Islam berdasarkan sumber utama al-Qur`an, yang selanjutnya sunnah sebagai sumber penetapan yang kedua. “Dalam hal hadis diriwayatkan, Imam Malik menerima hadis masyhur, hadis mursal dan hadis mutawatir serta hadis ahad. Namun khusus hadis ahad, Imam Malik memberi syarat, yaitu tidak bertentangan dengan amalan-amalan ulama Madinah”.[12]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Imam Malik bin Anas memegangi hadis sebagai hujjah, bukan hanya pada hadis mutawatir, melainkan juga pada hadis masyhur, hadis mursal dan hadis ahad tetapi dengan syarat, tidak bertentangan dengan Amalam Ulama Madinah.
3.      Imam Syafi’i
Dalam penetapan dalil-dalil hukum Islam, Imam Syafi’i membagi lima tingkatan hukum yang berupa prosedural ilmiah. Adapun urutannya sebagai beriukut:
a.       Al-Kitab dan al-Sunnah.
Ditempatkannya al-sunnah sejajar dengan alKitab karena al-sunnah merupakan penjelas bagi al-Kitab, walau hadis ahad tidak senilai dengan al Kitab
b.      Ijma’ ditempuh dalam berbagai masalah yang tidak diperoleh dalilnya dari al-Kitab dan alsunnah. Ijma’ dalam hal ini, ialah ijma’-nya para fuqaha yang memiliki ilmu khusus.
c.       Qawl (pendapat) sebagian sahabat yang diketahui, tidak ada qawl lain yang menyelisihinya.
d.      Qawl-Qawl sahabat yang bertentangan dengan qawl-qawl sahabat juga; dalam hal ini, mengambil qawl yang paling kuat.
e.        Qiyas, yaitu menetapkan hukum suatu masalah dengan menyamakan (mengkias) hukum yang sudah dietapkan oleh dalil di atas.
Dalam pembagian prosedural ilmiah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Imam Syafi’I, menemaptkan al-Qur`an dan hadis sebagai tempat bersandarnya ijma’, qawl sahabat dan qiyas. sumber yang digunakan Imam Syafi’I dalam membina dan menetapkan hukum hanya kepada  al-Qur`an dan hadis. Di dalam kitab al-Risalah, Imam Syafi’i mengajukan sejumlah dalil yang membuktikan ke-hujjah-an al-sunnah.
Imam Syafi’i menerima kehadiran Hadis ahad sebagai salah satu sumber hukum namun harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a.       Periwayatnya adalah orang yang dipercaya
b.      Periwayatnya berakal atau memahami apa yang diriwayatkan
c.       Periwayatnya dhabith
d.      Periwayatnya benar-benar mendengar hadis itu dari orang yang meriwayatkannya
e.       Periwayatnya tidak menyalahi ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis yang sama.
Secara mutlak tidak menerima dan menolak hadis mursa. “Hadis mursal dapat diterima Imam Syafi’i dengan dua syarat berikut: pertama, hadis mursal itu disampaikan oleh tabi’in yang banyak berjumpa dengan sahabat; kedua, ada petunjuk yang menguatkan sanad hadis ahad itu. Walaupun hadis mursal diterima Imam Syafi’i sebagai hujjah, namun menurutnya tidaklah sederajat dengan hadsi ahad; dan demikian juga hadis ahad, dapat diterima, tetapi tidak sejajar dengan al-Qur`an dan hadis mutawatir”.
Menurut Imam Syafi’i kedudukan hadis terhadap al-Qur`an, adalah sebagai berikut:
a.         Menerangkan ke-mujmal-an alQur`an, seperti menerangkan kemujmal-an ayat shalat
b.        Menerangakan ‘am al-Qur`an, yaitu ‘am yang dikehendaki khash
c.         Menerangkan fardu-fardu dari fardu-fardu yang telah ditetapkan alQur`an
d.        Menerangkan mana yang nasikh dan mana yang mansukh dari ayat-ayat al-Qur`an.
Kesimpulannya adalah dalam menetapkan hukum, Imam Syafi’I menempatakan sunnah sejajar dengan al-Qur`an. Menurutnya, kedua dalil itu sama-sama berasal dari Allah dan keduanya merupakan sumber ajaran Islam. Imam Syafi’i memakai ijma’, qawl sahabat dan qiyas dengan merujuk pada kedua sumber ajaran Islam tersebut. Selanjutnya, Imam Syafi’i menerima hadis ahad sebagai hujjah dengan syarat, harus dari periwayat yang dapat dipercaya dan memenuhi kriteria tam al-dhabit. Imam Syafi’i menerima juga hadis mursal dengan syarat, periwayatnya banyak berjumpa dengan sahabat dan sanad-nya dapat dipercaya. Menurutnya, posisi hadis mutawatir lebih tinggi dari pada hadis ahad dan hadis mursal. [13]
Jadi “Imam Idris al-Syafi’i mendudukkan hadis ahad sebagai hujjah, jika hadis ahad itu diriwayatkan oleh periwayat yang memenuhi kriteria dhabith. Demikian juga halnya hadis mursal, ialah jika periwayatnya banyak berjumpa dengan sahabat dan sanadnya pun dapat dipercaya. Menurut Imam Syafi’i, posisi hadis mutawatir lebih tinggi dari pada hadis ahad dan hadis mursal”.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa Sumber kedua hukum Islam ialah al-sunnah. Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan, untuk mencari apa yang ada dalam al-Qur`an harus melalui sumber pemahaman al-sunnah, maka ia akan menempuh jalan kesesatan. Hal ini dikarenakan beberapa alasan :
a.       Al-Qur`an mengharuskan kita mengi-kuti Rasul (sunnahnya)
b.      Ada hadis-hadis yang mengharuskan kita mengikuti Rasul dan melarang kita menghadapi al-Qur`an saja dan membelakangi al-sunnah
c.       Hukum yang di-ijma-i oleh paramuslimin banyak yang diambil dari al-sunnah, karena itu menghilangkan al-sunnah, berarti menghilangkan 9/10 hukum Islam.
“Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis ahad hanya dapat digunakan dalam bidang ‘amali (pengamalan) dan tidak boleh digunakant dalam bidang i’tiqadi (akidah). Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan hadis ahad dalam kedua bidang tersebut, baik itu ‘amali maupun i’tiqadi. Imam Ahmad bin Hanbal menerima hadis mursal jika berasal dari seorang sahabi atau seorang tabi’in atau tabi’- tabi’in. Hadis yang datang dari dari luar kelompok tersebut, tidak diterimanya. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah seorang pembina hukum Islam dan banyak yang mengikutinya. Ia menerima hadis dha’if bila keadaan darurat. Imam Ahmad bin Hanbal memegangi hadis yang berkualitas dha’if, dengan syarat, periwayatnya bukan orang yang sengaja berdusta dan tidak menemukan penjelasan masalahnya dalam hadis, baik dalam hadis shahih maupun dalam hadis hasan. Kererangan di atas menggambarkan dengan jelas, Imam Ahmad bin Hanbal mengakui ke-hujjah-an al-sunnah dengan tegas dan jelas, dengan menggolongkan orang-orang yang menolak al-sunnah sebagai orang-orang sesat. Imam Ahmad bin Hanbal ber-hujjah dengan hadis mutawatir, hadis ahad, hadis mursal dan hadis dha’if. Bahkan ia mendahulukan hadis dha’if dari pada qiyas. Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan tersebut, dapat dikatakan, bahwa para Imam Mazhab Empat dalam kegiatan menetapkan hukum terhadap seluruh masalah yang dihadapi pada masa hidupnya sebagai ulama mujtahid, menggunakan hadis sebagai sumber yang kedua. Namun demikian, di antara mereka menekankan persyaratan-persyaratan bagi sebuah hadis yang dapat diterimanya sebagai hujjah.”
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal ber-hujjah dengan umumnya hadis, baik hadis mutawatir, hadis ahad, hadis mursal maupun hadis dha’if. Ia pun mendahulukan hadis dfha’if dari pada qiyas.[14]
D. Ijma’
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang utama. Namun setelah kedua sumber utama tersebut masih ada lagi sumber hukum Islam yang telah disepakati ulama dan fuqaha. Sumber hukum yang dimaksud adalah Ijma, kesepekatan yang diambil oleh para ulama dan fuqaha pada masa setelah wafatnya Rosulullah. Hal yang disepakati untuk dibuat sebuah hukum adalah dari berbagai persoalan Dinul Islam yang hukumnya masih menjadi perdebatan. Ijma’ bisa disebut sebagai pandangan sahabat Nabi Muhammad. Dalam haditsnya Rosulullah pernah bersabda:
Ummatku tak akan pernah bersepakat dalam hal yang menuju kesesatan”.
Bahkan Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an untuk meminta bantuan kepada orang lain tentang persoalan agama yaitu terdapat pada Q.S Ali-Imran ayat 159 dan Q.S Asy-Syura ayat 38 sebagai berikut:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S Ali-Imran : 159)
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. (Q.S Asy-Syura : 38).
Pelaksanaan Ijma pernah terjadi pada masa sahabat Nabi yang mana dapat dijadikan sebagai contoh kesepakatan dari para sahabat dalam hukum Islam. Ketika itu para sahabat mempersoalkan hukum bagi orang yang mabuk (meminum minuman keras). Didalam Al-Qur’an Allah tidak menjelaskan hukuman yang pasti terhadap orang-orang tersebut. Sahabat Ali bin Abi Thalib berkata: “Orang yang minum (minuman keras) niscaya akan mabuk (teler); orang yng teler niscaya akan ngaco (menceracau); orang yang meracau niscaya akan menuduh orang sembarangan (dengan tuduhan palsu); dan orang yang memfitnah harus dicambuk delapan puluh kali dengan cemeti berdasarkan perintah Allah di dalam Al-Qur’an sebagaimana Fiman-Nya”.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (Q.S An-Nur : 4)
Allah dalam Al-Qur’an telah memerintahkan kepada umat Islam untuk mentaati keputusan Ulul Amri dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah jika terjadi perbedaan pendapat. Hal ini menunjukkan bahwa mengambil keputusan melalui kesepakatan dari persoalan keagamaan yang terdapat perbedaan pendapat adalah benar. Dan Allah memerintahkan untuk mengikuti jalan yang benar yaitu ajaran yang dibawa Rasulullah. Dalam perintah Allah tersebut dapat diketahui bahwa untuk ber-Ijma’ diperlukan Al-Qur-an dan Sunnah agar tidak menjadi kesesatan dalam penetapan hukumnya. Firman Allah tersebut terdapat pada ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’: 59)
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’: 115).[15]
Ijma’ merupakan suatu kesepakatan bulat dari para ulama. Pendapat Syi’ah mengatakan bahwa Ijma’ adalah Hujjah, karena jika semua umat Islam memilki pandangan yang sama maka pandangan tersebut berasal dari Nabi Muhammad. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda karena itu bersumber dari pikiran mereka sendiri. Maka dari itu, dalam menentukan Ijma’ perdebatan yang terjadi sampai pada akhirnya menjadi sebuah kesepakatan bersumber dari Sunnah Nabi atau seorang Imam.[16]
Menurut syara’ Ijma’ merupakan kesepakatan dari orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam menentukan suatu hukum Islam (mujtahid) sesudah meninggalnya Rasulullah dalam suatu urusan yang belum jelas ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, bisa dikatakan hukumnya masih diragukan. Seperti contoh pembagian harta warisan untuk cucu. Didalam Surah An-Nisa ayat 11:
….يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ 
Artinya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” 
Dapat diketahui bahwa yang disebutkan dalam ayat tersebut hanyalah anak saja, tidak menyebutkan bagian untuk cucu. Maka fungsi Ijma’ disini adalah untuk menentukan hukum pembagian warisan untuk cucu. Menurut Ijma’ ulama’ “cucu sama dengan anak, jika anak tidak ada, cucu mendapat pembagian harta warisan”. [17]
Secara umum, Ijma’ adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran terhadap suatu masalah agama yang sulit bertitik tolak kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ijma’ terbagi menjadi 2, yaitu Ijma’ Qauly yang merupakan suatu kebulatan persetujuan keputusan para mujtahidin tanpa ada bantahan diantara mereka dan dapat dijadikan sebuah landasan. Ijma’ Qauly oleh para ulama dijadikan pegangan yang diakui secara keseluruhan. Kemudian Ijma’ Sukuti adalah ketetapan seorang mujtahid terhadap suatu persoalan yang menjadikan sebuah hukum Islam, keputusan tersebut diakui keberadaannya oleh mujtahid namun tidak ada persetujuan maupun bantahan untuk keputusan tersebut. Ijma’ Sukuty masih menjadi perselisihan tentang syarat-syaratnya dan kedudukannya untuk menjadi sumber hukum Islam.
Pada masa khulafaur rasyidin tepatnya masa Umar bin Khattab r.a Ijma’ mudah sekali untuk dilaksanakan. Dikarenakan khalifah Umar melarang para sahabat untuk meninggalkan Kota Madinah sehingga permusyawarahan tentang urusan politik dan keilmuan menjadi mudah dilakukan waktu itu. Namun, ketika akhir pemerintahan Usman bin ‘Affan, sahabat-sahabat banyak yang berpergian dari kota Madinah sehingga tersebar di berbagai negari Islam seperti Yaman, Iraq, Hijaz, Mesir Syam, dan lain-lain. Sahabat- sahabat ini mampu menghasilkan ulama dan fuqaha yang baru.
Berakhirnya masa pemerintahan khulafaur rasyidin menjadi tanda untuk berakhirnya pula masa Ijma’. Hal ini dikarenakan para ulama dan fuqaha tidak mungkin lagi mengadakan sebuah permusyawarahan kembali untuk merumuskan hukum Islam yang baru. Sebab, menurut Syiah mereka terpaut jarak yang begitu jauh antar kota satu dengan yang lainnya dan kesepakatan ulama untuk satu negeri saja tidak dapat dijadikan sebuah Ijma’. Maka dari itu semua keputusan dan ketetapan Ijma’ berasal dari masa khulafaur rasyidin.
Ijma’ sudah tidak mungkin terjadi lagi karena sudah lewat masa khulafaur rasyidin. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hambal: “Apa yang dikatakan orang pada sesuatu perkara ada keputusan Ijma’nya, maka adalah bohong. Siapa yang menda’wakan terjadi iIjma’ maka ia adalah dusta. Boleh jadi orang banyak yang berselisih pendapat, tetapi ia tidak mengetahuinya atau belum sampai kepadanya. Hendaklah ia mengatakan ‘Kami tidak tahu bahwa orang banyak berselisih pendapat’ ”. [18]
Imam Syafi’I, Hambali, Maliki, dan Hanafi berpendapat bahwa bisa saja terjadi sebuah Ijma’ jika hukum tersebut tidak terdapat didalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dan kesepakatan ulama dimana posisi ulama berjauhan mungkin saja terjadi yaitu melalui surat tertulis untuk saling memberi kabar, juga bisa dengan mengajarkan kepada murid-muridnya sehingga kepada generasi selanjutnya.[19]
E.     Qiyas
Menurut Imam Abu Hanifah Qiyas merupakan sumber hukum Islam yang memiliki prinsip suatu hukum yang dikaji menjadi masuk akal atau logis dengan tujuan keselamatan umat Islam. Dalam pelaksanaannya, Qiyas harus bersandar pada ketiga sumber hukum Islam sebelumnya yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. [20] Dalam istilah agama, Qiyas memiliki arti  pengambilan keputusan suatu hukum yang serupa terhadap persoalan yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah yang disebabkan oleh illat yang sama. Qiyas menduduki posisi keempat dalam sumber hukum Islam. Dalam pemakaiannya Qiyas lebih luas daripada Ijma’ karena tidak ada lagi hukum atau ketentuan-ketentuan baru yang didasarkan pada Ijma’, ulama-ulama sudah tidak lagi menggunakan system musyawarah ilmiah bersama seperti yang dilakukan dahulu ketika masanya khulafaur rasyidin. Alasan sudah tidak lagi menggunakan system tersebut adalah masa khulafaur rasyidin itu telah berakhir dan sudah tidak mungkin lagi untuk melakukan Ijma’.
Qiyas tidak disyaratkan dengan kebulatan para ulama, karena setiap orang memiliki pandangan masing-masing terhadap persoalan yang tidak ada ketentuannya dala Al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’. Didalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak menjelaskan ketentuan dan ketetapan hukum terhadap persoalan yang baru yang terus bermunculan karena jumlahnya yang terbatas. Meskipun Ijma’ dapat mengatasi hal tersebut tetapi masanya sudah berakhir dan peristiwa-peristiwa baru masih terus bermunculan. Maka untuk mengatasinya adalah melalui ijtihad dengan berpikir yang bentuknya adalah Qiyas, karena Qiyas sudah menjadi alat yang subur dalam menetapkan hukum-hukum peristiwa bercabang.[21]
Terdapat dua kubu dalam penentuan adanya Qiyas yaitu kubu penerima dan kubu penolak. Kubu penolak berpendapat bahwa Qiyas tidak dapat dijadikan sebuah sumber hukum Islam dan yang benar adalah tetap bepegang teguh kepada Al-Qur’an. Seperti pada firman Allah dalam Q.S Al-Hasyr ayat 2 berikut:
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ مِن دِيَٰرِهِمْ لِأَوَّلِ ٱلْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنتُمْ أَن يَخْرُجُوا۟ ۖ وَظَنُّوٓا۟ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمْ حُصُونُهُم مِّنَ ٱللَّهِ فَأَتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا۟ ۖ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِى ٱلْمُؤْمِنِينَ فَٱعْتَبِرُوا۟ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ
Artinya:
Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan”. (Q.S Al-Hasyr : 2).

Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk melakukan i’tibar yang memiliki arti nimbus melampaui dari satu entensitas ke entensitas lainnya. Sama halnya dengan Qiyas yang menembus atau melampaui dari al-asl ke al-far’u. Namun pendapat ini dikritik oleh kubu penolak yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan i’tibar adalah mengambil pelajaran bukan mengqiyaskannya dan dalam kata i’tibar tidak menganddung makna qiyas syar’i. Kritik ini dijawab kembali oleh kubu penerima, mereka berpendapat bahwa i’tibar secara mutlak memiliki sejumlah makna yang diantaranya adlaah qiyas atau mempersamakan.[22]

Terdapat empat rukun yang harus dipenuhi agar bisa dijadikan sebuah hukum Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Al-Asl, masalah pokok yang ketentuan hukumnya sudah ada dalam nash dan senagai titik tolak diman suatu masalah itu dapat disamakan. Nama lainnya adalah maqis alaih, mahmul alaih, musyabbah bih.
2.      Al-Far’u, masalah yang ketentuan hukumnya tidak dijelaskan dalam nash atau masalah yang akan diqiyaskan dengan Al-Asl. Nama lainnya adalah maqis, mahul, musyabbah.
3.      Hukm Al-Asl, ketentuan status hukum yang ditetapkan nash terhadap Al-Far’u bila sudah ada ketetapan hukumnya pada Al-Asl, disebut juga buahnya.
4.      Illah, suatu sifat yang menjadi landasan keberadaan hukum Al-Asl, persamaan sebab yang dapat dikompromikan antara Al-Asl dengan Al-Far’u. Nama lainnya adalah manat al-hukm.[23]

Contoh :
Al-Asl
Al-Far’u
Hukm Al-Asl
Illah
Khamr
Wisyky
Memabukkan
Haram
Gandum
Padi
Mengenyangi
Halal

Ada beberapa syarat-syarat untuk melakukan Qiyas diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Hukm Al-Aslnya tidak berubah-ubah dan masih berlaku, sudah ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dapat diperlakukan pada Qiyas.
2.      Hukum Al-Far’u tidak boleh mendahului Hukm Al-Asl karena untuk menetapkan hukum harus berdasarkan Illahnya, Illah dan hukum yang ada pada Al-Far’u dan Al-Asl hendaknya sama.
3.      Harus ada Illahnya, tidak boleh keluar dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Macam-macam Qiyas
1.      Qiyas Aula, yaitu illah yang ada pada al-far’u lebih besar daripada illah yang ada pada al-asl. Maka hukum persoalan yang akan diqiyaskan menjadi lebih besar dibandingkan dengan ketetapan pada al-asl. Contohnya adalah pada potongan Q.S Al-Isra’ ayat 23 berikut:
….فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ
Artinya:
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"…. “.

Untuk mengqiyaskan illah memukul yang lebih besar daripada al-aslnya pada ayat tersebut yaitu “ah” maka hukumnya sama-sama berdosa bahkan bisa jadi dosanya lebih besar.
2.      Qiyas Muaway, yaitu illah yang ada pada al-far’u sama dengan illah yang ada pada al-asl. Maka hukum persoalan yang akan diqiyaskan menjadi sama. Contohnya adalah mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya, karena illahnya sama-sama menghabiskan (melenyapkan).
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلْيَتَٰمَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (Q.S An-Nisa’ : 10).
3.      Qiyas Dalalah, yaitu illah yang ada pada al-far’u dapat dijadikan dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak wajib dilaksakan bagi Al-Far’u. Contohnya adalah mengqiyaskan harta anak yang sudah mencapai nisab kepada harta orang tua untuk dizakatkan, tetapi dalam pelaksanaannya tidak wajib melakukan zakat bagi anak tersebut.
4.      Qiyas Syabah, yaitu illah yang ada pada al-far’u dapat memiliki dua al-asl yang lebih banyak persamaan keduanya. Contohnya adalah mengqiyaskan seorang budak, al-aslnya menjadikannya orang merdeka karena sama sama manusia dan al-asl berikutnya adalah menyamakannya dengan harta benda karena budak sendiri dapat diperjual belikan, diwariskan.
5.      Qiyas Adwan, yaitu al-far’u terhimpun pada hukum yang ada pada al-asl. Contohnya adalah mengqiyaskan seorang laki-laki yang memakai perak kepada memakai emas, sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah haram.
الاَصْلُ فِى الْفِضَّةِ التَّحْرِىْمُ الاَّ مَا وَرَدَتِ الدَّلِىْلُ عَلَى خِلَافِهِ (القائدة)
Artinya:
Yang asal pada perak haram, selama tidak ada dalil yang menyalahinya (membolehkannya)”. (kaidah).[24]
F.     Kesimpulan
Al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan melalui perantara malaikat Jibril ke dalam hati sanubari nabi Muhammad saw dengan lafal yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar untuk menjadi hujjah bagi rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi media mendekatkan diri (qurbah) dan ibadah ketika membacanya.
Sunnah merupakan hujjah dalam penetapan hukum-hukum syari’ah, dengan syarat, al-sunnah itu diriwayatkan oleh orang orang kepercayaan. bukan hanya pada hadis mutawatir, melainkan juga pada hadis masyhur, hadis mursal dan hadis ahad tetapi dengan syarat, tidak bertentangan dengan Amalam Ulama Madinah. Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis ahad hanya dapat digunakan dalam bidang ‘amali (pengamalan) dan tidak boleh digunakant dalam bidang i’tiqadi (akidah).
Ijma’ menurut syara’ merupakan kesepakatan dari orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam menentukan suatu hukum Islam (mujtahid) sesudah meninggalnya Rasulullah dalam suatu urusan yang belum jelas ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, bisa dikatakan hukumnya masih diragukan.
Qiyas memiliki arti  pengambilan keputusan suatu hukum yang serupa terhadap persoalan yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah yang disebabkan oleh illat yang sama. Qiyas menduduki posisi keempat dalam sumber hukum Islam. Qiyas harus bersandar kepada ketiga sumber hukum Islam sebelumnya yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.

Daftar Pustaka
Arifana Nur Kholiq. Relevansi Qiyas Dalam Istinbath Hukum Kontemporer,Isti’dal: Jurnal Hukum Islam, Vol.1,No.2, Juli-Desember2014, ISSN;2356-0150.

Nasruddin Yusuf. 2012.Pengantar Ilmu Ushul Fiki. Malang, Universitas Islam (UM PRESS).

Ahmad Yasin. ILMU USUL FIQH (Dasar – Dasar Istinbat Hukum Islam),Buku Perkuliahan Program S-1 Prodi Siyasah Jinayah Jurusan Hukum Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.

Abdul Wahhab Khallaf. 2003. Ilmu Ushul Fikih (Kaidah Hukum Islam).Jakarta,Pustaka Amani.

Nasri Hamang. 2001. Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat, Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1.

Abdur Rahman. 1993. Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Murtadha Muthahhari M. BaqirAsh-Shadr. 1993.Pengantar Ushul Fiqih &Ushul Fiqih Perbandingan, Jakarta: Pustaka Hidayah.

Nazar Bakry. 1993.Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta Utara, PT. Rajagrafindo Persada.


Ahmad Hanafia.Pengantar dan Sejarah Hukum Islam.

lis sulistiani Siska.Perbandingan Sumber Hukum Islam Tahkim.Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1 No.1 (Maret, 2018), Hal 102-116 102 EISSN : 2598-1129 ISSN : 2597-7962.

Efendi Satria. 2005.Ushul Fiqh.jakarta.prenada media

Catatan:
1.      Similarity 18%.
2.      Pendahuluan dibuat paling tidak tiga paragraf supaya bagus. Saya lihat juga pendahuluan tidak representatif.
3.      Dalam mengutip jurnal, yang dimiringkan adalah nama jurnalnya, sedangkan judul artikelnya diberikan tanda petik dan tidak dimiringkan. Berbeda dengan judul buku yang dimiringkan.
4.      Dalam menulis footnote dan daftar pustaka, pelajari kapan menulis dengan huruf besar (kapital) dan kapan menulis dengan huruf kecil.
5.      Sebagian pembahasan dalam makalah ini tidak sistematis, terutama bagian sunnah.




[1] Arifana Nur Kholiq,Relevansi Qiyas Dalam Istinbath Hukum Kontemporer,Isti’dal: Jurnal Hukum Islam, Vol.1,No.2, Juli-Desember2014, ISSN;2356-0150,hal:171
[2] Arifana Nur Kholiq,Relevansi Qiyas Dalam Istinbath Hukum Kontemporer,Isti’dal: Jurnal Hukum Islam, Vol.1,No.2, Juli-Desember2014, ISSN;2356-0150,hal:172
[3] Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fiki, Malang,2012, Universitas Islam (UM PRESS), Hal: 19
[4] Ahmad yasin,ILMU USUL FIQH (Dasar – Dasar Istinbat Hukum Islam),Buku Perkuliahan Program S-1 Prodi Siyasah Jinayah Jurusan Hukum Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya,
[5] Abdul wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Kaidah Hukum Islam), Jakarta,April,2003,Pustaka Amani, hal:19
[6] Satria efendi, Ushul Fiqh,jakarta,2005,prenada media,hal:78
[7] Abdul wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Kaidah Hukum Islam), Jakarta,April,2003,Pustaka Amani, hal:24-31
[8] Ibid,hal: 32-33
[9] Siska lis sulistiani,Perbandingan Sumber Hukum Islam Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1 No.1 (Maret, 2018), Hal 102-116102 EISSN : 2598-1129 ISSN : 2597-7962,hal:109
[10] Nasri Hamang,Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 94
[11]M. Nasri Hamang,Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm:94
[12]M. Nasri Hamang,Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm:95
[13]M. Nasri Hamang,Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm:96
[14]M. Nasri Hamang,Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm:97
[15] Rahman Abdur, Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta), hlm. 98-101
[16] Ash-Shadr Murtadha Muthahhari M. Baqir, Pengatar Ushul Fiqih &Ushul Fiqih Perbandingan, (Jakarta: Pustaka Hidayah), hlm. 146
[17] Bakry Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakart Utara, PT. Rajagrafindo Persada), hlm. 51
[18] Hanafia Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (), hlm. 61-62
[19] Bakry Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakart Utara, PT. Rajagrafindo Persada), hlm. 52-53
[20] Rahman Abdur, Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta), hlm. 108
[21] Hanafia Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (), hlm. 63
[22] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta, Amzah), hlm. 97-98
[23] Ibid, hlm. 96
[24] Bakry Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakart Utara, PT. Rajagrafindo Persada), hlm. 48-50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar