SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM : (AL-QUR’AN, AL-SUNAH, IJMA’ DAN QIYAS)
Ulum Wahyu Febri Anggraini (16110070) dan Bahrul Ilmi Ismawan (16110072)
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI-F), angkatan 2016
e-mail: ulumanggraini@gmail.com
Abstrak
Sumber hukum Islam (Ushul
al- ahkam) menjadi
bagian dari ilmu ushul fikih. Disiplin ilmu ini menurut syara’ berarti “ilmu
tentang berbagai kaidah serta pembahasanya yang dijadikan sebagai saran untuk
mendapatkan dan menetapkan hukum syari’at praktis dari sumber dalil yang
terperinci”. Oleh karena itu pembahasan sumber hukum Islam sangat berkaitan
dengan tugas ilmu ushul fikh yakni sebagai suatu metode yang menjelaskan proses
cara atau mekanisme yang harus dilakukan ulama’ ahli fiqh (faqih)dalam
mengeluarkan hukum, yakni berupa memberi pertimbanan atas dalil dalil yang
hendak dipakai. Hal ini menjadi penting karena sumber hukum Islam sebagai
landasan atas pelaksanaan disiplin ilmu ushul fiqh. Adapun beberapa sumber
hukum Islam yang mutlak digunakan sebagai landasan dimulai dari yang terpenting
yakni, pertama ialah Al-qur’an, al-Sunah, ijma’, dan qiyas. Bebrapa sumber
hukum Islam tersebut menjadi penting karena sebagai pedoman hidup manusia dan
menjawab segala permasalahan yang dihadapinya.
Kata Kunci: Al-Qur’an, Hadits, Sunnah, Ijma’, Qiyas
Abstract
The source of Islamic law (Ush al-Ahkam) is part of the
science of ushul fiqh. This discipline according to syara 'means "the
knowledge of various rules and discussions which are used as suggestions for
obtaining and establishing practical shari'ah law from the sources of detailed
propositions". Therefore, the discussion of the sources of Islamic law is
very much related to the task of the science of Ushul Fikh, namely as a method
that explains the process of a method or mechanism that must be carried out by
scholars of fiqh in issuing laws, namely in the form of giving arguments on the
arguments to be used This is important because the source of Islamic law is the
basis for the implementation of the ushul fiqh discipline. As for some sources
of Islamic law that are absolutely used as a foundation starting from the most
important, namely, first is Al-Qur'an, al-Sunah, ijma ', and qiyas. Some
sources of Islamic law are important because they are human guidelines and
answer all the problems they face.
Keyword: Al-Qur’an, Hadits, Sunnah, Ijma’, Qiyas
A. Pendahuluan
Dalam pandangan
sejarah, hukum Islam mengalami proses perkembangan dan perubahan pada aspek
sosio-kultural, hal tersebut berkembang secara
dinamis dan mempengaruhi pemikiran manusia. Oleh karena itu Islam dituntut
untuk mampu menghadapi segala permasalahan yang dihadapi umat manusia. Agama Islam
memiliki sumber hukum yang disepakati oleh para ulama’, meliputi : Al-Qur’an,
sunah, ijma’ dan qiya. Sumber hukum tersebut dapat membantu menyelesaikan
permaslahan hidup umat manusia baik sekarang maupun yang akan datang. Sebagaimana
diketahui, para ulama sepakat bahwa al-Qur'an dan sunnah merupakan sumber hukum
yang fundamental. Al-Qur'an diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, dan syariatnya
adalah yang terakhir,sedangkan sunah merupakan penjelas terhadap hukum dalam al-quran,
walaupun terkadang juga menentukan hukum baru sesuai dengan perkembangan jaman[1],
sedangkan ijma’merupakan kesepakatan para ulama’mengenai penetapan suatu hukum
dan qiyas diartikan sebagai suatu langkah menghubungkan antara satu perkara
yang hukumnya tidak terdapat didalam nas al-qur’an kepada perkara lain yang
hukumnya telah ditetapkan didalam nas al-qur’an. Hal tersebut terjadi karena
ada kesamaan dalam ‘illat hukum.Tujuanmenginterpretasikan hukum ialah demi
menjawab tantangan kehidupan di masa sekarang maupun yang akan datang sesuai
dengan syari’at Islam.[2]
B. Al-Qur’an
Al- Qur’an berarti “membaca” dalam segi bahasa. ‘Abd
al- Wahhab khallaf menyebutkan “bahwa Al-qur’an ialah kalam Allah yang
diturunkan melalui perantara malaikat Jibril ke dalam hati sanubari nabi
Muhammad saw dengan lafal yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar
untuk menjadi hujjah bagi rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi
undang undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi media
mendekatkan diri (qurbah) dan ibadah ketika membacanya.”[3]Al-Quran
dibukukan dengan bentuk mushafdengan dimulai bacaan al-Fatihah dan ditutup
dengan surat al-Nas dan diriwayatkan[4].
Kekuatan Al-Qur’an sebagai hujjah dalam pengambilan hukum Islam sangat
tidak diragukan kebenarannya, hal itu karena al-qur’an diturunkan langsung dari
Allah Swt. kepada manusia dengan cara yang pasti dan kebenarannya tidak dapat
diragukan lagi. Hukum yang terkandung didalam al-qur’an berupa undang –undang
yang wajib di taati. Tujuan hal tersebut ialah agar tata kehidupan manusia
dapat berjalan baik sesuai syari’at Islam.[5]
Adapun dalil yang
menunjukan urutan dalam menggunakan empat dalil
di atas antara lain Qs. An-Nisa: 59
di atas antara lain Qs. An-Nisa: 59
“Artinya : hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah rasul (Nya),dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu,maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur’an)dan rasul (sunnah) Nya, jika kamu benar benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)dan lebih baik
akibatnya. (QS. An-Nisa:59).”[6]
Bentuk-bentuk kemukjizatan Al-Qur’an antara lain:
1. Kesatuan dalam kalimat, makna,hukum,dan teori yang terkandung didalamnya
2. Keselarasan ayat dengan teori yang mampu diungkap oleh ilmu pengetahuan
3. Pemberitaan tentang berbagai hal yang tidak diketahui
oleh manusia dan hanya Allah swt. yang maha mengetahui yang ghaib
4. Kebalaghahan ungkapan, kefasihan lafal serta kekuatan
pengaruh al-qur’an kepada kehidupan manusia.[7]
Terdapat 3 pembagian hukum dalam Al-Qur’an, yaitu:
1. Hukum akidah, yakni berupa hukum yang berorientasi
pada aspek keyakinan diri seorang mukallaf, baik berupa Allah, Malaikat, Rasul,
dan hari akhir.
2. Hukum akhlak, yakni hukum yang berorientasi pada aspek
kewajiban seorang mukallaf. Akhlak tersebut baik berupa akhlak terhadap Allah
swt dan antar sesama makhluk ciptaan Allah, serta mengetahui segala perintah
dan larangan Allah swt.
3. Hukum perbuatan, yakni hukum yang berorientasi pada
aspek ucapan, tindakan, akad yang bertalian anata sesama makhuk Allah, serta
berbagai bentuk pengelolaan yang timbul dari perbuatan mukallaf. Hukum ini juga
disebut sebagai fikih al-Quran.[8]
Berdasarkan dalih hukum syara’ al-Qur’an merupakan kehendak dari Allah swt. yang berisi pedoman
atas dasar tentang tingkah lakumanusia mukalaf, maka dapat diipahami
bahwa pencipta hukum di dunia ini (law giver) adalah AllahSwt. Oleh
karena itu, ditetapkan bahwa Al-qur’an sebagai sumber utama bagi hukumIslam, beserta
sebagai dalil utama bidang keilmuan fiqh. Karena pada hakikatya Al-Quran bertugas
membimbing danmemberikan petunjuk dalam berbagai persoalan hidup manusia serta
sebagai landasan pencetusan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagianayat-ayat-Nya.[9]
C. As-Sunnah
Pendapat
Imam Mazhab Empat tentang Kriteria Kehujjahan Hadis.
1.
Imam Abu Hanifah
Imam Abu
Hanifah menjadikan hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua seusai
al-Qur`an. Dalam kitab tarikhnya al-Baghdadi, “Abu Hanifah berkata: Saya
terlebih dahulu mengambil pada kitab Allah, tetapi kalau saya tidak menemukan
di dalamnya, maka saya mengambil pada sunnah Rasulullah saw.”“Al-Sya’rani dalam
kitabnya, al-Mizan al-Kubra menulis, bahwa Abu Hanifah berkata: Demi Allah,
telah berdusta dan telah mengada-ada terhadap saya, orang yang mengatakan,
sesungguhnya saya mendahulukan qiyas atas nash”. Kalangan ini memperdebatkan
tentang diperlukan qiyas sesudah ada nash. Jumhur ulama pun menegaskan bahwa
Imam Abu Hanifah ber-hujjah dengan hadis mutawatir. Sebagian ulama Hanafiyah
menyamakan hadis mutawatir dengan hadis masyhur. Mereka bersepakat dalam
menegaskan bahwa hadis masyhur tidak
menyangkut soal yang bersifat keyakinan, melainkan yang bersifat zhanni (di
luar keyakinan atau akidah). Jadi dapat diartikan bahwa hadis masyhur dapat dijadikan
hujjah ataupun diamalkan. Namun tingkat hadis masyhur ini dibawah dari tingkat
hadis mutawatir. Di dalam pandangan beberpa ulama pengikut Imam Abu Hanifah
menyatakan terdapat perbedaan dalam
mendudukkan hadis sebagai hujjah. Beberapa pendapat ada yang menyamakan
kedudukan hadis mashur dan hadis mutawatir , disisi lain juga ada beberapa
ulma’ yang menyatakan bahwa kedudukan hadis mutawatir lebih tinggi dari pada
hadis masyhur. Oleh karena itu terdapat dualism persepsi diantara keduanya,
namun pada hakikatnya, kedua pendapat tersebut menyetujui bahwa hadis mutawatir sebagai hadis yang dapat
dijadikan hujjah dalam menetap-kan hukum dan bersifat kuat. [10]
Abu Hanifah
menerima hadis ahad dengan menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Periwayatnya tidak menyalahi
riwayatnya
b.
Riwayatnya tidak menyangkut soal
yang umum
c.
Riwayatnya tidak menyalahi qiyas.
Hadis ahad dapat didahulukan penggunaannya dari pada Qiyas, dengan
syarat :
a.
Qiyas yang ‘illat-nya mustanbath
dari sesuatu yang zhanni
b.
Istinbath zhanni walau dari asal
yang qath’i
c.
Di-istinbath-kan dari yang qath
“Pada dasarnya Imam Abu Hanifah menetapkan al-Qur`an sebagaipokok
sumber hukum utama dalam Islam serta menerima sunnah jika datang dari orang
yang terpercaya. Menerima hadis ahad sesudah al-Qur`an, dengan syarat jika hadis ahad tidak bertentangan dengan
kaedah yang telah di-ijma’-i oleh ulama dan tidak termasuk soal yang umum dan
tidak menyalahi qiyas. Abu Hanifah menerima juga hadis mursal sebagai hujjah
jika tidak bertentangan dengan al-Qur`an, serta menggunakan hadis mutawatir
sebagai hujjah.ke-hujjah-an hadis masyhur, yang apabila terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama Hanafiyah.”[11]
Jadi dapat disimpulakan bahwa “Imam Abu Hanifah menjadikan alsunnah
sebagai hujjah dalam penetapan hukum-hukum syari’ah, dengan syarat, al-sunnah
itu diriwayatkan oleh orang orang kepercayaan. Sedangkan khusus hadis ahad ia
persyaratkan, harus tidak bertentangan dengan kaedah yang telah disepakati oleh
ulama dan matan-nya tidak menyangkut soal-soal yang umum serta tidak
bertentangan dengan qiyas. Bahkan hadis mursal pun diterimanya jika tidak
bertentangan dengan al-Qur`an”.
2.
Imam Malik bin Anas
Imam Malik adalah imam yang terkenal dengan kitab al-Muwaththa`nya.
Kitab ini bergerak pada bidang fikih dan hadis. Al-Qadhi ‘Iyadh dari Imam Malik
menyebutkan dalam kitab al-Madari, bahwa
terdapat 4pedoman dasar dalam menetapkan hukum Islamyakni:, yaitu al-Kitab,
al-sunnah, ‘amal ahli Madinah dan qiyas.
Menurut Imam Malik, kedudukan al-sunnah terhadap al-Qur`an terbagi dalam
tiga hal, yaitu:
a.
Mentaqrir-kan hukum hukum dalam
al-Qur`an
b.
Menerangkan apa yang dfikehendaki
al-Qur`an
c.
Mendatangkan hukum baru yang tidak
disebutkan dalam al-Qur`an.
Menurut pendapat Imam Malik, berkenaan dengan pengambilan hukum
Islam, mazhab ini menempatkan al-sunnah sebagai dasar pengambilan hukum yang
kedua setelah al-Qur`an. Imam Malik berpandangan bahwa sunah sebagai sumber
keberadaan timbulnya hukum-hukum baru di luar ketentuan al-qur’an.
“ Imam Malik menegaskan menerima hadis mursal, hadis munqathi’ dan
hadis- (dalam kitab al-Muwaththa`) dita’bir-kan dengan ‘ibarat balaghani
(sampai kepadaku), walaupun ia tidak terangkan sebab-sebab ia menerima
hadis-hadis tersebut, mengingat pada masa itu, belum dipersoalkan ulama tentang
kedudukan hadis mursal; dan ia sendiri tidak menerima hadis melainkan dari
orang yang dipercayainya. Imam Malik menegaskan pula bahwa dirinya berpegang
kepada ‘amal penduduk Madinah dan menggunakan qiyas dalam membina dan
menetapkan masalah hukum yang dihadapinya”.
Ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkannya hadis ahad jika dirasa bertentangan
dengan amalan-amalan atau ‘urf ulama-ulama Madinah, karena menurutnya amalan-amalan
ulama Madinah sama dengan riwayatnya. jadi dapat dipahami bahwa, Imam Malik
membina hukum-hukum Islam berdasarkan sumber utama al-Qur`an, yang selanjutnya
sunnah sebagai sumber penetapan yang kedua. “Dalam hal hadis diriwayatkan, Imam
Malik menerima hadis masyhur, hadis mursal dan hadis mutawatir serta hadis
ahad. Namun khusus hadis ahad, Imam Malik memberi syarat, yaitu tidak
bertentangan dengan amalan-amalan ulama Madinah”.[12]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Imam Malik bin Anas memegangi
hadis sebagai hujjah, bukan hanya pada hadis mutawatir, melainkan juga pada
hadis masyhur, hadis mursal dan hadis ahad tetapi dengan syarat, tidak
bertentangan dengan Amalam Ulama Madinah.
3.
Imam Syafi’i
Dalam penetapan dalil-dalil hukum Islam, Imam Syafi’i membagi lima
tingkatan hukum yang berupa prosedural ilmiah. Adapun urutannya sebagai
beriukut:
a.
Al-Kitab dan al-Sunnah.
Ditempatkannya al-sunnah sejajar dengan alKitab karena al-sunnah merupakan
penjelas bagi al-Kitab, walau hadis ahad tidak senilai dengan al Kitab
b.
Ijma’ ditempuh dalam berbagai
masalah yang tidak diperoleh dalilnya dari al-Kitab dan alsunnah. Ijma’ dalam
hal ini, ialah ijma’-nya para fuqaha yang memiliki ilmu khusus.
c.
Qawl (pendapat) sebagian sahabat
yang diketahui, tidak ada qawl lain yang menyelisihinya.
d.
Qawl-Qawl sahabat yang bertentangan
dengan qawl-qawl sahabat juga; dalam hal ini, mengambil qawl yang paling kuat.
e.
Qiyas, yaitu menetapkan hukum suatu masalah
dengan menyamakan (mengkias) hukum yang sudah dietapkan oleh dalil di atas.
Dalam pembagian prosedural ilmiah tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa Imam Syafi’I, menemaptkan al-Qur`an dan hadis sebagai tempat
bersandarnya ijma’, qawl sahabat dan qiyas. sumber yang digunakan Imam Syafi’I
dalam membina dan menetapkan hukum hanya kepada al-Qur`an dan hadis. Di dalam kitab al-Risalah,
Imam Syafi’i mengajukan sejumlah dalil yang membuktikan ke-hujjah-an al-sunnah.
Imam Syafi’i menerima kehadiran Hadis ahad sebagai salah satu
sumber hukum namun harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a.
Periwayatnya adalah orang yang
dipercaya
b.
Periwayatnya berakal atau memahami
apa yang diriwayatkan
c.
Periwayatnya dhabith
d.
Periwayatnya benar-benar mendengar
hadis itu dari orang yang meriwayatkannya
e.
Periwayatnya tidak menyalahi ahli
ilmu yang juga meriwayatkan hadis yang sama.
Secara mutlak tidak menerima dan menolak hadis mursa. “Hadis mursal
dapat diterima Imam Syafi’i dengan dua syarat berikut: pertama, hadis mursal
itu disampaikan oleh tabi’in yang banyak berjumpa dengan sahabat; kedua, ada
petunjuk yang menguatkan sanad hadis ahad itu. Walaupun hadis mursal diterima
Imam Syafi’i sebagai hujjah, namun menurutnya tidaklah sederajat dengan hadsi
ahad; dan demikian juga hadis ahad, dapat diterima, tetapi tidak sejajar dengan
al-Qur`an dan hadis mutawatir”.
Menurut Imam Syafi’i kedudukan hadis terhadap al-Qur`an, adalah
sebagai berikut:
a.
Menerangkan ke-mujmal-an alQur`an,
seperti menerangkan kemujmal-an ayat shalat
b.
Menerangakan ‘am al-Qur`an, yaitu
‘am yang dikehendaki khash
c.
Menerangkan fardu-fardu dari
fardu-fardu yang telah ditetapkan alQur`an
d.
Menerangkan mana yang nasikh dan
mana yang mansukh dari ayat-ayat al-Qur`an.
Kesimpulannya adalah dalam menetapkan hukum, Imam Syafi’I menempatakan
sunnah sejajar dengan al-Qur`an. Menurutnya, kedua dalil itu sama-sama berasal
dari Allah dan keduanya merupakan sumber ajaran Islam. Imam Syafi’i memakai
ijma’, qawl sahabat dan qiyas dengan merujuk pada kedua sumber ajaran Islam
tersebut. Selanjutnya, Imam Syafi’i menerima hadis ahad sebagai hujjah dengan
syarat, harus dari periwayat yang dapat dipercaya dan memenuhi kriteria tam
al-dhabit. Imam Syafi’i menerima juga hadis mursal dengan syarat, periwayatnya
banyak berjumpa dengan sahabat dan sanad-nya dapat dipercaya. Menurutnya,
posisi hadis mutawatir lebih tinggi dari pada hadis ahad dan hadis mursal. [13]
Jadi “Imam Idris al-Syafi’i mendudukkan hadis ahad sebagai hujjah,
jika hadis ahad itu diriwayatkan oleh periwayat yang memenuhi kriteria dhabith.
Demikian juga halnya hadis mursal, ialah jika periwayatnya banyak berjumpa
dengan sahabat dan sanadnya pun dapat dipercaya. Menurut Imam Syafi’i, posisi
hadis mutawatir lebih tinggi dari pada hadis ahad dan hadis mursal”.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa Sumber kedua hukum Islam
ialah al-sunnah. Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan, untuk mencari apa yang ada
dalam al-Qur`an harus melalui sumber pemahaman al-sunnah, maka ia akan menempuh
jalan kesesatan. Hal ini dikarenakan beberapa alasan :
a.
Al-Qur`an mengharuskan kita
mengi-kuti Rasul (sunnahnya)
b.
Ada hadis-hadis yang mengharuskan
kita mengikuti Rasul dan melarang kita menghadapi al-Qur`an saja dan
membelakangi al-sunnah
c.
Hukum yang di-ijma-i oleh
paramuslimin banyak yang diambil dari al-sunnah, karena itu menghilangkan
al-sunnah, berarti menghilangkan 9/10 hukum Islam.
“Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis ahad hanya dapat digunakan
dalam bidang ‘amali (pengamalan) dan tidak boleh digunakant dalam bidang
i’tiqadi (akidah). Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan hadis ahad
dalam kedua bidang tersebut, baik itu ‘amali maupun i’tiqadi. Imam Ahmad bin
Hanbal menerima hadis mursal jika berasal dari seorang sahabi atau seorang
tabi’in atau tabi’- tabi’in. Hadis yang datang dari dari luar kelompok
tersebut, tidak diterimanya. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah seorang pembina
hukum Islam dan banyak yang mengikutinya. Ia menerima hadis dha’if bila keadaan
darurat. Imam Ahmad bin Hanbal memegangi hadis yang berkualitas dha’if, dengan
syarat, periwayatnya bukan orang yang sengaja berdusta dan tidak menemukan
penjelasan masalahnya dalam hadis, baik dalam hadis shahih maupun dalam hadis
hasan. Kererangan di atas menggambarkan dengan jelas, Imam Ahmad bin Hanbal
mengakui ke-hujjah-an al-sunnah dengan tegas dan jelas, dengan menggolongkan
orang-orang yang menolak al-sunnah sebagai orang-orang sesat. Imam Ahmad bin
Hanbal ber-hujjah dengan hadis mutawatir, hadis ahad, hadis mursal dan hadis
dha’if. Bahkan ia mendahulukan hadis dha’if dari pada qiyas. Berdasarkan
penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan tersebut, dapat dikatakan, bahwa
para Imam Mazhab Empat dalam kegiatan menetapkan hukum terhadap seluruh masalah
yang dihadapi pada masa hidupnya sebagai ulama mujtahid, menggunakan hadis
sebagai sumber yang kedua. Namun demikian, di antara mereka menekankan
persyaratan-persyaratan bagi sebuah hadis yang dapat diterimanya sebagai
hujjah.”
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal
ber-hujjah dengan umumnya hadis, baik hadis mutawatir, hadis ahad, hadis mursal
maupun hadis dha’if. Ia pun mendahulukan hadis dfha’if dari pada qiyas.[14]
D. Ijma’
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang utama. Namun
setelah kedua sumber utama tersebut masih ada lagi sumber hukum Islam yang
telah disepakati ulama dan fuqaha. Sumber hukum yang dimaksud adalah Ijma,
kesepekatan yang diambil oleh para ulama dan fuqaha pada masa setelah wafatnya
Rosulullah. Hal yang disepakati untuk dibuat sebuah hukum adalah dari berbagai
persoalan Dinul Islam yang hukumnya masih menjadi perdebatan. Ijma’ bisa
disebut sebagai pandangan sahabat Nabi Muhammad. Dalam haditsnya Rosulullah
pernah bersabda:
“Ummatku tak akan pernah bersepakat dalam hal yang menuju
kesesatan”.
Bahkan Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an untuk meminta
bantuan kepada orang lain tentang persoalan agama yaitu terdapat pada Q.S
Ali-Imran ayat 159 dan Q.S Asy-Syura ayat 38 sebagai berikut:
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
(Q.S Ali-Imran : 159)
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا
الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. (Q.S Asy-Syura
: 38).
Pelaksanaan Ijma pernah terjadi pada masa sahabat
Nabi yang mana dapat dijadikan sebagai contoh kesepakatan dari para sahabat
dalam hukum Islam. Ketika itu para sahabat mempersoalkan hukum bagi orang yang
mabuk (meminum minuman keras). Didalam Al-Qur’an Allah tidak menjelaskan
hukuman yang pasti terhadap orang-orang tersebut. Sahabat Ali bin Abi Thalib
berkata: “Orang yang minum (minuman keras) niscaya akan mabuk (teler); orang
yng teler niscaya akan ngaco (menceracau); orang yang meracau niscaya akan
menuduh orang sembarangan (dengan tuduhan palsu); dan orang yang memfitnah
harus dicambuk delapan puluh kali dengan cemeti berdasarkan perintah Allah di
dalam Al-Qur’an sebagaimana Fiman-Nya”.
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang
yang fasik”. (Q.S An-Nur : 4)
Allah dalam Al-Qur’an telah memerintahkan kepada
umat Islam untuk mentaati keputusan Ulul Amri dan kembali kepada Al-Qur’an dan
Sunnah jika terjadi perbedaan pendapat. Hal ini menunjukkan bahwa mengambil
keputusan melalui kesepakatan dari persoalan keagamaan yang terdapat perbedaan
pendapat adalah benar. Dan Allah memerintahkan untuk mengikuti jalan yang benar
yaitu ajaran yang dibawa Rasulullah. Dalam perintah Allah tersebut dapat
diketahui bahwa untuk ber-Ijma’ diperlukan Al-Qur-an dan Sunnah agar tidak
menjadi kesesatan dalam penetapan hukumnya. Firman Allah tersebut terdapat pada
ayat berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(QS. An-Nisa’: 59)
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ
مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali”. (QS. An-Nisa’: 115).[15]
Ijma’ merupakan suatu kesepakatan bulat dari para
ulama. Pendapat Syi’ah mengatakan bahwa Ijma’ adalah Hujjah, karena jika semua
umat Islam memilki pandangan yang sama maka pandangan tersebut berasal dari
Nabi Muhammad. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda karena itu
bersumber dari pikiran mereka sendiri. Maka dari itu, dalam menentukan Ijma’
perdebatan yang terjadi sampai pada akhirnya menjadi sebuah kesepakatan
bersumber dari Sunnah Nabi atau seorang Imam.[16]
Menurut syara’ Ijma’ merupakan kesepakatan dari
orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam menentukan suatu hukum Islam (mujtahid)
sesudah meninggalnya Rasulullah dalam suatu urusan yang belum jelas
ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, bisa dikatakan hukumnya masih
diragukan. Seperti contoh pembagian harta warisan untuk cucu. Didalam Surah
An-Nisa ayat 11:
….يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ
أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ
Artinya:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan….”
Dapat diketahui bahwa yang disebutkan dalam ayat
tersebut hanyalah anak saja, tidak menyebutkan bagian untuk cucu. Maka fungsi
Ijma’ disini adalah untuk menentukan hukum pembagian warisan untuk cucu.
Menurut Ijma’ ulama’ “cucu sama dengan anak, jika anak tidak ada, cucu mendapat
pembagian harta warisan”. [17]
Secara umum, Ijma’ adalah bersungguh-sungguh dalam
mencurahkan pemikiran terhadap suatu masalah agama yang sulit bertitik tolak
kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ijma’ terbagi menjadi 2, yaitu Ijma’ Qauly yang
merupakan suatu kebulatan persetujuan keputusan para mujtahidin tanpa ada
bantahan diantara mereka dan dapat dijadikan sebuah landasan. Ijma’ Qauly oleh
para ulama dijadikan pegangan yang diakui secara keseluruhan. Kemudian Ijma’
Sukuti adalah ketetapan seorang mujtahid terhadap suatu persoalan yang
menjadikan sebuah hukum Islam, keputusan tersebut diakui keberadaannya oleh
mujtahid namun tidak ada persetujuan maupun bantahan untuk keputusan tersebut.
Ijma’ Sukuty masih menjadi perselisihan tentang syarat-syaratnya dan kedudukannya
untuk menjadi sumber hukum Islam.
Pada masa khulafaur rasyidin tepatnya masa Umar
bin Khattab r.a Ijma’ mudah sekali untuk dilaksanakan. Dikarenakan khalifah
Umar melarang para sahabat untuk meninggalkan Kota Madinah sehingga
permusyawarahan tentang urusan politik dan keilmuan menjadi mudah dilakukan
waktu itu. Namun, ketika akhir pemerintahan Usman bin ‘Affan, sahabat-sahabat
banyak yang berpergian dari kota Madinah sehingga tersebar di berbagai negari
Islam seperti Yaman, Iraq, Hijaz, Mesir Syam, dan lain-lain. Sahabat- sahabat
ini mampu menghasilkan ulama dan fuqaha yang baru.
Berakhirnya masa pemerintahan khulafaur rasyidin
menjadi tanda untuk berakhirnya pula masa Ijma’. Hal ini dikarenakan para ulama
dan fuqaha tidak mungkin lagi mengadakan sebuah permusyawarahan kembali untuk
merumuskan hukum Islam yang baru. Sebab, menurut Syiah mereka terpaut jarak
yang begitu jauh antar kota satu dengan yang lainnya dan kesepakatan ulama
untuk satu negeri saja tidak dapat dijadikan sebuah Ijma’. Maka dari itu semua
keputusan dan ketetapan Ijma’ berasal dari masa khulafaur rasyidin.
Ijma’ sudah tidak mungkin terjadi lagi karena
sudah lewat masa khulafaur rasyidin. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin
Hambal: “Apa yang dikatakan orang pada sesuatu perkara ada keputusan
Ijma’nya, maka adalah bohong. Siapa yang menda’wakan terjadi iIjma’ maka ia
adalah dusta. Boleh jadi orang banyak yang berselisih pendapat, tetapi ia tidak
mengetahuinya atau belum sampai kepadanya. Hendaklah ia mengatakan ‘Kami tidak
tahu bahwa orang banyak berselisih pendapat’ ”. [18]
Imam Syafi’I, Hambali, Maliki, dan Hanafi
berpendapat bahwa bisa saja terjadi sebuah Ijma’ jika hukum tersebut tidak
terdapat didalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dan kesepakatan ulama dimana posisi
ulama berjauhan mungkin saja terjadi yaitu melalui surat tertulis untuk saling
memberi kabar, juga bisa dengan mengajarkan kepada murid-muridnya sehingga
kepada generasi selanjutnya.[19]
E.
Qiyas
Menurut Imam Abu Hanifah Qiyas merupakan sumber
hukum Islam yang memiliki prinsip suatu hukum yang dikaji menjadi masuk akal
atau logis dengan tujuan keselamatan umat Islam. Dalam pelaksanaannya, Qiyas
harus bersandar pada ketiga sumber hukum Islam sebelumnya yaitu Al-Qur’an,
Sunnah, dan Ijma’. [20]
Dalam istilah agama, Qiyas memiliki arti
pengambilan keputusan suatu hukum yang serupa terhadap persoalan yang
sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah yang disebabkan oleh illat yang
sama. Qiyas menduduki posisi keempat dalam sumber hukum Islam. Dalam
pemakaiannya Qiyas lebih luas daripada Ijma’ karena tidak ada lagi hukum atau
ketentuan-ketentuan baru yang didasarkan pada Ijma’, ulama-ulama sudah tidak
lagi menggunakan system musyawarah ilmiah bersama seperti yang dilakukan dahulu
ketika masanya khulafaur rasyidin. Alasan sudah tidak lagi menggunakan system
tersebut adalah masa khulafaur rasyidin itu telah berakhir dan sudah tidak
mungkin lagi untuk melakukan Ijma’.
Qiyas tidak disyaratkan dengan kebulatan para
ulama, karena setiap orang memiliki pandangan masing-masing terhadap persoalan
yang tidak ada ketentuannya dala Al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’. Didalam
Al-Qur’an dan Sunnah tidak menjelaskan ketentuan dan ketetapan hukum terhadap
persoalan yang baru yang terus bermunculan karena jumlahnya yang terbatas.
Meskipun Ijma’ dapat mengatasi hal tersebut tetapi masanya sudah berakhir dan
peristiwa-peristiwa baru masih terus bermunculan. Maka untuk mengatasinya
adalah melalui ijtihad dengan berpikir yang bentuknya adalah Qiyas, karena
Qiyas sudah menjadi alat yang subur dalam menetapkan hukum-hukum peristiwa
bercabang.[21]
Terdapat dua kubu dalam penentuan adanya Qiyas
yaitu kubu penerima dan kubu penolak. Kubu penolak berpendapat bahwa Qiyas
tidak dapat dijadikan sebuah sumber hukum Islam dan yang benar adalah tetap
bepegang teguh kepada Al-Qur’an. Seperti pada firman Allah dalam Q.S Al-Hasyr
ayat 2 berikut:
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ
أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ مِن دِيَٰرِهِمْ لِأَوَّلِ ٱلْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنتُمْ أَن
يَخْرُجُوا۟ ۖ وَظَنُّوٓا۟ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمْ حُصُونُهُم مِّنَ ٱللَّهِ
فَأَتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا۟ ۖ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِهِمُ
ٱلرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِى ٱلْمُؤْمِنِينَ
فَٱعْتَبِرُوا۟ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ
Artinya:
“Dialah
yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka
akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan
ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan”. (Q.S Al-Hasyr : 2).
Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk
melakukan i’tibar yang memiliki arti nimbus melampaui dari satu
entensitas ke entensitas lainnya. Sama halnya dengan Qiyas yang menembus atau
melampaui dari al-asl ke al-far’u. Namun pendapat ini dikritik
oleh kubu penolak yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan i’tibar adalah
mengambil pelajaran bukan mengqiyaskannya dan dalam kata i’tibar tidak
menganddung makna qiyas syar’i. Kritik ini dijawab kembali oleh kubu
penerima, mereka berpendapat bahwa i’tibar secara mutlak memiliki
sejumlah makna yang diantaranya adlaah qiyas atau mempersamakan.[22]
Terdapat empat rukun yang harus dipenuhi agar
bisa dijadikan sebuah hukum Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Al-Asl,
masalah pokok yang ketentuan hukumnya sudah ada dalam nash dan senagai titik
tolak diman suatu masalah itu dapat disamakan. Nama lainnya adalah maqis
alaih, mahmul alaih, musyabbah bih.
2. Al-Far’u,
masalah yang ketentuan hukumnya tidak dijelaskan dalam nash atau masalah yang
akan diqiyaskan dengan Al-Asl. Nama lainnya adalah maqis, mahul,
musyabbah.
3. Hukm Al-Asl,
ketentuan status hukum yang ditetapkan nash terhadap Al-Far’u bila sudah
ada ketetapan hukumnya pada Al-Asl, disebut juga buahnya.
4. Illah, suatu
sifat yang menjadi landasan keberadaan hukum Al-Asl, persamaan sebab
yang dapat dikompromikan antara Al-Asl dengan Al-Far’u. Nama
lainnya adalah manat al-hukm.[23]
Contoh :
Al-Asl
|
Al-Far’u
|
Hukm
Al-Asl
|
Illah
|
Khamr
|
Wisyky
|
Memabukkan
|
Haram
|
Gandum
|
Padi
|
Mengenyangi
|
Halal
|
Ada
beberapa syarat-syarat untuk melakukan Qiyas diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Hukm Al-Aslnya
tidak berubah-ubah dan masih berlaku, sudah ada ketentuannya dalam Al-Qur’an
dan Sunnah, dapat diperlakukan pada Qiyas.
2. Hukum Al-Far’u tidak boleh mendahului Hukm
Al-Asl karena untuk menetapkan hukum harus berdasarkan Illahnya, Illah
dan hukum yang ada pada Al-Far’u dan Al-Asl hendaknya sama.
3. Harus ada Illahnya, tidak boleh keluar
dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Macam-macam
Qiyas
1. Qiyas Aula, yaitu illah yang ada pada al-far’u
lebih besar daripada illah yang ada pada al-asl. Maka hukum
persoalan yang akan diqiyaskan menjadi lebih besar dibandingkan dengan
ketetapan pada al-asl. Contohnya adalah pada potongan Q.S Al-Isra’ ayat
23 berikut:
….فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ
Artinya:
“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan "ah"…. “.
Untuk mengqiyaskan illah memukul yang lebih besar
daripada al-aslnya pada ayat tersebut yaitu “ah” maka hukumnya
sama-sama berdosa bahkan bisa jadi dosanya lebih besar.
2. Qiyas Muaway, yaitu illah
yang ada pada al-far’u sama dengan illah yang ada pada al-asl.
Maka hukum persoalan yang akan diqiyaskan menjadi sama. Contohnya adalah
mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya, karena illahnya
sama-sama menghabiskan (melenyapkan).
إِنَّ
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلْيَتَٰمَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى
بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (Q.S An-Nisa’ : 10).
3. Qiyas Dalalah, yaitu illah
yang ada pada al-far’u dapat dijadikan dalil (alasan) bagi hukum
tetapi tidak wajib dilaksakan bagi Al-Far’u. Contohnya adalah
mengqiyaskan harta anak yang sudah mencapai nisab kepada harta orang tua untuk
dizakatkan, tetapi dalam pelaksanaannya tidak wajib melakukan zakat bagi anak
tersebut.
4. Qiyas Syabah, yaitu illah yang ada pada al-far’u
dapat memiliki dua al-asl yang lebih banyak persamaan keduanya.
Contohnya adalah mengqiyaskan seorang budak, al-aslnya menjadikannya
orang merdeka karena sama sama manusia dan al-asl berikutnya adalah
menyamakannya dengan harta benda karena budak sendiri dapat diperjual belikan,
diwariskan.
5. Qiyas Adwan, yaitu al-far’u terhimpun
pada hukum yang ada pada al-asl. Contohnya adalah mengqiyaskan seorang
laki-laki yang memakai perak kepada memakai emas, sebagian ulama berpendapat
bahwa hukumnya adalah haram.
الاَصْلُ فِى الْفِضَّةِ
التَّحْرِىْمُ الاَّ مَا وَرَدَتِ الدَّلِىْلُ عَلَى خِلَافِهِ (القائدة)
Artinya:
“Yang asal pada perak haram, selama tidak
ada dalil yang menyalahinya (membolehkannya)”. (kaidah).[24]
F. Kesimpulan
Al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan melalui
perantara malaikat Jibril ke dalam hati sanubari nabi Muhammad saw dengan lafal
yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar untuk menjadi hujjah bagi
rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang undang bagi manusia
yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi media mendekatkan diri (qurbah) dan
ibadah ketika membacanya.
Sunnah merupakan hujjah dalam penetapan hukum-hukum syari’ah,
dengan syarat, al-sunnah itu diriwayatkan oleh orang orang kepercayaan. bukan
hanya pada hadis mutawatir, melainkan juga pada hadis masyhur, hadis mursal dan
hadis ahad tetapi dengan syarat, tidak bertentangan dengan Amalam Ulama
Madinah. Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis ahad hanya dapat digunakan dalam
bidang ‘amali (pengamalan) dan tidak boleh digunakant dalam bidang i’tiqadi
(akidah).
Ijma’ menurut syara’ merupakan kesepakatan dari
orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam menentukan suatu hukum Islam
(mujtahid) sesudah meninggalnya Rasulullah dalam suatu urusan yang belum jelas
ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, bisa dikatakan hukumnya masih
diragukan.
Qiyas memiliki arti pengambilan keputusan suatu hukum yang serupa
terhadap persoalan yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah yang
disebabkan oleh illat yang sama. Qiyas menduduki posisi keempat dalam sumber
hukum Islam. Qiyas harus bersandar
kepada ketiga sumber hukum Islam sebelumnya yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
Daftar Pustaka
Arifana Nur Kholiq. Relevansi Qiyas Dalam Istinbath Hukum Kontemporer,Isti’dal:
Jurnal Hukum Islam, Vol.1,No.2, Juli-Desember2014, ISSN;2356-0150.
Nasruddin Yusuf. 2012.Pengantar Ilmu Ushul Fiki. Malang, Universitas Islam (UM PRESS).
Ahmad Yasin. ILMU
USUL FIQH (Dasar – Dasar Istinbat Hukum Islam),Buku Perkuliahan Program S-1 Prodi Siyasah Jinayah Jurusan Hukum
Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.
Abdul Wahhab Khallaf. 2003. Ilmu Ushul Fikih (Kaidah Hukum
Islam).Jakarta,Pustaka Amani.
Nasri Hamang. 2001. Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,
Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1.
Abdur Rahman. 1993. Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Murtadha Muthahhari M. BaqirAsh-Shadr. 1993.Pengantar Ushul
Fiqih &Ushul Fiqih Perbandingan, Jakarta:
Pustaka Hidayah.
Nazar Bakry. 1993.Fiqih dan Ushul
Fiqih. Jakarta Utara, PT.
Rajagrafindo Persada.
Ahmad Hanafia.Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam.
lis sulistiani Siska.Perbandingan
Sumber Hukum Islam Tahkim.Jurnal Peradaban
dan Hukum Islam. Vol.1 No.1 (Maret, 2018), Hal 102-116 102 EISSN : 2598-1129
ISSN : 2597-7962.
Efendi
Satria. 2005.Ushul Fiqh.jakarta.prenada media
Catatan:
1. Similarity 18%.
2. Pendahuluan dibuat paling tidak tiga paragraf supaya bagus.
Saya lihat juga pendahuluan tidak representatif.
3. Dalam mengutip jurnal, yang dimiringkan adalah nama jurnalnya,
sedangkan judul artikelnya diberikan tanda petik dan tidak dimiringkan. Berbeda
dengan judul buku yang dimiringkan.
4. Dalam menulis footnote dan daftar pustaka, pelajari kapan
menulis dengan huruf besar (kapital) dan kapan menulis dengan huruf kecil.
5. Sebagian pembahasan dalam makalah ini tidak sistematis,
terutama bagian sunnah.
[1]
Arifana Nur Kholiq,Relevansi Qiyas Dalam Istinbath Hukum Kontemporer,Isti’dal:
Jurnal Hukum Islam, Vol.1,No.2, Juli-Desember2014, ISSN;2356-0150,hal:171
[2]
Arifana Nur Kholiq,Relevansi Qiyas Dalam Istinbath Hukum Kontemporer,Isti’dal:
Jurnal Hukum Islam, Vol.1,No.2, Juli-Desember2014, ISSN;2356-0150,hal:172
[3]
Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fiki, Malang,2012, Universitas Islam
(UM PRESS), Hal: 19
[4]
Ahmad yasin,ILMU USUL FIQH (Dasar – Dasar Istinbat
Hukum Islam),Buku Perkuliahan Program S-1
Prodi Siyasah Jinayah Jurusan Hukum Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Ampel Surabaya,
[5]
Abdul wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Kaidah Hukum Islam), Jakarta,April,2003,Pustaka
Amani, hal:19
[6] Satria
efendi, Ushul Fiqh,jakarta,2005,prenada media,hal:78
[7]
Abdul wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Kaidah Hukum Islam),
Jakarta,April,2003,Pustaka Amani, hal:24-31
[8]
Ibid,hal: 32-33
[9] Siska
lis sulistiani,Perbandingan Sumber Hukum Islam Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum
Islam. Vol.1 No.1 (Maret, 2018), Hal 102-116102
EISSN : 2598-1129 ISSN : 2597-7962,hal:109
[10]
Nasri Hamang,Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,Jurnal Hukum
Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 94
[11]M. Nasri Hamang,Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,Jurnal
Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm:94
[12]M. Nasri Hamang,Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,Jurnal
Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm:95
[13]M. Nasri Hamang,Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,Jurnal
Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm:96
[14]M. Nasri Hamang,Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,Jurnal
Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm:97
[15]
Rahman Abdur, Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Rineka
Cipta), hlm. 98-101
[16]
Ash-Shadr Murtadha Muthahhari M. Baqir, Pengatar Ushul Fiqih &Ushul
Fiqih Perbandingan, (Jakarta: Pustaka Hidayah), hlm. 146
[17]
Bakry Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakart Utara, PT. Rajagrafindo
Persada), hlm. 51
[18]
Hanafia Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (), hlm. 61-62
[19]
Bakry Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakart Utara, PT. Rajagrafindo
Persada), hlm. 52-53
[20]
Rahman Abdur, Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Rineka
Cipta), hlm. 108
[21]
Hanafia Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (), hlm. 63
[22]
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta, Amzah), hlm. 97-98
[23]
Ibid, hlm. 96
[24]
Bakry Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakart Utara, PT. Rajagrafindo Persada),
hlm. 48-50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar