Senin, 04 Maret 2019

Sumber-Sumber Hukum yang Tidak Disepakati (PAI C Semester Genap 2018/2019)



SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI
AL-QURAN, AS-SUNNAH, IJMA’ DAN QIYAS
Oleh: A.Chandra Kusuma Negara (16110025)
Noor Vidya Megantari (16110188)
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “C” 2016 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail :nvmvidya@gmail.com
Abstract
As we believe,  the religion of Islam is a religion which known as a haq religion.As time goes by, the truth has been becoming more visible both in terms of prophethood to the kalamullah of the Qur'an. In both of them, there are laws that we often use as the basis of life which are waji), sunnah, haram etc. The law comes from 4 legal sources that has been agreed upon,they are: Al-Qur'an, Sunnah, Ijma'and Qiyas. These sources have a systematic order that begins with the Al-Qur’an, if it cannot be resolved, we need to use the sunnah, if it cannot  get a decision that can be resolved yet, use ijma. If it still can't be resolved yet, use qiyas. As described before, we should take islamic law into serious consideration. Moreover, one can’t only rely on people’s judgement without a solid foundation.
Keywords: Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’, Sunnah
Abstrak
Seperti yang kita yakini bahwa agama islam adalah agama yang haq, seiring berjalannya waktu kebenarannya semakin terlihat baik dari segi kenabian hingga kalamullah Al-Qur’an. Didalam keduanya terdapat hukum-hukum yang kita jadikan landasan hidup baik wajib, sunnah, haram dll. Hukum tersebut berasal dari sumber-sumber hukum yang berjumlah 4 sumber dan telah disepakati diantaranya adalah: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sumber-sumber tersebut memiliki urutan sistematis yang diawali dengan Al-Quran jika tidak bisa deselesaikan dilanjut dengan menggunakan sunnah apabila belum bisa mendapat keputusan dapat diselesaikan menggunakan ijma’. Jika masih tidak bisa diselesaikan menggunakan qiyas. maka dengan sistematis tersebut hukum islam tidak bisa dibuat main-main. Apalagi hanya mengandalkan kesepakatan orang banyak tanpa adanya landasan dasar yang kuat.
Kata Kunci:Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’, Sunnah
A.    Pendahuluan
Dalam kehidupan beragama tentunya kita mempunyai pedoman ataupun aturan yang terkait apa saja yang boleh kita lakukan ataupun apa yang tidak boleh dilakukan. Dan tentunya pedoman itu harus merupakan sesuatu yang menjadi landasan yang kuat dan benar.
Di dalam Islam sendiri kita memiliki landasan untuk mengambil suatu keputusan, yakni sumber hukum islam. Para ulama’ kontemporer sepakat bahwa sumber hukum Islam ada 4 yakni Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.Hakikatnya sumber hukum yakni menjadi dasar untuk pengambilan sesuatu. Sedangkan dalil berarti sesuatu untuk memberi petunjuk dan mengantarkan seseorang untuk menemukan sesuatu. Maka dari itu yang dapat disebut sebagai sumber hukum Islam ada dua yakni al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya merupakan dasar ketentuan hukum Islam dan terdapat teks-teks nash yang dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan hukum Islam tersebut. Sebaliknya Ijma’ dan Qiyas merupakan dalil hukum, bukan sumber hukum karena Ijma’ dan Qiyas merupakan petunjuk atau dalil untuk menemukan hukum Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.[1]
Pada intinya dalam menentukan suatu hukum Islam harus melihat al-Quran terlebuh dahulu jika tidak adaa dilakukan dengan Sunnah. Jika tidak ada di dalam sunnah menggunakan ijma’ lalu jika tetap tidak ada menggunakan Qiyas.

B.     Al-Quran
1.      Pengertian Al-Quran
Kata al-Qur’an jika dilihat dari segi etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata kerja (fiil) qara’a yang wazan-nyaadalah fu’lan, berarti bacaan atau maqru’ yang berarti apa yang tertulis padanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75): 17-18:[2]
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُۥ وَقُرْءَانَهُۥ(17)فَإِذَا قَرَأْنَٰهُ فَٱتَّبِعْ قُرْءَانَهُۥ (18)
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkankannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.”
       Menurut ulama’ ushul fiqh yakni Asy-Syaukani menyimpulkan beberapa ciri khas al-Qur’an, yakni sebagai berikut:[3]
·         Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril. Dinamakan al-Qur’an karena firman Allah tersebut diturunkan kepada Nabi Muhammad, jika tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad maka kitab tersebut tidak bisa disebut al-Qur’an seperti kitab Taurat, Zabur dan Injil.
·         Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab Quraisy. Hal tersebut ditunjukkan dengan beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya: QS. Yusuf (12): 2; QS. An-Nahl (16): 103; QS. Ibrahim (14): 4; QS. Az-Zumar (39): 28 dan QS. As-Syu’ara (26): 192-195. Para ulama sepakat bahwa terjemah al-Qur’an maupun tafsirannyatidak disebut al-Qur’an dan ibadahnya tidak bernilai jika seseorang membacanya. Begitu pula ketika seseorang melakukan sholat hanya dengan membaca tfsir atau terjemahan al-Qur’an maka sholatnya tidak sah, meskipun ulama’ Hanafiyyah memperbolehkan sholat menggunakan bahasa Parsi, namun kebolehannya hanya bersifat rukhshah (keringanan hukum)
·         Di dalam hadits riwayat Al-Bukhari:24 dikatakan bahwa al-Qur’an diriwayatkan secara muttawatir. Maksudnya yakni dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak hingga sekarang. Orang yang menuturkan tersebut tidak berdusta/berbohong ketika menyampaikan. Sehingga ayat al-Qur’an tersebut dijamin kepastian dan keberadaannya.
·         Saat seseorang membaca setiap kata dalam al-Qur’an maka dinilai ibadah dan mendapat pahala. Meskipun bacaan tersebut berasal dari hafalan maupun langsung dari al-Qur’an tetap bernilai ibadah.
·         Al-Qur’an diawali dengan surat Al-Fatihah kemudian diakhiri dengan surat An-Nass. Susunan surat yang terdapat dalam al-Qur’an disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat jibril kepada Nabi Muhammad, yang letak susunannya tidak boleh diubah dan diganti.
2.      Kehujahan Al-Quran
Ulama’ ushul fiqh sepakat bahwa al-Qur’an merupakan hujjah bagi kaum muslim, karena al-Qur’an ialah wahyu dan kitab Allah yang diriwayatkan secara mutawatir.  Datangnya dari Allah, berpindah kepada orang dari Allah dengan jalan qathi’.[4]
Berikut merupakan beberapa pandangan ulama mengenai kehujjahan al-Qur’an, diantaranya:[5]
a.       Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum Islam. Namun Imam Abu Hanifah mempunyai perbedaan pendpat dengan jumhur ulama’ mengenai al-Qur’an yang mencakup lafadz dan maknanya.
Hal tersebut ditunjukkan dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan sholat menggunakan selain bahasa Arab. Misalnya dengan bahasa Parsi meskipun tidak dalam keadaan madarat. Padahal menurut Imam Syafi’i hal tersebut tidak diperbolehkan menggunakan bahasa selain bahasa Arab.
b.      Imam Malik
Imam Malik berpendapat bahwa al-Qur’an yakni kalam Allah diamana lafadzh dan makna nya dari Allah Swt. Al-Qur’an bukan makhluk dikarenakan kalam Allah termasuk dalam sifat Allah Swt. Sesuatu yang termasuk sifat Allah tidak dapat dikatakan makhluk, bahkan beliau memberikan predikat kafir zindiq pada orang yang mengatakan jika al-Qur’an itu makhluk.  
c.       Imam Syafi’i
Imam Syafi’i menetapkan al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang paling pokok. Beliau berpendapat bahwa “Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat daam al-Qur’an” (Asy-Syafi’i, 1309:20), maka dari itu beliau senantiasa mencantumkan nash-nash al-Qur’an setiap mengeluarkan pendapatnya. Hal tersebut sesuai dengan metode yang senantiasa digunakan oleh beliau yakni metode deduktif.
Tetapi Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dari Sunnah kerena keterkaitan keduanya sangat erat. Beliau juga berpendapat bahwa sumber hukum islam pertama tidak hanya al-qur’an, melainkan al-Qur’an dan Sunnah.
d.      Imam Ahmad Ibnu Hambal
Imam Ahmad Ibnu Hambal berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan sumber pokok hukum Islam yang kemudian disusul dengan sunnah. Beliau sependapat dengan Imam Syafi’i bahwa al-Quran tidak dapat dipisahkan dengan sunnah karena sunnah memiliki kedudukan yang kuat disamping al-Qur’an.
3.      Kedudukan Al-Quran Sebagai Sumber Hukum Islam
a.       Sudah jelas bahwa al-quran dijadikan sebagai sumber pertama hukum islam. Al-quran memberikan banyak prinsip-prinsip dasar yang membawa seorang muslim pada jalan tertentu. Untuk menemukan suatu jawaban atas usahanya sendiri.  Didalam al-quran terdapat hukum-hukum atau dasar-dasar islam secara umum yang sesuai dengan situasi, kondisi, tempat, dan zaman. Jadi al-quran dapat dikatakan sebagai tuntunan (hidayah) dan bukan kitab hukum. Sebagai tuntunan al-quran tidak melewatkan hal apapun yang berkaitan dengan hal mendasar mengenai kehidupan nyata yang harus diikuti orang muslim. Al-quran menggariskan dan menunjukkan batas dari berbagi aspek kehidupan.[6]
b.      Posisi al-quran sebagai sumber hukum pertama tidak berarti al-quran menangani setiap persoalan secara pelik dan terperinci seperti hukum keluarga hukum waris dan lain sebagainya. Meskipun pada umum nya ayat al-quran terkait dengan hukum yang bersifat pasti. Pada intinya kedudukan al-quran sebagai sumber hukum islam yang pertama, berarti al-quran menjadi sumber dari segala sumber hukum islam. Tentunya sumber hukum yang lain harus sesuai dengan petunjuk al-quran dan tidak boleh bertentangan.[7]
4.      Hukum dan Isi
Pada intinya hukum-hukum dalam al-Qur’an dibagi menjadi 3 macam yakni:[8]
Pertama, hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt mengenai ketauhidan dan larangan untuk menyekutukan-Nya. Hukum ini biasa disebut dengan hukum i’tiqadiyah. Hukum ini biasanya dikaji dalam ilmu tauhid.
Kedua yakni hukum yang mengatur tentang pergaulan manusia yaitu sifat baik yang harus dimiliki dan sifat buruk yang harus dihindari. Hukum ini biasa disebut dengan hukum khuluqiyah yang biasanya dikaji dalam ilmu akhlak.
Ketiga yakni hukum yang menyangkut perilaku manusia terhadap Allah Swt, sesama manusia dan apa yang harus ditaati & dijauhi. Hukum ini biasa disebut dengan hukum amaliyah yang biasanya dikaji dalam Ilmu Syariah.
Secara garis besar hukum amaliyah terbagi menjadi dua yakni:
·         Hukum ibadah dalam arti khusus
Yaitu hukum yang mengatur perilaku manusi secara lahiriah dalam hubugannya dengan Allah Swt. Yakni seperti sholat, zakat, puasa dan haji.
·         Hukum muamalah dalam arti umum
Yaitu hukum yang mengatur perilaku manusia dengan sesasama atau alam sekitarnya. Yakni seperti pernikahan, jual-beli dan pembunuhan.
Ditinjau dari segi pemberlakuan bagi sesama manusi, hukum muamalah dibagi menjadi 7 yakni:[9]
a.       Hukum ini mengatur tentang hubungan sesama manusi dengan kebutuhannya dan harta untuk keperluan hidup. Contohnya yakni jual-beli, sewa dan pinjam-meminjam.
b.      Hukum munakhat, Yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan nafsu syahwat secara sah. Contohnya yakni: Pernikahan, perceraian, rujuk, dll.
c.       Hukum mawaris, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan perpindahan harta dikarenakan kematian.
d.      Hukum jinayah atau pidana, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia dalam ranah kejahatan, penyaluran nafsu syahwat. Contohnya yakni pembunuhan, pencuran, perzinahan, dsb.
e.       Hukum qadha’ atau hukum acara, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia yakng kaitannya dengan penyelesaian akibat  perbuatan kejahatan yang ada di pengadilan. Contohnya yakni gugata, kesaksian, dsb.
f.       Hukum dusturiyah, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia yang kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Contohnya yakni baitul mal, khilafah dan ulil amri.
g.      Hukum dualiyah atau hukum internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar sesama  manusia dalam suatau negara dengan negara lainnya. Baik dalam keadaan damai maupun perang. Contohnya yakni pampasan perang, ekstradisi dan perjanjian.
5.      Karakteristik
Dalam buku Pengantar Studi Syariat, disebutkan beberapa karaktersitik al-Qur’an yakni sebagai berikut:[10]
Pertama, lafadz dan makna al-Qur’an merupakan dari Allah Swt. Nabi Muhammad Saw hanya menyampaikan saja.
Kedua, al-Qur’an disampaikan secara mutawattir. Maksudnya yaitu penuturannya daro orang banyak ke lainnya namun si penutur tersebut tidak berdusta/berbohong sehingga terjamin kepastian dan keberadaannya.
Ketiga, ayat al-Qur’an sampai kepada kita tanpa ada pengurangan ataupun penambahanan. Hal tersebut dikarenakan Allah menjamin keberadaandan pemeliharaannya. Hl ini terdapat pada firmn Allah yang berbunyi “sesungguhnya kami telah menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami-lah yang menjaganya”.
Keempat, al-Qur’an ini bersifat mu’jiz. Maksudnya yaitu  manusia tidak dapat mendatangkan semisalnya. Jadi al-Qur’an dengan segala unsur yang ada di dalamnya, manusia tidak dapat membuat yang serupa dengannya.
C.    Sunnah Sebagai Sumber dan Dalil
1.      Pengertian Sunnah
            Kata “Sunnah” berasal dari kata “Sanna”. Secara etimologis yaitu cara yang bisa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau sesuatu yang buruk. Penggunaan kata Sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi Muhammad SAW:[11]
من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزرمن عمل بها إلى يوم القيامة
Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakan dan barang siapa yang membuat Sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat.
            Dari hadits tersebut bisa kita ambil pelajaran yaitu, jika kita mengerjakan Sunnah yang baik dalam artian bukan hadits yang dhoif yaitu hadits yang shohih, maka kita akan mendapatkan pahala dan perawi yang meriwayatkan akan mendapatkan pahala seperti apa yang kita kerjakan, begitu pula sebaliknya.
            Dalam Al-Quran terdapat kata “Sunnah” dalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa surah dengan arti “kebiasan yang berakhlak” dan “jalan yang diikuti”. Umpamanya dalam Q.S. Ali Imran 137.
قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا۟فِىٱلْأَرْضِفَٱنظُرُوا۟كَيْفَكَانَعَٰقِبَةُٱلْمُكَذِّبِينَ
Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu Sunnah-Sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu dimuka bumi.
            Dan Allah juga menyebutkan dalam firmannya mengenai Sunnah yaitu, dalam Q.S. al-Isra’ 77
سُنَّةَ مَن قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِن رُّسُلِنَا ۖوَلَاتَجِدُلِسُنَّتِنَاتَحْوِيلًا
(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu Sunnah terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami.
            Sunnah menurut para ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi Muhammad SAW”. Sedangkan dalam istilah ulama fiqh adalah: “Sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.[12]
            Perbedaan ahli ushul dengan ahli fiqh dalam memberikan arti pada Sunnah sebagaimana yang dituliskan diatas yaitu karena para ulama tersebut berbeda dari segi pertinjauannya. Ulama ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber arau dalil hukum fiqh. Sedangkan para ulam fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai salah satu sumber hukum syara’ yang mungkin berlaku terhadap satu perbuatan.
            Kata Sunnah juga sering diidentikan dengan kata “Hadirts”. Kata “Hadits” disini sering digunakan oleh ahli Hadits dengan maksud yang sama dengan kata Sunnah, yaitu apabila dikerjakan dalam hal baik atau buruk akan mendapat pahala atau dosa dan jika tidak dikerjakan tidak akan mendapat dosa.
2.      Macam-Macam Sunnah
1.      Macam-macam Sunnah menurut segi jumlah sanad atau perawi
            Sunnah dari segi jumlah perawinya pengertian menurut ahli Ushul dibagi menjadi 3 macam yaitu Sunnah Qauliyah (ucapan Nabi), Sunnah Fi’liyah (perbuatan Nabi) dan Sunnah Taqririyah (ketetapan Nabi).
·         Sunnah Qauliyah
Sunnah ini merupakan ucapan Nabi Muhammad SAW yang didengar oleh para sahabat, namun yang diucapkan Nabi itu bukan wahyu Al-Quran. Dalam hal ini ucapan Nabi yang dikutip secara resmi dan kemudian tertulis itu merupakan dalil hukum, meskipun pada mulanya atau lazimnya bersifat umum yang berlaku untuk Nabi Muhammad SAW dan para umatnya dengan demikian setiap ucapan pada dasarnya menerima takhsis (batasan) dan juga menerima nasakh (batalnya hukum), kecuali ada penjelasan bahwa ucapan tertentu tidak mungkin di takhsis atau tidak menerima nasakh.[13]
·         Sunnah Fi’liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat Nabi kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh sahabat yang mengetahuinya. Tentang apakah semua yang dinukilkan itu mempunyai kekuatan untuk diteladani dan mengikat untuk semua umat Islam, para ulama memilah perbuatan Nabi itu menjadi tiga macam, yaitu:
a.       Perbuatan dan tingkah laku Nabi dalam kedudukannya sebagai seorang nabusia biasa atau berupa adat kebiasaan yang berlaku di tempat beliau, seperti cara makan, berdiei, minum, makan, duduk dan sebagainya yang merupakan tabiat dari seorang manusia sebagaimana mestinya.
b.      Perbuatan Nabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa perbuatan tersebut khusus berlaku untuk Nabi dan orang lain tidak boleh berbuat seperti itu.
c.       Perbuatan dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum. Perbuatan ini juga dibagi menjadi dua, yaitu:
w  Perbuatan Nabi yang merupakan penjelas terhadap apa-apa yang terdapat dalam Al-Quran namun masih memerlukan penjelasan.
w  Perbuatan Nabi yang memberi petunjuk kepada umatnya bahwa perbuatan tersebut boleh atau tidak boleh dilakukan.
·         Sunnah Taqririyah
Bila seseorang melakukan perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi, Beliau mengetahui apa yang dilakukan orang tersebut dan mampu untuk menyanggah atau menegur, namun Nabi diam dan tidak menyanggah ataupun menegurnya, maka hal itu merupakan dari Nabi. Keadaan tersebut merupakan sikap Nabi tentang perilaku yang boleh-boleh saja dilakukan dan tidak melanggar syariat agama.[14]

2.      Macam-macam Sunnah menurut segi kualitasnya
Sunnah ditinjau dari segi kualitasnya(diterima atau ditolaknya) dibagi menjadi tiga yaitu shahih, hasan dan dhoif.[15]
·         Sunnah shahih adalah sunnah yang memiliki lima persyaratan, yaitu:
a.       Sannadnya bersambung.
b.      Diriwayatkan oleh perawi yang adil (istiqamah agamanya, baik akhlaknya, dan terhindar dari kefasikan dan yang mengganggu kehormatannya).
c.       Perawinya juga dlabit (kuat hafalannya).
d.      Haditsnya tidak janggal.
e.       Haditsnya terhindar dari cacat.
·         Sunnah Hasan adalah sunnah yang memiliki semua persyaratan sunnah shahih, kecuali perawinya, seluruh atau sebagainya kurang kuat hafalannya.
·         Sunnah Dhaif adalah sunnah yang tidak memiliki sifat-sifat untuk dapat diterima, atau sunnah yang tidak memiliki sunnah shahih atau hasan. Sunnah ini banyak macamnya dan mempunyai perbedaan drajat satu sama lain, disebabkan oleh banyak atau sediknya persyaratan sunnah shahih dan hasan yang tidak terpenuhi.
3.      Fungsi Sunnah
            Fungsi Sunnah sudah tercantum dalam Al-Quran bahwa sebgaian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Quran adalah dalm bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah. Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Quran.[16] Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah SWT dalam surat An-Nahl: 64:
وَمَآأَنزَلْنَاعَلَيْكَٱلْكِتَٰبَإِلَّالِتُبَيِّنَلَهُمُٱلَّذِى ٱخْتَلَفُوا۟فِيهِۙوَهُدًىوَرَحْمَةًلِّقَوْمٍيُؤْمِنُونَ
Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab(Al-Quran) ini, melaikan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
            Para ulama usul, mengelompokan fungsi Sunnah, dalam hubungannya dengan Al-Quran ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a.       Menjelaskan dan menguatkan hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh Al-Quran. Misalnya Sunnah tentang wajibnya zakat, zakat, puasa Rahmadhan dan haji merupakan penegasan dan menguatkan dari ayat Al-Quran tentang wajibnya rukun Islam tersebut.
b.      Merinci dan menafsirkan ayat Al-Quran yang masih global dalam bahasanya, membatasi ayat Al-Quran yang masih muthlaq (umum), dan mengkhususkan ayat AL-Quran yang masih umum.
c.       Menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Quran.
4.      Periwayatan Sunnah           
Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu berkesinambungan khabar itu dari yang menerimanya dari Nabi sampai kepada orang yang mengumpulkan dan membukukannya. Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membagi khabar itu dari beberapa tingkatan yaitu:
·         Khabar mutawatir, yaitu khabar yang disampaikan secara berkesinambungan oleh orang banyak kepada orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepalat untuk berbohong
·         Khabar masyhur, yaitu  khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak untuk selanjutnya disampaikan pula kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
·         Khabar ahad, yaitu khabar yang disampaikan dan diterima Nabi secara perorangan dan dilanjutkan perawinya sampai kepada perawi akhir secara perorangan pula.
Ø  Perbedaan pendapat tentang kehujahan hadits/ khabar ahad
a.       Madzhab Sunni
Dalam kalangan mazhab suni, terdapat perbedaan pendapat tentang kehujahan hadtis ahad. Ada Ada golongan yang berhujah hanya dengan hadits mutawatir dan ada yang berhujah sekaligus dengan hadits ahad; dengan syarat, hadits ahad itu meupakan penjelasan (bayan) bagi mujmal al-Qur`an atau penjelasan (bayan) bagi sesuatu yang khafiy (samar) dari al-Qur`an.
Kebanyakan Jumhur ulama di kalangan mazhab Sunni, antara lain Imam Malik, Imam Syafi’i sepakat, bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujah dalam aspek ‘ubudiyah, namun tidak dalam aspek ‘aqaidiyah.[17]
b.      Madzhab Syiah
Menurut golongan Imamiyah, di antaranya, al-Thusi, tidak dibenarkan pen-takhshish-an‘am Al-Qur`andengan hadits ahad dandengan dalil zhanni, karena ‘am Al-Qur`anadalah ‘am qath’iyyah.Di samping itu, apabila hadits ahad bertentangan denganhukum yang di-ijma’-i, maka hadis ahaditu ditolak.
Dan kebanyakan Jumhur ulama di kalangan Syi’ah, antara lain Syiah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah sepakat juga, bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujah dalam aspek ‘ubudiyah, namun tidak dalam aspek ‘aqaidiyah; dengan syarat, tidak diriwaytkan oleh imam/periwayat yang ma’shum.
5.      Kedudukan Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam
            Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam keduudkannya sebagai penjelas, Sunnah kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Quran atau menetapkan sendiri hukum luar apa yang ditentukan Allahdalam Al-Quran.[18]
            Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber arau dalil kedua sesudah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, diantaranya:
a.       Banyak ayat Al-Quran yang menyuruh umat untuk menaati Rasulullah. Ketaatan kepada Rasulullah sering dirangkaikan dengan keharusan metaati Allah, sepertidisebutkan dalam surat An-Nisa 59:
ييُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Yang dimaksud dengan menaati Rasul dakam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang dikatakan atau dilakukan oleh sebagai tercakup dalam Sunnahnya.
b.      Ayat-ayat Al-Quran sering menyuruh umat agar selalu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menetapkan beriman kepada Rasul bersama dengan kewajiban beriman kepada Allah, sebagaimana tersebut dalam surat Al-A’raf 158:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk
c.       Ayat-ayat Al-Quran menetapkan bahwa apa yanng dikatakan Nabi Muhammad SAW adalah berdasarkan Al-Quran, karena beliau tidak berkata menurut kehendaknya sendiri, tetapi semua itu adalah berdasarkan wahyu yang diturukan oleh Allah sebagimana dalam surat An-Najm 3-4:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3)
 (4) إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Dan tiadalah yang mengucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
                        Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Sunnah yang disampaikan oleh Rasulullah SAW memiliki kedudukan hukum dalam Islam, karena selain menjelaskan makna Al-Quran yang kurang lengkap, Sunnah juga berfungsi sebagai tatanan hukum yang belum tertulis di Al-Quran.
D.    Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam
1.      Pengertian
Ditinjau dari segi kebahasaan Ijma’ memiliki dua arti. Makna pertama yakni “ketetapan hati terhadap sesuatu”. Pengertian tersebut terdapat dalam firman Allah QS. Yunus (10) ayat 71:[19]
 وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ
“Maka kepada Allah-lah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu untuk membinasakanku.”
Makna kedua yakni “kesepakatan terhadap sesuatu” . hal tersebut terdapat pada firman Allah QS. Yusuf ayat 15:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَٰذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tidak ingat lagi.”
Pada intinya Ijma’ merupakan pengambilan keputusan  para mujahid terhadap kesepakatan mengenai peristiwa yang terjadi pada umat yang berlandaskan pada Qur’an dan hadits yang dilakukan pada masa setelah wafatnya Rasulullah.[20]
2.      Kedudukan ijma’ sebagai hujjah
Para jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang bersifat qath’i. Maksudnya yaitu ijma’ berarti dasar penetapan penetapan hukum yang mengikat dan wajib untuk dipatuhi serta diamalkan. Maka dari itu para jumhur ulama’ menetapkan ijma’ sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan sunnah. Jumhur ulama’ mengatakan ijma’ merupakan hujjah yang pasti dilandasi dengan beberapa dalil berikut:[21]
a.       QS. An-Nisa’ (4) ayat 115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-bruk tempat kembali.”
Ulama berpendapat bahwa ayat diatas orang yang menentang Rasulullah dan tidak mengikuti orang mukmin. Ijma’ sendiri merupakan mengikuti jalan orang mukmin. Maka dari itu mengikuti ijma’ adalah wajib.
b.     QS. Ali-Imran (3) ayat 110
نۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ الۡکِتٰبِلَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”
Ayat diatas menunjukkan  pujian yang diberikan Allah kepada umat-Nya bahwa mereka merupakan orang-orang yang adil dan pilihan. Oleh karena itu ijma’ yang dihasilkan adalah hujjah.
3.      Syarat dan Rukun Ijma’
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa syarat ijma’ ada 3 yakni: (1) orang yang melakukan ijma’ harus memenuhi persyaratan ijtihad. (2) kesepakatan tersebut muncul dari mujtahid yang mempunyai pebdirian kuat terhadap agamanya. (3) mujtahid yang terlibat yaitu mujtahid yang ucapan dan perilakunya terhindar dari bid’ah.[22]
Rukun ijma’ menurut para ulama’ ushul fiqh ada 4 yakni: (1) dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ yang terlibat yaitu seluruh mujtahid. (2) ketika pembahasan hukum mujtahid yang terlibat yakni seluruh mujtahid pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam. (3) kesepakatan dihasilkan setelah para mujtahid mengemukakan pendapatnya. (4)  hukum yang disepakati yakni hukum syara’ yang aktual dan tidakk ada dalam al-Qur’an maupun hadits.
4.      Macam-macam Ijma’
Dilihat dari segi menghasilkan hukum, ijma’ dibagi menjadi  dua yakni:[23]
·         Ijama’ sarih ( bersih atau murni). Ijma’ berarti Kesepakatan yang dicapai dari berbagai pendapat mujahid karena setiap mujahid merupakan sumber hukum.
·         Ijma’ sukuti yakni kesepakatan yang dilakukan mujahid dimana jika para ahli ijtihad diam atau tidak menyatakan pendapat tetapi diamnya masih dianggap menyetujui kesepakatan tersebut.
Jika dilihat dari pihak tersebut maka dibagi menjadi ijma’ qath’i dan dzanni
·         Ijma’ qath’i yakni  suatu kesepakatan terhadap peristiwa, baik disampaikan melalui lisan maupun tulisan oleh para mujahid  yang berisi pendapat dan persetujuan.
·         Ijma’ dzanni yakni ijma’ yang memiliki kekuatan hukum yang masih bisa diragukan karena masih berupa dugaan saja tetapi masih bisa digunakan sebagai laandasan hukum.
E.     Kedudukan Qiyas Sebagai Sumber Hukum
1.      Pengertian Qiyas
                        Secara etimologis, kata qiyas berarti mengukur dan membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Dan secara terminologis (istilah hukum), menurut Abdul Wahhab Khallaf dalam Mashadir al-Tasyri’ al-Islam Fima la Nashshafih qiyas adalah menyamakan suatu kasus yang tidak terdapat hukumnya dalam nash dengan kasus yang hukumnya terdapat dalam nash, karena adanya persamaan illat dalam kedua kasus itu.[24]
2.      Rukun-Rukun Qiyas
                        Membicarakan syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun atau unsur-unsur sari qiyas. Rukun atau unsur qiyas itu sebagimana telah disebutkan sebagi berikut[25]:
a.       Maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan sesuatu padanya)
Syarat ini dalam istilah yang dikemukakan oleh Al-Mahalli merupakan Mahal Hukum (wadah hukum). Jadi qiyas disini merupakan salah satu tempat atau wadah hukum yang memiliki kriteria sebagai berikut:
·         Harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya.
·         Harus ada kesepakatan ulama tentang adalanya ‘illat pada ashal maqis ‘alaih itu.
b.      Maqisl (sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal).
Untuk maqis ini kebanyakan ulama menggunakan furu (sesuatu yang dibangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain). Syarat yang ada pada  Maqisl adalah sebagai berikut:
·         ‘Illat yang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat pada ashal.
·         Harus ada kesemaan antara furu’ itu dengan ashal dalam ‘illat maupun hukum.
·         Ketetapan hukum pada furu’ itu tidak menyalahi dalil qath’i.
·         Tidak terdapat “penentang” (hukum lain) yang lebih kuat terhadap hukum pada furu’ dan hukum dalam penentang itu berlawanan dengan ‘illat qiyas itu.
·         Furu’ itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
·         Furu’ sebagai maqis itu tidak mendahului ashal sebagai maqis alaih) dalam keberadaannya.
c.       Hukum Ashal
Hukum ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis‘alaih yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang diberlakukan pada furu’.adapun syarat-syarat hukum ashal adalah:
·         Hukum ashal itu adalah hukum syara’.
·         Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash, bukan dengan qiyas.
·         Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku bukan hukum yang telah dinasakhakan.
·         Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
·         Hukum ashal disepakati oleh para ulama.
d.      ‘Illat
‘Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur terpenting, karena adanya ‘illatitulah yang menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada yang lain.
Ø  Syarat-syarat ‘illat
·         ‘Illat itu harus mengandung hil\kmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum, dan dapat dijadikan sebagai kaitan
·         ‘illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
·         ‘illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas, dehingga tidak bercampur dengan yang lainnya.
·         Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi ‘illat.
·         Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi ‘illat. Maksudnya, sifat itu menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan oleh suatu dalil.

3.      Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara’
                        Meskipun tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan hukum, tetapi salah satu ulama yaitu Muhammad Abu Zahrah mengemukakan pendapat mengenai qiyas yang terbagi menjadi 3 kelompok qiyas dalam hukum syara’, yaitu:[26]
a.       Kelompok jumhurulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Para ulama tersebut menggunakan qiyas dalam hal-hal yang tidak terdapat pada sumber hukum Islam yang lain (Al-Quran, as-Sunnah dan Ijma’) secara tidak berlebihan.
b.      Kelompok Zhahriryah dan Syi’ah Imamiyah menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahriryah juga menolak penemuan ‘illat atas suatu hukum dan menganngap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’.
c.       Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Kelompok ini pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘illat diantara keduanya.
Para fuqaha berbeda pendapat dalam penggunaan qiyas, yaitu:
Golongan Hanafiyah yang tergolong dalam Madrasah ahli ra’yu banyak menggunakan qiyas dan mendahulakn qiyas atas hadits ahad yang tidak mashur.
Golongan Ulama Hambali menggunakan qiyas hanya sewaltu dalam keadaan terpaksa, dan sudah diteliti tidka menjumpai hadits walaupun yang dhoif sekalipun sebagai landasan.
Golongan Maliki dan Syafi’i berdiri diantara kedua golongan itu dalam menggunakan qiyas apabila tidak dijumpai di dalam Al-Quran, Sunnah Rasul dan Ijma’.[27]
F.     Penutup
Dari artikel yang tertulis diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa agama Islam dalam memecahkan masalah dan atau membuat suatu hukum untuk haruslah menggunkan sumber hukum yang disepakati oleh kebanyakan jumhur ulama, dan sumber hukum tersebut adalah Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Sumber hukum yang pertama adalah Al-Quran yang merupakan Firman Allah SWT yang diturunkan melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW secara mutawatir, membacanya akan mendapat pahala. Kemudian sumber hukum yang kedua adalah As-Sunnah, As-Sunnah atau Hadits ini menurut ulama ushul merupakan apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah) maupun pengakuan (taqririyah) dan sifat Nabi Muhammad SAW. Kedua sumber tersebut merupakan hal yang paling utama sebagai rujukan para ulama, dan jika suatu hukum tidak tertulis dalam Al-Quran dan As-Sunnah maka para ulama/ mujtahid melakukan Ijma’ dalam memecahkan sebuah masalah yang berhubungan dengan hukum syara’. Lalu sumber hukum yang terakhir adalah Qiyas yaitu cara para ulama untuk menyamakan atau membandingkan hukum yang belum ada ke sebuah masalah yang sudah ada dikarenakan adanya persamaan ‘illat.
DAFTAR PUSTAKA
Praja S, Juhaya.2015.Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: CV Pustaka Setia).
Mardani.2010.Hukum Islam (pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia), (Yogyakarta:Pustaka Pelajar).
Dahlan, Abd. Rahman.2010.Ushul Fiqh. (Jakarta: Amzah).
Syafe’i , Rachmat.2015. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: CV Pustaka Setia).
Syarifudin, Amir. 1997.Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos wacana Ilmu).
Zaidan, Abdul Karim. 2008.Pengantar Studi Syariat. (Jakarta: Robbani Press)
Marzuki. 2013. Hukum Islam (Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep dan Permasalahan Hukum Islam di Indonesia).(Yogyakarta: Ombak).
Hamang, M. Nasri. 2010. Kehujahan Hadis Ahad Menurut Mazhab Suni dan Syiah, vol. 14 No 3.
Wahab, Syekh Abdul. 2005. Ilmu Usul Fikih. (Jakarta: Rineka Cipta).
Susiadi As. 2014. Ijma’ dan Isu Kontempore. Asas. Vol.6 No2.
Mardani. 2010.Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Catatan:
1.      Similarity 15%.
2.      Hindari menggunakan kata “kita” dalam tulisan ilmiah.
3.      Jika menulis judul buku, tulis dengan miring (italic).
4.      Dalam tulisan ilmiah, tidak perlu ada penulisan gelar (Prof., Dr., Ustaz dll).
5.      Mana contoh ijma’?
6.      Macam-macam qiyas dan contohnya kok tidak ada?



[1]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 113-114
[2] Juhaya S Praja, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 49
[3]Ibid, hlm. 50
[4] Abd. Rahman Dahlan, Op.cit., (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 117
[5] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 51-54

[7] Dr. Marzuki, M.Ag, Pengantar Studi Hukum Islam, (Yogyakarta:Penerbit Ombak, 2013), hlm. 87-90
[8] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997), hlm. 71
[9] Ibid, hlm. 72                                                                     
[10] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 231-232
[11] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu, 1997), hlm.73
[12]Ibid, hlm. 74-75
[13] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu, 1997), hlm.76-81.
[14]Ibid. hlm.81
[15] Dr. Marzuki, M.Ag., Hukum Islam (Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep dan Permasalahan Hukum Islam di Indonesia), (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 94.
[16] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu, 1997), hlm.85.
[17] M. Nasri Hamang, Kehujahan Hadis Ahad Menurut Mazhab Suni dan Syiah, vol.14 No 3, STAIN Pare-Pare 2010, hal.413-415.
[18] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu, 1997), hlm.95-96.
[19] Abd. Rahman Dahlan, Op.Cit., hlm. 145-146
[20] Syekh Abdul Wahab, Ilmu Usul Fikih, (jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 48
[21] Abd. Rahman Dahlan, Op.cit., hlm. 148-150
[22] Susiadi As, “Ijma’ dan Isu Kontemporer”. Asas. Vol.6 No2, juli 2014, hlm. 125
[23] Ibid, hlm. 56-57
[24] Dr. Mardani, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.150-151.
[25] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1,cet 3  (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2008),hlm. 342-356.
[26]Ibis, hlm.323-324.
[27] Dr. Mardani, Hukum Islam (pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia), (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010), hlm.150.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar