SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI
AL-QURAN, AS-SUNNAH, IJMA’ DAN QIYAS
Oleh: A.Chandra Kusuma Negara (16110025)
Noor Vidya Megantari (16110188)
Mahasiswa
Pendidikan Agama Islam “C” 2016 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
e-mail
:nvmvidya@gmail.com
Abstract
As we believe, the religion of Islam is a religion which
known as a haq religion.As time goes by, the truth has been becoming more
visible both in terms of prophethood to the kalamullah of the Qur'an. In both
of them, there are laws that we often use as the basis of life which are waji),
sunnah, haram etc. The law comes from 4 legal sources that has been agreed
upon,they are: Al-Qur'an, Sunnah, Ijma'and Qiyas. These sources have a
systematic order that begins with the Al-Qur’an, if it cannot be resolved, we
need to use the sunnah, if it cannot get
a decision that can be resolved yet, use ijma. If it still can't be resolved
yet, use qiyas. As described before, we should take islamic law into serious
consideration. Moreover, one can’t only rely on people’s judgement without a
solid foundation.
Keywords:
Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’, Sunnah
Abstrak
Seperti
yang kita yakini bahwa agama islam adalah agama yang haq, seiring berjalannya
waktu kebenarannya semakin terlihat baik dari segi kenabian hingga kalamullah
Al-Qur’an. Didalam keduanya terdapat hukum-hukum yang kita jadikan landasan
hidup baik wajib, sunnah, haram dll. Hukum tersebut berasal dari sumber-sumber
hukum yang berjumlah 4 sumber dan telah disepakati diantaranya adalah:
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sumber-sumber tersebut memiliki urutan
sistematis yang diawali dengan Al-Quran jika tidak bisa deselesaikan dilanjut
dengan menggunakan sunnah apabila belum bisa mendapat keputusan dapat
diselesaikan menggunakan ijma’. Jika masih tidak bisa diselesaikan menggunakan
qiyas. maka dengan sistematis tersebut hukum islam tidak bisa dibuat main-main.
Apalagi hanya mengandalkan kesepakatan orang banyak tanpa adanya landasan dasar
yang kuat.
Kata Kunci:Al-Quran,
As-Sunnah, Ijma’, Sunnah
A.
Pendahuluan
Dalam
kehidupan beragama tentunya kita mempunyai pedoman ataupun aturan yang terkait
apa saja yang boleh kita lakukan ataupun apa yang tidak boleh dilakukan. Dan
tentunya pedoman itu harus merupakan sesuatu yang menjadi landasan yang kuat
dan benar.
Di
dalam Islam sendiri kita memiliki landasan untuk mengambil suatu keputusan,
yakni sumber hukum islam. Para ulama’ kontemporer sepakat bahwa sumber hukum
Islam ada 4 yakni Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.Hakikatnya sumber
hukum yakni menjadi dasar untuk pengambilan sesuatu. Sedangkan dalil berarti
sesuatu untuk memberi petunjuk dan mengantarkan seseorang untuk menemukan
sesuatu. Maka dari itu yang dapat disebut sebagai sumber hukum Islam ada dua
yakni al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya merupakan dasar
ketentuan hukum Islam dan terdapat teks-teks nash yang dijadikan rujukan dalam
pengambilan keputusan hukum Islam tersebut. Sebaliknya Ijma’ dan Qiyas
merupakan dalil hukum, bukan sumber hukum karena Ijma’ dan Qiyas
merupakan petunjuk atau dalil untuk menemukan hukum Islam yang terdapat dalam
al-Qur’an dan Sunnah.[1]
Pada
intinya dalam menentukan suatu hukum Islam harus melihat al-Quran terlebuh
dahulu jika tidak adaa dilakukan dengan Sunnah. Jika tidak ada di dalam sunnah
menggunakan ijma’ lalu jika tetap tidak ada menggunakan Qiyas.
B.
Al-Quran
1.
Pengertian
Al-Quran
Kata
al-Qur’an jika dilihat dari segi etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata
kerja (fiil) qara’a yang wazan-nyaadalah fu’lan,
berarti bacaan atau maqru’ yang berarti apa yang tertulis padanya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75): 17-18:[2]
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُۥ وَقُرْءَانَهُۥ(17)فَإِذَا
قَرَأْنَٰهُ فَٱتَّبِعْ قُرْءَانَهُۥ (18)
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kami-lah mengumpulkankannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya
itu.”
Menurut ulama’ ushul fiqh yakni
Asy-Syaukani menyimpulkan beberapa ciri khas al-Qur’an, yakni sebagai berikut:[3]
·
Al-Qur’an
merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat
jibril. Dinamakan al-Qur’an karena firman Allah tersebut diturunkan kepada Nabi
Muhammad, jika tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad maka kitab tersebut tidak
bisa disebut al-Qur’an seperti kitab Taurat, Zabur dan Injil.
·
Al-Qur’an
menggunakan bahasa Arab Quraisy. Hal tersebut ditunjukkan dengan beberapa ayat
al-Qur’an, diantaranya: QS. Yusuf (12): 2; QS. An-Nahl (16): 103; QS. Ibrahim
(14): 4; QS. Az-Zumar (39): 28 dan QS. As-Syu’ara (26): 192-195. Para ulama
sepakat bahwa terjemah al-Qur’an maupun tafsirannyatidak disebut al-Qur’an dan
ibadahnya tidak bernilai jika seseorang membacanya. Begitu pula ketika
seseorang melakukan sholat hanya dengan membaca tfsir atau terjemahan al-Qur’an
maka sholatnya tidak sah, meskipun ulama’ Hanafiyyah memperbolehkan sholat
menggunakan bahasa Parsi, namun kebolehannya hanya bersifat rukhshah
(keringanan hukum)
·
Di dalam hadits
riwayat Al-Bukhari:24 dikatakan bahwa al-Qur’an diriwayatkan secara muttawatir.
Maksudnya yakni dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak hingga
sekarang. Orang yang menuturkan tersebut tidak berdusta/berbohong ketika
menyampaikan. Sehingga ayat al-Qur’an tersebut dijamin kepastian dan
keberadaannya.
·
Saat seseorang
membaca setiap kata dalam al-Qur’an maka dinilai ibadah dan mendapat pahala.
Meskipun bacaan tersebut berasal dari hafalan maupun langsung dari al-Qur’an
tetap bernilai ibadah.
·
Al-Qur’an
diawali dengan surat Al-Fatihah kemudian diakhiri dengan surat An-Nass. Susunan
surat yang terdapat dalam al-Qur’an disusun sesuai dengan petunjuk Allah
melalui malaikat jibril kepada Nabi Muhammad, yang letak susunannya tidak boleh
diubah dan diganti.
2.
Kehujahan
Al-Quran
Ulama’ ushul
fiqh sepakat bahwa al-Qur’an merupakan hujjah bagi kaum muslim, karena
al-Qur’an ialah wahyu dan kitab Allah yang diriwayatkan secara mutawatir. Datangnya dari Allah, berpindah kepada orang
dari Allah dengan jalan qathi’.[4]
Berikut
merupakan beberapa pandangan ulama mengenai kehujjahan al-Qur’an, diantaranya:[5]
a.
Imam Abu
Hanifah
Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum Islam. Namun Imam Abu
Hanifah mempunyai perbedaan pendpat dengan jumhur ulama’ mengenai al-Qur’an
yang mencakup lafadz dan maknanya.
Hal tersebut
ditunjukkan dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan sholat
menggunakan selain bahasa Arab. Misalnya dengan bahasa Parsi meskipun tidak
dalam keadaan madarat. Padahal menurut Imam Syafi’i hal tersebut tidak
diperbolehkan menggunakan bahasa selain bahasa Arab.
b.
Imam Malik
Imam Malik
berpendapat bahwa al-Qur’an yakni kalam Allah diamana lafadzh dan makna nya
dari Allah Swt. Al-Qur’an bukan makhluk dikarenakan kalam Allah termasuk dalam
sifat Allah Swt. Sesuatu yang termasuk sifat Allah tidak dapat dikatakan
makhluk, bahkan beliau memberikan predikat kafir zindiq pada orang yang
mengatakan jika al-Qur’an itu makhluk.
c.
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i
menetapkan al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang paling pokok. Beliau
berpendapat bahwa “Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun,
kecuali petunjuknya terdapat daam al-Qur’an” (Asy-Syafi’i, 1309:20), maka dari
itu beliau senantiasa mencantumkan nash-nash al-Qur’an setiap mengeluarkan
pendapatnya. Hal tersebut sesuai dengan metode yang senantiasa digunakan oleh
beliau yakni metode deduktif.
Tetapi Imam
Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dari Sunnah kerena
keterkaitan keduanya sangat erat. Beliau juga berpendapat bahwa sumber hukum
islam pertama tidak hanya al-qur’an, melainkan al-Qur’an dan Sunnah.
d.
Imam Ahmad Ibnu
Hambal
Imam Ahmad Ibnu
Hambal berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan sumber pokok hukum Islam yang
kemudian disusul dengan sunnah. Beliau sependapat dengan Imam Syafi’i bahwa
al-Quran tidak dapat dipisahkan dengan sunnah karena sunnah memiliki kedudukan
yang kuat disamping al-Qur’an.
3.
Kedudukan Al-Quran Sebagai Sumber Hukum Islam
a.
Sudah jelas
bahwa al-quran dijadikan sebagai sumber pertama hukum islam. Al-quran
memberikan banyak prinsip-prinsip dasar yang membawa seorang muslim pada jalan
tertentu. Untuk menemukan suatu jawaban atas usahanya sendiri. Didalam al-quran terdapat hukum-hukum atau
dasar-dasar islam secara umum yang sesuai dengan situasi, kondisi, tempat, dan
zaman. Jadi al-quran dapat dikatakan sebagai tuntunan (hidayah) dan bukan kitab
hukum. Sebagai tuntunan al-quran tidak melewatkan hal apapun yang berkaitan
dengan hal mendasar mengenai kehidupan nyata yang harus diikuti orang muslim.
Al-quran menggariskan dan menunjukkan batas dari berbagi aspek kehidupan.[6]
b.
Posisi al-quran
sebagai sumber hukum pertama tidak berarti al-quran menangani setiap persoalan
secara pelik dan terperinci seperti hukum keluarga hukum waris dan lain
sebagainya. Meskipun pada umum nya ayat al-quran terkait dengan hukum yang
bersifat pasti. Pada intinya kedudukan al-quran sebagai sumber hukum islam yang
pertama, berarti al-quran menjadi sumber dari segala sumber hukum islam.
Tentunya sumber hukum yang lain harus sesuai dengan petunjuk al-quran dan tidak
boleh bertentangan.[7]
4.
Hukum
dan Isi
Pada intinya
hukum-hukum dalam al-Qur’an dibagi menjadi 3 macam yakni:[8]
Pertama,
hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt mengenai ketauhidan dan
larangan untuk menyekutukan-Nya. Hukum ini biasa disebut dengan hukum
i’tiqadiyah. Hukum ini biasanya dikaji dalam ilmu tauhid.
Kedua
yakni hukum yang mengatur tentang pergaulan manusia yaitu sifat baik yang harus
dimiliki dan sifat buruk yang harus dihindari. Hukum ini biasa disebut dengan
hukum khuluqiyah yang biasanya dikaji dalam ilmu akhlak.
Ketiga
yakni hukum yang menyangkut perilaku manusia terhadap Allah Swt, sesama manusia
dan apa yang harus ditaati & dijauhi. Hukum ini biasa disebut dengan hukum
amaliyah yang biasanya dikaji dalam Ilmu Syariah.
Secara garis
besar hukum amaliyah terbagi menjadi dua yakni:
·
Hukum ibadah
dalam arti khusus
Yaitu hukum
yang mengatur perilaku manusi secara lahiriah dalam hubugannya dengan Allah
Swt. Yakni seperti sholat, zakat, puasa dan haji.
·
Hukum muamalah
dalam arti umum
Yaitu hukum
yang mengatur perilaku manusia dengan sesasama atau alam sekitarnya. Yakni
seperti pernikahan, jual-beli dan pembunuhan.
Ditinjau dari
segi pemberlakuan bagi sesama manusi, hukum muamalah dibagi menjadi 7 yakni:[9]
a.
Hukum ini
mengatur tentang hubungan sesama manusi dengan kebutuhannya dan harta untuk
keperluan hidup. Contohnya yakni jual-beli, sewa dan pinjam-meminjam.
b.
Hukum munakhat,
Yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan nafsu syahwat secara sah.
Contohnya yakni: Pernikahan, perceraian, rujuk, dll.
c.
Hukum mawaris,
yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan perpindahan harta dikarenakan
kematian.
d.
Hukum jinayah
atau pidana, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia dalam
ranah kejahatan, penyaluran nafsu syahwat. Contohnya yakni pembunuhan,
pencuran, perzinahan, dsb.
e.
Hukum qadha’
atau hukum acara, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia yakng
kaitannya dengan penyelesaian akibat
perbuatan kejahatan yang ada di pengadilan. Contohnya yakni gugata,
kesaksian, dsb.
f.
Hukum
dusturiyah, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia yang
kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Contohnya yakni baitul
mal, khilafah dan ulil amri.
g.
Hukum dualiyah
atau hukum internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia dalam suatau negara dengan negara
lainnya. Baik dalam keadaan damai maupun perang. Contohnya yakni pampasan
perang, ekstradisi dan perjanjian.
5.
Karakteristik
Dalam
buku Pengantar Studi Syariat, disebutkan beberapa karaktersitik al-Qur’an yakni
sebagai berikut:[10]
Pertama,
lafadz dan makna al-Qur’an merupakan dari Allah Swt. Nabi Muhammad Saw hanya
menyampaikan saja.
Kedua,
al-Qur’an disampaikan secara mutawattir. Maksudnya yaitu penuturannya daro
orang banyak ke lainnya namun si penutur tersebut tidak berdusta/berbohong
sehingga terjamin kepastian dan keberadaannya.
Ketiga,
ayat al-Qur’an sampai kepada kita tanpa ada pengurangan ataupun penambahanan.
Hal tersebut dikarenakan Allah menjamin keberadaandan pemeliharaannya. Hl ini
terdapat pada firmn Allah yang berbunyi “sesungguhnya kami telah menurunkan
al-Qur’an dan sesungguhnya Kami-lah yang menjaganya”.
Keempat,
al-Qur’an ini bersifat mu’jiz. Maksudnya yaitu
manusia tidak dapat mendatangkan semisalnya. Jadi al-Qur’an dengan
segala unsur yang ada di dalamnya, manusia tidak dapat membuat yang serupa
dengannya.
C.
Sunnah
Sebagai Sumber dan Dalil
1.
Pengertian
Sunnah
Kata “Sunnah” berasal dari kata
“Sanna”. Secara etimologis yaitu cara yang bisa dilakukan, apakah cara itu
sesuatu yang baik, atau sesuatu yang buruk. Penggunaan kata Sunnah dalam arti
ini terlihat dalam sabda Nabi Muhammad SAW:[11]
من
سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزرمن عمل
بها إلى يوم القيامة
Siapa
yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang
mengerjakan dan barang siapa yang membuat Sunnah yang buruk, maka baginya
siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat.
Dari hadits tersebut bisa kita ambil
pelajaran yaitu, jika kita mengerjakan Sunnah yang baik dalam artian bukan
hadits yang dhoif yaitu hadits yang shohih, maka kita akan mendapatkan pahala
dan perawi yang meriwayatkan akan mendapatkan pahala seperti apa yang kita
kerjakan, begitu pula sebaliknya.
Dalam Al-Quran terdapat kata
“Sunnah” dalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa surah dengan arti
“kebiasan yang berakhlak” dan “jalan yang diikuti”. Umpamanya dalam Q.S. Ali
Imran 137.
قَدْ
خَلَتْ مِن قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا۟فِىٱلْأَرْضِفَٱنظُرُوا۟كَيْفَكَانَعَٰقِبَةُٱلْمُكَذِّبِينَ
Sesungguhnya
telah berlaku sebelum kamu Sunnah-Sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu
dimuka bumi.
Dan Allah juga menyebutkan dalam
firmannya mengenai Sunnah yaitu, dalam Q.S. al-Isra’ 77
سُنَّةَ
مَن قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِن رُّسُلِنَا ۖوَلَاتَجِدُلِسُنَّتِنَاتَحْوِيلًا
(Kami
menetapkan yang demikian) sebagai suatu Sunnah terhadap rasul-rasul Kami yang
Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan
Kami.
Sunnah menurut para ulama ushul
adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk
ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi Muhammad SAW”. Sedangkan
dalam istilah ulama fiqh adalah: “Sifat hukum bagi suatu perbuatan yang
dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian
diberi pahala orang yang melakukannya tidak berdosa orang yang tidak
melakukannya.[12]
Perbedaan ahli ushul dengan ahli
fiqh dalam memberikan arti pada Sunnah sebagaimana yang dituliskan diatas yaitu
karena para ulama tersebut berbeda dari segi pertinjauannya. Ulama ushul
menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber arau dalil hukum fiqh. Sedangkan
para ulam fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai salah satu sumber hukum syara’
yang mungkin berlaku terhadap satu perbuatan.
Kata Sunnah juga sering diidentikan
dengan kata “Hadirts”. Kata “Hadits” disini sering digunakan oleh ahli Hadits
dengan maksud yang sama dengan kata Sunnah, yaitu apabila dikerjakan dalam hal
baik atau buruk akan mendapat pahala atau dosa dan jika tidak dikerjakan tidak
akan mendapat dosa.
2.
Macam-Macam
Sunnah
1.
Macam-macam
Sunnah menurut segi jumlah sanad atau perawi
Sunnah dari segi jumlah perawinya pengertian
menurut ahli Ushul dibagi menjadi 3 macam yaitu Sunnah Qauliyah (ucapan Nabi), Sunnah
Fi’liyah (perbuatan Nabi) dan Sunnah Taqririyah (ketetapan Nabi).
·
Sunnah Qauliyah
Sunnah ini merupakan ucapan Nabi Muhammad SAW yang didengar oleh
para sahabat, namun yang diucapkan Nabi itu bukan wahyu Al-Quran. Dalam hal ini
ucapan Nabi yang dikutip secara resmi dan kemudian tertulis itu merupakan dalil
hukum, meskipun pada mulanya atau lazimnya bersifat umum yang berlaku untuk
Nabi Muhammad SAW dan para umatnya dengan demikian setiap ucapan pada dasarnya
menerima takhsis (batasan) dan juga menerima nasakh (batalnya
hukum), kecuali ada penjelasan bahwa ucapan tertentu tidak mungkin di takhsis
atau tidak menerima nasakh.[13]
·
Sunnah Fi’liyah
Semua
perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat Nabi
kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh sahabat yang mengetahuinya.
Tentang apakah semua yang dinukilkan itu mempunyai kekuatan untuk diteladani
dan mengikat untuk semua umat Islam, para ulama memilah perbuatan Nabi itu
menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Perbuatan dan
tingkah laku Nabi dalam kedudukannya sebagai seorang nabusia biasa atau berupa
adat kebiasaan yang berlaku di tempat beliau, seperti cara makan, berdiei,
minum, makan, duduk dan sebagainya yang merupakan tabiat dari seorang manusia
sebagaimana mestinya.
b.
Perbuatan Nabi
yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa perbuatan tersebut khusus berlaku
untuk Nabi dan orang lain tidak boleh berbuat seperti itu.
c.
Perbuatan dan
tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum. Perbuatan ini juga
dibagi menjadi dua, yaitu:
w Perbuatan Nabi yang merupakan penjelas terhadap apa-apa yang
terdapat dalam Al-Quran namun masih memerlukan penjelasan.
w Perbuatan Nabi yang memberi petunjuk kepada umatnya bahwa perbuatan
tersebut boleh atau tidak boleh dilakukan.
·
Sunnah
Taqririyah
Bila
seseorang melakukan perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi,
Beliau mengetahui apa yang dilakukan orang tersebut dan mampu untuk menyanggah
atau menegur, namun Nabi diam dan tidak menyanggah ataupun menegurnya, maka hal
itu merupakan dari Nabi. Keadaan tersebut merupakan sikap Nabi tentang perilaku
yang boleh-boleh saja dilakukan dan tidak melanggar syariat agama.[14]
2.
Macam-macam
Sunnah menurut segi kualitasnya
Sunnah ditinjau dari segi kualitasnya(diterima atau ditolaknya)
dibagi menjadi tiga yaitu shahih, hasan dan dhoif.[15]
·
Sunnah shahih
adalah sunnah yang memiliki lima persyaratan, yaitu:
a.
Sannadnya
bersambung.
b.
Diriwayatkan
oleh perawi yang adil (istiqamah agamanya, baik akhlaknya, dan terhindar dari
kefasikan dan yang mengganggu kehormatannya).
c.
Perawinya juga dlabit
(kuat hafalannya).
d.
Haditsnya tidak
janggal.
e.
Haditsnya
terhindar dari cacat.
·
Sunnah Hasan
adalah sunnah yang memiliki semua persyaratan sunnah shahih, kecuali
perawinya, seluruh atau sebagainya kurang kuat hafalannya.
·
Sunnah Dhaif
adalah sunnah yang tidak memiliki sifat-sifat untuk dapat diterima, atau sunnah
yang tidak memiliki sunnah shahih atau hasan. Sunnah ini banyak
macamnya dan mempunyai perbedaan drajat satu sama lain, disebabkan oleh banyak
atau sediknya persyaratan sunnah shahih dan hasan yang tidak
terpenuhi.
3.
Fungsi
Sunnah
Fungsi Sunnah sudah tercantum dalam
Al-Quran bahwa sebgaian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Quran adalah dalm bentuk
garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari
Sunnah. Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan
Al-Quran.[16]
Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah SWT dalam surat An-Nahl:
64:
وَمَآأَنزَلْنَاعَلَيْكَٱلْكِتَٰبَإِلَّالِتُبَيِّنَلَهُمُٱلَّذِى
ٱخْتَلَفُوا۟فِيهِۙوَهُدًىوَرَحْمَةًلِّقَوْمٍيُؤْمِنُونَ
Dan
kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab(Al-Quran) ini, melaikan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Para ulama usul, mengelompokan
fungsi Sunnah, dalam hubungannya dengan Al-Quran ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a.
Menjelaskan dan
menguatkan hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh Al-Quran. Misalnya Sunnah
tentang wajibnya zakat, zakat, puasa Rahmadhan dan haji merupakan penegasan dan
menguatkan dari ayat Al-Quran tentang wajibnya rukun Islam tersebut.
b.
Merinci dan menafsirkan
ayat Al-Quran yang masih global dalam bahasanya, membatasi ayat Al-Quran yang
masih muthlaq (umum), dan mengkhususkan ayat AL-Quran yang masih umum.
c.
Menetapkan
hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Quran.
4.
Periwayatan
Sunnah
Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu
berkesinambungan khabar itu dari yang menerimanya dari Nabi sampai kepada orang
yang mengumpulkan dan membukukannya. Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama
membagi khabar itu dari beberapa tingkatan yaitu:
·
Khabar mutawatir,
yaitu khabar yang disampaikan secara berkesinambungan oleh orang banyak kepada
orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu
yang tidak memungkinkan mereka bersepalat untuk berbohong
·
Khabar masyhur,
yaitu khabar yang diterima dari Nabi
oleh beberapa orang sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak untuk
selanjutnya disampaikan pula kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran
batas khabar mutawatir.
·
Khabar ahad,
yaitu khabar yang disampaikan dan diterima Nabi secara perorangan dan
dilanjutkan perawinya sampai kepada perawi akhir secara perorangan pula.
Ø Perbedaan pendapat tentang kehujahan hadits/ khabar ahad
a.
Madzhab Sunni
Dalam kalangan mazhab suni, terdapat perbedaan
pendapat tentang kehujahan hadtis ahad.
Ada Ada golongan yang berhujah hanya dengan hadits mutawatir dan ada yang
berhujah sekaligus dengan hadits ahad;
dengan syarat, hadits ahad itu
meupakan penjelasan (bayan) bagi mujmal al-Qur`an atau penjelasan (bayan) bagi sesuatu yang khafiy (samar) dari al-Qur`an.
Kebanyakan Jumhur ulama di kalangan mazhab Sunni, antara lain Imam Malik, Imam
Syafi’i sepakat, bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujah dalam aspek ‘ubudiyah, namun tidak dalam aspek ‘aqaidiyah.[17]
b.
Madzhab Syiah
Menurut golongan Imamiyah, di antaranya, al-Thusi, tidak dibenarkan pen-takhshish-an‘am Al-Qur`andengan
hadits ahad dandengan dalil zhanni,
karena ‘am Al-Qur`anadalah ‘am
qath’iyyah.Di samping itu, apabila hadits ahad bertentangan denganhukum yang di-ijma’-i, maka hadis ahaditu
ditolak.
Dan kebanyakan Jumhur ulama di kalangan Syi’ah, antara lain Syiah
Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah
sepakat juga, bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujah dalam aspek ‘ubudiyah, namun tidak dalam aspek ‘aqaidiyah; dengan syarat, tidak
diriwaytkan oleh imam/periwayat yang ma’shum.
5.
Kedudukan
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam
Sunnah berfungsi sebagai penjelas
terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran, sebagaimana disebutkan
sebelumnya. Dalam keduudkannya sebagai penjelas, Sunnah kadang-kadang
memperluas hukum dalam Al-Quran atau menetapkan sendiri hukum luar apa yang
ditentukan Allahdalam Al-Quran.[18]
Jumhur ulama berpendapat bahwa
Sunnah berkedudukan sebagai sumber arau dalil kedua sesudah Al-Quran dan
mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur
ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, diantaranya:
a.
Banyak ayat
Al-Quran yang menyuruh umat untuk menaati Rasulullah. Ketaatan kepada
Rasulullah sering dirangkaikan dengan keharusan metaati Allah,
sepertidisebutkan dalam surat An-Nisa 59:
ييُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟
أَطِيعُوا۟
ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟
ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى
ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Yang dimaksud dengan menaati Rasul dakam ayat-ayat tersebut adalah
mengikuti apa-apa yang dikatakan atau dilakukan oleh sebagai tercakup dalam
Sunnahnya.
b.
Ayat-ayat
Al-Quran sering menyuruh umat agar selalu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan menetapkan beriman kepada Rasul bersama dengan kewajiban beriman kepada
Allah, sebagaimana tersebut dalam surat Al-A’raf 158:
قُلْ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ
مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ
فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,
yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan
kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu
mendapat petunjuk
c.
Ayat-ayat
Al-Quran menetapkan bahwa apa yanng dikatakan Nabi Muhammad SAW adalah
berdasarkan Al-Quran, karena beliau tidak berkata menurut kehendaknya sendiri,
tetapi semua itu adalah berdasarkan wahyu yang diturukan oleh Allah sebagimana
dalam surat An-Najm 3-4:
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3)
(4) إِنْ هُوَ إِلا
وَحْيٌ يُوحَى
Dan
tiadalah yang mengucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Jadi
dapat diambil kesimpulan bahwa Sunnah yang disampaikan oleh Rasulullah SAW
memiliki kedudukan hukum dalam Islam, karena selain menjelaskan makna Al-Quran
yang kurang lengkap, Sunnah juga berfungsi sebagai tatanan hukum yang belum
tertulis di Al-Quran.
D.
Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam
1.
Pengertian
Ditinjau
dari segi kebahasaan Ijma’ memiliki dua arti. Makna pertama yakni “ketetapan
hati terhadap sesuatu”. Pengertian tersebut terdapat dalam firman Allah QS.
Yunus (10) ayat 71:[19]
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ
عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ
فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ
غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ
“Maka kepada
Allah-lah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah
sekutu-sekutumu untuk membinasakanku.”
Makna
kedua yakni “kesepakatan terhadap sesuatu” . hal tersebut terdapat pada firman
Allah QS. Yusuf ayat 15:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ
يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ
بِأَمْرِهِمْ هَٰذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
“Maka tatkala
mereka membawanya dan sepakat memasukannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan
dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf:
sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang
mereka tidak ingat lagi.”
Pada
intinya Ijma’ merupakan pengambilan keputusan
para mujahid terhadap kesepakatan mengenai peristiwa yang terjadi pada
umat yang berlandaskan pada Qur’an dan hadits yang dilakukan pada masa setelah
wafatnya Rasulullah.[20]
2.
Kedudukan
ijma’ sebagai hujjah
Para
jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang bersifat qath’i.
Maksudnya yaitu ijma’ berarti dasar penetapan penetapan hukum yang mengikat dan
wajib untuk dipatuhi serta diamalkan. Maka dari itu para jumhur ulama’
menetapkan ijma’ sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan sunnah.
Jumhur ulama’ mengatakan ijma’ merupakan hujjah yang pasti dilandasi dengan
beberapa dalil berikut:[21]
a.
QS. An-Nisa’
(4) ayat 115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang
siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-bruk tempat kembali.”
Ulama
berpendapat bahwa ayat diatas orang yang menentang Rasulullah dan tidak
mengikuti orang mukmin. Ijma’ sendiri merupakan mengikuti jalan orang mukmin.
Maka dari itu mengikuti ijma’ adalah wajib.
b.
QS. Ali-Imran
(3) ayat 110
نۡتُمۡ خَیۡرَ
اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ
الۡمُنۡکَرِ وَ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ الۡکِتٰبِلَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ اَکۡثَرُہُمُ
الۡفٰسِقُوۡنَ
“Kamu adalah
umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”
Ayat diatas
menunjukkan pujian yang diberikan Allah
kepada umat-Nya bahwa mereka merupakan orang-orang yang adil dan pilihan. Oleh
karena itu ijma’ yang dihasilkan adalah hujjah.
3.
Syarat
dan Rukun Ijma’
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa syarat ijma’ ada 3 yakni: (1)
orang yang melakukan ijma’ harus memenuhi persyaratan ijtihad. (2) kesepakatan
tersebut muncul dari mujtahid yang mempunyai pebdirian kuat terhadap agamanya.
(3) mujtahid yang terlibat yaitu mujtahid yang ucapan dan perilakunya terhindar
dari bid’ah.[22]
Rukun ijma’ menurut para ulama’ ushul fiqh ada 4 yakni: (1) dalam
pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ yang terlibat yaitu seluruh mujtahid. (2)
ketika pembahasan hukum mujtahid yang terlibat yakni seluruh mujtahid pada masa
tersebut dari berbagai belahan dunia Islam. (3) kesepakatan dihasilkan setelah
para mujtahid mengemukakan pendapatnya. (4)
hukum yang disepakati yakni hukum syara’ yang aktual dan tidakk ada
dalam al-Qur’an maupun hadits.
4.
Macam-macam
Ijma’
Dilihat dari
segi menghasilkan hukum, ijma’ dibagi menjadi
dua yakni:[23]
·
Ijama’ sarih (
bersih atau murni). Ijma’ berarti Kesepakatan yang dicapai dari berbagai
pendapat mujahid karena setiap mujahid merupakan sumber hukum.
·
Ijma’ sukuti
yakni kesepakatan yang dilakukan mujahid dimana jika para ahli ijtihad diam
atau tidak menyatakan pendapat tetapi diamnya masih dianggap menyetujui
kesepakatan tersebut.
Jika dilihat
dari pihak tersebut maka dibagi menjadi ijma’ qath’i dan dzanni
·
Ijma’ qath’i
yakni suatu kesepakatan terhadap
peristiwa, baik disampaikan melalui lisan maupun tulisan oleh para mujahid yang berisi pendapat dan persetujuan.
·
Ijma’ dzanni
yakni ijma’ yang memiliki kekuatan hukum yang masih bisa diragukan karena masih
berupa dugaan saja tetapi masih bisa digunakan sebagai laandasan hukum.
E.
Kedudukan
Qiyas Sebagai Sumber Hukum
1.
Pengertian
Qiyas
Secara etimologis, kata qiyas
berarti mengukur dan membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Dan secara
terminologis (istilah hukum), menurut Abdul Wahhab Khallaf dalam Mashadir
al-Tasyri’ al-Islam Fima la Nashshafih qiyas adalah menyamakan suatu kasus
yang tidak terdapat hukumnya dalam nash dengan kasus yang hukumnya terdapat
dalam nash, karena adanya persamaan illat dalam kedua kasus itu.[24]
2.
Rukun-Rukun
Qiyas
Membicarakan
syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun
atau unsur-unsur sari qiyas. Rukun atau unsur qiyas itu sebagimana telah
disebutkan sebagi berikut[25]:
a.
Maqis ‘alaih (tempat
meng-qiyas-kan sesuatu padanya)
Syarat
ini dalam istilah yang dikemukakan oleh Al-Mahalli merupakan Mahal Hukum
(wadah hukum). Jadi qiyas disini merupakan salah satu tempat atau wadah hukum
yang memiliki kriteria sebagai berikut:
·
Harus ada dalil
atau petunjuk yang membolehkan meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya.
·
Harus ada
kesepakatan ulama tentang adalanya ‘illat pada ashal maqis ‘alaih
itu.
b.
Maqisl
(sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal).
Untuk
maqis ini kebanyakan ulama menggunakan furu (sesuatu yang
dibangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain). Syarat yang ada pada Maqisl adalah sebagai berikut:
·
‘Illat yang
terdapat pada furu’ memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat
pada ashal.
·
Harus ada
kesemaan antara furu’ itu dengan ashal dalam ‘illat maupun hukum.
·
Ketetapan hukum
pada furu’ itu tidak menyalahi dalil qath’i.
·
Tidak terdapat
“penentang” (hukum lain) yang lebih kuat terhadap hukum pada furu’ dan hukum
dalam penentang itu berlawanan dengan ‘illat qiyas itu.
·
Furu’ itu
tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
·
Furu’ sebagai
maqis itu tidak mendahului ashal sebagai maqis alaih) dalam
keberadaannya.
c.
Hukum
Ashal
Hukum ashal
adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis‘alaih yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang diberlakukan pada furu’.adapun
syarat-syarat hukum ashal adalah:
·
Hukum ashal itu
adalah hukum syara’.
·
Hukum ashal
itu ditetapkan dengan nash, bukan dengan qiyas.
·
Hukum ashal
itu adalah hukum yang tetap berlaku bukan hukum yang telah dinasakhakan.
·
Hukum ashal itu
tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
·
Hukum ashal
disepakati oleh para ulama.
d.
‘Illat
‘Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur
terpenting, karena adanya ‘illatitulah yang menentukan adanya qiyas atau
yang menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada yang lain.
Ø Syarat-syarat ‘illat
·
‘Illat itu
harus mengandung hil\kmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum, dan dapat
dijadikan sebagai kaitan
·
‘illat itu
adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
·
‘illat itu
harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas, dehingga
tidak bercampur dengan yang lainnya.
·
Harus ada
hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi ‘illat.
·
Tidak ada dalil
yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi ‘illat.
Maksudnya, sifat itu menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan oleh suatu
dalil.
3.
Qiyas
Sebagai Dalil Hukum Syara’
Meskipun tidak ada dalil atau
petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara’
untuk menetapkan hukum, tetapi salah satu ulama yaitu Muhammad Abu Zahrah
mengemukakan pendapat mengenai qiyas yang terbagi menjadi 3 kelompok qiyas
dalam hukum syara’, yaitu:[26]
a.
Kelompok
jumhurulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Para ulama
tersebut menggunakan qiyas dalam hal-hal yang tidak terdapat pada sumber hukum
Islam yang lain (Al-Quran, as-Sunnah dan Ijma’) secara tidak berlebihan.
b.
Kelompok
Zhahriryah dan Syi’ah Imamiyah menolak penggunaan qiyas secara mutlak.
Zhahriryah juga menolak penemuan ‘illat atas suatu hukum dan menganngap
tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’.
c.
Kelompok yang
menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Kelompok ini pun berusaha
menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘illat diantara
keduanya.
Para fuqaha berbeda pendapat dalam penggunaan qiyas, yaitu:
Golongan Hanafiyah yang tergolong dalam Madrasah ahli ra’yu banyak
menggunakan qiyas dan mendahulakn qiyas atas hadits ahad yang tidak mashur.
Golongan Ulama Hambali menggunakan qiyas hanya sewaltu dalam
keadaan terpaksa, dan sudah diteliti tidka menjumpai hadits walaupun yang dhoif
sekalipun sebagai landasan.
Golongan Maliki dan Syafi’i berdiri diantara kedua golongan itu
dalam menggunakan qiyas apabila tidak dijumpai di dalam Al-Quran, Sunnah Rasul
dan Ijma’.[27]
F.
Penutup
Dari artikel yang tertulis diatas kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa agama Islam dalam memecahkan masalah dan atau membuat suatu hukum untuk
haruslah menggunkan sumber hukum yang disepakati oleh kebanyakan jumhur ulama,
dan sumber hukum tersebut adalah Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Sumber hukum yang pertama adalah Al-Quran yang merupakan Firman
Allah SWT yang diturunkan melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW secara mutawatir, membacanya akan mendapat pahala. Kemudian sumber
hukum yang kedua adalah As-Sunnah, As-Sunnah atau Hadits ini menurut ulama
ushul merupakan apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam
bentuk ucapan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah) maupun pengakuan
(taqririyah) dan sifat Nabi Muhammad SAW. Kedua sumber tersebut
merupakan hal yang paling utama sebagai rujukan para ulama, dan jika suatu
hukum tidak tertulis dalam Al-Quran dan As-Sunnah maka para ulama/ mujtahid
melakukan Ijma’ dalam memecahkan sebuah masalah yang berhubungan dengan hukum
syara’. Lalu sumber hukum yang terakhir adalah Qiyas yaitu cara para ulama untuk
menyamakan atau membandingkan hukum yang belum ada ke sebuah masalah yang sudah
ada dikarenakan adanya persamaan ‘illat.
DAFTAR
PUSTAKA
Praja S, Juhaya.2015.Ilmu
Ushul Fiqih. (Bandung: CV Pustaka Setia).
Mardani.2010.Hukum
Islam (pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia), (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar).
Dahlan, Abd.
Rahman.2010.Ushul Fiqh. (Jakarta: Amzah).
Syafe’i , Rachmat.2015.
Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: CV Pustaka Setia).
Syarifudin, Amir.
1997.Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos wacana Ilmu).
Zaidan, Abdul
Karim. 2008.Pengantar Studi Syariat. (Jakarta: Robbani Press)
Marzuki. 2013. Hukum
Islam (Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep dan Permasalahan Hukum Islam di
Indonesia).(Yogyakarta: Ombak).
Hamang, M.
Nasri. 2010. Kehujahan Hadis Ahad Menurut Mazhab Suni dan Syiah, vol. 14
No 3.
Wahab, Syekh
Abdul. 2005. Ilmu Usul Fikih. (Jakarta: Rineka Cipta).
Susiadi As. 2014.
Ijma’ dan Isu Kontempore. Asas. Vol.6 No2.
Mardani. 2010.Hukum
Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia). (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar).
Catatan:
1.
Similarity 15%.
2.
Hindari
menggunakan kata “kita” dalam tulisan ilmiah.
3.
Jika menulis
judul buku, tulis dengan miring (italic).
4.
Dalam tulisan
ilmiah, tidak perlu ada penulisan gelar (Prof., Dr., Ustaz dll).
5.
Mana contoh
ijma’?
6.
Macam-macam
qiyas dan contohnya kok tidak ada?
[1]Abd.
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 113-114
[2] Juhaya S
Praja, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 49
[3]Ibid,
hlm. 50
[4] Abd.
Rahman Dahlan, Op.cit., (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 117
[5] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 51-54
[7] Dr.
Marzuki, M.Ag, Pengantar Studi Hukum Islam, (Yogyakarta:Penerbit Ombak, 2013),
hlm. 87-90
[8] Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997), hlm. 71
[9]
Ibid, hlm. 72
[10] Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm.
231-232
[11] Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: LOGOS Wacana
Ilmu, 1997), hlm.73
[12]Ibid,
hlm. 74-75
[13] Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: LOGOS Wacana
Ilmu, 1997), hlm.76-81.
[14]Ibid.
hlm.81
[15] Dr.
Marzuki, M.Ag., Hukum Islam (Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep dan
Permasalahan Hukum Islam di Indonesia), (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 94.
[16] Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: LOGOS Wacana
Ilmu, 1997), hlm.85.
[17] M.
Nasri Hamang, Kehujahan Hadis Ahad Menurut Mazhab Suni dan Syiah, vol.14
No 3, STAIN Pare-Pare 2010, hal.413-415.
[18] Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: LOGOS Wacana
Ilmu, 1997), hlm.95-96.
[19] Abd.
Rahman Dahlan, Op.Cit., hlm. 145-146
[20] Syekh
Abdul Wahab, Ilmu Usul Fikih, (jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 48
[21] Abd.
Rahman Dahlan, Op.cit., hlm. 148-150
[22] Susiadi
As, “Ijma’ dan Isu Kontemporer”. Asas. Vol.6 No2, juli 2014, hlm. 125
[23] Ibid,
hlm. 56-57
[24] Dr.
Mardani, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.150-151.
[25] Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1,cet 3 (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2008),hlm. 342-356.
[26]Ibis,
hlm.323-324.
[27] Dr.
Mardani, Hukum Islam (pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia),
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010), hlm.150.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar