SHALAT
1 : KETENTUAN SHALAT FARDHU, BACAAN SHALAT FARDHU, KETENTUAN WAKTU SHALAT
FARDHU, DAN SUJUD SAHWI
Oleh
:
Nabilla
Agushinta (16110149)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Shalat merupakan
kewajiban seluruh umat Islam. Shalat terdapat dalam Rukun Islam yang kedua.
Melaksanakan kewajiban shalat adalah berdasar pada perintah Allah SWT yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dilakukan oleh umatnya. Untuk melaksanakan ibadah salat ini kita
perlu tahu tentang ilmunya terkait dengan syarat, rukun, fardhu, gerakan serta
bacaan, dan apa-apa yang membatalkan salat sehingga salat kita dapat sah dan
diterima oleh Allah SWT.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana tata
cara dan ketentuan dalam shalat ?
2. Apa saja bacaan
– bacaan dalam shalat ?
3. Bagaimana
ketentuan sujud sahwi ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui tata cara dan ketentuan dalam pelaksaan shalat.
2. Untuk
mengetahui bacaan – bacaan dalam shalat.
3. Untuk
mengetahui ketentuan sujud sahwi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Singkat dan Tata Cara Shalat
1.
Pengertian Shalat
Menurut Bahasa Arab, pengertian
shalat adalah ‘Doa’. Sedangkan pengertian shalat menurut istilah yaitu, ibadah
dalam bentuk perkataan dan perbuatan melaksanakannya dengan menggunakan hati
yang ikhlas dan khusyu’, kegiatan ini dimulai dengan takbir dan berakhir dengan
salam dan pengerjaannya berdasarkan pada syarat dan rukun shalat yang telah
ditentukan syara’.[1]
Dalam melakukan ibadah salat, perlu
ditekankan bahwa kita diharuskan untuk mengetahui syarat dan rukun salat.
Karena pada dasarnya sebuah ibadah hanya akan menjadi penggugur kewajiban
ketika kita tidak mengetahui ilmunya. Dapat dianalogikan seseorang yang hendak
menanam padi, ketika orang tersebut tidak tahu ilmu menanam padi, bagaimana
sawah harus dibajak dahulu, padi harus disemai di penyemaian dulu baru
dipindahkan di ladang, salah-salah orang tersebut akan menanam bulir per bulir
padi di ladang langsung seperti menanam jagung.
Ilmu yang perlu diketahui oleh
setiap mukallaf terkait hubungannya dengan salat adalah syarat (selanjutnya
akan dibagi menjadi syarat wajib dan syarat sah salat), rukun, waktu yang
diwajibkan dan yang dilarang untuk salat, yang membatalkan dan tidak
memperbolehkan salat, gerakan dan bacaan, serta tata cara atau urutan dalam
melaksanakan salat. Berikut akan kami jelaskan satu persatu terkait hal
tersebut.
2.
Syarat Wajib Shalat
Syarat wajib seperti namanya adalah syarat yang membuat seseorang
terkena hukum wajib melaksanakan salat. Siapa saja yang tidak memenuhi
syarat-syarat berikut ini tidaklah wajib baginya untuk melaksanakan salat.[2]
a.
Islam
Selain orang islam tidaklah wajib baginya melaksanakan salat,
walaupun mereka akan tetap dihukum karena tidak melaksanakannya.
b.
Berakal
Dalam hal ini orang yang hilang akalnya baik karena sakit ataupun
hal lainnya seperti gila, pingsan, dan ataupun tidur tidaklah wajib
melaksanakan salat. Ada perbedaan pendapat terkait dengan hal tersebut,
pendapat pertama dari ulama Syafi’iyah yang beranggapan bahwa jika seseorang
hilang akal dalam seluruh waktu salat tertentu, misal salat zuhur, maka
hilanglah kewajibannya untuk melaksanakan salat tersebut. Sementara ulama
Hanafiyah beranggapan tidak gugur kewajiban baginya, kecuali jika hilang
akalnya telah melewati enam waktu salat. Perbedaan juga terjadi pada kewajiban
mengganti seperti pendapat ulama Syafi’iyah namun tidak wajib mengganti menurut
ulama Hanafiyah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
رُفِعَالْقَلَمُعَنْثَلاَثَةٍ:
عَنِالْمَجْنُوْنِحَتَّىيَفِيْقَ،وَعَنِالنَّائِمِحَتَّىيَسْتَيْقِظَ،وَعَنِالصَّبِيِّحَتَّىيَحْتَلِمَ
“Terangkat pena (tidak dicatat perbuatan) dari
tiga orang; orang yang tidur sampai dia bangun, bayi sampai dia mengalami mimpi
basah (baligh), dan orang gila sampai dia sembuh.” (H.R. Ahmad dan Ashhabus Sunan)
c.
Baligh
Seperti
yang telah disebutkan dalam hadis di atas, bahwa tidaklah wajib salat bagi anak
yang belum baligh.
d.
Sampai seruan shalat kepadanya
Ketika
sebuah kaum tidak sampai ajaran islam kepadanya tidaklah sampai perintah salat
kepadanya. Mereka tidak tahu maka tidak wajib bagi mereka untuk mengerjakan
salat. Hal ini dapat kita sambungkan terhadap syarat wajib salat berakal yang
maksud dari berakal ini adalah memiliki ilmu tentang hal tersebut, jadi dapat
dianggap suatu kaum tersebut tidak berakal dalam arti tidak ada dakwah yang
sampai pada mereka.
e.
Normal panca inderanya (sejak lahir)
Yang
ketika tidak normal maka akan sulit baginya untuk mengetahui tanda-tanda
masuknya salat, ataupun mengetahui bagaimana caranya salat. Namun ketika yang
tidak normal adalah indera pengecap dan peraba, maka orang tersebut harus tetap
melaksanakan salat.
3.
Syarat Sah Shalat
Maksud dari syarat sah adalah syarat yang harus ada sebelum
melaksanakan salat agar sah dan dapat diterima salat orang tersebut. Dalam
kitab Safinatun Najah karya Syekh Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Abdullah bin
Sumair Al-Hadhromi dijelaskan bahwa syarat sah salat ini ada delapan.
(فَصْلٌ) شُرُوْطُالّصَلَاةِثَمَانِيَّةٌ : طَهَارَةُالْحَدَثَيْنِوَالَّطَهَارَةُعَنِالّنَجَاسَةِفِيْالّثَوْبِوَالْبَدَنِوَالْمَكَانِوَسَتْرُالْعَوْرَةِوَاسْتِقْبَالُالْقِبْلَةِوَدُخُوْلُالْوَقْتِوَاْلعِلْمُبِفَرْضِيَّتِهَاوَأَنْلَايَعْتَقِدَفَرْضًامِنْفُرُوْضِهَاسُنَّةًوَاجْتِنَابُالْمُبْطِلَات
“Syarat sah salat ada delapan; suci dari dua
hadas, suci dari najis pada pakaian, badan, dan tempat, menutup aurat,
menghadap kiblat, telah masuk waktu, tahu akan rukun-rukun salat, dapat
membedakan fardhu dan sunah salat (sehingga tidak meniatkan fardhu sebagai
sunah dan sebaliknya), serta menjauhi semua yang membatalkan salat. ”
Selain kedelapan syarat tersebut, ulama Hanafiyah dan
Hanabilah beranggapan bahwa niat juga termasuk sebagai syarat sah salat, namun
ulama Malikiyah dan Syafi’iyah menganggapnya sebagai rukun salat.
Sebagai penjelasan tambahan, telah kita ketahui bahwa
kiblat bagi umat islam adalah Kakbah dan tidak sah salat bagi mereka tanpa
menghadapnya kecuali dalam empat hal yakni salat di atas kendaraan, salat dalam
keadaan dipaksa dan salatnya orang sakit ketika tidak mampu menghadap sendiri
serta tidak ada yang menghadapkan kiblat.
Anggota badan yang harus ditutupi atau disebut dengan
aurat bagi laki-laki adalah dari pusar sampai ke lutut, dan bagi perempuan
adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Namun yang
dimaksud dari pusar sampai lutut adalah termasuk pusar dan lututnya jadi ada
baiknya ketika ditutup dari atas pusar sampai bawah lutut. Dan bagi perempuan
juga perlu menutup bagian tepi dari wajah seperti dagu dan bagian depan
telinga, dan juga bagian tepi dari telapak tangan. Aurat yang harus ditutup
dalam salat ini haruslah tertutup dari depan, belakang, kiri, kanan, dan atas.
Jadi ketika seseorang sudah menutup auratnya namun masih terlihat dari bawah,
misal sarung, maka tetaplah sah salat orang tersebut. Dan juga penutup ini
harus mampu menutupi warna kulit walaupun tipis, serta tidak menampakkan bentuk
tubuh, dan harus dipakai.[3]
Masuknya waktu salat juga menjadi salah satu syarat
sahnya salat, sebagai perwakilan dalil yang sudah mencakup keseluruhan waktu
dari salat yang diwajibkan akan kami sajikan salah satu hadis yang menurut Imam
Bukhari sebagai yang paling sahih, diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a.
أَخْبَرَنَاسُوَيْدُبْنُنَصْرٍقَالَأَنْبَأَنَاعَبْدُاللَّهِبْنُالْمُبَارَكِعَنْحُسَيْنِبْنِعَلِيِّبْنِحُسَيْنٍقَالَأَخْبَرَنِيوَهْبُبْنُكَيْسَانَقَالَحَدَّثَنَاجَابِرُبْنُعَبْدِاللَّهِقَالَجَاءَجِبْرِيلُعَلَيْهِالسَّلَامإِلَىالنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَحِينَزَالَتْالشَّمْسُفَقَالَقُمْيَامُحَمَّدُفَصَلِّالظُّهْرَحِينَمَالَتْالشَّمْسُثُمَّمَكَثَحَتَّىإِذَاكَانَفَيْءُالرَّجُلِمِثْلَهُجَاءَهُلِلْعَصْرِفَقَالَقُمْيَامُحَمَّدُفَصَلِّالْعَصْرَثُمَّمَكَثَحَتَّىإِذَاغَابَتْالشَّمْسُجَاءَهُفَقَالَقُمْفَصَلِّالْمَغْرِبَفَقَامَفَصَلَّاهَاحِينَغَابَتْالشَّمْسُسَوَاءًثُمَّمَكَثَحَتَّىإِذَاذَهَبَالشَّفَقُجَاءَهُفَقَالَقُمْفَصَلِّالْعِشَاءَفَقَامَفَصَلَّاهَاثُمَّجَاءَهُحِينَسَطَعَالْفَجْرُفِيالصُّبْحِفَقَالَقُمْيَامُحَمَّدُفَصَلِّفَقَامَفَصَلَّىالصُّبْحَثُمَّجَاءَهُمِنْالْغَدِحِينَكَانَفَيْءُالرَّجُلِمِثْلَهُفَقَالَقُمْيَامُحَمَّدُفَصَلِّفَصَلَّىالظُّهْرَثُمَّجَاءَهُجِبْرِيلُعَلَيْهِالسَّلَامحِينَكَانَفَيْءُالرَّجُلِمِثْلَيْهِفَقَالَقُمْيَامُحَمَّدُفَصَلِّفَصَلَّىالْعَصْرَثُمَّجَاءَهُلِلْمَغْرِبِحِينَغَابَتْالشَّمْسُوَقْتًاوَاحِدًالَمْيَزُلْعَنْهُفَقَالَقُمْفَصَلِّفَصَلَّىالْمَغْرِبَثُمَّجَاءَهُلِلْعِشَاءِحِينَذَهَبَثُلُثُاللَّيْلِالْأَوَّلُفَقَالَقُمْفَصَلِّفَصَلَّىالْعِشَاءَثُمَّجَاءَهُلِلصُّبْحِحِينَأَسْفَرَجِدًّافَقَالَقُمْفَصَلِّفَصَلَّىالصُّبْحَفَقَالَمَابَيْنَهَذَيْنِوَقْتٌكُلُّهُ
“Telah mengabarkan kepada kami (Suwaid bin Nashr) dia berkata;
Telah memberitakan kepada kami (Abdullah bin Al Mubarak) dari (Husain bin Ali
bin Husain) dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku (Wahab bin Kaisan) dia
berkata; telah menceritakan kepada kami (Jabir bin Abdullah) dia berkata,
"Jibril 'alaihissalam datang kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam
ketika matahari telah condong ke barat, ia berkata. 'Wahai Muhammad, bangkitlah
dan tegakkanlah salat!' Lalu beliau salat Zhuhur ketika matahari condong ke
barat. Kemudian dia menetap hingga tatkala bayangan seseorang seperti aslinya.
Ia datang pada waktu Ashar, lantas berkata, 'Wahai Muhammad, bangkitlah dan
tegakkanlah salat!' Lalu beliau salat Ashar, Kemudian dia menetap. Ia datang lagi
ketika matahari telah terbenam dan berkata, 'Bangkit dan tegakkan salat
Maghrib!' lalu beliau salat Maghrib ketika matahari terbenam. Kemudian dia
menetap dan tatkala awan merah telah hilang Jibril datang dan berkata
'bangkitlah dan tegakkan salat Isya!' Lalu beliau salat Isya, dan saat fajar
terbit pada waktu pagi, ia berkata, 'Bangkitlah dan tegakkan salat!' Lalu
beliau salat Subuh. Kemudian besoknya ia datang lagi ketika bayangan orang sama
seperti aslinya dan berkata, 'Wahai Muhammad, bangkitlah dan tegakkanlah
salat!, lalu beliau salat Zhuhur. Kemudian Jibril datang lagi tatkala bayangan
(benda) seperti dua kali lipatnya, ia berkata, 'Wahai Muhammad, tegakkanlah
salat! lalu beliau salat Ashar. Kemudian Jibril datang lagi untuk salat saat
matahari terbenam dan hanya satu waktu. Ia berkata, 'Wahai Muhammad,
tegakkanlah salat!' Lalu beliau salat Maghrib. Ia juga datang untuk salat Isya
ketika sepertiga malam berlalu, 'Wahai Muhammad, tegakkanlah salat!, lalu
beliau salat Isya. Kemudian Jibril datang untuk salat Subuh ketika sudah terang
sekali, ia berkata, 'Wahai Muhammad, tegakkanlah salat! lalu beliau salat
subuh. Lalu beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Semua waktu
salat adalah di antara dua waktu ini." (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).
Dari hadis di atas dapat kita ketahui waktu-waktu
yang diwajibkan salat adalah:
a.
Salat Dhuhur, yakni ketika matahari mulai
tergelincir sampai panjang bayangan benda sama dengan benda aslinya (waktu
salat ashar).
b.
Salat Ashar, yakni ketika panjang bayangan benda
sama dengan benda aslinya sampai bayangan benda sama dengan dua kali benda
aslinya, belum sampai tenggelam matahari.
c.
Salat Maghrib, yakni ketika matahari mulai terbenam
sampai tiba waktu isya.
d.
Salat Isya, yakni ketika telah hilang tanda merah
di langit sampai sepertiga malam terakhir.
e.
Salat Subuh, yakni ketika fajar telah muncul sampai
langit mulai terang (terbit matahari).
Selain waktu-waktu yang diwajibkan untuk salat,
juga terdapat waktu yang mana diharamkan bagi kita untuk melaksanakan salat,
kami akan menyajikan hadis riwayat Uqbah bin Amir sebagai dalil dari
diharamkannya waktu ini.
أَخْبَرَنَاعَمْرُوبْنُعَلِيٍّقَالَحَدَّثَنَاعَبْدُالرَّحْمَنِقَالَحَدَّثَنَامُوسَىبْنُعَلِيِّبْنِرَبَاحٍقَالَسَمِعْتُأَبِيقَالَسَمِعْتُعُقْبَةَبْنَعَامِرٍالْجُهَنِيَّقَالَثَلَاثُسَاعَاتٍكَانَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَنْهَانَاأَنْنُصَلِّيَفِيهِنَّأَوْنَقْبُرَفِيهِنَّمَوْتَانَاحِينَتَطْلُعُالشَّمْسُبَازِغَةًحَتَّىتَرْتَفِعَوَحِينَيَقُومُقَائِمُالظَّهِيرَةِحَتَّىتَزُولَالشَّمْسُوَحِينَتَضَيَّفُالشَّمْسُلِلْغُرُوبِ
“Telah mengabarkan kepada kami ('Amru bin
'Ali) dia berkata; telah menceritakan kepada kami ('Abdurrahman) dia berkata;
telah menceritakan kepada kami (Musa bin 'Ali bin Rabah) dia berkata; aku
mendengar (bapakku) berkata; aku mendengar ('Uqbah bin 'Amir Al Juhani) dia
berkata; "Ada tiga waktu yang ketiganya kita dilarang Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam untuk shalat pada waktu tersebut, atau menguburkan
orang-orang yang telah meninggal di antara kita, yaitu: ketika terbit matahari
hingga naik, ketika siang hari hingga tergelincir dan ketika matahari mendekati
terbenam.”[4]
4.
Rukun Shalat
Sama halnya dengan syarat, rukun juga harus ada dalam salat, namun
perbedaan dari keduanya terletak pada tempat atau waktu melaksanakannya.
Seperti telah kami jelaskan bahwa syarat terletak sebelum melaksanakan salat
makan rukun ini ada pada saat kita melaksanakan salat tersebut. Rukun ini dapat
berupa perkataan ataupun perbuatan dan juga harus dikerjakan secara runtut agar
salat seseorang sah menurut syariat. Berikut adalah rukun-rukun salat:
a.
Niat
Segala
perbuatan atau amalan haruslah didasarkan pada niat, karena inilah penentu
benar tidaknya sebuah perbuatan untuk pertama kalinya semisal kita niat
memberikan sesuatu untuk pamer kepada orang lain, maka hilang sudah kebaikan
yang seharusnya kita dapat dari hal tersebut. Seperti halnya dengan salat
ketika salah niat kita maka habis sudah salat kita.
Dalam perihal salat niat ini dapat dibagi menjadi dua, yang pertama
adalah niat billisan yang diucapkan oleh lisan dan niat dalam hati untuk
melaksanakan salat. Jadi langkah untuk meniatkan salat adalah membaca niat
secara lisan, menanamkan dalam hati, lalu takbiratul ihram dengan menetapkan
niat tersebut tetap di dalam hati.[5] Sedangkan lafal dari niat tersebut dibagi
lagi menjadi tiga dan ketiganya adalah syarat minimal untuk sahnya niat
tersebut yakni; fi’li, ta’rid, dan ta’yin. Fi’li berarti niat untuk melakukan
salat yakni lafal usholli. Ta’rid berarti meniatkan untuk salat fardhu yakni
lafal fardha. Ta’yin berarti menjeniskan salatnya semisal salat dhuhur maka
lafal yang dimaksud adalah lafal dhuhri. Dan ketika kita salat menjadi makmum
maka kita juga diharuskan untuk meniatkan menjadi makmum (menambah lafal
makmuman).[6]
b.
Takbiratul Ikhram
Sesuai namanya takbiratul ihram adalah bacaan takbir ‘Allahu Akbar’
yang dibaca ketika memulai salat dengan mengangkat tangan dengan angkatan
setinggi telinga, diusahakan jempol lurus dengan telinga dan menghadapkan kedua
telapak tangan ke arah kiblat dengan tanpa merenggangkan jari-jari (sunah) dan
disertai dengan lafal Allah dan Akbar yang tidak boleh diganti dengan lafal
lain ataupun menambahi huruf seperti wawu mati ataupun tasydid dan dibaca
tertib tanpa dibolak-balik serta tanpa jeda di antara kedua lafal walaupun
sebentar.[7]
c.
Berdiri dalam shalat fardu apabila mampu
d.
Membaca surat Al-Fatihah
Membaca surah al-Fatihah pada setiap rakaat salat menjadi sebuah
rukun yang harus dikerjakan baik dalam salat fardhu ataupun sunah.
e.
Ruku’ disertai tuma’ninah
Terdapat banyak sekali dalil dari kewajiban ruku’ dalam Al-Quran
yang salah satunya adalah firman Allah:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواارْكَعُواوَاسْجُدُواوَاعْبُدُوارَبَّكُمْوَافْعَلُواالْخَيْرَلَعَلَّكُمْتُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.”
Cara untuk melaksanakan gerakan ruku’ adalah dengan
menekuk punggung seperti hendak sujud, meletakkan kedua tangan sebagai
penyangga tubuh dengan telapak tangan mendekap kedua lutut, punggung diusahakan
lurus, dan diawali dengan takbir yang disertai mengangkat tangan seperti saat
takbiratul ihram.
f.
I’tidal disertai tuma’ninah
Yakni sikap berdiri bangun dari ruku’ yang harus dilakukan dengan
thuma’ninah atau berhenti sejenak yang dalam hal ini dijelaskan bahwa sejenak
yang dimaksud adalah cukupnya bacaan subhanallah di dalamnya. Cara dari gerakan I’tidal adalah
dengan bangun lalu mengangkat tangan seperti saat takbiratul ihram dengan
mengucap Allahu Akbar atau Samiallahu liman hamidah, lalu menurunkan tangan dan
diposisikan agar tangan langsung terhenti gerakannya dan tidak
melambai-lambaikannya.
g.
Sujud disertai tuma’ninah
Sujud adalah tanda bahwa kita sebagai makhluk memiliki derajat yang
amat sangat rendah dibanding dengan sang khalik dengan cara meletakkan bagian
kepala kita yang umumnya menjadi bagian terpenting dan puncak dari kehormatan
manusia ke lantai, tempat yang biasanya diinjak injak. Tata cara sujud sendiri
adalah dengan meletakkan tujuh tulang atau anggota badan yakni kening, kedua telapak
tangan, kedua lutut, dan kedua ujung kaki. Ulama Hanabilah menambahkan bahwa
hidung termasuk dalam syarat ini karena dianggap bersatu dengan tulang kening,
namun imam mazhab lain menghukuminya dengan hukum sunah.
h.
Duduk diantara dua sujud disertai tuma’ninah
Tiga dari empat mazhab kecuali mazhab Hanafi sepakat bahwa duduk
diantara dua sujud menjadi rukun salat, sedangkan ulama Hanafiyah beranggapan
bahwa duduk ini dihukumi sunah. Cara dari gerakan ini adalah dengan duduk
menekuk kaki kiri lalu memasukkan ke bagian bawah paha kanan lalu mendudukinya,
kaki kanan lurus dan ujung jari ditegakkan di lantai.
i.
Duduk tasyahud akhir
Cara duduk tasyahud akhir ini hampir sama dengan duduk antara dua
sujud hanya berbeda pada letak kaki kiri yang ditembuskan sampai di bawah
tulang kering kaki kanan (tidak diduduki).
j.
Shalawat pads Nabi Muhammad SAW pada tasyahud akhir
Bacaan shalawat ini berfungsi sebagai penghormatan kepada beliau
dengan sekurang-kurangnya ucapan “allahumma shalli ‘ala Muhammad.”
k.
Salam sekali
Kecuali mazhab Hanabi beranggapan salam yang wajib hanya sekali
sementara ulama Hanabilah beranggapan kedua salam adalah wajib hukumnya.
l.
Tertib
Seperti telah dijelaskan pada awal bahasan, setiap rukun harus
dikerjakan secara runtut dan berurutan, tanpa dibolak-balik.
5.
Hal – Hal yang Membatalkan Shalat
a.
Meninggalkan salah satu rukun atau menambahinya seperti menambah
rakaat salat.
b.
Meninggalkan salah satu syarat seperti hilangnya akal, berhadas,
terkena najis, ataupun membuka aurat.
c.
Berkata dengan sengaja sebanyak dua huruf walaupun tidak memiliki
arti ataupun satu huruf yang memiliki arti. [8]
d.
Banyak bergerak (tiga kali) yang gerakan tersebut dilakukan secara
beruntun, jikalau gerakan tersebut tidak beruntun maka tidak apa-apa.
e.
Makan atau minum.[9]
B.
Bacaan – Bacaan dalam Shalat
1.
Bacaan niat
Contoh
bacaan niat shalat Subuh :
اُصَلّى فَرْضَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ
مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya :
Aku
berniat shalat fardu Shubuh dua raka'at menghadap kiblat sebagai ma'mum karena
Allah Ta'ala
2.
Takbiratul Ihram
اَللهُ اَكْبَرْ , bacaan Takbiratul
Ihram dilakukan dengan mengangkat kedua tangan sampai setinggu telinga atau
ada beberapa yang meriwayatkan hingga setinggi bahu.[10]
3.
Doa iftitah
Dalam bacaan doa iftitah ini, ada beberapa ulama yang berbeda
pendapat dan terdapat dua bacaan iftitah yang digunakan. Bacaan iftitah 1
umumnya digunakan oleh NU dan bacaan iftitah 2 umumnya digunkan oleh
Muhammadiyah.
Bacaan
doa iftitah 1:
اَللهُ
اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً
وَأَصِيْلاً. أِنِّ وَجَّهْةُ وَجْهِيَ ِللذِيْ فَطَرَالسَّمَوَاتِ وَاْلآَرْضَ
حَنِيِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ صَلاَتِيْ
وَنُسُكِيْ وَمْحْيَايَ وَمَمَاتِيْ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَشَرِيْكَ لَهُ
وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Allah
Maha Besar sebesar-besarnya. Dan puji-pujian bagi Allah sebanyak-banyaknya. Dan
maha suci Allah siang dan malam. Kuhadapkan mukaku, kepada yang menjadikan
langit dan bumi, aku cenderung lagi berserah kepada Allah dan bukanlah aku dari
golongan orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya sembahyangku,
ibadatku, hidupku dan matiku kuserahkan hanya pada Allah tuhan seru sekelian
alam. Sekali-kali tidaklah aku menyekutukanNya . Dan dengan demikian aku
ditugaskan, dan aku adalah dari golongan orang-orang Muslim (Islam).”
Bacaan
doa iftitah 2:
4.
Al-Fatihah
Setelah membaca doa Iftitah, Nabi Muhammad membaca Surat
Al-Fatihah. Terkadang Nabi Muhammad membaca Basmallah dengan Jahr dan terkadang
membacanya dengan sirri.[12]
Terdapat tiga pendapat para mujtahid dalam mekanis pembacaan Basmallah dalam
Shalat. Pembacaan Basmallah baik secara sirri atau jahr sangat dilarang mutlak
oleh Imam Malik ketika membaca Al Fatihah ataupun surat lainnya dalam Shalat
Wajib, namun diperbolehkan dalam shalat Sunnah. Sedangkan yang berpendapat
bahwa harus membaca Basmalah baik sirri maupun jahr yaitu Imam Abu hanifah,
al-Tsauri, dan Ahmad bin Hanbal. Sedangkan Imam yang memperbolehkan membaca
Basmallah secara Sirri pada shalat yang bacaannya sirri ( Shalat Dhuhur dan
Ashar), dan membaca jahr pada shalat yang bacaannya jahr (Shalat Subuh,
Maghrib, dan Isya’), yaitu Imam Syafi’i.[13]
5.
Surat Surat Pendek atau ayat Al Qur’an Lain
Setelah membaca Surat Al- Fatihah, maka disunnahkan membaca Surat
Pendek, dan berbeda surat tiap rakaat pertama dan kedua.
6.
Takbir
اَللهُ اَكْبَرْ
7.
Bacaan Rukuk
Bacaan
rukuk ini dibaca 3x
Ada
dua versi bacaan rukuk:
Bacaan
Rukuk (1)
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ
وَبِحَمْدِهِ
“Maha
Suci Tuhanku Yang Maha Agung Dan Dengan Memuji-Nya.”
Bacaan
Rukuk (2)
سبحانك اللهم ربنا وبحمدك ، اللهم
اغفر لي
“Mahasuci
Engkau ya Allah wahai Tuhanku dan dengan memujiMu ampunilah aku”[14]
8.
Bacaan I’tidal
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
”Allah mendengar orang yang
memuji-Nya.”
9.
Bacaan berdiri setelah rukuk
Ada
dua versi Dzikir yang biasa dibaca setelah I’tidal :
Bacaan
(1)
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ
السَّموَاتِ وَمِلْءُ اْلاَرْضِ وَمِلْءُمَاشِئْتَ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ
”Ya Allah, Tuhan kami bagi-Mu
segala puji, sepenuh langit dan bumi dan sepenuh barang yang Engkau kehendaki
sesudah itu.”
Bacaan (2)
رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ حَمْدًا
كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
“Ya Tuhan kami, (hanya) untukMu lah
(segala) pujian yang banyak, baik, dan diberkahi padanya ”
10.
Bacaan Doa Qunut
Doa qunut merupakan doa yang dibaca khusus pada Shalat subuh, doa
ini dibaca saat selesai I’tidal. Namun ada golongan yang meyakini bahwa doa
qunut tidak harus dibaca saat melaksanakan shalat subuh, sehingga mereka tidak
membacanya. Bagi yang beranggapan tidak perlu membacanya karena mereka meyakini
bahwa doa qunut adalah Sunnah, karena Rasulullah tidak pernah meninggalkan
membaca doa Qunut ketika shalat subu walaupun tidak sedang dalam bahaya, dan
doa Qunut juga dilakukan oleh empat ulama Khulafaur Rasyidin dan tidak pernah
putus mengamalkannya.[15]
اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ
وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ
وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ
وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ
وَقِنِيْ شَرَّمَا قََضَيْتَ،
فَاِ نَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ
وَاِ نَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ
وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ
وَاَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدَنَا
مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
“Ya Allah
tunjukkanlah akan daku sebagaiman mereka yang telah Engkau tunjukkan
Dan berilah
kesihatan kepadaku sebagaimana mereka yang Engkau telah berikan kesihatan
Dan peliharalah
daku sebagaimana orang yang telah Engkau peliharakan
Dan berilah
keberkatan bagiku pada apa-apa yang telah Engkau kurniakan
Dan selamatkan
aku dari bahaya kejahatan yang Engkau telah tentukan
Maka
sesungguhnya Engkaulah yang menghukum dan bukan kena hukum
Maka
sesungguhnya tidak hina orang yang Engkau pimpin
Dan tidak mulia
orang yang Engkau memusuhinya
Maha Suci
Engkau wahai Tuhan kami dan Maha tinggi Engkau
Maha bagi
Engkau segala pujian di atas yang Engkau hukumkan
Ku memohon
ampun dari Engkau dan aku bertaubat kepada Engkau
(Dan
semoga Allah) mencurahkan rahmat dan sejahtera ke atas junjungan kami Nabi
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.”
11.
Bacaan sujud
Ada
dua versi bacaan sujud:
Bacaan
(1)
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلاَعْلَى
وَبِحَمْدِهِ
“Maha
Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi Dan Dengan Memuji-Nya”
Bacaan
sujud (2)
سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ رَبَّناَ
وَبِحَمْدِكَ اَللّهُمَّ اغْفِرْلِى
“Segala puji bagi-Mu, Ya Allah Tuhan kami, dan
dengan memuji-Mu Yaa Allah ampunilah aku”.
12.
Bacaan duduk diantara dua sujud
Ada
dua versi bacaan duduk diantara dua sujud :
Bacaan
(1)
رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ
وَاجْبُرْنِيْ وَارْفَعْنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَعَافِنِيْ وَاعْفُ
عَنِّيْ
“Ya
Allah,ampunilah dosaku,belas kasihinilah aku dan cukuplah segala kekuranganku
da angkatlah derajatku dan berilah rezeki kepadaku,dan berilah aku petunjuk dan
berilah kesehatan padaku dan berilah ampunan kepadaku”
Bacaan
(2)
اَللّهُمَّ اغْفِرْلِى وَارْحَمْنِى
وَاجْبُرْنِى وَاهْدِنِى وَارْزُقْنِى
“Ya Allah
ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupilah aku, tunjukilah aku, dan berilah
rizki untukku”
13.
Bacaan tasyahud awal
Ada
dua versi bacaan doa tasyahud awal:
Bacaan
(1)
اَلتَّحِيَّاتُ
الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ اَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِاللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ اَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَاَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهُ، اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
“Segala
penghormatan yang berkat solat yang baik adalah untuk Allah. Sejahtera atas
engkau wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkatannya. Sejahtera ke atas kami
dan atas hamba-hamba Allah yang soleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad itu adalah pesuruh Allah. Ya Tuhan
kami, selawatkanlah ke atas Nabi Muhammad.”
Bacaan
(2)
اَلتَّحِيَّاتُ لِلّهِ وَالصَّلَوَاتُ
وَالطَّيِّباَتُ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهاَ النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ. اَلسَّلاَمُ
عَلَيْناَ وَعَلَى عِباَدِاللهِ الصَّالِحِيْنَ.
أَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ
اللهِ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Segala kehormatan, kebahagiaan dan
kebagusan adalah kepunyaan Allah, Semoga keselamatan bagi Engkau, ya Nabi
Muhammad, beserta rahmat dan kebahagiaan Allah. Mudah-mudahan keselamatan juga
bagi kita sekalian dan hamba-hamba Allah yang baik-baik. Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan
utusan-Nya”.
Kemudian dilanjut doa Sahalawat
kepada Nabi
اَللّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
وَالِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَالِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَالِ إِبْرَاهِيْمَ. إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Ya Allah, limpahkanlah
kemurahan-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Kau telah limpahkan
kepada Ibrahim dan keluarganya, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana
Kau telah berkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau yang Maha
Terpuji dan Maha Mulia”
Kemudian dilanjut doa sesudah
tasyahud awal
اللَّهُمَّ
إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْماً كَثِيراً وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ
أَنْتَ. فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي، إِنَّكَ أَنْتَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Ya
Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak.
Tiada sesiapa yang dapat mengampunkan dosa-dosa melainkan Engkau, maka
ampunilah bagiku dengan keampunan dariapda-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya
Engkau maha pengampun lagi maha penyayang."
14.
Bacaan tasyahud akhir
Ada
dua versi dalam bacaan tasyahud akhir:
Bacaan
(1)
اَلتَّحِيَّاتُ
الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ اَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِاللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ اَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَاَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهُ، اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا
اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَرَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا
اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Segala
penghormatan yang berkat solat yang baik adalah untuk Allah. Sejahtera atas
engkau wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkatannya. Sejahtera ke atas kami
dan atas hamba-hamba Allah yang soleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad itu adalah pesuruh Allah. Ya Tuhan
kami, selawatkanlah ke atas Nabi Muhammad dan ke atas keluarganya. Sebagaimana
Engkau selawatkan ke atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim. Berkatilah ke atas
Muhammad dan atas keluarganya sebagaimana Engkau berkati ke atas Ibrahim dan
atas keluarga Ibrahim di dalam alam ini. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi
Maha Agung.”
Bacaan
(2)
اَلتَّحِيَّاتُ لِلّهِ وَالصَّلَوَاتُ
وَالطَّيِّباَتُ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهاَ النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ. اَلسَّلاَمُ
عَلَيْناَ وَعَلَى عِباَدِاللهِ الصَّالِحِيْنَ.
أَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ
اللهِ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Segala kehormatan, kebahagiaan dan
kebagusan adalah kepunyaan Allah, Semoga keselamatan bagi Engkau, ya Nabi
Muhammad, beserta rahmat dan kebahagiaan Allah. Mudah-mudahan keselamatan juga
bagi kita sekalian dan hamba-hamba Allah yang baik-baik. Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan
utusan-Nya”.
Kemudian dilanjut doa Sahalawat
kepada Nabi
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى الِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَالِ إِبْرَاهِيْمَ
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَالِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
وَالِ إِبْرَاهِيْمَ. إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Ya Allah, limpahkanlah
kemurahan-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Kau telah limpahkan
kepada Ibrahim dan keluarganya, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana
Kau telah berkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau yang Maha
Terpuji dan Maha Mulia”
Kemudian dilanjutkan doa sesudah
tasyahud akhir
اَللّهُمَّ
إِنِّى أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ, وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَمِنْ
فِتْنَةِ الْمَحْياَ وَالْمَمَاتِ, وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
“Ya Allah aku berlindung kepada
Engkau dari siksa jahannam dan siksa kubur, begitu juga dari fitnah hidup dan
mati, serta dari jahatnya fitnah dajjal (pengembara yang dusta)”.
15.
Salam
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
“Semoga
keselamatan, rohmat dan berkah ALLAH selalu tercurah untuk kamu sekalian”
C.
Ketentuan Sujud Sahwi
1.
Pengertian Sujud Sahwi
Sujud sahwi bukanlah rukun shalat, namun karena suatu sebab,
seperti lupa atau keliru yang dapat menimbulkan keraguan saat mengerjakan
shalat, maka sujud ini dilakukan. Sujud sahwi dilakukan dua kali setelah
membaca Tasyahud akhir dan sebelum membaca salam atau dapat pula dilakukan
sesudah membaca salam.[16]
2.
Sebab – sebab sujud Sahwi
a.
Tertinggal Tasyahud Pertama
b.
Lupa dalam shalat sehingga kelebihan rakaat, ruku, dan sujud.
c.
Merasa ragu terhadap jumlah rakaat shalat yang sedang dikerjakan.
d.
Lupa dalam mengingat rakaat yang sudah dilakukan dalam shalat
sehingg amembuat rakaat shalatnya kurang.
3.
Tata cara Sujud Sahwi
Melakukan
sujud sahwi ketika sebelum salam atau sesudah salam dua kali.
4.
Bacaan Sujud Sahwi
Bacaan
sujud sahwi dibaca 3x
سُبْحَانَ مَنْ لاَ يَنَامُ
وَلاَيَسْهُوْ
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Mengetahui tata cara dan ketentuan dalam shalat sangatlah penting,
karena ketentuan shalat meliputi syarat sah, syarat wajib, dan rukun shalat.
Apabila ketiga poin ini ada yang tidak terpenuhi maka hukum shalat yang
dilakukan bisa menjadi tidak sah. Oleh karena itu sangatlah penting untuk
mengetahui dan memahami ketentuan serta tata cara melakukan Shalat Fardhu.
2.
Mengetahui dan memahami bacaan dalam shalat juga tidak kalah
penting. Ada beberapa pendapat dalam bacaan shalat, oleh karena itu kita harus
mengetahui dengan jelas dan memahami sehingga mampu mengamalkan shalat dengan
bacaan – bacaan dalam tuntunan Imam yang kita yakini.
Sujud
sahwi merupakan bagian penting dalam shalat. Karena sujud sahwi dilakukan
apabila seseorang lupa dengan jumlah raat ia telah lakukan ketika shalat. Hal
ini sangat mungkin kita jumpai sehari – hari. Oleh karena itu sangatlah penting
memahami tata cara dan ketentuan sujud sahwi agar kita dapat melakukannya pada
saat yang diharuskan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Asyqalani,
Syekh Ibnu Hajar.Bulughul Maram. Surabaya:
Toko Kitab Al-Hidayah.
Al-Hadhromi,
Syekh Abdullah bin Umar. 1975.Safinatus
Sholat.Diterjemahkan oleh: K.H. Bisri
Mustofa.Kudus:
Maktabah wa Mathba'ah Menara Kudus.
Al-Hadhromi,
Syekh Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Abdullah bin Sumair.1960. Safinatun
Najah.Diterjemahkan oleh: Syekh Asrar bin Ahmad bin Kholil Kudus: Maktabah wa
Mathba'ah Menara Kudus.
Al-Musainid,
Syekh Abdul Aziz bin Nashir. 2007. Al-Qaul Al-Mubin Fi Ma’rifati Maa Yahummu
al-Mushallin.Diterjemahkan oleh: Saefuddin Zuhri. Jakarta: Penerbit
Almahira.
Ar-Rahbawi,
Abdul Qadir. 2007. Ash-Sholah ‘alaa Madzaahib Al-Arbaah.Diterjemahkan
oleh: Abu Firly Bassam Taqiy. Yogyakarta: Hikam Pustaka.
Arfan, Abbas.
2008. Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum Islam. Malang: UIN Malang
Press.
Hasan, A..
1985. Soal Jawab Berbagai Masalah Agama. Bangil: Perc.
Persatuan Bangil.
Hasbi, Teuku
Muhammad A. S. 2000. Kuliah Ibadah. Semarang: Pustaka Riski Putra.
Kadir, Abdul
Nuhuyanan. 2002. Pedoman & Tuntunan Shalat Lengkap. Jakarta: Gema
Insani.
Qoyyim, Ibnu
Al-Jauziyah. 2010. Fikih Shalat. Yogyakarta: Media Grafika Utama.
Rasjid, H.
Sulaiman. 1976.Fikih Islam. Jakarta:
Atthahiriyah.
Catatan:
1.
Similarity 4%.
2.
Tolong makalahnya dirapikan, ada beberapa bagian yang belum
rapi.
[1]
Abdul Kadir N., Pedoman & Tuntunan Shalat Lengkap, (Jakarta: Gema
Insani, 2002), Hlm 19
[2]
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Ash-Sholah ‘alaa Madzaahib Al-Arbaah, terj. Abu Firly
Bassam Taqiy (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2007), hal. 188-190
[3]
Syekh Abdullah bin Umar Al-Hadhromi, Safinatus Sholat, terj. K.H. Bisri
Mustofa, (Kudus: Maktabah wa Mathba'ah Menara Kudus, 1975), hal. 30-32
[4]
Syekh Ibnu Hajar Al-Asyqalani, Bulughul Maram (Surabaya: Toko Kitab
Al-Hidayah), hal. 44
[5]
Syekh Abdullah bin Umar Al-Hadhromi, Safinatus Sholat, terj. K.H. Bisri
Mustofa, (Kudus: Maktabah wa Mathba'ah Menara Kudus, 1975), hal. 43-44
[6]
Syekh Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Abdullah bin Sumair Al-Hadhromi,
Safinatun Najah, terj. Syekh Asrar bin Ahmad bin Kholil (Kudus: Maktabah wa
Mathba'ah Menara Kudus, 1960), hal. 63
[9] H.
Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, (Jakarta: Atthahiriyah, 1976), hal. 103-105
[10]
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Fikih Islam, (Yogyakarta: Media Grafika Utama,
2010), hlm 32
[11]
Syekh Abdul aziz bin Nashir al-Musainid, Al-Qaul Al-Mubin Fi Ma’rifati Maa
Yahummu al-Mushallin, terj. Saefuddin Zuhri, (Jakarta: Penerbit Almahira,
2007), hal. 49-50
[12]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Semarang: PT>
Pustaka Rizki Putra, 2000), hal. 140
[13] H.
Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum Islam, (Malang:
UIN-Malang Press, 2008) hal. 243
[14]Ibid,
hal. 29
[15] A.
Hasan, Moh. Ma’sum, H. Mahmud Aziz, Soal Jawab Berbagai Masalah Agama, (Bangil:
Perc. Persatuan Bangil, 1985) hal. 147
[16]Ibid,
hal. 55-57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar