THE
VARIOUS OF NAJIS, SMALL HADATS, GREAT HADATS, AND HOW TO PURIFY THEM
Name : Siti Intan Chusnul K
- Pendahuluan
Ilmu fiqih merupakan ilmu yang
membahas mengenai hukum-hukum amaliyah atau praktis melalui pemahaman mendalam
terhadap dalil-dalil yang tafsili. Dalam studi fiqih terdapat berbagai macam
pembagian. Pembagian-pembagian dalam studi fiqih tersebut bervariasi sesuai
dengan tokoh yang memprakarsai. Salah satu pendapat membagi fiqih ke dalam
empat pembagian, yaitu fiqih ibadah, muamalah, munakahat dan jinayat.
Fiqih ibadah membahas tentang
bagaimana seorang abdun (hamba) mengabdikan diri pada Penciptanya.Fiqih
muamalah banyak mengkaji mengenai aktivitas jual-beli, tukar menukar barang
yang pada hakikatnya hukum-hukum tersebut menjaga hak milik manusia. Fiqih
munakahat terfokus pada permasalahan seputar pernikahan sedangkan fiqih jinayat
lebih condong pada pembahasan mengenai segala perbuatan yang bersifat kriminal
atau dengan nama lain jinayah bisa diartikan sebagai hukum pidana islam.
Salah satu pokok pembahasan dalam
fiqih ibadah yaitu mengenai masalah thaharah atau dalam bahasa indonesia dapat
diterjemahkan dengan bersuci. Dalam salah satu kitab fiqih (fathul qarib),
thaharah diletakkan pada pembahasan pertama. Diletakkan pada pembahasan pertama
karena sering dijadikan sebagai salah satu syarat muslim dapat melakukan
ibadah.
Thaharah terbagi atas beberapa
pembagian. Pada makalah ini, pemakalah mencoba membahas secara lengkap mengenai
pengertian dan segala hal yang berkaitan dengan thaharah.
- Pengertian Thaharah
Thaharah secara bahasa artinya
bersih. Sedangkan definisinya secara syara’ adalah melaksanakan sesuatu yang
menjadi alasan diperbolehkannya mendirikan shalat. Yakni wudhu’, tayammum,
mandi, dan menghilangkan najis.[1]
Definisi lain, thaharah ialah suci atau bersih dari kotoran-kotoran yang
mengandung najis, baik najis yang kasat mata maupun yang tidak.[2]
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“…Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Dan juga dalam hadist, Nabi SAW
bersabda:
مِفْتَاحُ
الصَلاَةِ الطهو
“Kunci Shalat adalah bersuci.” (HR. Abu Dawud,
at-Trimidzi, Ibnu Majah)
Kemudian pada riwayat lain dari Ibnu
‘Umar RA:
لاَتُقْبَلُ
صَلاَةٌ بِغَىر طُهِوْرٍ
“Shalat tanpa bersuci tidak diterima.” (QS. Muslim dari
Ibnu Umar)[3]
- Macam-Macam Najis dan Tata Cara Thaharahnya
Najis secara bahasa artinya sesuatu
yang dianggap menjijikkan. Dan secara istilah najis adalah setiap benda yang
haram untuk dimakan atau digunakan dalam keadaan normal, dan najis boleh
digunakan ketika dalam keadaan darurat.[4]Najis
adalah kotoran atau kencing atau madzi atau mani, yang keluar dari qubul dan
dubur manusia, hewan yang statusnya haram, dan juga darah atau nanah atau
muntah yang keluar dari tubuh manusia dalam jumlah banyak dan telah berubah
sifatnya.[5]
Dan najis merupakan kotoran yang wajib bagi setiap Muslim untuk menyucikan diri
darinya dan membasuh segala apa yang terkena olehnya.[6]
Najis sendiri terbagi atas tiga macam bagian yaitu:
1.
Najis
Mugholladhoh
Najis mugholladhoh adalah najis dari anjing, babi, serta yang
terlahir dari keduanya.[7]
Apabila anjing menjilat benda atau sesuatu, maka benda atau sesuatu tersebut
harus disucikan. Babi secara keseluruhan tubuhnya dihukumi najis.[8]
Berdasarkan firman Allah SWT:
أوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“…atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor…” (QS. Al-An’am : 145)
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
“Diharamkan bagi kalian (makanan) bangkai, darah dan daging babi.” (QS. Al-Maidah: 3)[9]
Cara mensucikan najis mugholladhoh yakni dengan cara mencuci benda atau
sesuatu tersebut sebanyak tujuh kali, dan salah satunya dengan menggunakan debu
atau tanah atau pasir. Najis anjing sendiri terletak pada air liur dan mulutnya.
Hal ini menurut riwayat dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
Artinya: “Apabila ada anjing yang meminum air dari dalam bejana
salah seorang di antara kamu, maka hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh
kali.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Baihaqi)[10]
2.
Najis
Mukhofaffah
Najis Mukhofaffah adalah najis yang berasal dari air kencing bayi
laki-laki yang tidak makan makanan dan tidak minum minuman selain meminum ASI
(Air Susu Ibu) dan berumur kurang dari dari dua tahun.[11]
Cara menyucikan najis mukhofaffah yakni dengan cara memercikkan
atau menyiram air kepada najis tersebut sampai wujud dari najis tersebut
hilang.[12]
Diriwiyatkan dari Abu Samah RA, Rasulullah bersabda:
يُغْسَلُ
مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“(Sucinya) kencing anak perempuan adalah dengan mencucinya dan
(sucinya) kencing anak laki-laki adalah dengan memercikkan air (pada yang
terkena kencing).” (HR. Abu Dawud,
Nasa’i, dan dishohihkan oleh Hakim)[13]
3.
Najis
Mutawassithoh
Najis mutawassithoh adalah seluruh najis selain najis mugholladhoh
dan najis mukhofaffah.Contohnya: kotoran hewan, darah, nanah, muntah, bangkai,
air kencing. Najis ini terbagi menjadi dua macam yaitu:
a.
Najis
ainiyah adalah najis mutawassithoh yang memiliki wujud berupa warna, rasa, dan
bau. Maka cara menyucikannya membersihkan benda dari najis tersebut sampai
warna, rasa, dan baunya hilang.[14]
Namun apabila masih terdapat bekasnya yang sulit dihilangkan seperti najis dari
darah, maka dima’fu.[15]
b.
Najis
hukmiyah adalah najis mutawassithoh yang tidak berwujud, maka cara
menyucikannya membasuhkan air ke daerah yang terkena najis.[16]Menurut
madzhab Maliki dan Syafi’i cara mensucikannya cukup dengan menyiram atau
mengalirkan air padanya meskipun hanya satu kali, tetapi menurut ulama Hanafi,
cara membersihkannya minimal sebanyak
tiga kali, dan menurut ulama Hanbali, minimal sebanyak tujuh kali.[17]
- Hadats kecil dan Tata Cara Thaharahnya
Hadats merupakan kata yang diambil dari kata ahdatsa yang berarti
memunculkan sesuatu yang baru. Hadast sendiri dibagi menjadi dua macam yakni
hadats kecil yang mewajibkan wudhu, sedangkan hadats besar mewajibkan mandi
bila akan melaksanakan ibadah sholat.[18]
Macam-macam hadas kecil :
1.
Segala
sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur manusia, mencakup:
a.
Kencing
dan kotoran manusia
Kencing dan kotoran manusia adalah najis. Kecuali kencing anak
laki-laki yang belum pernah makan makanan selain minum air susu ibunya, menurut
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, kencing tersebut dihukumi suci dan cara
mensucikannya cukup dengan memercikkan air pada bagian yang terkena kencing dan
tidak diharuskan mencucinya.[19]
b.
Kentut
(buang angin)
Dijelaskan dalam hadist dari Abu Hurairah RA, ia mengatakan:
Rasulullah SAW bersabda:
لا يقبل الله
صلاة احدكم اذا احدث حتى يتوضاَ فقال رجل من حضرموت: ما الحدث يا ابا هريرة؟ قال:
فسا ء او ضراط
Artinya: “Tidak diterima shalat salah seorang di antara kamu
sedangkan dia mempunyai hadast hingga ia berwudhu. “Lalu bertanya laki-laki
dari Hadramaut, “Apakah hadast itu wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab,
“Kentut kecil ataupun besar.” (Muttafaq Alaih)[20]
c.
Wadi
Wadi yaitu cairan yang keluar dari qubul seseorang setelah ia buang
air kecil. Benda ini hukumnya najis dan wajib dibersihkan seperti kencing,
namun tidak wajib mandi. Dalil mengenai hal ini, Aisyah Radhiyallahu Anha
mengatakan:
واما الودي فانه
يكنون بعد البول فيغسل ذكره وانثييه ويتوضا ولا يغسلظ
Artinya:“Wadi itu keluar setelah proses kencing selesai. Untuk
itu hendaklah seorang muslim (muslimah) mencuci kemaluannya (setelah keluarnya
wadi) dan berwudhu’ serta tidak diharuskan untuk mandi.” (HR. Ibnu Mundzir)
Adapun dalil lainnya dari Ibnu Abbas RA, ia berkata:
المنى والودى
والمذى, اما المنى ففيه الغسل و اما المذى والودى ففييهما اسباغ الطهور
Artinya:“Tentang mani, wadi, dan madzi. Adapun mengenai mani,
maka diwajibkan mandi karenanya. Sedangkan mengenai madzi dan wadi, maka cukup
dengan membersihkannya secara sempurna.” (HR. Al-Atsram dan Baihaqi)[21]
d.
Madzi
Madzi yaitu suatu cairan berwarna putih, lembut, dan lengket yang
keluar dari qubul (saluran kencing) ketika bercumbu atau nafsu syahwat
terangsang, dan terkadang seseorang tidak merasakan proses keluarnya. Hal ini
sama-sama dialami oleh laki-laki dan perempuan, tetapi jumlah keluarnya
biasanya lebih banyak perempuan. Cara mensucikannya apabila madzi mengenai
badan, maka harus dibersihkan, dan apabila mengenai pakaian, maka cukup dengan
memercikkan air pada bagian yang terkena.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA, dia menceritakan,
كنت رجلا مذاء
فامرت رجلا أن يسأل اانبئ صلي االله علئه ؤالسلم لمكان ابنته فسأل فقال: توضأ وغسل
ذكرك.
Artinya: “Aku ini seorang laki-laki yang sering mengeluarkan
madzi. Lalu aku suruh seseorang untuk menanyakan hal itu kepada Nabi, karena
aku malu, sebab puterinya adalah isteriku. Maka orang yang disuruh itupun
bertanya dan beliau menjawab: Berwudhu’lah dan cuci kemaluanmu!” (HR.
Bukhari dan lainnya)[22]
2.
Tertidur
lelap hingga kehilangan kesadaran dan posisi badan terutama pantat tidak
menetap pada tempatnya. Maka jika tertidur tetapi posisinya tetap atau tidak
berubah, maka tidak membatalkan wudhu. Pemaknaan tersebut berdasarkan pendapat
ulama Hanifiyah dan Syafi’iyah pada riwayat hadist dari Anas bin Malik RA, ia
mengatakan:
Artinya:“Sesungguhnya para sahabat
Rasulullah SAW pada masa beliau sering menunggu waktu shalat ‘Isya sampai
kepala mereka mengangguk-angguk (mengantuk) kemudian mereka mengerjakan shalat
tanpa berwudhu kembali.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Daruqthni yang
asalnya dari Muslim)[23]
Dijelaskan kembali oleh Ibnu Al-Mubarak bahwa menurutnya para
sahabat tersebut tertidur sambil duduk, dan mayoritas ulama juga berpendapat seperti
ini pula.[24]
3.
Menyentuh
kemaluan dan dubur tanpa penghalang. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
menyentuh kemaluan sendiri maupun orang lain adalah hal yang membatalkan wudhu.
Hal tersebut berdasarkan riwayat dari Basrah binti Shafwan, dia berkata:
“Rasulullah SAW bersabda:
ؤَيَتَؤَضاَ
مَنْ مَس الذكر
“..dan hendaklah berwudhu bagi orang yang menyentuh kemaluan,” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah menganggap bahwa menyentuh
kemaluan tidaklah membatalkan wudhu. Sementara itu menurut pandangan ulama
Malikiyah menyentuh kemaluan sendiri tidak membatalkan wudhu, dan menyentuh
kemaluan orang lain adalah hal yang membatalkan wudhu.[25]
4.
Menyentuh
wanita
Menyentuh wanita yang bukan mahram menurut ulama Syafi’iyah adalah
hal yang membatalkan wudhu. Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah menyentuh
wanita yang bukan mahram dengan tidak sengaja dan tidak merasakan kenikmatan
maka tidak membatalkan wudhu. Sementara itu ulama Hanifiya berpendapat bahwa
menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu, kecuali dengan jima’.[26]
Tata Cara Thaharah Hadats Kecil :
1.
Wudhu
Wudhu secara istilah artinya menyucikan diri melalui media berupa
air, daerah utama yang wajib disucikan ialah wajah, kedua tangan, kepala, dan
kedua kaki.[27]
Tata cara berwudhu:
a.
Berniat
wudhu
انما الاعمال
بالنيات
“Sesungguhnya
amal-amal itu dengan niat-niat”[28]
Jumhur ulama berpendapat bahwa niat itu wajib dilakukan dalam
thoharoh. Akan tetapi, menurut madzhab Hanafi berpendapat bahwa wudhu tidak
perlu menggunakan niat.
Untuk memantapkan niat di dalam hati, maka bisa melafalkan niat
dengan lisan sebelum melakukan wudhu. Mayoritas ulama sepakat bahwa niat di
dalam hati sudah cukup, akan tetapi bila hanya melafalkan niat dengan lisan
tanpa dibarengi niat dalam hati itu tidak cukup. Namun, madzhab Maliki memiliki
pendapat bahwa melafalkan niat hukumnya makruh.
Menurut ulama Syafi’iyah niat dalam hati dilakukan secara bersamaan
dengan membasuh wajah.[29]
b.
Membaca
Bismillah
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanafi mengucapkan basmalah
ketika hendak berwudhu hukumnya sunnah. Sedangkan menurut madzhab Hambali
mengucapkan basmalah ketika hendak berwudhu hukumnya wajib.[30]
Berdasarkan sabda Nabi SAW:
لاَ وُضُوْءَ
لِمَنْ لَمْ يَذْكُرُ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada (tidak sempurna) wudhu’ seseorang yag tidak menyebut
Nama Allah atasnya.” (HR. Ahmad dan
Abu Dawud)[31]
c.
Membasuh
kedua telapak tangan sebanyak tiga kali
Mayoritas ulama sepakat membasuh kedua telapak tangan ketika hendak
berwudhu hukumnya sunnah. Akan tetapi madzhab Hambali berpendapat bahwa hal itu
wajib apabila seseorang hendak berwudhu setelah bangun tidur malam.
d.
Berkumur
dan menghirup air ke lubang hidung dan mengeluarkannya kembali sebanyak tiga
kali.
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa berkumur dan
menghirup air ke lubang hidung hukumnya sunnah. Sedangkan Hambali berpendapat
bahwa hal itu hukumnya wajib.[32]
Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
اِذَا تَؤَضاَتَ
فَمَضْرِبْ
“Jika
kamu berwudhu’ maka berkumurlah.” (HR. Abu Dawud)[33]
e.
Membasuh
wajah
فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ
“…basuhlah mukamu…” (QS.
Al-Maidah: 6)
Mayoritas ulama tiga madzhab berpendapat bahwa batas wajah yakni
dari satu telinga ke telinga yang lain, dan dari tempat tumbuh rambut sampai
dagu. Sedangkan menurut Maliki, daerah antara telinga dan janggut tidak
termasuk dalam bagian wajah sehingga ketika berwudhu tidak wajib dibasuh.[34]
Menurut ulama Syafi’iyah, apabila di wajah terdapat bulu tipis ataupun lebat,
maka wajib mengalirkan air padanya dan kulit yang berada di balik atau di bawah
bulu tersebut.[35]
f.
Membasuh
tangan beserta siku
Para ulama telah sepakat bahwa dua siku lengan ketika berwudhu
wajib dibasuh.[36]
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ
“…dan tanganmu sampai dengan siku..” (QS.
Al-Maidah: 6)
Ketika membasuh tangan wajib membasuh bulu, uci-uci, jari tambahan
dan membersihkan kotoran yang berada di bawah kuku yang dikhawatirkan dapat
mencegah masuknya air.[37]
g.
Mengusap
sebagian kepala
وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ
“…dan sapulah kepalamu..”
(QS. Al-Maidah: 6)
Menurut madzhab Syafi’i cukup menyapu sebagian kepala ketika wudhu,
dan dilakukan sebanyak tiga kali sapuan. Namun menurut mazhab Maliki, dan
Hambali wajib mengusap seluruh bagian kepala, dengan sekali sapuan. Sedangkan
mazhab Hanafi berpendapat mengusap kepala pada seperempat bagian dan dilakukan
dengan tiga jari dan dengan sekali sapuan.
h.
Menyapu
kedua telinga
Menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali menyunnahkan mengusap
kedua telinga ketika mengusap kepala, karena menurut mereka kedua telinga
merupakan bagian dari kepala, dan pengusapannya dilakukan sekali saja. Madzhab
Syafi’i juga menyunnahkan menyapu kedua telinga, namun harus menggunakan air baru
sesudah mengusap kepala, dan pengusapannya dilakukan sebanyak tiga kali.
i.
Membasuh
dua kaki beserta mata kaki
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى
الْكَعْبَيْنِ
“… dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. Al-Maidah: 6)
Menurut imam empat madzhab, membasuh kedua kaki ketika wudhu
merupakan hal yang wajib bagi yang mampu mengerjakannya.
j.
Dikerjakan
secara berurutan (tertib)
وَلَا تُبْطِلُوا
أَعْمَالَكُمْ
“…janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS. Al-Maidah: 6)
Menurut madzhab Hanafi dan Maliki melaksanakan wudhu secara
berurutan (tertib) hukumnya tidak wajib, sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan
Hambali melakukan wudhu secara berurutan hukumnya wajib.[38]
2.
Tayammum
Tayamum adalah bersuci dari hadast kecil maupun besar sebagai
pengganti wudhu karena tidak mendapatkan air. Sebagaimana disyariatkannya
wudhu, tayammum juga disyariatkan dalam Al-Quran dan Sunnah.
وَإِنْ كُنْتُمْ
مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“..Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat
buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)…”
(Al-Maidah: 6)[39]
Sebab-sebab tayamum :
a.
Tidak
ada air, Kecuali menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah apabila masih ada air
namun tidak mencukupi untuk bersuci, maka tetap harus digunakan untuk wudhu,
bila air tersebut tidak mencukupi untuk membasuh seluruh anggota tubuh yang
wajib dibasuh maka boleh dilanjutkan dengan tayammum.[40]
b.
Sakit
c.
Air
untuk minuman[41]
Fardhu-fardhu tayammum :
a.
Memindah
debu
b.
Niat
c.
Mengusap
wajah
d.
Mengusap
dua tangan sampai dua siku
e.
Berurutan
antara dua pengusapan tersebut
Tata Cara Bertayammum:
Mengucapkan lafadz bismillaah dengan niat bertayamum, kemudianmenepukkan
kedua telapak tangan ke tanah, kemudian mengibaskan kedua telapak tangannya
dengan pelan untuk mengurangi ketebalan debu, setelah itu mengusap wajah
sekali, lalu menepukkan kedua tangannya untuk yang kedua kalinya lalu
mengusapkannya ke tangan sampai siku.
Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah dalam sebuah hadist:
إِنَّمَا كَانَ
يَكْفِيْكَ هكَذَا. وَضَرَبَ بِيَدِهِ الأَرْضَ فَمَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
وَكَفَّيْهِ.
“Sebenarnya cukup bagimu begini, seraya menepukkan kedua telapak
tangannya ke tanah dan mengusapkan ke wajah serta kedua tangannya ke tanah dan
mengusapkan ke wajah serta kedua tangannya.”
(HR. Muttafaqun ‘Alaihi)[42]
- Hadats Besar dan Tata Cara Thaharahnya
Macam hadats besar :
1.
Junub
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’alaa:
وَإِنْ كُنْتُمْ
جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya: “..dan jika kamu junub maka mandilah…” (QS. Al-Maidah 6)
2.
Keluar
Mani
Air mani laki-laki itu bertekstur kental dan berwarna putih,
sedangkan air mani perempuan bertekstur encer dan berwarna kuning. Keluarnya
mani yang disertai syahwat maupun tidak tetap diwajibkan mandi.[43]
Namun terdapat beberapa perbedaan pendapat, menurut madzhab Hanafi dan Maliki,
bila keluarnya mani tidak disertai dengan syahwat maka tidak wajib mandi. [44]
3.
Haid/Nifas
Haid adalah darah yang keluar dari vagina perempuan pada saat usia
haid, yaitu usia lebih dari delapan tahun, dan dalam kondisi sehat, dan bukan
karena melahirkan.[45]
Nifas adalah darah yang keluar dari vagina wanita setelah
melahirkan, meskipun janinnya mengalami keguguran.[46]
Seorang wanita bila darah haid dan nifasnya sudah berhenti maka
diwajibkan untuk mandi.
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ
اللَّهُ
Artinya :“…dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu..” (QS. Al-Baqarah: 222)[47]
4.
Kematian
Apabila seorang muslim meninggal maka wajib untuk dimandikan
kecuali seorang muslim yang mati syahid, karena dahulu Rasulullah SAW pernah
memerintahkan agar putrinya Zaenab dimandikan ketika dia wafat.
Tata Cara Berthaharah Hadats Besar:
1.
Mandi
Besar
Fardhu-fardhu Mandi
1)
Niat
2)
Menuangkan
air dan menyelat-nyelati pangkal rambut
3)
Mengguyurkan
air ke seluruh bagian tubuh[48]
Tata Cara Mandi Besar:
1)
Niat
didalam hati
2)
Membaca
basmalah dan mencuci tangannya tiga kali dan mencuci kemaluannya
3)
Wudhu
seperti wudhu sholat
4)
Menuangkan
air ke atas kepala tiga kali dan membasahi akar-akar rambutnya
5)
Meratakan
air ke tubuhnya, dan menggosok tubuhnya dengan dua tanggannya, agar sampai ke
seluruh tubuhnya.[49]
Hal tersebut berdasarkan riwayat dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia
pernah bercerita:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا
اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا
يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ
بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ
ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ
“Apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hendak mandi
jenabat beliau memulai dengan membasuh kedua telapak tangan sebelum beliau
memasukkannya ke dalam bejana. Kemudian beliau membasuh kemaluan dan berwudhu’
sebagaimana hendak melaksanakan shalat. Lalu beliau menyela-nyela rambutnya
dengan air. Setelah itu. Beliau menyiram kepadalanya tiga kali dan menyiramkan
air ke seluruh tubuhnya.” (HR.
Tirmidzhi, dan beliau menshahihkannya)[50]
- PENUTUP
Kesimpulan:
Dalam makalah ini telah dijelaskan definisi dari thaharah yang memiliki
makna bersuci dari kotoran, najis, maupun hadats. Telah dijelaskan pula
klasifikasi najis yakni najis mugholladhoh (najis berat), najis mutawassithoh
(najis sedang), dan najis mukhoffafah (najis ringan). Sementara itu hadats
kecil terdiri dari segala hal yang keluar dari dua saluran manusia yakni qubul
dan dubur, hilang akal, menyentuh kemaluan, menyentuh lawan jenis, cara
berthaharah hadats kecil yakni dengan berwudhu atau bertayammum. Kemudian
macam-macamnya hadats besar ialah junub, keluarnya sperma (mani), berhentinya
darah haid maupun nifas, dan kematian. Dengan demikian Islam sangat
menganjurkan untuk bersuci terlebih dahulu sebelum melakukan ibadah terutama
sholat, karena sudah selayaknya muslim harus dalam keadaan bersih atau suci
ketika akan menghadap Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdul Qadir ar-Rahbawi. 2008.Salat Empat Madzhab.
Terjemahan oleh Zein Husein Al-Hamid dan M.Hasanuddin. Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa.
‘Abdullah Zaki Alkaf. 2015. Fiqih Empat Madzhab. Bandung:
Hasyimi.
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2015.Fiqh
Ibadah. Jakarta: Amzah.
Abdul Qadir Ar-Rahbawi. 2007. Fikih Shalat Empat Madzhab.
Terjemahan oleh Abu Firly Bassam Taqiy. Jogjakarta: Hikam Pustaka.
Arif Munandar. 2007. Panduan Praktis Fiqih Wanita.
Solo: Al-Qowam.
Imam Syekh Muhammad bin Qasim Al Ghazy Al-Syafi’i. 2015.Al
Mukhtar Fii haili Ma’ani ghayati ikhtisar. Terjemahan olehMuchtar Makin. Pamekasan:
Pustaka Muba.
Muhammad Manshur Ad-Daqqowi. 2007.Fiqih Sholat Khusyuk.
Terjemahan oleh Salafuddin Abu Sayyid. Solo: Wacana Ilmiah Press.
Saleh Al-Fauzan. 2005.Fiqih Sehari-hari. Depok: Gema Insani
Press.
Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi. 2007.Panduan Lengkap Shalat
Menurut Empat Madzhab. Terjemahan oleh H. Ahmad Yaman. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Syaikh Abubakar Al-JazairI. 2009. Panduan Ibadah Seorang Muslim.
Terjemahan oleh ‘Izzudin Karimi. Jakarta: Pustaka Ibnu Umar.
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah. 1998.Fiqih Wanita.Terjemahan
oleh M. Abdul Ghoffar EM. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Syekh Salim bin Semir Al-Hadhromi. 2000.Safinatun Najaa.
Terjemahan oleh Nafi’ Mubarok,Surabaya: Al-Hidayah,
Catatan:
Makalah ini sudah baik, similarity hanya 7%. Hanya
saja, perlu diperbaiki tentang cara penulisan footnote yang sudah disebutkan
sebelumnya, bukan dengan cara diulangi semuanya.
[1]
Imam Syekh Muhammad bin Qasim Al Ghazy Al-Syafi’i, Al Mukhtar Fii haili
Ma’ani ghayati ikhtisar, terj. Muchtar Makin, (Pamekasan: Pustaka Muba, 2015),hlm.7.
[2]
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah,
(Jakarta: Amzah, 2015),hlm.3.
[3]
Syaikh Abubakar Al-Jazairi; Panduan Ibadah Seorang Muslim, terj.
‘Izzudin Karimi, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009),hlm.24-30.
[4]
Imam Syekh Muhammad bin Qasim Al Ghazy Al-Syafi’i, Al Mukhtar Fii haili
Ma’ani ghayati ikhtisar, terj. Muchtar Makin, (Pamekasan: Pustaka Muba,
2015),hlm.33.
[5]
Syaikh Abubakar Al-Jazairi; Panduan Ibadah Seorang Muslim, terj.
‘Izzudin Karimi, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009),hlm.6.
[6]
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghoffar EM,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998),hlm.15.
[7]
Imam Syekh Muhammad bin Qasim Al Ghazy Al-Syafi’i, Al Mukhtar Fii haili
Ma’ani ghayati ikhtisar, terj. Muchtar Makin, (Pamekasan: Pustaka Muba,
2015),hlm.17.
[8]
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghoffar EM,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998),hlm.15-16.
[9]
Arif Munandar, Panduan Praktis Fiqih Wanita, (Solo: Al-Qowam,
2007),hlm.30.
[10] Syaikh
Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghoffar EM,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998),hlm.15-16.
[11]
Imam Syekh Muhammad bin Qasim Al Ghazy Al-Syafi’i, Al Mukhtar Fii haili
Ma’ani ghayati ikhtisar, terj. Muchtar Makin, (Pamekasan: Pustaka Muba,
2015),hlm.17.
[12]
Syekh Salim bin Semir Al-Hadhromi, Safinatun Najaa, terj. Nafi’ Mubarok,
(Surabaya: Al-Hidayah,2000),hlm.17
[13]
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, terj. Abu Firly
Bassam Taqiy, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2007),hlm.54.
[14]
Imam Syekh Muhammad bin Qasim Al Ghazy Al-Syafi’i, Al Mukhtar Fii haili
Ma’ani ghayati ikhtisar, terj. Muchtar Makin, (Pamekasan: Pustaka Muba,
2015),hlm.18.
[15]
‘Abdul Qadir ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab, terj. Zein Husein Al-Hamid
dan M.Hasanuddin, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2008),hlm.39.
[16]
Syekh Salim bin Semir Al-Hadhromi, Safinatun Najaa, terj. Nafi’ Mubarok,
(Surabaya: Al-Hidayah,2000),hlm.17-18.
[17]
‘Abdul Qadir ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab, terj. Zein Husein Al-Hamid
dan M.Hasanuddin, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2008),hlm.39.
[18]
Muhammad Manshur Ad-Daqqowi, Fiqih Sholat Khusyuk, terj. Salafuddin Abu
Sayyid; (Solo: Wacana Ilmiah Press, 2007),hlm.29.
[19]Abdul
Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, terj. Abu Firly Bassam
Taqiy (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2007),hlm.54.
[20]
Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab,
terj. H. Ahmad Yaman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007),hlm.86-87.
[21]
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghoffar EM,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998),hlm.19.
[22]
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghoffar EM,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998),hlm.20.
[23]
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, terj. Abu Firly
Bassam Taqiy (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2007),hlm.97.
[24]
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah,
(Jakarta: Amzah, 2015),hlm.54.
[25]
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, terj. Abu Firly
Bassam Taqiy (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2007),hlm.101-102.
[26]
Ibid, hlm. 99-100.
[27]
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah,
(Jakarta: Amzah, 2015),hlm.33.
[28]Ibid,
hlm.36.
[29]‘Abdullah
Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi, 2015),hlm.25.
[30]
‘Abdullah Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi, 2015),hlm.25.
[31]
Syaikh Abubakar Al-Jazairi; Panduan Ibadah Seorang Muslim, terj.
‘Izzudin Karimi, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009),hlm.23.
[32]‘Abdullah
Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi, 2015),hlm.25.
[33]Syaikh
Abubakar Al-Jazairi; Panduan Ibadah Seorang Muslim, terj. ‘Izzudin
Karimi, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009),hlm.24.
[34]‘Abdullah
Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi, 2015),hlm.26.
[35]Imam
Syekh Muhammad bin Qasim Al Ghazy Al-Syafi’i, Al Mukhtar Fii haili Ma’ani
ghayati ikhtisar, terj. Muchtar Makin, (Pamekasan: Pustaka Muba, 2015),hlm.14.
[36]‘Abdullah
Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi, 2015),hlm.26.
[37]Imam
Syekh Muhammad bin Qasim Al Ghazy Al-Syafi’i, Al Mukhtar Fii haili Ma’ani
ghayati ikhtisar, terj. Muchtar Makin, (Pamekasan: Pustaka Muba, 2015),hlm.14.
[38]‘Abdullah
Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi, 2015),hlm.26-27.
[39]
Muhammad Manshur Ad-Daqqowi, Fiqih Sholat Khusyuk, terj. Salafuddin Abu
Sayyid; (Solo: Wacana Ilmiah Press, 2007),hlm.84-85.
[40]Abdul
Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, terj. Abu Firly Bassam
Taqiy, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2007),hlm.144.145.
[41]
Syaikh Abubakar Al-Jazairi; Panduan Ibadah Seorang Muslim, terj.
‘Izzudin Karimi, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009),hlm.13.
[42]
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghoffar EM,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998),hlm.104.
[44]‘Abdullah
Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi, 2015),hlm.28.
[45]Syaikh
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab,
terj. H. Ahmad Yaman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007),hlm.163.
[46]Ibid,
hlm.170.
[47]Syaikh
Abubakar Al-Jazairi; Panduan Ibadah Seorang Muslim, terj. ‘Izzudin
Karimi, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009),hlm.36.
[48]Ibid,hlm.38.
[49]
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Depok: Gema Insani Press,
2005),hlm.41.
[50]
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghoffar EM,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998),hlm.94-95.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar