TAQLID,
ITTIBA’, TALFIQ, DAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQH
Fadlilatul
Ilmillah, Addina Islami Asnawati, Syihabbuddin Al-Anshori, Ruth Nilam Apsari
PAI B Semester
VI
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang
Abstract: This article describe about Taqlid, Ittiba’, Talfiq, and Ijtihad in Ushul
Fiqh. The science of Ushul Fiqh is a method of exploring and determining a law,
while Taqlid, Ittiba’, Talfiq, dan Ijtihad are forms anyone’s ability to
practice a law. Taqlid is accepting or following someone’s opinion without
knowing the basic, Ittiba’ is accepting and following someone’s opinion with
knowing the basic. Talfiq is taking some laws as the basic to practice from the
different madzhabs. While Ijtihad is mobilizing all the power to produce the
syar’i law and the detail argumentation.
Keywords: Law, opinion, ability
Abstrak: Artikel ini menjelaskan tentang pembahasan Taqlid, Ittiba’, Talfiq, dan
Ijtihad dalam Ushul Fiqh. Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode untuk menggali dan
menetapkan suatu hukum, sedangkan Taqlid, Ittiba’, Talfiq, dan Ijtihad adalah
bentuk kemampuan seseorang dalam mengamalkan suatu hukum tersebut. Taqlid adalah
menerima atau mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dasarnya, Ittiba’
adalah menerima dan mengikuti pendapat seseorang dengan mengetahui dasarnya.
Talfiq adalah mengambil beberapa hukum sebagai dasar beramal dari berbagai
madzhab yang berbeda. Sedangkan Ijtihad adalah mengerahkan segala daya untuk
menghasilkan hukum syara’ dan dalilnya secara terperinci.
Kata Kunci: Hukum, pendapat, kemampuan.
Pendahuluan
Agama
Islam adalah agama yang mengatur semua kebutuhan umatnya. Dasar yang digunakan sebagai
pedoman untuk menjalankan syari’at Islam yakni al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai
seorang muslim yang baik, banyak ilmu yang harus diketahui dan dipahami untuk
melaksanakan syaria’at Islam dalam setiap aktivitas kehidupannya. Salah satu
ilmu tersebut adalah ilmu Ushul Fiqh. Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode untuk
menggali dan menetapkan suatu hukum. Dalam hal ini tidak semua manusia
mendapatkan hukum dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena
itu para mujtahid lah (seorang penggali hukum) yang menjadi perantaranya. Mujtahid
dianggap mampu menggali suatu hukum dari sumber aslinya.
Bagi
orang awam yang dirasa tidak mampu untuk menggali dan menetapkan hukum Islam
sendiri atau belum sampai pada tingkatan seorang mujtahid yang sudah sanggup
menggali hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi mereka untuk mengikuti
pendapat-pendapat dari para mujtahid yang mu’tabar (terpercaya) atau iftita’/
meminta penjelasan kepada ahl al-dzikr,[1]
seperti taqlid, ittiba’, talfiq, dan ijtihad. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam Surotun Nahl ayat 43:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ
إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ
لاَ تَعْلَمُونَ (٤٣)
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu,
kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak
mengetahui” (QS.
An-Nahl ayat 43)
Taqlid, Ittiba’, Talfiq, dan Ijtihad
Berikut adalah
pembahasan mengenai Taqlid, Ittiba’, Talfiq dan Ijtihad:
1.
Taqlid
a.
Pengertian
Taqlid
Secara arti kata etimologi taqlid
pada awalnya bearti “mengalungi” dan memakaikan kalung, kemudian berarti
“mengikuti seseorang secara patuh”. Secara definisi yang sederhana menurut Al-
Ghazali adalah: (menerima ucapan orang
lain tanpa hujah). Definisi yang lebih lengkap adalah yang diberikan Ibnu
al-Humam: “Taklid ialah beramal dengan pendapat seorang yang tidak
berkedudukan sebagai hujah, tanpa mengetahui hujahnya”[2]
Dalam artii lain, definisi taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang
mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan
pendapat tersebut.[3]
Sedangkan orang yang bertaqlid dinamakan muqallid.[4]
Dari definisi diatas, dapat kita tarik benang merah yatu terdapat
dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu pertama, menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang. Dan kedua, perkataan tersebut tidak
diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-qur’an dan hadits.
Dari penjelasan dan analisis tentang definisi-definisi diatas,
dapat dirumuskan hakikat taqlid,[5]yaitu:
1)
Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti
ucapan atau pendapat orang lain
2)
Pendapat
atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujah
3)
Orang
yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-sebab atau
dalil-dalil dan hujah dari pendapat yang diikutinya itu.
Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahawa taqlid adalah kebalikan dari ittiba’ yaitu mengikuti hasil ijtihad
orang lain tanpa ditunjuki atau diberitahu dalil-dalilnya. Sedangkan orang yang
bertaqlid dinamakan muqallid.[6] Muqallid yaitu orang tidak mampu menghasilkan pendapat senidiri
tentang hukum agama, oleh karena itu ia mengikuti saja pendapat dari orang lain
yang dianggap sebagai ulama atau mujtahid itu tanpa mengetahui alasan dalil
dari pendapatnya tersebut.
Menurut Kiai Muchith, setidaknya ada empat tingkatan orang yang
disebut muqallid, [7]yaitu:
1)
Mengikuti
pendapat tokoh tertentu dan mengerti dalil-dalil, argumentasi (hujjah) dan metode yang
dipergunakan oleh tokoh yang diikuti.
2)
Mengikuti
pendapat tokoh tertentu dan mengetahui dalil yang dipergunakan secara
fragmentaris dan sporadis (sepotong-sepotong) saja.
3)
Mengikuti pendapat tokoh tertentu, hanya dengan kepercayaan bahwa pendapat
yang diikuti itu adalah benar, sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana
disampaikan oleh Rasulullah SAW tanpa mengetahui dalil-dalil, argumentasi,
metode dan lain sebagainya.
4)
Mengikuti pendapat tokoh tertentu dengan mengikuti pelajaran atau pengajuan
yang diterimanya dari kiai, ulama, ustad atau gurunya di pesantren, di
madrasah, di sekolah, di kursus atau ceramah atau di majalah dan sebagainya. Mereka yakin atas kemampuan dan kejujuran para pengajar itu.
b.
Hukum
Taqlid
Menurut ahlisunnah wal jama’ah, hukum bertaqlid adalah wajib
atas tiap orang yang tak memiliki syarat-syarat berijtihad. Yang dimaksud di
sini adalah taqlid dalam urusan Fiqh/Hukum bukan dalam urusan Tauhid.[8]
Karena dalam Al-Qur’an ada pula perintah bagi orang awam yang tidak mengetahui
tentang hukum agama untuk bertanya kepada orang yang lebih tahu sebagaimana
yang terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 43 yang telah dijelaskan sebelumnya.
Oleh karena itu, untuk menentukan hukum bertaqlid itu tidak dapat diambil secara hitam putih, tetapi harus
melihatnya dari beberapa segi.[9]
1)
Taqlid yang dilakukan
oleh mujtahid kepada mujtahid lain. Dalam hal ini terdapat beragam pendapat
sebagai berikut:
a)
Kebanyakan
ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang mujtahid melakukan taqlid secara mutlak, karena ia mampu
melakukan ijtihad dengan sendirinya.
b)
Sebagian
ulama seperti Ahmad bin Hambal, Abu Ishak bin al-Rahawaih dan Sofyan al-Tsauri
mengatakan boleh mujtahid melakukan taqlid
kepada mujtahid lain secara mutlak.
c)
Imam
Syafi’iy dalam qaul qadimnya (waktu
di Iraq) berpendapat boleh mujtahid bertaqlid
kepada mujtahid lain dalam level
sahamabt Nabi dan tidak boeh kepada mujtahid lainnya.
d)
Muhammad
bin Hasanal-Syaibani berpendapat, boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain yang lebih alim daripadanya.
e)
Ulama
lain berpendapat bahwa boleh mujtahid bertaqlid
kepada mujtahid lain, tetapi hanya untuk diamalakannya sendiri dan tidak
untuk difatwakan
f)
Ibnu
Sureji berpendapat bolehnya mujtahid bertaqlid
kepada mujtahid lain bila ia menghadapi keterbatasan waktu untuk berijtihad
sendiri.
g)
Ulama
lain berpendapat bolehya seseorang mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain bila ia seorang yang sedang bertugas
sebagai qadhi.
2)
Hukum
taqlid yang dilakukan oleh al-muttabi’ atau alim. Dalam hal ini
ulama juga beda pendapat sebagai berikut:
a)
Sebagaian
ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang alim bertaqlid kepada mujtahid, karena ia mempunyai kemampuan untuk
mendapatkan hukum dengan sendirinya walaupun ia belum mencapai kemampuan
mujtahid.
b)
Sebagian
ulama berpendapat boleh seseorang alim bertaqlid
kepada mujtahid lain dengan syarat ia dapat mengetahui kekuatan dalil yang
digunkan mujtahid yang diikutinya itu.
3)
Hukum
bertaqlid yang dilakukan orang awam
kepada seorang mujtahid. Hal ini juga menjadi tempat beda pendapat sebagai
berikut:
a)
Menurut
al-Baidhawiy dari kalangan Syafi’iyah dan kebanyakan ulama liannya berpendapat
bahwa bolehnya orang awam dan orang yang tidak mempunyai kemampuan berijtihad
untuk bertaqlid . bahkan diantara
golongan ini ada yang mewajibkan orang awam bertaqlid kepada mujtahid, sesuai dengan kehendak Allah dalam ayat 43
surat an-Nahl yang telah disebutkan.
b)
Segolongan
ulama Mu’tazilah Baghdad berpendapat tidak bolehnya orang awam bertaqlid,tetapi ia wajib mencapai hukum
melalui ijtihadnya dan untuk itu ia harus belajar. Mereka mengemukakan beberapa
argumen yang diantaranya ialah terdapat dalam Firman Allah SWT QS. Luqman ayat 21 sebagai
berikut:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا
أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ
كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ (۲١)
Artinya:
“Dan apabila
dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah." Mereka
menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan mengikuti
bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang
menyala-nyala (neraka)?” (QS Luqman ayat 21)
Ayat ini mengkritik orang-orang yang ikut-ikutan
mengerjakan apa-apa yang dilakukan bapaknya dan generasi sebelumnya. Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah tidak senang kepada orang yang
ber-taqlid. Hal ini berarti bahwa
berijtihad itu wajib hukumnya.[10]
c)
Al-Jubba’iy dari kalangan Mu’tazilah berpendapat bolehnya seorang awam bertaqlid dalam bidang ijtihadiyah dan tidak boleh dalam hal-hal yang ada nashnya yang
jelas.
Adapaun hukum lainnya tentang bertaqlid menurut para ulama ushul fiqih
sepakat melarang taqlid dalam tiga
bentuk sebagai berikut ini.[11]
1) Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang
yang bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadits.
2) Mengikuto orang atau sesuatu yang tidak
diketahui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnya itu melebihi
kecintaannya kepada dirinya sendiri.
3) Mengikuti pendapat seseorang, padahal dikethui bahwa pendapat
tersebut salah.
Adapun beberapa contoh taqlid yang terjadi pada saat ini, diantaranya ialah seperti
seseorang yang membaca qunut ketika sholat pada rokaat kedua sholat subuh,
ketika dia hanya mengikuti pandangan guru ngajinya, tanpa pernah tau darimana
dalil yang melandasinya.
2.
Ittiba’
a.
Pengertian
Ittiba’
Kata ittiba’
berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja (fi’il)
Dalam bahasa Indonesia, “al-ittiba’” berarti mengikuti.
Namun setelah berproses serta membentuk makna dan pengertian spesifik yang
terstruktur, termasuk berdasarkan perspektif al-Qur‘an dan Hadits, yang
dimaksud al ittiba’ tidak sama sekali dimaksudkan untuk mengikuti sembarangan
orang atau siapa saja. Karena al-ittiba yang dimaksud adalah mengikuti
Rasulullah (ittiba’ Rasul Allah), Nabi
terakhir yang diutus Allah , sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.”. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imron)
al-ittiba’ yang dimaksud al-ittibā’ adalah mengikuti Rasulullah ,
maka maksudnya adalah mengikuti syariat dan agama atau Sunnahnya dalam setiap
perkataan dan amal perbuatannya, serta dalam berbagai keadaan yang dialaminya.[13]
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari
kata kerja atau fi’il yaitu Ittaba’a-Yattbiu-Ittiba’an, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ
أَيْنَ قَالَهُ
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu mengetahui alasan
perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi definisi :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ بِدَلِيْلٍ رَاجِحٍ
“menerima perkataan
seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan
definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah
mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil
suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
b. Hukum Ittiba’
Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang
dinamakan ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama.
Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”.[14]
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’
adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:
اِتَّبِعُوْا
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ
أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti
selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS.
Al-A’raf ayat 3)
Dalam ayat tersebut
kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa
tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.
Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِى وَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى ـ (رواه ابو داود)
“Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur
Rasyidin sesudahku.” (HR.Abu Daud)
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah
mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan
oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang
lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.
Hukum ittiba adalah wajib, kalau
sekiranya kita tidak bisa berijtihad sendiri. Dan inilah tujuan kita sebagai
seorang muslim agar kita bisa memahami secara baik agama kita dan semua
peraturan-peraturan yang ada di dalamnya. Kita diwajibkan bertanya seandainya
kita tidak mengerti dan mengetahui dalilnya adalah faktor yang penting dalam
kesempurnaan amal kita.
3.
Talfiq
Talfiq berasal dari kata لفّق yang
artinya mempertemukan menjadi satu.[15] Menurut
sumber lain adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai, dan lain sebagainya.[16] Adapun talfiq yang dimaksudkan dalam pembahasa n ilmu Ushul Fiqh adalah
اَلْعَمَلُ بِحُكْمٍ مُؤَلَّفٍ بَيْنَ
مَذْهَبَيْنِ اَوْ اَكْثَرَ
“Mengamalkan suatu hukum yang terdiri dari dua madzhab
atau lebih”
Maksud dari pernyataan diatas, talfiq adalah mengambil suatu hukum
sebagai dasar beramal dalam urusan agama dengan berpedoman dari berbagai
madzhab atau pendapat yang berbeda.
Sebagai contoh, seseorang yang berwudhu mengikuti pendapat Imam
Syafi’I dengan hanya mengusap sebagian kepala lali mengikuti pendapat Abu
Hanifah dalam permasalahan ketidakbatalan wudhu dengan bersentuhan kulit dengan
lawan jenis selain mahrom. Kemudian ia melakukan sholat. Wudhu dengan
semacam ini tidak dianggap sah oleh kedua imam madzhab tersebut. Imam Syafi’i
menganggap wudhu tersebut batal karena bersentuhan kulit dengan lawan jenis
yang bukan mahrom, sedangkan Abu Hanifah tidak memandang sah karena
tidak mengusap sekedar seperempat bagian kepala. Contoh tersebut menggambarkan
bahwa penggabungan pendapat sebagai dasar beramal mengakibatkan amalnya batal.
Karena itu talfiq dibenarkan selama tidak batal amaliyahnya.
Setelah dilakukan penelitian, diperbolehkannya talfiq adalah dalam
perselisihan para ulama, atau lebih jelasnya adalah para fuqoha
muta’akhirin, dan mereka yang fanatik terhadap madzhab, berfatwa bahwa para
qodhi berhak menghukum (ta’zir) terhadap orang yang berpindah
madzhab.
4.
Ijtihad
a.
Pengertian
Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata
“jahada”.[17]
Perubahan kata dari jahada menjadi ijtahada mengandung
beberapa arti, diantaranya ialah, lial-mubalaghah, yaitu menunjuk
penekanan arti, dengan demikian dari kedua bentuk kata masdar diatas menjadi
terdapat kandungan makna kesungguhanya atau kemampuan yang maksimum. Ijtihad
menurut istilah ushuliyyin[18]
بِذْلُ الجهد للوصول إلى الحكم الشرعى من دليل تفصيل من
الأدلة الشرعية
“pencurahan segala
kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ melalui dalil-dalil syara’”.
Adapun kata ijtihad secara terminology, terdapat beberapa definisi
yang dikemukakan oleh ulama, yang pada umumnya menunjukan pengertian yang
hampir sama, dan antara satu definisi dengan definisi lainya bersifat saling
melengkapi. Definisi tersebut antara lain:
1)
Menurut
Imam as-Subki
Pengerahan
kemampuan seorang ahli fiqh untuk menghasilkan hukum syara’ yang bersifat
zhanni
2)
Menurut
al Amidi
Pengerahan
kemampuan secara maksimum, dalam menemukan hukum syara’ yang bersifat zhanni,
sehingga merasa tidak mampu menghasilkan lebih dari temuan tersebut.
3)
Menurut
asy-Syaukani
Pengerahan
kemampuan dalam mencapai hukum syara’ yang bersifat amaliyyah dengan
menggunakan metode istinbath.[19]
4)
Menurut
Muhammad Abu Zahra
Pengerahan
kemampuan seorang ahli fiqh untuk menggali hukum-hukum (syara’) yang bersifat
amaliyyah dari dalil-dalil yang bersifat terperinci.
Dari empat definisi yang dikutip di atas dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan ijtihad memeliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut.[20]
1)
Pengerahan
kemampuan nalar secaara maksimum dari orang yang berpredikat sebagai mujtahid.
2)
Menggunakan
metode istinbath (penggali hukum)
3)
Objek
ijtihad adalah dalil-dalil syara’ yang terperinci
4)
Tujuan
ijtihad adalah untuk menemukan hukum syara’ yang berkaitan dengan
masalah-masalah amaliyah (bukan yang berkaitan dengan masalah akidah
atau akhlak)
5)
Hukum
syara’ yang ditemukan tersebut bersifat zhanni (kuat dugaan; relative), bukan
yang bersifat qathi’i (pasti benar, absolute)
Sementara itu, definisi diatas juga menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan mujtahid adalah, orang yang mengerahkan kemampuan nalarnya secara
maksimum untuk menemukan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil syara’, melalui
metode penggalian hukum tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah amaliyyah.
Dengan kata lain, fungsi mujtahid bukanlah menciptakan atau menetapkan hukum
diluar hukum syara’ (mutsbit li al-hukm), tetapi mengungkapkan dan
membuat terang hukum syara’ (muzhir li al hukm), yang pada hakikatnya memang
telah ada tetapi masih tersembunyi. Uraian lebih terperinci tentang hal ini
akan dikemukakan pada buku kedua, dalam pembahasan alhikam.[21]
b.
Dasar Hukum Ijtihad
Melakukan ijtihad diperbolehkan, dengan catatan harus
mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surotun Nisa’ ayat 59.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ
اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (٥٩)
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ ayat 59)
c.
Macam-macam Ijtihad
Ijtihad dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu sebagai
berikut:
1)
Al-Ijtihad al-bayani, yaitu suatu
kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang
terdapat dalam nashsh al-Qur’an dan sunnah.
2)
Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu
kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum-hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa
hukum yang tidak ada nash al-Qur’an maupun sunnahnya, dengan cara
mengqiyaskannya kepada hukum-hukum syara’ yang ada nash-nya
3)
Al- Ijtihad al-Istishlahi, yaitu
suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa
hukum yang tidak ada nashsh-nya, baik dari al-Qur’an maupun sunnah, melalui
cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan)[22]
d.
Persyaratan
menjadi Mujathid
Tidak sembarang orang dapat menjadi mujtahid. Untuk menjadi
mujtahid, seseorang harus memiliki beberapa persyaratan yang mengindikasikan
bahwa ia memiliki kemampuan dan ahli untuk berijtihad.
Seseorang tidak mungkin disebut memiliki kemampuan dan keahlian berijtihad
jika tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang tujuan pensyariatan hukum
Islam dari nashah-nashsh al-Qur’an dan sunnah. Dalam pada itu, untuk
mengetahui tujuan pensyariatan hokum islam, seseorang harus memiliki beberapa
persyariatan, baik yang bersifat umum maupun khusus, sebagaimana diuraikan di
bawah ini:
1)
Persyaratan Umum
Setiap orang
yang mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid, pertama-tama haruslah memiliki
persyaratan umum, yaitu sebagai berikut:
a)
Baligh; persyaratan baligh bersifat mutlak, sebab untuk menjadi
seorang mujtahid diperlukan kematangan dalam berpikir, sedangkan anak-anak
belum memiliki kematangan berpikir. Itulah sebabnya, anak-anak tidak dibebani
tanggung jawab hukum (tidak muallaf).
b)
Berakal; Agaknya persyaratan ini tidak memerlukan penjelasan lebih
lanjut, karena berijtihad mengandalkan aktivitas akal.
c)
Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami
konsep-konsep yang pelik dan abstrak. Sebab, kegiatan ijtihad tidak dapat
dilakukan oleh yang tidak memiliki kemampuan nalar yang tinggi.
d)
Memiliki keimanan yang baik, dalam arti, keimananya tidak
berdasarkan taqlid, sebagaimana keimanan orang awam. Sebab, orang yang tidak
memiliki persyarat ini, tidak memiliki kedalaman spiritual dan integritas
moral. Akan tetapi, persyaratan yang keempat ini banyak diperdebatkan ulama,
terutama jika yang dimaksudkan dengan keimanan yang baik adalah menguasai ilmu
kalam secara mendalam.[23]
2)
Persyaratan Utama
Setelah
memenuhi persyaratan umum di atas, seorang mujtahid haruslah pula memiliki
beberapa syarat utama sebagai berikut:
a)
Memahami bahasa Arab. Mengetahui bahasa arab merupakan salah satu
syarat terpenting dalam kegiatan ijtihad. Termasuk dalam pengertian memahami
bahasa arab ialah, jika seseorang mengetahui ilmuan-nahwu, ash-sharf, al
balaghah, ma’ani al mufrodat, dan gaya bahasa arab(al-uslub) yang
berbeda-beda dalam mengungkapkan suatu pengertian.
b)
Menguasai ilmu ushul fiqh. Sebab, berijtihad melakukan pembahasan
di seputar masalah memahami hukum dari dalil-dalil syara’. Betapa mungkin
seseorang yang hendak menemukan hukum syara’, tetapi tidak memahami dalil-dalil
syara’. Sebagaimana telah dijelaskan, meskipun pada masa imam madzab sebelum
asy-syafi’i belum ditemukan kitab ushul fiqh, tidak berarti bahwa ilmu ushul
fiqh berbeda. Yang belum ada adalah kitab ushul fiqh yang tulis secara
sistematis. Sedangkan ilmunya sudah ada sejak masa-masa awal Islam. Tidak
mungkin para mujtahid sebelum asy-syafi’i berijtihad tanpa menguasai
kaidah-kaidah istinbath dan memahami tunjukan makna nashsh terhadap hukum. Pada
hakikatnya kedua bidang inilah yang disebut dengan ilmu ushul fiqh.
c)
Memahami al qur’an secara mendalam, minimal yang berkaitan dengan
ayat-ayat hukum (ayat al ahkam). Termasuk dalam persyaratan ini adalah
memahami ilmu asbabun nuzul. Sebab, dengan mengetahui asbab nuzul,
seseorang dapat dengan mudah dan cepat memahami ayat-ayat alqur’an dengan baik.
Demikian juga ilmuan nasikh wa al mansukh, agar ia tidak keliru
menggunakan dalil ayat yang sudah mansukh.
d)
Memahami sunnah. Dalam hal ini, minimal hadis-hadis yang berkaitan
dengan hukum syara’. Persyaratan ini bersifat mutlak, karena sunnah merupakan
sumber hukum kedua setelah Al Qur’an. Termasuk juga dalam persyaratan ini
ialah, memahami ulumul hadis, agar seorang mujtahid dapat membedakan kualitas
dan tingkatan hadis yang akan digunakan sebagai dalil.
e)
Memahami tujuan-tujuan pensyaratan hukum (maqashid asy-
syari’ah). Mengingat persyaratan ini sangat penting, asy-Syatibi
berpendapat bahwa pengetahuan terhadap hal ini merupakan syarat paling utama
dalam berijtihad[24]
e.
Kedudukan Hasil Ijtihad
Apabila kejadian yang hendak diketahui hukum syaraknya
itu telah memiliki dalil yang jelas dan petunjuk serta makna yang pasti, maka
tidak ada peluang untuk ijtihad. Yang wajib adalah melaksanakan pemahaman yang
telah ditunjukkan oleh nash.[25] Hukum
yang dihasilkan melalui ijtihad mempunyai pengaruh terhadap kaum muslimin,
orang yang bertanya, maupun orang yang berijtihad itu sendiri.
1)
Pendapat atau hukum sebagai hasil ijtihad seseorang tidak mengikat kaum
muslimin dan tidak mengharuskan orang lain untuk mengamalkannya.
2)
Berijtihad dalam suatu masalah oleh seseorang tidak mengahalangi orang lain
berijtihad dalam masalah yang sama walaupun
hukum yang dihasilkan berbeda.
3)
Hasil ijtihad adalah pendapat yang
didasarkan atas dugaan kuat (dzanni)
4)
Kedudukan ijtihad sangat penting setelah Al-Qur’an dan Sunnah, dan
berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dll.[26]
Kesimpulan
Setelah memaparkan beberapa pembahasan dalam ilmu Ushul
Fiqh, kita dapat menyimpulkan bahwa urutan kemampuan seseorang dalam
mengamalkan suatu hukum dari yang terendah adalah Taqlid, Ittiba’, Talfiq, dan Ijtihad.
Diantara urutan
tersebut yang lebih baik penggunaannya adalah tergantung dari kemampuan
seseorang itu sendiri.
Daftar Rujukan
Abd. Muchith dalam Jurnal yang berjudul “Sistem
Bermadzhab Paling Proporsional dan Realistis”
Ahmad ibn Taimiyyah al-Harrānī, Majmū’ah al-Fatāwā, ed. ’Āmir
al-Jazzār dan Anwar al-Bāz, Riyadh: Maktabah al-’Ubaikān, 1998, vol. 1.
Alwi, M. Basori.
1974. Ahlussunnah Wal Jama’ah. Malang:
Djalil, A Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Faisol, Al Hakam.
2015. Modul Fiqh wa Ushuluhu Kelas XII Jurusan Keagamaan. Jombang: MAN Denanyar.
Ibrahim Hosen dalam Artikel yang berjudul “Taqlid dan
Ijtihad-Beberapa Pengertian Dasar”
Khallaf, Abdul Wahab.
2003. Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Minhaji,
Akh. 2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyajarta: UII Press.
Rahmandahlan,
Abd. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Sinar Grafika
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqih Jilid 2. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Syarifuddin,
Amir. 2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Catatan:
1. Similarity makalah ini cukup tinggi, 25%.
2. Jika artikel jurnal menjadi referensi, maka harus
diberikan keterangan lengkap jurnalnya. Di makalah ini tidak ditemukan hal tersebut.
3. Dalam KBBI, ditulis Alquran dan sunah. Itu penulisan
yang benar menurut KBBI saat ini.
4. Pendahuluan sudah baik, tapi masih belum bisa mengantarkan
pada pembahasan secara utuh.
5. Kesimpulan terlalu singkat.
6. Kajian mengenai talfiq terlalu sempit, jika dibaca
orang Muhammadiyah mereka akan tersinggung, sebab Muhammadiyah melakukan talfiq.
[1] Ibrahim Hosen dalam Artikel yang berjudul “Taqlid dan
Ijtihad-Beberapa Pengertian Dasar”
[2] Amir Syarifuddin, Garis-garis
Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm. 163
[3] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih
dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 130
[4] Ibid, hlm. 132
[5] Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqih Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), hlm. 462
[6]Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan
Ushul Fiqih, hlm. 132
[7] K.H Abd. Muchith, Jurnal “Sistem
Bermadzhab Paling Proporsional dan Realistis”
[8] M. Basori Alwi, Ahlussunnah
Wal Jama’ah, (Malang, 1974), hlm. 35
[9] Amir Syarifuddin, Garis-garis
Besar Ushul Fiqh, hlm. 165-167
[10] Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqih Jilid 2, hlm. 472
[13]Ahmad ibn Taimiyyah
al-Harrānī, Majmū’ah al-Fatāwā, ed. ’Āmir
al-Jazzār dan Anwar al-Bāz, Riyadh: Maktabah al-’Ubaikān, 1998, vol. 1, hlm.
231.
[14] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), hlm 196.
[15] Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqih Jilid 2, hlm. 482
[16] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, hlm 207.
[18] Al Hakam Faisol, Modul Fiqh wa Ushuluhu
Kelas XII Jurusan Keagamaan, (Jombang: MAN Denanyar, 2015), hlm 61.
[19] Abd.Rahmandahlan,Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, )
hlm 339.
[20] Abd.Rahmandahlan,Ushul Fiqh, hlm 340
[21] Ibid
[22]Abd.Rahmandahlan,Ushul Fiqh, hlm 348
[24]Abd.Rahmandahlan,Ushul Fiqh, hlm 351
[25] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih
Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm 317.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar