HUKUM TAKLIFI, HUKUM WADH’I, MAHKUM FIIH, DAN MAHKUM ‘ALAIH
Arif Rifky Nur Pelangi (15110044)
Abyan Gantaran (15110054)
Luli Nur Amalia (15110198)
Mahasiswa PAI-C
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail :
arifrifky97@gmail.com
Abstract
Islamic law is divided into two divisions. The first division is
taklifi law. Taklifi law is a law that instructs or forbids something or giving
alternatives to do something or not. Taklifi law consists of wajib, mandub,
mubah, makruh, and haram. The second division is wadh’ I. Wadh’I law is a law
that associated with the implementations of taklifi law. Wadh’I law consists of
sebab, syarat, maani’, sah and batal, ‘azimah and rukhshah.
Islamic law is earmarked to mukallaf as a subject. The subject of Islamic
law is named mahkum ‘alaih. And all the things that exposed directly
with Islamic law are named mahkum fiih. Therefore, mahkum fiih is
all the deeds of the implementations of Islamic law.
Keywords : Taklifi law,
wadh’I law, mahkum fiih, mahkum ‘alaih
Abstract
Hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian.Bagian pertama
adalah hukum taklifi.Hukum taklifi adalah suatu hukum yang memerintahkan atau
melarang sesuatu atau pemberian pilihan untuk melakukan sesuatu atau tidak.Hukum
taklifi terdiri dari wajib, mandub, mubah, makruh, dan haram.Bagian kedua
adalah hukum wadh’i.Hukum Wadh’I adalah suatu hukum yang terkait dengan
pelaksanaan hukum taklifi.Hukum wadh’I terdiri dari sebab, syarat, maani’,
sah dan batal, ‘azimah dan rukhshah. Hukum islam sendiri diperuntukkan
untuk mukallaf sebagai subjek. Subjek hukum islam dinamakan mahkum
‘alaih. Dan semua yang berkaitan langsung dengan hukum Islam dinamakan mahkum
fiih.Dengan begitu, mahkum fiih adalah perbuatan dari pelaksanaan
hukum Islam sendiri.
Kata Kunci : Hukum
taklifi, hukum wadh’I, mahkum fiih, mahkum ‘alaih
A.
Pendahuluan
Ulama’
usul fiqh mendefinisikan hukum islam sebagai “titah Allah yang berkenaan
dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, dalam bentuk pilihan
berbuat atau dalam bentuk ketentan yang ditetapkan berkenaan dengan tuntutan
itu”. Hukum Islam merupakan panutan bagi seluruh umat islam. Sudah
sepatutnya umat islam paham dengan hukum Islam itu sendiri. Oleh karena itulah,
makalah ini membahas tentang pembagian hukum Islam, subjek hukum Islam, dan objek hukum Islam.
B. Hukum Taklifi
Hukum yang
berupa perintah, larangan, dan alternative untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan disebut dengan hukum taklifi.Hukum taklifi dapat
dilihat dari dua aspek yang meliputi aspek tuntutan dan aspek pilihan.Pembagian
hukum taklifiberdasarkanaspek tuntutan terbagi menjadi dua yaitu hal apa
yang dituntut serta bagaimana bentuk tuntutannya. Dari aspek apa yang dituntut,
hukum taklifi terbagi menjadi dua yaitu hal yang dituntut untuk
dilakukan dan hal yang dituntut untuk ditinggalkan. Dilihat dari bentuk
tuntutannya, hukum taklifi dibagi menjadi dua yaitu tuntutan pasti dan
tuntutan tidak pasti.Dan hukum taklifi dilihat dari aspek pilihan
terbagi pula menjadi dua bagian yaitu pilihan untuk melakukan suatu perbuatan
atau meninggalkan perbuatan tersebut.[1]
Atau berdasarkan jumhur ulama’ hukum taklifi dilihat dari benruk
tuntutannya dapat dibedakan menjdi :
1.
Perintah
melakukan perbuatan secara tegas dan pasti atau biasa disebut ijab,
perbuatannya disebut dengan wajib dan pengaruh perbuatannya disebut wujud.
Hukum yang bersifat wajib yaitu perbuatan yang menghasilkan pahala bagi yang
melakukan dan menghasilkan dosa bagi yang tidak melakukan atau melanggarnya.
Sebagai contoh, perintah mengerjakan sholat wajib lima waktu. [2]
Perkara yang
bersifat wajib ini dibedakan menjadi :
a.
Wajib
dari segi tuntutan yang pasti dan tidak pasti[3]
·
Wajib
Mu’ayyan, yaitu perbuatan yang tuntutannya sudah jelas. Sebagai contoh,
kewajiban membaca Al-Fatikhah dalam setiap rakaat sholat.
·
Wajib
mukhayyar, yaitu kebolehan memilih satu tuntutan dari tuntutan yang telah
diberikan. Sebagai contoh, memilih kifaratnya orang yang melanggar sumpah
dimana ada 3 opsi yang ditawarkan yaitu memberi makan sepuluh fakir miskin,
memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.
b.
Wajib
dilihat dari segi ketersediaan waktu untuk melaksanakannya[4]
· Wajib mudhayyaq, manakala waktu
yang dibutuhkan untuk melaksanakan perkara wajib sama dengan waktu yang telah
ditentukan untuk melaksanakan perbuatan tersebut. Sebagai contoh, kewajiban
menunaikan puasa Ramadhan selama sebulan penuh
· Wajib muwassa’, manakalatersedianya
waktu lebih banyak untuk melaksanakan perkara wajib daripada waktu yang
dibutuhkan. Hal ini memungkinkan mukallaf untukmemilih waktu melaksanakan perkara wajib
selagi masih ada batas waktu. Sebagai
contoh, sholat ashar.
c.
Wajib
dilihat dari orang yang dibebadi perkara wajib[5]
·
Wajib
‘ain, yaitu perkara wajib yang harus dilaksanakan oleh semua mukallaf.
Misalnya, kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan.
·
Wajib
kifayah, yaitu perkara wajib yang berlaku secara kolektif. Apabila ada
diantara mukallaf yang sudah melaksanakan kewajiban tersebut maka mukallaf
yang lain kewajibannya ikut gugur. Misalnya, kewajiban mengurus jenazah.
d.
Wajib
dilihat dari kadarnya[6]
·
Wajib
Muhaddad, yaitu perkara wajib yang telah ditentukan jumlah dan kadarnya.
Sebagai contoh, jumlah rakaat sholat wajib.
·
Wajib
ghairu Muhaddad, perkara wajib yang tidak ada
ketentuan jumlah dan kadarnya. Sebagai contoh, kewajiban menuntt ilmu
Mayoritas ulama’ ushul fiqh tidak
membedakan antara perintah yang qath’I dan dzanny.Keduanya dikelompokkan dalam
hal wajib atau fardhu.Namun, ulama’ madzab Hanafiy membedakannya.Mereka
berpendapat bahwa perintah yang qath’I disebut fardhu sedangkan yang
dzanny disebut wajib.[7]
2.
Perintah
melakukan perbuatan yang dilakukan secara tidak tegas dan pasti atau disebut
dengan nadab. Perbuatannya disebut dengan mandubatau sunah atau
mustahab. Dan pengaruh perbuatannya disebut dengan nadab juga.
Perkara yang mandub ini merupakan perkara yang tidak mengikat sehingga
pelakunya akan mendapat pahala sedangkan pelanggar perbuatannya juga tidak
mendapat apa-apa[8].
Perkara mandub dapat dibedakan menjadi :
a.
Sunah
‘ain, yaitu perkara yang dianjurkan bagi setiap mukallaf.
Misalnya, sunahnya shalat sunah rawatib
b.
Sunah
kifayah, yaitu perkara sunnah yang dianjurkan dengan cukup dipenuhi oleh
salah seorang dari semua mukallaf. Sebagai contoh, mendo’akan orang yang
bersin
c.
Sunah
muakkad, yaitu sunah yang banyak dikerjakan Rasululah dan hampir tidak
pernah ditinggalkan sehingga sangat dianjurkan bagi setiap mukallaf.
Sebagai contoh, shalat Idul Fitri
d.
Sunnah
ghairu muakkad, yaitu sunnah yang biasa dikerjakan
Rasulullah namun tidak selalu dikerjakan .sebagai contoh, bersedekah pada fakir
miskin.[9]
3.
Perintah
menghindari suatu pebuatan yang dilakukan secara tegas dan pastiatau biasa disebut tahrim. Perbuatannya
disebut haram dan pengaruh perbuatannya disebut hurmah. Perkara
yang haram menimbulkan dosa bagi pelakunya dan menimbulkan pahala bagi yang
menjauhinya. [10]Perkara
haram dapat dibedakan menjadi :
a.
Haram
yang bersifat mutlak dikarenakan perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh
membunuh, mencuri, dan lain sebagainya
b.
Haram
karena ada penyebab yang membuat perbuatan tersebut menjadi haram. Sebagai
contoh, jual beli dengan sistem riba. [11]
4.
Perintah
untuk meninggalkan suatu perbuatan tetapi tuntutan tersebut tidak bersifat
pasti dan tegas. Perkara ini biasa disebut dengan karahah, pengaruh
perbuatannya juga disebut karahah, sedangkan perbuatannya disebut makruh.
[12]Perkara
yang makruh ini dibedakan menjadi dua yaitu :
a.
Makruh
tanzih, semua perbatan yang lebih dianjurkan untuk meninggalkannya
daripada melakukannya. Sebagai contoh, merokok.
b.
Makruh
tahrim, yaitu semua perbuatan yang larangannya tidak pasti atau berasal
dari dalil yang zhanni. Misalnya, memakan daging ular. [13]
5.
Perkara
yang oleh Allah tidak diperintahkan untuk dilaksanakan dan tidak pula dilarang
untuk melaksanakannya. Perkara seperti ini disebut dengan ibahah,
pengaruh perbuatannya juga disebut dengan ibahah, dan pebuatannya
disebut dengan mubah. Perbuatan ini tidak menimbulkan pahala ataupun
dosa bagi pelakunya. [14]Secara
garis besar, perkara mubah dapat dibedakan menjadi :
a.
Segala
perbuatan yang kebolehannya secara pasti dijelaskan dalam dalil syara’. Sebagai
contoh, kebolehan mengucapkan sumpah dengan tanpa disengaja (QS. Al-Baqarah
ayat 225)
b.
Segala
perbuatan yang keblehannya tidak disebutkan secara pasti oleh dalil syara’ tapi
ada perintah untuk melaksanakannya berdasarkan qarinah (bersifat boleh,
bukan wajib). Misalnya, perintah berburu seusai melaksanakan haji (QS.
Al-Maidah ayat 2)
c.
Segala
perbuatan yang tidak dijelaskan kebolehan dan ketidakbolehannya secara jelas
dan pasti dalam dalil syara’. Hukumnya dikembalikan pada hukum baraat
al-ashliyyah (bebas menurut asalnya) selagi tidak ada dalil yang
melarangnya. Sebagai contoh, jual beli. [15]
C. Hukum Wadh’i
Yang disebut
dengan hukum wadh’i merupakan segala hal yang terkait dengan pelaksanaan
hukum taklifi.Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum wadh’i tidak
berhubungan langsung dengan tuntutan Allah (hukum taklifi) melainkan
terkait dengan pelaksanaannya baik mencakup sebab, syarat, maani’, sah
dan batal.Dan beberapa ulama’ ushul fiqh memasukkan rukhshah dan ‘azimah
kedalam pembahasan hukum wadh’i.[16]Hukum
wadh’I dapat timbul ketika ada keterikatan antara dua subjek. Dua subjek
tersebut antara lain sebab-musabbab, syarat-yang memerlukan syaratkan, mani’-mamnu’,
dan ‘azimah-rukhshah.[17]
1.
Sebab
Yang disebut
dengan sebab adalah segala sesuatu yang menjadikan ada atau tidaknya suatu
hukum.[18]Ulama
membedakan sebab ini menjadi beberapa bagian :
·
Illat, yaitu alasan yang
mengakibatkan adanya hukum taklifi. Sebagai contoh, illat
diharamkannya khamr adalah memabukkan.
·
Sebab,
yaitu tanda atau tolak ukur atau waktu pelaksanaan hukum taklifi.
Sebagai contoh, datangnya Idul Fitri ditandai dengan kemunculan hilal. [19]
Hanafi mmbedakan sebab menjadi 6, diantaranya :
a.
Sebab
diluar kemampuan mukallaf, atau dalam hal ini seperti keadaan darurat. Sebagai
contoh, kebolehan memakan bangkai karena tidak memiliki makanan lagi.
b.
Sebab
didalam kemampuan mukallaf.
c.
Menghendaki
keterikatan sebab-musabbab. Sebagai contoh, menikah menimbulkan
munculnya kewajiban kepada suami atau istri.
d.
Mengerjakan
sebab dan secara otomatis mengerjakan musabbab baik sengaja
maupun tidak sengaja. Seperti hukuman qishas dalam pembunuhan.
e.
Orang
yang mengerjakan sebab beserta syarat dan ketiadaan penghalang, maka
tidak dapat mengelak dari musabbabnya. Adanya hak milik melalui jual
beli. Meskipun tidak mau memiliki ia tidak bisa lepas dari hak tersebut.
f.
Sebab
yang dilarang akibat menimbulkan mudharat atau tidak menghendaki
kemashlahatan. [20]
2.
Syarat
Yang disebut dengan syarat adalah sesuatu yang keberadaanya tidak
selalu menimbulkan hukum. Jadi, syarat dan sebab dapat dikatakan sama. Yaitu
sama-sama menimbulkan hukum, tapi syarat tidak dapat selalu menimbulkan hukum.Sebagai
contoh, terlihatnya hilal merupakan sebab datangnya Idul fitri tapi setelah
melaksanakan wudlu seseorang belum dikatakan bahwa sholatnya sah karena untuk
melaksanakan sholat juga harus menghadap kiblat.[21]Dari
segi peletakan syarat itu sendiri dibedakan menjadi :
a.
Rukun,
segala sesuatu yang dipenuhi saat melaksanakan suatu hukum atau masuk dalam
rangkaian hukum tersebut. Sebagai contoh, membaca Surat Al-Faatikhakh dalam
sholat
b.
Syarat,
segala sesuatu yang dipenuhi sebelum melaksanakan suatu hukum dan dilakukan
diluar pelaksanaan hukum tersebut. Sebagai contoh, pelaksanakan wudlu sebelum
sholat.[22]
3.
Maani
Maani’ didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menghilangkan
suatu hukum atau menjadikan hukum tersebut batal.[23]Maani’
dapat dibedakan menjadi :
a.
Maani’ terhadap hukum. Yaitu adanya penghalang yang menyebabkan batalnya
hukum. Sebagai contoh, terhalangnya perolehan waris karena pewaris berbeda
agama dengan ahli waris.
b.
Maani’ terhadap sebab hukum. Yaitu adanya penghalang yang menjadikan
gugurnya sebab hukum sehingga berdampak pula pada batalnya hukum. Sebagai
contoh, seseorang yang memiliki harta senisab tetapi tidak memiliki kewajiban
berzakat karena hutang yang mengurangi nisab tersebut. [24]
4.
Sah
dan batal
Sah dan batal
merupakan hasil pelaksanaan hukum taklifi yang dikaitkan dengan hukum
wad’i. Manakala dalam melaksanakan hukum taklifi, hukum wad’Inya telah dipenuhi
atau tidak terdapat maani’ maka pelaksanaan hukum taklifi
tersebut dihukumi sah. Sebaliknya apabila dalam melaksanakan hukum taklifi,
hukum wadh’inya tidak dipenuhi seluruhnya atau adanya maani’ maka
pelaksanaan hukum taklifi tersebut dihukumi batal.[25]
5.
‘azimah dan Rukhshah
Istilah ‘azimah
diartikan sebagai sesuatu yang berlaku secara umum tanpa melihat situasi dan
kondisi.Sebagai contoh, kewajiban sholat bagi seluruh mukallaf.Sedangkan
rukhshah diartikan sebagai sesuatu yang menimbulkan adanya pengecualian
dikarenakan suatu udzur tertentu.Sebagai contoh, kebolehan mengqashar
sholat bagi musafir.Adanya rukhshah ini dilatarbelakangi oleh kaidah
“kesulitan menyebabkan adanya kemudahan”.‘azimah dan rukhshah
berkaitan dengan hukum taklifi dan hukum wadh’i berdasarkan
kesesuaian pelaksanaanya dan dalil awal yang berkaitan dengannya. [26]
Bentuk-bentuk rukhshah
diantaranya :
a.
Adanya
pembatalan kewajiban. Contoh, kebolehan tidak melaksanakan sholat jum’at bagi
lelaki yang sakit.
b.
Adanya
pengurangan kewajiban. Contoh, kebolehan mengqashar sholat.
c.
Kebolehan
mengganti kewajiban. Contoh, kebolehan mengganti puasanya orang tua dengan fidyah.
d.
Penangguhan
kewajiban. Contoh, sholat jama’ takhir.
e.
Pendahuluan
pelaksanaan kewajiban. Contoh, sholat jama’ taqdim. [27]
D. Mahkum Fiih
Beberapa ulama ushul fiqih
berpendapat bahwasannya mahkum fiih(Objek
Hukum) adalah sesuatu perbuatan yang berlaku padanya (mukallaf) hukum
syar’i.[28]Jadi,
yang dimaksud objek hukum yaitu perbuatan itu sendiri, karena pada zatnya itu
tidak berlaku hukum, melainkan terdapat pada perbuatannya.Contohnya minuman
keras.Tidak ada hukum yang mengenai/berlaku padaa minuman keras tersebut.Yang
dilarang adalah perbuatannya, yaitu meminum-minuman keras, bukan pada zat
minuman keras tersebut.[29]
Misal Hukum wajib :
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواأَوْفُوابِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu . . . ”
(Q.S. Al-Maidah : 1)
Hukum wajib yang dimaksud dari ayat tersebut yaitu perbuatan mukallaf
mengenai memenuhi janji.Maka memenuhi janji adalah wajib.
Misal Hukum sunah (nadb):
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواإِذَاتَدَايَنْتُمْبِدَيْنٍإِلَىٰأَجَلٍمُسَمًّىفَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. …”
(Q.S. Al-Baqoroh : 282)
Hukum sunah yang dimaksud dari ayat tersebut yaitu perbuatan mukallaf
mengenai mencatat piutang.Maka mencatat piutang hukumnya sunah.[30]
Misal Hukum haram (Tahrim) :
وَلَاتَقْتُلُواالنَّفْسَ
“. . . dan janganlah
kamu membunuh jiwa . . .”
(Q.S. Al-An’am : 151)
Hukum haram yang dimaksud dari ayat tersebut yaitu perbuatan mukallaf
mengenai membunuh jiwa.Maka perbuatan membunuh hukumnya haram.
Misal Hukum makruh (Karohah) :
وَلَاتَيَمَّمُواالْخَبِيثَمِنْهُتُنْفِقُونَ
“… Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya. …”
(Q.S. Al-Baqoroh : 267)
Hukum makruh yang dimaksud dari ayat tersebut yaitu perbuatan mukallaf
mengenai sedekah.Maka bersedekah merupakan hukum makruh.
Misal Hukum boleh (Ibahah) :
فَمَنْكَانَمِنْكُمْمَرِيضًاأَوْعَلَىٰسَفَرٍفَعِدَّةٌمِنْأَيَّامٍأُخَرَ
“… Maka barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain …”
Hukum boleh yang dimaksud dari ayat tersebut yaitu mengenai
kebolehan berbuka ketika sakit dan bepergian.Maka ketika sakit dan bepergian
hukumnya boleh untuk berbuka.[31]
Jadi, semua perbuatan mukallaf
harus dikaitkan dengan hukum diatas, baik berupa tuntutan, pilihan, atau
penetapan.
Dalam taklif, perbuatan merupakan
syarat sahnya. Ulama berpendapat perbuatan yang sah sesuai syariat itu ada tiga
syarat, yaitu :
1.
Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang dibebankan kepadanya, sehingga mukallaf
dapat melaksanakannya dengan benar. Oleh karena itu, ayat-ayat yang masih belum
jelas atau masih umum, harus terdapat penjelasan lewat hadist Rosul Saw.
Contohnya seperti berikut :
صَلُّواكَمَارَأَيْتُمُونِيأُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”
Ayat tersebut memperjelas tata cara
pelaksanaan sholat, karena di dalam
Al-quran hanya terdapat kata aqimu sholah
(dirikanlah sholat), tidak disebutkan bagaimana cara melaksanakan sholat.
Dan apabila belum ada penjelasan
dari Nabi, mukallaf sendiri tidak dituntut untuk menjalankan perintah
tersebut.
2.
Mukallaf harus mengetahui sumber pentaklifan tersebut. Siapa yang
mentaklif. Mukallaf tidak harus mengetahui secara nyata, melainkan
mengetahui menurut akal sehat saja. Jika mukallaf mampu mengetahui hukum
syara’ baik dari diri sendiri maupun orang lain, ia sudah dianggap mengetahui.
Karena ia tahu apa yang dibebankan terhadapnya dan mampu melaksanakannya. Oleh
karena itu, alasan tidak mengetahui hukum tidak berlaku terhadap mukallaf
tersebut.[32]
3.
Perbuatan
yang dibebankan kepada mukallaf memungkinkan untuk dikerjakan, atau
seorang mukallaf kiranya mampu untuk melaksanakan atau meninggalkan.
Dari pernyataan tersebut ada dua hal yang memungkinkan :
a.
Tidak
sah apabila terdapat sesuatu yang mustahil. Maksudnya mustahil secara akal
seperti sesuatu yang tidak mungkin di temukan atau dilakukan secara akal
manusia. Contohnya seperti perintah untuk terbang tanpa menggunakan alat
apapun. Perintah tersebut tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia dan tidak
masuk akal.
b.
Tidak
sah apabila membebankan mukallaf sesuatu yang membuat orang lain
melaksanakan perbuatan maupun meninggalkan. Contohnya, tidak dibebankan kepada
seseorang agar ibunya selalu bersedekah agar suaminya mau pergi ke masjid, atau
temannya mau melaksanakan sholat. Karena semua yang ditaklifi terhadap mukallaf
yang bersifat khusus dinamakan memberi nasihat dan melaksanakan amar ma’ruf
nahi munkar.[33]
Dalam
melaksanakan hukum Islam (mahkum fiih), adanya perbuatan tersebut
dimaksudkan untuk kemaslahatan umum atau khusus.Perbuatan untuk kemaslahatan
umum adalah hak Allah dan perbuatan untuk kemaslahatan khusus adalah hak hamba
itu sendiri.
1.
Semata-mata
hak Allah
Hak Allah ini bibagi menjadi delapan yaitu :
a. Ibadah Mahdhah
b.
Bantuan
yang mengandung nilai ibadah
c.
Biaya
yang dikeluarkan karena hukuman. Seperti, kharaj (pajak untuk warga yang
tidak ikut berjihad)
d.
Qishas dan jinayat (hukuman smpurna)
e.
Hukuman
tidak sempurna seperti hilangnya hak menerima waris karena membunuh pewaris
f.
Hukuman
yag mengandung nilai ibadah. Seperti, kafaratnya orang yang melanggar
sumpah.
g.
Kewajiban
yang harus dipenuhi, seperti kewajiban membayar seperlima dari harta terpendam.
2.
Hak
hamba, seperti hak kepemilikan
3.
Antara
hak Allah dan hamba dimana hak Allah lebih besar daripada hak hamba. Seperti, qadzaf
(menuduh zina)
4.
Antara
hak Allah dan hak hamba dimana hak hamba lebih besar daripada hak Alah.
Seperti, qishas. [34]
E. Mahkum
‘Alaih
Secara bahasa mahkum ‘alaih yaitu subyek hukum. Sedangkan
secara istilah terdapat dari beberapa pendapat, yang pertama yaitu :
1.
orangmukallaf
yang dibebani hukum karena dialah yang perbuatannya dihukumi untuk diterima
atau ditolak dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau larangan.[35]
2.
Perbuatan
mukallaf yang menyangkutkan hukum syar’I dan disyaratkan si mukallaf
itu untuk mensahkan taklifnya menurut syari’at.[36]
Pada dasarnya
semua manusi dan jin dikategorikan sebagai mukallaf tanpa adanya penggolongan
berdasarkan usia dan keadaan kejiwaan. Tapi pada kenyataanya, prinsip tersebut
dilanggar berdasarkan faktor-faktor yang membatasinya.[37]
Mengenai sahnya dari pengertian diatas yaitu memberi beban kepada mukallaf,
dalam syara disyariatkan dua syarat yaitu :
1.
Mukallaf dapat memahami dalil taklif. Maksutnya yaitu bahwa dia mampu
memahami undang-undang yang dipaksakan kepadanya itu dari Al-Qur’an dan sunnah
itu sendiri atau dengan perantara. Apabila orang tersebut tidak sanggup
memahami dalil taklif itu maka tidak mungkin dia melaksanakan apa yang
dipaksakan kepadanya itu dan tidak akan berhasil apa yang dimaksudkannya
tersebut.
2.
Mukallaf adalah dia ahli tentang tanggung jawab yang dipikulnya atau orang
yang mengerti dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Ahli disini maksutnya
yaitu baik tindakannya, dan ahli tersebut terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :
a.
Ahli
wajib, yaitu baik tindakan seseorang tersebut karena itulah dia tetap mempunyai
hak dan kewajiban yang diwajibkan kepadanya. Keistimewaan dalam hal ini
dinamakan Fuqaha Zimah. Zimah itu sendiri artinya sifat fitrah insani dimana
manusia mempunyai hak kepada lainnya dan diwajibkan juga kepadanya kewajiban
kewajiban terhadap lainnya. Semua keahlian tersebut sifatnya sama kepada semua
manusia. Baik bagi laki-laki maupun perempuan, anak-anak, mumayiz, baligh, dan
orang gila sekalipun.
b.
Ahli
bertindak,[38]
yaitu baiknya tindakan mukallaf yang menurut dalam syariat ialah baik
dalam perkataan maupun perbuatannya. Dari hal sinilah sumber pertama adanya
perjanjian atau tindakan tindakan lainnya yang dii’tibarkan sebagai syari’at
dan diatasnya itulah ditetapkannya hukum-hukum. Seperti contohnya puasa, haji,
dan semua perbuatan yang diwajibkan lainnya.
Adapun beberapa penjelasan yang
lebih rinci tentang keadaan seseorang kepada keahliannya, yaitu :
1.
Keadaan
seseorang dinisbatkan kepada keahlian yang diwajibkan. Yang pertama dijelaskan
pada orang yang ahli wujub yang dipunyainya itu kurang dan setelah diperbaiki
maka barulah mempunyai hak, karena yang diwajibkan kepadanya itu
terdapatbeberapa kewajiban atraupun sebaliknya yang harus dilakukan..sebagai
contoh yaitu : janin yang masih didalam perut ibunya. Dia mempunya hak untuk
tetap menerima waris maupun wasiat, tetapi bagian tersebut tidak diwajibkan
bagi janin itu sendiri.
2.
Keadaan
seseorang dinisbahkan kepada keahlian bertindak. Terbagi menjadi 3 yaitu :
a.
Pada
mulanya dia tidak ahli bertindak. Seperti anak-anak yang pada masa kanak-kanak,
maupun orang gila dalam usia kapan saja. Kedua golangn tersebut masih belum
mempunyai akal atau tidak berakal, karena itu pula kedua golongan ini tidak
tersusun dalam hadist syar’i baik berupa perkataan maupun perbuatan. Seluruh
perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu adalah batal, anak-anak maupun orang
gila itu dianggap tidak bersalah selama tidak berakal ataupun masih belum
waktunya.
b.
Orang
yang kurang ahli dalam bertindak. Yaitu orang yang telah mumaiz tapi belum
baligh, yaitu golongan pada masa anak-anak yang masih dalam masa akal yang
lemah. Seperti contohnya : apabila telah dianggap mumayyiz ketika segala
kegiatan ataupun tindakan yang dilakukan itu bermanfaat maka dianggap sah.
c.
Orang
yang sempurna keahliannya dalam bertindak maka digolongkan sebagai orang yang
berakal dan baligh. Hukum ini dianggap ahli ketika belum terdapat hal-hal yang
dapat menunjukkan orang pada golongan ini mempunyai akal rusak ataupun masih
kurang, jadi harus benar-benar memiliki akal yang seudah memenuhi syarat.
F. Kesimpulan
Secara garis besar hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
hukum taklifi dan hukum wadh’i.Hukum taklifi berisi semua perintah atau
larangan atau pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan.Hukum taklifi dibedakan menjadi wajib, mandub, mubah, makruh, dan
haram.Sedangkan hukum wad’I adalah segala sesuatu yang terkait dengan
pelaksanaan hukum taklifi.Hukum wadh’I ini dibedakan menjadi sebab, syarat,
maani’, sah dan batal, serta ‘azimah dan rukhshah.Hukum
taklifi secara otomatis menimbulkan suatu hukum, namun hukum wadh’I belum tentu
menimbulkan suatu hukum.hukum wadh’I baru dapat menimbulkan suatu hukum saat
ada keterkaitan antara dua subjek.
Mahkum fiih merupakan sesuatu
perbuatan yang berlaku padanya (mukallaf) hukum syar’i.Mukallaf
harus mengetahui perbuatan yang dibebankan kepadanya, sehingga mukallaf
dapat melaksanakannya dengan benar.Diantara syarat sah mahkum fiih menurut para
ulama’ adalah mukallaf harus ahu perbuatan yang dibebankan padanya, mukallaf
harus mengetahui sumber pentaklifan tersebut, perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf
memungkinkan untuk dikerjakan, atau seorang mukallaf kiranya mampu untuk
melaksanakan atau meninggalkannya.
Mahkum ‘alaih disebut juga sebagai
subjek hukum.Atau secara istilah merupakan orang mukallaf yang dibebani
hukum karena dialah yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak dan
termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau larangan.Diantara syarat mahkum
‘alaih adalah mukallaf dapat memahami dalil taklif, mukallaf
adalah dia ahli tentang tanggung jawab yang dipikulnya atau orang yang mengerti
dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Nur. Perbuatan dan Tanggung Jawab Hukum dalam
Konteks Ushul Fiqh. Jurnal An-Nahdhah STAIN Maarif Jambi
Bahri, Samsul.2008. Metodologi HUKUM ISLAM. Yogyakarta :
Penerbit TERAS
Dahlan, Zaini, dkk. 1992. Filsafat
Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara dan DEPAG
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu
Ushul Fiqih. Semarang : DINA UTAMA
Koto, Alaiddin.2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.
Jakarta:Rajagrafindo Persada
Maryani. Mei 2015. Taklif dan Mukallaf Menurut Al-Syeikh
Muhammad Nawawi Al-Bantani. Jurnal Hukum ISTINBATH, Vol. 12. No. 1
Prawiro, Atmo. Juli-Desember 2015.Perbuatan dan Pertanggungjawaban
Hukum dalam Bingkai Ushul Fikih (Refleksi Pemikiran Terhadap Realitas TKW).
Jurnal Hukum Islam An-Nawa, Vol. XVII
Suyatno. 2016. Dasar-Dasar
Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. Yogyakarta:Ar-Ruzz Media
Syarifuddin, Amir. 212. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana
Yasin, Ahmad. Ilmu Usul Fiqh (Dasar-Dasar Istinbat Hukum Islam).
Surabaya : UIN Sunan Ampel Surabaya
Catatan:
1.
Similarity 6%. Cukup bagus.
2.
Pendahuluannya kurang representatif, masak Cuma satu paragraf.
3.
Pengulangan footnote ada caranya sendiri.
[1]
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media,
2016), hlm. 111
[2]Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012), hlm.
7
[3]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo
Persada, 2006), hlm. 44
[7]
Achmad Yasin, Ilmu Usul Fiqh (Dasar-Dasar Istinbath Hukum Islam),
(Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya), hlm. 132
[8]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012),
hlm. 7
[9]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo Persada,
2006), hlm.47
[10]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012),
hlm. 7
[11]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo
Persada, 2006, hlm.46
[12]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012),
hlm. 8
[13]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo
Persada, 2006, hlm.47-48
[14]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012),
hlm. 8
[15]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo
Persada, 2006, hlm.48
[16]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012),
hlm. 18
[17]
Zaini Dahlan, dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara dan
DEPAG, 1992), hlm. 133
[18]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo
Persada, 2006, hlm. 49
[19]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,
2012), hlm. 18-19
[20]
Muhammad Nur Ali, “Perbuatan dan Tanggung Jawab Hukum Dalam Konsep Ushul Fiqh”
Jurnal An-Nahdhah. (Jambi:STAIN Maarif), hlm. 6
[21]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,
2012), hlm. 20
[23]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:Rajagrafindo
Persada, 2006, hlm. 52
[25]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,
2012), hlm. 21-22
[26]Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012), hlm.
22-23
[28]
Samsul Bahri, Metodologi HUKUM ISLAM, (Yogyakarta
: Penerbit TERAS, 2008), Hlm. 59
[29]
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih &
Ushul Fiqih, (Jogjakarta : AR-RUZZ MEDIA, 2011), Hlm. 128
[30]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih,
(Semarang : DINA UTAMA, 1994), Hlm. 187
[31]Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang
: DINA UTAMA, 1994), hlm. 202
[32]
Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam,
(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012), Hlm. 130-131
[33]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih,
(Semarang : DINA UTAMA, 1994), Hlm. 191-192
[34]Atmo
Prawiro, “Perbuatan dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Bingkai Ushul Fiqh
(Refleksi Pemikiran terhadap Realitas TKW)” An-Nawa Jurnal Hukum Islam,
Vol. XVII, (Juli-Desember 2015), hlm. 134-135
[35]
Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam. (Yogyakarta
: TERAS 2008), hlm. 59
[36]Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta
: PT RINEKA CIPTA), hlm. 163
[37]Maryani,
“Taklif dan Mukallaf Menurut Al-Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani” Jurnal Hukum
Istinbath.Vol. 12.No. 1 (STAIN Jurai Siwo Metro, Mei 2015), hlm. 6
Penjelasannya sangat lengkap Jasa Pembuatan Website Toko Online serta layanan Jasa Pembuatan Website Penjualan Online dan
BalasHapusJasa Pembuatan Online Shop
Grosir Jilbab Murah - Jilbab Segi Empat Terbaru dan Jilbab Instan Terbaru serta Jasa Pembuatan Website Murah serta Buat Toko Online Murah