Hadist di Tinjau dari Aspek Kualitasnya
P.IPS
A
Annisa
Yuris Din Assyifa (16130076)
Yuni
Dwi Irmawati (16130080)
Asti
Fathimatin Hamdiyah (16130152)
Abstract
The science of
Al-Jarh wa al-Ta'dil is the science that explains the disability and cleanness
of a hadith-speakers by using special words, as well as assessing whether his
history is accepted. the science of al-Jarh wa al-Ta`dil is to determine
whether a person's transmission is acceptable or rejected altogether. If a
narrator is badly judged by the experts, his or her history must be rejected,
and if a narrator is touted as a just person, his or her history is accepted,
as long as the other conditions are met.The narrators of hadith are not of
the same degree, whether in terms of justice or dhabith's and hapalannya. In
the aspects of memorization: there are perfect, some are not good in hapalan or
accuracy, and some are often forgotten and wrong when they enter the category
of people who are fair and trust, in addition there are also included in the
group of liars. The condition of these different and storied narrators of
hadith - then with the permission of Allah - is revealed through the work of
all jawarih the hadith scholars who tirelessly work to authenticate the hadith.
After that they also set jarh and ta`dil ranking along with the determination
of the pronunciations that indicate the different levels of the speakers of
hadith.
Keywords:
science of Al-Jarh wa al-Ta`dil, sahih, daif, narrator
A.
PENDAHULUAN
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa hadist mutawatir memberikan pengertian yang yaqin bi
al-qath’, artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan
taqrir (persetujuannya) di hadapan para sahabat berdasarakan sumber-sumber yang
bayak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenaran sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka ia
harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanad-nya
maupun matan-nya. Berbeda dengan hadist ahad yang hanya memberikan faedah
zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan
penyeledikan, baik terhadap matan maupun sanad-nya, sehingga status hadist
tersebut menjadi jelas, apakah dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak.[1]
Sehubungan
dengan itu, para ulama ahli hadist membagi hadist dilihat dari segi
kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadist shahih, hadits hasan, dan hadist
dha’if.[2]
Karena
hadist mutawatir sebagaimana telah dijelaskan, pasti shahih, maka pembagian
tiga macam tersebut adalah berdasarkan nilai dari hadist ahad. Ulama yang
pertama kali mengadakan pembagian tiga macama tersebut adalah Imam Turmudzi
kemudian diikuti oleh ulama’-ulama’ berikutnya. Sebelum Imam Turmudzi Ulama’
hadist membaginya hanya dua macam yakni hadist shahih dan hadist dha’if, hanya
saja hadist dha’if itu ada dua macam yakni:
1) Hadist
dha’if yang tidak dapat/ tidak boleh diamalkan dan dipakai hujjah dan
2) Hadist
dha’if yang tidak seberapa kelemahannya sehingga tidak ada halangan untuk
dipakai hujjah.
Hadist macam inilah yang oleh Imam Turmudzi serta
ahli hadist berikutnya disebut hadist hasan.[3]
B.
HADIST
SHAHIH
Hadist
shahih adalah hadist yang sanadnya bersambung, di kutip oleh orang yang adil
lagi cermat daeri orang yang sama, berakhir sampai pada Rasulullah SAW, atau
sahabat, atau tabi’in tidak terdapat syadz dan tidak mempunyai illat[4]
Hadist
shahih didefinisikan sebagai sebuah hadist yang sanadnya muttashil (bersambung)
sampai kepada Nabi Muhammad SAW, melalui rawi-rawi dengan karakteristik moral
yang baik (‘adl) dan tingkat kapasitas intelektualitas (dlabth) yang mempuni,
tanpa ada kejanggalan dan cacat, baik dalam matan maupun sanadnya.[5]
Istilah
hadist shahih merupakan bagian hadist ahad maqbal dilihat dari segi
kualitasnya. Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan defisininya, namun
dari beberapa definisi itu dapatlah dirumuskan bahwa hadist shahih adalah
hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang adil, kuat ingatannya,
serta terhindar dari kejanggalan-kejanggalan dan illat[6]
Shahih
menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah ,
beberapa ahli memberikan definisi antara lain sebagai berikut:
1) Menurut
Ibn al_shalah, hadist shahih adalah “hadist yang sanadnya bersambung
(muttashil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang
adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat.
2) Menurut
Imam al-Nawawi, hadist shahih adalah “hadist yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh para perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak
ber’illat.
Dari definisi di atasa dapat dipahami bahwa
syarat-syarathadist shahih adalah pertama, sanadnya bersambung. Kedua,
perawinya bersifat adil, ketiga, perawinya bersifat dhabith. Keempat, matannya
tidak syaz. Dan kelima, matnnya tidak mengandung illat.[7]
1) Ittisholus
sanad artinya bersambung-sambung sanadnya mulai dari awal sanad sampai dengan
akhir sanad tidak boleh ada yang putus atau gugur perawinya. Sebagaimana contoh
hadist: (buku ilmu mushthalah hadist hlm 35)
2) Semua
perawinya yang meriwayatkan hadist itu adalah adil. Pengertian adil, disamping
orang-orang itu harus mulim, baligh, dan berakal sehat para ulama’ berbeda
pendapat tentang sifat yang lain yangb harus ada. Sebagian ulama’ mengatakan
harus tidakpernah berbuat dosa besar dan tidak menjalankan dosa kecil yang
berulang kali, sebagian lagi berpendapat bahwa ialah orang yang selalu terbiasa
dalam perbuatan-perbuatan taat dan menjaga muruahnya ( kehormatannya) sesuai
dengan kedudukannya.
3) Semua
perwainya hadur bersifat dhabith, dhabith artinya orang yang hafal serta teliti
sehingga ia hafal apa yang ia dengan dan ia dapat mengeluarkannya dengan mudah
bilamana dikehendakinya. Jadi mereka mempunyai tiga fungsi otak yang baik
yakni:
a) Dalam
retention (mengecamkan)
b) Remembering
(mengingat)
c) Recalling
( memproduksi kembali)
Pengertian dhabith sebagaimana tersebut dinamakan
dhabith shadran. Selain dhabith sadran adapula dhabith kitaban maksudnya cukup
bersungguh-sungguh dan berhati-hati di waktu menuliskan apa yang di dengarnya,
terhindar dari kekeliruan atau salah, kemudian ia memeliharanya tulisan itu
dengan baik.sehingga di waktu ia hendak menyampaikannya tulisan tersebut kepada
orang lain, masih tetap seperti keadaan semula.
1) Hadist
itu selamat dari syadz. Syadz menurut bahasa berarti menyendiri.yang dimaksud
di sini ialah bahwa sanad atau matan yang diriwayatkan orang yang tsiqah (oramg
adil lagi dhabith), tetapi sanad atau matan itu menyalahi riwayat orang yang
lebih tsiqah. Atau hadist itu menyalahi riwayat beberapa orang tsiqah yang lain
dengan adanya tambahan atau pengurangan dari hadist itu.
2) Hadist
itu selamat dari illat qadihah, maksudnya hadist itu tidak terdapat di dalamnya
cacat-cacat yang dapat mencacatkan hadist itu, baik cacat tersebut dalam sanad
seperti tampaknya sanad itu bersambung-sambung ternyata terputus,atau tampaknya
sabda Nabi saw, tetapi nyatanya hanya kata sahabat.
Kalau hadist itu sudah memenuhi lima syarat
sebagaimana diatas, Jumhur Ulama’ sudah sepakat menetapkan bahwa hadist itu
menrupakan hadist shahih.[8]
Sebuah hadist yang dikatakan shahih terkandung arti
bahwa hadist tersebut telah memenuhi criteria keshahihan suatu hadist, seperti
yang telah disebutkan di atas. Namun tidak serta merta bisa dipastikan bahwa
hadist tersebut benar-benar merupakan
sabda Nabi Muhammad SAW. Sebalikmya, jika terdapat sebuah hadist dikatakan
bahwa hadist tersebut tidak shahih, maka maksud dari pertanyaan itu bahwa
sistem sanad hadist tersebut tidak memenuhi criteria sanad yang dibutuhkan
suatu hadist shahih. [9]
Selanjutnya hadist shahih dibagi menjadi dua, yaitu:
pertama, hadist shahih lidzatih, yaitu hadist shahih dengan sendirinya.
Artinya, hadist tersebut dengan sendirinya telah memiliki lima criteria di
atas. Kedua, hadist shahih lighairih, yaitu hadist yang keshahihannya dibantu
oleh adanya keterangan lain. Pada mulanya kategori hadist ini memiliki
kelemahan pada aspek ke-dhabith-an perawinya sehingga nilainya hanya sampai
pada tingkatan hasan lidzatih. Tetapi, hadist tersebut dikuatkan oleh
keterangan lain, baik berupa syahid maupun muttabi’ (matan atau sanad lain)
yang menguatkan kandungan matan-nya sehingga hadist tersebut naik derajatnya
setingkat lebih tinggi menjadi shaih lighairih.[10]
a) Hadist
shahih lizatih.
Hadist shahih lizatih adalah
hadist yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadist shahih.
Contoh :
Artinya:
“bukhari berkata: “Abdullah bin
Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda : “apabila
mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga”(HR.
Bukhari)
Hadist
diatas diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf. Abdullah bin Yusuf
menerimanya dari Malik, Malik menerimanya dari Nafi’, Nafi’ menerimanya dari
Abdullah, dan Abdullah itulah sahabat Nabi yang mendengar Nabi SAW bersabda
seperti tercantum di atas. Semua nama-nama tersebut, mulai dari Bukhari sampai
dengan Abdullah (sahabat) adalah rawi-wari yang adil, zabit, dan benar-benar
bersambung. Tidak ada cacat, baik pada sanad maupun pada matan. Dengan demikian
hadist diatas termasuk haidst shahih lizatih.[11]
b) Hadist
shahih lihghairihi
Contoh hadist shahih lighairihi,
ialah hadist Bukhari dari Ubay bin Al-Abbas Bin Sahal dari ayahnya ( ‘Abbas)
dari neneknya (Sahal) katanya:
Ubay
bin Al-Abbas oleh Ahmad, Ibnu Ma’in dan An-Nasa’iy dianggap rawy yang kurang
baik hafalannya. Oleh karena itu, hadist tersebut berderajat Hasan lidzatihi.
Tetapi oleh karena Hadist Ubay terebut mempunyai mutabi’ yang diriwayatkan oleh
Abdul Muhaimin, maka naiklah derajatnya dari Hasan li-dzatih menjadi shahih
lighairih.[12]
Kedudukan
hadist shahih sebagai sumber ajaran silam lebih tinggi daripada hadist hasan
dan hadist dhaif, tetapi di bawah kedudukan hadist mutawatir. Sebagian ulama
menentukan urutan tingkatan (martabat) hadist shahih sebagai berikut:Hadist
shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
1) Hadist
shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri.
2) Hadist
shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama dengan memakai syarat-syarat yang
dipakai oleh Bukhari dan Muslim (berarti rawi-rawinya terdapat dalam shahih
Bukhari dan shahih Muslim).
3) Hadist
shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai syarat-syarat yang
dipakai oleh Bukhari sendiri.
4) Hadist
shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama yang terpandang (mutabar).
Semua ulama sepakat menerimah hadist shahih mutawatir
sebagai sumber ajaran silam atau sebagai hujjah, baik dalam bidang hokum,
ahklak, maupun dalam bidang akidah. Siapa yang menolak hadist shahih mutawatir
dipandang kafir.[13]
C.
HADIST
HASAN
Menurut
bahasa hasan artinya sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Menurut
istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Perbedaan
pendapat ini terjadi disebabkan di antara mereka ada yang menggolongkan hadist
hasan sebagai hadist yang menduduki posisi di antara hadist shahih dan hadist
dha’if. Tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadist dha’if
yang dapat dijadikan hujjah. Menurut sejarah yang mula-mula memunculkan istilah
hasan bagi suatu jenis hadist yang berdiri sendiri adalah Abu Isa al-Turmudzi.
Sebelum al-Turmudzi istilah hadist hasan belum pernah dikenal. Al-Turmudzi
sering menyebutkan istilah hasan dalam Kitab Sunan-nya, sehingga ulama hadist
menganggap kitab al-Sunan sebagai sumber utama dalam mengetahui hadist hasan.[14]
Kriteria
hadis hasan
Imam
Turmudzi menjelaskan kriteria hadis hasan sebagai berikut:
Dengan demikian, kriteria hadis hasan yang merupakan
factor-faktor pembeda antara hadis hasan dan jenis hadis lainnya adalah
berikut.
Pertama, pada sanadnya tidak terdapat rawi yang
dicurigai berdusta. Kriteria ini mengecualikan hadis seorang rawinya memiliki
daya hapal rendah tidak dijelaskan jarh maupun takdilnya, atau diperselisihkan
jarh dan takdilnya namun tidak dapat ditentukan, atau rawi mudallis yang
meriwayatkan hadis dengan an-anah (periwayatan dengan menggunakan banyak lafal
an). Karena sifat-sifat rawi yang demikian itu tidak bisa membuatnya dituduh
dusta.
Kedua, hadis tersebut tidak janggal. Orang yang peka
dan waspada akan mengetahui bahwa yang dimaksud dengan syazz (janggal) menurut
Al- Turmudzi adalah hadis tersebut berbeda dengan riwayat para rawi yang
tsiqat. Jadi, diisyaratkan bagi hadis hasan harus selamat dari pertentangan,
karena bila ia bertentangan dengan riwayat para rawi yang tsiqat, maka ia
ditolak.
Ketiga, hadis tersebut diriwayatkan pula melalui
jalan lain yang sederajat. Hadis hasan harus diriwayatkan pula melalui sanad
lain satu atau lebih, dengan catatan sederajat dengan atau lebih kuat bukan
berada di bawahnya, agar dengannya dapat diunggulkan salah satu tetapi tidak
diisyaratkan harus diriwayatkan dalam sanad lain dengan redaksi yang sama,
melainkan dapat diriwayatkan hanya maknanya dalam satu segi lainnya.
Macam-macam hadis hasan :
1) Hadis
hasan Li-Zatih
Hadis
hasan Li-Zatih adalah hadis yang terwujud karena dirinya sendiri, yakni karena
matan dan para rawinya memenuhi syarat-syarat hadis shahih, kecuali keadaan
rawinya (rawi kurang zabit).
Di
antara hadis-hadis hasan Li-Zatih, sebagian dapat berada pada tingkatan hasan,
tetapi sebagian lainnya dapat naik pada tingkatan sahih ligairih. Maka jika
hadis hasan li zatih tidak diperkuat hadis lain (yang berbeda pada tingkatan
sahih atau pada tingkatan hasan li zatih pula), maka hadis tersebut tetap
berada pada tingkatan hasan li zatih.
Sebaliknya
jika suatu hadis hasan li-zatih diperkuat oleh hadis lain (baik berada pada
tingkatan sahih ataupun pada tingkatan hadis li zatih), maka naik menjadi
hadist hasan li gairih. Hadis demikian dapat disebut secara lengkah hadis hasan
li zatih li gairih.
2) Hadist
Li gairih
Hadist
Li gairih adalah hadis yang dibawah derajat hasan yang naik ke tingkatan hadis
hasan, karena hadis lain menguatkannya atau hadis hasan li gairih adalah hadis
dha’if yang karena dikuatkan oleh hadis lain, sehingga meningkat ke hadis
hasan.
Hal ini
disebabkan keadaan hadis-hadis dalam lingkungan hadis dha’if beraneka ragam
misalkan hadis dha’if dikenal karena hapalan rawi dan dapat meningkat ke hadis
li gairih bila hadis tersebut dikuatkan hadis lain yang diriwayatkan oleh
rawinya lemah hapalannya.
Contoh hadis hasan li gairih
Artinya :
“Rasulullah SAW, bersabda, “Merupakan hak atas kaum
muslimin, mandi pada hari jum’at.” (HR.Turmudzi)
Hadis
tersebut diterima oleh Turmudzi melalui dua buah sanad yang gambarannya sebagai
berikut :
Hadis diatas diterima oleh Turmudzi melalui dua buah
sanad :
Pertama :
Dari Ali bin Hasan Al-Kufi, dari Abu Yahya bin Ibrahim At Turmudzi dari yasid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi
Lailla dari Barra bin Azib, dari Rasulullah SAW
Kedua :
Dari Ahmad bin Mani, dari Hayim, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi
Lailla, dari Barra bin Azid, dari Rasulullah SAW
Rawi dalam sanad pertama terpercaya kecuali abu
Yahya bin Ibrahim At-Taimi yang lemah hapalannya. Karena itu hadis yang
diriwayatkan oleh sanadnya dipandang dha’if . Kedua hadis tersebut saling
menguatkan sehingga masing-masing naik menjadi hadis li gairih.[15]
D.
HADIST
DHA’IF
Hadis
dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi kualifikasi hadis shahih dan hadis
hasan. Kedla’ifan suatu hadis akan berbeda-beda, seperti halnya perbedaan pada
tingkat kesahihan dalam sebuah hadis shahih. Di antara kategori hadis dha;if
ada hadis yang mempunyai gelar khusus, seperti hadis maudlu, hadis syadz dan
lainnya.[16]
Dalam
hadis dha’if sanadnya tidak bersambung-sambung dan juga tidak adil rawinya yang
hanya keguguran satu syarat maqbulnya.
Klasifikasi
hadist dha’if menurut muhaddisin
Suatu
hadist yang dijadikan sebagai hujjah, maka hadist ahad terbagi 2 yaitu hadist
maqbul dan hadist mardud. Hadis maqbul yaitu hadis shahih dan hasan sedangkan
hadis mardud yaitu hadis dha’if.
Para
muhaddisin mengemukakan sebab tertolaknya hadist dari dua jurusan yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan
Sebab-sebab
tertolaknya hadis dari jurusan sanad yaitu
1) Terwujudnya
cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun kehafalannya
2) Ketidaksambungan
sanad, dikarenakan adanya seorang rawynya atau lebih yang digugurkan atau
saling tidak bertemu satu sama lainnya.
Cacat-cacat
pada keadilan dan kedla’bithan itu ada 10 macam
a) Dusta
b) Tertuduh
dusta
c) Fasiq
d) Banyak
salah
e) Lengah
dalam menghapal
f) Banyak
waham
g) Menyalahi
riwayat orang kepercayaan
h) Tidak
diketahui identitasnya
i)
Penganut bid’ah
j)
Tidak baik
hafalannya.
Sebab-sebab
tertolaknya hadis dari jurusan matan yaitu:
1. Hadis
mauqud
2. Hadis
maqthu’[17]
KESIMPULAN
Para
ulama ahli hadist membagi hadist dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga
bagian, yaitu hadist shahih, hadits hasan, dan hadist dha’if
Hadist
shahih adalah hadist yang sanadnya bersambung, di kutip oleh orang yang adil
lagi cermat daeri orang yang sama, berakhir sampai pada Rasulullah SAW, atau
sahabat, atau tabi’in tidak terdapat syadz dan tidak mempunyai illat. Hadist
shahih sendiri terbagi menjadi dua yakni shahih lizatih dan shahih lighairihi.
Sedangkan
hadist hasan sendiri pada sanadnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta,
hadis tersebut berbeda dengan riwayat para rawi yang tsiqat, dan diriwayatkan
pula melalui jalan lain yang sederajat. Dibedakan menjadi dua macam yakni hasan
lizati dan hasan lighairi.
Hadis dha’if adalah hadis yang tidak
memenuhi kualifikasi hadis shahih dan hadis hasan. Kedla’ifan suatu hadis akan
berbeda-beda, seperti halnya perbedaan pada tingkat kesahihan dalam sebuah
hadis shahih.
Catatan:
Makalah ini kacau
1.
Abstrak seharusnya dwi bahasa
2.
Similarity 58%. Sangat tinggi sekali
3.
Tidak ada daftar pustaka
4.
Pendahuluan tidak representatif
5.
Dll.
Banyak kekurangan dalam makalah ini.........
[1] Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadist, ( Jakarta: Gaung
Persada Press Jakarta, 2008) Hlm. 95
[2] Ibid., Hlm. 94
[3] Muhammad Anwar, Ilmu
Mushthalah Hadist, ( Surabaya: Al-Ikhlas, 1981) Hlm, 33-34
[4] Subhi As Shalih, Membahas
Ilmu Hadist, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995) Hlm. 132
[5] Imam Al-nawawi, Dasar-Dasar
Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Hlm. 3
[6] Khariri, Melerai
Hadits-Hadits, (Yogyakarta: TAIN Purwekerto Press, 2005) Hlm. 25
[7] Noor Sulaiman PL, Antologi
Ilmu Hadist, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008) Hlm.96
[8] Mohammad Anwar, Ilmu
Mushthalah Hadist, ( Surabaya: Al-Ikhlas,1981) Hlm.35-36
[9] Imam Al-nawawi, Dasar-Dasar
Ilmu Hadis, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Hlm. 3
[10] H. Khariri, Melerai
Hadits-Hadits, (Yogyakarta: STAIN Purwekerto Press, 2005) Hlm. 27
[11] Muhammad Ahmad, Ulumul Hadi,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hlm. 106-107
[12] Rahman fatchur, Mushthalahul’l-Hadits,
(Yogyakarta: 1970) Hlm. 101
[13] Ahmad Muhammad, Ulumul Hadis
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hlm. 108
[14]M.Noor Sulaiman, Antalogi ilmu
hadis(Jakarta: Gaung Perada Pres, 2008) Hlm. 102
[15]Muhammad Ahmad dkk, Ulumul
hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hlm. 112
[16]Ali Mustafa Yaqub, Dasar-dasar
ilmu hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Hlm. 13
[17]Fatchur Rahman, Iktishar
mushthalalahu’l Hadist, (Yogyakarta: PT Al-ma’arif,1970) Hlm. 141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar