HADIS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA
Mahasiswa
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
P.IPS D Angkatan 2016
e-mail
: zuhriyatul.insan.j2@gmail.com
Abstract
This article
will explain a little about the understading and some examples of hadith
mutawatir and hadith ahad and the quantity of the rawi, which if we look to the
hadith ink we will discuss how the hadith proceeded or even become a benchmark
in real life, hadited mutawatir have terms and the provision if his narration,
which in which this hadith will speak of quantity or quantity of each level
between the mutawatir hadith and the ahadith in the narration of the fabric. In
the artikel will also explain a little about the benefits as well as the
distincion between hadith mutawatir and hadits ahad.
Keywords : Hadith
Mutawatir, Hadits Ahad, Benefits, Different
Abstrak
Artikel ini
akan sedikit menjelaskan tentang pengertian dan beberapa contoh dari Hadits
Mutawatir dan Hadits Ahad serta kuantitas dari para rawi, yang dimana jika kita
lihat untuk hadits ini kita akan membahas bagaimana hadits tersebut berproses
atau bahkan menjadi sebuah patokan dalam kehidupan nyata, hadits mutawatir
memiliki syarat dan ketentuan dalam periwayatannya, yang dimana hadits ini akan
berbicara tentang kuantitas atau kuantiti (jumlah) dari masing-masing tingkatan
antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam periwayatan rawinya. Didalam
artikel ini juga akan menjelaskan sedikit tentang manfaat serta distingsi (perbedaan) antara hadits
mutawatir dan hadits ahad.
Kata kunci : Hadits
Mutawatir, Hadits Ahad, Manfaat, Perbedaan.
Pendahuluan
Dalam
hal ini, kami akan membahas sedikit tentang hal-hal yang mengenai sebuah hadits
Mutawatir dan Hadits Ahad, Hadits mutawatir sendiri adalah hadits yang
tingkatannya setelah hadits Shahih dan hadits Hasan, dalam hal ini hadits
mutawatir sendiri juga memiliki syarat-syarat dan ketentuan dalam hal periwayatannya,
dan sedangkan hadits Ahad lebih cenderung pada periwayatannya yang bersifat
sendiri atau tidak banyak orang yang terlibat didalamnya, untuk lebih jelasnya
kami akan menjelaskan tentang pengertian dan beberapa contoh dari hadits
mutawatir dan hadits ahad, dalam lingkup kuantitas atau kuantiti dari
masing-masing hadits tersebut.
Pengertian
Hadits Mutawatir
Menurut
bahasa, kata mutawatir adalah isim fail berasal dari masdar “al tawatur”
semakna dengan al tatabu’u yang berarti berturut turut atau beriring iringan,
seperti kata tawatara al matharu yang berarti hujan turun berturut turut.[1]
Menurut istilah, hadist mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah perawi pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan
kebiasaan, tidak mungkin mereka berdusta.[2]
عن مثلهم الي
انتها السند وكان مستندهم الحس. الحديث المتؤاتر هوالذي رواه جمع كثير يؤمن
تؤاطؤهم علي الكذب
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi
yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal
mereka dan seterusnya sampai akhir sanad; semuanya bersandar panca indra.[3]
Sedangkan Definisi yang lengkap menurut Imam Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib, adalah : Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh beberapa periwayat
yang dimana menurut adat dan kebiasaannya mustahil mereka sepakat untuk
berdusta (dalam hal hadits yang telah diriwayatkan) oleh sejumlah periwayat
dengan jumlah periwayat yang sama antara sanal awal sampai dengan sanad yang
terakhir dalam jumlah syarat itu tidak kurang pada setiap tingkatan yang ada
dalam sanadnya.[4]
Syarat-Syarat
Hadits Mutawatir
1.
Pemberian hadits yang disampaikan
oleh para rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pana indera, baik indera
penglihatan maupun pendengaran. Kalau pemberitaan hasil pemikiran semata-mata,
atau hasil rangkuman analisis dan satu peristiwa ke peristiwa yang lain, maka
bukan lah berita (hadist) mutawatir.[5]
2.
Jumlah
periwayat harus mencapai kuantitas tertentu dan mereka sepakat untuk tidak
berdusta. Menurut Ashhab Asy-Syafi’I lima orang, menurut Arh-Thayib empat
orang, ada juga ulama lain menyatakan dua puluh orang. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani tidak diisyaratkan
dalam jumlah bilangan tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
diantara ulama terdapat perbedaan dalam menetapkan jumlah periwayat, ada yang
menggunakan bilangan dan ada yang tidak menetapkannya dalam jumlah bilangan.
Menurut ulama yang tidak menetapkan dalam jumlah bilangan, terpenting dalam
jumlah itu dapat diterima melaui akal sehat dan dapat memberikan keyakinan,
sedangkan bagi ulama yang menetapkan dalam jumlah bilangan tertentu antara
empat sampai tiga ratusan orang.[6]
3.
Harus ada
keseimbangan antara jumlah rawi pertama
dengan jumlah rawi selanjutnya.[7]
Bila suatu hadis itu dikatakan Mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya, mengamalkan apa yang
ada dalam kandungan maknanya dan tidak boleh ada keraguan di dalamnya.[8]
Macam-macam Hadits Mutawatir
1. Mutawatir Lafdzi
Hadis mutawatir
lafdzi adalah hadis mutawatir yang lafadz dan maknanya sama. Hadis model ini
sedikit sekali jumlahnya karna sangat sulit jumlah perawi yang begitu banyak
dapat meriwayatkan ebuah hadis dalam satu keseragaman redaksi. Contoh hadis
mutawatir lafdzi yang populer meski menurut beberapa informasi bahwa hadis
tersebut sebenarnya tidak benar-benar sama redaksinya adalah hadis tentang
ancaman Rasulullah terhadap orang yang melakukan kebohongan atas nama beliau,
sebagai berikut:
حد ثنا عمرو بن عون اخبر نا خالد ح و حد ثنا مسدد حد ثنا خا لد المعني
– عن بيا ن بن بثر قا ل مسددابو بثر عن وبر ة بن عبد الرحمن عن عا مر بن عبد الله
بن الزبير عن ابيه قا ل قلت للزبير ما يمنعك ان تحدث عن رسؤل الله – صلي الله غليه
ؤسلم – كما يحدث عنه اصحا به فقال اما والله لقد كان لى منه ؤجه ومنزلت ولكني
سمعته يقولو " من كذب علي متعمد ا فليتبؤا مقعده منالنار
“Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda barang siapa yang berbohong atas nama saya
maka bersiaplah untuk mengambil tempat di neraka”.
2. Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir
ma’nawi adalah hadis mutawatir yang yang maknanya sama akan tetapi redaksinya
berbeda. Perbedaan lafadz itu bisa saja terjadi karna Rasulullah sendiri
menyatakan sabdanya dengan bahasa (dialek)yang berbeda-beda, bisa di tingkat
sahabat karna kemampuan mereka beragam di dalam menerima hadis dari Rasulullah,
juga bisa pada perawi pada tingkat dan tabaqat setelah sahabat. Di antara
contoh hadis mutawatir ma’nawi ini adalah hadis yang menyatakan tentang cara
beribadah Rasulullah, terutama dalam persoalan mengangkat tangan dalam berdo’a,
mengusap khuffain, isra miraj dan lain-lain.
Tentang
mengangkat tangan dalam berdoa ditemukan sabda nabi sebagai berikut:
حد ثنا محمد بن بثار حد ثنا يحي ؤابن ابي عدي عن سعيد عن قتادةعن انس
بن مالك قال كان النبي – صلي الله عليه ؤسلم – لا ىرفع ىدىه في شيء من دعا اه الا
في الا ستسقاء، وانه يرفع حتي ير ي بيا ض ابطي
“Anas
bin Malik berkata bahwa Rasullulah SAW, tidak mengatakan kedua tangannya dalam
setiap doa yang beliau panjatkan kecuali dalam sholat istisqa’ hingga tampak
kedua ketiaknya”.[9]
3.
Hadis Mutawatir
amali
Adapun
yang dimaksud hadis mutawatir amali adalah
ما
علم من الدين بالضرورة وتواتر بين المسلمين أنى النبي صلى الله عليه وسلم فعله او
امربه او غير ذلك وهو الذي ينطق عليه تعريف الا جماع انطباقا صحيحا.
“sesuatu
yanng diketahui dengan mudah bahwa dia termasuk urusan agama dan telah
mutawatir antara umat islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya, menyuruhnya atau
selain dari itu dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijma’.”
Macam
hadis amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang menerangkan waktu sholat,
rakaat sholat, sholat jenazah, sholat id, tata cara sholat, pelaksanaan haji,
kadar zakat harta dan lain lain.[10]
Faedah Hadits
Mutawatir
Hadits
Mutawatir sendiri memberi sebuah faedah ilmu dharuri, yaitu sebuah
keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan apa yang diberitakan
dari hadits mutawatir tersebut, sehingga membawa pada sebuah keyakinan yang
pasti (qath’i).[11]
Pengertian Hadits Ahad
Kata
ahad atau wahid menurut bahasa ialah satu, maka dapat disimpulkan ahad atau
khabar wahid itu berarti hanya satu orang yang menyampaikan.[12]
Hadits
ahad adalah hadits yang riwayatnya secara bahasa berarti satu, maka ahad khabar
ahad ataupun khabar wahid berarti sebuah berita yang disampaikan oleh satu
orang saja.[13]Hadits
ahad adalah hadits yang riwayatnya secara bahasa berarti satu, maka ahad khabar
ahad ataupun khabar wahid berarti sebuah berita yang disampaikan oleh satu
orang saja.[14]
Terdapat definisi etimologis dan
terminologis tentang hadis ahad ini, baik secara bahasa maupun istilah.
Pengertian hadis ahad meurut bahasa dan istilah adalah sebagai berikut:
خبر الاحاد للغة : الا حا د جمع احد بمعني الواحد هو ما يرو يه ثخص
واحدا واصطلا حا : هو مالم يجمع ثروط المتواتر.
Secara bahasa kata “ahad” merupakan
plural dari kata “ahad” yang bermakna satu, sedangkan khabar yang diriwayatkan
oleh satu orang. Adapun pengertian hads ahad menurut istilah adalah hadis yag
tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir. Senada dengan definisi al—Thahhan
tersebut menurut al-Qaththan, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi
syarat mutawatir. Dengan demikian berarti bahwa semua hadis yang jumlah
perawinya tidak sampai pada tingkat mutawatir dinamakan hadis ahad. Hadis ahad
ini dibagi menjadi tiga bagian, masyhur, ‘aziz, dan gharib.[15]
Macam-Macam
Hadis Ahad
1. Hadis Masyhur
لغة
: هو اسم مفعول من "شهر " واصطلا حا : ما رواه ثلاثة فاكشر – فى كل –
مالم يبلغ حدالتواتر.
Secara
bahasa, kata “masyhur” adalah isim maf’ul dari kata “syahara”.
Sedangkan secara istilah, hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh
tiga orang atau lebih dan setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah
mutawatir. Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya hadis masyhur ini tidak
semuanya berkualitas shahih, karna jumlah perawi yang demikian belum tentu
menjamin keshahiannya kecuali disertai sifat-sifat yang menjadikan sanad
ataupun matannya shahih. Dengan demikian, hadis masyhur dapat
dikelompokkan kepada yang berkualitas
shahih, hasan dan dha’if.
Jenis hadits masyhur berdasarkan kualitasnya :
a)
Hadits masyhur shahih
Hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan hadits shahih, baik
pada sanad maupun matan-nya, seperti pada hadits dari Ibnu Umar :
مَنۡ أَتَى الۡجُمۡعَةَ
فَلۡيَغۡتَسِل
“Bagi siapa yang hendak melaksanakan sholat jum’at hendaklah ia
mandi.”
b)
Hadits masyhur hasan
Hadits
masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik dari segi
sanad maupun matan-nya, sepeti sabda Rasulullah SAW :
طَلَبُ الۡعِلۡمِ
فَرِيۡضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسۡلِمٍ وَ مُسۡلِمَةٍ
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
c) Hadits masyhur dhaif
Hadits masyhur yang tidak memenuhi syarat hadits shahih dan hasan,
baik dari segi sanad maupun matan-nya, seperti hadits :
مَنۡ عَرَفَ
نَفۡسَهُ فَقَدۡ عَرَفَ رَبَّهُ
“Barang siapa yang
mengenal dirinya maka sungguh dia telah mengenal Tuhannya.”[16]
Jenis hadits masyhur berdasarkan lingkungan popularitas:
a) Masyhur dikalangan para muhadditsin dal lainnya (golongan Ulama ahli
ilmu dan orang umum)
b) Masyhur dikalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur
dikalangan ahli hadits saja, atau ahli fiqhi saja, atau ahli tasawuf saja, atau
ahli nahwu saja, atau lain sebagainya.
c) Masyhur dikalangan orang-orang umum saja.[17]
2. Hadits Aziz
Secara
bahasa dan istilah, hadis aziz didefinisikan sebagai berikut:
لغة
: هو صفة مثبهة من "عزيز" واصطلا حا: ان لا يقل رواته عن اثنين في جميع
طبقات السند
Secara
bahasa, kata ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua
perawi pada seluruh tingkatan / generasi. Hadis ‘aziz ini bisa dinilai shahih,
hasan maupun dha’if, sesuai dengan keadaan sanad dan matannya, setelah
dilakukan penelitian terhadapnya.
Contoh
hadis aziz:
نَحْنُ الأخَروْنَ السَّا بِقُوْنَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ .
“Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari
kiamat“ ( H.R . Ahmad dan An-Nasa’i )[18]
3. Hadits Gharib
Secara
bahasa, kata “gharib” merupakan sifat musyabbahah yang bermakna menyendiri.
Sedangkan menurut istilah, hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan
seseorang perawi di manapun hal itu terjadi. Artinya bahwa hadis gharib ini
tidak disyaratkan harus satu orang perawi pada setiap tingkatan atau generasi,
dan tetapi cukup pada satu tingkatan sanad dengan satu orang perawi. Di antara
contohnya adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Umar ibn Khattab dari Rasulullah
SAW tentang pentingnya niat sebagai berikut:
انما الاعمل با
لنية وانما لامرىء ما نوى فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله
ومن كانة هجرته لدنيا يصيبها اوامراة يتزوجها فهجرته الى ما ها جراليه
“Rasullulah SAW bersabda,
sesungguhnya perbuatan itu tergantung (ditentukan) oleh niat, sesungguhnya
nilai setiap perbuatan itu (sesuai dengan) apa yang diniatkan. Barang siapa
yang hijrahnya karna (dimotivasi) dunia tau karna perempuan yang akan
dinikahinya maka demikianlah (nilai) hijrahnya”.
Berdasarkan letak terjadinya
ke-gharib-an, hadis model ini dapat dipilih menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.
Gharib matan wa
isnadan(gharib
dari segi matan dan sanadnya) artinya bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan
melainkan melalui sanad
2.
Gharib isnadan
la matnan (gharib
dari segi sanadnya dan tidak matannya). Artinya hadis tersebut merupakan hadis
yang masyhur keatangannya melalui beberapa jalur dari seorang rawi atau seorang
sahabat atau dari sejumlah perawi, lalu ada seorang rawi meriwayatkannya dari
jalur lain yang tidak masyhur. Hadis gharib dalam bentuk ini dinamakan hadis
gharib mutlak disebabkan diriwayatkan oleh seorang perawi saja, melalui jalur
yang tidak masyhur.
3.
Gharib matnan la
isnadan, yaitu
hadis yang pada mula sanadnya tunggal, akan tetapi pada tahap selanjutnya
masyhur. Sebenarnya hadis gharib dalam bentuk ini, jika dicermati, dapat
dikelompokan pada kelompok pertama.[19]
Dilihat dari
bentuk penyendirian perawi, hadits garib dapat digolongkan menjadi dua sebagai
berikut [20]
1.
Gharib Muthlak
(Fard)
Dalam
periwayatannya tergantung pada personalianya. Penyendirian hadits gharib
muthlak berpangkal di tabiin, sebab yang menjadi tujuan memperbincangkan
penyendirian perawi dalam hadits gharib disini adalah untuk menetapkan
periwayatannya diterima atau ditolak.
2. Gharib
Nisbi
Dalam
penyendiriannya mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi,
biasanya berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan perawi atau mengenai tempat
tinggal atau kota tertentu.
Contoh
hadits gharib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu adalah :
اَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اَنۡ
تَقۡرَأَ بِفَاتِحَةِ الۡكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ مِنۡهُ
Yang
berarti “Rasulullah SAW memerintahkan kamu agar membaca Al-Fatihah dan surat yang
mudah dari Al-Qur’an.
Hadits
ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad Abu Al-Walid Ath-Thayalisi, Hamman,
Qatadah, Abu Nadrah, dan Said. Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada
yang meriwayatkannya dari kota lain.
Distingsi
Pengetahuan (ilmu) dalam Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad
Perbedaan
antara hadits mutawatir dengan hadits ahad adalah jika hadits mutawatir
memiliki banyak periwayat yang dimana periwayat tersebut lebih dari satu, dua,
tiga bahkan lebih maka hadits tersebut dinamakan hadits mutawatir,
syarat-syarat hadits mutawatir ada 3, yaitu :
a)
Diriwayatkan
oleh beberapa rowi besar yang sekurang-kurangnya ada lima rowi dan sudah
diyakini bahwa para rowi tersebut tidak mungkin berdusta.[21]
b)
Adanya sebuah
kesinambungan antara perawi terhadap thabaqat yang pertama dengan thabaqat
selanjutnya.[22]
c)
Berdasarkan
dari tanggapan pancaindera, yang dimana berita yang telah di sampaikan oleh
periwayat harus di terima berdasarkan pancaindera, maksudnya adalah, harus
dengan bukti yang sungguh dari hasil pendengaran ataupun dari hasil penglihatan
sendiri.[23]
Jika salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi maka hadits
tersebut terbilang hadits ahad, letak perbedaannya hanyalah dalam
syarat-syaratnya saja.
Penutup
Dari
penjelasan artikel diatas dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir dan hadits
Ahad adalah sebuah hadits yang kuat atau tangguh jika perowi dalam hadits
tersebut memiliki sanad-sanad yang jelas dan tidak menyeleweng dari periwayat
sebelumnya, hadits ini adalah kriteria dari hadits mutawatir, berbeda dengan
hadits ahad, hadits ahad adalah sebuah hadits yang dimana hadits tersebut tidak
memenuhi syarat-syarat dari hadits mutawatir.
DAFTAR PUSTAKA
Idris.
2010. Studi Hadis. Jakarta
: Kencana.
Mudasir. 1999. Ilmu
Hadis. Bandung : CV Pustaka SetiaSuyadi.
Mujiyo. 1994. Ulum
Hadis. Bandung: PT. Permata
Rosdakarya.
Nuruddin. 2012. Ulumul
Hadis. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Rahman, Fatchur. 1987. Ikhtishar
Mushthalahul Hadits. Bandung : PT Alma’arif.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul
Hadits. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Smeer, Zaid B. 2014. Studi
Hadis Kontemporer. Yogyakarta:Aura
Pustaka.
Soetari, Endang. 2008.Ilmu
Hadits Kajian Riwayah & Dirayah. Bandung:CV.Mimbar
Solahudi, M. 2008. Ulumul
Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sulaiman, Noor. 2008. Antologi
Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung
Persada Press.
Sumbullah, Umi,
dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang : UIN Press.
Suparto, Munzier. 2003. Ilmu
Hadis. Jakarta : Grafindo.
Suyadi, Agus.
2008.Ulumul Hadis.Bandung : CV Pustaka Setia.
Catatan:
1.
Similarity lumayan tinggi, 27%.
2.
Pendahuluan perlu diperbaiki, sebab masih terlalu minim.
3.
Penulisan yang baku: Alquran, hadis, sunah.
4.
Dijelaskan pelan-pelan agar teman-teman Anda paham.
[5] Endang soetari, ilmu Hadits kajian Riwayah & Dirayah,
(Bandung, CV.
Mimbar Pustaka, 2008), hlm 144-155.
[6]Fatchur
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits,
(Bandung, PT. Alma’arif,1987), hlm, 60.
[8] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010),hlm 85
[9] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil dan Nasrullah, Studi AL-Qur’an Hadis, (Malang:UIN Maliki Press,2014), hlm.
189-191
[11] Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 1999), hlm. 123
[12] Sohari
Sahrini, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 91
[13] Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 1999), hlm.124
[16]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil dan
Nasrullah, Studi AL-Qur’an Hadis, (Malang:UIN Maliki Press, 2014), hlm. 191-199.
[17]Fatchur
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits,
(Bandung, PT. Alma’arif, 1987), hlm. 69.
[18] M Solahudin, Ulumul Hadis,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 136
[19] Umi
Sumbulah, Akhmad Kholil dan Nasrullah, Studi
AL-Qur’an Hadis, (Malang:UIN
Maliki Press, 2014),
hlm. 191.
[20]Ibid., hlm 199.
[21] Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 97
[22] Noor Sulaiman,
Antologi Hadits, (Jakarta, Gaung Persada Press, 2008), hlm. 87
[23] Ibid. hlm. 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar