Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih
Fhandy Aryan dan Dina Karulina Mukhlas
Mahasiswa PAI – B angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: fhandyassegaf@gmail.com
Abstrack:
This paper discusses the law of taklifi and law wadh’i, law fih and law of
alaih. Where in it is the law of a mukallaf must choose between he execute
Allah’s Command or abandon the prohibition of Allah. Or establish a law with a
specific cause.
Keywords : Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih.
Abstrak:
Tulisan ini
membahas tentang Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i, Mahkum Fih dan Mahkum
Alaih. Dimana didalamnya tentang hukum seorang mukallaf harus memilih antara ia
melaksanakan perintah Allah atau meninggalkan larangan Allah. Atau menetapkan
suatu hukum dengan sebab tertentu.
Kata Kunci: Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i, Mahkum Fih
dan Mahkum Alaih.
- Pendahuluan
Ushul Fiqh merupakan
suatu disiplin ilmu yang membahas tentang berbagai metode yang digunakan oleh
para mujtahid ketika menggali suatu syariat dari sumber yang sudah ada dalam
Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Atas dasar nash syar’i inilah para mujatahid
mengambil illat yang kemudian menjadi dasar penetapan hukum dalam mencapai
kemaslahatan yang menjadi tujuan utama adanya syariat ini.
Dalam kajian ushul fiqh
ini kemudian hukum terbagi menjad dua pokok-pokok hukum, yaitu hukum taklifi
dan hukum wadh’i. Hukum taklifi yaitu hukum yang menunutut kepada mukallaf
memilih antara berbuat atau tidak, sedangkan hukum wadh’i adalah hukum yang
ditetapkan pada sesuatu yang menjadi sebab bagi sesuatu yang lain, maksudnya
apakah hukum itu menjadi syarat atau menjadi penghalang.
Dalam hukum taklifi
maupun wadh’i terdapat istilah yang biasa
disebut dengan objek hukum/mahkum fih,
karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib, sunah, mubah,
makruh, hingga haram. Atau lebih mudahnya yaitu perbuatan seorang mukallaf yang
terkait dengan perintah syari’ itu disebut mahkum fih, sedangkan seseorang yang
dikenai khitob (tuntutan) Alloh SWT
itulah yang disebut dengan mahkum alaih (mukallaf).
Dan perlu kita ketahui
bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai umat muslim akan selalu berhubungan dan
tidak pernah bisa terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i akan terus
melekat pada diri seorang muslim. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk
mempelajarinya karena dengan mempelajarinya kita bisa tahu akan kewajiban-
kewajiban kita sebagai umat muslim.
Pada makalah ini, akan
kita bahas mengenai membahas mengenai dasar taklifi dan juga syarat-syarat
taklifi hingga Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaihi mulai dari pengertian,
syarat-syaratnya, macam-macamnya, pembagiannya.
- Hukum Taklifi
1. Pengertian Taklifi
Hukum taklifi, adalah tuntutan
Allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau perintah untuk
meninggalkan suatu perbuatan.[1]
Hukum taklifi ialah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan
oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau disuruh memilih antara
melakukan atau meninggalkannya.[2]
Hukum taklifi yakni perintah Allah SWT yang mendorong seseorang untuk
memilih mengerjakannya atau melarangnya, atau memilih untuk mengerjakan atau
meninggalkan. Menurut Jumhur Ulama’ Hukum Taklifi ada 5 yaitu :
a. Ijab (الإيجاب)
Ijab tuntutan secara pasti dari
syari’ untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang
yang meninggalkannya dikenai hukuman.[3]
Ijab ini memiliki artian melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala
larangan-NYA, jika kita menyalai salah satunya maka kita dikenai hukuman atau siksa
baik didunia maupun diakhirat kelak, dan apabila kita menjalankan seluruh
perintah maka pahala adalah ganjaran kita, dengan kata lain sikapnya memaksa.
Ijab sendiri mempunyai makna yang sama dengan wajib namun ijab sendiri
adalah penetapan hukumnya sedangkan wajib adalah hukum itu sendiri. Misalnya
dalam surat Al-Baqarah ayat 110 :
وَأَقِيمُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ
خَيۡرٖ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١٠
Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan.”
b. Tahrim (التحريم)
Tahrim yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang pasti. [4]
atau dengan kata lain tuntutan Allah sebagai Tuhan yakni kita sebagai hamba
harus meninggalkan perbuatan karena sesuatu hal yang pasti. Tahrim sendiri
memiliki makna dasar hukumnya dan haram produk dari hukum dari Tahrim.
Semisal dalam surat Al-An’am ayat 151:
قُلۡ
تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ
شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ
إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا
ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ
إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١
Artinya: “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang
diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu
dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki
kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).”
c. Nadb (الندب)
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi
tuntutan itu tidak secara pasti. Seseorang tidak dilarang untuk
meninggalkannya, karena orang yang meninggalkannnya tidak dikenai hukuman.[5]
Dengan kata lain Nadb ini perkara yang dianjurkan namun tidak memaksa
karena jika dikerjakan akan mendapat pehala dan apabila ditinggalkan tidak
dikenai hukuman. Seperti contoh pada ayat Allah pada surat Al-Baqarah ayat 282:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ ...
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya...”.
Dimana jika seseorang bermuamalah secara tidak tunai
(Hutang) untuk waktu yang telah disepakati mengembalikan barang/uang itu
hendaknya ia menulisnya sebagai pengingat kalo ia sedang berhutang.
d. Karahah (الكراهة)
Yaitu tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara tidak
pasti, ketidak pastian itu juga diambil dari indikator yang mengurangi
tuntutan, sehingga beralih dari pengertian haram.[6] Seseorang yang mengerjakan perbuatan yang
dituntut untuk meninggalkan itu, tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti
ini disebut juga karahah dan perbuatan yang dituntut ditinggalkan itu
disebut dengan makruh.[7] Dengan
kata lain karahah ini seseorang dituntut untuk meninggalkan namun tidak
secara paksa, namun anjuran yang lebih baik.
أبغض الحلال عند اللَّه الطلاق
Artinya:
“perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah adalah talak.” (H.R. Abu Daud,
Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
Disini
sudah sangat jelas halal bagi manusia untuk melakukan talak, akan tetapi Allah
SWT sangat membencinya, meskipun sudah dihalalkan tetapi talak sangat dibenci
oleh Allah.
e. Ibahah (الإباحة)
Yaitu khitab Allah yang mengandung pilihan untuk berbuat
atau tidak berbuat. Akibat dari dari Khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah
sedangkan secara perbuatan disebut mubah.[8]
Secara garis besar ibahah adalah tuntunannya sedangkan mubah adalah
perilakunya. Contoh dalam surat Al-jumu’ah ayat 10:
فَإِذَا
قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Dalam penjelasan ayat diatas tidak ada tuntutan maupun
larangan jadi bila dikerjakan tidak apa-apa dan jika ditinggalkan juga tidak
mengapa.
- Hukum Wad’i
1. Pengertian Wadh’i
Hukum wadhi ialah hukaum yang menghendaki adanya sesuatu
itu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain atau sebagai syarat atau sebagai
penghalang atau sebagai sesuatu yang memperkenankan keringanan (rukhsah) atau
sebagai pengganti hukum ketetapan pertama (azimah).[9]
Dengan kata lain Wadh’i ini sebagai kejelasan dari penetapan hukum taklifi
yang masih sebagai dasar dan dijelaskan didalam hukum Wadh’i.
Dalam hal ini hukum wadh’i dibagi menjadi empat
bagian, yakni :
a. Sebab
Terkadang syari’ menetapkan sesuatu sebagai tanda
(alamat) atas adanya tuntutan pada
tanggungan mukallaf.[10]
Sebab yakni sesuatu hukum yang dijadikan dasar pangkal bagi adanya sabab
(hukum). Dalam hal ini dengan adanya sebab terwujudlah sabab (hukum) dan dengan
tidak adanya sebab, tidak terwujud suatu sabab (hukum). sebabnya harus jelas
lagi pada hal tertentu dan nantinya yang dijadikan oleh Syari' sebagai 'illat
atas suatu dasar hukum. Keberadaan sebab ini juga menjadi petunjuk bagi
keberadaan hukum syara’. Contoh dilaksanakannya shalat pada setelah
tergelincirnya matahari.
b. Syarat
Syarat ialah ada dan tidak adanya hukum tergantung kepada
ada dan tidak adanya sesuatu itu. Artinya adanya sesuatu itu dapat menimbulkan
pengaruh (atsar) kepada ada dan tidak adanya hukum.[11]
Syarat yakni sesuatu hal yang tergantung pada adanya masyrut dan dengan tidak
adanya, maka masyrutnya gugur. Dengan kata lain bahwa syarat yang itu tidak masuk pada hakikat masyrut.
Dan keberadaan syarat ini menjadi “tergantung” pada hukum
syara’ tapi bukan (masuk)hukum syara’. Contoh dalam mengerjakan shalat kita
harus berwudlu, karena jika shalat tanpa wudlu/bersuci maka, shalatnya tidak
sah. Namun wudlu bukan bagian dari shalat itu sendiri. Namun jika shalat tanpa
wudlu/bersuci itu tidak sah shalatnya. Mwlakukan wudlu tidak harus dengan
selalu dikaitkan dengan shalat.
c. Mani’ (مانع)
Mani’ yaitu apa yang tidak berpisah dari adanya dan tidak
adanya hukum atau batal sebab menetapkan adanya sebab syar’i, dan semua
syarat-syaratnya itu mencukupi, tapi terdapat mani’ (larangan)yang melarang
tertib hukumatanya.[12]
Dengan katalain keeradaanya tidak ada hukum. Contohnya, shalat adalah wajib
dikerjakan oleh setiap muslim namun seorang muslimah haid dilarang melaksanakan
shalat maka haid ini (penghalang). Meski shalat wajib jika seorang muslimah itu
haid (penghalang) itu tidak wajib untuk melaksanakan shalat.
d. Rukhsah dan Azimah
Azimah adalah hukum-hukum
yang disyariatkan oleh Allah kepada seluruh hamba-NYA sejak semula. Artinya,
belum ada hukum sebelum itu disyariatkan Allah, sehingga sejak disyariatkannya
seluruh mukallah wajib mengikutinya. Dengan kata lain azimah ini hukum
asal yang pelaksaannya harus sesuai hukum itu sendiri. Seperti ketentuan
bilangan roka’at shalat ashar yakni 4 rokaat, itu disebut Azimah. Apabila
ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan
shalat ashar dengan dua rokaat, seperti seorang Musaffir maka hukumnya
ini adalah Rukhsah. Maka para ahli fiqh mendefinisikan Rukhsah dengan
“hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena uzur”.[13]
Jadi lebih rincinya rukhsah ini suatu hukum yang di laksanakan tidak
sesuai hukum awal karena adanya dalil-dalil yang mengisyaratkan tentang uzur.
- Perbedaan Taklifi dan Wadh’i
1. Hukum Taklifi ini penetepan hukumnya dan Hukum Wadh’i
hukum itu sendiri.
2. Hukum Wadh’i adalah penjabaran daru hukum Taklifi.
3. Jika hukum taklifi menuntut untuk dikerjakan atau
ditinggalkan, maka hukum wadh’i ini lebih dari penyebab kenapa hukum taklifi
ini dikerjakan atau ditinggalkan.
E.
MAHKUM FIH
1.
Pengertian Mahkum Fih
Para ulama ushul fiqih
menyatakan bahwa Mahkum Fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang
berhubungan dengan hukum syar'i, yang bersifat tuntutan untuk mengerjakan,
tuntutan untuk meninggalkan suatu pekerjaan, maupun memilih suatu pekerjaan,
dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukshah, sah, serta batal.[14]
Misalnya, dalam Al-Qur’an
Allah berfirman mengenai sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf,
yaitu:
يأيهاالذينءامنواْأوفواْبالعقود
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu ....” (QS. Al-Maidah : 1)
Firman Alloh SWT diatas
berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf, yaitu memenuhi janji. Kemudian
memenuhi janji tersebut oleh Alloh
dijadikan sebagai sesuatu yang wajib (dipenuhi). Selain itu, Alloh juga
berfirman dalam Qur’an Surah Al-An’am yang berbunyi :
اْنَّفْسَ تَقْتُلُوا وَلاَ
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa …..”
Pengharaman yang diambil
dari ayat Qur’an diatas berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu
membunuh jiwa, maka kemudian Alloh menjadikan membunuh manusia sebagai sesuatu yang
diharamkan.
Sedangkan contoh hukum
yang menghendaki mukallaf memilih antar berbuat dan meninggalkan seperti firman
Allah dalam surat al-Jumu’ah ayat 10:
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS. al- Jumu’ah: 10).[15]
Dari uraian-uraian diatas, dapat kita pahami bahwa
semua perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Jadi perbuatan
itulah yang disebut mahkum fih dalam hukum syara’.
a.
Syarat-syarat Mahkum Fih
Syarat Sahnya tuntunan dengan perbuatan disyaratkan
dengan adanya 3 syarat[16] :
1. Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf,
sehingga dia dapat mengerjakan tuntutan itu sesuai yang diperintahkan.
Misalnya, firman Allah SWT :
الصَّلوةَ اَقِيْمُوْا
Artinya : "Dirikanlah shalat"
Dalam nash Al-Qur'an
belum dijelaskan rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan cara-cara
menunaikannya. Sebab nash Al-Qur'an itu sifatnya masih global. Maka Rasulullah
menjelaskan nash Al-Qur'an tersebut :
صلوكمارأيتموني
اصلى
Artinya : "Shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihat aku sedang menunauikan shalat".
Jadi tidak sah menggunakan khitob yang global sebab
hal tersebut tidak diketahui maksudnya. Kecuali setelah ada penjelasan mengenai
hal itu.[17]
2. Tuntutan itu keluar dari orang yang punya kuasa
menuntut atau dari orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukalla.
Misalnya : hakim itu mengeluarkan undang-undan atas dasar keputusan majelis
kabinet dan dengan persetujuan parlemen supaya orang-orang mukallaf mengetahui
bahwa undang-undang itu keluar dari orang yang punya kekuasaan membuat hukum
sehingga mereka akan berupaya melaksanakannya.
3. Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah
berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau
meninggalkannya.
b.
Macam-macam Mahkum Fih
Macam-macam Mahkum Fih atau erbuatan yang
dihukumkan (Mahkum Fih) itu adalah:
1. Wajib
Wajib merupakan suatu
perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan
akan mendapat dosa.
Contoh Wajib :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ أُحِلَّتۡ لَكُم بَهِيمَةُ ٱلۡأَنۡعَٰمِ...
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu ....” (QS. Al-Maidah : 1)
Ijab yang diperoleh dari
ayat tersebut berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi aqad itu
hukumnya wajib.[18]
2. Mandub
Mandub atau sunnah
merupakan suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat siksa atau dosa.[19]
Contoh Mandub:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ
...
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqarah : 282).
Nadab yang diperoleh dari ayat tersebut berhubungan
dengan perbuatan mukallaf, yaitu menulis hutang itu hukumnya mandub (sunat).[20]
3. Haram
Haram merupakan suatu
larangan keras untuk tidak mengerjakannya, jika dikerjakan kita akan memdapat dosa
dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala.[21]
Contoh Haram:
۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ
أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا
تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ
وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١
Artinya: “Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah
kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian
itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
Tahrim yang didapat dari
ayat tersebut berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa
seseorang itu hukumnya haram.[22]
4. Makruh
Makruh merupakan suatu
larangan yang tidak keras, jadi saat kita melanggar tidak akan berdosa, tetapi
kalau tidak dikerjakan justru kita mendapat pahala.[23]
Contoh Makruh:
وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ
مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بَِٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ ...
Artinya: Dan janganlah
kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya… (QS.
Al-Baqarah : 267).
Karahah yang didapat dari
ayat diatas berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menafkahkan harta yang
buruk itu hukumnya makruh.[24]
5. Mubah
Mubah merupakan sesuatu
yang boleh atau tidak untuk dikerjakan. Kalau dikerjakan tidak akan mendapat
pahala dan tidak akan mendapat dosa. begitupun ketika ditinggalkan, tidak akan
mendapat apa-apa.[25]
Contoh Mubah:
فَمَن كَانَ مِنكُم
مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ
يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ ...
Artinya : Maka Barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit saat dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain... (QS. Al-Baqarah : 184).
Ibahah yang diperoleh
dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berbuka puasa dalam
keadaan sakit atau dalam perjalanan, yang hukumnya mubah.[26]
2.
MAHKUM ALAIH
a. Pengertian Mahkum Alaih
Subjek hukum
atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan
segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu.
Dalam istilah Ushul Fiqh, subjek hukum itu disebut Mukkalaf atau orang-orang
yang dibebani hukum, atau mahkum’ alaih yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum.[27]
Mahkum ‘alaihi merupakan orang-orang
mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan
syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.[28]
محكوم عليه هو شخص الذى تعلق خطاب و يسمى با لمكلف
Adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah
Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang menjadi obyek tuntutan hukum syara’.[29]
Orang gila, orang yang
sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa
tidak dikenai taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيْقُ. (روه ابوداود والنسائ)
“Pena itu telah diangkat
(tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga orang: (1) orang yang tidur
hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga
sembuh kembali”.[30]
Demikianlah orang yang
terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak mungkin mematuhi apa
yang ditaklifkan.[31]
b. Dasar Taklif
Seorang
manusia belum bisa dikenakan taklif
atau (pembebanan
hukum) sebelum dia mampu untuk melaksanakan hukum tersebut. Maka darii
itu, para ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa dasar dari pembebanan hukum ialah
akal dan pemahama. Maksudnya adalah, seseorang baru bisa dibebani hukum jika ia
berakal dan mampu memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.
Dengan demikian, orang yang belum berakal atau tidak berakal, seperti orang
gila dan anak kecil tidak bisa dikenakan taklif.
Karena mereka di anggap belum bisa memahami taklif dari suatu
syariat. Termasuk dalam hal ini ialah orang-orang yang dalam
keadaan tidur, mabuk maupun lupa tidak dikenai taklif karena dalam
keadaan tidak sadar (hilang akalnya). Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
رُفِعَ الْقَلَمَ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ الناَئِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِضَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى
يُفِيْقَ
Di angkatkan
pembebanan hukum dari 3 (jenis orang) : orang tidur
sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R.
Al-Bukhari, Abu Daud, al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari
aisyah dan ali bin abi thalib). [32]
c.
Syarat-syarat Mukallaf
Para ulama’
ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bisa dibebankan taklif yaitu apabila
orang tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Orang tersebut telah mampu
memahami khithab syar’i (tuntunan syara’) yang
terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun tidak
langsung (melalui orang lain); karena seseorang yang
melakukan suatu pekerjaan (disuruh) atau dilarang, tergantung pada pemahamanya terhadap suruhan dan larangan
yang menjadi khithab syar’i. Dengan demikian, orang yang tidak punya kemampuan
untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin bisa untuk
melaksanakan suatu taklif.
2. Seseorang tersebut harus cakap
bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah. Artinya, jika
seseorang belum atau tidak cakap bertindak melaksanakan hukum, maka seluruh
perbuatan yang ia lakukan tidak bisa di pertanggungjawabkan. Maka dari itu, anak
kecil yang belum baligh dan belum cakap bertindak hukum ia tidak
bisa di kenakan tuntutan syara’. Orang gila juga tidak bisa dibebani
hukum, karena
kecakapan bertindak hukumnya hilang.[33]
d. Ahliyah
1. Pengertian Ahliyah
Dari segi
etimologi ahliyah yaitu “kecakapan dalam menangani suatu
urusan”. Maksudnya, seseorang
di katakan ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia mempunyai
kemampuan pribadi untuk itu.
Secara
terminologi, para ahli
ushul fiqh mendefinisikan ahliyah sebagai berikut :
صِفَةٌ يُقَدِّرُهاَ الشَّارِعُ فِى الشَّحْصِ تَجْعَلُهُ
مَحَلاًّ صاَلِحاً لِخِطاَبٍ تَشْرِيْعِيٍّ
Suatu sifat
yang dimiliki seseorang, yang di kemudian jadikan
ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan
syara’.
Maksudnya, Ahliyah
adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna baik dari
segi jasmani maupun akalnya, sehingga seluruh
tindakanya dapat dinilai oleh syara’. Jika seseorang telah mempunyai
sifat ini, maka dia telah dianggap sah melakukan suatu
tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada
orang lain. Maka dari
itu, jual belinya sah, hibahnya sah, dan cakap untuk
menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Sifat
kecakapan hukum ini datang kepada seseorang secara evolusi melalui
tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya, tidak
sekaligus secara langsung.
2. Pembagian Ahliyah
Para ulama’
membagi ahliyah menjadi dua bagian, yaitu ahliyah al-wujud
dan ahliyah al-ada’.
a.
Ahliyah ada’
Merupakan sifat
kecakapan bertindak hukum seseorang telah di anggap sempurna untuk
mempertanggung jawabkan semua perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun
negatif. Jika ia
mengerjakan perbuatan yang di tuntut syara’ maka ia di anggap telah memenuhi
kewajiban, dan untuk itu ia mendapat pahala. Dan jika
ia melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa.
2) Ahliyah
al-wujud
Merupakan sifat
kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang telah menjadi
haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Contohnya, jika
seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki ahliyah al-wujud, maka
ia dianggap telah cakap menerima hibah tersebut. Dan jika harta
bendanya di rusak orang lain, maka ia juga dianggap cakap untuk menerima
ganti ruginya. Demikian
juga sama halnya dalam
masalah harta warisan, ia dianggap cakap untuk menerima harta waris dari
keluarganya yang meninggal. Para ulama’ ushul fiqh juga membagi ahliyah
al-wujud kepada dua bagian yaitu:
a. Ahliyah al-wujud an-naqishah
Yaitu ketika
seorang itu masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Maka janin tersebut di
anggap memiliki ahliyah al-wujud yang belum sempurna, karena hak-hak yang harusnya
ia terima belum bisa menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan
selamat, walaupun hanya untuk sesaat. Jika ia telah lahir, maka hak-hak
yang seharusnya
ia terima, akan menjadi miliknya.
b. Ahliyah al-wujud al-kamilah
Yaitu kecakapan
menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia hingga ia
dinyatakan baligh dan berakal, walaupun akalnya masih kurang, seperti
orang gila.
Dalam status
ahliyah al-wujud (sempurna atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan
syara’, baik yang bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat
rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik.[34]
e. Pengertian
Awaridl Ahliyah
Yang
dimaksud awaridl ahliyah yaitu gangguan atau halangan yang
menimpa ahliyah (manusia) baik gangguan tersebut menimpa
ahliyahul wujud (orang yang berhak dan berkewajiban) maupun yang menimpa kepada ahliyatul
ada’ (kepantasan seseorang untuk diperhitungkan oleh syara’).
Awaridl ahliyah dibagi menjadi dua bagian:
1) Awaridl al-samawiyah,
maksudnya ialah halangan tersebut datangnya
dari Allah. Bukan disebabkan perbuatan manusia sendiri, seperti
gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan hingga kematian)
dan lupa.
2) Awaridl
al-mukhtasabah, maksudnya ialah halangan tersebut disebabkan oleh perbuatan
manusia, seperti terpaksa, tersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.[35]
DAFTAR
PUSTAKA
Umam, Chaerul dkk. 2000. Ushul Fiqih I. CV. Pusaka Setia : Bandung.
Khalaf, Abdul
Wahhab. 1997. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah
Hukum Islam Cet. XI. Jakarta: Pustaka Amani.
Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Ushul Fiqih, cet. I,
Jakarta: Bulan Bintang.
Jumantoro, Totok, dkk. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Amzah, 2005.
Rifa’i, Moh.
1995. Ushul Fiqih, cet. I. Bandung : PT
Alma’arif.
Syarifuddin, Amir.
2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Zuhaili, Wahbah.
1986. Ushul Al-Fiqh al-Islami, Juz:1. Damaskus : Dar al-Fikr.
Haroen, Nasroen. 1999. Ushul Fiqih 1. Bandung : logos.
Karim, A. Syafi’i. 1997. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Biek, Syaikh Muhammad
Al-Khudari. 2007. Ushul Fikih. Jakarta : Pustaka Amani
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul
Fiqh. Ciputat : PT. LOGOS Wacana Ilmu
Khallaf, Syekh Abdul
Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Shidik, Saifudin. 2009. Ushul
Fiqh. Jakarta Timur : Intimedia
Catatan:
- Similarity sangat tinggi, 37%.
- Abstraknya tidak semestinya, tidak representatif.
- Penulisan footnote yang sudah disebutkan sebelumnya ada tata caranya sendiri.
- Penulisan kata “kita” dalam karya tulis ilmiah hendaknya dihilangkan.
- Dijelaskan pelan-pelan, agar teman-teman Anda paham.
[14] Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (CV. Pusaka Setia :
Bandung, 2000), hal. 329
[15] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:
Pustaka Amani, 1977), hal. 138-139
[16] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, cet. I, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), hal. 40-41
[17] Totok Jumantoro,dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Amzah, 2005), hal. 186
[18] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, Ibid., hal 38
[19] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, cet. I, (Bandung : PT
Alma’arif, 1995), hal. 20
[20] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, Ibid., hal 38
[21] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 20
[22] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, Ibid., hal 38-39
[23] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 20
[24] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, Ibid., hal 39
[25] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 20
[26] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih..., h. 39.
[27] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 424
[28] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 16
[29] Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh al-Islami, Juz:1,
(Damaskus : Dar al-Fikr, 1986), hal. 158
[30] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 16-17
[31] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar