Nurai’ni,
Putri Nur Fuadah, dan Yusril Ihza Maulana
Mahasiswa
Maulana Malik Ibrahim Malang
P.IPS
D Angkatan 2016
Email:
nurainiips16@gmail.com
Abstract:
This article discusses the Hadith and its development history. Hadith
(Al-Sunnah) is one of the laws that use Muslims after the Qur'an. The hadith
itself is derived from the words and deeds performed by Prophet Muhammad SAW.
He is the chosen man who is given the mandate to convey the message or
revelation from Allah SWT to mankind for the guidance of life in the world and
the Hereafter. As a human being in ma'sum (free from mistakes) we also make him
as role model or role model in behaving. Because everything he speaks and does
is a good thing for his people. So in this article will discuss more about what
is the hadith and how the history of the hadith from the past until now
Abstrak:
Artikel ini membahas tentang Hadits dan sejarah perkembangannya. Hadith ( Al-Sunnah) merupakan salah satu
hukum yang pakai umat islam setelah Al-Qur’an. Hadits itu sendiri diambil dari
perkataan dan perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan
manusia pilihan yang diberi amanah untuk menyampaikan risalah atau wahyu dari
Allah SWT kepada umat manusia untuk pedoman hidup di dunia dan di akhirat.
Sebagai manusia yang di ma’sum (bebas dari kesalahan) tak salah juga kita
menjadikan beliau sebagai panutan atau suri tauladan dalam berperilaku. Karena
segala yang beliau ucapkan dan lakukan merupakan sebuah kebaikan bagi para
umatnya. Sehingga dalam artikel ini akan membahas lebih jauh lagi tentang apa
itu hadits dan bagaimana sejarah adanya hadits dari dulu hingga sampai sekarang
Kata
kunci: hadist, sunnah, historisitas
A.
Pendahuluan
Islam
sebagai agama Allah memiliki sumber hukum utama, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
As-Sunnah juga sering disebut sebagai Al-Hadits.Hadis dan sunnah,
baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh kebanyakan orang
muslim dari berbagai mazhab islam, sebagai sumber ajaran islam, karena dengan
adanya hadis dan sunnah ajaran agama islam menjadi jelas rinci dan spesifik.
Hadis
mengandung satu prinsip yang mendasar, yaitu bahwa usaha menerima,
menyampaikan,dan memelihara suatu hadis harus dilakukan secara cermat dan
teliti.
Para
ulama memiliki perbedaan dalam mendefinisikan hadis dan sunnah, perbedaan ini
disebabkan oleh cara pandang ulama dalam memandang Nabi dan objek tujuan ilmu
yang mereka bahas.
Perkembangan
hadis dimulai sejak masa rasulullah, masa khulafa al-rasyidin, masa sahabat dan
tabi’in,hingga masa pengumpulan hadis merupakan suatu yang harus dipahami oleh
umat muslim.
B.
Pengertian
Hadis/Sunah
Menurut
bahasa (etimologi) hadis (al-hadist)sama dengan jadid yaitu
perkara yang baru.[1]bentuk
jamak dari hadits adalah ahadits. Selain itu, hadis juga
diartikan sebagai Al-khabar yang berarti berita, yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang pada orang lain.[2]
Namun, al-khabar berbeda dengan al-hadits, karena al-hdits merupakan segala
sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, sedangkan al-khabar
merupakansegala sesuatu yang dinisbatkan kepada selain Nabi Muhammad.[3]
Sunnah
menurut etimologi berarti jalan yang ditempuh, baik yang terpuji maupun tidak,
sebagaimana sabda Nabi, berikut:
“barang
siapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan pahala dan pahala
orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang; dan
barang siapa membuat inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa
orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sekititpun berkurang” (HR.
Muslim).[4]
Sunnah
menurut istilah (terminologi) memiliki definisi yang berbeda-beda, hal ini
disebabkan para ulama memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat Nabi
dan perbedaan objek tujuan ilmu yang menjadi pembahasannya.
Ditinjau
dari perbedaan sudut pandang dalam melihat Nabi. Ulama hadis memandang Nabi
sebagai imam, pemberi petunjuk, pemberi nasihat, sebagai suri tauladan (uswah
hasanah) dan panutan (qudwah).Ulama ushul fiqih memandang Nabi sebagai penetap
hukum islam (al-syari’) dan peletak bagi kaidah-kaidah bagi para mujtahid dalam
menetapkan hukum islam. Ulama fiqh memandang Nabi dari sisi perbuatan yang
bermuatan hukum syara’. Mereka membahas hukum syara’ yang berupa wajib, haram,
sunnah, mubah, atau lainnya[5].
Dari
sudut pandang tersebut, sunnah menurut ulama hadis memiliki cakupan yang sangat
luas, karena mencakup aspek kehidupan Nabi mulai lahir sampai wafat. Nabi
dipandang sebagai pemberi nasehat, pemberi petunjuk, sebagai pemimpin,
tauladan, dan panutan yang patut dicontoh baik sebelum ataupun setelah diangkat
menjadi Nabi. Namun, menurut sebagian ahli hadis mengatakan, sunnah tidak hanya
segala sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi tetapi juga pada para sahabat atau
tabi’in yang berupa perbuatan, taqrir, ataupun sifat-sifatnya.
Menurut
pemahaman ulama Ushul Fiqh, sunnah merupakan sesuatu yang bersumber dari Nabi baik
perbuatan, perkataan, atau taqrir yang bisa menjadi dalil-dalil hukum syara’,
dengan demikian sunnah diartikan sebagai sumber hukum islam.
Menurut
ulama Fiqh Nabi tidak hanya dipandang sebagai penyampai risalah tetapi juga
yang melakukan risalah, sehingga semua yang dilakukan dan dikatakan Nabi dan
bukan merupakan fardhu atau wajib disebut sunnah. Selanjutnya pengertian sunnah
menurut ulama fiqh diartikan sebagai perbuatan yang apabila dilakukan akan
mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa.
C.
Bentuk-bentuk
Hadis Nabi
Ditinjau dari bentuknya,
hadis Nabi dibedakan menjadi lima, yakni:
1.
Hadis Qawli
Segala
perkataan Nabi yang berhubungan dengan ibadah ataupun kehidupan sehari-hari.
disebut sebagai hadis qawlli, yakni segala bentuk perkataan atau ucapan yang
disandarkan kepada Nabi.[6]
Saat
meriwayatkan hadis qawli, Nabi melakukannya dengan lima cara, yaitu:
a.
Sabda Nabi yang
disampaikan dihadapan orang banyak.
b.
Sabda Nabi yang
diungkapkan di depan satu orang atau beberapa orang.
c.
Sabda Nabi yang
disampaikan oleh adanya sebab yang mendorong penyampaian hadis pada peristiwa
tertentu.
d.
Sabda Nabi yang
tidak dikarenakan adanya sebab tertentu.
e.
Nabi
memerintahkan para sahabat untuk menullis sabda yang dikatakan
2.
Hadis Fi’li
Hadis
fi’li merupakan semua tindakan yang disandarkan kepada Nabi. Hadis ini
disampaikan kepada sahabat dan dijadikan sebagai pedoman perbuatan sahabat dan
umat islam untuk mengikutinya. Hadis fi’li ini tidak diketahui langsung
dari Nabi,malainkan melalui informasi dari para sahabat yang melihat Nabi
melakukan sesuatu, kemudian disampaikan kepada sahabat lain. Bentuk-bentuk
hadis fi’li, diantaranya:
Pertama,
hadis berupa perbuatan yang disebabkan oleh sebab tertentu. Ketika Nabi
melakukan tindakan yang disaksikan oleh satu atau beberapa sahabat, yang
disebabkan oleh faktor tertentu. Hal-hal yang melatarbelakangi Nabi bertindak
atau bersabda bermacam-macam.
Kedua,
hadis berupaperbuatan yang tidak disebabkan oleh sebab tertentu. Hadis jenis
ini jumlahnya lebih banyak daripada hadis yang disebabkan faktor tertentu. Hal
ini, dikarenakan Nabi berbuat setiap hari dan kebanyakan perbuatan itu terjadi
tanpa didahului oleh sebab yang melatarbelakanginya. Contohnya adalah doa
permohonan kehidupan yang sejahtera di dunia dan di akhirat yang dilakukan oleh
Nabi secara berulang kali, maka hal ini dinilai sebagai perbuatan Nabi.
Ketiga,
hadis berupa perbuatan yang dilakukan dihadapan orang banyak. Contoh dari hadis
ini, saat Nabi tiga malam melakukan shalat tarawih, akan tetapi pada hari
keempat Nabi tidak melakukannya karena khawatir akan diartikan sebagai shalat
wajib oleh kaum muslim, hal ini disampaikan kepada banyak sahabat yang
melakukan shalat dimasjid.
Keempat,
hadis berupa perbuatan yang dilakuka didepan satu atau beberapa orang. Contoh
hadis ini adalah saat Nabi shalat diatas kendaraan, hadis ini menjelaskan bahwa
“Nabi shalat
diatas tunggangannya kemana saja tungganngannya itu menghadap”.
Tindakan yang
dijelaskan dalam hadis tersebut dilakukan oleh Nabi Hanya dihadapan beberapa
sahabat yang kebetulan mengikuti Nabi dalam perjalanan.
3.
Hadis Taqriri
Hadis
taqriri atau hadis yang berupa persetujuan merupakan hadis yang ditetapkan oleh
Nabi terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabat. Maka dapat
disimpulkan bahwa hadis ini buka dari Nabi melainkan dari para sahabat yang
kemudian disetujuai Nabi. Sikap Nabi ini dijadikan dasar oleh para sahabat
sebagai dalil taqriri.Contoh hadis taqriri, hadis riwayat Abu Dawud ‘Dua
orang laki-laki pergi melakukan perjalanan. Ketika sampai waktu shalat dan
keduanya tidak mendapatkan air, mereka bertayamum dengan debu yang bersih lalu
mendirikan shalat. Setelah itu, mereka menemukan air. Salah seorang diantaranya
berwudhu dan mengulangi shalat, sekangkan yang lain tidak mengulanginya.
Keduanya datang kepada Rasulullah dan menceritakan hal itu. Kepada yang tidak
mengulang Rasulullah bersabda (Engkau mengerjakannya menurut sunnah), sedangkan
kepada yang lain Nabi bersabda(engkau mendapatkan pahala ganda).[7]
4.
Hadis Ahwali
Hadis
alwali adalah hadis yang berupa hal ihwal Nabi, yang menyangkut keadaan fisik,
sifat-sifat, dan kepribadiannya.[8]Hadis
ahwali dibedakan menjadi dua, yaitu: Pertama, hal-hal yang bersifat
intrinsik berupa sifat dan kkepribadian yang tercermin dari tindakan
sehari-hari. Kedua, hal-hal yang bersifat ekstrinsik berupa aspek yang terkait
dengan fisik Nabi.
5.
Hadis Hammi
Hadis
Hammi merupakan hadis yang berupa hasrat atau keinginan Nabi yang belum
terlaksana. Sebagaimana manusia pada umumnya, Nabi memiliki ide atau
keinginginan, sebagian dari keinginan itu ada yang sudah terlaksana dan masih
ada yang belum terlaksana, seperti halnya keinginan Nabi untuk berpuasa pada
tanggal 9 ‘Asyura, Ibn Abbas meriwayatkannya sebagai berikut:
Ketika Nabi SAW.
Berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa, mereka
berkata: Ya Nabi! Hari ini merupakan hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan
Nasrani. Nabi SAW. Bersabda: Tuhan yang akan dadang insya’allah aku akan datang
pada hari yang kesembilan”. (HR.Muslim)[9]
Nabi
belum sempat melaksanakan keinginannya untuk berpuasa pada tangal 9 ‘Asyura,
karena Nabi wafat sebelum sampai bulan ‘Asyura. Hadis Hammi ini tidak
disebutkan dalam beberapa definisi hadis baik oleh ulama hadis, ulama ushul,
ataupun ulama fiqh. Namun menurut Imam Syafi’i dan pengikutnya, melaksanakan
hadis hammi ini adalah sunnah, sama seperti menjalankan hadis-hadis
lainnya.
D.
Perbedaan
Hadist, Sunnah, Atsar, dan Khabar.
Sesungguhnya hadist dan sunnah memiliki pengertian yang sama,
masing-masing (hadist atau sunnah) berkaitan dengan ucapan, perbuatan, atau
penetapan nabi SAW. Namun jika dikembalikan pada asal-usul kesejarahannya,
ternyata terdapat ada beberapa perbedaan antara keduanya dalam penggunaan, baik
dari segi bahasa maupun istilah.
Ditiinjau dari Abdul Baqa’,
Hadist adalah isim (kata benda)
dari tahdits yang berarti pembicaraan. Lalu didefinisikan sebagai ucapan,
perbuatan, atau penetapan yang dinisbatkan kepada nabi SAW.[10]
Arti dari “pembicaraan” disini dikenal oleh masyarakat arab dizaman jahiliyyah
sejak mereka menyatakan “hari mereka yang terkenal” dengan sebutan ahadits (buah pembicaraan).[11]
Berapapun ada perbedaan arti dari “pembicaraan” tapi kita akan selalu dapat
menemukan arti “pembicaraan” secara jelas didalamnya, dalam firman Allah
Ta’ala: “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat (perkataan/pembicaraan)
semisal al-Qur’an” (surat ath-thur, 34), dan firman Allah: “Allah telah
menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu
ayat-ayatnya)” (surah az-zumar, 23). Ada
beberapa ulama’ yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadist tapi mereka
menggunakannya sebgai lawan kata qadium (lama),
dengan memaksudkan qadium sebagai kitab Allah, sedangkan “yang baru” ialah apa
yang disandarkan kepada nabi SAW. Dalam syarah al-Bukhori, syeikh islam ibnu
Hajar berkata: “menurut syarah yang dimaksut dengan hadis ialah apa yang
disandarkan kepada nabi SAW. Dan hal itu seakan-akan dimaksutkan sebagai
bandingan al-qur’an adalah qadim.[12]Hal
ini mengingatkan kepada kita dengan sangat jelas akan keenganan sebagian besar
ulama’ menggunakan nam hadits untuk kitab Allah, atau menganti “kalam Allah”
dengan “hadits Allah”
Pengertian Sunnah
sendiri, menurut bahasa artinya;
Ų§ŁŲ·Ų±ŁŁŲ© Ł
ŲŁ
ŁŲÆŲ© ŁŲ§ŁŲŖ Ų§Ł Ł
Ų°Ł
ŁŁ
Ų©
“jalan yang terpuji dan atau yang tercela.”
Sementara dalam hadist Rasulallah SAW; disebutkan:
Ł
Ł Ų³Ł ŁŁ Ų§ŁŲ§ Ų³ŁŲ§Ł
Ų³ŁŲ© ŁŁŁ Ų§Ų¬Ų±ŁŲ§ ŁŲ§Ų¬Ų± Ł
Ł Ų¹Ł
Ł ŲØŁŲ§ ŲØŲ¹ŲÆŁ Ł
Ł ŲŗŁŲ± Ų§Ł ŁŁŁŲµ
Ł
Ł Ų§Ų¬ŁŲ±ŁŁ
Ų“ŁŲ” ŁŁ
Ł Ų³Ł ŁŁ Ų§ŁŲ§Ų³ŁŲ§Ł
Ų³ŁŲ© ŁŲ§Ł Ų¹ŁŁŁ ŁŲ²Ų±ŁŲ§ ŁŁŲ²Ų± Ł
Ł Ų¹Ł
Ł ŲØŁŲ§Ł
Ł ŲØŲ¹ŲÆŁ Ł
Ł
ŲŗŁŲ± Ų§Ł ŁŁŁŲµ Ł
Ł Ų§ŁŲ²Ų§Ų±ŁŁ
Ų“ŁŲ”(Ų±ŁŲ§Ł Ł
Ų³ŁŁ
)
“barang
siapa melakukan sesuatu perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala (dari
perbuatannya itu dan pahala orang yang menirunya setelah dia, dengan tidak
dikurangi pahalanya sedikitpun. Dan barang siapa melakukan perbuatan yang
jelek, ia akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang menirukannya,
dengan tidak dikurangi dosanya sedikitpun.” (HR Muslim)
Dalam Qs al-Kahfi (18): 55 Allah berfirman:
ŁŁ
Ų§ Ł
ŁŲ¹ Ų§ŁŁŲ§Ų³
Ų§Ł ŁŲ¤Ł
ŁŁŲ§Ų§Ų°Ų¬Ų§Ų”ŁŁ
Ų§ŁŁŲÆŁ ŁŁŲ³ŲŖŲŗŁŁŲ±ŁŲ§ Ų±ŲØŁŁ
Ų§ŁŲ§ Ų§Ł ŲŖŲ§Ų” ŲŖŁŁŁ
Ų³ŁŲ© Ų§ŁŲ§ŁŁŁŁ
“Dan tidak sesuatupun yang menghalangi manusia beriman, ketika
petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun. Kepada tuhannya,
kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah berlaku pada)
umat-uamt terdahulu...
Bila kata sunnah dikaitkan dengan pembahasan hukum syara’, maka
yang dimaksut tidak lain adalah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang,
atau dianjurkan oleh Rasulallah SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan amupun ketetapannya.
Apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-kitab dan al-sunnah yang
dimaksut adalah al-Qur’an dan hadis.[13]
Sedangkan menurut istilah, sunnah tedapat beberapa perbedaan dikalangan ulama,
hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang, persepsi, dan sudut pandang
masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW. Mereka dikelompokan menjadi tiga
golongan; Ahli Hadis, Ahli Usul, dan Ahli Fiqih.[14]
Khabar
dan Atsar
Makna khabar menurut bahasa, yaitu segala berita yang disampaikan
oleh seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah yaitu, menurut ahli
hadist berpendapat bahwa hadist dan khabar merupakan sinonim. Bahwa seorang
perowi tidak cukup hanya mengutip hadist yang disandarkan kepada nabi SAW
(marfu’), melainkan juga dari sumber para sahabat (mauquf ‘) atau bahkan yang
hanya berhenti pada tabi’in saja (maqtu’).
Mencangkup dari segala sesuatu yang datang dari nabi saw, sahabat dan
tabi’in, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.[15]
Namun ulama lain mengatakan bahwa khabar sendiri bermakna sesuatu yang datang
selain dari nabi SAW Sedangkan yang
datang dari nabi SAW Disebut Hadist. Dan
ada lagi yang mengatakan bahwa Hadist lebih luas daripada khabar, sehingga tiap
hadist yang dikatakan bisa disebut khabar, tapi setiap khabar yang dikatakan
tidak bisa dikatakan Hadist.
Menurut bahasa pengertian atsar memiliki kesamaan artinya dengan
khabar, hadist dan sunnah. Sedangkan menurut istilah sendiri atsar memiliki
arti yang terjadi perbedaan pendapat diantara pendapat para ulama’. Menurut istilah;
Ł
Ų§Ų±ŁŁ Ų¹Ł Ų§ŁŲµŲŲ§ŲØŲ© ŁŁŲ¬ŁŲ² Ų§Ų·ŁŲ§ŁŁ Ų¹ŁŁ ŁŁŲ§Ł
Ų§ŁŁŲØŁ Ų§ŁŲ¶Ų§
“yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh
juga didasarkan pada perkataan nabi SAW.”
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar yang mana
sesuatu disandarkan kepada nabi SAW. Sedangkan menurut ulama’ Khurasan atsar
untuk mauquf dan khabar untuk yang
marfu’.[16]
Dari
keempat pengertian dari hadis, sunnah , khabar, dan atsar dapat disimpulkan
bahwa dari beberapa pengertian tersebut memiliki maksut, yaitu segala sesuatu yang
bersumber dari nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya.
E.
Sejarah
Singkat Hadist nabi dari masa ke masa
1.
Periode
Pertama: Hadist Pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadist pada masa Rasulullah SAW. berarti membicarakan
hadist hadist pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait
langsung dengan pribadi Rasulullah SAW. sebagai sumber hadist. Rasulullah SAW
membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya waktu
dan sekaligus diwujudkan hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan
kehati hatian para sahabat-sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT. kepadanya dijelaskannya melalui
perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa
yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi
amaliah dan ubudiah mereka. Rasulullah SAW merupakan contoh satu-satunya bagi
para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul
Allah SWT. yang berbeda dengan manusia lainnya.
Pada masa ini dikenal dengan Ashr al wahy wa al Takwin, yaitu masa
wahyu dan pembentukan karena pada masa nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak hadist-hadist Nabi yang datang
dari-Nya. Ayat-ayat Al’Quran dan
Hadist-hadist Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat nabi
yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliyah. Para sahabat sangat
mencintai rasulullah melebihi cinta mereka kepada keluarga bahkan diri mereka
sendiri. Mereka selalu berusaha menghafal ajaran-ajaran Islam melalui Al’Quran,
juga selalu rindu bertemu Rasulullah untuk mendapatkan ajaran agama, termasuk
hadist-hadistnya. Mereka menyadari betapa penting kedudukan hadist Nabi dalam
agama islam, bahwa sunnah nabi merupakan pilar kedua setelah Al’Qur an, orang
yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya
akan mendapat kebahagiaan.[17]
Tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi baik
yang terkait dengan masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan hal –
hal pribadi telah terjadi semenjak awal islam. Sebagai figur, Nabi menjadi
pusat perhatian, dalam kapasitas sebagai pemimpin, teladan, dan penyampai
syariat Allah yang hampir semua perkatann dan perilakunya bermuatan hukum,
kecuali sebagai yang terkait dengan urusan duniawi. Kebiasaan menghargai seala
yang berasal dari nabi terlihat pada banyaknya para sahabat, di tengah – tengah
kesibukan mereka memenuhi kebutuhan hidup, menghadiri majelis Nabi, sebagian
tinggal beberapa saat atau dalam waktu yang lama bersamanya, mendiskusikan dan
menelaaah secara kritis hadis – hadis yang mereka terima. Jika terjadi
persoalan yang menyangkut kebenaran hadis yang mereka terima. Mereka dapat
langsung mengecek kebenarannya kepada nabi karena beliau berada bersama,
bergaul, dan bermuamalah dengan mereka, sehingga bila terjadi kesalahan
penukilan, kekeliruan pengucapan, atau kekurangpahaman terhadap makna teks
hadis, dapat di rujuk pada Nabi.[18]
a.
Cara Rasulullah
Menyampaikan Hadist
Ada suatu
keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya. Umat islam
pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadist dari Rasul SAW. sebagai
sumber hadist. Antara Rasul SAW. dengan mereka tidak ada jarak atau hijab
yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan.
Allah swt
menurunkan Al-Qur’an dan mengutus nabi Muhammad SAW sebagai utusannya adalah
sebagai paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa apa yang
disembunyikannya juga merupakan wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan
kondisi utusan-Nya tersebut :
ŁŁ
Ų§ŁŁŲ·Ł Ų¹Ł Ų§ŁŁŁŁ,Ų§Ł ŁŁŲ§ŁŲ§ŁŲŁŁ ŁŲŁ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)”. ( Q.S Al Najm (53): 3-4)
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis
menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi bagi
para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-yiakan keberadaan Rasulullah ini.
Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu
yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka
mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri
dimaksudkna agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan di
antara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam bantak kesempatan. Tempat yang
biasa digunakan Rasulullah SAW cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya
sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada
dirumah).
Melalui tempat-tempat tersebut Rasulullah
SAW menyampaikan hadist, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang
didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan
serta taqrir nya yang disampaikannya oleh mereka (melalui musyahadah).
Menurut riwayat Bukhari, ibnu Mas’ud pernah
bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul
SAW menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat
selalu ingin mengikuti pengajiannya.[19]
Ada beberapa cara rasulullah SAW
menyampaikan hadis kepada para sahabatnya, yaitu:
Pertama, melalui jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al’ ilmi.
Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis,
sehingga mereka berusaha untuk selali engkonsentrasikan diri guna mengikuti
kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAW.Para sahabat begitu antusias
untuk tetap bisa mengikuti kegiatan di majlis ini. Ini ditunjukkan dengan
banyak upaya. Terkadang di antara mereka bergantian hadir, seperti yang
dilakukan oleh umar bin Khattab. Ia sewaktu – waktu bergantian hadir dengan
ibnu Zaid ( dari bani Umayyah) untuk menghadiri majlis ini, ketika ia
berhalangan hadir. Ia berkata: “Kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada
hari lainnya ia yang pergi, demikian ku melakukannya”. Terkadang kepala –
kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk
kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW. juga menyampaikan hadisnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain.
Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis, para sahabat yang hadir
hanya beberapa orang saja, baik disengaja oleh rasul SAW sendiri atau secara
kebetulan para sahabat yang hadur hayna beberapa orang saja, bahkan hanya satu
orang, seperti hadis hadis yang ditulis oelh abdullah ibn Amr ibn Al
–‘Ash.Untuk hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan
kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia
sampaikna melalui istri – istrinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada
hal – hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada
Rasul SAW, sering kali ditanyakan kepada istri – istrinya.
Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW. adalah melalui ceramah atau
pidato di tempat terbuka, seperti ketika Haji wada’ dan futuh Makkah.[20]
b. Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai
Hadis
Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis.
Ada yang memiliki nya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini
tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan
bersama rasul SAW. kedua, perbedaan meeka dalam soal kesanggupan bertanya
kepada kepada sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu
masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul SAW.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak
menerima hadis dari Rasul SAW. dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu diantara
nya :
1)
Para sahabat yang tergolong kelompok Al – Sabiqun Al – Awwalun ( yang
mula mula masuk islam), seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan,
Ali Bin Abi Thalib dan Ibn Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis dari Rasul SAW.
karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
2)
Ummahat Al Mukminin (Istri – Istri Rasul SAW), seperti Siti Aisyah dan
Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul SAW dari pada
sahabat-sahabat lainnya. Hadis – Hadis yang diterimanya. Banyak yang berkaitan
dengan soal – soal keluarga dan pergaulan suami istri.
3)
Para sahabat yang disamping dekat dengan Rasul SAW. juga menuliskan
hadis hadis yang diterimanya, seperti Abdullah Amr ibn Al-‘Ash.
4)
Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah Saw akan tetapi
banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti abu
Hurairah.
5)
Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasulullah
SAW. banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong ynag hidup
lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik
dan Abdullah ibn Abbas.[21]
c. Menghafal dan Menulis Hadist
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al Qur’an dan
Hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan yang berbeda.
Terhadap Al Qur’an ia secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya
ditulis disamping dihafal. Sedang terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafal
dan menulisnya secara resmi. Dalam hal ini Rasulullah SAW Bersabda :
ŁŲ§ŲŖŁŲŖŲØŁŲ§ Ų¹ŁŁ ŁŁ
Ł ŁŲŖŲØ Ų¹ŁŁ ŲŗŁŲ± Ų§ŁŁŲ±Ų§Ł ŁŁŁŁ
ŲŁ
ŁŲŲÆŲ«ŁŲ§ Ų¹ŁŁ ŁŁŲ§ŲŲ±Ų¬ ŁŁ
Ł ŁŲ°ŲØ Ų¹ŁŁ Ł
ŲŖŲ¹Ł
ŲÆŲ§ ŁŁŁŲŖŲØŁŲ§ Ł
ŁŲ¹ŲÆŁ Ł
Ł Ų§ŁŁŲ§Ų± (Ų±ŁŲ§Ł Ł
Ų³ŁŁ
)
“Jangan kalian tulis apa saja dariku selain
Al-Qur’an. Barang apa telah menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah dihapus.
Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siap
berdusta atas namaku dengan sengaja hendklah ia menempati tempat duduknya di
Neraka”.
Maka segala hadis yang diterima dari Rasul
SAW. oleh para sahabat di ingatkannya secara sungguh-sungguh dan hati hati.
Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul SAW. untuk tidak terjadi kekeliruan
tentang apa yang diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan
motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama,
karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya
sejak pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasul SAW banyak
memberikan spirit melalui doa doanya. Ketiga, sering kali ia menjanjikan
kebaikan akhirat kepada para sahabatnya.[22]
Demikianlah Nabi SAW telah mewurudkan
hadistnya selengkap-lengkapnya sebagai interpretasi Al-Qur’an, dan telah
diterima oleh para sahabat dan diterima oleh para sahabat dipelihara dalam
hafalan, penulisan dan amalan mereka. Hal ini terbayang dari peristiwa Haji
Wada’ pada tahun 10 Hijriyah dihadapan 140.000 sahabat, beliau berpidato yang
merupakan Minhaj Hitami bagi dakwahiyah secara umum. Pada waktu itu turun ayat
:
Ų§ŁŁŁŁ
Ų§ŁŁ
ŁŲŖ ŁŁŁ
ŲÆŁŁŁŁ
ŁŲ§ŲŖŁ
Ł
ŲŖ Ų¹ŁŁŁŁ
ŁŲ¹Ł
ŲŖŁ
ŁŲ±Ų¶ŁŲŖ ŁŁŁ
Ų§ŁŲ§Ų³ŁŲ§ Ł
ŲÆŁŁŲ§
“Pada Hari ini aku telah sempurnakan bagimu
agamamu. Aku telah sempurnakan untukmu agamamu nikmat-Ku dan Aku ridhai Islam
menjadi Agamamu (QS. Al-Maidah 5:3)
2.
Periode Kedua: Perkembangan Hadist Pada Masa Khulafa Al – Rasyidin (11 H
– 40 H)
Periode ini disebut “Ashr al-Tatsabbut wa
al-Iqbal min al-riwayah”, yaini masa pematerian dan penyedikitan riwayat.”Nabi
SAW wafat pada tahun 11 M. Kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan
sebagai dasar bagi pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadist (al-Sunnah)
yang harus dipegangi bagi peraturan seluruh aspek kehidupan umat.[23]
Periwayatan hadis pada masa sahabat
terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidin sejak tahun 11 H sampai 40 H, yang
disebut juga masa sahabat besar, belum begitu berkembang. Pada satu sisi,
perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan pentebaran
al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadis tersebut. Masa ini
disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan.. pada sisi lain,
meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an,
tidak berarti mereka tidak memegang hadis sebagaimana halnya yang mereka
diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan
membatasi diri dalam meriwayatkan hadis itu.
Kehati-hatian dan usaha membatasi
periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya
kekeliruan, mereka menyadari bahwa hadis merupakan sumber ajaran islam setelah
Al-Qur’an, yang juga harus tetap terpelihara dari kekeliruan sebagaimana halnya
Al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya al-khulafa’ al-Rasyidin dan
sahabat lain seperti Zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaydah berusaha memperketat
periwayatannya dan penerimaan Hadis. Mereka menyampaikan dan menjaga hadis
dengan hati-hati agar supaya tidak terjadi kesalahan dengan cara tidak
meriwayatkannya kecuali saat-saat dibutuhkan melalui penelitian yang mendalam.[24]
Sikap hati-hati ditunjukkan oleh khalifah
pertama, Abu Bakar As-Shidiq. Khalifah pertama ini menunjukkan perhatian yang
serius dalam memelihara hadis. Abu bakar mengambil kebijakan memperketat
periwayatan hadis dengan maksud agar hadis tidak disalah gunakan oleh kaum
munafik, untuk menghindari kesalahan dan kelalaian sebagai akibat memperbanyak
periwayatan hadis yang berujung pada kebohongan mengenai hadis yang mereka
riwayatkan dari Nabi. Salah satu contoh kehati hatian Abu Bakar terlihat pada
riwayat Ibn Syihab al-Zuhri dari qabishah ibn Zuayb bahwa seorang nenek
bertanya kepada Abu Bakar sola bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia
menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam Al-Qur’an maupun
hadis, al-Mughirah menyebutkan bahwa rasulullah memberinya seperenam. Abu Bakar
kemudian meminta supaya a-Mughirah mengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian
hadisnya diterima. Saksi yang diajukan di ambil Abu Bakar agar supayaberita
yang disampaikan benar benar secara meyakinkan berasal dari Nabi, Sehingga
dapat dijadikan sumber saksi dalam kaitannya dengan masalah waris yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an, bukan berkenaan dengan periwayatan hadis.
Sikap serupa juga ditunjukkan oelh Umar Bin
Khattab. Seperti halnya Abu Bakar, umar meinta diajukan saksi jika ada orang
yang meriwayatkan hadis. Sebgian ahli hadis mengemukakan bahwa Abu Bakar dan
Umar menggariskan bahwa hadis dapat diterima apabila disertai saksi atau
setidak-tidaknya periwayatan berani disumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i,
tidak benar karena Umar menerima beberapa hadis meskipun hanya diriwayatkan
oleh seorang periwayat hadis. Untuk masalah tertentu sering kali umar juga
menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu, seperti hadis-hadis dari
Aisyah. Menurut al-Siba’i, sampai wafatnya Umar belum banyak yang tersebar dan
masih dalam keadaan terjaga dalam di hati para sahabat, Baru pada masa Utsman
bin Affan, periwayatan hadis diperlonggar.
Baik sikap Abu Bakar maupun Umar tersebut
diikuti oleh Utsman dan Ali. Selain dengan cara-cara diatas, Ali juga terkadang
mengajukan sumpah kepada sahabat yang meriwayatkan hadis. Kehati-hatian para
Sahabat tidak berarti bahwa mereka selamanya mensyaratkan bahwa hadis dapat
diterima bila diriwayatkan oleh dua orang atau lebih atau periwayatan hadis
harus disertai dengan saksi dan bahkan sumpah, tetapi maksudnya adalah mereka
berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis.[25]
Sungguhpun demikian, tidak berarti pada
masa sahabat tidak terjadi kekeliruan dalam periwayatan hadis. Sebagai manusia
yang tidak ma’shum. Para sahabat meskipun secara umum memiliki jiwa yang bersih
dan hafalan yang kuat, daoat saja melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis.
Menurut shalah al-Din Ibn Ahmad al-Adhabi, kekeliruan kadang terjadi pada hadis
yang diriwayatkan oleh seorang periwayat (hadis ahad-gharib) yang diakibatkan
oleh salah satu faktor berikut: Pertama, sahabat itu meriwayatkan hadis
yang didengarnya langsung dari Nabi SAW. tetapi ia tidak tahu kalau hadis itu
telah di nasakh. Kedua, dakam periwayatan hadis, periwayatan itu
menyertakan komentar bersama dengan redaksi hadis sehingga diduga oleh para
pendengarnya sebagai bagian dari hadis itu. Ketiga, periwayat mengalami
kekeliruan dalam letak suatu kata dalam hadis atau antara satu hadis dengan
hadis yang lain. Keempat, periwayat meriwayatkan hadis dengan radaksi
sendiri yang memiliki cangkupan lebih luas dari makna yang sebenernya bersumber
dari Nabi. Kelima, tidak sadar dengan pemakaian satu kata yang bukan
kata asli dari nabi yang sebenarnya memiliki perbedaan konotasi. Keenam,
periwayat meriwayatkan hadis bukan pada jalur yang semestinya karena telah lupa
dengan latar belakang timbulnya hadis itu; dan ketujuh, periwayat
meriwayatkan hadis, secara keliru, yakni yang sebenarnya tidak bersumber dai
nabi, dikatakan berasal darinya.
Adapun penulisan hadis masih tetap terbatas
dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah Khalifah Umar Bin Khattab
mempunyai gagasan membukukan hadits, namun niatan tersebut diurungkan sebelah
beliau beristikharah. Para sahabat tidak melakukan penulisan Hadis secara
resmi, karena pertimbangan-pertimbangan:
a. Agar tidak memalingkan umat dari perhatian
terhadap Al-Qur’an. Perhatian sahabat masa khulafa al-rasyidin adalah pada
Al-Qur’an seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya hingga
menjadi mushaf.
b. Para sahabat sudah menyebar sehingga
terdapat kesulitan dalam menulis hadis[26]
3.
Periode Ketiga: Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
(40H-100H)
Periode ini disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar” Yakni masa
berkembang dan meluasnya periwayatan Hadits. Pada masa ini daerah islam makin
meluas, yakni ke negeri syam, Irak, Mesir, Samarkand bahkan pada tahun 93
Hijriyah sampai ke Spanyol. Hal ini dibarengi dengan keberangkatan para sahabat
ke daerah-daerah tersebut terutama dalam rangka tugas memangku jabatan
pemerintahan dan penyebaran agama islam.
Bagi pengalaman agama pada generasi setelah sahabat, yakni sahabat kecil
dan tabi’in, yang memerlukan untuk mengetahui Hadits-hadits Nabi SAW, mereka
kemudian berangkat mencari hadits, menanyakan dan belajar kepada para sahabat
besar yang sudah tersebar diseluruh pelosok wilayah daulah islamiyah. Dengan
demikian, pada masa ini, disamping tersebarnya periwayatan Hadits ke
pelosok-pelosok daerah jazirah arab, juga tentunya perlawatan untuk mencari
Hadits pun Menjadi ramai. Contoh, perlawatan yang dilakukan oleh Abu Ayub al-Anshori yang pernah pergi ke mesir untuk
menemui Uqbah ibn Amer untuk menanyakan suatu hadits tentang menutup kesukaran
sesama umat Islam. Begitu pula jabir pernah pergi ke syam sebulan lamanya
melawat untuk mencari Hadits kepada Abdullah ibn Unais al Anshari.
Karena meningkatnya periwayatan hadits,
yakni menerima Hadits menghafal dan mengembangkan atau meriwayatkan Hadits
adalah:
a. Abu Hurairah, menurut ibn al-Jauzi, beliau
meriwayatkan 5374, menurut al-Kirmany 5364
b. Abdullah ibn Umar, meriwayatkan 2630
c. Anas ibn Malik, meriwayatkan 2276
d. Aisyah, istri kedua Rasul SAW, meriwayatkan
2210
e. Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan 1660
f. Jabir ibn Abdullah, meriwayatkan 1540
g. Abu Sa’ide al-Khudri, meriwayatkan 1540
h. Abdullah ibn Mas’ud
i. Abdullah ibn Amri ibn Ash
Hadits yang diterima oleh para tabi’in ini
ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang
harus di hafal, disamping dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam
ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua
bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer
akan terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa pasca sahabat besar ini muncul
kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.
Periwayatan tidak semata menyangkut hadits-hadits yang berasal dari nabi
(marfu), tetapi hadits yang bersumber dari sahabat (mawquf) dan tabi’in
(maqthu) bahkan pernyataan beberapa ahli kitab yang telah masuk islam yang
mereka sadar dari pernyataan bani Israel atau shuhuf mereka sebagai bahan
komparasi setelah mereka masuk islam. Dari sekian pernyataan yang memiliki
beragam sumber ini, tidak mustahil menimbulkan salah kutip; perkataan sahabat
dinyatakan sebagai hadits nabi, atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda
nabi.[27]
Disamping kekeliruan diatas, pada masa ini
sudah mulai banyak bermunculan hadits palsu. Pemalsuan hadits yang dimulai
sejak masa Ali ibn Abi Thalib terus berlanjut dan semakin banyak, tidak
menyangkut urusan politik tetapi masalah lain. Menghadapi terjadinya kekeliruan
dan pemalsuan hadits diatas, para ulama’ melakukan beberapa langkah, yaitu :
pertama, melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadits atau para
periwayatnya. Kedua, hanya menerima riwayat hadits dari periwayat tsiqah saja.
Ketiga, melakukan penyaringan terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
periwayat yang tsiqah. Keempat, masyarakat tidak adanya syadz yang berupa
penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqah.
Kelima, untuk mengidentifikasi hadits palsu, mereka meneliti sanad dan rijal al
hadits dan bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.[28]
4.
Periode ke Empat: Perkembangan Hadits Pada Abad Kedua dan Ketiga
Hijriyah (100H – 200H dan 200H – 300H)
Periode ke Empat disebut “Asahr Al-Kitabah
Al-Tadwin”, yakni masa penulisan dan pembukuan. Madsudnya penulisan dan
pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif
pemerintah secara umum. Sebab kalau secara perorangan sebelum abad II H. Hadits
sudah banyak ditulis baik pada masa tabi’in sahabat kecil, sahabat besar, dan
bahkan sejak masa Nabi SAW. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad
II Hijriyah, yakni pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn Abd al-Aziz tahun
101H.[29]
Pada masa ini terjadi kodifikasi hadits.
Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Khaifah
Umar ibn Abd Al-Aziz (99H – 101H),(Khalifah kedelapan bani umayyah), melalui
instruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (gubernur madinah) dan
para ulama’ madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para
penghafalnya. Khalifah ngeinstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr
bin Hazm (wafat 117 H) agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah
binti Abd al-Rahman al-Anshori, murid kepercayaan Aisyah, dan al-Qasim ibn
Muhammad ibn Abi Bakar (Wafat 107 H). Instruksi yang sama ia tunjukkan pula
kepada Muhammad bin syihab al-Zuhri
(Wafat 124 H), yang nilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadits
dari pada yang lainnya. Dari para ulama’ inilah, kodifikasi hadits secara resmi
awalnya dilakukan. Ada beberapa faktor tang melatar belakangi kodifikasi hadis
masa Umar ibn Abd Aziz tersebut. Menurut Muhammad Al-Zafzaf, kodifikasi hadits
tersebut dilakukan karena: Pertama, para ulama hadits telah tersebar ke
berbagai negeri, dikhawatirkan hadits akan hilang bersama wafatnya mereka,
sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian terhadap
hadits. Kedua, banyak berita yang diada adakan oleh pelaku bid’ah (al-mubtadi’)
seperti Khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain lain yang berupa hadits-hadits
palsu. Periwayatan hadits pada masa ini , sebagaimana masa sebelumnya, banyak
diwarnai dengan bid’ah dan pemalsuan hadits, yang berasal dari kalangan
Khawarij, Syi’ah, dan orang orang munafik, serta orang-orang Yahudi. Oleh
karena itu, para periwayat hadits sangat hati-hati dala menerima dan
menyampaikan hadits.
Perintah umar tersebut di atas direspons
positif oleh umat Islam, sehingga terkumpul beberapa catatan-catatan hadits.
Hasil catatan dan penghimpunan hadits berbeda-beda antara ulama yang satu
dengan yang lain. Abu Bakar ibn Hazm Berhasil menghimpun Hadits dalam jumlah
yang menurut para ulama, kurang lengkap. Sungguhpun demikian. Kitab himpunan
hadits-hadits mereka tidak ada yang sampai kepada kita. Ulama setelah al-Zuhri
yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi
sekarang, aadalah Malik ibn Anas (93 – 179 H) di Madinah, dengan hasil karyanya
yang bernama al muwaththa, sebuah kitab yang selesai disusun pada tahun 143 H
dan merupakan kitab hasil kodifikasi pertama. Kitab ini di samping berisi hadis
marfu, yaitu hadis yang disandarkan pada nabi juga berisi pendapat para sahabat
(hadits mawquf) dan pendapat para tabi’in (hadis maqthu’).[30]
DAFTAR
PUSTAKA
Alawi Al-Maliki, Muhammad. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta:
Pustaka Belajar. 2006
As-shalih, Subhi. membahas ilmu-ilmu hadis. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993
Ath-Tahhan, Mahmud. Dasar-dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Ummul
Qura. 2016
Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana. 2010
Soetari endang, Ilmu Hadits, jakarta: Mimbar Pustaka, 2008
Suparta, Munzier. Ilmu
Hadis. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2003
Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari
Ilmu Hadis. Malang: UIN Malang Press. 2007
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya: PT. Bina
Ilmu. 1993
Catatan:
1.
Similarity
cukup tinggi, 35%.
2.
Pendahuluan
belum representatif.
3.
Daftar pustaka
masih belum 10.
[1]Mahmud Thahhan,
Intisari Ilmu Hadis (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 27.
[2] Munzier
Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 1.
[3]
Mahmud Ath-Tahhan, Dasar-dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ummul Qura, 2016), hlm. 24
[4]Muhammad Alawi
Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006),
hlm. 3
[5]Idri, Studi
Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 2.
[6]Ibid.,
hlm 8
[7]Ibid.,
hlm. 16
[8]Munzier
Suparta, op. Cit hlm.22
[9]Ibid.
[10] Subhi
As-shalih, membahas ilmu-ilmu hadis (jakarta: pustaka firdaus, 1993),
hlm 15
[11]Ibid, hlm 15
[12]Ibid, hlm 16
[13] Munzier
Suparta, op. Cit, hlm 7
[14]Ibid, hlm 7
[15]Ibid, hlm 15
[16]Ibid, hlm. 16
[17] Idri, op.
Cit, hlm. 31
[18] Ibid.,
hlm. 32
[19] Suparta
Munzier, op. Cit, hlm 71
[20]Ibid.,
hlm 73
[21]Ibid.,
hlm 74
[22]Ibid.,
hlm 75
[23] Soetari
endang, Ilmu Hadits, (Mimbar Pustaka, 2008), hlm. 41
[24] Idri, op.
Cit, hlm. 39
[25] Ibid.,
hlm 41
[26] Soetari
endang, Ilmu Hadits, Mimbar Pustaka, 2008, hlm. 45
[27]Ibid.,
hlm.45
[28] Ibid.,
hlm. 46
[29] Soetari
endang, Ilmu Hadits, Mimbar Pustaka, 2008, hlm.53
[30]Ibid.,hlm.
48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar