Nazhariyat Al-Hudud Muhammad Syahrur
Firda
Shofiana (16110037)
Mela
Mariana (16110063)
Sisca
Indah Triana (16110197)
Abstract
Muhammad Syahrur is one of the
leading figures of Islamic thinkers in contemporary times. Much of the
reconstruction of his thoughts on Islamic studies has made him discover many
original new discoveries. Boundary Theory (Nazariyyyat Al-Huduud) is one form
of contribution produced by Muhammad Syahrur as long as he is involved in the
world of Islamic thought. The background of Syahrur's involvement in this field
is that he considers that the thinking of classical Islamic literature is not
something that is considered absolute or even permanent. So from that relating
to contemporary issues that many require reinterpretation or need answers that
are in accordance with the context is now one of the main points of attention
of Muhammad Syahrur. As well as his views on women's genitals, he provides a
more detailed interpretation of the boundaries of women's genitals and this is
different from the interpretations carried out by earlier interpreters. In the
boundary theory presented by Muhammad Syahrur this is divided into upper or
maximum limits and minimum or minimum limits. Based on this theory, Muhammad
Syahrur wanted to interpret and apply the verses related to law according to
the current phenomenon of life in accordance with existing limitations.
Key
Concept:Muhammad Syahrur, Nazariyyat
Al-Huduud, Jilbab
Abstrak
Muhammad syahrur merupakan salah seorang tokoh pemikir Islam di
masa kontemporer. Banyak dari rekonstruksi pemikirannya terhadap kajian
keislaman yang menjadikannya banyak menemukan penemuan baru yang orisinil.
Teori Batas (Nazariyyyat Al-Huduud) merupakan salah satu bentuk
kontribusi yang dihasilkan oleh Muhammad Syahrur selama ia berkecimpung dalam
dunia pemikiran Islam. Hal yang melatar
belakangi Syahrur untuk terjun dalam bidang ini adalah bahwa ia menganggap
bahwa pemikiran dari literature-literatur Islam klasik bukanlah sesuatu yang
dianggap absolut atau bahkan permanen. Maka dari itu berkaitan dengan isu-isu
kontemporer yang banyak membutuhkan penafsiran ulang atau membutuhkan jawaban
yang sesuai dengan konteks sekarang menjadi salah satu pokok atensi Muhammad
Syahrur. Begitupun pandangan ia terhadap aurat wanita, ia memberikan penafsiran
yang lebih rinci terhadap batasan aurat wanita dan ini berbeda dengan
penafsiran yang dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Dalam teori
batas yang disuguhkan oleh Muhammad Syahrur ini terbagi menjadi batas atas atau
maksimal dan batas bawab atau minimal. Berdasarkan teorinya ini, Muhammad
Syahrur ingin menafsirkan dan mengaplikasikan ayat-ayat yang berkaitan hukum
disesuaikan dengan fenomena kehidupan saat ini sesuai dengan batasan-batasan
yang ada.
Kata kunci:Muhammad Syahrur,
Nazariyyat Al-Huduud, Jilbab.
A.
Pendahuluan
Berkaitan
dengan zaman yang terus berkembang, maka dari itu perlu adanya pembaharuan atau
pemugaran kembali dalam ranah pemikiran-pemikiran Islam. Hal ini sebagaimana
halnya pemikiran-emikiran kontemporer dan modern harus mampu memberikan andil
yang kuat kaitannya dalam melakukan penyelesaian terhadap isu-isu yang menjamur
ditengah serangan modernitas yang kian lama kian kuat. Adapun isu yang patut diangkat dal hal ini
adalah isu mengenai aurat perempuan. Seuai dengan teori yang dimiliki oleh
Muhammad Syahrur, disini akan dibahasmengenai batas-batas dari aurat perempuan.
Pada dasarnya
Allah SWT., menciptakan kaum perempuan
dan menjadikan ia memiliki derajat yang mulia. Selain itu, Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan dengan karakteristik yang berbeda. Karena
perempuan itu mulia, maka perempuan
memiliki kedudukan yang agung. Berkaitan dengan bahasan perempuan maka isu yang
sedang hangat dibicarakan adalah mengenai jilbab bagi kaum perempuan.Ia
menganggap bahwa isu-isu seperti jilbab ini juga butuh jalan keluar yang mana
disesuaikan dengan latar belakang zaman dan era yang terjadi sekarang ini. Maka
tak heran jika dari beberapa pemikiran Muhammad Syahrur ini banyak mendapatkan
pertentangan. Tak terkecuali dalam masalah batasan aurat bagi perempuan.
B.
Biografi
Muhammad Syahrur
Muhammad
Syahrur merupakan salah satu tokoh penting dalam khazanah pemikiran Islam di
era kontemporer ini.Muhammad Syahrur lahir di Damaskus tepatnya pada tahun
1938.Ia dilahirkan dari keluarga kelas menengah, yang mana ayahnya bernama Dib
bin Dib Syahrur dan ibunya bernama Siddiqah binti Salih Falyun. Muhammad
Syahrur pun memiliki seorang istri bernama Azizah, dan dari buah cinta mereka
dikaruniailah lima orang anak yang bernama, Lays, Basil, Thariq, Masun, dan
Rima.[1]
Ia memulai
pendidikan pertamanya yaitu jenjang pendidikan dasar dan menengah[2] di
kota kelahirannya dan tepatnya di lembaga pendidikan Abdurrahman Al- Kawaakibi.
Setelah Muhammad Syahrur menuntaskan pendidikan dasar dan menengahnya pada
tahun 1957, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Moscow, Uni Soviet atau
sekarang disebut Rusia. Disana ia belajar tentang ilmu teknik sipil (handasah
madaniyah). Ia melanjutkan pendidikannya tersebut didukung oleh beasiswa yang
diberikan oleh masyarakat setempat. Berawal dari sinilah Muhammad Syahrur mulai
mengenal dan kagum terhadap pemikiran Marxisme, walaupun ia mengakui bahwa
dirinya hanya sekedar mengagumi tanpa masuk menjadi penganut aliran tersebut.
Muhammad
Syahrur mendapatkan gelar diplomanya pada tahun 1964, dan kemudian setelah itu
ia kembali ke tanah kelahirannya untuk mengabdikan diri menjadi dosen di
Universitas Damaskus pada Fakultas Teknik. Selain itu, di tahun yang sama yaitu
1964 Syahrur kembali melanjutkan studinya di Dublin, tepatnya di University
Collage. Ia melanjutkan studinya di Dublin tersebut dengan mengambil bidang
keilmuwan yang sama seperti awal ia studi di Moscow. Sekarang ini, Muhammad
Syahrur masih aktif menjadi salah satu staf pengajar di Universitas Damaskus
setelah ia mendapatkan gelar doktornya yaitu pada tahun 1972.
Selain menjabat
sebagai salah satu dosen di Universitas Damaskus, Muhammad Syahrur juga aktif
menjalani pekerjaan lain yaitu sebagai konsultan teknik.[3]
Adapun pada tahun 1982-1983, Muhammad Syahrur menjadi salah satu delegasi untuk
meneliti teknik sipil pada sebuah perusahaan konsulat di Saudi Arabia.[4]Pada
tahun 1972 hingga 1999, Muhammad Syahrur diangkat menjadi seorang professor di
Universitas Damaskus dalam bidang Teknik Sipil.[5]
Sebagaimana
telah diketahui bahwa bidang keilmuwan daripada Muhammad Syahrur ini adalah
dalam bidang teknik, maka tidak menutup kemungkinan bagi Syahrur untuk tetap
mendalami bidang kajian lain yaitu filsafat. Hal ini terjadi setelah bertemu
dengan teman seprofesinya di Universitas Damaskus yang bernama Ja’far Dek
al-Bab. Dan temannya ini memberi arti dalam pemikirannya, karena dia bisa
mencetak dalam karya monumentalnya, yaitu al-kitab
wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah.[6]
C.
Landasan
Metodologi Pemikiran Muhammad Syahrur
Muhammad
Syahrur kaitannya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ia menggunakan dua
teori dimana teori tersebut berupa teori linguistik (linguistical analysis)
dan teori batas (the theory of limit). Adapun penjelasannya sebagai
berikut:
1.
Teori
Linguistik (Lingustical Analysis)
Dalam
mengkonstruksikan pemikiran Islam, Muhammad Syahrur menggunakan teri linguistik,
hal ini karena yang dikaji adalah berkaitan dengan teks-teks Al-Qur’an. Tipikal
keilmuwannya kental diwarnai dengan pemikirannya yang bersifat rasional,
empiris dan ilmiah, hal ini karena ia berlatar belakang sebagai orang yang
saintis. Adapun metode yang digunakan dalam hal ini adalah menggunakan metode
analisis kebahasaan (filology), yang mana didalamya mencakup kata dalam
sebuah teks dan struktur bahasa[7]
atau yang biasa disebut dengan metode historis ilmiah studi bahasa (al-manhaj
al-tarikhy al-‘ilmi fi al-dirasah al-lughawiyyah). Dimana dalam mencari
makna dari kata tersebut dilakukan dengan cara menganalisis relasi atau
keterkaitan antara kata yang satu dengan kata yang lainnya yang saling
berdekatan ataupun berlawanan (cross examination). Menurut Syahrur
setiap kata tidak memiliki sinonim (muradif). Setiap kata memiliki makna
yang khusus dan lebih dari itu, bahkan memiliki makna lebih dari satu.[8]
Sayahrur
menyatakan bahwa metode yang digunakannya tersebut dipengaruhi oleh pemikiran
dari Ibnu Faris dimana terlihat dari bagaimana menggunakan pedoman metodologis
dalam analisis bahasa.Berkaitan dengan beberapa pemikiran Muhammad Syahrur di
atas, dapat dipahami bahwa penelitian yang ia lakukan berangkat dari analisis
teks kebahasaan.[9]
2.
Teori
Batas (The Theory Of Limit)
Muhammad
Syahrur berkaitan dengan masalah kajian keislaman, identic dengan teorinya
yaitu teori batas (the theory of limit).Adapun teori yang disajikan oleh
Muhammad Syahrur ini merupakan salah satu wujud dari metode dalam memahami
ayat-ayat hokum (muhkamaat) yang mana disesuaikan dengan bagaimana keadaan
sosio-historis dari masyarakat kontemporer. Hal ini bertujuan agar
ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an tetap bersifat relevan dengan perkembangan
dan juga sesuai dengan permasalahan yang terjadi sekarang selama masih berada
dalam koridor batas hokum yang diberikan oleh Allah SWT.
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Syahrur menghasilkan sebuah teori yang
disebut dengan nadzariyyat al-huduud. Dimana dalam teori ini terdapat
batasan-batasan yaitu batas atas atau maksimal dan batas bawah atau maksimal.
Adapun kontribusi yang diberikan dari teori ini adalah sebagai berikut:
a.
Dengan
adanya teori batas ini, ayat yang berbicara tentang hokum dan selama ini
dianggap sebagai jawaban final dan permanen dari masalah-masalah hokum ternyata
terdapat kemungkinan untuk ditafsirkan kembali.
b.
Dengan
adanya teori batas ini, seorang mujtahid tetap bisa berkreatifitas dalam
melakukan ijtihad tanpa harus mengabaikan kesakralan dari teks Al-Qur’an
tersebut. Mereka dapat berijtihad dengan tetap berada dalam koridor batasan
yang telah ditentukan oleh Allah SWT.
Adapun dimana
hokum-hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi bersifat temporal kondisional yang
mana sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakat, nalar zaman, dan juga
peradaban pada masa itu.Maka dari itu dapat dipahami bahwa hokum yang
dihasilkan pada masa dahulu tidaklah harus mengikat hingga masa saat ini.[10]
D. Beberapa Bentuk Teori Batas
Muhammad Syahrur Berkaitan Dengan Kajian Terhadap Ayat-Ayat Hukum
Adapun beberapa bentuk dari teori batas tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Posisi
Batas Minimal
Batas minimal
merupakan batasan terendah atau paling bawah yang disyar’iatkan oleh Allah SWT
berkaitan dengan perbuatan yang dapat dilakukan oleh umat Islam. Adapun batasan
ini tidak dapat dilanggar oleh seorangpun agar
menjadi lebih rendah lagi, karena ini telah menjadi batas maksimal
paling rendah.[11]Berkaitan
dengan batas minimal ini dapat dicontohkan dalam masalah pihak-pihak yang haram
untuk dinikahi.Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS. An-Nisa’:22-23 sebagai
berikut:
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang
telah dinikaho oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau.
Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk
jalan (yang titempuh. 22 diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu
yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-sadara ayahmu yang
perempuan, audara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusuui kamu, saudara-saudara perempuanmu
sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak
tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu (menikahinya) (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu
(menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Sebagaimana
yang sudah diterangkan dalam ayat diatas, bahwa sesungguhnya Allah SWT., telah
memberikan batasan minimum bagi siapapun itu berkaitan dengan pengharaman
perempuan-perempuan untuk dinikahi yang mana dalam ayat tersebut terdiri dari
keluarga dekat. Tidak seorangpun dan dalam kondisi apapun boleh melanggar
ketentuan yang telah diberikan oleh Allah SWT., tersebut meskipun didasarkan
kepada ijtihad sekalipun. Dalam hal ini, ijtihad hanya boleh dilakukan dalam
masalah memperluas pihak yang haram untuk dinikahi. Adapun sebagai contohnya
sebagai berikut, yaitu apabila dalam
ilmu medis telah membuktikan adanya indikasi negatif terhadap keturunan yang
disebabkan karena adanya pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan anak perempuan saudara bapak atau ibunya (sepupu). Maka dari itu,
ijtihad ini diperbolehkan dalam bentuk penetapan peraturan yang melarang adanya
pernikahan dengan kerabat dekat sebagaimana dicontohkan di atas. Akan tetapi
tidak berhenti disitu, sebelum hasil ijtihad tersebut diterapkan atau
diaplikasikan dalam masyarakat luas maka seorang mujtahid tersebut harus
membuktikan kevalidan dari hasil ijtihadnya dengan menyuguhkan data medis
seperti hasil analisis laboratorium dan studi terhadap keluarga yang mendukung
dalam hal tersebut.[12]
2.
Posisi
Batas Maksimal
Batasan maksimal merupakan batasan tertinggi atau paling atas yang
telah disyari’atkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Dimana batas maksimal ini
tidak boleh dilampaui oleh seorangpun.Akan tetapi dalam batasan ini boleh
adanya kemungkinan untuk meringankannya.
Adapun batasan maksimal dapat dicontohkan sebagai berikut, yaitu
berkaitan dengan masalah had pencurian. Dimana dalam firman Allah dalam
QS. Al-Maidah: 38 telah diterangkan bahwa bagi pencuri laki-laki dan perempuan
diperintahkan untuk dipotong tangannya sebagai pembalasan dari perbuatan yang
telah mereka lakukan dan sebagai bentuk siksaan dari Allah SWT. Maka dari itu
selamanya tidak perkenankan untuk memberikan hukuman lebih berat daripada
potong tangan terhadap pelau pencurian. Akan tetapi memungkinkan adanya
peberian hukuman lebih ringan daripada potong tangan.
Barkaitan dengan hal ini, penting kiranya para pembaharu hokum
Islam menggali dan mendalami makna dari
subjek pencurian, yaitu pencuri itu sendiri yang didasarkan kepada fakta dan
latar belakang objektif yang melingkupinya. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa
pencuri selevel apakah yang berhak mendapatkan hukuman potong tangan, dan
pencuri selevel apakah yang kiranya mendapatkan hukuman lebih ringan daripada
potong tangan. Wajib kiranya bagi para mujtahid untuk menentukan kriteria
pencurian apa yang akan mendapatkan hukuman maksimal berupa potong tangan yang
didasarkan kepada latar belakang objektif pada ruang dan waktu mereka hidup.
Adapun contoh kasus yang harus ditetapkan hukumannya sesuai tingkat
pencuriannya adalah sebagai berikut. Yaitu ketika pencurian yang dilakukan
seseorang dengan mencuri data resmi negara untuk dijual kepada pihak asing,
ataupun melakukan korupsi yang merugikan negara sehingga negara itu sampai
mengalami krisis ekonomi yang mengaibatkan rakyatnya sengsara. Maka dalam hal
ini apakah hokum potong tangan saja sudah cukup untuk memebrikan efek jera
kepada pencuri? Tentu hal ini dapat dikatakan sebagai pencurian kelas kakap,
dimana yang dirugikan tidak hanya satu atau dua orang saja tapi menyangkut
kemaslahatan masyarakat di suatu Negara. Maka dari itu untuk menjawab
permasalahan ini perlu melihat firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 33.
Sebagaimana artinya sebagai berikut:
Artinya: “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya.”
Sebagaimana arti ayat di atas, telah dituliskan beberapa varian
hukuman yang diberikan kepada para pelaku pencurian. Maka dari itu dengan
adanya varian hukuman tersebut tersedia ruang untuk melakukan ijtihad.[13]
3.
Posisi
Batas Minimal Dan Batas Maksimal Bersamaan
Dalam hal ini
terdapat dua batas yang terjadi secara bersamaan yaitu batas minimal dan batas
maksimal.Berkaitan dengan hal ini maka dapat dicontohkan dalam kasus
poligami.Dimana dalam QS.An-Nisa’ ayat 3, dijelaskan tentang batasan dari jumlah
perempuan yang dapat di nikahi, yaitu batas minimalnya adalah satu sedangkan
batas maksimalnya adalah empat.
Sebagaimana
terdapat dalam ayat tersebut, seorang laki-laki dapat menikahi perempuan
sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam syari’at Islam, maka dari itu sudah
menjadi hak bagi laki-laki untuk memilih menikah dengan berapa perempuan, baik
satu maupun lebih.Akan tetapi perlu diingat bahwa dalam ayat ini juga telah
dibatasi bahwa batas perempuan yang berhak untuk dinikahi itu berjumlah empat,
tidak lebih.[14]
Selain masalah
poligami, terdapat contoh lain yaitu dalam masalah waris, adapun hal ini
sebagaimana tercantum dalam QS. An-Nisa’: 11-14. Adapun maksud batasan maksimal
adalah batasan bagi laki-laki dan batasan minimal berlaku bagi perempuan. Sebagaimana
dalam ayat di atas menganut prinsip 2:1, sehingga batas maksimal adalah bagi
laki-laki 66,6 % dan batas minimal bagi perempuan adalah 33,3%.[15]Bagaimanapun
seorang laki-laki tidak boleh lebih dalam mendapatkan warisan atau bahkan boleh
malah lebih sedikit. Begitupun perempuan tidak
boleh lebih sedikit dari yang sudah ditetapkan dalam syari’at atau
bahkan boleh lebih. Hal ini didasarkan pada kondisi obyektif yang
melingkupinya. Dalam pembagian waris ini dapat menerapkan prinsip “mendekat”,
yaitu menjadikan diantara kedua batasan tersebut menjadi titik keseimbangan
antara keduanya, yakni dimana laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan
50%. Akan tetapi hal ini didasarkan pada prinsip kondisi pewarisan dan
perkembangan latar historis, atau bisa jadi atas pertimbangan dari kedua belah
pihak.[16]
4.
Posisi
Batas Minimal Dan Batas Maksimal Bersamaan Pada Satu Titik Atau Posisi Lurus
Atau Posisi Penetapan Hokum Partikular.
Adapun
dalam masalah ini, posisi batas ini hanya berlaku dalam masalah perzinaan. Dimana
fokusnya adalah berkaitan dengan had zina. Hal ini sebagaimana dalam QS.
An-Nuur ayat 2, dimana dijelaskan dalam artinya sebagai berikut: “Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Sebagaimana dalam ayat tersebut telah
dijelaskan bahwa apabila ada laki-laki dan perempuan yang melakukan zina maka
deralah 100 kali. Maka dari itu jumlah dera 100 kali ini tidak boleh dilebihkan
ataupun dikurangi, karena 100 kali dera tersebut merupakan batas atas dan
sekaligus menjadi batas bawah.
Allah SWT., dalam menetapkan hukuman zina
yang sangat ketat ini, maka Dia tidak menyerahkan syarat-syarat yang menjadikan
batas atas dan batas bawah dalam hukuman zina ini untuk di ijtihadi oleh
manusia, melainkan Allah sendiri yang memberikan syarat tersebut yaitu adanya
“empat orang saksi”. Adapun dalam hal ini ayat mubayyinat atau ayat
pembuktian adalah ayat yang menafsirkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
menerapkan hukuman zina yang mana terdapat batas atas dan batas bawah.
Berkaitan dengan pemberian batasan hukuman yang terdapat syarat-syarat tertentu
dalam hal ini hanya terdapat pada permasalahan zina saja.[17]
5.
Posisi
Batas Maksimal Dengan Satu Titik Mendekati Garis Lurus Tanpa Bersinggungan
Dalam
posisi batas ini terdapat contoh dalam hal adanya batasan hubungan fisik antara
laki-laki dan perempuan. Adapun hubungan fisik yang terjadi antara laki-laki
dan perempuan ini diawali dengan batasan yang paling bawah, yaitu tidak adanya
sentuhan sama sekali antara laki-laki dan perempuan tersebut, dan berakhir pada
batasan paling atas yaitu adanya sentuhan antara laki-laki dan perempuan yaitu
berupa perbuatan yang mengantarkan pada terjadinya hubungan intim atau yang
disebut dengan zina.
Apabila
seorang laki-laki dan perempuan dalam posisi dimana ia masih dalam kadar
bersentuhan yang tidak sampai kepada zina, maka hukuman batas tidak berlaku
kepadanya. Perbuatan zina merupakan perbuatan yang termasuk dalam bagian dari
batasan hukum Allah SWT., yang mana manusia tidak diperkenankan untuk memasuki
wilayah tersebut meskipun ia telah mendekati wilayahnya. Dimana ketika
seseorang telah sampai pada wilayah zina tersebut maka ia dapat dikatakan telah
melakukan perbuatan zina.[18]
Dan diketahui bahwa pelaku zina dihukumi 100 kali dera.
6.
Posisi
Batas Maksimal “Positif” Tidak Boleh Dilewati Dan Batas Minimal “Negatif” Boleh
Dilewati
Dalam
posisi batas ini, batas maksimal tidak dapat dilampaui sedangkan batasminimal
dapat dilampaui.[19]
Adapun batasan ini berlaku pada masalah pengalihan kekayaan antar manusia.
Dalam hal ni yang termasuk dalam kategori batas atas nya adalah riba, sedangkan
yang termasuk dalam kategori batas bawah adalah zakat.
Dari
penjelasan tersebut apabila dipraktekkan maka yang menduduki batas maksimal
positif adalah riba, posisi tengah-tengah atau netral ini adalah pinjaman tanpa
adanya bunga, dan batas minimal negatif ini berupa zakat.Dalam
pengaplikasiannya manusia dapat memilih antara tiga alternatif tersebut didasarkan
pada latar belakang orang yang akan menerima pengalihan kekayaan tersebut. Dari
tiga alternatif di atas dapat dikatakan sebagai model riba, zakat dan sedekah.[20]
E.
Pandangan
Muhammad Syahrur Tentang Jilbab
1.
Makna
Jilbab
Secara bahasa jilbab berasal dari kata jalaba yang memiliki
arti membawa atau mendatangkan.Dan secara lugowi juga ada yang
mengartikan bahwa kata jilbab berarti pakaian (baju kurung yang longgar).Bagi
masyarakat umum, biasanya jilbab identik dengan pakaian perempuan yang
dijadikan sebagai identitas keislaman dirinya.Menurut Quraish Shihab, yaitu
seorang mufassir modern Indonesia memberikan arti bahwa jilbab adalah baju
kurung yang longgar yang dilengkapi dengan kerudung penutup kepala[21]Kemudian
di dalam Ensiklopedi Hukum Islam di sebutkan bahwa jilbab ialah pakaian kurung
yang longgar dan dilengkapi dengan kerudung menutupi kepala, leher dan dada.
Sebagaimana yang difahami oleh masysarakat muslim Indonesia bahwa jilbab dalam pengertian
kerudung penutup kepala, leher dan dada, sesuai dengan firman Allah dalam surat
An-Nur (24) ayat 31:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ
جُيُوبِهِنَّ
Artinya: “Dan hendaklah menutupkan kain kerudung ke dadanya.”Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa kata “khimar” memiliki arti kerudung. Yang mana kerudung yang dimaksud disini harus memenuhi syarat yaitu yang dapat menutupi bagian dada perempuan. Maka dengan jilbab, tidak hanay menutupi rambut melainkan juga harus menutupi leher dan dada.[22]
2.
Defenisi
Aurat (as-Saw’ah) menurut Syahrur
Secara denotatifas-saw’ah memiki arti keburukan, dan secara
konotatif, berarti aurat, yakni bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan[23].Menurut
Syahrur bahwa konsep aurat berasal dari rasa malu, ketika seseorang
memperlihatkan sesuatu yang ada pada dirinya maupun dalam bentuk perilakunya.
Namun rasa malu ini bersifat relative, mengikuti adat kebiasaan setempat dan
tidak bersifat mutlak. Berbeda dengan al juyub (daerah-daerah intm pada
tubuh) ia bersifat tetap, dan hal yang berkaitan dengan batasan-batasan aurat
dapat berubah-ubah sesuai perkembangan zaman dan tempat.[24]
Dalam Al-Quran memaparkan mengenai Hijab (penutup), jilbab dan
kerudung (khimar) dalam tiga ayat saja.
a.
Pertama
ialah ayat tentang hijab yang berkaitan hanya dengan istri dari para Nabi saja,
tidak ada syarat yang mengaitkan ayat ini dengan istri orang-orang Islam dan
beriman pada umumnya. Ayat yang dimaksud disini ialah surat Al Ahzab ayat 53.
Dalam sebuah
riwayat dari Aishah (Isteri Rasulullah) yang berkaitan dengan sebab turunnya
ayat ini (yang diriwayatkan oleh At-Tabrani),’Aishah berkata: “Saat itu aku
makan bersama Nabi di Qa’bin,terlihat Umar sedang berjalan,lalu Nabi
memanggilnya untuk ikut makan bersama,hingga jemari tangannya menyentuh
jemariku, lalu Nabi berkata:“Wahai sungguh sayang seandainya mulutmu mau
menurut,tentu tidak ada satu matapun yang melihatmu,” maka turunlah ayat
tentang hijab ini.[25]
Dalam konteks
pakaian, Kemudian Muhammad Syahrur menjelaskan bahwa hijab/ jilbab bukanlah
sebuah kewajiban agama tetapi ia merupakan pakaian yang dituntut sesuai
kebiasaan masyarakat yang dapat berubah sesuai perubahan masyarakat. Sebab
orang-orang Arab dan sebelum kedatangan Islam serta pada masa Nabi Muhammad
SAW, dan setelahnya membedakan antara pakaian wanta merdeka dengan wanita hamba
sahaya.[26]
b.
Yang kedua adalah ayat mengenai Jilbab yang
ditujukan kepada Rasul dan istri-istri orang-orang yang beriman, yaitu surat
Al-Ahzab ayat 59.
Berdasarkan
QS.Al- Ahzab ayat 59 bahwa ayat tersebut diturunkan berdasarkan kondisi-kondisi
pada masa Nabi yang berfungsi sebagai ayat pengajaran bukan termasuk ayat
penetapan hukum. Dan untuk untuk konteks
pada saat ini bisa diterapkan melaui cara berpakaian perempuan sesuai dengan kebiasaan
setempat, dengan catatan dapat menghindarkan diri dari gangguan sosial.[27]
Dalam hal ini
Muhammad Syharur mengatakan bahwasanya Al-Qur’an berbicara mengenai pakaian
lengkap bagi perempuan yang dikenal dengan sebutan jilbab, yaitu al-libas
al-khariji (pakaian luar) berupa gamis ataupun celana panjang, dan menyatakan
bahwa perempuan tidak harus menutupkan kepalanya.Sebab fungsi dari memakai
jilbab adalah untuk melindungi dari gangguan baik yang bersifat alamiah seperti
suhu, cuaca panas atau dungin, maupun gangguan dari aspek sosial seperti dilecehkan
atau diremehkan.Semua itu tergantung kepada sosial budaya masyarakat sehingga
sifatnya relatif.[28]
Disini tampak
jelas bahwa Syahrur melakukan penafsiran berbeda dengan mufassir terdahulu.Baginya
jilbab dipahami sebagai pakaian luar perempuan dan bukan sebagai pakain yang
menutupi seluruh bagian tubuh, kecuali bagian wajah dan telapak tangan.Bahkan
ayat ini dianggap bukanlah ayat tasyri’(penetapan hukum) melainkan
sebagai pengajaran (ta’lim), karena khitab yang ditujukan adalah
kepada Nabi, bukan kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul.[29]
Dalam pandangan Muhammad Syahrur istilah jilbab yang digunakan oleh
perempuan dengan menutup seluruh kepala sampai mata kaki merupakan budaya atau
ajaran agama-agama Persi. Awalnya jilbab merupakan pakaian khusus yang hanya
boleh dipakai oleh perempuan-perempuan yang merdeka dan berkedudukan tinggi.
Sedangkan perempuan budak atau perempuan pada umumnya tidak diperkenankan
memakai jilbab. Secara langsung dapat dipahami bahwa konsep jilbab pada mulanya
adalah untuk memedakan antara perempuan yang merdeka dan perempuan budak,
antara perempuan ningrat dengan perempuan biasa[30].
c.
Ayat yang ketiga mengenai masalah tutup kepala (al-khimar)
dan perhiasan yang ditujukan kepada seluruh perempuan yang beriman. Ayat yang
dimaksud adalah surat An-Nur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا
يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ
الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Dalam hal ini,
Syahrur menerjemahkan dalam makna yang berbeda.Menurut Syahrur dalam ayat yang
sebelumnya (An-Nur ayat 30), bahwa kaum laki-laki tidak disuruh menundukkan
seluruh pandangan dengan memejamkan mata melihat perempuan melainkan jika
laki-laki melihat perempuan yang terbuka aurat besarnya (farji),
mestinya dia melihat dengan pandangan yang lembut atau pura-pura tidak
melihatnya.[31]
Begitu pula
dengan kata khumur dalam QS. An-Nur ayat 31, menurut pandangan Syahrur
bermakna as-satru (tutup), tidak harus jilbab (kerudung), sedangkan al-juyubb
merupakan bentuk tunggal dari kata al-jayb, berarti sesuatu yang
memiliki katup atau kantong saku pada pakaian. Maka dari itu segala sesuatu
yang mempunyai katup dapat disebut dengan al-jayb.Namun, jika dikaitkan
dengan tubuh perempuan al-juyub memiki arti farji, dua pantat, dubur,
dua payudara dan bagian bawahnya serta bagian bawah ketiak. Dan dalam hal ini
dubur dan farji meski masuk dalam
kategorial-juyub, keduanya termasuk “aurat besar” yang tidak
boleh dilihat oleh orang lain kecuali suaminya.[32]
Ditelusuri
lebih jauh, menurut Syahrur, ia berpendapat bahwa, kata khumur ada bentuk
jamak, sedangkan bentuk tunggalnya adalah khimar yang berarti penutup, tetapi
bukan hanya penutup kepala saja. Maka dari itu Allah memerintahkan kepada
manusia untuk menutup juyub yang tersembunyi kecuali pada delapan kelompok
yaitu suami, ayah, anak suami, anak mereka, saudara laki-laki mereka dan
anak-anak saudara perempuan mereka. Hal ini berarti wanita-wanita mukminah
boleh saja tampil dihadapan mereka dalam keadaan telanjang bulat.Itu boleh,
apabila terjadi secara tidak langsung, dan jika mereka merasa risih melihatnya,
maka tu adalah rasa malu sesuai adat kebiasaan bukan sesuatu yang halal atau
haram. Seorang ayah jika melihat melihat anaknya telanjang bulat, maka ia
berkata ini adalah aib/tercela bukan berkata kepdanya ini adalah haram.[33]
Menurut pandangan Syahrur yang
dimaksud oleh ayat diatas adalah larangan memandang perempuan yang bukan mahram
ketika terbuka aurat besarnya (al-juyubnya).Dan ayat tersebut bukanlah
larangan ketika perempuan dan laki-laki berkomunikasi mereka dilarang untuk
saling melihat dan malu untuk saling bertatap muka.[34]
Berikutnya,
Syahrur memberikan penjelasan mengenai batas maksimal (hadd al-a’la)
menutup aurat bagi perempuan jika bersama laki-laki lain yang bukan mahramnya
ialah seluruh anggota tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan.Hal ini
berdasarkan hadis Nabi yang memberitahukan Asma binti Abu Bakar bahwa setelah
perempuan baligh tidak boleh menampakkan tubuhnya kecuali wajah dan telapak
tangan.[35]
Maka
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Syahrur batas minimal pakaian
perempuan adalah satr al-juyub, yaitu menutup bagian dada (payudara),
dua ketiak, dan kemaluan besarnya termasuk kedua pantat. Dan jika pendapat ini
kita realisasikan dalam kehidupan masyarakat maka seoarang perepuan yang hanya
memakai CD (celana dalam) dan BH (kutang) telah dianggap memenuhi batas minimal
dari berpakaian. Sesangkan batasan maksimal dari berpakaian adalah menutup
seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Ini menunjukkan bahwa
perempuan dewasa yang tidak memakai jilbab atau kerudung selama ia tidak
telanjang bulat maka telah sesuai dengan hukum Allah karena berada diantara
posisi batas minimal dan maksimal. Namun sebaliknya jika perempuan menutupi
seluruh tubuhnya dengan cadar termasuk bagian wajahnya ia dianggap teah keluar
dari hududdullah.Yang pertama telanjang bulat telah keluar dari batas
minimal dan menutupi wajah telah keluar dari batas maksimal.[36]
Selanjutnya
jika berbicara tentang perhiasan (Zinat al-Mar’ah) menurut ayat 31 surat An-Nur,
perhiasan terbagi dua:yakni: pertama perhiasan yang tampak (az-zinah az
zahirah). Kedua perhiasan tersembunyi (az zinah al makhfiyah). Maka
dari itu tubuh peremouan dibagi jadi dua bagian, yaitu: pertama,bagian
tubuh yang terbuka secara alami dan perhiasan yang tampak ialah apa yang secara
alami tampak dari tubuh perempuan seperti: perut, punggung, kepala, dua kaki
dan dua tangan. Karena Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam keadaan
yang bertelanjang. Yang kedua, tumbuh yang tidak tampak secara alami,
yang disembunyikan Allah dalam bentuk susunan tubuh, baguian ini disebut dengan
al-juyub atau bagian-bagian yang berlubang atau bercelah.Bagian al juyub
ini wajib ditutupi oleh perempuan yaitu bagian pantat, dubur, payudara, bawah
ketiak dan kemaluan.[37]
Maka
terdapat kategori mahram perempuan yang boleh berinteraksi bersamanya, tetapi
dilarang menikahi mereka dantidak dibolehkan perempuan memperlihatkan perhiasan
tersembunyinya (al juyub al-u’luwiyah;aurat bagian atas) di depan
mereka. Yang termasuk kategori ini adalah: paman dari pihak bapak, anak sesusuan,
paman dari pihak ibu, saudara sesusuan, suami anak perempuan, suami ibu, dan
suami saudara perempuan.[38]
Dalam ayat
an-Nur ini disebutkan bahwa suami di masukkan dalam kategori maharim
az-zinah , karena al-ba’l berbeda makna dengan az-zauj. Al
ba’l adalah orang-orang yang termasuk maharim nikah tetapi dilarang melihat
kemaluan perempuan.Dalam malasah penampakan perhiasan kita menemukan bahwa
Allah menyamakan ketentuannya antara al-ba’l, anak, saudara serta pihak-pihak
lainnya yang disebutkan dalam ayat yang tidak boleh melihat kemaluannya (aurat
berat) perempuan.[39]
F.
Penutup
Dari paparan materi diatas dapat
disimpulkan bahwa Muhammad Syahrur merupakan salah satu tokoh penting dalam
khazanah pemikiran Islam di era kontemporer ini.Muhammad Syahrur kaitannya
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ia menggunakan dua teori dimana teori
tersebut berupa teori linguistik (linguistical analysis) dan teori batas
(the theory of limit). Dalam teori hudud Muhammad Syahrur mencoba
menganalisis surat an-Nur ayat 31, yang membahasa tentang aurat wanita, bahwa menurut
Syahrur batas minimal pakaian perempuan adalah satr al-juyub, yaitu
menutup bagian dada (payudara), dua ketiak, dan kemaluan besarnya termasuk
kedua pantat. Sedangkan
batasan maksimal dari berpakaian adalah menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan
kedua telapak tangannya. Ini menunjukkan bahwa perempuan dewasa yang tidak
memakai jilbab atau kerudung selama ia tidak telanjang bulat maka telah sesuai
dengan hukum Allah karena berada diantara posisi batas minimal dan maksimal.
Namun sebaliknya jika perempuan menutupi seluruh tubuhnya dengan cadar termasuk
bagian wajahnya ia dianggap telah keluar dari hududdullah. Yang pertama
telanjang bulat telah keluar dari batas minimal dan menutupi wajah telah keluar
dari batas maksimal.
Daftar Pustaka
Fauzi Aseri, dkk,2014.Kesinambungan
Dan Perubahan Dalam Pemikiran Kontemporer Tentang Asbabu al-Nuzul,
Yogyakarta, Iain Antasari Press
Jasmani, Hijab
dan Jilbab Menurut Hukum Fikih, Jurnal Al-‘Adl Vol. 6 No. 2 Juli 2013,
Mulyadhi,
Kartanegara.2003. Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela
Mustaqim,Abdul.
2012. Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LKiS group
Najitama,Fikria.2014, Jilbab
dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur, Jurnal Musawa,
Vol. 13, No1, Januari.
Nur,Shofa Ulfiati. Pemikiran
Muhammad Syahrur, Junal Et- Tijarie Volume 5, Nomor 1 2018
Qabila Salsabila, Reza Pahlevi dan
Ali Masrur, Penafsiran Ayat-ayat tentang
Aurat Perempuan Menurut Muhammad Syahrur, Al-Bayan: Jurnal Studi
Al-Qur‟an dan Tafsir 2, 1 (Juni 2017
Sawati, Skripsi, Konsep Jilbab Menurut Muhammad Syahrur,
IAIN Jember Juni 2016
Shahrur, Muhammad 2004,Metodologi
Fiqih IslamKontemporer, Yogyakarta, eLSAQ Press
Shihab, M. Quraish.2009, Jilbab
Pakaian Wanita Muslimah, Tangerang, Lentera Hati
Syahrur,Muhammad.2002.
Islam Dan Iman.Yogyakarta, Jendela
Syahrur, Muhammad.2007. Prinsip
Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta:, ELSAQ Press
Tarlam, Alam. Analisis Dan Kritik
Metode Hermeneutika Al-Qur’an Muhammad Syahrur, Empirisma Vol. 24 No. 1
Januari 2015
Catatan:
1. Similarity 10%
2. Penulisan footnote jurnal berbeda dengan buku
[1]Nur Shofa Ulfiati, Pemikiran
Muhammad Syahrur,Et- Tijarie Volume 5, Nomor 1 2018, hal 59.
[2] Mulyadhi Kartanegara,
Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2003, Jendela), hal 296.
[3] Fauzi Aseri, dkk, Kesinambungan
Dan Perubahan Dalam Pemikiran Kontemporer Tentang Asbabu al-Nuzul, (
Yogyakarta: 2014, Iain Antasari Press), hal 16-17.
[4] Muhammad Syahrur, Islam
Dan Iman, (Yogyakarta: 2002, Jendela), hal
xiii.
[5]Nur Shofa Ulfiati, Pemikiran
Muhammad Syahrur,Et- Tijarie Volume 5, Nomor 1 2018, hal 60.
[6] Fauzi Aseri, dkk, Kesinambungan
Dan perubahan Dalam Pemikiran Kontemporer Tentang Asbabu al-Nuzul, (
Yogyakarta: 2014, Iain Antasari Press), hal 16-17.
[7] Mulyadhi
Kartanegara, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2003, Jendela),
Hal. 304.
[8]
Fauzi Aseri, Dkk, Kesinambungan Dan Perubahan Dalam Pemikiran Kontemporer
Tentang Asbabun Nuzul, (Yogyakarta:
2014, IAIN Antasari Press), hlm. 22.
[9] Mulyadhi
Kartanegara, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2003, Jendela), hlm.
304-305.
[10]Alam
Tarlam, Analisis Dan Kritik Metode Hermeneutika Al-Qur’an Muhammad Syahrur,
Empirisma Vol. 24 No. 1 Januari 2015, hlm.97-98.
[11]Sawati,
Skripsi, Konsep Jilbab Menurut Muhammad Syahrur, IAIN Jember Juni 2016,hlm.
62.
[12]
Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: 2007, ELSAQ Press), hlm. 31-32.
[13]
Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: 2007, Elsaq Press), hlm. 34-36.
[14]
Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: 2007, Elsaq Press), hlm. 42.
[15]Sawati,
Skripsi, Konsep Jilbab Menurut Muhammad Syahrur, IAIN Jember Juni 2016,
hlm. 62.
[16]
Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: 2007, Elsaq Press), hlm. 41.
[17]
Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: 2007, Elsaq Press), hlm. 43-44.
[19]Sawati,
Skripsi, Konsep Jilbab Menurut Muhammad Syahrur, IAIN Jember Juni 2016,
Hal. 65.
[20] Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar
Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2007, Elsaq Press), hlm.
44-50.
[21]
Fikria Najitama, Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad
Syahrur, jurnal Musawa, Vol. 13, No1, Januari 2014,hlm. 10-11
[22] Jasmani, Hijab dan Jilbab Menurut Hukum Fikih, Jurnal
Al-‘Adl Vol. 6 No. 2 Juli 2013, hlm. 66-68
[23]Ibid,
hlm, 484
[24]
Qabila Salsabila, Reza Pahlevi dan Ali Masrur, Penafsiran Ayat-ayat
tentang Aurat Perempuan Menurut Muhammad
Syahrur, Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir 2, 1 (Juni 2017):
177-198, hlm. 182
[25]
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih IslamKontemporer (Yogyakarta : eLSAQ
Press, 2004), hlm. 487-488
[26] M.
Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Tangerang: Lentera Hati,
2009), hlm.174
[27]Ibid.,
hlm. 490
[28]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta : LKiS
group, 2012), hlm.276
[29]Ibid.,
hlm. 277
[30]Ibid.,
hlm. 273
[31]Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta : LKiS group,
2012), hlm.274-275
[32]Ibid,hlm.275
[33] M.
Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Tangerang: Lentera Hati,
2009), hlm.180-181
[34]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta : LKiS
group, 2012), hlm.276
[35]
Ibid., hlm.278
[36]
Ibid.,hlm.278
[37]Muhammad
Shahrur, Metodologi Fiqih IslamKontemporer (Yogyakarta : eLSAQ Press,
2004), hlm.514-516
[38]
Ibid.,hlm.520
[39]
Ibid.,hlm517-518
Tidak ada komentar:
Posting Komentar