Teori
Nazariyat Al-Hudud Muhammad Syahrur dalam Konsep Jilbab
Firza(16110021),
Aini Mukrimah (16110119),
dan Naila
Nafahatus Sahariyah Al-Ulya (16110107).
Mahasiswa PAI – C UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang
Email: Nailanafa23.nn@gmail.com
Abstract
As
a figure of Islamic reformers, Muhammad Syahrur was phenomenal figures in terms
of contemporary Islamic law. He was founder of the boundary theory of
Nazhariyat al-Hudud or commonly refered to as Theory of limits. In this theory
can be illustrated in the Qur'an and Sunnah, God imposes provisions regarding to
the lowest limits (Al-Had al-Adna) and the highest limit (Al-had al-A'la) in islamic
law. This lowest limitation governs the minimum legal provision in on legal
case and its highest limit completes the maximum limit. In this minimal or
maximal limitation there is absolutely no lesser law like anything in the
minimum limitation or otherwise there will be no higher law whatsoever in its
maximum limit. So, when this limitation is used as a guide or a reference. It
will be sensured the law will be very assured according to what has been done.
Regarding the use of the hijab, him according the veil is interpreted as
women’s ourwear. Muhammad Syahrur argues that the minimum limit of a women’s
clothing was satr al-juyud (her chest and genitals). Then the maximum limit in
dressing is to cover the entire limbs except the face and both palms. And while
the same time the garments must remain in the corridor of the boundary of God's
law. It is based on QS. An-Nur: 31 and QS. Al-Ahzab: 59.
Keywords: Nazariyyah
al-Hudud, Muhammad Syahrur, Jilbab.
Abstrak
Sebagai sosok pemikir pembaharu islam , Muhammad Syahrur sangat
fenomenal dalam hal pemikiran hukum islam kontemporer. Beliau pencetus teori
batas Nazhariyat al-hudud atau yang biasa disebut dengan Theory of limits.
Dalam teori ini dapat tergambarkan bahwasanya dalam Qur’an maupun Sunnah, Tuhan
menetapkan peraturan terkait batas yang terendah ( Al-Had al-Adna) dan batas yang tertinggi (Al-had al-A’la) dalam hukum islam. Batasan terendah ini mencakup
ketetapan hukum minimal dalam suatu kasus hukum dan batasan tertingginya
mencakup batas maksimalnya. Dalam batasan minimal maupun maksimal ini sama
sekali tidak terdapat hukum yang lebih rendah seperti apapun dalam batasan
minimum begitupun sebaliknya juga tidak akan ada hukum lebih tinggi seperti
apapun dalam batas maksimalnya. Jadi, di saat batasan ini di gunakan sebagai
suatu panduan maupun acuan . maka akan di pastikan hukum akan menjadi sangat
terjamin sesuai hal yang telah dilakukan. Terkait jilbab, menurutnya jilbab
diartikan sebagai pakaian luar perempuan. Muhammad Syahrur berpendapat
bahwasanya batas limit dari pakaian seorang perempuan yaitu satr al-juyud
(dada dan kemaluannya). Kemudian batas maksimumnya dalam berpakaian adalah
menutupi seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangannya. Dan disaat
waktu yang bersamaan pakaian tersebut harus tetap berada dalam koridor batasan
ketetapan hukum Allah. hal ini berlandaskan atas QS. An-Nur: 31 dan QS.
Al-Ahzab: 59.
Kata Kunci:
Nazariyyah al-Hudud, Muhammad Syahrur, jilbab.
A.
Pendahuluan
Masalah gender
merupakan salah satu isu yang selalu hangat dikupas dalam kajian fiqih
kontemporer. Dimana konsep tentang jilbab masih eksis diperdebatkan. Polemik
tentang wajib atau tidaknya wanita berjilbab masih perlu ditelaah kembali. Beraneka
cara telah digunakan para ulama’ untuk mengkaji dan menjelaskan perihal hukum
berjilbab, namun hal tersebut tidak membatasi jalan untuk mengembangkan
metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam) diera kontemporer untuk
menjawab tantangan zaman yang kian berkembang.
Upaya pemikir islam kontemporer dalam menyuarakan syari’at kembali
yaitu dengan cara fokus dalam membongkar arah nalar (episteme) kuno yang
masih menindas ideologi umat islam, khususnya dalam memahami ayat Allah SWT dan
sunnahnya. Usaha pembongkaran nalar tersebut terasa masuk akal, karena
pemikiran kuno bukan produk yang kekal dan sakral sehingga dapat diterapkan
dalam segala kondisi. Kemudian, jika nalar kuno masih dikibarkan sebagai produk
yang sakral dan kekal layaknya kalamullah, maka umat islam akan tidur nyenyak
selamanya dan enggan melakukan pembaharuan ilmu pengetahuan. Sebagaimana kaum
barat-eropa lakukan, hal ini bukan bermaksud mengunggulkan pemikiran
barat-eropa yang kian melambung. Namun, terdapat hal yang perlu digaris bawahi yaitu,
jika umat islam tetap berada dalam romantisme masalalu, sementara persoalandan
tantangan zaman semakin global. Maka umat islam akan tetap terpuruk dan
tertinggal oleh perkembangan zaman.[[1]]
M. Syahrur seorang tokoh kontemporer yang kontroversial
berkebangsaan Arab-Syiria, menawarkan desain pemikiran baru yaitu dengan teori
batas (nazariyah al hudud) dalam menafsirkan kalamullah. Beliau dilabel
sebagai “Immanuel Kant”-Nya bangsa Arab yang mempunyai daya kritis yang tajam
dan berani mengkritik konservatisme pemikiran islam. Dan mendorong umat dalam
menrekontruksi homogini pemikiran kuno yang masih tertanam diubun-ubun umat
islam. Peter Clark pernah mengatakan bahwa pada tahun 90-an Jazirah Arab dihebohkan
dengan lahirnya buku karya Syahrur,[[2]]
yaitu Kitab Wa Qur’an: Qira’ah Wa Mu’ashirah.Tulisannya mengusung
pemikiran yang cerdas serta liberal mengenai konsep Kalamullah. Baik berkaitan
dengan hukum islam, teologi, adab, maupun desas-desis gender seperti hukum
jilbab bagi seorang wanita.
Berdasarkan hal tersebut, artikel ini ingin mengintroduksikan
seorang tokoh mutakhir bernama Muhammad Syahrur dengan Teori Batas (Nazariyyah
al-Hudud) yang telah diusungnya. Dan secara khusus membahas tentang bagaimana
konsep jilbab bagi wanita dalam pandangan Muhammad Syahrur yang disingkronkan
dengan Teori Nazariyyah al-Hudud.
B.
Biografi
Muhammad Syahrur
Dr. Ir. Muhammad Syahrur al-Dayyub Ibn Daib merupakan seorang
intelektual liberal. Beliau dilahirkan di sebuah kota di Suriah timur tepatnya
di Sahiliyyah, lahir tanggal 11 April 1938 Masehi. Beliau anak ke-5 dari
pasangan Daib Ibnu Aib Syahrur dengan Siddiqah binti Salih Filyun. Beliau
menikah dengan seorang wanita bernama ‘Azizah dan dikaruniaiAllah SWT lima
orang anak. Syahrur sangat menyayangi keluarganya. Hal ini terbukti pada karya
beliau yang selalu tercantum nama mereka.[[3]]
Tingkatan pendidikan beliau diawali dari MI (Madrasah Ibtidaiyyah),
kemudian melanjutkan pada jenjang SP (I’dadiyyah) setara dengan MTS/Tsanawiyyah,
dan Tsanawiyyah yang sederajat dengan MA/Aliyah, di Damaskus. Diumur yang ke-19
pada tahun 1957 Masehi, beliau lulus Madrasah Tsanawiyyah Abdurrahman
al-Kawakib.[[4]]
Akan tetapi sekolah beliau ini bukan sekolah yang berbasis keagamaan, maksudnya
beliau tidak mengecap sekolah islam yang memadai sejak belia hingga akil
baligh.
Muhammad Syahrur termasuk dalam kategori orang yang cerdas, beliau
memperoleh kesempatan melanjutkan sekolah tinggi gratis dengan beasiswa dari
kedaulatan syria.Beliau pergi ke Moskow, Rusia guna menempuh pendidikan di
jurusan Tekhnik Sipil (Civil Engineering) pada bulan Maret 1958 Masehi. Beliau
menyelesaikan pendidikan tersebut selama 5 tahun, dan pada tahun 1965 Masehi beliau
menyelesikan jenjang Diploma (S1) serta menyabet gelar Master Of Science.
Selanjutkan beliau pulang ke negara kelahirannya dan mengajarkan ilmunya di
Fakultas Tekhnik Sipil Universitas Damaskus.[[5]]
Namun singkat cerita, beliau ditugaskan ke Negara Irlandia untuk meneruskan
pendidikan yang lebih tinggi yaitu di Universitas Nasional Irlandia, Dublin.
Beliau menempuh pendidikan Magister di jurusan Mekanika Pertanahan dan Fondasi
(Land and Foundation Mechanics). Kemudian melanjutkan pada jenjang doktoral
dengan fokus keilmuan yang sama di jurusan Mekanika Pertanahan dan Geologi (Land
Mecanics and Geology).Selanjutnya pada tahun 1972 Masehi beliau
menyelesaikan studinya dan menggandeng gelar Philosophy Doctor.[[6]]Kemudian
beliau mengajar di Univ. Damaskus mengampuh mata kuliah Mekanika Tanah dan Teologi
Fakultas Tekhnik Sipil sampai saat ini.[[7]]
Secara tekstual, jika kitareview biografi Muhammad Syahrur
yang telah dipaparkan diatas. Memperlihatkan bahwa seorang Muhammad Syahrur
bukanlah seorang juru tafsir (mufasir), pakar hukum islam (fiqih), maupun
dasar-dasar hukum islam (ushul fiqih). Namun dibalik itu, saat studi di Moskow
beliau mulai mempelajari paham aliran Karl marx yang disebut dengan
Marxis.Selain itu beliau mempelajari berbagai ilmu filsafat. Dan saat tahun
1995, Syahrur menghadiri debat terbuka terkait pemahaman islam di Maroko dan
Libanon. Sejak itu pula beliau terpikat dengan pembahasan tentang keislaman.
Beliau mengawali dengan menganalisis Al-Qur’an lebih mendalam dengan menerapkan
pedekatan deskriptivisme (linguistic), filsafat, dn sains masa kini.
Pemikiran beliau juga dipengaruhi oleh teman sekaligus gurunya bernama Ja’far
Dakk al-Bab, bersamanya Syahrur menekuni ilmu bahasa,filsafat, dan Al-Qur’an.[[8]]
Berikut karya tulis ilmiah berbentuk buku karangan Muhammad
Syahrur,” 1) Kitab wa Qur’an1992 Masehi, 2) Dirasah Islamiyah Mu’asirah fi
Daulah wa Mujtama’ 1994 Masehi, 3) Islam wa Iman: Manzumat al-Qiyam1996 Masehi,
4) Nahwa Ushuljadidah li Fiqh Islamiyyah: Fiqh Mar’ah 2000 Masehi, dan 5) Tajfif
Manabi’ al-Irhab 2008 Masehi.[[9]]Kitab
wa Qur’an; Qira’ah Mu’assirah (analisis mutakhir kalamullah dan sunnah) dan Nahwa
Ushuljadidah li Fiqh Islamiyyah (cara menggali hukum syariat modern) merupakan
ciptaan syahrur yang paling banyak merampas ketertarikan masyarakat darisekian
banyak buku ciptaan lainnya. Buku ciptaanya termasyhur adalah Kitab wa Qur’an;
Qira’ah Mu’assirah (analisis mutakhir kalamullah dan sunnah).[[10]]
Akan tetapi sekitar tahun 90-an buku-buku tersebut usai disangkal dengan
sebanyak 15 karya tulis, karena pemikiran beliau sangat menimbulkan
kontroversial dimasyarakat.
C.
Teori
Batas (Nazariyyah Al – Hudud) Pemikiran Muhammad Syahrur
Pada
saat turunnya islam di abad ke – 7 Masehi ini, Muhammad Syahrur menganggap
bahwasanya turunnya Islam mencakup segala hal dengan realita yang ada. Ia
memahami bahwasanya ruang maupun waktu sangat memberikan pengaruh terhadap
islam dan ajarannya. Menurutnya al-Qur’an merupakan kumpulan-kumpulan ayat yang
bersifat statis, yang pemahamannya hanya dapat di pahami pada masa saat
turunnya ayat tersebut. Sehingga pembacaan ulang terhadap al-Qur’an sangatlah
tepat dikarenakan interprestasi dari seseorang sangatlah di pengaruhi oleh
realitas yang ada. Realita saat dimana ia tinggal maupun waktu dan tempat suatu
kejadian yang ada pada masa itu.[[11]]
Dalam al-Qur’an jika kita memperhatikan
secara mendetail. Metode penetapan hukumnya memiliki dua karakter yang mendasar
sekaligus yaitu sifat lengkung (Fleksibel/lentur) selanjutnya sifat lurus. Dengan
adanya sifat-sifat inilah hukum islam akan menjadi relevan sampai kapanpun di
setiap ruang waktu yang ada. Yaitu memberi keluasan ruang bagi ijtihad hokum
selagi masih tetap di koridor batasan-batasan yang di tetapkan yaitu batasan
yang dalam bentuk apapun kemungkinannya telah Allah tetapkan. Yaitu ayat-ayat
yang:[[12]]
1.
Hanya mempunyai batas minimal.
2.
Hanya mempunyai batas maksimal.
3.
Memiliki batas minimal dan
maksimal sekaligus.
4.
Ketentuan batas lurus yang memuat
batas maksimal dan minimal sekaligus yang tidak bisa dirubah.
5.
Ketentuanyang mempunyai batasan
minimal dan maksimal sekaligus, namun dilarang bersentuhan, apabila dilanggar
maka melampaui batas hukum Allah.
6.
Ketentuan yang mempunyai batas
atas berada di wilayah plus dan sebaliknya batasbawah di wilayahminus.
Berikut
ini mengenai penjelasan yang lebih spesifik tentang teori-teori batasan yang di
gagas oleh Muhammad Syahrur yang menjadi ketetapan maupun panduan untuk kita
semua umat manusia dalam berijtihad “berikteraksi secara kreatif” dalam lingkup
penetapan hokum islam yang ada.[[13]]
a.
Hanya mempunyai batas minimal.
Batas minimal dalam al-Qur’an yang
berisi tentang penetapan hukum syariatditemukan di beberapa ayatyaitu tentang orang-orang
yang tidak boleh dikawini (QS. [4] ayat 22-23), berbagai makanan yang haram (QS.[5]
ayat 3 dan QS. [2] ayat 145-146), Al-Qardl atau hutang piutang (QS. [2]
ayat 283-284). Seperti dalam surat An-Nisa’: 22 sampai 23.
وَلَا
تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۚ
إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَمَقۡتٗا وَسَآءَ سَبِيلًا(22) حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ
وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ
وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم
مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي
حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ
دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ
ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا
قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا (23)
Yang
artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah di
kawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan di benci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
di tempuh)”(22)dan
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibukmu yang perempuan, anak perempuan dari saudaramu laki-laki,
anak perempuan dari saudaramu perempuan, ibu- ibumu yang menyusui kamu, saudara
perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) , maka tidak berdosa kamu
mengawininya ; (dan di haramkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampunan lagi
Maha Penyayang.” (23)
Berdasarkan
ke-2 ayat tersebut, batas minimalnya terletak pada pengharaman menikahi
perempuan yang masih dalam lingkup keluarga dekat. Tidak boleh seorangpun
melanggar batasan yang telah di tetapkan ini meskipun meraka mengatakan
menggunakan dasar ijtihad. Pengecualian ketika ijtihadnya dalam usaha
memperluas pihak yang telah di haramkan dalam ayat tersebut. Seperti contoh :
jika ada ilmu kedokteran yang mampu menjelaskan terkait efek negative dari
adanya pernikahan dalam lingkup keluarga ini seperti pengaruh negative terhadap
masa depan keturunan maupun masa depan pembagian warisan kelak itu di
perbolehkan ketika ada bukti yang valid dan
secara ilmiah yang bisa membuktikan keduanya. Maka itu di perbolehkan.
Karena masih dalam koridor batas perubahan yang telah di tetapkan oleh Allah.[[14]]
Ayat
tentang jenis makanan yang di haramkan ini juga tercakup dalam batas minimal.
Seperti bangkai, darah yang mengalir, hewan haram seperti anjing dan babi, hewan
yang dipotong tanpa menyebut nama Allah SWT, hewan yang mati terjerat lehernya,
di pukul, terjatuh, terkena tanduk hingga mati, dan mati tertekam hewan
beringas. Hal ini terdapat dalam ayat QS Al-Maidah:3 yang menjelaskan di
dalamnya mengenai beberapa jenis makanan-makanan yang telah dilarang untuk kita
konsumsi. Kemudian pada ayat yang lain di jelaskan pada QS Al-An’am: 145 yang
berbunyi “barangsiapa yang dalam
keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun Lagi Maha penyayang” Jika
disingkronkan, maka ayat tersebut kontradiksi atas ayat lain yang menerangkan
perihal wanita yang hukumnya tidak boleh dinikahi. Allah sangat tegas menutup
batasanterendah (minimal) di dalamnya. Sebab tidak ada satupun dalam
firmanNyatermuatkata“faman idlturra” barang
siapa terpaksa di dalam ayatnya.
Diberlakukan
pada hukuman pencuri (QS. [5] ayat 38) dan pembunuhan (QS. [17] ayat 33, QS.
[2] ayat178, QS. [4] ayat 92). Berikut dalam Qur’an surat Al-Maidah ayat 38:
وَٱلسَّارِقُ
وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا
مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ(38)
“laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan (nakalan) dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Ayat
diatas berisi tentang Allah SWT menetapkan batas maksimum bagi pencuri adaalah
dengan memotong tangannya si pencuri. Jadi dapat difahami bahwa memberikan hukuman
lebih berat dari memotong tangan pencuri itu tidak di perkenankan karena batas
maksimalnya adalah memotong tangan. Namun jika memberikan hukuman yang lebih
ringan masih sangat memungkinkan. Disini bagi para pembaharu islam wajib
memperjelas dari maksud subjek “pencuri” disini atas dasar fakta ataupun latar
belakang obyektif yang ada pada pencuri tersebut. Dengan makna lain kriteria
pencuri seperti apa yang mendapatkan hukuman potong tangan ataupun hukuman yang
lebih ringan. Atau juga terhadap permasalahan kasus yang secara lahiriahnya
tampak sebagai tindak pencurian namun dalam pemberian hukumannya memotong
tangannya masih sangat di anggap ringan. Seperti menjual data negara ke negara
lain, korupsi uang negara, mark up dana proyek pembangunan, penggelapan dan
dsb. Apakah hukuman memotong tangan hanya cukup untuk kasus seperti ini?
jawabannya ada dalam surat Al-maidah ayat 33 “Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di
Muka bumi Ini , hanyalah mereka di bunuh atau di salip, atau di potong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau di buang dari Negeri (Tempat
kediaman) . yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia,
dan di akhirat mereka beroleh siksaaan besar” dalam ayat itu terdapat
berbgai macam hukuman dengan batasan luas sehingga menyedian ruang untuk
berijtihad.
Dalam
Kalamullah yang artinya “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang di haramkan
Allah (Membunuhya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang
siapa di bunuh secara dzalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh sesungguhnya ia adalah orang-orang yang mendapat pertolongan”. (QS.
Al-Isra’ [17]:33) dan “hai orang-orang yang beriman, di wajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang di bunuh; orang yang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa
mendapatkan pema’afan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik. Dan hendaklah yang diberi ma’af membayar (diat) kepada
yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian merupakan suatu
keringanan oleh Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
itu maka baginya siksa yang sangat pedih” (QS. Al-Baqarah [2]:178).
Ayat
tersebut menjelaskan mengenai sangsi hukum maksimal bagi orang yang membunuh
tidak beralasan yaitu di hukum mati. Firman Allah: “Janganlah berlebihan
dalam menjatuhkan hukuman mati” dapat di pahami bersama bahwa redaksi
tersebut melarang untuk penerapan hukuman mati yang sangat berlebihan . misal
melibatkan keluarga pelaku tersebut dalam proses hukuman ini. Dalam hal yang
seperti ini mujtahid memiliki kewajiban mengkualifikasikan mana pelaku yang
pantas di beri hukuman mati atau lebih ringan dari pada hukuman mati tersebut.
Seperti hukuman mati untuk kasus pembunuhan berencana dan hukuman ringan untuk
pembunuhan yang tidak sengaja karena untuk melindungi dirinya sendiri. Dari sisi
lain korban dapat terbebas dari hukuman jika mendapat maaf dari korban atau
keluarga korban.
Hal ini berlaku dalam hukum waris (QS.
[4] ayat 11 sampai 14) dan poligami (QS. [4] ayat 3). Muhammad Syahrur mengkaji
2 ayat surat An-Nisa’tersebut yaitu ayat 13 dan 14. Redaksi pada ayat 13 “Tilka
Hududulloh (itulah batas-batas Hukum Allah)” dan redaksi di ayat “wa
yata’adna hududahu” (dan melanggar batasan hukumNya) . makna tersurat dalam
ayat ini ruang ijtihad terbuka dengan luas selama masih dalam koridor
batas-batas hukum Allah.
Kemudian juga batas maksimal dan minimal
secara bersamaan ini juga terdapat dalam QS An-Nisa: 3 seputar had adna dan
had dari wanita yang halal dinikahi.
d.
Ketentuanbatas lurus yang memuat
batas maksimal dan minimal sekaligus yang tidak bisa dirubah (Ainiyah).[[17]]
Batasan kali ini semata berlaku pada
koridor persoalan zina. Yaitu hukuman dicambuk 100x sesuai dalam QS. An-Nur
ayat 2 “ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah
tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) Agama Allah , jika kamu
beriman kepada Allah , dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka di saksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. Dalam ayat
tersebut redaksinya sangat jelas sekali bahwa zina hukum yang di tetapkan
didalamnya adalah berupa batasan maksimal dan minimal yang secara bersamaan
sekaligus. Karena dalam ayat tersebut dijelaskan untuk tidak memberi keringanan
hukuman.
Allah menetapkan hukuman bagi orang yang
zina dengan sangat ketat, karena hal ini tidak bisa diijtihadkan, Allah SWT
yang menetapkan porsinya seadil-adilnya. Yaitu 4 orang yang melihat dan pelemparan
tuduhan pada perkara suami/istri.Serta Allah pun memberikan hukuman bagi
pihak-pihak yang melemparkan tuduhan tanpa ada bukti yang nyata. (QS. Al-nur:3-10)
e.
Ketentuan yang mempunyai batas
minimal dan maksimal sekaligus, namun tidak boleh bersentuhan, jika dilanggar
maka melampaui batas hukum Allah.[[18]]
Ketentuan batasan disini ditetapkan pada
peristiwa pria dan wanita yang berhungan secara fisik.Adapun batasan hubungan
secara fisik ini berbeda jeninya. Pada ukuran paling minimal adalahtidak bersentuhan
dan paling tinggi adalah berhubungan kelamin yaitu berbuat zina. Jika seseorang
berhubungan fisik namun belum sampai berhubungan kelamin yaitu masih menjurus
kepada zina maka belum termasuk dalam batas maksimal yang di tetapkan oleh
Allah. Atau dalam artian lain masih belum di jatuhi hukuman zina.
Ketika dalam penetapan hukum zina, kita
tidak boleh hanya taqlid terhadap hukum tersebut. Menurut M. Syahrur, yang
dimaksud dengan perbuatan zina dapat ditarik garis lurus, yang mana seseorang
dapat menuju puncak garis lurus apabila seseorang tersebut terus mendekatinya,
maka puncak garis itu yang dinamakan zina di batas tertinggi dan terendah
sekaligus. Maka dari itu literatur ayatnya adalah “wa laa taqrabu al-zina”
(QS. Al – Isra’: 32). Terdapat kesesuaian antara batas ke-4 tentang hukuman
zina dengan batas yang ke-5 mengenai hubungan secara fisik antara pria dan
wanita.
f.
Ketentuan yang mempunyai batas
atas berada di wilayah plus dan sebaliknya batas bawah di wilayah minus.[[19]]
Kedudukan pada batas ke-6 ditetapkan
pada persoalan perpindahan harta dalam kasus haqqul adami. Kedua batasan
tersebut dilarang untuk diterobos seperti batas maksimal dalam praktir riba dan
batas minimal dalam praktik zakat. Dalam riba dilarang untuk diterobos, namun
dalam praktik zakat dapat diterobos, bentuk menerobosnya bisa masuk dalam
kategori berbagai macam shodaqah. Dengan pertimbangan ke-2 batas ini terletak
pada satu koordinat positif dan satunya negatif. Dan di titik pusatnya adalah 0
“netral”. Perbatasan netral seperti pinjaman dengan tidak menggunakan bunga,
sedangkan batasan mininum negatifnya adalah shadaqah.
D.
Pendapat
Muhammad Syahrur Tentang Jilbab
Di
sini Muhammad Syahrur menglimplementasikanpendekat teori batas (Nazariyyah
al-Hudud) dan tartil, beliau menggunakan riwayat asbabun nuzul, padahal umumnya
beliau sangat jarang menggunakan riwayat asbabun nuzul karenakontekstual dapat
melahirkan banyak makna, jadi yang menentukan aturan penafsirannya adalah
struktur linguistik.[[20]]
Muhammad
Syahrur memakai kataal-Libasbermakna pakaian, kata jilbabyang mengandung
arti pakaian wanita bagian luar, serta kata khimar yang berarti penutup,
untuk menukar penggunaan kata hijab atau hijab syar’i di zaman
kita saat ini. Lantaran perspektif Muhammad Syahrur, penggunaan kata hijab tidak
relevan jika dihubungan dengan pakaian perempuan (libas al-mar’ah), di
dalam ayat Allah SWT terbilang 8 kali penyebutan istilah hijab yaitu: surat
Al – A’raf ayat 46, surat Al – Ahzab ayat 53,suratShad ayat 32, suratFusshilat
ayat 05. surat Asy-syura ayat 51, surat Al – Isra’ ayat 45,surat Maryam ayat
17, dan surat Al-Muthaffifin ayat 15. Akan tetapi, secara global kata tersebut
merujuk pada makna hajiz (penghalang).[[21]]
Dalam
segi historis, menurut Syahrur muasal adanya jilbab adalah sebuah tradisi yang di
budidayakan oleh agama persi. Perempuan di perkenankan menggunakan pakai jilbab
untuk menutup seluruh anggota tubuhnya dan awal mulanya sebagai pakaian khusus
bagi wanita berdarah biru (ningrat), dan pakaian demikian tidak boleh gunakan
oleh seorang budak atau kalangan miskin, tradisi tersebut di gunakan agar dapat
membedakan perempuan merdeka dengan perempuan budak. Kemudian tradisi ini
berjalan hingga saat ini, dan tetp dilestarikan oleh perempuan-perempuan di
dunia.[[22]]
Teori
hudud yang diproyeksikan oleh Syahrur apabila
dikaitan dengan seorang wanita jika ingin keluar dari tempat tinggalnya
(rumah)atau dalam keadaan berbarengan dengan pria yang tidak halal baginya, ada
batas minimalnya sesuai dengan teori batas yaitu pakaian yang bisa menutup
aurat kubro: kemaluan, dubur,dan payudara. Dan penjelasan tersebut di kutip pada
QS. An – Nur ayat ke – 31:[[23]]
وَقُل
لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ
ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ
أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ
أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ
ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ
بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى
ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ(31)
Bermakna:
“dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman:hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakn perhiasannya kecuali kepada
suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara laki-laki mereka atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau perempuan-perempuan Islam yang , atau budak-budak yang mereka
miliki atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap perempuan
atau anak laki-laki yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar di ketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman,
supaya kamu beruntung’’. (An-Nur [24] ayat 31).
Pada
pemberian makna ayat diatas berdasarkan model tafsir kemenag, lantaran hal
tersebut tidak sama dengan Muhammad Syahrur dalam memberikan makna ayat. Bukan
istilah “yaghdudhna absharahunna” namun yang digunakan adalah kalimat “yaghdhudna
min absharihinna” dan menggunakan aksara arab (huruf) min li at –tab’idh,
merupakan huruf min yang menunjukkan arti setengah atau sebagian. Syahrur
berpendapat bahwa para lelaki bukan diperintahkan merundukan pandangan ke bawah
secara utuh apabila menjumpai wanita yang bukan mahromnya sedang telanjang,
pria tersebut hanya cukup berpura – pura tidak melihatnya saja. Karena secara
kontekstual dalam ayat diatas berisi himbauan “menutup mata” atau merundukkan
padangan yang disangkut pautkan dengan perintah menjaga kemaluan.[[24]]
Begitu
pula makna istilah “khumur” pada ayat diatas, Syahrur berpendapat
istilah tersebut bermakna “satru” (tutup), bukan makna yang tepat jika
diartikan jilbab, kemudian kata “juyub” berasal dari isim mufrad kata “jayb”
artinya sesuatu yang berkatup atau saku di pakaian. Maka dari itu, apapun yang
berkatub disebut “juyub atau jayb”, apabila disingkronkan pada libas
al-mar’ah maka maksud darinya adalah kamaluan, dubur,payudara, serta bagian
bawah ketiak. Berdasarkan hal tersebut, kemaluan dan dubur meskipun tergolong
dalam juyub, ke-2nya tergolong aurat akbar “besar” dan dosa
hukumnya jika dipertontonkan kepada yang bukan suaminya.[[25]]
MaknaQS.
An – Nur ayat 31 menurut Muhammad Syahrur dalam arti surat tersebut ialah
perintah yang tidak boleh dilanggar terkait padangan mataterhadapwanita yang
bukan istrinya pada saat terlihat juyub-nya, yaitu aurat besar. dan memerinthakan
menundukan separuh pandangan atau pura-pura tidak melihat yang disingkronkan
dengan perintah menjaga kemaluan. Karena ayat 31 surat An – Nur tidak
dimaksudkan melarang pria atau wanita untuk saling melihat ketika berdialog,
sebab umumnya hal tersebut tidak menimbulkan malu dan syahwat. Seorang pria
boleh saja melihat aurat lawan jenisnya apabila itu tidak di sengaja namun jika
merasa terganggu diperbolehkan untuk berkata bahwa hal tersebut aib dan tidak
di perkenankan berkata bahwa itu haram,itu menurut pendapat Muhammad Syahrur.[[26]]
Selanjutnya
Syahrur mengatakan apabila seorang wanita hendak melangkahkan kaki keluar
rumahnya boleh hanya memnggunakan pakaian sesuai batas
minimum, yaitu yang menutup bagian juyub (dua pantat, payudara dan
kemaluan). Beliau berpendapat sesungguhnya Al-Qur’an membahas tentang jilbab
yaitu pakaian lengkapnya seorang wanita adalah libasal-kharij (pakaian
bagian luar) dapat berbentuk gamis atau celana serta wanita tihak diharuskan
menutupi kepala. Sebenarnya fungsi penggunaan jilbab ialah untuk menjaga
gangguan al –adza contohnya suhu cuaca yang sedang dingin atau panas,
ataupun gangguan yang bersifat sosial seperti diremehkan,namun pada dasarnya
semua tergantung berdasarkan keadaan geografis serta kultur sosial.[[27]]
Wahai
nabi, katakanlah kepada istri–istrimu, anak – anak perempuanmu dan istri –
istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbabnya. (Artinya,
menggunakan pakaian luarnya, seperti memakai celana panjang dan baju gamis),”
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenali, karena itu mereka tidak
mendapat gangguan (seperti suhu panas dan dingin), atau gangguan secara sosial,
seperti diremehkan atau dilecehkan, dan Allah SWT adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Dalam
pengertian surat Al-Ahzab ayat 59 Muhammad Syahrur menafsirkan berbeda dari
para ulama lainnya, pakaian perempuan bukanlah yang menutupi seluruh tubuhnya selain
wajah dan telapak tangannya. Terlebih ayat yang menjelaskan mengenai jilbab
Syahrur menafsirkan bukan sebagai ketetapan hukum (tasyri’) sehingga
menjadihukum yang wajib atau haram, namun ayat ini hanya sekedar pembelajaran (ta’lim),
karena redaksi khithab diarahkan pada Muhammad menjadi nabi bukan
seorang rasul yang berkewajiban menyampaikan risalah. Yang termaktub di ayat
itu adalah kalimat “ya ayyuha an-nabiy” (wahai istri nabi), dan tidak
menggunakan redaksi “ya ayyuha ar–rasul” (wahai istri rasulullah).[[29]]
Kemudian
Muhammad syahrur menerangkan perihal had a’la dalam konteks aurat bagi
seorang wanita apabila sedang bersama dengan pria salain halal baginya yaitu
sekujur tubuhnya kecuali yang biasanya tampak (wajah dan telapak tangan).
Pendapat tersebut disandarkan pada sebuah hadist yang berisi tentang informasi
kepada putri Abu Bakar bernama Asma, jika seorang wanita telah baligh
maka tubuhnya tidak boleh diperlihatkan kecuali wajah dan telapak tangan.[[30]]
Jadi
bisa ditarik kesimpulan mengenai batas minimum aurat wanita adalah satr
juyub (kemaluan, payudara, kedua ketiak, dan dubur). Sedngakan batas
maksimum aurat perempuan adalah sekujur tubuhnya terkecuali wajah dan telapak
tangannya. Jadi secara empiris, wanita yang hanya mengenakan celana dalam (CD)
dan brah (BH) sudah dianggap mencukupi batas minimum berpakaian, begitu
sebaliknya jika terdapat seorang wanita memakai purdah (cadar) dikatakan
melewati batas maksimum dari had Allah (batas hukum Allah). Jadi wanita
yang tidak menggunakan jilbab, selagi tidak telanjang bulat. Maka dikatakan
sudah memenuhi hukum allah sesuai teori nazariyyah al-hudud.[[31]]
E. Penutup
Demikianlah pembahasan
tentang seorang pemikir liberal
kontemporer, Dr. Ir. Muhammad Syahrur. Beliau meneliti teori batas (teory
limit) selama 20 tahun, kemudian diabadikan dengan bentuk karya tulis berupa
artikel atau buku. Teori nazariyyah al-hudud memuat tentang batas atas dan
batas bawah dalam menetapkan batas hukum Allah SWT. Begitupun dalam aplikasi
penggunaan jilbab bagi wanita. Menurut Syahrur yang dimaksud definisi jilbab adalah pakaian penutup luar
wanita. Dengan landasan hukum dalam QS. An-Nur ayat 31, QS. Al-Ahzab ayat 53
dan 59. Dalam penetapannya terdapat batas minimal yaitu satr juyud
(kemaluan, dubur, dua ketiak dan payudara) sedangkan batas maksimumnya adalah
sekujur badan kecuali yang biasa tampak (wajah dan telapak tangan).Maka Apabila
ada seorang wanita tidak mengenakan jilbab, asal tidak telanjang bulat,
dikatakan telah memenuhi batasan hukum Allah. Dan jika terdapat seorang wanita
yang telanjang bulat atau wanita yang menggunakan purda (cadar) dianggap
tidak sesuai dengan hadudullah karena melampaui batasan minimal
(telanjang bulat) dan batasan maksimal (menggunakan cadar).
DAFTRA PUSTAKA
Abdullah, Amin. Neo Ushul Fikih Menuju Ijtihad Kontekstual. Yogyakarta:
Fakultas Syari’ah Press, 2004.
Clark, Peter. “The Shahrur Penomenon, A Liberal Islamic Voice
From Syria, dalam jurnal Islam and Christian Moslem Relation”. 1996.
Esha, M. Inam. Pemikir Islam Kontemporer. Yogyakarta:
Jendela. 2003.
Fanani, Muhyar. Fiqh Madani “Kontruksi Hukum Islam Di Dunia
Modern. Yogyakarta: LkiS. 2010.
Mustaqim, Abdul. Epistomologi
Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS. 2010
Mubarok, Ahmad Zaki.“Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam
Tafsir Al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur”. Yogyakarta: Elsaq Press.
2007.
Shah M. Aunul Abied. et al.Islam Garda Depan; Mosaik Pemikiran
Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan. 2001.
Syahrur, Muhammad. “Islam dan Iman; Aturan-aturan Pokok”. Yogyakarta:
Jendela. 2002.
______. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta:
ElSaQ Press. 2010.
______. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer.
Yogyakarta: elSAQ Press. 2007.
Toniadi, Teuku Bordand. Skripsi: Batas Aurat “Studi Perbandingan
Pemikiran Buya Hamka dan Muhammad
Syahrur”. Banda Aceh: UIN Ar-Raniry Darussalam,
2017.
Catatan:
Makalah sudah bagus, similarity 3%. Cuma perlu ditambah dengan gambar
kesimpulan Syahrur tentang jilbab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar