Senin, 13 Mei 2019

Nazhariyat al-Hudud dan Konsep Jilbab Syahrur (PAI C Semester Genap 2018/2019)



Teori Nazariyat Al-Hudud Muhammad Syahrur dalam Konsep Jilbab
Firza(16110021), Aini Mukrimah (16110119),
dan Naila Nafahatus Sahariyah Al-Ulya (16110107).
Mahasiswa PAI – C UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
As a figure of Islamic reformers, Muhammad Syahrur was phenomenal figures in terms of contemporary Islamic law. He was founder of the boundary theory of Nazhariyat al-Hudud or commonly refered to as Theory of limits. In this theory can be illustrated in the Qur'an and Sunnah, God imposes provisions regarding to the lowest limits (Al-Had al-Adna) and the highest limit (Al-had al-A'la) in islamic law. This lowest limitation governs the minimum legal provision in on legal case and its highest limit completes the maximum limit. In this minimal or maximal limitation there is absolutely no lesser law like anything in the minimum limitation or otherwise there will be no higher law whatsoever in its maximum limit. So, when this limitation is used as a guide or a reference. It will be sensured the law will be very assured according to what has been done. Regarding the use of the hijab, him according the veil is interpreted as women’s ourwear. Muhammad Syahrur argues that the minimum limit of a women’s clothing was satr al-juyud (her chest and genitals). Then the maximum limit in dressing is to cover the entire limbs except the face and both palms. And while the same time the garments must remain in the corridor of the boundary of God's law. It is based on QS. An-Nur: 31 and QS. Al-Ahzab: 59.
Keywords: Nazariyyah al-Hudud, Muhammad Syahrur, Jilbab.
Abstrak
Sebagai sosok pemikir pembaharu islam , Muhammad Syahrur sangat fenomenal dalam hal pemikiran hukum islam kontemporer. Beliau pencetus teori batas Nazhariyat al-hudud atau yang biasa disebut dengan Theory of limits. Dalam teori ini dapat tergambarkan bahwasanya dalam Qur’an maupun Sunnah, Tuhan menetapkan peraturan terkait batas yang terendah ( Al-Had al-Adna) dan batas yang tertinggi (Al-had al-A’la) dalam hukum islam. Batasan terendah ini mencakup ketetapan hukum minimal dalam suatu kasus hukum dan batasan tertingginya mencakup batas maksimalnya. Dalam batasan minimal maupun maksimal ini sama sekali tidak terdapat hukum yang lebih rendah seperti apapun dalam batasan minimum begitupun sebaliknya juga tidak akan ada hukum lebih tinggi seperti apapun dalam batas maksimalnya. Jadi, di saat batasan ini di gunakan sebagai suatu panduan maupun acuan . maka akan di pastikan hukum akan menjadi sangat terjamin sesuai hal yang telah dilakukan. Terkait jilbab, menurutnya jilbab diartikan sebagai pakaian luar perempuan. Muhammad Syahrur berpendapat bahwasanya batas limit dari pakaian seorang perempuan yaitu satr al-juyud (dada dan kemaluannya). Kemudian batas maksimumnya dalam berpakaian adalah menutupi seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangannya. Dan disaat waktu yang bersamaan pakaian tersebut harus tetap berada dalam koridor batasan ketetapan hukum Allah. hal ini berlandaskan atas QS. An-Nur: 31 dan QS. Al-Ahzab: 59.
Kata Kunci: Nazariyyah al-Hudud, Muhammad Syahrur, jilbab.


A.    Pendahuluan
Masalah gender merupakan salah satu isu yang selalu hangat dikupas dalam kajian fiqih kontemporer. Dimana konsep tentang jilbab masih eksis diperdebatkan. Polemik tentang wajib atau tidaknya wanita berjilbab masih perlu ditelaah kembali. Beraneka cara telah digunakan para ulama’ untuk mengkaji dan menjelaskan perihal hukum berjilbab, namun hal tersebut tidak membatasi jalan untuk mengembangkan metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam) diera kontemporer untuk menjawab tantangan zaman yang kian berkembang.
Upaya pemikir islam kontemporer dalam menyuarakan syari’at kembali yaitu dengan cara fokus dalam membongkar arah nalar (episteme) kuno yang masih menindas ideologi umat islam, khususnya dalam memahami ayat Allah SWT dan sunnahnya. Usaha pembongkaran nalar tersebut terasa masuk akal, karena pemikiran kuno bukan produk yang kekal dan sakral sehingga dapat diterapkan dalam segala kondisi. Kemudian, jika nalar kuno masih dikibarkan sebagai produk yang sakral dan kekal layaknya kalamullah, maka umat islam akan tidur nyenyak selamanya dan enggan melakukan pembaharuan ilmu pengetahuan. Sebagaimana kaum barat-eropa lakukan, hal ini bukan bermaksud mengunggulkan pemikiran barat-eropa yang kian melambung. Namun, terdapat hal yang perlu digaris bawahi yaitu, jika umat islam tetap berada dalam romantisme masalalu, sementara persoalandan tantangan zaman semakin global. Maka umat islam akan tetap terpuruk dan tertinggal oleh perkembangan zaman.[[1]]
M. Syahrur seorang tokoh kontemporer yang kontroversial berkebangsaan Arab-Syiria, menawarkan desain pemikiran baru yaitu dengan teori batas (nazariyah al hudud) dalam menafsirkan kalamullah. Beliau dilabel sebagai “Immanuel Kant”-Nya bangsa Arab yang mempunyai daya kritis yang tajam dan berani mengkritik konservatisme pemikiran islam. Dan mendorong umat dalam menrekontruksi homogini pemikiran kuno yang masih tertanam diubun-ubun umat islam. Peter Clark pernah mengatakan bahwa pada tahun 90-an Jazirah Arab dihebohkan dengan lahirnya buku karya Syahrur,[[2]] yaitu Kitab Wa Qur’an: Qira’ah Wa Mu’ashirah.Tulisannya mengusung pemikiran yang cerdas serta liberal mengenai konsep Kalamullah. Baik berkaitan dengan hukum islam, teologi, adab, maupun desas-desis gender seperti hukum jilbab bagi seorang wanita.
Berdasarkan hal tersebut, artikel ini ingin mengintroduksikan seorang tokoh mutakhir bernama Muhammad Syahrur dengan Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) yang telah diusungnya. Dan secara khusus membahas tentang bagaimana konsep jilbab bagi wanita dalam pandangan Muhammad Syahrur yang disingkronkan dengan Teori Nazariyyah al-Hudud. 

B.     Biografi Muhammad Syahrur
Dr. Ir. Muhammad Syahrur al-Dayyub Ibn Daib merupakan seorang intelektual liberal. Beliau dilahirkan di sebuah kota di Suriah timur tepatnya di Sahiliyyah, lahir tanggal 11 April 1938 Masehi. Beliau anak ke-5 dari pasangan Daib Ibnu Aib Syahrur dengan Siddiqah binti Salih Filyun. Beliau menikah dengan seorang wanita bernama ‘Azizah dan dikaruniaiAllah SWT lima orang anak. Syahrur sangat menyayangi keluarganya. Hal ini terbukti pada karya beliau yang selalu tercantum nama mereka.[[3]]
Tingkatan pendidikan beliau diawali dari MI (Madrasah Ibtidaiyyah), kemudian melanjutkan pada jenjang SP (I’dadiyyah) setara dengan MTS/Tsanawiyyah, dan Tsanawiyyah yang sederajat dengan MA/Aliyah, di Damaskus. Diumur yang ke-19 pada tahun 1957 Masehi, beliau lulus Madrasah Tsanawiyyah Abdurrahman al-Kawakib.[[4]] Akan tetapi sekolah beliau ini bukan sekolah yang berbasis keagamaan, maksudnya beliau tidak mengecap sekolah islam yang memadai sejak belia hingga akil baligh.
Muhammad Syahrur termasuk dalam kategori orang yang cerdas, beliau memperoleh kesempatan melanjutkan sekolah tinggi gratis dengan beasiswa dari kedaulatan syria.Beliau pergi ke Moskow, Rusia guna menempuh pendidikan di jurusan Tekhnik Sipil (Civil Engineering) pada bulan Maret 1958 Masehi. Beliau menyelesaikan pendidikan tersebut selama 5 tahun, dan pada tahun 1965 Masehi beliau menyelesikan jenjang Diploma (S1) serta menyabet gelar Master Of Science. Selanjutkan beliau pulang ke negara kelahirannya dan mengajarkan ilmunya di Fakultas Tekhnik Sipil Universitas Damaskus.[[5]] Namun singkat cerita, beliau ditugaskan ke Negara Irlandia untuk meneruskan pendidikan yang lebih tinggi yaitu di Universitas Nasional Irlandia, Dublin. Beliau menempuh pendidikan Magister di jurusan Mekanika Pertanahan dan Fondasi (Land and Foundation Mechanics). Kemudian melanjutkan pada jenjang doktoral dengan fokus keilmuan yang sama di jurusan Mekanika Pertanahan dan Geologi (Land Mecanics and Geology).Selanjutnya pada tahun 1972 Masehi beliau menyelesaikan studinya dan menggandeng gelar Philosophy Doctor.[[6]]Kemudian beliau mengajar di Univ. Damaskus mengampuh mata kuliah Mekanika Tanah dan Teologi Fakultas Tekhnik Sipil sampai saat ini.[[7]]
Secara tekstual, jika kitareview biografi Muhammad Syahrur yang telah dipaparkan diatas. Memperlihatkan bahwa seorang Muhammad Syahrur bukanlah seorang juru tafsir (mufasir), pakar hukum islam (fiqih), maupun dasar-dasar hukum islam (ushul fiqih). Namun dibalik itu, saat studi di Moskow beliau mulai mempelajari paham aliran Karl marx yang disebut dengan Marxis.Selain itu beliau mempelajari berbagai ilmu filsafat. Dan saat tahun 1995, Syahrur menghadiri debat terbuka terkait pemahaman islam di Maroko dan Libanon. Sejak itu pula beliau terpikat dengan pembahasan tentang keislaman. Beliau mengawali dengan menganalisis Al-Qur’an lebih mendalam dengan menerapkan pedekatan deskriptivisme (linguistic), filsafat, dn sains masa kini. Pemikiran beliau juga dipengaruhi oleh teman sekaligus gurunya bernama Ja’far Dakk al-Bab, bersamanya Syahrur menekuni ilmu bahasa,filsafat, dan Al-Qur’an.[[8]]
Berikut karya tulis ilmiah berbentuk buku karangan Muhammad Syahrur,” 1) Kitab wa Qur’an1992 Masehi, 2) Dirasah Islamiyah Mu’asirah fi Daulah wa Mujtama’ 1994 Masehi, 3) Islam wa Iman: Manzumat al-Qiyam1996 Masehi, 4) Nahwa Ushuljadidah li Fiqh Islamiyyah: Fiqh Mar’ah 2000 Masehi, dan 5) Tajfif Manabi’ al-Irhab 2008 Masehi.[[9]]Kitab wa Qur’an; Qira’ah Mu’assirah (analisis mutakhir kalamullah dan sunnah) dan Nahwa Ushuljadidah li Fiqh Islamiyyah (cara menggali hukum syariat modern) merupakan ciptaan syahrur yang paling banyak merampas ketertarikan masyarakat darisekian banyak buku ciptaan lainnya. Buku ciptaanya termasyhur adalah Kitab wa Qur’an; Qira’ah Mu’assirah (analisis mutakhir kalamullah dan sunnah).[[10]] Akan tetapi sekitar tahun 90-an buku-buku tersebut usai disangkal dengan sebanyak 15 karya tulis, karena pemikiran beliau sangat menimbulkan kontroversial dimasyarakat.
C.    Teori Batas (Nazariyyah Al – Hudud) Pemikiran Muhammad Syahrur
Pada saat turunnya islam di abad ke – 7 Masehi ini, Muhammad Syahrur menganggap bahwasanya turunnya Islam mencakup segala hal dengan realita yang ada. Ia memahami bahwasanya ruang maupun waktu sangat memberikan pengaruh terhadap islam dan ajarannya. Menurutnya al-Qur’an merupakan kumpulan-kumpulan ayat yang bersifat statis, yang pemahamannya hanya dapat di pahami pada masa saat turunnya ayat tersebut. Sehingga pembacaan ulang terhadap al-Qur’an sangatlah tepat dikarenakan interprestasi dari seseorang sangatlah di pengaruhi oleh realitas yang ada. Realita saat dimana ia tinggal maupun waktu dan tempat suatu kejadian yang ada pada masa itu.[[11]]
Dalam al-Qur’an jika kita memperhatikan secara mendetail. Metode penetapan hukumnya memiliki dua karakter yang mendasar sekaligus yaitu sifat lengkung (Fleksibel/lentur) selanjutnya sifat lurus. Dengan adanya sifat-sifat inilah hukum islam akan menjadi relevan sampai kapanpun di setiap ruang waktu yang ada. Yaitu memberi keluasan ruang bagi ijtihad hokum selagi masih tetap di koridor batasan-batasan yang di tetapkan yaitu batasan yang dalam bentuk apapun kemungkinannya telah Allah tetapkan. Yaitu ayat-ayat yang:[[12]]
1.      Hanya mempunyai batas minimal.
2.      Hanya mempunyai batas maksimal.
3.      Memiliki batas minimal dan maksimal sekaligus.
4.      Ketentuan batas lurus yang memuat batas maksimal dan minimal sekaligus yang tidak bisa dirubah.
5.      Ketentuanyang mempunyai batasan minimal dan maksimal sekaligus, namun dilarang bersentuhan, apabila dilanggar maka melampaui batas hukum Allah.
6.      Ketentuan yang mempunyai batas atas berada di wilayah plus dan sebaliknya batasbawah di wilayahminus.
Berikut ini mengenai penjelasan yang lebih spesifik tentang teori-teori batasan yang di gagas oleh Muhammad Syahrur yang menjadi ketetapan maupun panduan untuk kita semua umat manusia dalam berijtihad “berikteraksi secara kreatif” dalam lingkup penetapan hokum islam yang ada.[[13]]
a.       Hanya mempunyai batas minimal.

Batas minimal dalam al-Qur’an yang berisi tentang penetapan hukum syariatditemukan di beberapa ayatyaitu tentang orang-orang yang tidak boleh dikawini (QS. [4] ayat 22-23), berbagai makanan yang haram (QS.[5] ayat 3 dan QS. [2] ayat 145-146), Al-Qardl atau hutang piutang (QS. [2] ayat 283-284). Seperti dalam surat An-Nisa’: 22 sampai 23.

وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَمَقۡتٗا وَسَآءَ سَبِيلًا(22)  حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا (23)
Yang artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah di kawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan di benci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan (yang di tempuh)”(22)dan “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibukmu yang perempuan, anak perempuan dari saudaramu laki-laki, anak perempuan dari saudaramu perempuan, ibu- ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) , maka tidak berdosa kamu mengawininya ; (dan di haramkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang.” (23)
Berdasarkan ke-2 ayat tersebut, batas minimalnya terletak pada pengharaman menikahi perempuan yang masih dalam lingkup keluarga dekat. Tidak boleh seorangpun melanggar batasan yang telah di tetapkan ini meskipun meraka mengatakan menggunakan dasar ijtihad. Pengecualian ketika ijtihadnya dalam usaha memperluas pihak yang telah di haramkan dalam ayat tersebut. Seperti contoh : jika ada ilmu kedokteran yang mampu menjelaskan terkait efek negative dari adanya pernikahan dalam lingkup keluarga ini seperti pengaruh negative terhadap masa depan keturunan maupun masa depan pembagian warisan kelak itu di perbolehkan ketika ada bukti yang valid dan  secara ilmiah yang bisa membuktikan keduanya. Maka itu di perbolehkan. Karena masih dalam koridor batas perubahan yang telah di tetapkan oleh Allah.[[14]]
Ayat tentang jenis makanan yang di haramkan ini juga tercakup dalam batas minimal. Seperti bangkai, darah yang mengalir, hewan haram seperti anjing dan babi, hewan yang dipotong tanpa menyebut nama Allah SWT, hewan yang mati terjerat lehernya, di pukul, terjatuh, terkena tanduk hingga mati, dan mati tertekam hewan beringas. Hal ini terdapat dalam ayat QS Al-Maidah:3 yang menjelaskan di dalamnya mengenai beberapa jenis makanan-makanan yang telah dilarang untuk kita konsumsi. Kemudian pada ayat yang lain di jelaskan pada QS Al-An’am: 145 yang berbunyi  barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun Lagi Maha penyayang” Jika disingkronkan, maka ayat tersebut kontradiksi atas ayat lain yang menerangkan perihal wanita yang hukumnya tidak boleh dinikahi. Allah sangat tegas menutup batasanterendah (minimal) di dalamnya. Sebab tidak ada satupun dalam firmanNyatermuatkata“faman idlturra” barang siapa terpaksa di dalam ayatnya.

b.      Hanya mempunyai batas maksimal.[[15]]
Diberlakukan pada hukuman pencuri (QS. [5] ayat 38) dan pembunuhan (QS. [17] ayat 33, QS. [2] ayat178, QS. [4] ayat 92). Berikut dalam Qur’an surat Al-Maidah ayat 38:
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ(38)
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan (nakalan) dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Ayat diatas berisi tentang Allah SWT menetapkan batas maksimum bagi pencuri adaalah dengan memotong tangannya si pencuri. Jadi dapat difahami bahwa memberikan hukuman lebih berat dari memotong tangan pencuri itu tidak di perkenankan karena batas maksimalnya adalah memotong tangan. Namun jika memberikan hukuman yang lebih ringan masih sangat memungkinkan. Disini bagi para pembaharu islam wajib memperjelas dari maksud subjek “pencuri” disini atas dasar fakta ataupun latar belakang obyektif yang ada pada pencuri tersebut. Dengan makna lain kriteria pencuri seperti apa yang mendapatkan hukuman potong tangan ataupun hukuman yang lebih ringan. Atau juga terhadap permasalahan kasus yang secara lahiriahnya tampak sebagai tindak pencurian namun dalam pemberian hukumannya memotong tangannya masih sangat di anggap ringan. Seperti menjual data negara ke negara lain, korupsi uang negara, mark up dana proyek pembangunan, penggelapan dan dsb. Apakah hukuman memotong tangan hanya cukup untuk kasus seperti ini? jawabannya ada dalam surat Al-maidah ayat 33 “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di Muka bumi Ini , hanyalah mereka di bunuh atau di salip, atau di potong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau di buang dari Negeri (Tempat kediaman) . yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaaan besar” dalam ayat itu terdapat berbgai macam hukuman dengan batasan luas sehingga menyedian ruang untuk berijtihad.
Dalam Kalamullah yang artinya “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang di haramkan Allah (Membunuhya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa di bunuh secara dzalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh sesungguhnya ia adalah orang-orang yang mendapat pertolongan”. (QS. Al-Isra’ [17]:33) dan “hai orang-orang yang beriman, di wajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang di bunuh; orang yang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa mendapatkan pema’afan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. Dan hendaklah yang diberi ma’af membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian merupakan suatu keringanan oleh Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas itu maka baginya siksa yang sangat pedih” (QS. Al-Baqarah [2]:178).
Ayat tersebut menjelaskan mengenai sangsi hukum maksimal bagi orang yang membunuh tidak beralasan yaitu di hukum mati. Firman Allah: “Janganlah berlebihan dalam menjatuhkan hukuman mati” dapat di pahami bersama bahwa redaksi tersebut melarang untuk penerapan hukuman mati yang sangat berlebihan . misal melibatkan keluarga pelaku tersebut dalam proses hukuman ini. Dalam hal yang seperti ini mujtahid memiliki kewajiban mengkualifikasikan mana pelaku yang pantas di beri hukuman mati atau lebih ringan dari pada hukuman mati tersebut. Seperti hukuman mati untuk kasus pembunuhan berencana dan hukuman ringan untuk pembunuhan yang tidak sengaja karena untuk melindungi dirinya sendiri. Dari sisi lain korban dapat terbebas dari hukuman jika mendapat maaf dari korban atau keluarga korban.

c.         Mempunyai batas minimal dan maksimal sekaligus.[[16]]

Hal ini berlaku dalam hukum waris (QS. [4] ayat 11 sampai 14) dan poligami (QS. [4] ayat 3). Muhammad Syahrur mengkaji 2 ayat surat An-Nisa’tersebut yaitu ayat 13 dan 14. Redaksi pada ayat 13 “Tilka Hududulloh (itulah batas-batas Hukum Allah)” dan redaksi di ayat “wa yata’adna hududahu” (dan melanggar batasan hukumNya) . makna tersurat dalam ayat ini ruang ijtihad terbuka dengan luas selama masih dalam koridor batas-batas hukum Allah.
Kemudian juga batas maksimal dan minimal secara bersamaan ini juga terdapat dalam QS An-Nisa: 3 seputar had adna dan had dari wanita yang halal dinikahi.

d.        Ketentuanbatas lurus yang memuat batas maksimal dan minimal sekaligus yang tidak bisa dirubah (Ainiyah).[[17]]

Batasan kali ini semata berlaku pada koridor persoalan zina. Yaitu hukuman dicambuk 100x sesuai dalam QS. An-Nur ayat 2 “ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) Agama Allah , jika kamu beriman kepada Allah , dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka di saksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. Dalam ayat tersebut redaksinya sangat jelas sekali bahwa zina hukum yang di tetapkan didalamnya adalah berupa batasan maksimal dan minimal yang secara bersamaan sekaligus. Karena dalam ayat tersebut dijelaskan untuk tidak memberi keringanan hukuman.
Allah menetapkan hukuman bagi orang yang zina dengan sangat ketat, karena hal ini tidak bisa diijtihadkan, Allah SWT yang menetapkan porsinya seadil-adilnya. Yaitu 4 orang yang melihat dan pelemparan tuduhan pada perkara suami/istri.Serta Allah pun memberikan hukuman bagi pihak-pihak yang melemparkan tuduhan tanpa ada bukti yang nyata. (QS. Al-nur:3-10)

e.       Ketentuan yang mempunyai batas minimal dan maksimal sekaligus, namun tidak boleh bersentuhan, jika dilanggar maka melampaui batas hukum Allah.[[18]]

Ketentuan batasan disini ditetapkan pada peristiwa pria dan wanita yang berhungan secara fisik.Adapun batasan hubungan secara fisik ini berbeda jeninya. Pada ukuran paling minimal adalahtidak bersentuhan dan paling tinggi adalah berhubungan kelamin yaitu berbuat zina. Jika seseorang berhubungan fisik namun belum sampai berhubungan kelamin yaitu masih menjurus kepada zina maka belum termasuk dalam batas maksimal yang di tetapkan oleh Allah. Atau dalam artian lain masih belum di jatuhi hukuman zina.
Ketika dalam penetapan hukum zina, kita tidak boleh hanya taqlid terhadap hukum tersebut. Menurut M. Syahrur, yang dimaksud dengan perbuatan zina dapat ditarik garis lurus, yang mana seseorang dapat menuju puncak garis lurus apabila seseorang tersebut terus mendekatinya, maka puncak garis itu yang dinamakan zina di batas tertinggi dan terendah sekaligus. Maka dari itu literatur ayatnya adalah “wa laa taqrabu al-zina” (QS. Al – Isra’: 32). Terdapat kesesuaian antara batas ke-4 tentang hukuman zina dengan batas yang ke-5 mengenai hubungan secara fisik antara pria dan wanita.

f.       Ketentuan yang mempunyai batas atas berada di wilayah plus dan sebaliknya batas bawah di wilayah minus.[[19]]

Kedudukan pada batas ke-6 ditetapkan pada persoalan perpindahan harta dalam kasus haqqul adami. Kedua batasan tersebut dilarang untuk diterobos seperti batas maksimal dalam praktir riba dan batas minimal dalam praktik zakat. Dalam riba dilarang untuk diterobos, namun dalam praktik zakat dapat diterobos, bentuk menerobosnya bisa masuk dalam kategori berbagai macam shodaqah. Dengan pertimbangan ke-2 batas ini terletak pada satu koordinat positif dan satunya negatif. Dan di titik pusatnya adalah 0 “netral”. Perbatasan netral seperti pinjaman dengan tidak menggunakan bunga, sedangkan batasan mininum negatifnya adalah shadaqah.

D.    Pendapat Muhammad Syahrur Tentang Jilbab
Di sini Muhammad Syahrur menglimplementasikanpendekat teori batas (Nazariyyah al-Hudud) dan tartil, beliau menggunakan riwayat asbabun nuzul, padahal umumnya beliau sangat jarang menggunakan riwayat asbabun nuzul karenakontekstual dapat melahirkan banyak makna, jadi yang menentukan aturan penafsirannya adalah struktur linguistik.[[20]]
Muhammad Syahrur memakai kataal-Libasbermakna pakaian, kata jilbabyang mengandung arti pakaian wanita bagian luar, serta kata khimar yang berarti penutup, untuk menukar penggunaan kata hijab atau hijab syar’i di zaman kita saat ini. Lantaran perspektif Muhammad Syahrur, penggunaan kata hijab tidak relevan jika dihubungan dengan pakaian perempuan (libas al-mar’ah), di dalam ayat Allah SWT terbilang 8 kali penyebutan istilah hijab yaitu: surat Al – A’raf ayat 46, surat Al – Ahzab ayat 53,suratShad ayat 32, suratFusshilat ayat 05. surat Asy-syura ayat 51, surat Al – Isra’ ayat 45,surat Maryam ayat 17, dan surat Al-Muthaffifin ayat 15. Akan tetapi, secara global kata tersebut merujuk pada makna hajiz (penghalang).[[21]]
Dalam segi historis, menurut Syahrur muasal adanya  jilbab adalah sebuah tradisi yang di budidayakan oleh agama persi. Perempuan di perkenankan menggunakan pakai jilbab untuk menutup seluruh anggota tubuhnya dan awal mulanya sebagai pakaian khusus bagi wanita berdarah biru (ningrat), dan pakaian demikian tidak boleh gunakan oleh seorang budak atau kalangan miskin, tradisi tersebut di gunakan agar dapat membedakan perempuan merdeka dengan perempuan budak. Kemudian tradisi ini berjalan hingga saat ini, dan tetp dilestarikan oleh perempuan-perempuan di dunia.[[22]]
Teori hudud yang  diproyeksikan oleh Syahrur apabila dikaitan dengan seorang wanita jika ingin keluar dari tempat tinggalnya (rumah)atau dalam keadaan berbarengan dengan pria yang tidak halal baginya, ada batas minimalnya sesuai dengan teori batas yaitu pakaian yang bisa menutup aurat kubro: kemaluan, dubur,dan payudara. Dan penjelasan tersebut di kutip pada QS. An – Nur ayat ke – 31:[[23]]
وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ(31)
Bermakna: “dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman:hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakn perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan Islam yang , atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap perempuan atau anak laki-laki yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar di ketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung’’. (An-Nur [24] ayat 31).
Pada pemberian makna ayat diatas berdasarkan model tafsir kemenag, lantaran hal tersebut tidak sama dengan Muhammad Syahrur dalam memberikan makna ayat. Bukan istilah “yaghdudhna absharahunna” namun yang digunakan adalah kalimat “yaghdhudna min absharihinna” dan menggunakan aksara arab (huruf) min li at –tab’idh, merupakan huruf min yang menunjukkan arti setengah atau sebagian. Syahrur berpendapat bahwa para lelaki bukan diperintahkan merundukan pandangan ke bawah secara utuh apabila menjumpai wanita yang bukan mahromnya sedang telanjang, pria tersebut hanya cukup berpura – pura tidak melihatnya saja. Karena secara kontekstual dalam ayat diatas berisi himbauan “menutup mata” atau merundukkan padangan yang disangkut pautkan dengan perintah menjaga kemaluan.[[24]]
Begitu pula makna istilah “khumur” pada ayat diatas, Syahrur berpendapat istilah tersebut bermakna “satru” (tutup), bukan makna yang tepat jika diartikan jilbab, kemudian kata “juyub” berasal dari isim mufrad kata “jayb” artinya sesuatu yang berkatup atau saku di pakaian. Maka dari itu, apapun yang berkatub disebut “juyub atau jayb”, apabila disingkronkan pada libas al-mar’ah maka maksud darinya adalah kamaluan, dubur,payudara, serta bagian bawah ketiak. Berdasarkan hal tersebut, kemaluan dan dubur meskipun tergolong dalam juyub, ke-2nya tergolong aurat akbar “besar” dan dosa hukumnya jika dipertontonkan kepada yang bukan suaminya.[[25]]
MaknaQS. An – Nur ayat 31 menurut Muhammad Syahrur dalam arti surat tersebut ialah perintah yang tidak boleh dilanggar terkait padangan mataterhadapwanita yang bukan istrinya pada saat terlihat juyub-nya, yaitu aurat besar. dan memerinthakan menundukan separuh pandangan atau pura-pura tidak melihat yang disingkronkan dengan perintah menjaga kemaluan. Karena ayat 31 surat An – Nur tidak dimaksudkan melarang pria atau wanita untuk saling melihat ketika berdialog, sebab umumnya hal tersebut tidak menimbulkan malu dan syahwat. Seorang pria boleh saja melihat aurat lawan jenisnya apabila itu tidak di sengaja namun jika merasa terganggu diperbolehkan untuk berkata bahwa hal tersebut aib dan tidak di perkenankan berkata bahwa itu haram,itu menurut pendapat Muhammad Syahrur.[[26]]
Selanjutnya Syahrur mengatakan apabila seorang wanita hendak melangkahkan kaki keluar rumahnya boleh hanya memnggunakan pakaian sesuai batas minimum, yaitu yang menutup bagian juyub (dua pantat, payudara dan kemaluan). Beliau berpendapat sesungguhnya Al-Qur’an membahas tentang jilbab yaitu pakaian lengkapnya seorang wanita adalah libasal-kharij (pakaian bagian luar) dapat berbentuk gamis atau celana serta wanita tihak diharuskan menutupi kepala. Sebenarnya fungsi penggunaan jilbab ialah untuk menjaga gangguan al –adza contohnya suhu cuaca yang sedang dingin atau panas, ataupun gangguan yang bersifat sosial seperti diremehkan,namun pada dasarnya semua tergantung berdasarkan keadaan geografis serta kultur sosial.[[27]]
Pada QS. Al–Ahzab ayat 59, beliau memberi penjelasan sebagai berikut:[[28]]
Wahai nabi, katakanlah kepada istri–istrimu, anak – anak perempuanmu dan istri – istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbabnya. (Artinya, menggunakan pakaian luarnya, seperti memakai celana panjang dan baju gamis),” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenali, karena itu mereka tidak mendapat gangguan (seperti suhu panas dan dingin), atau gangguan secara sosial, seperti diremehkan atau dilecehkan, dan Allah SWT adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam pengertian surat Al-Ahzab ayat 59 Muhammad Syahrur menafsirkan berbeda dari para ulama lainnya, pakaian perempuan bukanlah yang menutupi seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangannya. Terlebih ayat yang menjelaskan mengenai jilbab Syahrur menafsirkan bukan sebagai ketetapan hukum (tasyri’) sehingga menjadihukum yang wajib atau haram, namun ayat ini hanya sekedar pembelajaran (ta’lim), karena redaksi khithab diarahkan pada Muhammad menjadi nabi bukan seorang rasul yang berkewajiban menyampaikan risalah. Yang termaktub di ayat itu adalah kalimat “ya ayyuha an-nabiy” (wahai istri nabi), dan tidak menggunakan redaksi “ya ayyuha ar–rasul” (wahai istri rasulullah).[[29]]
Kemudian Muhammad syahrur menerangkan perihal had a’la dalam konteks aurat bagi seorang wanita apabila sedang bersama dengan pria salain halal baginya yaitu sekujur tubuhnya kecuali yang biasanya tampak (wajah dan telapak tangan). Pendapat tersebut disandarkan pada sebuah hadist yang berisi tentang informasi kepada putri Abu Bakar bernama Asma, jika seorang wanita telah baligh maka tubuhnya tidak boleh diperlihatkan kecuali wajah dan telapak tangan.[[30]]
Jadi bisa ditarik kesimpulan mengenai batas minimum aurat wanita adalah satr juyub (kemaluan, payudara, kedua ketiak, dan dubur). Sedngakan batas maksimum aurat perempuan adalah sekujur tubuhnya terkecuali wajah dan telapak tangannya. Jadi secara empiris, wanita yang hanya mengenakan celana dalam (CD) dan brah (BH) sudah dianggap mencukupi batas minimum berpakaian, begitu sebaliknya jika terdapat seorang wanita memakai purdah (cadar) dikatakan melewati batas maksimum dari had Allah (batas hukum Allah). Jadi wanita yang tidak menggunakan jilbab, selagi tidak telanjang bulat. Maka dikatakan sudah memenuhi hukum allah sesuai teori nazariyyah al-hudud.[[31]]

E.     Penutup
Demikianlah pembahasan tentang  seorang pemikir liberal kontemporer, Dr. Ir. Muhammad Syahrur. Beliau meneliti teori batas (teory limit) selama 20 tahun, kemudian diabadikan dengan bentuk karya tulis berupa artikel atau buku. Teori nazariyyah al-hudud memuat tentang batas atas dan batas bawah dalam menetapkan batas hukum Allah SWT. Begitupun dalam aplikasi penggunaan jilbab bagi wanita. Menurut Syahrur yang dimaksud  definisi jilbab adalah pakaian penutup luar wanita. Dengan landasan hukum dalam QS. An-Nur ayat 31, QS. Al-Ahzab ayat 53 dan 59. Dalam penetapannya terdapat batas minimal yaitu satr juyud (kemaluan, dubur, dua ketiak dan payudara) sedangkan batas maksimumnya adalah sekujur badan kecuali yang biasa tampak (wajah dan telapak tangan).Maka Apabila ada seorang wanita tidak mengenakan jilbab, asal tidak telanjang bulat, dikatakan telah memenuhi batasan hukum Allah. Dan jika terdapat seorang wanita yang telanjang bulat atau wanita yang menggunakan purda (cadar) dianggap tidak sesuai dengan hadudullah karena melampaui batasan minimal (telanjang bulat) dan batasan maksimal (menggunakan cadar).



DAFTRA PUSTAKA

Abdullah, Amin. Neo Ushul Fikih Menuju Ijtihad Kontekstual. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press, 2004.
Clark, Peter. “The Shahrur Penomenon, A Liberal Islamic Voice From Syria, dalam jurnal Islam and Christian Moslem Relation”. 1996.
Esha, M. Inam. Pemikir Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela. 2003.
Fanani, Muhyar. Fiqh Madani “Kontruksi Hukum Islam Di Dunia Modern. Yogyakarta: LkiS. 2010.
Mustaqim, Abdul. Epistomologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS. 2010
Mubarok, Ahmad Zaki.“Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur”. Yogyakarta: Elsaq Press. 2007.
Shah M. Aunul Abied. et al.Islam Garda Depan; Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan. 2001.
Syahrur, Muhammad. “Islam dan Iman; Aturan-aturan Pokok”. Yogyakarta: Jendela. 2002.
______. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta: ElSaQ Press. 2010.
______. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: elSAQ Press. 2007.
Toniadi, Teuku Bordand. Skripsi: Batas Aurat “Studi Perbandingan Pemikiran Buya Hamka  dan Muhammad Syahrur”. Banda Aceh: UIN Ar-Raniry Darussalam, 2017.

Catatan:
Makalah sudah bagus, similarity 3%. Cuma perlu ditambah dengan gambar kesimpulan Syahrur tentang jilbab.



[[1]] Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Pnjm. Syahiron Syamsuddin, Burhanuddin (Yogyakarta: ElSaQ Press, 2010), hlm. 2.
[[2]]Peter Clark, “The Shahrur Penomenon, A Liberal Islamic Voice From Syria, dalam jurnal Islam and Christian Moslem Relation”, vol 7 no 3, hlm. 337.http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09596419608721095 diakses pada tanggal 11 Mei 2019.
[[3]]Ahmad Zaki Mubarok, “Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur”, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hlm. 137.
[[4]] Muhammad Syahrur, “Islam dan Iman; Aturan-aturan Pokok”, (Yogyakarta: Jendela,2002), hlm.xiii.
[[5]] Ibid.
[[6]]Peter Clark, “The Shahrur Penomenon...”, hlm. 339.
[[7]] Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik...”, hlm. 39.
[[8]] M. Aunul Abied Shah et al. (ed), “Islam Garda Depan; Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah”, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 237-238.
[[9]] Muhyar Fanani, Fiqh Madani “Kontruksi Hukum Islam Di Dunia Modern,” (Yogyakarta: LkiS,2010), hlm. 39
[[10]]M. Inam Esha, “Muhammad Syahrur: Teori Batas” dalam Khudori dkk, “Pemikir Islam Kontemporer”, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 296.
[[11]] Muhammad Syahrur, “Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Pnjm. Syahiron Syamsuddin, Burhanuddin (Yogyakarta: elSAQ Press, 2007), hlm. 30.
[[12]] Amin Abdullah, “Neo Ushul Fikih Menuju Ijtihad Kontekstual”, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press, 2004), hlm. 150.
[[13]] Ibid., hlm. 31.
[[14]] Ibid., hlm. 32.
[[15]] Ibid., hlm. 34.
[[16]] Ibid., hlm. 38.
[[17]] Ibid., hlm. 41.
[[18]] Ibid.,hlm. 44.

[[19]] Ibid., hlm. 45.
[[20]] Abdul Mustaqim, Epistomologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm.272.
[[21]]Ibid., hlm. 273.
[[22]] Ibid.
[[23]] Ibid., hlm. 274.
[[24]]Teuku Bordand Toniadi, Skripsi: Batas Aurat “Studi Perbandingan Pemikiran Buya Hamka  dan Muhammad Syahrur”, (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry Darussalam, 2017),  hlm. 70.
[[25]]Ibid., hlm. 75.
[[26]] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 276.
[[27]] Ibid., hlm. 276-277.
[[28]]Ibid., hlm. 277.
[[29]]Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm. 490.
[[30]] Ibid., hlm. 277-278.
[[31]]Ibid.,hlm. 278.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar