IJTIHAD
Fathoni
Wijaya (17110012)
Dinar
Adelia Rahayu Afandi (17110185)
Abstract
This
paper discusses a main theme in Usul Fiqh which is Ijtihad'.This ijtihad discussion is an important discussion in
a person to choose which option is most relevant to the situation,
conditions.The dynamics of the age, and demands of masculinity. So, islamic law
will always be up to date, "or fit and relevant in every place and across
the ages.
Keywords:Ijtihad
Abstrak
Makalah ini membahas tentang suatu tema pokok dalam Ushul Fiqh
ialah Ijtihad.Pembahasan Ijtihad ini adalah pembahasan yang
penting dalam diri seseorang untuk memilih fikih mana yang paling relevan dengan
situasi, kondisi.dinamika zaman, dan tuntutan kemaslahatan. Sehingga, hukum
Islam akan senantiasa up to date,” atau cocok dan relevan diterapkan di setiap
tempat dan di sepanjang zaman.
Kata kunci:Ijtihad
A.
Pendahuluan
Ijtihad
merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah
SAW.Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in
serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu
apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi
pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai
dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan,
untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks
problematikanya.Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum
Islam yang itu disebabkan dari ijtihad.Misalnya bisa dipetakan Islam
kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain
sebagainya.
Semuanya
itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid
berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik.Justru dengan ijtihad, Islam
menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan
kondisi.Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam
menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
2.
Ijtihad
A.
Pengertian Ijtihad
Ijtihadالاجتهاد) ) yang akar katanya diambil dari
bahasa Arab yakni "jahada"جهد) ) Kata ini bentuk mashdarnya
mempunyai dua makna yang berbeda yaitu, yang pertama, "jahdun" memiliki
arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius.[1]Contoh penggunaan
kata "jahdun" ini terdapat pada surat al-An'aam ayat 109[2] yang
berbunyi:
وَأَقۡسَمُوا۟
بِٱللَّهِ جَهۡدَ أَیۡمَـٰنِهِمۡ
Mereka bersumpah
dengan nama Allah dengan sungguh-sungguh sumpah
Yang kedua, "juhdun" memiliki arti
kesanggupan atau kemampuan yang mengandung arti sulit, berat, susah. Contoh
penggunaan kata "juhdun" ini terdapat pada surat at-Taubah ayat 79
yang berbunyi:
(ٱلَّذِینَ
یَلۡمِزُونَ ٱلۡمُطَّوِّعِینَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ فِی ٱلصَّدَقَـٰتِ وَٱلَّذِینَ
لَا یَجِدُونَ إِلَّا جُهۡدَهُمۡ فَیَسۡخَرُونَ مِنۡهُمۡ سَخِرَ ٱللَّهُ مِنۡهُمۡ
وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِیمٌ)
Orang-orang munafik yang mencela orang-orang
beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang
yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekedar kesanggupannya, maka
orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka,
dan mereka akan mendapat azab yang pedih.
Sedangkan ijtihad secara istilah memiliki banyak
definisi yang dikemukakan oleh para ulama. Definisi-definisi tersebut tidak
berbeda secara prinsip akan tetapi saling melengkapi, menguatkan, dan
mengenyempurnakan[3].
Menurut Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya yang
berjudul Irsyad al-Fuhuli memberikan definisi :
بَذْلُ الْوُسْعِ فِيْ نِيْلِ
حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَمَلِيْ بٌطَرِيْقِ الاسْتِنْبَاطِ
Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum
syara' yang bersifat amali melalui cara istinbat.
Kata "Badzlu al-was'i" menjelaskan
bahwa ijtihad merupakan usaha besar yang memerlukan pengerahan
kemampuan.Apabila usaha tersebut tidak dilakukan dengan bersungguh-sungguh
ataupun tidak sepenuh hati maka tidak dinamakan ijtihad.Kata "Syar'i"
mengandung arti bahwa hukum syar'i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku
manusia merupakan produk yang dihasilkan dalam usaha ijtihad.
Menurut Ibnu Subki, beliau memberikan definisi sebagai berikut:
إِسْتِفْرَا غُ الْفَقِيْهِ
الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنِّ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat
tentang hukum syar'i.
Ibnu Subki menambahkan kata "faqih" mengandung arti bahwa yang mengerahkan kemampuan dalam
ijtihad itu bukan sembarang orang melainkan orang yang telah mencapai derajat
tertentu dan disebut Faqih. Kata "zhan" mengandung arti bahwa yang dicari dan dicapai
dengan usaha ijtihad itu hanya dugaan kuat tentang hukum Allah bukan hukum
Allah karena hanya allah-lah yang maha mengetahui maksudnya secara pasti karena
ketika ada firman Allah yang pasti dan jelas mengenai suatu hukum maka tidak
perlu ada ijtihad lagi.
Menurut Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurnakan dua definisi
sebelumnya yakni:
إِسْتِفْرَا غُ الْوٌسْعِ فِي
طَلِبِ الظَّنِّ بِشَيْءٍ مِنَ الاحْكَامِ الشَرْعِيَّةِ بِحَيْثُ يَحْسَ مِنَ
النَّفْسِ الْعَجْزِ عَنِ الْمَزِ يْدِ فِيْهِ
Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat
tentang sesuatu dari hukum syara' dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu
berbuat lebih dari itu.
Penambahan fasal dalam definisi Al-Amidi tersebut mengandung arti bahwa
pengerahan kemampuan tersebut dilakukan secara maksimal.Dengan demikian
pengerahan kemampuan secara sembron, asal-asalan, atau sekedarnya saja tidak
dinamakan ijtihad.
Dari menganalisis ketiga Definisi diatas dan membandingkannya dapat
diambil hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut:
a)
Ijtihad
adalah pengarahan daya Nalar secara maksimal
b)
usaha
ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang
keilmuan yang disebut Faqih
c)
produk
atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang
hukum syara yang bersifat Amaliah
d) usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara
istinbath
Secara harfiah, ijtihad adalah suatu
ungkapan dari pengerahan daya kemampuan untuk mewujudkan sesuatu yang dituju.
karenanya, kosakata ijihad hanya digunakan untuk sesuatu yang mengandung beban
dan kesulitan. Sedangkan secara terminologis, terdapat beberapa pendefinisian
sebagaimana yang diutarakan oleh para pakar.
Pengerahan kemampuan dalam mendapatkan
pengetahuan bertmaf asumtif (zhann) atas hukum-hukum syara', dengan upaya
maksimal di mana kemampuan diri tidak dapat lagi memberikan sesuatu yang lebih
dari itu.Definisi ini diungkapkan oleh Al-Amudi, dan Ibu al-Eajib.Dengan
pengertian ini, ijtihad hanya belum mencakup pengetahuan bertaraf zahanni,
kebenaran qath 'i (pasti) belum tercakup di dalam Begitu pula, pengetahuan
bertaraf kebenaran zhanni yang tidak diakui legalitasnya, masih terakomodasi
dalam definisi ini.
Pengerahan kemampuan dari seorang
mujtahid dalam mencapai keyakinan atas hukum-hukum syara'. Definisi yang
ditmgkapkan Alf Ghazali ini berkebalikan dengan definisi pertama, yalni hanya
mengkaitkan ijtihad dengan obyek hukum berdimensi kebenaran pasti, padahal,
sebagian besar produk ijtihad adalah pengetahuan bertaraf zhanni
Pengerahan kemampuan dalam menemukan
hukum-hukum syara'.Definisi yang dilontarkan Al-Baidlawi ini mencakup dimensi
kebenaran rasio ('aqliyyah) dan doktrinal (naqliyyah), kebenaran pasti (qath
'1) dan kebenaran asumtif (zhanni).
Al-Zarkasyi mendefinisikan bahwa ijtihad
adalah pengerahan segenap kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syari'at
berdimensi praktik (amaliyyah) dengan jalan menggalinya dari sumber-sumbemya
(istinbdth).Definisi mengecualikan aktivitas penggalian hukum-hukum syari'at
berdimensi keyakinan.Aktivitas semacam ini tidak dinamakan ijtihad kendati para
pakar teologi menyebutnya juga dengan ijtihad.[4]
Dari
beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah suatu
pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan
hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang
bersumber dari Al Qur’an dan hadis.
ijtihad para pembentuk peraturan
perundang-undangan, perlu berjalan untuk memilih fikih mana yang paling relevan
dengan situasi, kondisi. dinamika zaman, dan tuntutan kemaslahatan. Sehingga,
hukum Islam akan senantiasa up to date,” atau cocok dan relevan diterapkan di
setiap tempat dan di sepanjang zaman.[5]
B.
Dasar Hukum Ijtihad
Landasan hukum dalam melakukan ijtihad baik melalui
dalil yang jelas maupun isyarat diantaranya terdapat dalam Al-Qur'an surat
an-nisa ayat 59:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ
تَأۡوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.Kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Berdasarkan ayat di atas Allah
memerintahkan untuk selalu kembali kepada Alquran dan Hadits Apabila terjadi
perbedaan pendapat.Berijtihad dengan memahami kandungan makna dan
prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadist lalu
menerapkannya.
Sementara hadist yang menjadi landasan
hukum ijtihad menceritakan dialog antara Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
dan Muadz Bin Jabal. "Rasulullah bertanya " Dengan apa kamu
menghukumi?" ia menjawab: "dengan apa yang ada di dalam kitab
Allah". bertanya Rasulullah, " Jika kamu tidak mendapatkan dalam
kitab Allah?" dia menjawab: "aku memutuskan dengan apa yang
diputuskan Rasulullah". Rasul bertanya lagi, "Jika tidak mendapatkan
dalam ketetapan Rasulullah?" berkata Muadz, "aku berijtihad dengan
pendapatku".Rasulullah bersabda, "aku bersyukur kepada Allah yang telah
menyepakati utusan dari Rasul-Nya."
Demikian juga
dijelaskan dalan QS.al-Rum: 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:“Sesungguhnyapadayangdemikianitubenar-benarterdapattanda- tanda bagi kaum yang
berpikir.”
Perintah untuk
mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan sunnahketikaterjadiperselisihanhukumialahdenganpenelitiansaksama
terhadap masalah yang nash-nya tidak
tegas. Demikian juga sabda Nabi Saw:
Artinya:
“Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad
dan
bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala.Jika ia bergegas
memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya salah , maka
ia mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi’i dari Amr bin ‘Ash).
Hadis ini bukan
hanya memberi legalitas ijtihad, akan
tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan-perbedaan pendapat hasil ijtihad bisa dilakukan secara individual
(ijtihad fardi) yang hasil rumusan
hukumnya tentu relatif terhadap tingkat kebenaran[6]
Dengan demikian dapat kita
katakan: bahwa Rasulullah sangat menganjurkan ijtihad seperti apa yang ia
lakukan dan contohkan. sebagaimana mendorong ijtihad dengan sabdanya. Terkadang
wahyu datang terlambat atau terlalu singkat dan bersifat umum.hal ini memaksa
Nabi untuk berijtihad, dan para sahabat ikut serta dalam prosa ijtihad ini
dengan bimbingan Nabi. Peristiwa seperti ini banyak terjadi dan direkam dalam
Alquran dan Sunah.dan tidak perlu disebutkan.
C.
Fungsi Ijtihad
Sebagaimana yang dinukil Satria
Efendi, Imam Syafi‟i ra. (150 H-204 H), penyusun pertama Ushul Fikih, dalam
bukunya Ar-Risalah, ketika
menggambarkan kesempurnaan Al-Qur‟an menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu
peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah,kecuali dalam kitab Allah
terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung
oleh Al-Qur‟an yang bisa menjawab bebagai persoalan itu harus digali dengan
kegiatan ijtihād.Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya
untuk berijtihād dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk
melakukan ijtihād, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam
hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Pernyataan Imam Syafi‟i di atas,
menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihād di samping Al-Qur‟an dan
Hadits Nabi SAW. Ijtihād berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits
yang tidak sampai ke tingkat hadits mutawwatir seperti hadits ahad, atau
sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya
sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihād, dan juga
berfungsi untuk mengembalikan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam
Al-Qur‟an dan Sunnah seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah[7]
Jadi ijtihat sebagai upaya
pembaharuan hukum Islam serta upaya menjawab tantangan situasi baru.fungsi
ijtihad diatas dapat dikatakan bahwasanya nilai ijtihad yang paling tepat
adalah mampu masuk pada realitas sosial budaya tanpa kehilangan nilai-nilai
samawi.
D.
Pembagian dan Jenis Ijtihad
Pembagian
ijtihad dikalangan ulama ahli ushul fiqh bermacam-macam, diantaranya:
1) menurut Mahdi Fadhl ijtihad
dibagi menjadi dua yakni: Pertama, ijtihad muthlaq adalah ijtihad yang meliputi
semua hukum, tidak memilih dalam bagian masalahhukum tertentu. Seorang ulama
yang mempunyai kemampuan ijtihad mutlak ini disebut dengan mujtahid muthlaq.
Mujtahid mutlaqh mempunyai kemampuan mengistinbatkan seluruh bidang hukum dari
dalil-dalilnya atau dari sumber-sumber hukum yang diakui secara syari’i dan
aqli.
Kedua,
ijtihad juz-i atau biasa disebut ijtihad parsial. Ijtihad ini mengkaji dalam
bidang hukum tertentu tidak mendalami bidang yang lain. Mujtahid juz-i hanya
mampu mengistinbatkan sebagian tertentu dari hukum syara’ dari sumbernya yang
mu’tabar tanpa mampu mengitinbatkan semua hukum.
2) Muhammad abu zahrah dalam bukunya
ushul fiqih membagi ijtihad dari segi bentuk karya yakni: pertama, ijtihad
istinbathi adalah kegiatan ijtihad yang berusaha menggali dan menemukan hukum
dari dalil-dalil yang telah ditentukan. Ijtihad istinbathi merupakan ijtihad
yang dilakukan oleh mujtahid muthlaq atau dalam arti mujtahid sebenarnya.
Kedua,
ijtihad tahbiqi adalah kegiatan ijtihad yang bukan untuk menemukan dan
menghasilkan hukum tetapi menerapkan hukum hasil temuan imam mujtahid terdahulu
kepada kejadian terdahulu yang muncul kemudian. Ijtihad inimerujuk pada
pendapat imam madzhab sebelumnya dan yang sudah dilakukan mujtahid sebelumnya
yang selalu mengaitkan kepada imam madzhab tertentu yang disebut mujtahid fii
al-madzhab.
Macam-macam ijtihad para ahli membagi
ijtihad berdasarkan beberapa titik pandang yang berbeda
1.
Ijtihad dari segi dalil yang dijadikan pedoman terdapat tiga
yaitu: pertama, ijtihad bayani merupakan ijtihad yang digunakan untuk menemukan
hukum yang terkandung dalam nash namun sifatnya zhanni. baik dari segi ketetapannya maupun dari segi
penunjukannya. ijtihad ini hanya memberi penjelasan hukum yang pasti dari dalil
Nash.
Kedua, ijtihad qiyasi merupakan Ijtihad
yang yang digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian
yang tidak ditemukan dalil secara tersurat dalam nash, qath'i maupun
zhanni. Dalam ijtihad qiyasi, mujtahid
menetapkan hukum suatu kejadian berdasarkan pada kejadian yang telah ada
nosnya. Ijtihad ini dilakukan melalui
metode qiyas dan istihsan.
Ketiga, ijtihad istislahi adalah karya
ijtihad untuk menggali, menemukan dan merumuskan hukum syar'i dengan cara
menerapkan kaidah untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dan
tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan Nas yang ada juga belum diputuskan
dengan ijma'.
2. Ijtihad
dilihat dari segi pelakunya atau orang yang melaksanakannya dapat dibedakan
kepada dua macam yaitu: jtihad Fardi (ﻓـﺮدياﺟـﺘـﮭـﺎد)
dan ijtihad jama’iy (ﺟـﻤـﺎﻋﻰاﺟـﺘـﮭـﺎد).
Bahwa yang dimaksud dengan ijtihad Fardi ialah
ijtihad yang dilakukan oleh orang perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid
saja. Ijtihad ini mungkin dilakukan jika kasus bersifat sederhana dan terjadi
di masyarakat yang sederhana pula. Juga mujtahid menguasai berbagai jenis ilmu
sehingga dapat mengkaji masalah tersebut sendiri.ijtihad fardi ini yang
biasa dilakukan oleh Imam-imam mujtahid besar,seperti Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, merupakan mujtahid-mujtahid
mutlak yang melaksanakan ijtihad secara perorangannya.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan ijtihad jamâ’i (ﺟـﻤـﺎﻋﻰاﺟـﺘـﮭـﺎد)
ialah ijtihâd yang dilakukan oleh
beberapa orang secara kolektif atau bersama-sama.Ijtihâd dalam bentuk ini terjadi karena masalah yang dihadapi dan
akan diselesaikan sangat kompleks dan rumit yang meliputi bidang yang luas,
sehingga perlu melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu dan tidak
mungkin dilakukan oleh orang perorangan atau oleh seseorang yang ahli dalam
satu bidang tertentu saja. Ijtihad kolektif ini berbeda dengan ijma’, karena
dalam ijtihad ini ulama’ yang berperan tidak meliputi persyaatan bagi suatu
ijma’.
E.
Syarat-syarat Ijtihad
Menurut al-Umari syarat-syarat menadi mujtahid
terdapat dua kelompok yakni syarat-syarat umum dan syarat-syarat keahlian.Syarat
umum yakni baligh dan berakal. Sedangkan syara-syarat keahlian dibagi menjadi 2
yakni syarat-syarat pokok( asasiyyah) dan
syarat-syarat penyempurna (takmiliyah).
- Syarat-syarat pokok (asasiyyah) dibagi menjadi lima yaitu:
a.
Menguasai Al-Kitab yang meliputi seluruh cabang ilmu Al-qur’an, seperti
ilmu asbabul nuzul, nashk wa manshub, ayat-ayat makiyyah dan madaniyyah,
amm dan khas, mutlaq dan mukhoyyad, muhkam dan mutasyabih. Lalu
yang paling terpenting menguasai ilmu hukum.
b. Menguasai sunnah nabi, mencangkup
ilmu-ilmu hadits yaitu ilmu dhiroyah hadist dan riwayahnya.
c. Menguasai bahasa Arab dan semua aspeknya
seperti ilmu shorof, nahwu arti-arti lafal, ma’ani, balaghoh, bayyan, dan mampu
membedakan antara makna zhahir dan khafi, hakikat dan kinayah (majaz),
musytarak dan mutasyabih dan lain-lain.
d.
Menguasai ilmu ushul fiqh yakni menguasai kaidah0kaidah umum (kulliyyah)
sampai menguasai hakikat hukum dan dalil-dalilnya.
e. Mengetahui tempat-tempat ijma” karena
ijma merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits dan derajatnya
sama dengan hadist muttawattir.
- Syarat-syarat penyempurna (takmiliyyah) adalah sebagai berikut
a. Menguasai al-Baro’ah al-Ashliyyah ,
yakni mengetahui prinsip bahwa segala sesuatu bebas dari tanggungan kecuali
jika sudah ada hukum syara’.
b. Memahami maqosid syari’ah
c. Menguasai kaidah-kaidah kulliyyah
yang mencangkup kaidah fiqhiyah.
d. Menguasai khilafiyat
agar mengetahui tempat-tempat ikhtilaf
e. Mengetahui kebiasaan yang berlaku di
mujtahid
f. Menguasai manthiq aau
ilmu logika
g. Adil
h. Citra yang baik,
wara’ dan memelihara diri dari perbuatan dosa
i.
Cerdas, teguh, dan
teliti dalam ijtihad
j.
Mengharapkan sekali pertolongan Allah SWT
k. Menurut orang banyak bahwa orang itu bisa dipercaya dan
cakap melakukan ijtihad
l.
Konsekuen
F.
Tingkatan Mujtahid
Tingkatan menurut ulama ushul fiqh: 1) mujtahid mutlak yaitu mujtahid yang mempunyai
kemampuan untuk menggali hukum syara langsung
dari sumbernya yang pokok yakni (al-Qur’an da sunnah) dan mampu menerapkan
metode dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan segala aktivitas ijtihad-nya, 2) mujtahid muntasib yaitu mujtahid
menggabungkandirinyadanijtihad-nyadengansuatumazhab,3)mujtahid muqoyyadyaitumujtahidyangterikatkepadaimammazhabdantidakmau keluar
dari mazhab dalam masalah ushul maupun
furu’, dan 4) mujtahid murajih yaitu mujtahid yang
membandingkan beberapa imam mujtahid dan dipilih yang lebih unggul.[8]
G.
Hukum Melakukan Ijtihad
Menurut para
ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di atas, ada lima
hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:
a. Orang tersebut dihukumi fardu ain
untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan
hasil dari ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain. Karena hukum
ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa
itu termasuk hukum Allah.
b. Juga dihukumi fardu ‘ain
ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika
tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan
hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c. Dihukumi fardu kifayah, jika
permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya,
atau ada orang lainselain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai
seorang mujtahid.
d. Dihukumi sunah apabila
ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
e.
Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah
ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan
dalil syara’.[9]
H. Metode Ijtihad
Metode ini dimaksud sebagai thariqoh
yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam
memahami, menemukan, dan merumuskan hukum syara’.[10]
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam
istinbath hukum oleh mujtahid sebagai berikut:
1. Merujuk pada Al-Qur’an yang
mengandung hukum lalu mujtahid perlu memilah dan mencari penjelasan dalam
bentuk lafal khas yang akan mentakhzizkan lafal muqayyad yang
menjelaskankemutlakannya. Dalam meneliti ayat al qur’an yang mengandung hukum
perlu dipilah antara lafalnya yang dzahir, nash, mufassar, dan muhkam. Dari
pengkajian penelitian al qur’an maka mujtahid dapat menemukan hukum yang
terkandung dalam al qur’an.
2. Merujuk pada sunnah nabi apabila
tidak menemukan hukum pada al qur’an. Mencari hadist yang tingkatannya
mutawattir kemudian ke hadist yang tingkatannya dibawah mutawattir.mujtahid
mencari lafal yang tersurat dalam hadist dan jika tidak menemukan maka mencari
lafal yang tersirat dalam hadist.
3. Mujtahid mencari jawabannya dari
kesepakatan ulama’ sahabat. Jadi mujtahid menetapkan hukum menurut apa yang
telah disepakati ulama’ sahabat, kesepakatan ulama’ sahabat disebut ijma’. Ijma
merupakan semua apa yang disepakati para ulama dan memiliki landasan yang kuat
dari Nabi wajib untuk ditaati[11]
4. Bila tidak ada kesepakatan
ulama’mengenai hukum yang dicari maka mujtahid harus menggali dan menemukan
hukum allah yang ia yakini pasti ada dengan segenap kemampuan daya dan ilmu
yang dimilikinya.
I.
Sejarah perkembangan ijtihad
Ijtihad
mulai ada sejak zaman rasulullah. Akan tetapi para ulama’ berbeda pendapat
mengenangi ijtihad yang berlaku pada masa rasulullah masih hidup. Dikarenakan
ijtihad dilakukan jika tidak menemukan petunjuk allah secara jelas mengenai
suatu masalah dan tidak pula dari nabi.tetapi dalam banyak kasus ditemukan
bahwa rasulullah sering menggunakan daya nalar dalam menghadapi suatu masalah.
1. Ijtihad pada masa nabi
Ada
banyak macam ijtihad pada masa rasulullah diantaranya adalah
a. Ijtihad dalam bentuk dugaan
seperti penjelasan rasulullah tentang kemurkaan allah terhadap bani israil yang
kemudian dialih rupakan pada hewan dan nabi mengasumsikan bahwa pengalihrupaan
sebagian mereka masih dapat mempunyai keturunan.tikus dan biawak merupakan
keturunan dari mereka.
b. Ijtihad dalam bentuk qat’i
(pasti) seperti pada hadist riwayat muslim. Ketika beliau ditanya mengenai
anak-anak orang musyrik yang meninggal ketika mereka masih kecil lalu apakah
mereka masuk surga atau neraka lalu Rasulullah menjawab Allah lenih mengetahui
apa yang mereka kerjakan.
c. Ijtihad Nabi dalam bentuk tamanni
(angan-angan) yakni seperti ijtihad beliau mengenai arah kiblat dalam
melaksanakan sholat, setelah lebih kurang enam belas bulan melakukan sholat
menghadap baitul maqdis.
2. Ijtihad pada masa sahabat
Seiring
berkembangnya zaman maka masalah yang muncul semakin banyak maka semakin banyak
membutuhkan jawaban-jawaban atas masalah tersebut. seperti permasalahan yang
muncul tepat setelah Rasul wafat yakni masalah mengenai siapakah pemimpin ummat
selanjutnya yang menggantikan kedudukan beliau. Nabi sendiri tidak memberikan
petunjuk apapun dan wahyu yang berkenaan dengan pergantian pemimpin. Tidak ada
yang secara jelas menerangkannya sehingga terjadi perbincangan yang meluas yang
menggunakan akal sebagai dalil. Hasil dari perbincangan tersebut adalah
penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama yang menggantikan posisi
peerintahan Rasulullah atas dasar Abu Bakar pernah menjadi imam sholat
pengganti saat Rasul sedang sakit kala itu.
Ijtihad
pada masa sahabat yakni menjelaskan nash yang sudah ada baik nash al-qur’an
maupun sunnah Nabi. Ijtihad yang kedua yakni untuk menetapkan hukum yang baru
bagi kasus yang muncul melalui cara mencari perbandingannya dengan ketetapan
hukum yang telah ada penjelasannya dalam nash untuk ditetapkan bagi kasus
tersebut.
3. Ijtihad pada masa imam madzhab
Pada
masa ini para mujtahid menyempurnakan karya-karya ijtihad dengan cara
meletakkan dasar dan prinsip-prinsip pokok dalam berijtihad yang kemudian
disebut sebagai “ushul”. Dalam berijtihad imam madzhab langsung merujuk pada
hukum syara’ dan menghasilkan temuan orisinal. Pada masa tabi’in telah
dilakukan usaha ijtihad akan etapi pada masa imam madzhab dikembangkan menjadi
sistematis.
4. Ijtihad pada masa sesudah imam
madzhab
Pada
masa ini para pengikut imam madzhab jika menemuka suatu masalah maka mereka
tidak melakukan ijtihad. Akan tetapi cukup mengikuti apa yang telah ditetapkan
imam madzhab sebelumnya. Kadang kala tanpa mempertanyakan relavansi dan
ketepatannya. Tidak mempermasalahkan dalil yang digunakan imam madzhab pada
masa kemudian yang jauh telah berubah. Masa ini biasa disebut dengan masa
taqlid yang berlangsung lama.
Para
ulama cenderung hanya membolak-balik kitab fiqh terdahulu atau membandingkan
pendapat para imam madzhab untuk mengambil pendapat yang dianggapnya paling
kuat.
Banyak
hasil ijtihad imam madzhab itu yang sudah sulit dilaksanakan dikarenakan
situasi dan kondisi yang telah sangat berubah dan berbeda jauh, namun ulama
belakangan tidak mempunyai keinginan dan merasa tidak mampu melakukan ijtihad
untuk mengembangkan hukum. Kondisi ini diperparah ketika bangsa islam mulai
dijajah oleh bangsa barat. Yang mana negara barat tersebut menerapkan hukum
barat sehingga hukum fiqh semakin lama tergeser eksistensinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Wafi Has, Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat
Islam vol. 08, 1 juni 2013
Bahri, Samsul dkk.
2008. Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta: Penerbit Teras
Forum Karya
Ilmiah. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siwa Aliyyah
Hayatudin,
Amrullah. 2019. Ushul Fiqh. Jakarta: Sinar Grafika Offset
Mughits, Abdul.
2008. Kritik Nalar Pesantren. Jakarta:penerbit Kencana
Sukardja, ahmad
dan mujar ibnu syarif. 2012. Tiga Kategori Hukum syariat, fiqh dan kanun).
Jakarta: Grafika
Syarifuddin, Amir.
2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Catatan:
1. Similarity 31%,
cukup tinggi
2. Abstrak dan
pendahuluan tolong diperbaiki
3. Penulisan nama
buku/kitab ditulis miring
4. Penulisan
footnote banyak yang salah
5. Dalam tulisan
ilmiah, penulisan gelar dihilangkan
6. Mana
penutup.kesimpulannya?
Makalah ini masih
banyak kelemahannya, sepertinya belum siap.
[1]
Amir syarifudin. Ushul Fiqh. 2008. Jakarta: Kencana. Hlm 257
[2]Ibid
[3]Ibid
hlm 258
[4]Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. (Kediri,
2004). Hal, 314-315
[5]
prof. Dr.ahmad sukardja,s.h,.ma. Tiga kategori hukum (sinar grafika,jakarta
2012) hal 34
[6]Abd Wafi Has, Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam vol. 08, 1 juni 2013
[7]
Dewi Yulianti,
Analisis Ijtihād Hakim Dalam
Menentukan Kadar Mut’ahdan Nafkah ‘Iddah
(Lampug ,2018) hal 50
[8]
Abdul mughits,m. Ag dkk, kritik nalar fiqh pesantren( fajar inter pratama
offset,Jakarta 2008) hal 95
[9]
Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. (Kediri,
2004). Hal, 324
[10]Ibid
amir syarifuddin hlm. 267
[11]Samsul
bahri, dkk. Metodologi Hukum Islam. 2008. Yogyakarta: Penerbit Teras. Hlm 36
If you're trying to lose fat then you have to get on this brand new personalized keto meal plan.
BalasHapusTo design this keto diet service, certified nutritionists, fitness couches, and top chefs have joined together to develop keto meal plans that are productive, convenient, price-efficient, and enjoyable.
Since their launch in early 2019, 100's of people have already remodeled their figure and health with the benefits a smart keto meal plan can provide.
Speaking of benefits: in this link, you'll discover 8 scientifically-tested ones provided by the keto meal plan.