Mantuq Mafhum, dan Mujmal
Mubayyan
Oleh: Mariatul
Lailiyah (16110023)
M. Iqbal Huda (16110035)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Kelas “A” Tahun
2016
Universitas Islam Negeri Maulana Maik Ibrahim Malang
Email: mariatullailiyah19@gmail.com
Abstract
Mantuqmafhum,
and mubayyan are the mujmal must be studied in Usul Fiqh. Science mantuq,
knowingly learn about the meaning of express, tersiratnya a resonate the Qur'an
and As-Sunnah or the law which is explained by the same resonate with the sound
of lafadznya as well as vice versa. Mujmal, mubayyan discusses a word that is
still not clear when there is nothing more to explain, as well as the obvious
Word doesn't need a clarity over the other.
A discussion of the above interrelated things. This article will discuss
various mantuq. There are also two kinds of mafhum diantanya: muwafaqah and
muhallafah. Further discussion of mujmal, the last discussion that is mubayyan
there are seven kinds of them: by word, by deed, by a cue, leaving something,
with silence, based on mukhashsis-mukhashis, and with write. So by writing
articles is expected to understand Islamic law properly.
Key Word:Ushul Fiqh, Mantuq, Mafhum, dan
Mujmal, Mubayyan
Abstrak
Mantuq
mahfum, dan mujmal mubayyan merupakan hal yang harus dipelajari dalam ushul
fiqih. Ilmu mantuq, mafhum mempelajari tentang makna yang tersurat, tersiratnya
sebuah lafadz Al-Qur’an dan As-Sunnah atau hukum yang diterangkan oleh lafadz
tersebut sama dengan bunyi lafadznya begitupun sebaliknya. Mujmal, mubayyan
membahas sebuah kata yang masih belum jelas apabila tidak ada sesuatu yang
lebih menjelaskan, serta kata yang sudah jelas tidak membutuhkan sebuah
kejelasan dari yang lainnya.Pembahasan mengenai hal diatas saling berkaitan.Artikel
ini akan membahas macam-macam mantuq yang terdiri dari tiga macam, mafhum juga
terdapat dua macam diantanya: muwafaqah dan muhallafah. Selanjutnya pembahasan mujmal,
pembahasan yang terakhir yaitu mubayyan terdapat tujuh macam diantaranya:
dengan perkataan, dengan perbuatan, dengan sebuah isyarat, dengan meninggalkan
sesuatu, dengan diam, berdasarkan mukhashsis-mukhashis, dan dengan tulisan. Sehingga
dengan penulisan artikel ini diharapkan dapat memahami hukum Islam secara baik
dan benar.
Kata Kunci: Ushul Fiqh, Mantuq, Mafhum, dan
Mujmal, Mubayyan
A.
Pendahuluan
Pada zaman sekarang ini, terdapat banyak
masalah hukum entah itu yang sudah ada dari dulu maupun yang baru-baru ada pada
sekarang ini.Oleh karena itu ushul fiqh sangat dibutuhkan dalam menentukan
hukum yang bersumber dari dalil naqli maupun dalil aqli.Ushul fiqh ialah suatu
ilmu yang digunakan untuk memahami atau memaknai kata atau kalimat yang ada
pada dalil naqli.Tentunya didalam Al-Qur’an maupun Al-Hadist, perlunya mengkaji
secara benar agar mengetahui hukum yang telah ditetapkan.Di dalam Ushul fiqh
banyak sekali tema-tema mengenai hukum-hukum dan pejelasan salah satunya yaitu;
mantuq, mafhum, mujmal, mubayyan dan lain sebagainya. Disini selaku penulis
akan menyampaikan pengertian, pembagian serta contoh dari mantuq, mafhum,
mujmal, mubayyan agar kita bisa mengetahui apa yang dinamakan mantuq, mafhum,
mujmal, mubayyan beserta contoh dan pembagiannya.
B.
Mantuq
1.
Pengertian
Mantuq secara bahasa bisa
berarti, diucapkan, tersurat atau teks, dan lain-lain.Mantuq menurut istilah
ushul fiqih ialah “Sesuatu yang di tunjuk oleh lafaz sesuai dengan teks ucapan
itu”.[1]Jadinya
ialah apabila suatu hukum diambil dari berdasarkan bunyi suatu dalil, maka ini
disebut mantuq.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Qs. Al Baqarah: 183).
Dari ayat
di atas, dikatakan bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu hukumnya wajib.Dan
hukumnya wajib ini didasari oleh mantuqnya.[2]
2. Macam-macam Mantuq
Ada tiga macam mantuq menurut ulama ushul
fiqh yaitu,
a.
Nash, tidak memungkinkan ada unsur di takwil atau
ada pengalihan makna. Sedangkan nash sendiri terbagi menjadi dua;
1.) Sharih (jelas), apabila ada suatu lafadz yang
menunjukkan dengan jelas dan tegas maknanya, baik yang maknanya itu sesuai
dengan sepenuhnya teks (nash) ataupun yang hanya terkandung maknanya oleh nash.
Maka yang seperti ini biasanya dinamakan ibarat al-nash.
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ
كَامِلَةٌ
“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak
mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi)
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurn” (Qs.
Al-Baqarah: 196).
Dari ayat di atas, penyifatan sepuluh telah dengan sempurna
mengagalkan adanya kemungkinan sepuluh diartikan secara lain dengan majaz.
2.)
Ghairu Sharih (tidak jelas), adalah mantuq
yang artinya tidak dari arti atau makna yang diletakkan untuknya, akan tetapi
arti tersebut ialah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan darinya. Misalnya:
sepuluh ialah arti angka di atasnya Sembilan dan dibawahnya sebelas. Akan
tetapi, bisa saja angka sepuluh tersebut adalah bilangan genap. Itulah yang
dinamakan mantuq ghairu sharih. Dan mantuq ghairu sharih sendiri dibagi menjadi
tiga yaitu:
a.)
Dilalah ima’ atau disebut juga dengan dilalah
tanbih, ialah suatu teks yang berbarengan dengan lafadz tertentu, apabila
seandainya lafadz tersebut bukan sebab ketentuan dari suatu ayat, maka didalam
teks penyebutannya tidak bermakna, dan yang seperti ini mustahil terdapat di
firman Allah atau sabda Rasulullah Saw.
إِنَّ ٱلْأَبْرَارَ لَفِى نَعِيمٍ.....
“Sesungguhnya
orang-orang yang berbuat kebajikan berada di dalam kenikmatan” (Qs.
Al-Infithar: 13).
Dari ayat
diatas bermaksud bahwa mereka berada didalam kenikmatan sebagai imbalan atas
kebajikan apa yang mereka perbuat. Intinya Allah Maha Adil setiap perbuatan
manusia pasti ada balasannya yang diberikan oleh Allah atas perbuatan manusia
itu sendiri.
b.)
Dilalah Iqtidha’, ialah petunjuk kebenaran
suatu lafadz terhadap arti yang terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak
disebutkan. Atau dilalah yang mengharuskan mentaqdirkan lafadz yang terbuang,
dikarenakan suatu nash tidak bisa di mengerti dengan benar menurut syara’
kecuali dengan mentaqdirkan lafadz yang terbuang itu.
….حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu
ibu-ibu kamu” (Qs. An-Nisa: 23).
Dari ayat diatas membutuhkan
kata-kata yang tidak diucapkan ialah kata “al-wath’u” atau
bersetubuh.Sehingga ayat diatas memiliki makna “diharamkan bagi kamu
bersenggama dengan ibu-ibu kamu”, sebab haramnya itu tidak didasari pada benda
melainkan membutuhkan adanya “suatu perbuatan” (yang tidak disebutkan) yang
berkaitan dengan haramnya tersebut.[3]
c.)
Dilalah Isyarah, ialah arti yang ditarik dari suatu lafadz,
akan tetapi bukan itu yang dimaksud oleh lafadz, melainkan ia memiliki hubungan
yang lazim dengan konteks uraiannya.
فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Apabila
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja” (Qs.
An-Nisa: 3).
Ayat diatas bermaksud bahwa
seorang laki-laki yang pasti yakin tidak akan bisa berbuat adil bila mempunyai
istri lebih dari satu, maka hukumnya tidak halal baginya. Penjelasan diatas,
dapat disimpulkan bahwa,ketika berbuat adil kepada istri hukumnya adalah wajib
secara mutlak, begitupun sebaliknya apabila berbuat aniaya terhadap istri ialah
haram.[4]
b.
Zhahir, ialah suatu lafadz yang menunjukkan suatu
arti yang dapat segera dipahami ketika sudah diucapkan, akan tetapi
memungkinkan disertai arti lain yang lemah (marjuh). Oleh karena itu, dzahir
itu sama saja dengan nash didalam hal penunjukkannya terhadap makna yang
berdasarkan pada ucapan. Akan tetapi, dalam konteks lain ini berbeda dengannya
karena nash menunjukkan hanya satu makna saja secara tegas dan tidak
memungkinkan akan menerima arti lain. Sedangkan dzahir, selain menunjukkan satu
arti ketika sudah diucapkan, ia juga akan memungkinkan arti lain yang walaupun
lemah.
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Baqarah: 173).
Lafadz
“al-bagh” dipakai untuk arti “al-jahil” yang berarti bodoh dan tidak tahu dan
“al-dhalim” yang berarti melampaui batas. Akan tetapi penggunaan untuk kedua
arti ini lebih tegas dan populer sehingga arti inilah yang disebut kuat
(rajah), sedangkan arti yang pertama lemah (marjuh).
c.
Muawwal, ialah suatu lafadz yang diartikan dengan arti
marjuh atau lemah karena ada sesuatu dalil yang menghalangi maksud arti rajah
atau kuat. Terdapat perbedaan antara muawwal dan dzahir; dzahir
diartikan dengan arti yang rajah karena tidak ada dalil yang
memalingkan kepada marjuh, begitu sebaliknya dengan muawwal
diartikan dengan arti marjuh karena terdapat dalil yang memalingkan dari
yang rajah.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan” (Qs. Al-Isra’: 24).
Lafadz
janah aslinya memiliki arti sayap sedangkan dzull berarti rendah,
akan tetapi ayat ini lebih condong diartikan dengan rendah hati, tawadhu’
kepada kedua orang tua, melainkan tidak diartikan dengan arti yang pertama.[5]
C.
Mafhum
1.
Pengertian
Mafhum
secara bahasa bisa berarti, di faham, dan tersirat.Mafhum menurut istilah ushul
fiqih adalah “Sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz di luar teks ucapan itu”.
Maksudnya ialah suatu hukum yang di ambil tidak dari bunyi suatu dalil, akan
tetapi dari makna yang tersimpan didalamnya.
… فَلَا تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ…
“Janganlah kamu berkata
“ah” terhadap kedua ibu dan bapak”. (Qs. Al-Isra’: 23).
Dari ayat diatas, tidak
diperbolehkan mengatakan “ah” disebut mantuq, di sebut mantuq karena sesuai
dengan lafaz ayat atau teks ayat.Adapun tidak diperbolehkannya memukul ibu
bapak ialah hasil pemahaman dari larangan mengatakan “ah” di ayat tersebut,
yang seperti ini disebut mafhum.
Jadi bisa dipahami lafadz
adalah cetusan dari makna-makna.Terkadang maksud dari sebuah lafaz bisa sesuai
dengan yang terucap atau yang tersurat secara jelas, maka yang seperti ini
disebut dengan “Mantuq”. Dan sedangkan yang terkadang yang dimaksud oleh sebuah
lafaz, bukanlah yang terucap atau yang tersurat, akan tetapi yang dimaksud
ialah yang tersirat, maka yang seperti ini disebut dengan “Mafhum”.[6]
2. Macam-macam Mafhum
Ada
dua macam mafhum dalam ushul fiqh yaitu,
a.
Mafhum Muwafaqoh, “adalah mafhum yang apabila hukum-hukum
yang tidak disebutkan dalam lafal itu cocok atau sesuai dengan yang disebutkan
dalam lafal tersebut tidak berlawanan”.
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka janganlah engkau berkata hus kepada kedua orang tua (QS.
al-Isra’: 23).
Dari ayat di atas ada
kesamaan antara “memukul” dan berakata hus dalam hal ini sama dengan
menyakiti hati atau suatu penghinaan, oleh karena itu berkata hus saja sudah
tidak boleh (haram) apalagi memukul.[7]Mafhum
Muwafaqoh dapat di bagi menjadi menjadi dua bentuknya;
1.)
Fakhwal Kitab,”yakni yang mana kadar mafhumnya lebih
tinggi daripada mantuqnya”. Contoh seperti, memukul dengan berbicara hus. Qadar
mafhumnya pada surah al-Isra’ ayat 23 yakni, “tidak boleh memukul” yang dimana
lebih tinggi qadar menyakitkannya daripada berbicara “ah”.
2.)
Lahnul Kitab, “yakni mafhum yang mana kadar mafhumnya sama
dengan kadar mantuq.”
Contoh:
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا
“Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya”
Dari
ayat diatas, mantuqnya ialah melarang memakan harta anak yatim dan mafhumnya
ialah melarang membakar harta anak yatim. Dalam hal ini disini kadar mantuq dan
mafhumnya yaitu sama (memakan dan membakar) yang mengandung sifat sama-sama
menghabiskan.[8]
b.
Mafhum Mukhalafah, “ialah pemahaman yang apabila hukum yang
tidak disebutkan di dalam lafal itu berlawanan dengan apa yang disebut dalam
lafal tersebut.”
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
“Maka
cambuklah mereka itu 80 kali (bagi orang yang mendakwa berbuat zina, sedang
pendakwa tidak bisa mendatangkan saksi). QS. an-Nur: 4).
Mafhum mukhalafah, hukumnya
haram apabila memukul lebih dari 80 kali pukulan, karena sudah tidak sesuai
atau berlawanan dengan apa yang tersirat di dalam ayat tersebut. Dengan
demikian bahwasannya hukum memukul lebih dari 80 pukulan adalah haram.Yang
seperti ini biasanya dikenal dengan sebutan dalil al-khithab.
Menurut para ahli Mafhum
Mukhalafah dibagi menjadi beberapa macam yaitu;
1.)
Mafhum Washaf, seperti yang dijelaskan di Al-Qur’an
mengenai hal-hal yang diharamkan.
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ
“(dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu)”.
(QS. An-Nisa: 23).
Mafhum
mukhalafah dari ayat diatas adalah hal anak-anak yang bukan berasal dari sulbi
sendiri, seperti anak susuan.
2.)
Mafhum Ghayah
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ
مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain.” (QS. Al-Baqarah: 230).
Mafhum mukhalafah dari ayat
diatas adalah istri yang sudah ditalak tiga, maka sudah bukan suaminya lagi
yang mentalakinya itu.
3.)
Mafhum Syarat
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ
فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ
“Dalam jika mereka (isteri-isterimu yang sudah ditalak)
sedang hamil maka nafkahilah mereka itu” (QS. At-Talaq: 6).
Mafhum mukhalafah dari ayat diatas adalah jika isteri-isteri
itu tidak hamil.
4.)
Mafhum
Adad
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
“Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera” (QS. An-Nur: 4).
Mafhum Mukhalafah dari ayat
diatas adalah paling sedikit dera itu delapan puluh kali.
5.)
Mafhum Laqob
Seperti
firman Allah: “Muhammad adalah utusan Allah”. Mafhum Mukhalafahnya yaitu selain
Muhammad. Dan seperti sabda Rasulullah Saw: “gandum adalah termasuk jenis yang
harus dikeluarkan zakatnya”. Mafhum mukhalafahnya, ialah selain gandum.[9]
D.
Mujmal
1.
Pengertian
Mujmal secara etimologi merupakan suatu hal
kurang jelas (masih bersifat umum, dan juga samar-samar).[10]Maksud
dari kurang kejelasan tersebut, tidak dapat memberikan arti yang
sebenarnya,sehingga harus ditafsiri, difikir, dan diteliti lebih mendetail.
Mujmal menurut istilah adalah sesuatu yang
belum jelas, sehingga membutuhkan penjelasan atau bayan (mubayyin) yang
mejelaskan rinci, dari ketidak jelasannya itu disebut ijmal.Penjelasannya
langsung berasal dari Allah dan Rasulullah.[11]Kesusahan
memahami lafadz tersebut bukan berasal dari lafadz lainnya, melainkan dari
lafadz itu sendiri.
Mujmal merupakan terdapat dalil, salah satu
lafadz yang belum jelas maknanya, dan membutuhkan penjelasan dari lafadz yang
lain.
Ada perbedaan pendapat menurut sebagian ulama
ushul fiqh dalam memberikan pengertian mujmal.Menurut jumhur ulama’ mujmal
merupakan perkataan dan perbuatan kurang jelas petunjuknya.Apabila menurut
madzah hanafiyah, mujmal adalah lafadz yang tidak dapat difahami apabila
diberikan kejelasan dari mujmalnya tersebut. Pendapat ulama’ yang menyatakan bahwasannya
terdapat enam penyebab terjadinya lafadz mujmal yaitu:
a. Makna lafadz kandungannya tidak jelas
Sebagaimana Allah telah berfirman sebagai
berikut:
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِه.....ِ….
“….dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya dengan mengeluarkan zakat…QS.
Al-An’am 6: 141”
Makna lafadznya “haknya” sudah cukup jelas akan tetapi terdapat ketidak
jelasan jenis dan kualitasnya, sehingga diperlukan adanya dalil lain untuk
memperjelas.
b. Makna lafadznya kandungannya musytarak (makna
lebih dari satu)[12]
Allah telah berfirman sebagai berikut:
...... وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru’ QS.Al-Baqarah: 228”
Lafadz “quru”
mengandung dua artian, menurut Imam Syafi’i arti tersebut suci dan menurut Imam
Abu Hanifah artinya haid. Jika memilih salah satu makna maka, harus diperjelas
dengan dalil lainnya dari kalamullah, as-sunnah, dan ijtihad.
c. Masuknya huruf istisna
Allah telah berfirman sebagai berikut:
Makna lafadz “kecuali yang akan dibacakan kepadamu….” Contoh tersebut
tidak jelas maksudnya akan tetapi, makna lafadz tersebut dijelaskan Allah SWT
dalam ayat yang sama, yaitu:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ
وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى
النُّصُبِ......
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, yang disembelih dengan nama selain Allah, yang tercekik, yang
dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali
yang sempat kau sembelihnya….QS.Al-Maidah 5: 3”
Maksud dari kata yang digaris bawah tersebut
adalah jenis-jenis binatang yang haram untuk dimakan sebagaimana terdapat dalam
surah al-maidah: 3
d. Rasulullah telah menetapkan hukum pada kasus,
namun keputusan tersebut mengandung beberapa hal kemungkinan. Jadi, harus
difahamkan melalui dalil yang lain
“Rasulullah memperbolehkan seseorang berbuka
puasa pada bulan Ramadhan dengan tujuan memerdekakan budak, apabila tidak mampu
melakukannya maka berpuasa berturut-turut selama dua bulan. Apabila masih belum
mampu juga, memberkan makanan orang miskin sebanyak enam puluh (HR.Bukhari dan
Muslim)”
Termasuk dalam mubayyan karena penetapan
hukum dari Rasullah belum jelas mengenai berbuka puasanya seseorang, apakah
disebabkan melakukan sesuatu hal yang dilarang atau disebabkan hal lain masih
belum jelas. Sehingga dibutuhkan dalil yang lain untuk memperjelaskan.
e. Terdapat dhamir yang mejuruk kepada kalimat
sebelumnya yang mengandung dua kemungkinan,
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah salah seorang diantara kamu melarang tetangganya untuk menyadarkan
kayunya di dingding rumahnya (HR. Bukhari dan Muslim)”
Makna dalam “dinding rumahnya”
merupakanayat mutasyabihat ayat yang maknanya tersembunyi, hanya Allah
SWT yang mengetahui pasti maknanya.
f. Rasulullah SAW ketika dalam mengerjakan
sesuatu terdapat dua kemungkinan, namun tidak ada indikasi yang menunjukkan
bahwa salah satunya yang akan dituju.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah telah mengqasar
shalat dalam sebuah perjalanan (HR. Bukhari dan Muslim).Maksud dari perjalanan
diatas merupakan perjalanan jauh ataukah perjalanan dekat.Tidak ada sesuatu hal
yang menerangkan dalam hadits tersebut yang menunjukkan kemana rujukannya.
Maka, perlu dicarikan dalil lain untuk menjelaskannya.[13]
2.
Hukum Mengamalkan Mujmal
Hukum makna lafadz mujmal tidak dapat
dijadikan hujjah, dalam artian tidak bisa diamalkan sebelum adanya dalil yang
menjelaskannya. Maka, ketika tidak ada dalil yang menjelaskannya, maka lafadz
mujmal selamanya tidak akan bisa dijadikan sebagai hujjah ataupun tidak boleh
diamalkan.[14]
E.
Mubayyan
1.
Pengertian Mubayyan
Secara etimologi kata mubayyan merupakan
kebalikan dari mujmal, berarti sesuatu yang sudah jelas, maka dari itu tidak
membutuhkan kejelasan dari yang lainnya.
Secara istilah Ulama’ ahli dalam bidang ilmu
fiqh mendefinisikan mubayyan adalah suatu lafadz yang dilalahnya sudah terdapat
kejelasan dengan memperhatikan sebuah makna yang terkandung didalamnya.
Mubayyan merupakan lafadz yang sudah jelas
maknanya, sudah tidak membutuhkan kejelasan dari dalil atau lafadz yang lain.
2.
Macam-macam Mubayyan
Dilihat dari segi kejelasan makna, mubayyan
terdapat dua macam bentuk, yaitu diantaranya:
a. Al-Wadih bi Nafsihi
Merupakan lafadz yang sudah jelas maknanya
dari awal, yang tidak memerlukan penjelasan lafadz lainnya dalam penggunaan
lafadz ini.Selain itu dapat diketahui hanya dengan menggunakan akal,
sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
“….. dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami
berada disitu”.
Apabila diperhatikan menurut tatanan bahasa,
ayat tersebut telah memerintahkan kepada kampung, akan tetapi hal tersebut
tidaklah logis. Maka dari itu, akal memahami apa yang diperintahkan sebenarnya
bertanya kepada penduduk yang tinggal di kampung.
b. Al-Wadih bi Ghairihi
Apabila ingin mengetahui
maknanya, maka perlu bantuan oleh lafadz lain. Misalkan terdapat contoh pada
firman Allah SWT yang berbunyi:
“dan tunaikanlah hak nya dari memetik
hasilnya (dengan dikeluarkan zakat)”.
Kata “hak”
dalam lafadz tersebut mengandung makna sesuatu yang memiliki sifat, maka
penjelasannya dapat berupa kadar atau ukuran.
Dilihat dari tingkatannya terdapat lima
tingkatan mubayyan menurut Ulama’ Ushul Fiqh
a. Bayan al-ta’kid (nashnya sudah jelas)
Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman
Allah yang berbunyi:
“tetapi jika ia tidak
menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuada selama tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh hari yang sempurna”.
Allah telah menegaskan “itulah
sepuluh hari sempurna” menjelaskan penguat hukum yang terdapat dalam lafadz
ayat tersebut.penjelasan ini bisa difahami oleh orang awam.
b. Nash yang menjelaskan maksud pembicaraan
sebelumnya. Terkhususkan bayan ini, hanya kalangan Ulama’ yang dapat
mengetahuinya. Contohnya, maksud dari huruf wawu dan ilaa dalam ayat mengenai
perihal berwudhu’ sebagaimana Allah telah berfirman yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ
إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ.....
“Hai orang-oang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki QS.Al-Maidah: 6”
Dalam ayat tersebut Nabi
menjelaskan bahwa kedua siku dan kedua mata kaku dibasu ketika berwudhu’.Akan
tetapi, dalam ayat ini dipahami kedua siku dan kedua mata kaki merupakan batas
akhir yang dibasuh.
c. Nash sunnah yang menjelaskan hal yang
bersifat umum dalam Al-Qur’an. Sebagaimana Allah telah berfirman yang berbunyi:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ.....
“dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ QS. Al-Baqarah:
43”
Sesuatu yang dijelaskan Nabi, meskipun tidak
terdapat nashnya dalam Al-Qur’an, akan tetapi tidak dapat dilepaskan kaitannya
dengan Al-Qur’an.
d. Qiyash yang diistinbathkan dari Al-Qur’an dan
sunnah yang disebut dengan bayan al-isyarah.
Lafadz Mubayyan terhadap lafadz yang mujmal
Terdapat tujuh macam, penjelasan
dalil yaitu:
a. Penjelasan berdasakan perkataan
Kewajiban menunaikan ibadah puasa atas orang
yang sedang mengerjakan ibadah haji secara tamattu’
b. Penjelasan berdasakan tulisan
Nabi telah menulis surat yang dikirim menuju
daerah-daerah mengenai kadar dan pembagian zakat. Surat tersebut merupakan
penjelasan Rasulullah mengenai kemujmalan ayat zakat.
c. Penjelasan berdasarkan isyarat
Jumlah hari dalam bulan ramadhan sejumlah 30
hari atau 29 hari lamanya.Rasulullah mengangkat kedua tangannya dan
mengisyaratkan menggunakan jarinya, hal tersebut telah diulang sampai duakali,
selanjutnya yang terakhir Rasulullah telah menekuk salah satu ibu jarinya.Hal
itu telah menunjukkan sebuah isyarat jumlahnya hari dalam sebulan.
d. Penjelasan berdasarkan perbuatan
Rasullah telah menjelaskan sesuatu hal
misalnya puasa, haji, shalat , dan selanjutnya memberikannya contoh bagaimana
cara melakukannya, terdapat dalam hadits:
“Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku
shalat (HR. Bukhari)”
e. Penjelasan berdasarkan sikap diam
Nabi menjelaskan tentang wajibnya ibadah
haji, ketika itu ada seorang sahabat Nabi yang bertanya perihal berhaji, akan
tetapi Nabi hanya diam, diamnya Nabi tidak menjawab pertanyaan sahabatnya,
namun berhaji tidak wajib dilakukan setiap tahun.
f. Penjelasan berdasarkan meninggalkan sesuatu
Rasulullah meningkan wudhu’ terhadap makanan
yang dimasak dengan api.
g. Penjelasan berdasarkan mukhashsis-mukhashis
Terhadap dalil-dalil yang am sebagaimana
telah diterangkan pada bab tentang ayat am dank has.
KESIMPULAN
1.
Apabila suatu hukum diambil dari berdasarkan
bunyi suatu dalil, maka ini disebut mantuq.
2.
Sedangkan yang terkadang yang dimaksud oleh
sebuah lafaz, bukanlah yang terucap atau yang tersurat, akan tetapi yang dimaksud
ialah yang tersirat, maka yang seperti ini disebut dengan “Mafhum”.
3. Mujmal adalah sesuatu
yang belum jelas, sehingga membutuhkan penjelasan atau bayan (mubayyin) yang
mejelaskan rinci, dari ketidak jelasannya itu disebut ijmal. Penjelasannya
langsung berasal dari Allah dan Rasulullah.
4.
Mubayyan
merupakan kebalikan dari mujmal, berarti sesuatu yang sudah jelas, maka dari
itu tidak membutuhkan kejelasan dari yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Atabik
Ahmad.2015.Peranan Mantuq dan Mafhum Dalam Menetapkan Hukum Dari Al-Qur’an
Dan Sunnah.(Kudus: Yudisia)
Djalil
Basiq.2014..Ilmu Ushul Fiqih.(Jakarta: Pranadamedia Group)
Farid Naya.2013.Al-Mujmal
dan Al-Mubayyan dalam Kajian Ushul Fiqh.(IAIN Ambon: Jurusan Perbandingan
Madzab, Vol. IX No. 2, Desember)
Kartini.2017.Penerapan Lafazh Ditinjau Dari Segi
Dalalahnya Mantuq Dan mafhum, (Kendari: Jurnal Al-Adl)
Saeed
Ismaeel.2017.Ushul Fiqih Aplikatif,
(Malang Darul: Ukhuwwah Publisher)
Salmi Abbas.2014.Implikasi
Dalil Qath’I dan Zhanni Dalam Penerapan Hukum.(Media Hukum: Volume
XXIV,Nomor 1, Januari-Juni)
Wahhab
Abdul.1996.Kaidah-kaidah Hukum Islam.(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada)
Zein Ma’shum.2016.Menguasai Ilmu Ushul Fiqh.(Yogyakarta:
PT Lkis Printing Cemerlang)
Catatan:
1.
Similarity 6%
2.
Pendahuluan hendaknya
dibuat bebarap paragraf
3.
Penulisan footnote
jurnal berbeda dengan buku
4.
Penulisan format daftar
pustaka salah
5.
Referensinya cuma
delapan?
[1]
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Pranadamedia Group, 2014),
Hal.99.
[2]
Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta: PT Lkis Printing
Cemerlang, 2016), Hal.353-354.
[3]
Ahmad Atabik, Peranan Mantuq dan Mafhum Dalam Menetapkan Hukum Dari
Al-Qur’an Dan Sunnah, (Kudus: Yudisia, 2015), Hal.100-102.
[4]
Kartini, Penerapan Lafazh Ditinjau Dari Segi Dalalahnya Mantuq Dan mafhum,
(Kendari: Jurnal Al-Adl, 2017), Hal. 21.
[5]
Ahmad Atabik, Op. Cit., Hal. 103-104.
[6]
Basiq Djalil, Op. Cit., Hal. 99-100.
[7]
Ma’shum Zein, Op. Cit., Hal. 356.
[8]
Basiq Djalil, Op. Cit., Hal. 101-102.
[9]
Abdul Wahhab, Kaidah-kaidah Hukum Isla,(Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1996), Hal. 249-251.
[10]
Farid Naya, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam
Kajian Ushul Fiqh, (IAIN Ambon: Jurusan Perbandingan Madzab, Vol. IX No. 2,
Desember 2013), hlm. 188
[11]
Farid Naya, Ibid, hlm. 189
[12]
Saeed Ismaeel, Ushul Fiqih Aplikatif,
(Malang Darul: Ukhuwwah Publisher), hlm. 124
[13]
Salmi Abbas, Implikasi Dalil Qath’I dan
Zhanni Dalam Penerapan Hukum, (Media Hukum: Volume XXIV,Nomor 1,
Januari-Juni,2014),hlm. 205-209
[14]
Farid Naya, Lop.cit,hlm.199
Tidak ada komentar:
Posting Komentar