Rabu, 08 Mei 2019

Mantuq Mafhum, dan Mujmal Mubayyan (PAI A Semester genap 2018/2019)



Mantuq Mafhum, dan Mujmal Mubayyan
Oleh: Mariatul Lailiyah (16110023)
M. Iqbal Huda (16110035)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Kelas “A” Tahun 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Maik Ibrahim Malang
Abstract
Mantuqmafhum, and mubayyan are the mujmal must be studied in Usul Fiqh. Science mantuq, knowingly learn about the meaning of express, tersiratnya a resonate the Qur'an and As-Sunnah or the law which is explained by the same resonate with the sound of lafadznya as well as vice versa. Mujmal, mubayyan discusses a word that is still not clear when there is nothing more to explain, as well as the obvious Word doesn't need a clarity over the other.  A discussion of the above interrelated things. This article will discuss various mantuq. There are also two kinds of mafhum diantanya: muwafaqah and muhallafah. Further discussion of mujmal, the last discussion that is mubayyan there are seven kinds of them: by word, by deed, by a cue, leaving something, with silence, based on mukhashsis-mukhashis, and with write. So by writing articles is expected to understand Islamic law properly.
Key Word:Ushul Fiqh, Mantuq, Mafhum, dan Mujmal, Mubayyan
Abstrak
Mantuq mahfum, dan mujmal mubayyan merupakan hal yang harus dipelajari dalam ushul fiqih. Ilmu mantuq, mafhum mempelajari tentang makna yang tersurat, tersiratnya sebuah lafadz Al-Qur’an dan As-Sunnah atau hukum yang diterangkan oleh lafadz tersebut sama dengan bunyi lafadznya begitupun sebaliknya. Mujmal, mubayyan membahas sebuah kata yang masih belum jelas apabila tidak ada sesuatu yang lebih menjelaskan, serta kata yang sudah jelas tidak membutuhkan sebuah kejelasan dari yang lainnya.Pembahasan mengenai hal diatas saling berkaitan.Artikel ini akan membahas macam-macam mantuq yang terdiri dari tiga macam, mafhum juga terdapat dua macam diantanya: muwafaqah dan muhallafah. Selanjutnya pembahasan mujmal, pembahasan yang terakhir yaitu mubayyan terdapat tujuh macam diantaranya: dengan perkataan, dengan perbuatan, dengan sebuah isyarat, dengan meninggalkan sesuatu, dengan diam, berdasarkan mukhashsis-mukhashis, dan dengan tulisan. Sehingga dengan penulisan artikel ini diharapkan dapat memahami hukum Islam secara baik dan benar.
Kata Kunci: Ushul Fiqh, Mantuq, Mafhum, dan Mujmal, Mubayyan
A.    Pendahuluan
Pada zaman sekarang ini, terdapat banyak masalah hukum entah itu yang sudah ada dari dulu maupun yang baru-baru ada pada sekarang ini.Oleh karena itu ushul fiqh sangat dibutuhkan dalam menentukan hukum yang bersumber dari dalil naqli maupun dalil aqli.Ushul fiqh ialah suatu ilmu yang digunakan untuk memahami atau memaknai kata atau kalimat yang ada pada dalil naqli.Tentunya didalam Al-Qur’an maupun Al-Hadist, perlunya mengkaji secara benar agar mengetahui hukum yang telah ditetapkan.Di dalam Ushul fiqh banyak sekali tema-tema mengenai hukum-hukum dan pejelasan salah satunya yaitu; mantuq, mafhum, mujmal, mubayyan dan lain sebagainya. Disini selaku penulis akan menyampaikan pengertian, pembagian serta contoh dari mantuq, mafhum, mujmal, mubayyan agar kita bisa mengetahui apa yang dinamakan mantuq, mafhum, mujmal, mubayyan beserta contoh dan pembagiannya.

B.     Mantuq
1.      Pengertian
Mantuq secara bahasa bisa berarti, diucapkan, tersurat atau teks, dan lain-lain.Mantuq menurut istilah ushul fiqih ialah “Sesuatu yang di tunjuk oleh lafaz sesuai dengan teks ucapan itu”.[1]Jadinya ialah apabila suatu hukum diambil dari berdasarkan bunyi suatu dalil, maka ini disebut mantuq.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Qs. Al Baqarah: 183).
Dari ayat di atas, dikatakan bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu hukumnya wajib.Dan hukumnya wajib ini didasari oleh mantuqnya.[2]
2.      Macam-macam Mantuq
Ada tiga macam mantuq menurut ulama ushul fiqh yaitu,
a.       Nash, tidak memungkinkan ada unsur di takwil atau ada pengalihan makna. Sedangkan nash sendiri terbagi menjadi dua;
1.)    Sharih (jelas), apabila ada suatu lafadz yang menunjukkan dengan jelas dan tegas maknanya, baik yang maknanya itu sesuai dengan sepenuhnya teks (nash) ataupun yang hanya terkandung maknanya oleh nash. Maka yang seperti ini biasanya dinamakan ibarat al-nash.

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ

“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurn” (Qs. Al-Baqarah: 196).
Dari ayat di atas, penyifatan sepuluh telah dengan sempurna mengagalkan adanya kemungkinan sepuluh diartikan secara lain dengan majaz.
2.)    Ghairu Sharih (tidak jelas), adalah mantuq yang artinya tidak dari arti atau makna yang diletakkan untuknya, akan tetapi arti tersebut ialah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan darinya. Misalnya: sepuluh ialah arti angka di atasnya Sembilan dan dibawahnya sebelas. Akan tetapi, bisa saja angka sepuluh tersebut adalah bilangan genap. Itulah yang dinamakan mantuq ghairu sharih. Dan mantuq ghairu sharih sendiri dibagi menjadi tiga yaitu:
a.)    Dilalah ima’ atau disebut juga dengan dilalah tanbih, ialah suatu teks yang berbarengan dengan lafadz tertentu, apabila seandainya lafadz tersebut bukan sebab ketentuan dari suatu ayat, maka didalam teks penyebutannya tidak bermakna, dan yang seperti ini mustahil terdapat di firman Allah atau sabda Rasulullah Saw.
إِنَّ ٱلْأَبْرَارَ لَفِى نَعِيمٍ.....
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan berada di dalam kenikmatan” (Qs. Al-Infithar: 13).
Dari ayat diatas bermaksud bahwa mereka berada didalam kenikmatan sebagai imbalan atas kebajikan apa yang mereka perbuat. Intinya Allah Maha Adil setiap perbuatan manusia pasti ada balasannya yang diberikan oleh Allah atas perbuatan manusia itu sendiri.
b.)    Dilalah Iqtidha’, ialah petunjuk kebenaran suatu lafadz terhadap arti yang terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Atau dilalah yang mengharuskan mentaqdirkan lafadz yang terbuang, dikarenakan suatu nash tidak bisa di mengerti dengan benar menurut syara’ kecuali dengan mentaqdirkan lafadz yang terbuang itu.

….حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu ibu-ibu kamu” (Qs. An-Nisa: 23).
Dari ayat diatas membutuhkan kata-kata yang tidak diucapkan ialah kata “al-wath’u” atau bersetubuh.Sehingga ayat diatas memiliki makna “diharamkan bagi kamu bersenggama dengan ibu-ibu kamu”, sebab haramnya itu tidak didasari pada benda melainkan membutuhkan adanya “suatu perbuatan” (yang tidak disebutkan) yang berkaitan dengan haramnya tersebut.[3]
c.)    Dilalah Isyarah, ialah arti yang ditarik dari suatu lafadz, akan tetapi bukan itu yang dimaksud oleh lafadz, melainkan ia memiliki hubungan yang lazim dengan konteks uraiannya.

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Apabila kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja” (Qs. An-Nisa: 3).
Ayat diatas bermaksud bahwa seorang laki-laki yang pasti yakin tidak akan bisa berbuat adil bila mempunyai istri lebih dari satu, maka hukumnya tidak halal baginya. Penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa,ketika berbuat adil kepada istri hukumnya adalah wajib secara mutlak, begitupun sebaliknya apabila berbuat aniaya terhadap istri ialah haram.[4]
b.      Zhahir, ialah suatu lafadz yang menunjukkan suatu arti yang dapat segera dipahami ketika sudah diucapkan, akan tetapi memungkinkan disertai arti lain yang lemah (marjuh). Oleh karena itu, dzahir itu sama saja dengan nash didalam hal penunjukkannya terhadap makna yang berdasarkan pada ucapan. Akan tetapi, dalam konteks lain ini berbeda dengannya karena nash menunjukkan hanya satu makna saja secara tegas dan tidak memungkinkan akan menerima arti lain. Sedangkan dzahir, selain menunjukkan satu arti ketika sudah diucapkan, ia juga akan memungkinkan arti lain yang walaupun lemah.
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Baqarah: 173).
Lafadz “al-bagh” dipakai untuk arti “al-jahil” yang berarti bodoh dan tidak tahu dan “al-dhalim” yang berarti melampaui batas. Akan tetapi penggunaan untuk kedua arti ini lebih tegas dan populer sehingga arti inilah yang disebut kuat (rajah), sedangkan arti yang pertama lemah (marjuh).
c.       Muawwal, ialah suatu lafadz yang diartikan dengan arti marjuh atau lemah karena ada sesuatu dalil yang menghalangi maksud arti rajah atau kuat. Terdapat perbedaan antara muawwal dan dzahir; dzahir diartikan dengan arti yang rajah karena tidak ada dalil yang memalingkan kepada marjuh, begitu sebaliknya dengan muawwal diartikan dengan arti marjuh karena terdapat dalil yang memalingkan dari yang rajah.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan” (Qs. Al-Isra’: 24).
Lafadz janah aslinya memiliki arti sayap sedangkan dzull berarti rendah, akan tetapi ayat ini lebih condong diartikan dengan rendah hati, tawadhu’ kepada kedua orang tua, melainkan tidak diartikan dengan arti yang pertama.[5]

C.    Mafhum
1.      Pengertian
Mafhum secara bahasa bisa berarti, di faham, dan tersirat.Mafhum menurut istilah ushul fiqih adalah “Sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz di luar teks ucapan itu”. Maksudnya ialah suatu hukum yang di ambil tidak dari bunyi suatu dalil, akan tetapi dari makna yang tersimpan didalamnya.
… فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Janganlah kamu berkata “ah” terhadap kedua ibu dan bapak”. (Qs. Al-Isra’: 23).
Dari ayat diatas, tidak diperbolehkan mengatakan “ah” disebut mantuq, di sebut mantuq karena sesuai dengan lafaz ayat atau teks ayat.Adapun tidak diperbolehkannya memukul ibu bapak ialah hasil pemahaman dari larangan mengatakan “ah” di ayat tersebut, yang seperti ini disebut mafhum.
Jadi bisa dipahami lafadz adalah cetusan dari makna-makna.Terkadang maksud dari sebuah lafaz bisa sesuai dengan yang terucap atau yang tersurat secara jelas, maka yang seperti ini disebut dengan “Mantuq”. Dan sedangkan yang terkadang yang dimaksud oleh sebuah lafaz, bukanlah yang terucap atau yang tersurat, akan tetapi yang dimaksud ialah yang tersirat, maka yang seperti ini disebut dengan “Mafhum”.[6]
2.      Macam-macam Mafhum
Ada dua macam mafhum dalam ushul fiqh yaitu,
a.       Mafhum Muwafaqoh, “adalah mafhum yang apabila hukum-hukum yang tidak disebutkan dalam lafal itu cocok atau sesuai dengan yang disebutkan dalam lafal tersebut tidak berlawanan”.
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka janganlah engkau berkata hus kepada kedua orang tua (QS. al-Isra’: 23).
Dari ayat di atas ada kesamaan antara “memukul” dan berakata hus dalam hal ini sama dengan menyakiti hati atau suatu penghinaan, oleh karena itu berkata hus saja sudah tidak boleh (haram) apalagi memukul.[7]Mafhum Muwafaqoh dapat di bagi menjadi menjadi dua bentuknya;
1.)    Fakhwal Kitab,”yakni yang mana kadar mafhumnya lebih tinggi daripada mantuqnya”. Contoh seperti, memukul dengan berbicara hus. Qadar mafhumnya pada surah al-Isra’ ayat 23 yakni, “tidak boleh memukul” yang dimana lebih tinggi qadar menyakitkannya daripada berbicara “ah”.
2.)    Lahnul Kitab, “yakni mafhum yang mana kadar mafhumnya sama dengan kadar mantuq.”
Contoh:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”
Dari ayat diatas, mantuqnya ialah melarang memakan harta anak yatim dan mafhumnya ialah melarang membakar harta anak yatim. Dalam hal ini disini kadar mantuq dan mafhumnya yaitu sama (memakan dan membakar) yang mengandung sifat sama-sama menghabiskan.[8]
b.      Mafhum Mukhalafah, “ialah pemahaman yang apabila hukum yang tidak disebutkan di dalam lafal itu berlawanan dengan apa yang disebut dalam lafal tersebut.”
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
“Maka cambuklah mereka itu 80 kali (bagi orang yang mendakwa berbuat zina, sedang pendakwa tidak bisa mendatangkan saksi). QS. an-Nur: 4).
Mafhum mukhalafah, hukumnya haram apabila memukul lebih dari 80 kali pukulan, karena sudah tidak sesuai atau berlawanan dengan apa yang tersirat di dalam ayat tersebut. Dengan demikian bahwasannya hukum memukul lebih dari 80 pukulan adalah haram.Yang seperti ini biasanya dikenal dengan sebutan dalil al-khithab.
Menurut para ahli Mafhum Mukhalafah dibagi menjadi beberapa macam yaitu;
1.)    Mafhum Washaf, seperti yang dijelaskan di Al-Qur’an mengenai hal-hal yang diharamkan.
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)”.   (QS. An-Nisa: 23).
Mafhum mukhalafah dari ayat diatas adalah hal anak-anak yang bukan berasal dari sulbi sendiri, seperti anak susuan.
2.)    Mafhum Ghayah
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230).
Mafhum mukhalafah dari ayat diatas adalah istri yang sudah ditalak tiga, maka sudah bukan suaminya lagi yang mentalakinya itu.
3.)    Mafhum Syarat
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ
“Dalam jika mereka (isteri-isterimu yang sudah ditalak) sedang hamil maka nafkahilah mereka itu” (QS. At-Talaq: 6).
Mafhum mukhalafah dari ayat diatas adalah jika isteri-isteri itu tidak hamil.
4.)  Mafhum Adad
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera” (QS. An-Nur: 4).
Mafhum Mukhalafah dari ayat diatas adalah paling sedikit dera itu delapan puluh kali.
5.)    Mafhum Laqob
Seperti firman Allah: “Muhammad adalah utusan Allah”. Mafhum Mukhalafahnya yaitu selain Muhammad. Dan seperti sabda Rasulullah Saw: “gandum adalah termasuk jenis yang harus dikeluarkan zakatnya”. Mafhum mukhalafahnya, ialah selain gandum.[9]

D.    Mujmal
1.      Pengertian
Mujmal secara etimologi merupakan suatu hal kurang jelas (masih bersifat umum, dan juga samar-samar).[10]Maksud dari kurang kejelasan tersebut, tidak dapat memberikan arti yang sebenarnya,sehingga harus ditafsiri, difikir, dan diteliti lebih mendetail.
Mujmal menurut istilah adalah sesuatu yang belum jelas, sehingga membutuhkan penjelasan atau bayan (mubayyin) yang mejelaskan rinci, dari ketidak jelasannya itu disebut ijmal.Penjelasannya langsung berasal dari Allah dan Rasulullah.[11]Kesusahan memahami lafadz tersebut bukan berasal dari lafadz lainnya, melainkan dari lafadz itu sendiri.
Mujmal merupakan terdapat dalil, salah satu lafadz yang belum jelas maknanya, dan membutuhkan penjelasan dari lafadz yang lain.
Ada perbedaan pendapat menurut sebagian ulama ushul fiqh dalam memberikan pengertian mujmal.Menurut jumhur ulama’ mujmal merupakan perkataan dan perbuatan kurang jelas petunjuknya.Apabila menurut madzah hanafiyah, mujmal adalah lafadz yang tidak dapat difahami apabila diberikan kejelasan dari mujmalnya tersebut. Pendapat ulama’ yang menyatakan bahwasannya terdapat enam penyebab terjadinya lafadz mujmal yaitu:
a.       Makna lafadz kandungannya tidak jelas
Sebagaimana Allah telah berfirman sebagai berikut:

وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِه.....ِ….
“….dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya dengan mengeluarkan zakat…QS. Al-An’am 6: 141”
Makna lafadznya “haknya” sudah cukup jelas akan tetapi terdapat ketidak jelasan jenis dan kualitasnya, sehingga diperlukan adanya dalil lain untuk memperjelas.
b.      Makna lafadznya kandungannya musytarak (makna lebih dari satu)[12]
Allah telah berfirman sebagai berikut:
...... وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ QS.Al-Baqarah: 228”
Lafadz quru mengandung dua artian, menurut Imam Syafi’i arti tersebut suci dan menurut Imam Abu Hanifah artinya haid. Jika memilih salah satu makna maka, harus diperjelas dengan dalil lainnya dari kalamullah, as-sunnah, dan ijtihad.
c.       Masuknya huruf istisna
Allah telah berfirman sebagai berikut:
Makna lafadz “kecuali yang akan dibacakan kepadamu….” Contoh tersebut tidak jelas maksudnya akan tetapi, makna lafadz tersebut dijelaskan Allah SWT dalam ayat yang sama, yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ......
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, yang disembelih dengan nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kau sembelihnya….QS.Al-Maidah 5: 3”
Maksud dari kata yang digaris bawah tersebut adalah jenis-jenis binatang yang haram untuk dimakan sebagaimana terdapat dalam surah al-maidah: 3
d.      Rasulullah telah menetapkan hukum pada kasus, namun keputusan tersebut mengandung beberapa hal kemungkinan. Jadi, harus difahamkan melalui dalil yang lain
“Rasulullah memperbolehkan seseorang berbuka puasa pada bulan Ramadhan dengan tujuan memerdekakan budak, apabila tidak mampu melakukannya maka berpuasa berturut-turut selama dua bulan. Apabila masih belum mampu juga, memberkan makanan orang miskin sebanyak enam puluh (HR.Bukhari dan Muslim)”
Termasuk dalam mubayyan karena penetapan hukum dari Rasullah belum jelas mengenai berbuka puasanya seseorang, apakah disebabkan melakukan sesuatu hal yang dilarang atau disebabkan hal lain masih belum jelas. Sehingga dibutuhkan dalil yang lain untuk memperjelaskan.
e.       Terdapat dhamir yang mejuruk kepada kalimat sebelumnya yang mengandung dua kemungkinan,
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah salah seorang diantara kamu melarang tetangganya untuk menyadarkan kayunya di dingding rumahnya (HR. Bukhari dan Muslim)”
Makna dalam “dinding rumahnya  merupakanayat mutasyabihat ayat yang maknanya tersembunyi, hanya Allah SWT yang mengetahui pasti maknanya.
f.       Rasulullah SAW ketika dalam mengerjakan sesuatu terdapat dua kemungkinan, namun tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa salah satunya yang akan dituju.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah telah mengqasar shalat dalam sebuah perjalanan (HR. Bukhari dan Muslim).Maksud dari perjalanan diatas merupakan perjalanan jauh ataukah perjalanan dekat.Tidak ada sesuatu hal yang menerangkan dalam hadits tersebut yang menunjukkan kemana rujukannya. Maka, perlu dicarikan dalil lain untuk menjelaskannya.[13]
2.      Hukum Mengamalkan Mujmal
Hukum makna lafadz mujmal tidak dapat dijadikan hujjah, dalam artian tidak bisa diamalkan sebelum adanya dalil yang menjelaskannya. Maka, ketika tidak ada dalil yang menjelaskannya, maka lafadz mujmal selamanya tidak akan bisa dijadikan sebagai hujjah ataupun tidak boleh diamalkan.[14]
E.     Mubayyan
1.      Pengertian Mubayyan
Secara etimologi kata mubayyan merupakan kebalikan dari mujmal, berarti sesuatu yang sudah jelas, maka dari itu tidak membutuhkan kejelasan dari yang lainnya.
Secara istilah Ulama’ ahli dalam bidang ilmu fiqh mendefinisikan mubayyan adalah suatu lafadz yang dilalahnya sudah terdapat kejelasan dengan memperhatikan sebuah makna yang terkandung didalamnya.
Mubayyan merupakan lafadz yang sudah jelas maknanya, sudah tidak membutuhkan kejelasan dari dalil atau lafadz yang lain.
2.      Macam-macam Mubayyan
Dilihat dari segi kejelasan makna, mubayyan terdapat dua macam bentuk, yaitu diantaranya:
a.       Al-Wadih bi Nafsihi
Merupakan lafadz yang sudah jelas maknanya dari awal, yang tidak memerlukan penjelasan lafadz lainnya dalam penggunaan lafadz ini.Selain itu dapat diketahui hanya dengan menggunakan akal, sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
“….. dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu”.
Apabila diperhatikan menurut tatanan bahasa, ayat tersebut telah memerintahkan kepada kampung, akan tetapi hal tersebut tidaklah logis. Maka dari itu, akal memahami apa yang diperintahkan sebenarnya bertanya kepada penduduk yang tinggal di kampung.
b.      Al-Wadih bi Ghairihi
Apabila ingin mengetahui maknanya, maka perlu bantuan oleh lafadz lain. Misalkan terdapat contoh pada firman Allah SWT yang berbunyi:
“dan tunaikanlah hak nya dari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakat)”.
Kata “hak” dalam lafadz tersebut mengandung makna sesuatu yang memiliki sifat, maka penjelasannya dapat berupa kadar atau ukuran.
Dilihat dari tingkatannya terdapat lima tingkatan mubayyan menurut Ulama’ Ushul Fiqh
a.       Bayan al-ta’kid (nashnya sudah jelas)
Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah yang berbunyi:

“tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuada selama tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna”.
Allah telah menegaskan “itulah sepuluh hari sempurna” menjelaskan penguat hukum yang terdapat dalam lafadz ayat tersebut.penjelasan ini bisa difahami oleh orang awam.

b.      Nash yang menjelaskan maksud pembicaraan sebelumnya. Terkhususkan bayan ini, hanya kalangan Ulama’ yang dapat mengetahuinya. Contohnya, maksud dari huruf wawu dan ilaa dalam ayat mengenai perihal berwudhu’ sebagaimana Allah telah berfirman yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ.....
“Hai orang-oang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki QS.Al-Maidah: 6”

Dalam ayat tersebut Nabi menjelaskan bahwa kedua siku dan kedua mata kaku dibasu ketika berwudhu’.Akan tetapi, dalam ayat ini dipahami kedua siku dan kedua mata kaki merupakan batas akhir yang dibasuh.
c.       Nash sunnah yang menjelaskan hal yang bersifat umum dalam Al-Qur’an. Sebagaimana Allah telah berfirman yang berbunyi:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ.....
“dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ QS. Al-Baqarah: 43”
Sesuatu yang dijelaskan Nabi, meskipun tidak terdapat nashnya dalam Al-Qur’an, akan tetapi tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan Al-Qur’an.
d.      Qiyash yang diistinbathkan dari Al-Qur’an dan sunnah yang disebut dengan bayan al-isyarah.
Lafadz Mubayyan terhadap lafadz yang mujmal
Terdapat tujuh macam, penjelasan dalil  yaitu:
a.       Penjelasan berdasakan perkataan
Kewajiban menunaikan ibadah puasa atas orang yang sedang mengerjakan ibadah haji secara tamattu’
b.      Penjelasan berdasakan tulisan
Nabi telah menulis surat yang dikirim menuju daerah-daerah mengenai kadar dan pembagian zakat. Surat tersebut merupakan penjelasan Rasulullah mengenai kemujmalan ayat zakat.
c.       Penjelasan berdasarkan isyarat
Jumlah hari dalam bulan ramadhan sejumlah 30 hari atau 29 hari lamanya.Rasulullah mengangkat kedua tangannya dan mengisyaratkan menggunakan jarinya, hal tersebut telah diulang sampai duakali, selanjutnya yang terakhir Rasulullah telah menekuk salah satu ibu jarinya.Hal itu telah menunjukkan sebuah isyarat jumlahnya hari dalam sebulan.
d.      Penjelasan berdasarkan perbuatan
Rasullah telah menjelaskan sesuatu hal misalnya puasa, haji, shalat , dan selanjutnya memberikannya contoh bagaimana cara melakukannya, terdapat dalam hadits:
“Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat (HR. Bukhari)”
e.       Penjelasan berdasarkan sikap diam
Nabi menjelaskan tentang wajibnya ibadah haji, ketika itu ada seorang sahabat Nabi yang bertanya perihal berhaji, akan tetapi Nabi hanya diam, diamnya Nabi tidak menjawab pertanyaan sahabatnya, namun berhaji tidak wajib dilakukan setiap tahun.
f.       Penjelasan berdasarkan meninggalkan sesuatu
Rasulullah meningkan wudhu’ terhadap makanan yang dimasak dengan api.
g.      Penjelasan berdasarkan mukhashsis-mukhashis
Terhadap dalil-dalil yang am sebagaimana telah diterangkan pada bab tentang ayat am dank has.


KESIMPULAN
1.      Apabila suatu hukum diambil dari berdasarkan bunyi suatu dalil, maka ini disebut mantuq.
2.      Sedangkan yang terkadang yang dimaksud oleh sebuah lafaz, bukanlah yang terucap atau yang tersurat, akan tetapi yang dimaksud ialah yang tersirat, maka yang seperti ini disebut dengan “Mafhum”.
3.      Mujmal adalah sesuatu yang belum jelas, sehingga membutuhkan penjelasan atau bayan (mubayyin) yang mejelaskan rinci, dari ketidak jelasannya itu disebut ijmal. Penjelasannya langsung berasal dari Allah dan Rasulullah.
4.      Mubayyan merupakan kebalikan dari mujmal, berarti sesuatu yang sudah jelas, maka dari itu tidak membutuhkan kejelasan dari yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Atabik Ahmad.2015.Peranan Mantuq dan Mafhum Dalam Menetapkan Hukum Dari Al-Qur’an Dan Sunnah.(Kudus: Yudisia)
Djalil Basiq.2014..Ilmu Ushul Fiqih.(Jakarta: Pranadamedia Group)
Farid Naya.2013.Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam Kajian Ushul Fiqh.(IAIN Ambon: Jurusan Perbandingan Madzab, Vol. IX No. 2, Desember)
Kartini.2017.Penerapan Lafazh Ditinjau Dari Segi Dalalahnya Mantuq Dan mafhum, (Kendari: Jurnal Al-Adl)
Saeed Ismaeel.2017.Ushul Fiqih Aplikatif, (Malang Darul: Ukhuwwah Publisher)
Salmi Abbas.2014.Implikasi Dalil Qath’I dan Zhanni Dalam Penerapan Hukum.(Media Hukum: Volume XXIV,Nomor 1, Januari-Juni)
Wahhab Abdul.1996.Kaidah-kaidah Hukum Islam.(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada)
Zein Ma’shum.2016.Menguasai Ilmu Ushul Fiqh.(Yogyakarta: PT Lkis Printing Cemerlang)

Catatan:
1.      Similarity 6%
2.      Pendahuluan hendaknya dibuat bebarap paragraf
3.      Penulisan footnote jurnal berbeda dengan buku
4.      Penulisan format daftar pustaka salah
5.      Referensinya cuma delapan?



[1] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Pranadamedia Group, 2014), Hal.99.
[2] Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta: PT Lkis Printing Cemerlang, 2016), Hal.353-354.
[3] Ahmad Atabik, Peranan Mantuq dan Mafhum Dalam Menetapkan Hukum Dari Al-Qur’an Dan Sunnah, (Kudus: Yudisia, 2015), Hal.100-102.
[4] Kartini, Penerapan Lafazh Ditinjau Dari Segi Dalalahnya Mantuq Dan mafhum, (Kendari: Jurnal Al-Adl, 2017), Hal. 21.
[5] Ahmad Atabik, Op. Cit., Hal. 103-104.
[6] Basiq Djalil, Op. Cit., Hal. 99-100.
[7] Ma’shum Zein, Op. Cit., Hal. 356.
[8] Basiq Djalil, Op. Cit., Hal. 101-102.
[9] Abdul Wahhab, Kaidah-kaidah Hukum Isla,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), Hal. 249-251.
[10] Farid Naya, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam Kajian Ushul Fiqh, (IAIN Ambon: Jurusan Perbandingan Madzab, Vol. IX No. 2, Desember 2013), hlm. 188
[11] Farid Naya, Ibid, hlm. 189
[12] Saeed Ismaeel, Ushul Fiqih Aplikatif, (Malang Darul: Ukhuwwah Publisher), hlm. 124
[13] Salmi Abbas, Implikasi Dalil Qath’I dan Zhanni Dalam Penerapan Hukum, (Media Hukum: Volume XXIV,Nomor 1, Januari-Juni,2014),hlm. 205-209
[14] Farid Naya, Lop.cit,hlm.199

Tidak ada komentar:

Posting Komentar