(PEMIKIRAN KONSEP JILBAB MENURUT SYAHRUR)
Nur Rofiqoh (16110206)
Haristi
Fadhillah (16110175)
PAI B 2016
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Abstract
This article will discuss Syahrur's opinion on the concept of
headscarves. Muhammad Syahrur ibn Dayb himself was born in the Salihiyyah city
of Damascus, Syria on 11 April 1938. Syahrur is one of the most famous figures
for his thoughts and works. One of the many discussions examined by experts,
scientists, scholars and others is his opinion about the headscarf. In general
the creed's opinion with the Ulema 'ushul fiqh is different. Syahrur argues
that what makes the law human, Allah Almighty gives a halal-haram limit, while
humans and the Prophet make orders or prevention, prohibitions, acquisition in
the halal region caused by demands of situations and conditions. While in depth
about the hijab, Syahrur related the concept of the headscarf to the issue of women's
clothing. According to Syahrur the verses that discuss libas al-mar'ah can be
included in the verse muhkamat (verses of the law), so it must use the method
of ijtihad through a hudud and tartil theory approach if we want to interpret
it methodologically. The definition of clothing (al libas) itself according to
Syahrur consists of three letters, namely lam, ba, and sin which means cover
and cover. And seen from the meaning of denotative al libas has the meaning of
the clothes worn. While the definition of Aurat (As Saw'ah) is not much
different from the understanding of al libas. The word as saw'ah By denotative
or clear, while connotatively this word has aurat, which is aurat which is a
body part that cannot be opened to be shown. Likewise seen from the history of
Hijab according to Syahrur, the pensi religious tradition is the one who used
to wear headscarves by covering all of his limbs from head to toe. Because the
nation positioned women as unclean living things, so only free people were
allowed, and female slaves or ordinary women were not allowed to wear them.
While seen from jewelry according to Syahrur mahram from a woman or anyone who
is allowed to see women's jewelry (jewelry that is worn here is jewelry that
looks like, back, two legs, stomach, head, and two hands).
Abstrak
Artikel ini akan membahas tentang pendapat Syahrur mengenai konsep
jilbab. Muhammad Syahrur ibn Dayb sendiri lahir di salihiyyah kota Damaskus,
Syiria pada 11 April 1938. Syahrur merupakan salah satu tokoh yang sangat terkenal
karena pemikiran dan karya-karyanya.Salah satu pembahasan yang banyak dikaji
oleh para pakar, ilmuan, cendekiawan dan lainnya adalah pendapatnya tentang
Jilbab.Secara umum pendapat syahrur dengan Ulama’ ushul fiqih berbeda. Syahrur
berpendapat bahwa yang membuat hukum
adalah manusia, Allah swt memberi batasan halal-haram, sedangkan manusia dan
Nabi saw melakukan perintah atau pencegahan, larangan, pembolehan dalam wilayah
halal yang disebabkan karena tuntutan situasi dan kondisi. Sedangkan secara mendalam
tentang jilbab, Syahrur mengaitkan konsep jilbab dengan masalah pakaian
perempuan.Menurut Syahrur ayat-ayat yang membahas tentang libas al-mar’ah bisa
masuk kedalam ayat muhkamat (ayat-ayat hukum), sehingga harus menggunakan
metode ijtihad melalui pendekatan teori hudud dan tartil jika kita ingin
menafsirkan nya secara metodologi.Definisi pakaian (al libas) sendiri menurut
Syahrur terdiri dari tiga huruf, yakni lam, ba, dan sin yang memiliki arti
tutup dan menutupi. Dan dilihat dari makna denotative al libas memiliki makna baju yang dikenakan. Sedangkan
definisi Aurat (As Saw’ah) tidak jauh berbeda dengan pengertian al libas.Kata
as saw’ah Secara denotatif atau jelas,
sedangkan secara konotatif kata ini memiliki aurat, yang mana aurat itu adalah
bagian tubuh yang tidak boleh dibuka untuk diperlihatkan. Begitupula dilihat
dari sejarah Hijab menurut Syahrur tradisi agama pensi-lah yang biasa
menggunakan pakaian jilbab dengan cara menutup seluruh anggota tubuhnya dari
kepala sampai kaki. Karena bangsa tersebut memposisikan wanita sebagai makhluk
hidup yang tidak suci, sehingga hanya orang merdeka yang boleh, dan para budak
wanita ataupun wanita biasa tidak diperbolehkan untuk memakainya. Sedangkan
dilihat dari perhiasan menurut Syahrur
mahram dari seorang wanita atau siapa saja yang diperbolehkan melihat perhiasan
wanita (perhiasan yang dimaksutkan disini adalahv perhiasan yang nampak
Seperti, punggung, dua kaki, perut, kepala, dan dua tangan).
A.
Pendahuluan
Sebagian orang pemikir muslim kontemporer yang memiliki pemikiran
dan ide-ide brilian dibidang kajian Islam adalah Muhammad Syahrur.
Pemikiran-pemikirannya berfokus pada bagaimana membaca, memahami, menafsirkan
Al-Qur’an dan terus menggali ketentuan-ketentuan hukum yang ada didalamnya.Dengan
dorongan dari keprihatinannya pada kondisi umat Islam saat ini yang cenderung
terbelakang, dan gagap terhadap persoalan keagamaan di era modern ini, Syahrur
bersungguh-sungguh dalam mengkaji Islam. Meskipun ia tidak memiliki basis
keilmuan yang mendalam selayaknya para pemikir lainnya.
Maraknya isu yang terus ramai dalam kajian fikih kontemporer adalah
isu tentang gender, yang mana salah satunya didalamnya membahas tentang konsep
jilbab yang menjadi topik perbincangan yang tak kunjung usai.Masalah wajib
tidaknya seorang wanita dalam menggunak jilbab, lalu aurat bagian manakah yang
harus ditutupi agar tidak terlihat oleh orang yang bukan mahramnya masih sangat
hangat untuk diperbincangkan dan diamati.Banyak metode dan pendekatan yang
dilakukan oleh para ulama dalam menjelaskan masalah tersebut.Namun, hal
tersebut tidak bisa memberhentikan usaha pengembangan metodologi penggalian
hukum dengan tujuan untuk mengembangkan kajian fikih kontemporer yang mana hal
ini bisa digunakan untuk menjawab tantangan zaman.Dari hal ini, semangat yang
dilakukan Syahrur, seorang pemikir dari Arab-Syiria, yang mencoba membuat teori
batas (nazariyyah al huddud) dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran tentang
masalah jilbab.[1]
Tulisan ini mencoba mengkaji pemikiran-pemikiran Syahrur terhadap
teori hudud-nya mengenai jilbab yang saat ini menjadi tranding
topik atas berbagai model jilbab yang
dipakai seorang perempuan/wanita.Teori tersebut dicetuskan sebagai sebagian
upaya pembaharuan dalam bidang pemikiran hukum Islam.
B.
Biografi
Muhammad Syahrur ibn Dayb lahir di salihiyyah kota Damaskus, Syiria, pada tanggal 11 April1938. Lembaga pendidikan Abdurrahman
al-Kawakibi yang terletak di al-Midan, sebelah selatan kota Damaskus adalah dimana Shahrur menyelesaikan pendidikan
dasar dan menengahnya pada tahun 1945 sampai 1957. Sedangkan pendidikan tinggi Syahrur di Moscow Uni Soviet, ia meraih gelar
Diploma teknik sipil pada tahun 1964. Setelah meraih gelarnya di MoscowInstitute of Engineering di
Saratow Moscow, dalam bidang
tehnik sispil dengan beasiswa dari pemerintah sejak tahun 1959 sampai 1964.
Setelah lulus Syahrur menjadi dosen di Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Lalu melanjutkan studi master dan doktor dalam
bidang Mekanika Pertanahan Dan Fondasi di Universitas Nasional Irlandia, ia berhasil merai gelar
masternya pada tahun 1969, dan gelar doktornya pada tahun 1972 dalam bidang Mekanika Tanah dan Tehnik Fondasi.[2]
Tulisan-tulisannya dalam bidang teknik banyak tersebar di Damaskus,
dan dalam kajian keislamannya sangat tinggi.Hal tersebut juga didukung oleh
kemampuannya dalam menguasai beberapa bahasa asing seperti bahasa Arab, bahasa
Rusia, dan bahasa Inggris. Syahrur juga meminati bidang lain yaitu Filsafat Humanisme,
Filsafat Bahasa khususnya dalam linguistic kontemporer dan distematika Bahasa
Arab. Pertemuannya dengan Ja’far Dabb
al-Bab, yaitu rekan sekaligus seseorang yang dianggap sebagai gurunya di bidang
linguistic yang membuat Syahrur mulai mendalami kajian Filsafat Bahasa di
Moskow. Dari pertemuan itulah menjadi pengaruh yang cukup berarti bagi sebuah
karya-karya Syahrur yang monumental dan kontroversial sehingga karya tersebut
terwujudkan. Karyanya yaitu al-Kitab wa Al-Qur’an: Qora’ah Muashirah
(1990).[3]Karyanya
yang dekontruktif namun rekonstruktif memunculkan tudingan-tudingan dari
beberapa kalangan yang menuding bahwa Syahrur adalah agen Zionis, Bahkan
penjual buku di Kuwait beranggapan bahwa karya tersebut lebih bahaya
dibandingkan buku Satanic Verses-nya Salman Rusdi.Sehingga pemerintah Saudi
Arabiah, Mesir, Qatar menyatakan secara resmi melarang peredaran buku tersebut.[4]
Dengan pemikiran-pemikiran Syahrur melalui karyanya yang
monumental, secara tahapan dibagi menjadi 3 fase:[5]
1. pada tahun 1970-1980 Syahrur mengkaji masalah tentang az-Zikr (metodologi,
istilah-istilah pokok, pemahaman tentang risalah dan kenabian). Fase ini
dimulai sejak Syahrur mengambil studi di Dublin, Irlandia. Dari kajiannya
tersebut, Syahrur melihat bahwa kajiannya terjebak dalam tradisi taklid dan
penjelasannya menoton pada tradisi terdahulu. Begitu juga dengan kajian tradisi
kalam dan fiqh. Kajian tradisi kalam terjebak pada tradisi pemikiran Asy’ariah
atau Mu’tazilah, sedangkan yang kajian fiqih terjebak dalam pemikiran al-fiwaha’
al-khamsa.
2. pada tahun 1980-1986, pada fase ini dimulai sejak Syahrur bertemu
dengan Ja’far Dak al-Bab. Ja’far memperkenalkan pemikiran-pemikiran Al-Farabi,
Abu Ali- al-Farisiy dan muridnya, Ibn Jinny dan Abd al-Qohar al-Jurjaniy, kepada
Syahrur. Sehingga Syahrur memahami berbagai permasalahan bahasa bahwa lafaz itu
mengikuti makna, jadi bahasa arab adalah bahasa yang mana bahasa tersebut tidak
mengeal sinonim (muradhif). Dari situlah Syahrur mengadakan kajian
intensif pada mushaf, yang berupa
istilah pokok al-Qur’an seperti al-imam al-mubin, al-kitab, al-furqan,
al-Qur’an, az-Zikr, amm al-kitab,al-lauh al-mahfuz.
3. Tahun 1986-1990 pemikirannya bersama Ja’far dituliskan dalam sebuah
buku dan diterbitkan pada tahun 1990. Syahrur perlu memilah-milah bagian demi
bagian karena hal tersebut merupakan pekerjaan yang tidak mudah, dalam bab satu
saja yang mencakup 200 halaman baru terselesaikan selama satu tahun dari tahun
1986-1987. Sedangkan buku yang diluncurkan baru terselesaikan pada tahun 1988
dengan 800-an halaman.
C.
Pandangan
hukum Islam menurut Syahrur
Menurut Syahrur Definisi hukum Islam adalah hukum yang manusiawi,
penuh keragaman dalam cakupan batas (hudud) Allah dan dibangun diatas hudud
Allah. Pendapat syahrur dengan Ulam’ ushul fiqih berbeda, Syahrur berpendapat
bahwa yang membuat hukum adalah manusia.
Allah swt memberi batasan halal-haram, sedangkan manusia dan Nabi saw melakukan
perintah atau pencegahan, larangan, pembolehan dalam wilayah halal, disebabkan
karena tuntutan situasi dan kondisi. Pandangan fiqih Islam menurut Syahrur
belum sepenuhnya tersusun oleh kematangan manusia, namun tersusun berdasarkan
asumsi bahwa syari’at Islam ‘ayni bukan
hududi. Syahrur memiliki paradigma hukum Islam bahwa apabila ulama’ memandang
hukum sebagai titah ilahi yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukallaf, maka Syahrur memandangnya hukum tersebut sebagai hukum sipil buatan
manusia yang satu sisi mengindahkan titah ilah, sedangkan disisi lain
memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat.[6]
D.
Pengertian
Hudud
Teori hudud adalah suatu teori baru dalam kajian fiqih kontemporer
dalam karya syahrur. Karyanya yang berupa al-Kitab wa al-Qur’an: al-Qira’ah
al-Mu’asirah yaitu teori limit (Teori Batas/Nazariyyat al-Hudud). Teori
tersebut merupakan salah satu pendekatan Syahrur untuk berijtihad dalam
mengkengkaji ayat-ayat yang berupa pesan hukum dalam al-Qur’an. Teori limit
(hudud) ini digunakan Syahrur yang mengacu pada ketetapan Allah yang tidak
boleh dilanggar, namun terdapat wilayah ijtihad yang bersifat elastis,
fleksibel, dinamis.[7]Teori
hudud memiliki karakteristik yang berbeda dengan para fuqaha. Kata hudud
jamak dari kata had, secara bahasa berari pemisah, batas, atau larangan.
Para fuqaha terkadang menggunakan kata hudud sebagai hukuman (‘uqubah) yang berupa
kejahatan dan sudah ditentukan oleh Allah swt yang bersifat tetap dan pasti. Menurut Syahrur hudud merupakan
bentuk hukuman yang bersifat fleksibel, longgar, dan berlaku untuk berbagai
macam kejahatan, baik yang sudah ditentukan didalam al-Qur’an maupun belum
ditentukan. Adanya teori hudud dibangun atas asumsi Syahrur bahwa
risalah Islam yang di bawa Nabi Muhammad bersifat dinamis sehingga akan tetap
relavan pada setiap zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan).
Menurut Syahrur Risalah Islam terdapat dua aspek yaitu istiqamah (gerak
konstan) dan aspek hanifiyyah/ at-taghayyur (gerak dinamis) yang menjadikan
ajaran Islam menjadi fleksibel dan dinamis.Namun tetap berada didalam bingkai hududullah
(batas-batas hukum Allah). Sehingga para mujtahid memiliki ruang lingkup yang cukup
luas untuk berijtihad sesuai dengan kondisi sosial yang ada disekitarnya.[8]
E.
Batas-batas
dalam penetapan hukum
1.
Posisi Batas Minimal
Batas minimal terdapat pada surah an-Nisa’ ayat 22-23 yang
berhubungan dengan pihak yang haram dinikahi.Allah swt menetapkan batas minimal
dalam dua ayat tersebut bahwa perempuan yang haram dinikahi yaitu terdiri dari
keluarga dekat.Meskipun berada didalam situasi apapun atau didasarkan pada
ijtihat seseorang dilarang melanggar batas minimal ini.Diperbolehkannya
berijtihad pada usaha memperluas pihak yang diharamkan. Contohnya jika dokter
membuktikan bahwa pernikahan dengan kerabat terdekat akan berdampak negative
pada keturunan dan pembagian harta. Maka diperbolehkannya ijtihad dalam bentuk
menetapkan peraturan yang melarang pernikahan dengan kerabat terdekat asalkan
mujtahid memiliki data dan bukti yang valid. Seperti hasil dari analisis laboraturium dengan hasil
survey keluarga yang mendukung di perbolehkannya nikah dengan kerabat terdekat.[9]Batas
minimal dalam teori Syahrur bisa diagambarkan sebagai berikut:
y
Y
= F (X) Garis batas minimal
Selain surah
an-Nisa’ ayat 22-23 yang miliki batas minimal, ada juga yang terdapat pada
surah al-An’am ayat 19-145 tentang makanan-makanan yang diharamkan, dan surah
an-Nur ayat 31 berbicara tentang pakaian perempuan.
Jadi dalam
batas minimal ini manusia tidak boleh menetapkan hukum yang sudah ditetapkan
dalam al-Qur’an dan berada dibawah ketentuan minimal, tetapi ia boleh
menetapkan hukum lebih tinggi dari pada yang sudah ditetapkan Allah swt.[10]
2.
Posisi batas maksimal
Batas maksimal terdapat pada surah al-Maidah ayat 38, yang
menjelaskan tentang memotong tangan bagi pencuri.Allah swt menjelaskan didalam
ayat ini bahwa batas maksimal hukuman bagi seseorang yang mencuri adalah potong
tangan.Jadi tidak diperbolehkan memberi hukuman lebih berat dari potong tangan,
tetapi bisa saja menjatuhkan hukuman yang lebih ringan.[11]
Dapat digambarkan sebagai berikut:
y
Y = F (X)
X
Garis (batas) maksimal
Allah memberi
batas maksimal hukuman bagi pembunuh dengan sengaja yaitu dengan hukuman qishas
yang sesuai deng firman Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat 178. Jadi,
akan diberi batas maksimal hukuman qishas bagi pembunuh secara sengaja,
akan tetapi pelaku pembunuhan dengan sengaja boleh dihukum yang lebih ringan.[12]
3.
Batas maksimal dan minimal yang tidak menyatu dalam satu titik
Suatu atauran
hukum Islam yang telah menetapkan batas minimal maupun maksimal.
Seseorang boleh
mengacu pada batas minimal atau maksimal yang telah ditetapkan dalam menetapkan
suatu hukum.Tetapi tidak boleh melampaui batas maksimal atau minimal yang
ditetapkan oleh Allah swt.contohnya seperti yang terkandung dalam surah An-Nisa’
ayat 11-14 tentang pembagian harta warisan.
Batas maksimal
laki-laki 2 x lipat dari perempuan. Sedangkan batas minimal perempuan 0,5 dari
laki-laki, digambarkan sebagai berikut:
y
Batas
maksimal
Titik
belok (pembeda)
Y
= F (X)
X
Batas minimal
Menurut
Syahrur, ada sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang meiliki batas minimal dan
maksimal sekaligus.di antaranya dalam surah an-Nisa’ ayat 3 tentang poligami.[13]
4.
Batas maksimal dan minimal yang menyatu dalam satu baris
Dalam batasan
ini adalah suatu ketetapan hukum yang harus sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan oleh Allah, maka hal itu tidak boleh melebihi maupun mengurangi.
Digambarkan sebagai berikut:
y
Y
= F (X)
X
Batasan ini
berlaku pada kasus zina yang diberi hukuman 100 kali cambukan, hukuman itu
berpotensi sebagai batas minimal dan maksimal sebagaimana yang tercantum pada
ayat 2 dari surah An-Nur. Cara hukuman inilah yang memenuhi syarat yang telah
ditetapkan Allah, yaitu empat orang saksi.Pada surah An-Nur ayat 3-10 mengenai
keterangan dan semua batasan hukum.Hukuman itu sudah termasuk pada batasan
minimal, jadi tidak kurang dari 100 cambuk ataupun lebih dari 100 cambuk.Ketika
Syahrur ditanya mengapa hukuman 100 cambuk sudah termasuk batas minimal?Syahrur
tidak menjawab hanya diam saja.Sehingga Muhyar hanya mengira-ngira bahwa mana
ada seseorang yang telah di dera 100 kali masih mampu bertahan hidup.[14]
5.
Batas maksimal yang mendekati garis lurus
Hukuman harus
diberi batasan agar tidak mendekati ataupun melangar hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah. Digambarkan sebagai berikut:
y
Garis batas Garis lurus
Maksimal yang
mendekati
garis lurus
X
0
Batasan ini
berhubungan pdengan pergaulan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim yang
terdapat didalam surah al-Isra’ ayat 32 dan
surah al-An’am ayat 151. Didalam 2 ayat itu terdapat batasan maksimal
yang mana pergaulan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim adalah pergaulan
yang dapat mendekati kepada zina.
6.
Batas maksimal positif yang tidak boleh dilampaui dan batas minimal
yang negative yang boleh di lampaui
Suatu tindakan
atau ketetapan tidak boleh melebihi batas maksimal positif, hanya boleh melampaui
batas minimal negative, dan digambarkan sebagai berikut:
Batas maksimal
(positif)
Y
= F (X)
X
Batas
minimal (negative)
Dalam batasan
ini berkaitan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang riba dan zakat.Riba
termasuk batasan maksimal positif yang tidak diperbolehkan melebihinya,
sedangkan zakat termasuk batas minimal negative yang diperbolehkan
melebihinya.Jadi disimpulkan bahwa riba dalam bentuk apapun dilarang karena
riba termasuk batas maksimal positif.Sedangkan pemberian zakat melebihi batas
boleh. Kelebihan pemberian zakat dari apa yang telah ditentukan itulah termasuk
kategori sadaqah.
tatif maupun makna kiasan atau konotatif. [15]
F.
Konsep
Jilbab Menurut Syahrur
Syahrur mengaitkan konsep jilbab dengan masalah pakaian
perempuan.Menurut beliau ayat-ayat yang membahas tentang libas al-mar’ah bisa
masuk kedalam ayat muhkamat (ayat-ayat hukum), sehingga harus
menggunakan metode ijtihad melalui pendekatan teori hudud dan tartil jika
kita ingin menafsirkan nya secara metodologi. Syahrur menggunakan istilah libas
(pakaian) yang memiliki arti siyab (pakaian), jilbab (pakaian
luar perempuan), khimar (tutup), ketika berbicara soal pakaian perempuan
yang digunakan untuk menggantikan istilah al hijab atau al hijab al
syar’I yang biasa sering popular di
kalangan umum atau masyarakat. Istilah hijab dalam Al Quran tidak ada
kaitannya sama sekali dengan persoalan pakaian perempuan menurut M. Syahrur.
Dalam AlQuran pun kata hijab disebutkan sebanyak delapan kali, yakni
dalam Q.S Al A’raf 46, Q.S Al Ahzab 53, Q.S Sad 32, QS Fussilat 5, QS Al Syura
5, QS Al Isra 45, QS Maryam 17, QS Al Mutaffifin 15, kata-kata yang disebutkan
dalam beberapa Quran Surat diatas itu makna hijab tidak ada kaitannya
sama sekali dengan masalah pakaian perempuan, akan tetapi seluruh kata hijab
dalam Quran Surat diatas maknanya lebih mengacu terhadap pengertian al-hajiz
(penghalang).[16]
1.
Definisi Pakaian menurut Syahrur
Kata al libas terdiri dari tiga huruf, yakni lam, ba, dan
sin.Yang memiliki arti tutup dan menutupi. Dilihat dari makna yang
sebenarnya atau makna denotatif, kata al libas memiliki makna baju yang dikenakan,
sebagaimana yang termaktub dalam Alquran QS Al Kahfi ayat 31:
“Dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang mas dan mereka
memakai pakaian hijau dari sutera Halus dan sutera tebal”dan firman Nya dalam QS Fathir ayat 33: “(Bagi mereka) surga Adn
, mereka masuk kedalamnya, didalamnya mereka diberi perhiasan dengan
gelang-gelang dari emas, dan dengan mutiara, dan pakaian mereka didalamnya
adalah sutera”. Sedangkan, menurut makna kiasan atau konotasinya al
libas memiliki arti pencampuran atau pergantian, sebagaimana yg telah
dijelaskan dalam Alquran QS Al Baqarah ayat 42: “Dan janganlah kamu campur
adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak
itu, sedang kamu mengetahui.” Dalam firmannya yang lain, QS al Furqan ayat
47: “Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai pakaian), dan tidur untuk
istirahat, dan ia menjadikan siang untuk bangun berusaha.” Firman Nya yang
lain dalam QS Al Baqarah 187: “Dihalalkan bagi kamu pada malam haribulan
puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagi kamu,
dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.”
Bisa diambil
kesimpulan bahwa, semua ayat diatas memang menyebutkan kata al libas, disini
kita bisa mengartikan nya dengan makna yang macam-macam tergantung dari konteks
kalimatnya, bisa diartikan dengan makna yang jelas atau denotatif maupun makna
kiasan atau konotatif.[17]
2.
Definisi
Aurat (As Saw’ah)
Tidak beda dengan pengertian al libas, kataas saw’ah juga harus diartikan secara konotatif maupun
denotatif. Secara denotatif atau jelas, kata ini memiliki arti keburukan (al
qubh), seperti yang disebutkan dalam hadis: saw’a u waludun khayrun min
hasna’a ‘aqimin yang memiliki arti “perempuan yang buruk rupa namun subur
lebih baik daripada perempuan cantik tapi mandul”. Sedangkan secara konotatif
kata ini memiliki aurat, yang mana aurat itu adalah bagian tubuh yang tidak
boleh dibuka untuk diperlihatkan. Dari hal ini, kemudian muncul pendapat bahwa
kata tersebut adalah kiasan tentang alat kelamin pria dan wanita yang jika
terlihat pihak lain merasa terganggu.[18]
Di dalam
Alquran juga telah dijelaskan masalah penutup (hijab) , jilbab, dan
kerudung (khimar) dalam beberapa
ayat, salah satunya adalah QS Al
Ahzab ayat 53 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memasuki rumah-rumah nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak
menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka
masuklah, dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang
percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu
kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang
benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan)kepada mereka (istri-istri
nabi), maka mintalah dari belakang tabir (hijab). Cara yang demikian itu lebih
suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati)
Rasulullah dan tidak pula mengawini istri-istrinya selamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) disisi Allah.”
Penjelasan
tafsir sebab turunnya ayat tersebut adalah seperti yang driwayatkan oleh As
Suyuti dalam Tafsir Jalalayn nya adalah ketika Nabi Muhammad menikahi
Zaynab, ketika itu nabi mengundang para sahabat dan pada akhirnya mereka
bercakap-cakap, duduk bersama sembari menikmati makanan. Kemudian nabi hendak
ingin berdiri, tetapi ternyata para sahabat tidak berdiri.Dan pada akhirnya
ketika para sahabat menyaksikan kondisi tersebut, sebagian mulai ikut berdiri,
dan hanya sisa tiga orang yang masih duduk, lalu pada akhirnya mereka semua
pulang.Kemudian Nabi mendatangi Zaynab dan masuk kedalam rumah, Zaynab
mengikuti, kemudian Nabi memasang hijab (penutup) antara Nabi dan Zaynab.[19]
3.
Sejarah
Hijab
Dilihat dari
sejarahnya, menurut Syahrur tradisi agama pensi-lah bangsa Persia atau yang
biasa disebut (al dayyanat al-farisiyyah) yang biasa menggunakan pakaian
jilbab dengan cara menutup seluruh anggota tubuhnya dari kepala sampai kaki.
Karena bangsa tersebut memposisikan wanita sebagai makhluk hidup yang tidak
suci, sehingga hidung dan mulutnya harus diikat dengan kayu agar tidak menodai
kesuciannya.Jilbab sendiri pada awalnya merupakan pakaian khusus dan tidak
boleh digunakan oleh sembarang wanita, kecuali oleh wanita-wanita yang memiliki
kedudukan tinggi dan merdeka atau dalam kata lainnya yakni perempuan
ningrat.Jadi para budak wanita ataupun wanita biasa tidak diperbolehkan untuk
memakainya.Dalam hal ini, pada awalnya konsep jilbab digunakan untuk membedakan
antara wanita budak dan wanita merdeka, antara wanita biasa dengan wanita
ningrat.Konsekuensi adanya perbedaan dalam hal ini adalah hijab dan pakaian
bukanlah merupakan beban syariat bagi seorang wanita, tetapi lebih sebagai
standar kesopanan yang dituntut oleh kehidupan sosial yang mana, ketika pola
sosial tersebut berubah, otomatis standar tersebut juga berubah.Pemahaman
seperti ini berlangsung hingga masa pasca Nabi SAW.[20]
4.
Perhiasan
Perempuan
Perhiasan Perempuan dalam QS An Nur 31 dibagi menjadi dua bagian,
yaitu: pertama perhiasaan yang
terlihat (az zinah az zahirah), dan yang kedua adalah perhiasan yang
tidak nampak atau tersembunyi (az zinah al makhfiyah). Perhiasan sendiri
terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Perhiasan berbentuk benda (zinat al ashya), adalah perhiasan yang berwujud berupa tambahan
terhadap suatu benda ke benda yang lainnya atau pada suatu tempat dan fungsinya
untuk memperindah. Contohnya: cincin, kalung, gelang, jepit rambut, desain
baju, dekorasi ruangan dll. Yang mana hal ini termaktub dalam Alquran QS Al
a’raf 31: “Hai anak Adam, pakailah pakaian mu yang indah di setiap (memasuki
masjid), makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
b. Perhiasan lokasi atau tempat (zinat al mawaqi atau az zinah al
makaniyyah). Yang dimaksut dari perhiasan ini adalah ruang-ruang di tempat
umum atau perkotaan. Seperti bangunan-bangunan yang didirikan diatas rumput
hijau yang biasa kita sebut taman kota. Tempat ini adalah tempat yang sering
dikunjungi oleh banyak orang yang berfungsi untuk menghiasi kota.
c. Perhiasan gabungan antara yang bersifat kebendaan dan bersifat
lokasi. Seperti yang telah dijelaskan dalam QS Al A’raf 32: “Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan Nya untuk hamba-hamba
Nya dan (siapa pula kah yang mengharamkan) rizki yang baik?” dan surat
Yunus 24: “Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai
(pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti
menguasainya.” Maksut dari ayat tersebut adalah kemajuan ilmu pengetahuan
beserta pengembangannya akan memenuhi bumi dengan berbagai bentuk hiasan benda
dan hiasan lokasi., maka seluruh tubuh wanita adalah perhiasan. Perhiasan
disini dimaksutkan adalah yang berbentuk utuh, bukan hanya sekedar gelang,
kalung, dan sebagainya, tetapi seluruh tubuh wanita.[21]
Tubuh wanita dibagi menjadi dua, yang pertama yaitu bagian tubuh
yang terbuka secara alami (qism az zahir bi al khalq). Allah berfirman
yang artinya: “Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang
biasa tampak darinya.”Kita harus memahami ayat ini bahwa terdapat perhiasan
tersembunyi dari dalam tubuh wanita.Perhiasan yang Nampak adalah sesuatu yang
secara alami terlihat dalam tubuh wanita tersebut.Seperti, punggung, dua kaki,
perut, kepala, dan dua tangan.Karna sesungguhnya Allah mencipatakan pria dan
wanita dalam keadaan telanjang.Yang kedua, adalah bagian tubuh yang tidak
Nampak, yang mana bagian ini disembunyikan oleh Allah dalam bentuk susunan
tubuh wanita.Bagian yang tersembunyi ini disebut al juyub.Kata al jayb sendiri tersusun dari tiga huruf jim,
ya’, dan ba’ yang pada dasarnya memiliki arti “lubang yang terletak pada
sesuatu”. Al juyub sendiri terdiri dari bagian antara dua payudara,
bagian bawah payudara, bagian bawah ketiak, pantat, dan kemaluan.Yang mana
bagian ini harus tertutupi oleh perempuan.[22]Oleh
sebab itu, Allah menyuruh kepada wanita yang beriman untuk menutupi seluruh
bagian tubuh mereka yang termasuk kedalam bagian al juyub. Bagian al
juyub ini adalah bagian yang dilarang diperlihatkan kepada orang lain
kecuali suaminya. Fakta ini menerangkan kepada kita tentang kenapa tidak
disebutnya suami (az zauj) di
dalam ayat yang berisikan daftar pria yang diperbolehkan melihat perhiasan di
depan mereka (wanita). Tetapi dalm hal ini ayat tersebut menggunakan istilah al
ba’l.para mahram disebut dengan istilah al ba’l (suami) dst yang
termaktub dalam QS An Nur ayat 31:
@è%urÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9z`ôÒàÒøótô`ÏB£`ÏdÌ»|Áö/r&z`ôàxÿøtsur£`ßgy_rãèùwurúïÏö7ã£`ßgtFt^ÎwÎ)$tBtygsß
$yg÷YÏB(tûøóÎôØuø9ur£`ÏdÌßJè¿24n?tã£`ÍkÍ5qãã_(wurúïÏö7ã£`ßgtFt^ÎwÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä
÷rr&Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r&÷rr&Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/÷rr&£`ÎgÏRºuq÷zÎ)÷rr&ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ)÷rr&ûÓÍ_t/
£`ÎgÏ?ºuqyzr&÷rr&£`Îgͬ!$|¡ÎS÷rr&$tBôMs3n=tB£`ßgãZ»yJ÷r&Írr&úüÏèÎ7»F9$#ÎöxîÍ<'ré&Ïpt/öM}$#z`ÏBÉA%y`Ìh9$#Írr&È@øÿÏeÜ9$#
úïÏ%©!$#óOs9(#rãygôàt4n?tãÏNºuöqtãÏä!$|¡ÏiY9$#(wurtûøóÎôØo£`ÎgÎ=ã_ör'Î/zNn=÷èãÏ9$tBtûüÏÿøä`ÏB£`ÎgÏFt^Î
4(#þqç/qè?urn<Î)«!$#$·èÏHsdtmr&cqãZÏB÷sßJø9$#÷/ä3ª=yès9cqßsÎ=øÿè?ÇÌÊÈ
Artinya: “Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung”.
Jadi, penafsiran menurut
ayat ini, mahram dari seorang wanita atau siapa saja yang diperbolehkan melihat
perhiasan wanita (perhiasan yang dimaksutkan disini adalah Perhiasan yang
Nampak adalah sesuatu yang secara alami terlihat dalam tubuh wanita tersebut.
Seperti, punggung, dua kaki, perut, kepala, dan dua tangan) adalah al ba’l-
bu’ulatuhunna (suami), aba’ihinna (bapak dan kakek), aba’I
buulatihinna (bapak dari al ba’l dan kakeknya), abna’ihinna (anak
laki-laki), abna’buulatihinna (anak laki-laki dari al ba’l), ikhwanihhinna
(saudara laki-laki), bani ikhwanihinna (anak-anak laki-laki dari
saudara laki-laki), bani akhwatihinna (anak-anak laki-lki dari saudara
wanita).[23]
Kata az zauj dengan al ba’l berbeda, jika dilihat
dari segi artinya memang memiliki kesamaan yakni sama-sama suami, tetapi al
ba’l adalah suami yang hanya boleh melihat perhiasan wanita atau aurat
alami yang sudah Nampak dalam diri wanita tersebut. Sedangkan kata Az Zauj adalah
suami yang boleh melihat aurat besar atau al juyub dari seorang wanita,
seperti yang sudah dituliskan dalam Firman Allah QS Al Mu’minun ayat5,6,7:
tûïÏ%©!$#uröNèdöNÎgÅ_rãàÿÏ9tbqÝàÏÿ»ymÇÎÈwÎ)#n?tãöNÎgÅ_ºurør&÷rr&$tBôMs3n=tBöNåkß]»yJ÷r&
öNåk¨XÎ*sùçöxîúüÏBqè=tBÇÏÈÇ`yJsù4ÓxötGö/$#uä!#uury7Ï9ºsy7Í´¯»s9'ré'sùãNèdtbrß$yèø9$#ÇÐÈ
Artinya: “dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang
melampaui batas.”[24]
Dalam hal ini
Syahrur juga berpendapat, mahram atau suami dari seorang wanita mukminah boleh
melihat wanita tersebut dalam keadaan telanjang badan secara tidak sengaja atau
ketika keadaan wanita tersebut sedang lengah, ataupun dalam keadaan darurat yang
membahayakan. Mereka tidak perlu mengatakan haram, cukup mengatakan bahwa hal
tersebut aib jika mereka merasa janggal.[25]
5.
Pihak
pihak yang Dilarang Melihat Perhiasan (Maharim Az Zinah)
Al ba’l adalah
seseorang yang masuk dalam kategori mahram nikah, tetapi posisinya adalah mahram
yang dilarang melihat kemaluan wanita. Dari sini kita dapati pihak yang masuk
kedalam Maharim az zinah adalah sbanyak tujuh orang, yaitu: orang tua
suami, bapak, anak laki-laki suami, anak laki-laki, saudara laki-laki, anak
saudara laki-laki dan anak laki-laki saudara perempuan.[26]
Ada kategori mahram yang wanita diperbolehkan untuk berhubungan
atau berinteraksi bersamanya, akan tetapi tidak diperbolehkan bagi wanita untuk
memperlihatkan perhiasannya yang tersembunyi (al juyub al ‘uluwiyah;aurat
bagian atas) dihadapan mereka. Kategori mahram ini adalah: paman dari pihak
bapak dan ibu, anak dan saudara sepersusuan, suami ibu, suami anak perempuan
dan suami saudara perempuan. Perhiasan yang dimaksutkan disini adalah perhiasan
tempat atau lokasi dari perhiasaan benda tersebut digunakan.[27]
Selanjutnya, terdapat beberapa potongan ayat yang menerangkan
pihak-pihak yang wanita diperbolehkan memperlihatkan sebagian dari
perhiasannya, adalah:
a) Aw ma malakat aymanuhunna (QS
An Nur 31) , dilihat dari segi sejarahnya kata milk al yamin yakni berhubungan dengan masalah perbudakan.
Yang mana budak pada zaman dahulu belum mengenal istilah jilbab atau hijab.
Karena pada zaman itu, para budak dibiarkan dijalanan tanpa penutup kepala
dan bagian dadanya terbuka dengan alasan mereka telah membantu pekerjaan
tuannya.
b) Aw at tabi’na ghayri uli al irbati min ar rijali ”….atau pelayan pelayan pria yang tidak mempunyai keinginan apapun
terhadap wanita …” (QS An Nur 31). Golongan yang dimaksut dalam potongan ayat
ini adalah orang yang tidak memiliki dorongan seksual atas wanita. Seperti
halnya seorang dokter yang sedang membantu persalinan, akan pasti melihat
kemaluan atau aurat besar dari sang pasien. Akan tetapi niat dari seorang
dokter ini tanpa disertai dengan dorongan seksual karna dalam hal ini dokter
hanya membantu.
c) Aw at tifli al ladhina lam yazharu ala aurati an nisa i ”…atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (QS An
Nur 31) yang dimaksut dari ayat ini adalah anak-anak yang tidak mengerti
mengapa seorang wanita merasa malu dalam keadaan ia sedang tidak menutupi
aurtanya. Hal ini sangat wajar, karena hingga usia tertentu anak-anak belum
mengerti yang namanya aib dan malu.
d) Wala yadribna bi arjulihinna li yu’lama ma yukhfina min zinatihinna
“..dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang
orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS An Nur 31) penjelasan dari
potongan ayat tersebut adalah agar wanita selalu menjaga aurtanya atau bagian
yang tersembunyi dalam tubuhnya agar tidak diketahui orang lain, karena bagian
tersembunyi tersebut tidak mungkin bisa terlihat jika memang bukan sang wanita
yang menampakkannya. Dalam hal ini Allah melarang wanita untuk melakukan
pekerjaan atau usaha (al darb) yang mana bisa menunjukkan bagian intim dari
tubuhnya, seperti tarian tarian yang mana jika hal tersebut dilakukan bisa
memperlihatkan aurtanya.
e) Wa tubu illallahi jamian “…
dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah…” (QS An Nur 31) dalam ayat ini Allah
memerintahkan kepada kaum mukminin dan mukminat agar bertaubat, karena dalam
kehidupan kita selalu melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh Allah.[28]
Lalu yang dipertanyakan apakah boleh jika wanita keluar rumahnya mengenakan
pakaian yang menutupi juyub sebagai batas minimalnya? Dalam hal ini
Syahrur tidak memperbolehkan juga melarang, melainkan ia hanya berpendapat
bahwa Alquran membahas tentang pakaian yang lengkap bagi wanita, diantaranya
yaitu jilbab, yaitu al libas al khariji (pakaian luar) yang bisa berupa
celana panjang (bantal) , baju gamis biasa (al qamis) dan ia juga
tidak harus menutupi kepalanya.[29]
Menurut
Syahrur, fungsi hijab terbagi menjadi dua, yaitu dilihat dari kondisi geografis
dan sosio kulturalnya, yakni untuk menjaga diri dari gangguan yang bersifat
alamiah seperti suhu dingin dan panas atau gangguan yang bersifat sosial
seperti diremehkan oleh orang lain.[30]
Dalam hal ini Syahrur mengutip dari Alquran QS Al Ahzab 59:
$pkr'¯»tÓÉ<¨Z9$#@è%y7Å_ºurøX{y7Ï?$uZt/urÏä!$|¡ÎSurtûüÏZÏB÷sßJø9$#úüÏRôã£`Íkön=tã
`ÏB£`ÎgÎ6Î6»n=y_4y7Ï9ºs#oT÷r&br&z`øùt÷èãxsùtûøïs÷sã3c%x.urª!$##Yqàÿxî$VJÏm§
Artinya:“Hai Nabi,
Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Penafsiran
hukum yang dilakukan Syahrur disini sangat berbeda sekali dengan apa yang biasa
ditafsirkan oleh para mufasir. Secara umum jilbab diartikan sebagai pakaian
luar wanita dan bukan sebagai pakaian yang digunakan untuk menutupi seluruh
badannya, kecuali dua telapak tangan dan wajahnya.Syahrur juga berpendapat
bahwa ayat tentang jilbab bukan merupakan penetapan syariat yang menetapkan
halal dan haramnya sebuah masalah hukum, melainkan itu adalah sebuah ayat
pengajaran atau ta’lim.[31]
Berikut ini
adalah bagan mengenai pakaian, profesi kerja yang tidak diperbolehkan untuk
dimasuki dan profesi yang diperbolehkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan
oleh Allah swt:
Batas Maksimal (yang
ditentukan oleh Rasulullah) keluar dari batas Rasul
P
A batas maksimal
adalah menutup semua bagian badan selain telapak tangan dan
K wajah.
A
I
A sedangkan batas
minimalnya adalah menutup al juyub nya saja.
N
Jika keluar dari
batasan yang telah dibuat oleh Allah , atau dalam kata lain
Telanjang
dihadapan seluruh mahramnya termasuk al ba’l dan memperlihatkan daerah
intim bagian atas di hadapan semua orang.
Konteks waktu
dan tempat (kondisi lingkungan objektif)
Seluruh bentuk
pekerjaan boleh dijalani sesuai dengan adat kebiasaan dan sesuai
dengan batasan
yang telah dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Masyarakat boleh
P melarang wanita
untuk menjalani beberapa bentuk pekerjaan dalam kapasitas
R hukum manusia, bukan
kapasitas haram-halal
O
F
E batasan hukum Allah
dalam profesi: pelacuran, tari telanjang. Kedua pekerjaan
S tersebut dilarang
oleh Allah karna dapat memperluas perbuatan keji.
I
Dilihat dari
konteks waktu dan tempatnya, larangan larangan tersebut adalah
Menyuruh kepada
yang ma’ruf, mencegah kemungkaran dan menjaga batasan
Hukum Allah.[32]
G.
PENUTUP
Dari pemaparan materi diatas dapat disimpulkan bahwa Muhammad
Syahrur adalah salah satu tokoh pembaharu dan pemikir yang dilahirkan pada
tanggal 11 April 1938 di kota Damaskus, Syiria. Dalam menafsirkan ayat Alquran,
Syahrur menggunakan pendekatan bahasa yang sangat menarik dan berbeda dari
lainnya. Bagi Syahrur, Alquran telah cukup baginya dalam kehidupan, karna
didalamnya sudah termuat aturan-aturan sebagai jawaban dari persoalan
kehidupan, dari sini akhirnya muncul lah ide nya mengenai teori batas
(Nazhariyyat Al Huddud). Dengan teori ini, Syahrur mencoba menganalisis
ayat-ayat Alquran dalam kehidupan kedalam teori batasnya, salah satunya yaitu
masalah jilbab. Dari teori batas tersebut, Syahrur memaparkan pendapatnya, salah
satunya dalam QS An Nur 31 yang membahas tentang aurat wanita diperuntukkan
untuk siapa, batas mana saja yang boleh dilihat oleh mahram maupun yang bukan
mahram wanita tersebut, serta bagaimana cara pandangan Syahrur mengenai aurat
mana saja yang harus ditutupi. Menurut Syahrur, tubuh wanita dibagi menjadi
dua, yakni tubuh yang terlihat alami dan yang tidak Nampak, yang mana aurat
alami ini boleh dilihat oleh mahramnya, sedangkan yang tidak Nampak hanya boleh
dilihat oleh o suaminya saja atau dalam kata lain aurat pada bagian yang tidak
Nampak tersebut harus ditutupi dari orang lain. Dari penafsiran Syahrur
tersebut tujuan yang ingin disampaikan oleh ayat Alquran tersebut adalah agar
seorang wanita mengerti bagian dari perhiasan yang ia miliki dalam tubuhnya
manakah yang harus ditutup dan yang tidak harus ditutupi, karena hal tersebut
sangat penting adanya bagi seorang wanita.
DAFTAR PUSTAKA
Ulfiyati
Shofa, “Pemikiran Muhammad Syahrur (Pembacaan Syahrur Terhadap Teks-Teks Keagamaan)”.
Et-Tijarie.Vol. 5 No. 1, 2018.
Kurdi dkk, 2010, “Hermeunitika Al-Qur’an dan Hadits”,
Yogyakarta: Elsaq Press.
Vitria vita, “Komparasi Metodologis Konsep Sunnah Menurut Fazlur
Rahman dan Muhammad Syahrur (Perspektif Hukum Islam)”.Jurnal Ilmu Syari’ah
dan Hukum, Vol. 45, No.II, 2011.
Mulyadhi,
2003, “Pemikiran Islam Kontemporer”, Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Mustaqim
Abdul, “Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur tentang Poligami dan
Jilbab” Jurnal Kajian Hukum Islam
vol 5 no 1, 2011.
Alfian
Ivan, “Pemikiran Muhammad Syahrur”, Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Vol. 10, No. 2, 2016.
Panjaitan
Sunardi, Skripsi, 2008 “Teori Batas
Hukum Islam: Studi Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur dalam Waris”, Jakarta:
UIN.
Mustafid
Fuad, “Pembaruan Pemikiran Hukum Islam: Studi Tentang Teori Hudud Muhammad
Syahrur”, Al-Mazahib, vol. 5, no. 2, 2017.
Shahrur Muhammad,2004, “Metodologi Fiqih Islam Kontemporer”, Yogyakarta:
Elsaq Press.
Shahrur Muhammad, 2007, “Hermeneutika Hukum Islam”, Yogyakarta:
Elsaq Press.
Catatan:
Makalah sudah bagus, similarity 9%.
[1] Abdul Mustaqim, “Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur
tentang Poligami dan Jilbab” Jurnal
Kajian Hukum Islam vol 5 no 1, hlm. 67
[2] Shofa Ulfiyati, “Pemikiran Muhammad Syahrur (Pembacaan Syahrur
Terhadap Teks-Teks Keagamaan)”. Et-Tijarie. Vol. 5 No. 1 (2018), h.
59
[3] Kurdi dkk, “Hermeunitika Al-Qur’an dan Hadits” (Yogyakarta:
Elsaq Press, 2010), h. 287
[4]Vita Vitria, “Komparasi Metodologis Konsep Sunnah Menurut Fazlur
Rahman dan Muhammad Syahrur (Perspektif Hukum Islam)”.Jurnal Ilmu Syari’ah
dan Hukum, Vol. 45, No. II (2011), h. 1341
[5] Mulyadhi, “Pemikiran Islam Kontemporer”, (Yogyakarta:
Penernit Jendela, 2003) h.296
[6] Ivan Alfian, “Pemikiran Muhammad Syahrur”, Jurnal Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 10, No. 2 (2016), h. 247
[7] Sunardi Panjaitan, Skripsi, “Teori Batas Hukum Islam: Studi
Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur dalam Waris”, (Jakarta: UIN, 2008), h.
23
[8] Fuad Mustafid, “Pembaruan Pemikiran Hukum Islam: Studi Tentang
Teori Hudud Muhammad Syahrur”, Al-Mazahib, vol. 5, no. 2 (2017), h. 311
[9] Ivan Alfian, “Pemikiran Muhammad Syahrur”, Jurnal Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 10, No. 2 (2016), h. 250
[10] Fuad Mustafid, Op Cit, h. 313
[11] Ivan Alfian, Op Cit, h. 251
[12] Fuad Mustafid, Op Cit, h. 314
[13]Ibid, hlm.262-263
[14]Ibid, hlm. 316
[15] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2004), hlm. 483-484
[16] Abdul Mustaqim, Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur
tentang Poligami dan Jilbab, hlm. 73
[17] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2004), hlm. 483-484
[20] Abdul Mustaqim, Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur
tentang Poligami dan Jilbab, hlm. 73
[21] Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam
Kontemporer, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2007), hlm. 246-247
[23]Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm.
517
[24]Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm.
518
[25] Abdul Mustaqim, Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur
tentang Poligami dan Jilbab, hlm. 75
[26]Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm.
519
[27]Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm.
520
[28]Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm.
524-530
[29] Abdul Mustaqim, Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur
tentang Poligami dan Jilbab, hlm. 75
[30] Abdul Mustaqim, Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur
tentang Poligami dan Jilbab, hlm. 75
[31]Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm.
531
[32]Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm.
538-539
Tidak ada komentar:
Posting Komentar