TA’ARUD dan TARJIH, AL-AMRU dan AL-NAHYU
Miftahul Salsabila dan Ilham Halimy
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
e-mail: 12miftahul.salsabila@gmail.com
Abstract
This article discusses about the
contradictions between syari’ahtheorem contained in the holy Qur'an and the
Sunnah, and discusses one of the method of dealing with these conflicting theorem,
namely the tarjih method. The method is used by scholars to seek stronger
arguments, so that it can be used as the basis for Islamic religious law. As a
Muslim it is necessary to know how the laws in the syara’theorem and the forms
of the rules. So that for everyone who examines the syara’theorem and the
istinbath method also needs to know the tarjih method. While in the lafadz the
contradiction is a proposition that has the sentence (amar) and prohibition (nahi)
against mukallaf.
Abstrak
Artikel ini membahas mengenai pertentangan
antara dalil-dalil syara’ yang terdapat dalam Al-qur’an dan Sunnah yang disebut
dengan ta’arud, serta membahas salah satu metode penyeleasaian terhadap dalil
yang saling bertentangan tersebut yaitu dengan metode tarjih. Metode tersebut digunakan
oleh ulama untuk mencari dalil yang lebih kuat, sehingga dapat dijadikan
sebagai dasar hukum agama Islam.Sebagai seorang muslim wajib mengetahui bagaimanakah
hukum-hukum di dalam dalil-dalil syara’ tersebut serta bagaimana bentuk
kaidah-kaidahnya. Sehingga bagi setiap orang yang mengkaji dalil-dalil syara’
dan metode istinbath hukum juga perlu mengetahui metode tarjih. Sedangkan dalam
lafadz yang terjadi kontradiksi tersebut adalah dalil yang memiliki kalimat
perintah (amar) dan larangan (nahi) terhadap mukallaf.
Keywords: Ta’arud, Tarjih, Amar, Nahi
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan umat manusia tidak pernah
lepas dari syari’at atau hukum Islam yang mengikat. Syari’at yang di amanahkan
oleh Allah SWT kepada Rasulullah berupa Al-Qur’an dan juga hadist beliau selalu
menjadi pedoman dalam meniti kehidupan umat manusia sampai kapanpun. Kemudian,
para fuqaha dalam menggali sebuah hukum untuk diterapkan pada suatu
permasalahan yang senantiasa berkembang sesuai zaman sehingga dam penggalian
hukum tersebut para fuqaha menggunakan ilmu yang disebut ushul fiqh, karena
dalam penggalian hukum perlu menggunakan beberapa metode untuk menghadapi
permasalahan dalil yang dzanni, musytarak dan mutasyabihat sehingga para fuqaha
harus membedakan mana dalil yang sifatnya memerintah dan melarang dalam
melakukan suatu beban taklif bagi mukallaf.
Dalam penggalian hukum tersebut para ulama
menggunakan semantik atau ilmu logika dengan menginterpretasikannya pada dalil
sehingga akan mendapatkan sebuah hukum yang diambil dari dalil naql, untuk itu
para ulama memberikan istilah pada lafadz dalil tersebut yaitu seperti amar dan
nahi, amar dan nahy merupakan unsur terpenting dalam sebuah beban taklif pada
mukallaf, kemudian dalam bentuk amar dan nahy itu terkadang terdapat sebuah
lafadz yang saling kontradiksi (ta’arud). Ketika para fuqaha menemukan
bentuk lafadz yangsaling kontradiksi maka para fuqaha akan menggunakan beberapa
metode yaitu salah satunya adalah metode tarjih. Tarjih adalah menggunakan
dalil yang lebih kuat daripada dalil yang lemah dalam penerapan sebuah hukum
terhadap mukallaf.
B. At-ta’arud
Arti kata ta’arudsecara etimologi berasal
dari kata dasar yaitu, ”aradha” ( عَرَضَ) yang memiliki arti menghambat,
menahan, atau membandingi. Dengan demikian dari pengertian menurut Bahasa
tersebut memiliki makna bahwalafadz dalil yang saling menghambat dalam
penerapan hukumnya baik itu dari dalil yang qath’i mupun yang dzanni.
Ulama ushul fiqh memberikan penjelasan pada istilah ta’arudh sebagai dua dalil
yang salik bertolak belakang dan saling menolak satu sama lain pada penunjukkan
dari dalil yang lainnya. Jadi, ta’arud merupakan istilah yang digunakan oleh
ulama ushul untuk menyebutkan uatu dalil terhadap lafadz yang bertentangan
secara dhohir, sehingga perlu dilakukan ijtihad terhadap lafadz tersebut hingga
terdapat pemahaman yang lebih jelas pada lafadz tersebut.[1]
Adanya ta’arud pada dalil ini menyebabkan
terjadinya perbedaan pendapat antara ulama fiqh dalam memfatwakan sebuah hukum
pada umat muslim, terjadinya perbedaan ini bukan berarti keluar dari syari‘at Islam,
karena para ulama fiqh memiliki landasan dan metode tersendiri dalam
meng-istinbathkan hukum. Dan kontradiksi antara dalil tersebut bukanlah suatu
yang hakiki, karena kontradiksi tersebut hanya dimata para manusia, akan tetapi
pada dasarnya tidak ada dalil yang bertentangan jika manusia memahaminya. Hal ini
berlandaskan pada firman Allah QS. An-Nisa ayat 82.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ
عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
Berikut beberapa syarat yang harus dipenuhi
dalam suatu lafadz yang dapat dikategorikan dalam lafadz ta’arud.
a. Terdapat suatu hukum yang ditentukan dari
kedua dalil yang saling bertentangan, misalnya mengenai hukum halal dengan
haram, antara wajib dan tidak wajib, menetapkan dan menghapuskan. Apabila tidak
saling belawanan pasti tidak akan ada petentangan.
b. Adanya kesamaan antara objek (tempat) dari kedua
hukum yang saling bertentangan. Misalnya saja perihal akad nikah. Ketika sudah
menikah seseorang diperbolehkan (halal) untuk menggauli istri sahnya dan tidak
diperbolehkan (haram) menggauli ibu dari sang istri. Dari sini dapat kita
ketahui bahwa objek atau orang yang mendapatkan hukum halal dan haram tersebut
tidak sama, maka tidak terjadi pertentangan di antara kedua hukum yang
belawanan.
c. Terdapat kesamaan pada masa atau waktu diberlakukannya
hukum yang saling berlawanan tersebut. Contohnya mengenai hukum halal dari
khamr pada masa awal mula dakwah Rasul dalam menyebarkan agama Islam, namun
setelah itu hukumnya pun berubah menjadi haram. Dari perubahan hukum ini
terjadi pada masa yang berbeda, namun dalam objeknya sama.
d. Terdapat kesamaan antara hubungan kedua
dalil yang saling betentangan. Misal saja bagi seorang suami menggauli istrinya
sendiri dihukumi halal dan haram hukumnya jika yang menggauli istri tersebut
laki-laki lain. Dalam hal ini, antara objek dan juga masa tersebut sama, tetapi
hubungannya berbeda.
e. Terdapat kesamaan dalam kedudukan kedua
dalil yang saling betentangan, dilihat dari sisi asal maupun petunjuk dalilnya.
Karena tidak ada petentangan antara Al-qur’an yang bersifat qath’i dengan
hadist Ahad yang bersifat dzanni. Maka dari itu, karena dalil Al-qur’an lebih
kuat jadi harus diutamakn daripada hadist Ahad.[2]
Para mujtahid melakukan pencarian jalan keluar dalam
menjelaskan lafadz yang bertentangan dengan cara sebagai berikut :
Menurut pandangan golongan Syafi’iyah, yaitu:
1. Mengkompromikan dua dalil yang berbeda agar
tidak ada dalil yang terbuang dalam penggunannya dalam artian sebagai qayyid
atau takhsis terhadap suatu tuntutan pada mukallaf.
2. Tarjih yaitu berpindah atau meninggalkan
dalil yang murajih dan berpindah pada yang rajih.
3. Meneiliti dalil dimana antara kedua dalil
yang turun lebih dahulu
4. Jika ke-semua itu tidak memungkinkan untuk
dipakai, maka mujtahid menangguhkan dahulu, dan memakai dalil yang lebih rendah
bobotnya.
Sedangkan dari golongan Hanafiyah, jika
terajadi ta’arud secara umum, yaitu:
1. Dengan menganalisa ayat mana yang terlebih
dahulu turun atau mana yang diucapakan terlebih dahulu oleh Nabi Muhammad, maka
dalil yang datang terlebih dahulu akan di nasakh (hapus) oleh dalil yang datang
setelanya.
2. Jika tidak diketahui mana yang terlebih
dahulu datang, maka menggunakan meode tarjih. Yaitu menganalisa mana dalil yang
lebih kuat diantara dalil-dalil.
3. Apabila tidak dapat ditarjih, maka langkah
selanjutnya adalah mengkompromikan dalil tersebut.
4. Jalan terakhir yang dipakai oleh mujtahid
saat tidak memungkinkan memakai seluruh atau salah satu dalil adalah dengan
memakai dalil yang lebih lemah atau rendah bobot dalilnya atau merujuk Sunnah
Rasululah. [3]
Macam-macam ta’arud dalam Nash Al-qur’an seperti
yang terdapat di dalam Q.S. Al Maidah: 6
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki”.
Dalam salah satu qiraat dibaca wa
arjulakum sehingga terdapatpendapat ulama yang mengatakan bahwa ketika
berwudhu kaki tersebut wajib dibasuh. Sedangkan dalam qiraat yang lain dibaca wa
arjulakum sehingga terdapat ulama lain mengatakan ketika berwudhu kaki
tersebut cukup diusap saja. Jadi dari ayat ini terdapat makna lebih dari satu
disebut dengan lafadz Musytarak yang memiliki redaksi berbeda, sehingga
menimbulkan penafsiran yang berbeda pula dalam lafadz ayat tersebut. Oleh
karena itu, dalam penerapannya pun terdapat ikhtilaf di antara ulama.[4]
Selain itu terdapat juga ta’arud dalam surah
Al-Baqarah ayat 234 :
“Orang-orang yang meninggal dunia
diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (‘iddah) empat bulan sepuluh hari”
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa
iddah seorang wanita yang ditinggal suaminya adalah 4 bulan 10 hari lamanya
aktu ber-‘iddah, artinya wanita tersebut tidak diperbolehkan untuk menikah lagi
sebelum masa ‘iddah itu berakhir. Akan tetapi dalam surah at-talaq allah juga
berfirman :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (Q.S At-Talaq:4)
Dalam dzahir nash tersebut terlihat seperti
terdapat perselisihan antara dua ayat tersebut, disebutkan bahwasannya dalam
al-baqarah ‘iddah wanita yang ditinggal suaminya adalah 4 bulan 10 hari, sedangkan
dalam surah At-talaq Allah menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara ‘iddah
wanita yang tertalak hidup maupun ditinggal mati suaminya saat hamil yakni
sampai masa kelahiran istrinya.[5]
Contoh ta’rud dalam Qiyas
Salah satu contoh ta’arud dalam qiyas adalah
masalah mengkawinkan anak perempuan yang masih kecil, dalam hal ini Imam Abu Hanifah
berpendapat membolehkan seorang gadis yang belum dewasa di kawinkan oleh orang
tuanya tanpa seizin gadis tersebut berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW:
“dari ‘Aisyah, beliau berkata: “
rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku
ketika saya menjadi gadis yang berumur Sembilan tahun” (HR. Muslim)
Atas dasar hadits ini Imam Abu Hanifah
berpendapat boleh. Akan tetapi dalam pendapat Imam Syafi’i menganggap karena
kegadisannya bukan karena masalah kegadisannya. Oleh karena itu perbedaan wali
ijbar dalam hal ini menurut imam Hanafi akan berakhir pernikahan tersebut
tatkala gadis itu sudah baligh dan menurut Imam Syafii akan berakhir ketika
sudah tidak gadis lagi, perbedaan ini terletak pada ‘illat hukumnya.[6]
C. Tarjih
Menyelesaikan dalil yang bertentangandengan
caratarjih:
Dalam pembahasan mengenai ta’arud apabila
terdapat pertentangan dua dalil syar’i yang tidak dapat disatukan atau
dikompromikan menggunakan cara apapun, tidak pula dapat dilakukan takhsis maupun
dilakukannya nasakh, namun dapat dilakukan dengan salah satu cara yang mungkin
dapat memperkuat salah satu dalil tersebut dengan memperhatikan petunjuk yang menguatkannya, metode tersebut disebut
tarjih.
Menurut
Bahasatarjihberasal dari kata “rajjaha”memiliki arti
“menguatkan”. Sedangkan menurut istilah yang dikemukakan Saifuddin al-Amidi
dalam salah satu karangan bukunya yaitu Al-Ihkam:
عِبَارَةٌ عَنِ اقْتِرَانِ الصَّالِحِيْنَ لِلدَّلاَلَةِ
عَلَى الْمَطْلُوْبِ مَعَ تَعَارُضِهِمَا بِمَا يُوجِبُ الْعَمَلَ بِهِ وَإِهْمَالِ
الْاَخَرَ
“Ungkapan mengenai diiringinya salah satu dari dua dalil yang
pantas yang menunjukkan kepada apa yang dikehendaki di samping keduanya berbeturan
yang mewajibkan untuk mengamalkan satu di antaranya meninggalkan yang satu lagi.”
Maka, ketika ada kata satu di antara dua
dalil yang pantas mengandung arti bahwa salah satu dalil maupun diantara
kedua dalil tidak pantas untuk dijadikan sandaran hukum maka tidak dapat
disebut tarjih.[7]
Dalam mengamalkan dalil yang rajih hukumnya
adalah wajib, sedangkan di sisi lain tidak dibenarkan ketika mengamalkan dalil
yang marjuh tetapi terdapat dalil yang rajih. Adanya dalil yang dihukumi
wajib dalam beramal dengan yang rajih tersebut merupakan apa yang
dikutip dan diketahui dari ijma’ sahabat dan ulama salaf pada beberapa
masalah yang berbeda sehingga mewajibkan mendahulukan dalil yang rajih dari
dua dalil yang dzanni.[8]
Berikut syarat-syarat dapat dilakukannya
tarjih, yaitu:
1. Dua dalil saling bertentangan dan tidak ada
kemunkinan sedikitpun untuk mengamalkan kedua atau salah satu dari dalil
tersebut. Maka tidak ada tarjih dalam dalil yang sifatnya qath’i, jadi dalil Al-qur’an
yang qath’i tidak dapat ditarjih dengan hadits.
2. Kedua dalil tersebut memiliki makna untuk
melakukan suatu perintah dalam hal perbuatan yang sama dalam segi waktu,
tempat, syarat dan apa saja yang dibicarakan.
3. Adanya petunjuk yang menjelaskan bahwa
mukallaf diwajibkan untuk beramal dengan salah satu dalil dan meninggalkan
dalil yang lainya.
Tiga unsur penilaian Tarjih
Apabila kita perhatikan tentang penjabaran
ahli ushul fiqh tentang aspek dalam mentarjih suatu dalil, jika di uraikan akan
ita dapati sebagaimana berikut :
a. Yang kembali pada perawi dalil tersebut :
yaitu mengenai jumlah perawi itu sendiri (sanad yang banyak harus dimenangkan
dari yang lebih sedikit).
b. Yang kembali kepada penilaian (tazkiyah)
perawi: ungkapan dalam matan yang lebih tegas dan lebih baik dimenangkan
daripada yang tidak tegas serta periwayatan dengan penyaksian lebih dimenangkan
dari yang hanya kata perawi saja.
c. Yang kembali pada periwayatan dalil
tersebut : yang didengar dari gurunya lebih dimenangkan dari pada periwayatan
yang dibacakan dihadapan gurunya. Kemudian yang disepakati lebih dimenangkan
dari pada dalil yang diperselisihkan.
d. Yang kembali kepada matan serta lebih
dititikberatkan padalafadz dan makna : yang tidak memiliki lafadz musytarak
lebih didahulukan daripada yang musytarak, apabila keduanya musytarak maka yang
memiliki arti lebih sedikit yang didahulukan.
e. Yang kembali pada isi dalil yaitu: yang
melarang lebih didahulukan daripada yang membolehkan suatu perkara tersebut,
yang mengandung hukum haram lebih didahulukan dari yang memiliki kandungan
makruh serta yang ziyadah lebih didahulukan atas perkara yang tidak ziyadah.
f. Tarjih yang terakhir ini berdasarkan dari
sesuatu yang selain dari yang disebutkan diatas: dalil yang lebih memiliki
kecocokan terhadap suatu permasalahan harus didahulukan, yang diamalkan oleh
ahli Madinah lebih dimenangkan dari yang bukan ahli Madinah.[9]
D. Lafadz Ditinjau dari
Segi Taklif
Hukum syar’i
adalah titah dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf
dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan.
Dalam
bentuk tuntutan, Khitab terbagi menjadi dua bentuk, yaitu tuntutan melakukan
atau untuk meninggalkan. Setiap tuntutan mengandung taklif (beban hukum)
dan tuntutan untuk dikerjakan disebut perintah atau “amar”(امر). Sedangkan tuntutan yang mengandung taklif
untuk ditinggalkan disebut larangan atau "nahi" (نهي).
Pembahasan mengenai lafadz dari segi taklif mengandung dua
bagian, yaitu tentang amar dan nahi.[10]
1. Amar
a. Hakikat Amar
Kata amar banyak
terdapat dalam Al-Qur'an. Ada yang mengandung arti ucapan. Contoh firman Allah
dalam surat Thaha (20): 132:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ
“Ucapkanlah kepada
keluargamu, ‘Shalatlah kamu’.”
Kata amar tidak hanya
mengandung arti ucapan di antaranya seperti untuk arti "sesuatu" atau
"urusan". Beberapa arti kata amar dapat dilihat dalam contoh
ayat-ayat di bawah ini:
a. Surat al-Syura (42): 38:
وَأَمْرُهُمْ
شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
“Urusan mereka
dimusyawarahkan diantara mereka.”
b. Surat Ali 'Imran (3): 159:
وشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
“Mereka bermusyawarah
dalam segala sesuatu.”
c.Surat al-Thalaq (65): 9:
وَكَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهَا خُسْرًا
“Akibat dari perbuatan mereka adalah
kerusakan.”
Para ulama ushul
sepakat bahwa kata amar itu secara hakiki digunakan untuk "ucapan
tertentu", yaitu kata se-wazan (setimbang) dengan kata لتفعل
atau افعل
yang mempunyai arti "kerjakanlah" atau "hendaklah engkau
kerjakan".
b. Definisi Amar
Di antara ulama,
termasuk ulama Mu'tazilahdan jugaAbu Ishak al-Syirazi mensyaratkan kedudukan
pihak yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh. Kalau kedudukan
yang menyuruh lebih rendah dari yang disuruh, maka tidak disebut amar, tetapi
disebut “doa” seperti disebutkan dalam Al-Qur'an, surat Nuh (71): 28
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
“Ya Tuhanku, ampunilah aku beserta kedua orang
tuaku.”
Kata amar yang
muncul dari orang yang kedudukannya sama dengan orang yang dikenai kata amar,
tidak disebut amar tetapi “iltimas", seperti ucapan yang muncul dari
antara dua sahabat,”Beri saya sebatang rokok”
Atas dasar pandangan
di atas mengenai persyaratan kata amar supaya menjadi perintah, maka secara
sederhana definisi amar ialah:
هو طلب الفعل من الأعلى الى الأدنى
“Amar
ialah perintah mengerjakan yang datang dari pihak yang lebih tinggi kepada
pihak yang lebih rendah.”
T.M.Hasbi
Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa, hakekat al-amr adalah:
لفظ يراد به أن يفعل المعمور ما يقصد من الأمر
Definisi diatas
menggunakan kata مأمور sebagai pembeda antara amar
dengan yang lainnya dari berbagai macam kalam, juga untuk memisahkan amar
dari do’a dan iltimas.
Dalam konteks kajian
ushul fiqh, amar bersumber dari syari’at Allah kepada manusia sebagai
hamba . Dalam hal ini, Allah adalah pihak yang tinggi dan yang menuntut agar
perintah tersebut dipatuhi. Sedangkan manusia sebagai mukallaf adalah pihak
yang rendah dan melaksanakan perintah.
c. Shigat Amar
Amr dapat dikemukakan
dalam berbagai bentuk lafadz, antara lain, sebagai berikut.
- Dengan menggunakan kata amr itu sendiri. Misalnya, firman Allah pada surah an-Nisá' (4): 58 :
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menunaikan
amanah kepada yang berhak atasnya.”
- Dengan memakai bentuk kata fi'il al-amr, yaitu timbangan (wazan) dan turunannya. Misalnya, firman Allah pada surah al-Baqarah : 10:
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
- Dengan memakai bentuk fi'il al-mudhâri' yang disertai dengan huruf lâm al-amr. Misalnya, firman Allah pada surah al-Hajj (22): 29:
ثُمَّ
لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ
الْعَتِيقِ
“Kemudian, hendaklah mereka
menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka
menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan
thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).”
- Dengan menggunakan lafadz kutiba yang berarti diwajibkan, misalnya, firman Allah dalam surah al-Baqarah (2): 183:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa.”
- Untuk memuji pelakunya. Misalnya, firman Allah dalam surah al-Baqarah (2): 220:
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْيَتَامَىٰ ۖ قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ
“Dan mereka bertanya padamu tentang
anak yatim, katakanlah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik.”
- Menjanjikan pahala kepada pelakunya. Contoh, firman Allah dalam surah al-An’am ayat 160:
مَنْ
جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa membawa amal yang baik,
maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.”
d. Amar dari Segi
Dilâlah (Penunjukan) dan Tuntutannya
Berikut adalah di
antara bentuk tuntutan dari kata amar.
- Hukum wajib (الواجب), artinya lafaz amar itu menghendaki pihak yang disuruh wajib melaksanakan apa yang tertera dalam lafadz itu. Contohnya firman Allah dalam surat an-Nisa' (4): 77
أَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Kerjakanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
- Hukum nadb (الندب) atau sunah, artinya hukum yangtimbul dari amar itu adalah sunnah, bukan untuk wajib.[12] Contoh firman Allah dalam surat an-Nur (24): 33:
فَكَاتِبُوهُمْ
إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا
“Maka buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu
mengetahuiada kebaikan pada mereka.”
Lafadz kâtabah (الكتابة),
yaitu kemerdekaan dengan mencicil yang disuruh dalam ayat tersebut, menimbulkan
hukum nadb, sehingga bagi yang menganggap tidak perlu, maka tidak ada
ancamannya apa-apa.
- Peintah yang bersifat mendidik. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 282, tentang apa yang sebaiknya dilakukan seseorang setelah berlangsung utang piutang:
وَاسْتَشْهِدُوا
شَهِيدَيْنِ
“dan saksikanlah oleh dua orang saksi.”
- Hukum ibahah (الإباحة) atau boleh. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 60:
كُلُوا
وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ
“Makan dan minmumlah dari rezeki Allah.”
- Untuk tahdid (التهديد) atau menakut-nakuti. Umpamanya frman Allah dalam surat Ibrahim (14): 30:
تَمَتَّعُوا
فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ
“Bersenang-senanglah hamu, karena sesngguhnya tempat
kembalimu adalah neraka.”
- Untuk ikram ( للإكرام) atau memuliakan yang disuruh. Seperti contoh firman Allah dalam surah al-Hijr (15): 46:
ادْخُلُوهَا
بِسَلَامٍ آمِنِينَ
“Masuklah kepadanya dengan selamat dan aman.”
- Untuk doa. Contoh firman Allah dalam surat Ibrahim (14): 41:
رَبَّنَا
اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
“Ya..Allah ampunilah aku dan kedua orang tuaku.”
8.
Untuk ta’jiz yang berarti menyatakan
keterbatasan seseorang. Seperti dalam firman Allah surat Al-Baqarah (2): 23:
وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ
“Jika kalian meragukan apa yang diturunkan kepada
hamba Kami, maka datangkanlah satu surat yang menyerupainya.”
e. Kaidah yang
Berhubungan dengan Amar
Pada dasarnya amar menunjukkan
pengertian wajib
Ulama berpendapat berbeda mengenai perbedaan
keragaman makna yang terkandung dalam lafadz amar diatas. Akan tetapi,
pengertian yang langsung timbul dalam benak seseorang ketika merespon lafadz amar
adalah bahwa lafadz tersebut dimaksudkan agar orang melakukan daripada
meninggalkan suatu perbuatan, terutama yang timbul dari as-syari’ yang
diperuntukkan buat manusia, terlebih lafadz amar yang dibarengi dengan
janji pahala bagi yang melaksanakannya dan ancaman dosa bagi yang
meninggalkannya- kecuali terdapat indikasi bahwa yang dimaksudkan adalah
kebalikannya. Oleh karena itu ulama ushul fiqh merumuskan kaidah tentang amr
yang berbunyi :
الأصل في الأمر للوجوب إلا الدل الدليل على غيره
“Pada
dasarnya suatu perintah untuk menunjukkan makna wajib, kecuali terdapat dalil
yang menunjjukan pengertian lain.”[13]
Lafadz amr yang didahului larangan menunjukkan
makna mubah
Sebagian ulama
berpendapat, tidak ada pengaruh pada hukum dari perintah yang datang setelah
didahului oleh larangan, sehingga tetap menjadi wajib. Pendapat yang popular
adalah, lafadz amar setelah larangan menunjuk pengertian mubah.[14]
Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Jumu’ah (62): 10:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah.”
Perintah
pada ayat ini didahului dengan larangan melakukan jual beli yang terdapat pada
ayat sebelumnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli.”
(Q.S Al-Jumu’ah (62): 9)
Berdasarkan
pendapat jumhur ulama tersebut, maka terumuslah kaidah yang berbunyi :
الأمر بعد النهي تفيد الإباحة
“Perintah
yang datang setelah larangan menimbulkan hukum mubah.”
Berulangnya pelaksanaan amar
Jumhur ulama
berpendapat suatu perintah hanya menuntut pelaksanaan apa yang diperintahkan,
dan tidak menunjukkan cukup sekali dilaksanakan atau harus melakukannya
berulang-ulang, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkan kepada
hal itu. Oleh karena itu dirumuskan kaidah yang berbunyi :
الأمر لا تقضي التكرار إلا الدل الدليل على تكراره
“Suatu
perintah tidak menunjukkan perulangan yang diperintahkan kecuali ada dalil yang
menunjuk perulangannya.”
Contoh perintah yang menuntut untuk dikerjakan
hanya sekali yaitu perintah melaksanakan ibadah haji.[15] Firman Allah pada surah Ali
Imran (3): 97:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah.”
Adapun
contoh amar yang dilakukan berulang-ulang karena adanya qarinah
untuk melakukannya ialah firman Allah surah al-Isra (17): 78:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ
مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari
sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah shalat) subuh.
Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
Diulang-ulangnya
kewajiban melaksanakan shalat karena ada qarinah yang menunjukkan kewajiban, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh ayat diatas: sebab tergelincir matahari hingga gelap malam.
2.Nahy
a.
Definisi Nahy
Lafadz
nahy adalah bentuk mufrad. Bentuk pluralnya adalah nawahy
yang berarti larangan. Ulama memberikan definisi lafadz nahy sebagai
berikut:[16]
هو طلب الكف عن الفعل من الأعلى الى
الأدنى
“Nahy adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari pihak
yang berkedudukan tinggi kepada yang berkedudukan yang lebih rendah.”
Dalam konteks kajian ilmu ushul fiqih , nahy
bersumber dari as-Syar’y kepada manusia sebagai hamba Allah. Dalam hal
ini, Allah adalah pihak yang berkedudukan tinggi dan yang memberi tuntutan agar
nahy tersebut dipatuhi. Sedangkan manusia sebagai mukallaf adalah
pihak yang berkedudukan rendah dan pihak yang meninggalkan perbuatan yang
dilarang.
Seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan nahy
apabila ia mengetahui dan sanggup melakukannya dan dengan sadar bahwa dia
meninggalkan perbuatan tersebut. Seperti contoh ketika seseorang terangsang
untuk melakukan zina namun timbul kesadaran dan berniat untuk meninggalkan
zina, maka dalam bentuk inilah atau mulai ia berniat meninggalkan zina ia
mendapat pahala atas melakukan perbuatan nahy tersebut.
Jumhur ulama yang mempunyai pendapat bahwa amar
hakikatnya itu wujub, berpendapat bahwa hakikat nahy itu adalah
haram dan nahy dan nahy bisa menjadi bukan haram ketika ada dalil
yang menunjukkannya. Dalam hal ini jumhur ulama merumuskan kaidah yang popular:
الأصل
في النهي للتحريم
“Asal dari larangan itu untuk hukum haram.”
b.
Shigat Nahy
Nahy dapat digunakan dalam berbagai bentuk lafadz,
antara lain:[17]
- Dengan lafadz nahy itu sendiri, seperti firman Allah surah an-Nahl (16): 90:
وَيَنْهَىٰ
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْي
“Dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan.”
- Dengan menggunakan shigat la taf’al (( لا تفعل , adalah fi’ilmudhori’ yang didahului la an-Nahiyah. Contoh firman Allah pada surah al-Isra (17): 32:
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang
buruk.”
- Dengan memberi penjelasan bahwa sesuatu itu haram, seperti firman Allah pada surah al-Ma’idah (5): 3:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi.”
- Dengan memberikan penjelasan bahwa perbuatan yang dilarang adalah buruk. Seperti firman Allah pada surah al-Bayyinah (98): 6:
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir
yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam;
mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”
c.
Dilalah an-Nahy
Dalam al-Qur’an, nahy yang
menggunakan kata larang itu mengandung beberapa maksud yaitu :[18]
- Untuk hukum haram( حرم ). Seperti firman Allah dalam surat al-Isra’ (17): 33:
وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya).”
- Untuk hukum makruh( كراهة). Seperti sabda Nabi dalam hadits:
لاَيَمَسَّنَّ
أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَهُوَ يَبُوْلُ (متفق عليه)
“Diantara kamu sekalian, janganlah
memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika buang air kecil.”
- Untuk memberikan pendidikan (إرشاد ). Umpananya firman Allah dalam surah al-Ma’idah (5): 101:
لَا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
“Janganlah kamu menanyakan hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu, niscaya hal itu menyusahkan kamu.”
- Untuk do’a ( دعاء). Seperti contoh firman Allah surah Ali ‘imran (3): 8:
رَبَّنَا
لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
“Ya.. Tuhan kami, janganlah engkau
jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau memberi petunjuk
kepada kami.”
- Untuk menjelaskan akibat ( بيان العاقبة). Seperti contoh firman Allah dalam surah Ibrahim (14): 42:
وَلَا
تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ
“Janganlah sekali-kali kamu
(Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh
orang-orang dzalim.”
d.
Kaidah sighat an-Nahy
Asal larangan menunjuk
pengertian haram
Dalam memberi pendapat tentang makna nahy ulama
berbeda pendapat. Sebagian berpendapat untuk menunjukkan makna haram sebagian
lagi menunjuk makna makruh. Sedang jumhur ulama menunjuk makna nahy
dengan pengertian haram, kecuali terdapat dalil yang memberikan pengertian
bukan haram. Oleh karena itu jumhur ulama merumuskan kaidah seperti berikut :
الأصل في النهي للتحريم إلا دل الدليل على خلافه
“Pada dasarnya dalam pengertian nahy itu menunjuk makna haram,
kecuali ada dalil yang menunjuk pengertian yang lain.”
Pada dasarnya larangan
berlaku terus menerus
Dalam memberi pendapat tentang ketetapan masa berlaku
tuntutan nahy jumhur ulama berpendapat bahwa nahy berlaku untuk
selamanya walau tidak ada pengulangan lafadz kecuali terdapat dalil yang
menunjukkan sebaliknya. Oleh sebab itu. Dirumuskan kaidah yang berbunyi :
الأصل فى النهي للتأبيد ما لم يدل دليل على خلافه
“Pada asalnya dalam nahy itu menunjukkan makna selamanya
kecuali terdapat dalil lain yang menunjuk sebaliknya.”
F. Penutup
Berdasarkan
pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ta’arud merupakan istilah yang
diberikan pada dalil yang memiliki makna saling kontradiksi satu sama lain
sehingga menjadi penghalang atau pencegah dalam mengamalkan salah satu
dalilnya, dan diperlukan sebuah metode penyelesaiannya yaitu tarjih. Tarjih
sendiri adalah pengambilan dalil yang lebih kuat daripada dalil yang lebih
lemah.
Selain
itu, terdapat istilah lain yang diberikan oleh ulama fiqh pada sebuah lafadz
yaitu amar dan nahi, amar dan nahi ini ialah lafadz yang memiliki makna
memerintah dan melarang untuk melakukan suatu perbuatan yang dibebankan pada
mukallaf. Dalam lafadz amar dan nahi tersebut terkadang terjadi kontradiksi
atau saling betentangan, kontradiksi ini dalam bahasan ushul fiqh biasa disebut
dengan ta’arud serta jalan penyelesainnya terdapat beberapa macam dan salah
satunya adalah tarjih.
DAFTAR
PUSTAKA
Atabik, Ahmad“Kontradiksi antar Dalil dan
Penyelesaiannya Prespektik Ushuliyyin”. Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum
Islam. Vol 6, No. 2, 2015.
Abdurrahman, Asjmuni. 2007. Manhaj Tarjih
Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Darini,
Fathi. 1975.Al-Manhaj
al-Islamiyah Fi Ijtihadi bi al-Ra’yi. Damasyqi:
Dar al-Kutub alHadis.
Dahlan, Abd.
Rahman,2010.Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta:
Prenada Media Group.
Fatimah, Siti,
al-Furqon : Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir vol.1 no. 1, kaidah-kaidah
memahami amr dan nahy: urgensinya dalam memahami al-Qur’an, . Lamongan: IAI
Tarbiyatuth Tholabah. 2018.
Kamali,
Muhammad Hasyim. 1996.Principles of
Islamic Jurisprudence; The Islamic Text Society. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar and Humanity Studies.
Kartini, Jurnal al-‘Adl
vol.9 no.1, Penerapan al-Amr Al-Nahy dan al-Ibahah sebagai kaidah penetapan
hukum, (Kendari : IAIN Kendari) 2016
Koto, Alaiddin. 2004.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Syarifudin, Amir. 2014.Ushul
Fiqih 2. Jakarta: Kencana.
Wafaa,Muhammad. 2001.Metode Tarjih atas Kontradiksi
Dalil-dalil Syara’. Bangil: Al-Izzah.
Zahran,Isa. 1998. AL-Muntakhab
Fi Ushul Fiqh. Kairo: Jamiah al-Azhar.
Catatan:
Makalah sudah oke, similarity 5%, tinggal perlu diberikan contoh konkret
tarjih.
[1]Muhammad Wafaa, Metode Tarjih atas Kontradiksi
Dalil-dalil Syara’. (Bangil: Al-Izzah, 2001), hlm 11.
[3]Satria Effendi, Ushul Fiqh. (Jakarta: PrenadaMedia
Group, 2005), hlm. 239-240
[4]Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 141-142
[5]Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh Jilid 1. (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 399-400
[6]Ahmad Atabik, “Kontradiksi antar Dalil dan
Penyelesaiannya Prespektik Ushuliyyin”. Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum
Islam. Vol 6, No. 2, hlm. 268.
[9]Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah
Metodologi dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)., hlm. 5-8
[11]Kartini, Jurnal
al-‘Adl vol.9 no.1, Penerapan al-Amr Al-Nahy dan al-Ibahah sebagai kaidah
penetapan hukum, (Kendari : IAIN Kendari, 2016), hlm. 25
[12]Siti Fatimah,
al-Furqon : Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir vol.1 no. 1, kaidah-kaidah
memahami amr dan nahy: urgensinya dalam memahami al-Qur’an, (Lamongan: IAI
Tarbiyatuth Tholabah, 2018). hlm. 5
[13]Fathi
al-Darini, Al-Manhaj al-Islamiyah Fi Ijtihadi bi al-Ra’yi, (Damasyqi:
Dar al-Kutub alHadis, 1975), hlm. 704
[17]Muhammad Hasyim
Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence; The Islamic Text Society,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar and Humanity Studies, 1996), hlm. 185
Tidak ada komentar:
Posting Komentar