Senin, 29 April 2019

Takwil dan Naskh, Muradif dan Musytarak (PAI C Semester Genap 2018/2019)



TA’WIL, NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Khayyun Taqyuddin (16110069), Prima Muhammad Iqbal (16110095), Mariya Widi Astuti (16110096)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Kelas C Tahun 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: mariya.widi@gmail.com

Abstrac
Ta’wil, nasakh, muradif dan musytarakpart of the science of Usul fiqhif you want to learn the deeper science. Ta'wil according to Wahab Khalaf is turned lafazh of zhahirnya, because of the evidence.Nasakh defined the law as removed upon the will of God, and removalin accordance with the substantial validity of a law. MuradhifUsul fiqh scholars did have a sense of some of the lafazh used for one meaning, while the musytarak namely lafazh which has two or more meanings, with the many uses and can indicate a meaning differently.
Keywords: Ta’wil, Nasakh, Muradif, Musytarak, and Ushul Fiqh

Abstrak
            Ta’wil, nasakh, muradif dan musytarak termasuk bagian dari ilmu Ushul fiqh jika ingin mempelajari ilmu tersebut lebih dalam lagi. Ta`wil menurut Wahab Khalaf adalah memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena adanya dalil. Nasakh diartikan sebagai hukum yang dihapus atas kehendak Allah, dan penghapusannya sesuai dengan habisnya masa berlaku suatu hukum.Muradhif menurut ulama ushul fiqh memiliki arti beberapa lafazh yang terpakai untuk satu makna, sedangkan musytarak yaitu lafazh yang memiliki dua arti atau lebih, dengan kegunaan yang banyak dan dapat menunjukan suatu arti secara berbeda-beda.
Kata Kunci: Ta’wil, Nasakh, Muradif, Musytarak, dan Ushul Fiqh

A.    Pendahuluan
Ushul fiqh adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kata yang ada di dalil naqli, karena pada dasarnya menggunakan bahasa Arab. Sedangkan ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang digunakan untuk memahami hukum yang ada di dalil naqli. Tapi, dalam memahami ushul fiqh, terdapat beberapa bab dan sub bab yang harus dipelajari, salah satunya tentang ta’wil, nasakh, muradif dan musytarak.
Ilmu ushul fiqh sangat perlu dipelajari dan dipahami untuk mendapatkan hukum dan untuk mengkaji apa yang ada didalam Al-Quran dan Hadis karena di dalam sumber tersebut menggunakan bahasa Arab. Ditambah juga Ilmu ini masih eksis untuk mendapatkan hukum-hukum baru karena timbul banyak persoalan-persoalan yang timbul seiring dengan berkembangnya zaman dan membutuhkan sesuatu untuk menetapkan hukum atasnya.

B.     Pembahasan
1.      Ta’wil
a.       Pengertian Ta’wil
Secara lughawi ta’wil bersal dari kata اول – يؤولyang berarti Al-Mashir, At-Tafsir dan AL-Marja’, menurut pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsni dan yang dikemukakan oleh Abu Ja’fat At-Thabary.[1]Menurut AL-Qaththan dan Al-jurjani bahwa ta’wil menurut lughat adalah aru-ruju’u ila al-ashl (kembali kepada pokoknya). [2]

Kemudian definisi ta’wil menurut beberapa ulama 1) Menurut Wahab Khalaf adalah memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena adanya dalil. 2) Ibnu Atsir berpendapat bahwa ta’wil adalah mengalihkan zhahir lafazh dari pemakaian asalnya untuk suatu keperluan dalil. Dan 3) Menurut Abu Zahrah yaitu mengeluarakan lafazh dari lahirnya makna kepada makna lain yang kemungkinan ada untuk itu.

Jadi, berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa definisi ta’wil, yaitu: “Memalingkan lafazh dari makna yang lahir kepada makna lain yang mungkin dijangkau oleh dalil”.

Dari kesimpulan diatas juga didapat ciri-ciri ta’wil yang dilihat dari haqiqah, yaitu:
1)      Lafazh tidak lagi dipahami menurut makna lahirnya.
2)      Makna yang dipahami dari lafazh adalah arti lain yang dapat dijangkau oleh makna lahirnya.
3)      Peralihan dari makna lahir kepada makna lain itu tetap disandarkan kepada dalil yang ada.[3]

b.      Syarat-syarat Ta’wil
Pada dasarnya setiap lafazh dipahami menurut lahirnya. Namun ada kemungkinan dalam keadaan tertentu, lafazh itu tidak bisa dipahami menurut lahirnya. Oleh karena itu, dibolehkan menggunakan ta’wil bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Lafazh bisa menerima ta’wil seperti lafazh hash dan lafazh zhahir serta untuk muhkam dan mufassar tidak berlaku.
2)      Lafazh kemungkinan bisa dita’wilkan, karena lafazh tersebut jangkauannya luas, maknanya bisa untuk dita’wil, dan makna yang lain tidak jauh dari makna asli.
3)      Harus mempunyai sandaran dalil dan tidak bertentangan dengan dalil yang ada.[4]

Kemudian menurut Abu Zahrah, syarat melakukan ta’wil bagi lafal nash, sebagi berikut:
1)      Lafal nash yang dita’wil mungkin dilakukan, meskipun makna yang diinginkan jauh dari makna zhahirnya, tapi juga tidak boleh yang sifatnya asing.[5] Artinya zhahir secara hakekat bisa dipahami, namun tidak tepat dengan nash, maka dimajazi untuk menta’wilkan agar pengertian sesuai dengan penerapan.
2)      Ta’wil bisa dilakukan jika arti dari zhahirnya berlawanan dengan nash yang lebih kuat dalalahnya atau bertentangan dengan kaidah yang sudah ditetapkan.
3)      Hendaknya didasari dengan dalil yang kuat dan logis agar bisa diterima dan sesuai dengan penerapannya. Menurut Abdul Karim Zaidan dalil yang dimaksud itu bisa berupa nash, ijma’, qiyas dan hikmah.[6]

c.       Bentuk-bentuk Ta’wil
Pada dasarnya ulama sepakat tentang adanya ta’wil. Perbedaanya terletak pada penerimaan dan penggunaannya.
1)      Dari segi diterima dan tidaknya ta’wil
a)      Ta;wil maqbul (ta’wil yang diterima), yaitu ta’wil yang telah memenuhi syarat-syarat ta’wil diatas.
b)      Ta’wil ghair al-maqbul (ta’wil yang ditolak), yaitu ta’wil yang didasarkan kepada hasrat orang yang menta’wil ataupun dari dorongan lain dan tidak memenuhi syarat yang telah disebutkan diatas.
2)      Dari segi dekat dan jauhnya makna lafazh yang di ta’wil dari makna zhahirnya
a)      Ta’wil qarib,adalah ta’wil yang tidak jauh dari makna zhahirnya, sehingga dengan penalaran dan logika dapat dipahami maksudnya, namun tidak boleh lepas dari syarat-syarat tersebut. Ta’wil ini termasuk kedalam ta’wil maqbul.[7]
Contohnya:
….يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
Artinya :Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mendirikan salat, maka basuhlah wajahmu…. (Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 6).
Lafat ((قمتمyang maknazhahirnya adalah berdiri dan mendirikan, dirubah dengan arti lain yaitu, (العزم على اداء الصلاه). lafatAzzam disini bermakna  menunaikan sholat.
b)      Ta’wil ba’di, adalah ta’wil yang jauh dari makna zhahirnya, sehingga maknanya sulit untuk dipahami. Dan dalam penetapannyadibutuhkan dalil yang kuat dan bisa menjadi lebih rajih daripada makna zhahir.
Contohnya:
….يَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ….
Artinya: ….Tangan Allah di atas tangan mereka…. (Al-Qur’an Surat Al-Fath ayat 10).
Lafat (يدالله) dipahami sebagai tangan Allah, namun menurut Abu Zahrah maknanya tidak tepat. Ia berpendapat bahwa makna lafat tersebut (tangan Allah) harus dita’wilkan kepada makna lain yaitu “kekuasaan Allah”.[8]

d.      Pandangan Ulama Tentang Kedudukan Dalalah Ta’wil
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas, bahwa ta`wil adalah memalingkan lafazh dari zhahirnya kepada makna lain karena ada dalil.Namun dalam penerapannya tidak semudah itu, karena ada perbedaan dalam kalangan ulama` menanggapi hukum ta`wil.[9]

Perbedaan tersebut terutama terjadi antara madzhab syafi`i dengan madzhab Hanafi. Zaky al-Din Sya`ban menjelaskan bahwayang paling banyak melakukan penta’wilan itu dari madzhab Hanafi, daan hasilnya banyak yang ditentang oleh madzhab lainnya.

Ulama` syafi`i berpendapat bahwa penta`wilan itu harus dilakukan dengan makna yang dekat dengan makna zhahirnya, sedangkan menurut madzhab Hanafi yang terpenting adalah sesuai dalil syara` dan tidak menyalahinya serta tidak menggunakan syarat-syarat ta’wil. Sebagai contoh:
…. فىِ كلِّ اَرْبَعِيْنَ شَاةً شاةٌ ….
Artinya: ….Setiap empat puluh ekor kambing, zakatnya harus dikeluarkan satu ekor….

Madzhab Hanafi menta`wil hadits tersebut, bahwa yang dimaksud dengan satu ekor kambing dapatdinilai dengan harganya.Itu bertujuan bahwa diwajibkannya zakat untuk menaggulangi kabutuhan fakir miskin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa barangsiapa yang telah memilki empat puluh ekor kambing, maka wajib baginya mengeluarkan zakat dengan satu ekor kambing dan bisa dengan mebayar uang yang senilai dengan harga satu ekor kambing.

Penta`wilan yang dilakukan madzhab Hanafi tersebut ditolak oleh madzhab Syafi`i, karena menurutnya berdasarkan zhahirnash tersebut menuntut untuk wajibnya zakat satu ekor kambing, karena syar`i sudah ditentukan demikian. Dengan demikian menurut madzhab Syafi’i kewajiban tersebut agar tidak terjadi kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya.[10]

Dari contoh tersebut dapat dapat dipahami bahwa perbedaan itu tidak dapat dihindari, karena mereka pasti mempunyai pemikiran tersendiri dalam menetapkan suatu hokum.Akan tetapi, dapat diambil kesimpulan bahwa ta`wil itudapat dilakukan selama memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan dan tidak berlawanan dengan nash yang sarih.[11]

2.      Nasakh
a.       Pengertian
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر“Mencabut pemberlakuan hukum hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian”. Itulah definisi yang mudah dipahami dari sekian banyak definisi yang dikemukakan ulama.[12]Namun secara bahasa nasakh berartiyaitu menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, mengganti, dan memalingkan.

Sedangkan secara istilah banyak para ulama berbeda pendapat, diantaranya :
Pertama, yaitu pembatalan hukum syara’ oleh hukum syara’, pendapat tersebut dari pendapat ulama mutaqaddimin. Maksudnya yaitu pembatalan atau penghentian suatu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan perbuatan manusia dengan hukum lain yang mana hukum tersebut juga datang dari Allah SWT.

Selanjutnya definisi nasakh yang juga masih dari pendapat ulama mutaqaddimin yaitu hukum syara’ yang bersifat umum di khususkan oleh hukum syara’ yang bersifat khusus. Contoh surat Al baqarah ayat 228 :والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء, maksud dari ayat tersebut adalah tentang masa iddah seorang perempuan yaitu tiga kali sucian. Idaah tersebut masih bersifat umum untuk perempuan yang bagaimanapun.

Kemudian di khususkan oleh ayat 49 dari surat Al Ahzab :
إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل ان تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها,ayat tersebut menjelaskan bahwa masa iddah tiga kali sucian seperti yang di jelaskan pada surat Al Baqarah ayat 228 diatas tidak berlaku pada perempuan yang belum di jima’ oleh suaminya.

Dan juga  ayat 228 Al Baqarah diatas dikhususkan oleh ayat lain yaitu ayat 4 dari surah At Thalaq:واولات الحمال اجلهن ان يضعن حملهن, ayat ini menerangkan bahwa untuk perempuan hamil masa iddahnya adalah sampai dia melahirkan.رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر “Mencabut pemberlakuan hukum hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian”. Itulah definisi yang mudah dipahami dari sekian banyak definisi yang dikemukakan ulama.

Pengertian nasakh selanjutnya yang masih dari pendapat ulama mutaqaddimin yaitu penetapan syarat terhadap suatu hukum terdahulu yang belum bersyarat. Maksudnya yaitu sebuah hukum terdahulu yang bersyarat kemudian ditetapkan syaratnya. Contoh ayat 3 dari surat Al Mujadilah:
والذين يظاهرون من نسائهم ثم يعدون لما قالوا فتحرير رقبة من قبل ان يتماسا, maksud dari ayat ini adalah diwajibkan memerdekakan budak sebelum melakukan hubungan suami istri jika seoarang suami mendhzihar (menyamakan punggung istri dengan punggung ibunya) istri mereka. Budak yang ada dalam ayat tersebut masih mutlaq belum muqayyad, maksudnya masih tidak ditentukan budak yang bagaimana.

Sampai akhirnya ada ayat 92 dari surat An Nisa yang menjelaskan bahwa budak dalam sebuah denda adalah budak mukmin. Dengan kata lain denda memerdekakan budak dalam dhzihar dan denda karena membunuh orang muslim lain adalah memerdekakan budak mukmin.

Dan pengertian yang terakhir dari ulama mutaqaddimin yaitu penjelasan hukum yang bersifat samar yang mana penjelasan tersebut datang kemudian. Contoh dalam surat Al Baqarah ayat 196, menjelasakan tentang fidyah puasa yang masih samar dari melanggar ibadah haji atau umroh yang mana di ayat tersebut pada kalimatselanjutnya di perjelas fidyah puasanya yaitu puasa tiga hari pada saat haji dan tujuh hari setelah pulang atau selesai haji.

Kedua, yaitu pengertian nasakh dari ulama mutaakhirin, yaitu dalil yang datang kemudian yang berfungsi untuk menggugurkan atau menghapuskan hukum yang pertama.[13]

b.      Rukun Nasakh
Ada empat rukun nasakh, diantaranya:
1)      Pernyataan yang menunjukan adanya pembatalan hukum yang telah ada, yang biasa disebut adat an-nasakh
2)      Dalil yang datang dari Allah yang menghapus hukum yang telah ada yang disebut nasikh
3)      Hukum yang di batalkan, dihapuskan, atau digugurkan yang biasa disebut mansukh.
4)      Dan yang terakhir adalah orang yang dibebani hukum atau mansukh ‘anhu[14]

c.       Syarat-syarat Nasakh
Nasakh diperbolehkan asal memenuhi persyaratan, dan ada empat syarat yang telah disepakati jumhur ulama, diantaranya:
1)      Yang dibatalkan, dihapuskan atau digugurkan adalah hukum syara’
2)      Pembatalan, penghapusan atau penguguran hukum tersebut datang dari tuntutan syara’
3)      Penyebab pembatalan hukum bukan karena berakhirnya waktu pemberlakuan hukum. Misalnya, tentang kewajiban berpuasa, bukan berarti hukum tersebut di nasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4)      Hukum yang menasakh harus datang kemudian.[15]

3.      Muradif
a.       Pengertian
Pengertian muradif adalah beberapa kata yang mempunyai satu arti atau bisa dikatakan sebagai sinonim. Seperti kata asad dan allaits yang mana keduanya mempunyai arti singa.[16]
b.      Hukum Muradif
Jumhur ulama sepakat bahwa hukum muradif diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syara’, mereka berpegang pada kaidah :
إيقاع كل من المرادفين مكان الاخر يجوزإذا لم يقم عليه طالع شرعي
Maksud dari kaidah tersebut yaitu, tidak apa-apa meletakkan dua kata muradif (maksudnya seperti contoh diatas) selama tidak ada ketetapan syara’ yang melarangnya.[17]

Dan jumhur juga sepakat bahwa muradif dalam keseharian ataupun dalam Al Quran itu diperbolehkan, namun yang masih menjadi perdebatan atau perbedaan pendapat yaitu dalam lafadz ibadah seperti pengucapan ”Allahu Akbar”. Imam Syafi’I dan Imam Maliki sepakat bahwa kata “Allahu Akbar” tidak boleh di gangti dengan kata lain, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah boleh mengganti lafadz takbir tersebut dengan lafadz lain seperti “Allahu ‘Adham” atau “Allahu A’la[18]

4.      Musytarak
a.       Pengertian
Pada nash syar’i terdapat lafadz musytarak. Jika musytarak memiliki arti lughawi dan arti istilahi maka harus dibawa menurut arti syar’i, maksudnya apabila muytarak menurut bahasa memiliki dua arti atau lebih maka harus dibawa kepada yang satu arti disertai dalil yang menerangkan. Musytarak tidak sah apabila memiliki dua arti atau lebih sekaligus.
Lafadz musytarak, adalah lafadz yang memiliki dua arti atau lebih di beberapa tempat atau makna ganda. Seperti lafadz عينyang bisa diartikan sebagai mata, sumber mata air, mata-mata dan lain-lain. Dan lafadz سنةyang diartikan tahun, bisa tahun masehi, tahun hijriyah, dan tahun syamsiyah.
b.      Contoh Musytarak
Sebab terdapat lafadz musytarak di dalam bahasa itu banyak. Khususnya karena ada beberapa kaum yang menggunakan lafadz-lafadz itu untuk menunjukan suatu pengertian. Beberapa kaum mengartikan اليد (tangan) sebagai seluruh harta ada pula yang mengartikan sebagai lengan dan telapak tangan, yang lain mengartikan hanya tangan saja. Secara bahasa kata اليدdalam bahasa Arab memiliki tiga arti sehingga digolongkan menjadi lafadz musytarak. Beberapa orang memaknai lafadz tersebut dengan makna hakiki dan lebih banyak memaknai dengan makna majazi sehingga orang lupa kalau lafadz tersebut sebenarnya adalah majazi.

Musytarak merupakan isim atau kata benda seperti yang dijelaskan diatas. Ketika lafal-lafal musytarak tersebut terdapat di dalam nash syar’i, bergabung dengan makna istilahi dan makna lughawi oleh karena itu orang harus menentukan yang dimaksud dengan arti istilah syar’i, seperti lafal shalat secara istilah artinya ibadat tertentu. Seperti terdapat dalam firman Allah yang artinya: “Dirikanlah kepadamu sembahyang”. Berarti disini menurut arti syar’i, adalah tertentu ialah ibadat tersebut bukan sekedar makna lughowi yang artinya do’a.
Seandainya lafadz musytarak terdapat di nash tasyri’, bergabung dengan beberapa arti lughowi, maka ijtihad harus menjelaskan apa yang dimaksudksn tersebut. Kemudian mujtahid mengambil dalil qarinah dan perintah-perintahnya. Penunjukan tersebut menjelaskan maksud dari lafal quru’ yang terdapat pada firnan Allah SWT yang berbunyi :“perempuan-perempuan yang ditalak itu harus menahan diri atau menunggu tiga kali quru”. Di sini musytarak-nya adalah antara suci dan haidh. Sebagian mujtahid berpendapat bahwa kata quru’ diartikan sebagai suci dan juga sebaliknya, sebagian mujtahid yang lain berpendapat bahwa quru’ diartikan haidh.
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak (Q.S An-Nisa 12)
Kalalah disini merupakan lafal musytarak. Secara bahasa, kalalah adalah orang yang tidak meninggalkan anak dan tidak mempunyai orang tua (ayah dan ibu) dan ada pula yang mengartika  karib kerabat dari pihak yang tidak memiliki anak dan tidak memiliki orang tua. Kemudian, para mujtahid menetapkan bahwasannya maksud dari ayat tersebut adalah yang pertama (orang yang tidak meninggalkan anak dan tidak mempunyai orang tua).

Dengan demikian apabila ada musytarak yang didalamnya terdapat beberapa makna lughowi, sedangkan syari’at tidak menerangkan arti tersebut maka harus dilakukan ijtihad dengan cara perantaraan teks lain pada undang-undang itu, selain itu juga bisa dengan cara mengembalikan kepada peraturan-peraturan tasyri’. Disini tidak sah apabila musytarak digunakan untuk lebih dari satu arti. Karena lafal musytarak hanya ditempatkan pada satu arti tetapi melingkupi dua makna atau lebih. [19]

C.    Penutup
Hikmah ta’wil adalah untuk menguatkan dalil-dalil hukum, jadi ketika suatu hukum tidak mempunyai dalil yang cukup kuat maka bisa dikuatkan dengan dalil yang lain yang sepadan atau hampir mirip dengan cara di ta‘wil. Hikmah nasakh adalah menetapkan kemaslahatan orang orang dalam bermasyarakat yang mana kemaslahatan orang-orang itu berubah sesuai dengan keadaan mereka.  Kadang, hukum disyariatkan untuk menetapkan hukum yang disebabkan oleh kemaslahatan. Jika sebab-sebab ini hilang maka tidak ada lagi kemaslahatan dari segi hukum.[20]Hikmah Muradif adalah bisa memahami lafadz-lafadz yang memiliki makna yang sama, sehingga bisa membantu mujtahid untuk menentukan sebuah hukum. Hikmah musytarak adalah menjadi bahan perbandingan untuk menentukan makna dari sebuah kalimat sehingga menimbulkan kesepakatan hukum yang kuat.

Daftar Pustaka
Pradja, Juhaya S. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Pradja, Juhaya S. 2013.Ushul Fiqh Perbangdingan. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana,.
SA, Romli. 1999. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Syarifuddin,Amir. 2012.Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Auliya,Sefri dan Azizah, Hidayatul.2018. “Urgensi Kajian Nasikh dan Mansukh Dalam Bingkai Generasi Kekinian(Upaya Membumikan Teori Klasik Untuk Masa Kini” Islam Transformatif: Journal of Islamic Studies. 02(02).
Syafe’i,Rachmat. 2010.Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Khallaf,Syekh Abdul Wahab.2005. Ilmu Usul Fikih. Jakarta: PT Asadi Mahasatya.
Padil,Moh dan Tharaba, Fahim.2017.Ushul fiqh “Dasar, Sejarah, dan Aplikasi Ushul Fiqh dalam Ranah Sosial”, Malang: Madani.
Muhtadin.2018. Komunikasi Transendental Pada Taqwa, Dzikir, Dan Falah Dalam Makna Semantik/Majazi, JURNAL PUSTAKA KOMUNIKASI. 1(1), 113 – 123.

Catatan:
1.      Similarity 11%
2.      Penulisan harus dibenahi, misalnya tulis ibid bukan ibit, tulis ba’id bukan ba’di
3.      Mengapa pembahasan muradif sedikit sekali?
4.      Makalah perlu dirapikan, sehingga enak dilihat dan dibaca


[1] Juhaya S. Pradja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 169.
[2]Juhaya S. Pradja, Ushul Fiqh Perbangdingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 338.
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 41.
[4]Ibit., hlm. 42.
[5] Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 212.
[6]Ibit., hlm. 213.
[7] Amir syarifuddin, Op.Cit.,hlm. 43.
[8] Romli SA, Op.Cit., hlm. 212
[9]Ibit., hlm. 213.
[10]Ibit., hlm. 214.
[11]Ibit., hlm. 215.
[12] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012) hlm 84.
[13] Sefri Auliya dan Hidayatul Azizah “Urgensi Kajian Nasikh dan Mansukh Dalam Bingkai Generasi Kekinian(Upaya Membumikan Teori Klasik Untuk Masa Kini” Islam Transformatif: Journal of Islamic Studies, Vol.02, No.02., Juli-Desember 2018, hlm. 186.
[14] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS ,(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010), Hlm.232.
[15]Ibid., Hlm. 236.
[16] Moh Padil dan Fahim Tharaba, hlm. 225.
[17]Muhtadin, Komunikasi Transendental Pada Taqwa, Dzikir, Dan Falah Dalam Makna Semantik/Majazi, JURNAL PUSTAKA KOMUNIKASI, Vol. 1, No. 1, (Maret 2018) 113 – 123, Hlm. 115.
[18] Moh Padil dan Fahim Tharaba, Op.Cit.,hlm. 226.
[19]Syekh Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit., hlm 221-225
[20] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fikih, (Jakarta: PT Asadi Mahasatya, 2005), Hlm. 282.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar