TA’WIL, NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Khayyun Taqyuddin (16110069), Prima Muhammad Iqbal
(16110095), Mariya Widi Astuti (16110096)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Kelas C Tahun
2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: mariya.widi@gmail.com
Abstrac
Ta’wil, nasakh, muradif dan musytarakpart
of the science of Usul fiqhif you want to learn the deeper science. Ta'wil
according to Wahab Khalaf is turned lafazh of zhahirnya, because of the
evidence.Nasakh defined the law as removed upon the will of God, and removalin
accordance with the substantial validity of a law. MuradhifUsul fiqh
scholars did have a sense of some of the lafazh used for one meaning, while the
musytarak namely lafazh which has two or more meanings, with the many
uses and can indicate a meaning differently.
Keywords: Ta’wil, Nasakh, Muradif, Musytarak,
and Ushul Fiqh
Abstrak
Ta’wil, nasakh,
muradif dan musytarak termasuk bagian dari ilmu Ushul fiqh jika
ingin mempelajari ilmu tersebut lebih dalam lagi. Ta`wil menurut
Wahab Khalaf adalah memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena adanya dalil. Nasakh diartikan sebagai hukum yang
dihapus atas kehendak Allah, dan penghapusannya sesuai dengan habisnya masa
berlaku suatu hukum.Muradhif menurut
ulama ushul fiqh memiliki arti beberapa lafazh yang terpakai untuk satu makna,
sedangkan musytarak yaitu lafazh yang memiliki dua arti
atau lebih, dengan kegunaan yang banyak dan dapat menunjukan suatu arti secara
berbeda-beda.
Kata Kunci: Ta’wil, Nasakh, Muradif, Musytarak, dan
Ushul Fiqh
A. Pendahuluan
Ushul fiqh adalah ilmu yang digunakan untuk memahami
kata yang ada di dalil naqli, karena pada dasarnya menggunakan bahasa Arab.
Sedangkan ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang digunakan untuk memahami hukum yang
ada di dalil naqli. Tapi, dalam memahami ushul fiqh, terdapat beberapa bab dan
sub bab yang harus dipelajari, salah satunya tentang ta’wil, nasakh, muradif
dan musytarak.
Ilmu ushul fiqh sangat perlu dipelajari dan dipahami
untuk mendapatkan hukum dan untuk mengkaji apa yang ada didalam Al-Quran dan
Hadis karena di dalam sumber tersebut menggunakan bahasa Arab. Ditambah juga
Ilmu ini masih eksis untuk mendapatkan hukum-hukum baru karena timbul banyak
persoalan-persoalan yang timbul seiring dengan berkembangnya zaman dan
membutuhkan sesuatu untuk menetapkan hukum atasnya.
B. Pembahasan
1. Ta’wil
a. Pengertian Ta’wil
Secara lughawi ta’wil bersal dari kata اول – يؤولyang berarti Al-Mashir, At-Tafsir dan
AL-Marja’, menurut pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsni dan yang
dikemukakan oleh Abu Ja’fat At-Thabary.[1]Menurut
AL-Qaththan dan Al-jurjani bahwa ta’wil menurut lughat adalah aru-ruju’u ila
al-ashl (kembali kepada pokoknya). [2]
Kemudian definisi ta’wil menurut beberapa ulama 1) Menurut Wahab Khalaf adalah memalingkan lafazh dari zhahirnya,
karena adanya dalil. 2) Ibnu Atsir
berpendapat bahwa ta’wil adalah mengalihkan zhahir lafazh dari pemakaian
asalnya untuk suatu keperluan dalil. Dan 3) Menurut Abu Zahrah yaitu
mengeluarakan lafazh dari lahirnya makna kepada makna lain yang kemungkinan ada
untuk itu.
Jadi, berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
definisi ta’wil, yaitu: “Memalingkan lafazh dari makna yang lahir kepada makna
lain yang mungkin dijangkau oleh dalil”.
Dari kesimpulan diatas juga didapat ciri-ciri ta’wil
yang dilihat dari haqiqah, yaitu:
1) Lafazh tidak lagi dipahami menurut makna lahirnya.
2) Makna yang dipahami dari lafazh adalah arti lain yang dapat dijangkau
oleh makna lahirnya.
3) Peralihan dari makna lahir kepada makna lain itu tetap disandarkan kepada
dalil yang ada.[3]
b. Syarat-syarat Ta’wil
Pada dasarnya setiap lafazh dipahami menurut lahirnya.
Namun ada kemungkinan dalam keadaan tertentu, lafazh itu tidak bisa dipahami
menurut lahirnya. Oleh karena itu, dibolehkan menggunakan ta’wil bila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1) Lafazh bisa menerima ta’wil seperti lafazh hash dan lafazh zhahir serta
untuk muhkam dan mufassar tidak berlaku.
2) Lafazh kemungkinan bisa dita’wilkan, karena lafazh tersebut jangkauannya
luas, maknanya bisa untuk dita’wil, dan makna yang lain tidak jauh dari makna
asli.
3) Harus mempunyai sandaran dalil dan tidak bertentangan dengan dalil yang
ada.[4]
Kemudian menurut Abu Zahrah, syarat melakukan ta’wil
bagi lafal nash, sebagi berikut:
1) Lafal nash yang dita’wil mungkin dilakukan, meskipun makna yang
diinginkan jauh dari makna zhahirnya, tapi juga tidak boleh yang sifatnya
asing.[5]
Artinya zhahir secara hakekat bisa dipahami, namun tidak tepat dengan nash,
maka dimajazi untuk menta’wilkan agar pengertian sesuai dengan penerapan.
2) Ta’wil bisa dilakukan jika arti dari zhahirnya berlawanan dengan nash
yang lebih kuat dalalahnya atau bertentangan dengan kaidah yang sudah
ditetapkan.
3) Hendaknya didasari dengan
dalil yang kuat dan logis agar bisa diterima dan sesuai dengan penerapannya.
Menurut Abdul Karim Zaidan dalil yang dimaksud itu bisa berupa nash, ijma’, qiyas dan hikmah.[6]
c. Bentuk-bentuk Ta’wil
Pada dasarnya ulama sepakat tentang adanya ta’wil.
Perbedaanya terletak pada penerimaan dan penggunaannya.
1) Dari segi diterima dan tidaknya ta’wil
a) Ta;wil maqbul (ta’wil yang diterima), yaitu ta’wil yang telah memenuhi
syarat-syarat ta’wil diatas.
b) Ta’wil ghair al-maqbul (ta’wil yang ditolak), yaitu ta’wil yang
didasarkan kepada hasrat orang yang menta’wil ataupun dari dorongan lain dan
tidak memenuhi syarat yang telah disebutkan diatas.
2) Dari segi dekat dan jauhnya makna lafazh yang di ta’wil dari makna
zhahirnya
a) Ta’wil qarib,adalah ta’wil yang tidak jauh dari makna zhahirnya,
sehingga dengan penalaran dan logika dapat dipahami maksudnya, namun tidak
boleh lepas dari syarat-syarat tersebut. Ta’wil ini termasuk kedalam ta’wil
maqbul.[7]
Contohnya:
….يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ
فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
Artinya
:Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mendirikan salat, maka basuhlah
wajahmu…. (Al-Qur’an
Surat Al-Maidah ayat 6).
Lafat ((قمتمyang maknazhahirnya
adalah berdiri dan mendirikan, dirubah dengan arti lain yaitu, (العزم على اداء الصلاه). lafatAzzam disini bermakna menunaikan sholat.
b) Ta’wil ba’di, adalah ta’wil yang jauh dari makna zhahirnya, sehingga
maknanya sulit untuk dipahami. Dan dalam penetapannyadibutuhkan dalil yang kuat
dan bisa menjadi lebih rajih daripada makna zhahir.
Contohnya:
….يَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ….
Artinya:
….Tangan Allah di
atas tangan mereka….
(Al-Qur’an Surat Al-Fath ayat 10).
Lafat (يدالله) dipahami sebagai tangan Allah, namun menurut Abu
Zahrah maknanya tidak tepat. Ia berpendapat bahwa makna lafat tersebut (tangan
Allah) harus dita’wilkan kepada makna lain yaitu “kekuasaan Allah”.[8]
d. Pandangan Ulama Tentang Kedudukan Dalalah Ta’wil
Sebagaimana yang sudah dijelaskan
diatas, bahwa ta`wil adalah memalingkan lafazh dari zhahirnya kepada makna lain
karena ada dalil.Namun dalam penerapannya tidak semudah itu, karena ada
perbedaan dalam kalangan ulama` menanggapi hukum ta`wil.[9]
Perbedaan
tersebut terutama terjadi antara madzhab syafi`i dengan madzhab Hanafi. Zaky
al-Din Sya`ban menjelaskan bahwayang paling banyak melakukan penta’wilan itu
dari madzhab Hanafi, daan hasilnya banyak yang ditentang oleh madzhab lainnya.
Ulama` syafi`i
berpendapat bahwa penta`wilan itu harus dilakukan dengan makna yang dekat
dengan makna zhahirnya, sedangkan menurut madzhab Hanafi yang terpenting adalah
sesuai dalil syara` dan tidak menyalahinya serta tidak menggunakan
syarat-syarat ta’wil. Sebagai contoh:
…. فىِ
كلِّ اَرْبَعِيْنَ شَاةً شاةٌ ….
Artinya: ….Setiap empat puluh ekor kambing, zakatnya harus
dikeluarkan satu ekor….
Madzhab Hanafi menta`wil hadits
tersebut, bahwa yang dimaksud dengan satu ekor kambing dapatdinilai dengan
harganya.Itu bertujuan bahwa diwajibkannya zakat untuk menaggulangi kabutuhan
fakir miskin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa barangsiapa yang telah
memilki empat puluh ekor kambing, maka wajib baginya mengeluarkan zakat dengan
satu ekor kambing dan bisa dengan mebayar uang yang senilai dengan harga satu
ekor kambing.
Penta`wilan
yang dilakukan madzhab Hanafi tersebut ditolak oleh madzhab Syafi`i, karena
menurutnya berdasarkan zhahirnash tersebut menuntut untuk wajibnya zakat satu
ekor kambing, karena syar`i sudah ditentukan demikian. Dengan demikian menurut
madzhab Syafi’i kewajiban tersebut agar tidak terjadi kesenjangan antara yang
miskin dan yang kaya.[10]
Dari contoh
tersebut dapat dapat dipahami bahwa perbedaan itu tidak dapat dihindari, karena
mereka pasti mempunyai pemikiran tersendiri dalam menetapkan suatu hokum.Akan
tetapi, dapat diambil kesimpulan bahwa ta`wil itudapat dilakukan selama
memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan dan tidak berlawanan dengan nash
yang sarih.[11]
2. Nasakh
a.
Pengertian
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر“Mencabut pemberlakuan hukum hukum syara’
dengan dalil syara’ yang datang kemudian”. Itulah definisi yang mudah dipahami
dari sekian banyak definisi yang dikemukakan ulama.[12]Namun
secara bahasa nasakh berartiyaitu menghilangkan, menghapuskan, memindahkan,
mengganti, dan memalingkan.
Sedangkan
secara istilah banyak para ulama berbeda pendapat, diantaranya :
Pertama,
yaitu pembatalan hukum syara’ oleh hukum syara’, pendapat
tersebut dari pendapat ulama mutaqaddimin. Maksudnya yaitu pembatalan
atau penghentian suatu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT melalui Nabi
Muhammad SAW yang berkaitan dengan perbuatan manusia dengan hukum lain yang
mana hukum tersebut juga datang dari Allah SWT.
Selanjutnya
definisi nasakh yang juga masih dari pendapat ulama mutaqaddimin yaitu
hukum syara’ yang bersifat umum di khususkan oleh hukum syara’ yang bersifat
khusus. Contoh surat Al baqarah ayat 228 :والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء, maksud dari ayat tersebut adalah tentang
masa iddah seorang perempuan yaitu tiga kali sucian. Idaah tersebut
masih bersifat umum untuk perempuan yang bagaimanapun.
Kemudian
di khususkan oleh ayat 49 dari surat Al Ahzab :
إذا
نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل ان تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها,ayat
tersebut menjelaskan bahwa masa iddah tiga kali sucian seperti yang di
jelaskan pada surat Al Baqarah ayat 228 diatas tidak berlaku pada perempuan
yang belum di jima’ oleh suaminya.
Dan
juga ayat 228 Al Baqarah diatas
dikhususkan oleh ayat lain yaitu ayat 4 dari surah At Thalaq:واولات الحمال اجلهن ان يضعن حملهن, ayat ini menerangkan bahwa untuk perempuan
hamil masa iddahnya adalah sampai dia melahirkan.رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر “Mencabut pemberlakuan hukum hukum syara’
dengan dalil syara’ yang datang kemudian”. Itulah definisi yang mudah dipahami
dari sekian banyak definisi yang dikemukakan ulama.
Pengertian
nasakh selanjutnya yang masih dari pendapat ulama mutaqaddimin yaitu
penetapan syarat terhadap suatu hukum terdahulu yang belum bersyarat. Maksudnya
yaitu sebuah hukum terdahulu yang bersyarat kemudian ditetapkan syaratnya.
Contoh ayat 3 dari surat Al Mujadilah:
والذين
يظاهرون من نسائهم ثم يعدون لما قالوا فتحرير رقبة من قبل ان يتماسا,
maksud dari ayat ini adalah diwajibkan memerdekakan budak sebelum melakukan
hubungan suami istri jika seoarang suami mendhzihar (menyamakan punggung
istri dengan punggung ibunya) istri mereka. Budak yang ada dalam ayat tersebut
masih mutlaq belum muqayyad, maksudnya masih tidak ditentukan
budak yang bagaimana.
Sampai
akhirnya ada ayat 92 dari surat An Nisa yang menjelaskan bahwa budak dalam
sebuah denda adalah budak mukmin. Dengan kata lain denda memerdekakan budak
dalam dhzihar dan denda karena membunuh orang muslim lain adalah
memerdekakan budak mukmin.
Dan
pengertian yang terakhir dari ulama mutaqaddimin yaitu penjelasan hukum
yang bersifat samar yang mana penjelasan tersebut datang kemudian. Contoh dalam
surat Al Baqarah ayat 196, menjelasakan tentang fidyah puasa yang masih samar
dari melanggar ibadah haji atau umroh yang mana di ayat tersebut pada
kalimatselanjutnya di perjelas fidyah puasanya yaitu puasa tiga hari pada saat
haji dan tujuh hari setelah pulang atau selesai haji.
Kedua,
yaitu pengertian nasakh dari ulama mutaakhirin, yaitu dalil yang datang
kemudian yang berfungsi untuk menggugurkan atau menghapuskan hukum yang
pertama.[13]
b.
Rukun Nasakh
Ada
empat rukun nasakh, diantaranya:
1)
Pernyataan yang menunjukan adanya pembatalan hukum yang telah ada,
yang biasa disebut adat an-nasakh
2)
Dalil yang datang dari Allah yang menghapus hukum yang telah ada
yang disebut nasikh
3)
Hukum yang di batalkan, dihapuskan, atau digugurkan yang biasa
disebut mansukh.
4)
Dan yang terakhir adalah orang yang dibebani hukum atau mansukh
‘anhu[14]
c.
Syarat-syarat Nasakh
Nasakh
diperbolehkan asal memenuhi persyaratan, dan ada empat syarat yang telah
disepakati jumhur ulama, diantaranya:
1)
Yang dibatalkan, dihapuskan atau digugurkan adalah hukum syara’
2)
Pembatalan, penghapusan atau penguguran hukum tersebut datang dari
tuntutan syara’
3)
Penyebab pembatalan hukum bukan karena berakhirnya waktu
pemberlakuan hukum. Misalnya, tentang kewajiban berpuasa, bukan berarti hukum
tersebut di nasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4)
Hukum yang menasakh harus datang kemudian.[15]
3.
Muradif
a.
Pengertian
Pengertian
muradif adalah beberapa kata yang mempunyai satu arti atau bisa dikatakan
sebagai sinonim. Seperti kata asad dan allaits yang mana keduanya
mempunyai arti singa.[16]
b.
Hukum Muradif
Jumhur
ulama sepakat bahwa hukum muradif diperbolehkan selama tidak bertentangan
dengan syara’, mereka berpegang pada kaidah :
إيقاع
كل من المرادفين مكان الاخر يجوزإذا لم يقم عليه طالع شرعي
Maksud dari
kaidah tersebut yaitu, tidak apa-apa meletakkan dua kata muradif (maksudnya
seperti contoh diatas) selama tidak ada ketetapan syara’ yang melarangnya.[17]
Dan
jumhur juga sepakat bahwa muradif dalam keseharian ataupun dalam Al Quran itu
diperbolehkan, namun yang masih menjadi perdebatan atau perbedaan pendapat
yaitu dalam lafadz ibadah seperti pengucapan ”Allahu Akbar”. Imam Syafi’I
dan Imam Maliki sepakat bahwa kata “Allahu Akbar” tidak boleh di gangti
dengan kata lain, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah boleh mengganti lafadz
takbir tersebut dengan lafadz lain seperti “Allahu ‘Adham” atau “Allahu
A’la”[18]
4.
Musytarak
a.
Pengertian
Pada nash syar’i terdapat lafadz
musytarak. Jika musytarak memiliki arti lughawi dan arti istilahi maka harus
dibawa menurut arti syar’i, maksudnya apabila muytarak menurut bahasa memiliki
dua arti atau lebih maka harus dibawa kepada yang satu arti disertai dalil yang
menerangkan. Musytarak tidak sah apabila memiliki dua arti atau lebih
sekaligus.
Lafadz musytarak, adalah lafadz yang memiliki dua arti atau lebih di beberapa
tempat atau makna ganda. Seperti lafadz عينyang bisa
diartikan sebagai mata, sumber mata air, mata-mata dan lain-lain. Dan lafadz سنةyang diartikan
tahun, bisa tahun masehi, tahun hijriyah, dan tahun syamsiyah.
b.
Contoh Musytarak
Sebab terdapat lafadz musytarak di
dalam bahasa itu banyak. Khususnya karena ada beberapa kaum yang menggunakan
lafadz-lafadz itu untuk menunjukan suatu pengertian. Beberapa kaum mengartikan اليد (tangan) sebagai seluruh harta ada pula yang mengartikan
sebagai lengan dan telapak tangan, yang lain mengartikan hanya tangan saja.
Secara bahasa kata اليدdalam bahasa Arab memiliki tiga arti sehingga digolongkan menjadi
lafadz musytarak. Beberapa orang memaknai lafadz tersebut dengan makna hakiki
dan lebih banyak memaknai dengan makna majazi sehingga orang lupa kalau lafadz
tersebut sebenarnya adalah majazi.
Musytarak merupakan isim atau kata
benda seperti yang dijelaskan diatas. Ketika lafal-lafal musytarak tersebut
terdapat di dalam nash syar’i, bergabung dengan makna istilahi dan makna
lughawi oleh karena itu orang harus menentukan yang dimaksud dengan arti
istilah syar’i, seperti lafal shalat secara istilah artinya ibadat tertentu.
Seperti terdapat dalam firman Allah yang artinya: “Dirikanlah kepadamu
sembahyang”. Berarti disini menurut arti syar’i, adalah tertentu ialah
ibadat tersebut bukan sekedar makna lughowi yang artinya do’a.
Seandainya lafadz musytarak terdapat
di nash tasyri’, bergabung dengan beberapa arti lughowi, maka ijtihad harus
menjelaskan apa yang dimaksudksn tersebut. Kemudian mujtahid mengambil dalil
qarinah dan perintah-perintahnya. Penunjukan tersebut menjelaskan maksud dari
lafal quru’ yang terdapat pada firnan Allah SWT yang berbunyi :“perempuan-perempuan
yang ditalak itu harus menahan diri atau menunggu tiga kali quru”. Di sini
musytarak-nya adalah antara suci dan haidh. Sebagian mujtahid berpendapat bahwa
kata quru’ diartikan sebagai suci dan juga sebaliknya, sebagian mujtahid yang
lain berpendapat bahwa quru’ diartikan haidh.
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ
امْرَأَةٌ
Jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak (Q.S
An-Nisa 12)
Kalalah disini merupakan lafal
musytarak. Secara bahasa, kalalah adalah orang yang tidak meninggalkan anak dan
tidak mempunyai orang tua (ayah dan ibu) dan ada pula yang mengartika karib kerabat dari pihak yang tidak memiliki
anak dan tidak memiliki orang tua. Kemudian, para mujtahid menetapkan
bahwasannya maksud dari ayat tersebut adalah yang pertama (orang yang tidak
meninggalkan anak dan tidak mempunyai orang tua).
Dengan demikian apabila ada
musytarak yang didalamnya terdapat beberapa makna lughowi, sedangkan syari’at
tidak menerangkan arti tersebut maka harus dilakukan ijtihad dengan cara
perantaraan teks lain pada undang-undang itu, selain itu juga bisa dengan cara
mengembalikan kepada peraturan-peraturan tasyri’. Disini tidak sah apabila
musytarak digunakan untuk lebih dari satu arti. Karena lafal musytarak hanya
ditempatkan pada satu arti tetapi melingkupi dua makna atau lebih. [19]
C. Penutup
Hikmah ta’wil adalah untuk menguatkan dalil-dalil
hukum, jadi ketika suatu hukum tidak mempunyai dalil yang cukup kuat maka bisa
dikuatkan dengan dalil yang lain yang sepadan atau hampir mirip dengan cara di
ta‘wil. Hikmah nasakh
adalah menetapkan kemaslahatan orang orang dalam bermasyarakat yang mana
kemaslahatan orang-orang itu berubah sesuai dengan keadaan mereka. Kadang, hukum disyariatkan untuk menetapkan
hukum yang disebabkan oleh kemaslahatan. Jika sebab-sebab ini hilang maka tidak
ada lagi kemaslahatan dari segi hukum.[20]Hikmah
Muradif adalah bisa memahami lafadz-lafadz yang memiliki makna yang sama, sehingga
bisa membantu mujtahid untuk menentukan sebuah hukum. Hikmah
musytarak adalah menjadi bahan perbandingan untuk menentukan makna dari sebuah
kalimat sehingga menimbulkan kesepakatan hukum yang kuat.
Daftar Pustaka
Pradja, Juhaya S. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka
Setia.
Pradja, Juhaya S. 2013.Ushul Fiqh
Perbangdingan. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta:
Kencana,.
SA, Romli. 1999. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta: Gaya
Media Pratama.
Syarifuddin,Amir. 2012.Garis-garis Besar Ushul Fiqh.
Jakarta: Kencana.
Auliya,Sefri dan Azizah, Hidayatul.2018. “Urgensi Kajian Nasikh
dan Mansukh Dalam Bingkai Generasi Kekinian(Upaya Membumikan Teori Klasik Untuk
Masa Kini” Islam Transformatif: Journal of Islamic Studies. 02(02).
Syafe’i,Rachmat. 2010.Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS.
Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Khallaf,Syekh Abdul Wahab.2005. Ilmu Usul Fikih. Jakarta: PT
Asadi Mahasatya.
Padil,Moh dan Tharaba, Fahim.2017.Ushul fiqh “Dasar, Sejarah,
dan Aplikasi Ushul Fiqh dalam Ranah Sosial”, Malang: Madani.
Muhtadin.2018. Komunikasi Transendental Pada Taqwa, Dzikir, Dan
Falah Dalam Makna Semantik/Majazi, JURNAL PUSTAKA KOMUNIKASI. 1(1), 113 –
123.
Catatan:
1.
Similarity 11%
2.
Penulisan harus dibenahi, misalnya tulis ibid bukan ibit,
tulis ba’id bukan ba’di
3.
Mengapa pembahasan muradif sedikit sekali?
4.
Makalah perlu dirapikan, sehingga enak dilihat dan dibaca
[1]
Juhaya S. Pradja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
169.
[2]Juhaya S. Pradja, Ushul Fiqh Perbangdingan,
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 338.
[3]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 41.
[5]
Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999), hlm. 212.
[7]
Amir syarifuddin, Op.Cit.,hlm. 43.
[8]
Romli SA, Op.Cit., hlm. 212
[12]
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012)
hlm 84.
[13]
Sefri Auliya dan Hidayatul Azizah “Urgensi Kajian Nasikh dan Mansukh Dalam
Bingkai Generasi Kekinian(Upaya Membumikan Teori Klasik Untuk Masa Kini”
Islam Transformatif: Journal of Islamic Studies, Vol.02, No.02., Juli-Desember
2018, hlm. 186.
[14]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS ,(Bandung: CV
PUSTAKA SETIA, 2010), Hlm.232.
[15]Ibid.,
Hlm. 236.
[16] Moh
Padil dan Fahim Tharaba, hlm. 225.
[17]Muhtadin,
Komunikasi Transendental Pada Taqwa, Dzikir, Dan Falah Dalam Makna
Semantik/Majazi, JURNAL PUSTAKA KOMUNIKASI, Vol. 1, No. 1, (Maret 2018) 113
– 123, Hlm. 115.
[18] Moh
Padil dan Fahim Tharaba, Op.Cit.,hlm. 226.
[19]Syekh
Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit., hlm 221-225
[20]
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fikih, (Jakarta:
PT Asadi Mahasatya, 2005), Hlm. 282.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar