TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Dira Rahmadini (16110174) dan Baddariyah Smad
(16110207)
Mahasiswa PAI kelas F Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Abstract
This article discusses the methods and aspects of
language in the ushul fiqh rules, which include ta'wil, nasakh, muradif and
musytarak. Talking about ta'wil, this is an effort to bring meaning that zhahir
has (probabilities) to other meanings supported by theorem. And it will be
explained in terms of terms, conditions and forms of regional offices. The next
discussion concerning the subject matter can be interpreted by the cancellation
and deletion of a law with the existence of a substitute argument. In it covers
the terms, guidelines, scope, division of the text and examples. Then the
explanation of the terms of language in the pronunciation, namely muradif and
musytarak, and the law will be explained using these lafaz-lafaz.
Keywords: Ta'wil, Nasakh, Muradif and Musytarak
Abstrak
Artikel ini membahas tentang metode dan segi bahasa
dalam kaidah ushul fiqih, yaitu meliputi ta’wil, nasakh, muradif dan
musytarak. Membicarakan tentang ta’wil, hal ini merupakan suatu
usaha membawa makna yang zhahir mempunyai (probilitas)
kepada makna lain yang didukung oleh dalil. Dan akan dijelaskan di dalamnya
pengertian, syarat dan bentuk- bentuk ta’wil. Pembahasan selanjutnya mengenai nasakh yang bisa diartikan dengan pembatalan dan penghapusan suatu hukum
dengan adanya dalil yang mengganti. Didalamnya mencangkup tentang syarat-
syarat, pendoman, ruang lingkup, pembagian naskh
dan juga contoh- contohnya. Kemudian pembasan
tentang segi bahasa pada lafaz
yaitu muradif
dan
musytarak, begitu pula di dalamnya akan dijelaskan hukum
menggunakan lafaz- lafaz tersebut.
Kata Kunci: Ta’wil, Nasakh, Muradif Dan Musytarak
A. Pendahuluan
Dalam materi yang membicarakan hukum Islam selalu akan ditemukan istilah-
istilah seperti fiqh, ushul fiqh dan qawa’id al- fiqh. Dengan
demikian istilah fiqh mengacu pada sebuah ilmu yang berkaiatn dengan
hukum syara’yang praktis. Sedang istilah ushul fiqh suatu ilmu yang
menunjukkan kepada pembahasan kaidah- kaidah mengenai metode yang harus
ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil- dalilnya.
Pada materi di dalam artikel ini membahas ruang lingkup yang terdapat
pada ushul fiqh. Ushul fiqh adalah kaidah- kaidah istinbath hukum syara
dari dalil- dalilnya. Dan juga ushul fiqh dapat menjabarkan dibalik
usaha dalam menetapkan hukum hukum yang lahir sebuh materi fiqih. Ushul fiqh
tidak terlepas dari sumber hukum utama yaitu Al- Qur’an dan As-Sunnah. Dalam
memahami sebuah nash dalam sumber utama tersebut dengan benar dan tepat, membutuhkan
sebuah usaha. Usaha tersebut masuk dalam kajian ilmu ushul fiqh yaitu salah
satunya metode istinbath, metode penetapan hukum Islam dan lain sebagainya.
Agar dapat mengkaji lebih dalam
lagi bagaimana kaidah- kaidah menyampaikan istinbath hukum syara’ dari dalil-
dalilnya. Maka butuh sesuatu pemahaman ilmu tentang memahami lafadz sampai
terciptanya sebuat kaidah- kaidah yang menyampaikan kepada istinbath hukum
syara. Begitu pula memahami metode- metode yang akan digunakan di dalamnya.
B. Ta’wil (Muawwal)
1.
Pengertian
Ta’wil
Secara
etimologi, kata ini diambil dari kata: يُؤَوِّلُ
–أوّل
yang
berarti Al- Mashir (kembali, tempat
kembali) atau Al- Jaza’(Balasan yang
kembali kepadanya), At- Tafsir (penjelasan, uraian) atau Al- Marja’.[1]
Secara terminologi, terdapat perbedaan dari para ulama salaf dalam
mendefinisikan Takwil, antara lain sebagai berikut:
a)
Imam Al- Ghazali di kitab Al-
Mustashfa
“Sesungguhnya
Takwil adalah sebuah ungkapan dalam pengambilan makna dari lafazh yang sifatnya
propabilitas yang telah didukung dengan dalil dan menjdaikan arti yang lebih
kuat dari makna yang ditunjukkan dari lafazh zhahir”.
b)
Imam Al- Amudi di kitab Al-
Mustashfa
“Membawa
makna yang zhahir mempunyai (probilitas) kepada makna lain yang didukung oleh
dalil”.[2]
Menurut ulama Ushul Fiqih, yaitu dari kesimpulan Adib Shalih ta’wil adalah pemalingan dari sesuatu lafaz maknanya yang zhahir kepada makna
yang lain yang tidak mudah ditangkap, karena teradapat dalil yang menunjukkan
ahwa makna itulah yang dimaksud oleh lafaz tersebut.[3]
Pada kalangan Muhaditsin sejalan dengan definisi yang telah dikemukakan
oleh ulama Ushul Fiqih, yaitu:
a)
Menurut Wahab Khalaf:
“Memalingkan lafazh darizhahirnya,
karena ada dalil”
b)
Abu Zarhah
“Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari
artinya yang zhahir kepada makna lain, teapi bukan zhahir-nya”[4]
Definisi- definisi yang terdapat diatas berbeda
menurut lahirnya, bisa dirangkum dan menjadi rumusan tentang definisi Ta’wil:
“Memalingkan arti yang lahir dari lafaz kepada arti lain yang mungkin bisa dijangkau oleh dalil”
Dari
rumusan tersebut dapat di lihat haqiqah yang merupakan cirri dari ta’wil:
a) Tidak
dapat dipahami menurut dalam arti lahirnya dari Lafaz tersebut.
b) Arti
yang dapat dipahami oleh lafaz itu adalah secara umum artinya yang lain juga
dijangkau oleh lahir arti lafaz itu.
c) Peralihan
yang berawal dari arti lahir kepada arti lain itu menyandar kepada pentunjuk
dalil yang ada.[5]
2.
Syarat-
syarat Ta’wil
a)
Lafaz dapat menerima Ta’wil, yaitu
seperti lafaz- lafaz zhahir dan lafazh khas serta ttidak berlaku
untuk muhkam dan muffasar.
b)
Lafaz yang mengandung
kemungkinan untuk dita’wilkan, lafaz tersebut memiliki kemungkinan
jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk dita’wilkan, serta tidak
susah ataupun asing dengan pengalihan kepada makna yang lain.
c)
Lafaz tersebut merupakan nash
untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz yang lain yang muffasar. Maka
dalam hal seperti ini bertindaklah dengan ta’wil.
d)
Ta’wil tidak bertentangan dengan
dalil yang ada dan juga harus mempunyai sandaran kepada dalil.[6]
Para ulama’ menetapkan dasar umum untuk menetapkan adanya ta’wil berasal
dari teks bahasa dan uslub- uslubnya, agar terjaga ijtihad dengan ra’yu tidak
menjadi sesat. Para ulama’ mewajibkan agar mengamalkan syariat dengan ayat
zahir sehingga terdapat isyarat dalam menggunakan ta’wil. Dan
sesungguhnya syarat- syarat takwil itu dari teks pembinaan syariat yang ada dan
maksud syara’.
Pada kesimpulannya, ta’wil erat dengan kaitannya maksud syariat
yang berasal dari nash, tidak hanya dalilnya itu sendiri. Hal tersebut juga
termasuk metode ijtihad dengan ra’yu, yaitu membatasi arti yang dimaksud dengan
dalil. Agar jelas, dibawah ini persyaratan ta’wil tersebut:
a.
Lafaz
yang dita’wilkan, betul- betul sudah memenuhi kriteria dan masuk pada
kajiannya.
Bahwa telah diterangkan bahwa dalil- dalil yang sudah ditafsirkan dan
sudah ditetapkan ketentuan hukumnya tidak dibisa di ta’wil. Tetapi di
kalangan Hanafiyah, ta’wil itu boleh meskipun pada nas yang zhahir dan
pada semua dalil yang berhubungan denga syariat Islam.
b.
Ta’wil
harus berdasarkan dalil yang shahih yang dapat menguatkan ta’wil
Contoh ta’wil dari naskh yang dalamya terdapati pertentangan
antara zhahir nash yang mengandung juz’i dengan dasar umum syariat, adalah
hadis tentang mengatakan bahwa
Rasulullah SAW, bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya”.
Siti Aisyah menolak hadits itu dikarenakan hal itu bertentangan dengan
dasar umum syariat yang terdapat dalam Al- Qur’an, yaitu:
Artinya: “Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain”
Beberapa dari mujtahid
menakwilkan kemutlakan hadis tersebut, dan mereka setelah itu menaqyid dengan
ketika masa hidup jenazah.
Maksud dari ayat tersebut menjadi tidak bertentangan setelah ditaqyid.
Pengompromian ini dilakukan dengan cara mengamalkan dua nash bersama sama. Metode
ini yang dianggap tebaik dari pada mencela salah satu dari kedua itu.
Contoh di atas, dapat dilihat bahwa ta’wil itu akan ada jika
adanya pertentangan dalam nash yang artinya zahir.[7]
3.
Bentuk-
bentuk Ta’wil
Pada prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan ta’wil Perbedaan
terletak pada kadar penggunaan dan penerimaannya.
a)
Dari segi di terimanya atau tidak diterimnya ta’wi, yaitu ada 2
bentuk:
1)
Ta’wil
maqbul, yang bisa disebut dengan ta’wil yang
diterima, yaitu ta’wil yang memenuhi syarat di atas. Dan ta’wil yang
pada dalam bentuk ini diterima keberadaannya oleh ulama Ushul.
2)
Ta’wil
Ghoir al- Maqbul atau ta’wil yang ditolak, yaitu ta’wil yang
hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi sayarat
yang ditentukan.
b)
Dan segi jauhnya atau dekatnya dalam pengalihan makna lafaz yang
telah di ta’wil dari makna zhahirnya, ta’wil dibagi kepada dua
bentuk:
1)
Ta’wil
Qarib, yaitu suatu ta’wil beranjak tidak jauh dari
arti zhahir-nya, sehingga dapat dipahami maksudnya dengan pentunjuk yang
sederhana.
2)
Ta’wil ba’id, yaitu begitu jauhnya pengalihan dari makna lahir
suatu lafaz, sehingga dengan dalil sederhanapun tidak dapat diketahui.[8]
Bila lafaz yang telah di ta’wil tersebut terdapat dalil
yang kuat akan memberi petunjuk terhadap maknanya, maka ta’wil ini masuk dalam
bentuk maqbul. Tetapi bila lafaz
tersebut tidak terdapat dalil yang kuat untuk menjelaskannya dan tidak
diketahui dengan dalil yang sederhana, maka ta’wil ini termasuk pada
bentuk yang ghoiru maqbul.
Mengenai ta’wil ba’id tersedapat perbedaan di kalangan ulama’,
dari ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa ta’wil harus dekat dengan arti lahirnya dan tidak
diperbolehkan dengan yang jauh arti lahirnya. Sementara dari kalangan ulama’
Hanafiyah tidak menggunaka syarat tersebut. Mereka hanya menggunakan syarat
pada ta’wil yang sesuai dengan dalil syara’ dan juga tidak menyalahinya.
Karena hal itu terdapat perbedaan dalam persyaratan pada pen ta’wil an,
maka dalam masalah furu’ juga terdapat perbedaan pendapat.:
a.
Jika terdapat seorang laki- laki yang masuk Islam dan mempunyai beberapa istri yaitu
10 yang dinikahi dengan secara missal
dalam suatu akad. Ia harus memulai menikahi istrinya sejumlah 4 orang dan yang
lain diceraikannya. Ini adalah salah satu pendapat Hanafiyah.
Jika menurut ulama’ Syafi’iyah laki- laki tersebut hanya cukup memilih 4
orang tersebut tanpa harus dinikahi kembali atau dengan akad yang baru dan
istri lainnya diceraikannya. Hal ini baik laki- laki itu menikahi 10 orang
dengan satu akad sekaligus ataupun dia menikahinya secara berurutan.
Dan kalangan
Safi’iyah beralasan dengan salah satu sabda Nabi yang disampaikan kepada
Ghailand al- Saqafi yang ia memiliki 10 istri pada saat masuk Islam.
أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَاءِرَا هُنَّ
Artinya: “ Tahan
4 orang dan ceraikan yang lain”
Menurut pada
Ulama’ Hanafiyah, ucapan dari Nabi
tersebut: “ Tahan” yang dimaksudkan adalah “mulai lagilah” atau “kukuhkanlah
yang mula- mula”. Ketentuan inilah yang sesuai syara’.
Dari pemahaman
di atas, menurut ulama Syafi’iyah hal itu adalah ta’wil yang jauh,
karena Nabi tidak mungkin berbicara bersama seseorang yang baru masuk Islam
tanpa tidak adanya penjelasan seperti itu. Oleh sebab itu, mereka berpendapat
bahwa menurut dari lahirnya lafaz “ amsik” itu, berarti
“mengukuhkan” bukan “memulai”. Ta’wil yang seperti ini adalah lebih
dekat dan tidak menyalahi tasyri’ atau bisa disebut dengan filosofi penetapan hukum.
b.
Jika terdapat seseorang yang sedang melakukan suatu kejahatan ataupun pelanggaran
dalam hukum Islam, untuk menghapuskan kesalahan orang tersebut di hadapan Allah
ia harus membayar kafarah ataupun keharusan memberikan orang miskin yang
berjumblah 60. Hal ini dapat dilihat pada Qur’an surat Al- Mujadalah (58):4 :
فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا
Artinya: “Maka Berikanlah enam puluh orang miskin”
Dalam penetapan yaitu 60 orang miskin itu, apakah yang dimaksudkan adalah
berjumlah 60 orang miskin, satu orang miskin untuk atau selama 60 hari. Di
sinilah terapat perbedaan pendapat di antara kalangan ulama’.
Pada pendapat ulama’ Syafi’iyah bahwa yang diberikan adalah orang miskin
yang berjumlah 60 orang, masing- masing dalam satu hari, sesuai dengan zhahir
ayat di atas yang secara jelas menyebutkan “60 orang miskin” dan jika
memberikan makan satu orang selama 60 hari maka tidak akan terpenuhi kewajiban
ini.
Ulama’ Hanafiyah memiliki pendapat bahwa diperbolehkan untuk member makan
satu orang miskin untuk masa atau 60 hari seperti bolehnya member makan 60 orag
miskin untuk satu hari. Dengan ini mereka dalam men-ta’wil- kan ayat
tersebut “memberi makan 60 orang miskin”: kebutuhan 60 orang miskin dalam satu
hari sama dengan kebutuhan orang satu dalam 60 hari.
Menganggap hal tersebut di kalangan ulama’ Syafi’iyah bahwa ta’wil itu
termasuk yang jauh, dikarenakan cara itu berarti “menyelipkan”sesuatu yang
tidak disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu antara “memberi makanan” dengan kata
“60 orang miskin” dan juga “makanan”. Dan sekaligus menghilangkan angka 60
untuk jumlah orang.[9]
Para ulama’ushul merupakan sebuah kelompok yang paling mendalami ayat-
ayat al- Qur’an untuk kepentingan suatu istinbath al- ahkam. Dari kajian
tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wil, di antarnya mengkhususkan
dari lafaz yang umum, membatasi lafaz yang mutlaq, mengalihkan lafaz dari
maknanya yang awalnya hakiki kepada yang majazi, atau dari makna yang
mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.[10]
C. NASKH
1.
Pengertian
Naskh
Naskh menurut bahasa
dipergunakan ke dalam arti izalah
(menghilangkan), menghapuskan dan memindahkan.
Naskh juga dapat dimaknakan
penyalinan dan perpindahan sesuatu dari satu tempat kepada tempat yang lainnya,
tetapi sementara esensinya tidak berpindah ataupun berubah.[11]
Menurut dalam istilah mengangkat (menghapuskan) hukum pada syara’ dengan
dalil hukum (kitab) syara’ yang lain.[12]
Mansukh adalah hukum yang diangkat
atau dihapuskan.
2.
Syarat-
syarat Naskh
1)
Hukum yang mansukh itu adalah hukum syara’
2)
Dalil yang penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang
datang lebih duluan dari kitab yang hukumnya mansukh.
3)
Khitab yang terdapat hukumnya mansukh tidak terikat dengan waktu
tertentu.[13]
3.
Ruang
Lingkup Naskh
Diketahui bahwa naskh terjadi hanya pada perintah dan larangan, baik yan
diungkapkan dengan jelas dan tegas, mapundiungkapkan dengan kalimat yang
berbentuk berita (khabar) yang makna amar (perintah) atau nahy
(larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah,
yang berfokus kepada Zat nya Allah, sifat-sifatNya, kitab- kitab Nya dan hari
kemudian, serta tidak pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok
ibadah dan muamalah.
Naskh tidak terjadi pada berita yang memang jelas- jelas tidak bermakna talab
(tuntutan; perintah dan larangan), seperti janji (al- wa’d) dan juga
pula ancaman (al- wa’id).[14]
Maka jika terjadi pada berita yang jelas di nasakh kan, berarti
membatalkan berita dengan begitu mendustkannya.[15]
4.
Pendoman
Mengetahui Naskh dan Mansukh
Pengetahuan tentang Naskh- Mansukh mmpunyai menfaat dan fungsi besar bagi
kalangan ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli ushul, agar
pengetahuan tentang hokum tidak menjadi kabur dan kacau.
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ada beberapa
cara:
1)
Terdapat keterangan tegas dari Nabi atau sahabat seperti hadits:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ. أَلاَ فَزُوْرُهَا (رواه الحاكم)
Artinya: “Aku dulu
pernah melarangmu berziarah kubur, maka kini berziarah kuburlah”
(hadis hakim)
2)
Kesepakatan dari umat bahwa ayat ini naskh dan ayat terseut mansukh.
3)
Mengetahui yang mana yang muncul lebih dahulu dan mana yang yang muncul
dikemudian.[16]
5.
Pembagian
Naskh
a.
Naskh Qur’an dengan Qur’an
b.
Nask Al- Qur’an dengan sunnah
c.
Naskh sunnah dengan Qur’an, hal ini di perbolehkan oleh para jumhur
ulama’. Contohnya masalah tentang manghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan
oleh sunnah dan di dalam Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya.
Ketetapan itu di naskh kan oleh Al- Qur’an dengan firman Nya:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya:”Maka
palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”
d.
Naskh sunah dengan sunah, dalam pembagian ini terapat beberapa bentuk:1.
Naskh mutawatir dengan mutawatir, 2. Naskh ahad dengan ahad, 3. Naskh ahad
dengan mutawatir dan 4. Naskh mutawatir dengan ahad.
Tiga bentuk yaitu yang pertama sampai yang ketiga
masih dibolehkan tetapi yang terakhir tidak diperbolehkan karena terjadi silang
pendapat sepeti halnya naskh Qur’an deng Hadits Ahad.[17]
6.
Contoh-
contoh Naskh
Salah satu contoh yang disebutkan oleh As- Suyuti ayat yang dipandangnya sebagai ayat- ayat mansukh :
·
Firman Allah :
وَلِلهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبْ
فَأَيْنَمَا تُوَالُّوْ فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ
“Dan kepunyaan Allahlah
timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah”.
(al- Baqarah: 115) di Naskh oleh Firman Allah:
“Maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram” (al- Baqarah:
144). Bahwa ayat yang pertama tidak di Nasakh kan karena berkenaan dengan
shalat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan pada saat di atas kendaraan,
dan juga dalam keadaan darurat dan takut. Dengan demikian, ayat tersebut tetap
berlaku hukumnya. Sedangkan ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke
Baitul Makdis berkenaan pada arah kiblat shalat fardu lima waktu yang
ditetapkan di sunnah.
·
Firman Allah:
“Diwajibkan atas kamu, aabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda- tanda)maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu- bapak dan karibnya”(Al- Baqarah: 180).
Dikatakan ayat
ini adalah mansukh oleh hadits “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada
setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli
waris” (Hadits Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadis Hasan- Shahih).[18]
7.
Hikmah
Nasakh:
· Memelihara maslahat- maslahat umat muslim dengan
disyariatkannya apa yang lebih bagi mereka bermanfaat dalam urusan beragama dan
dunia mereka
· Berkembangnya syariat dengan sedikit demi sedikit
hingga mencapai kesempurnaan.
· Ujian bagi para mukallaf pada persiapan mereka dalam
menerima perubahan suatu hukum kepada yang lain, dan keridhoan mereka terhadap
hal itu.
· Dan juga ujian bagi mereka untuk menegakkan tugas
bersyukur jika naskh itu kepada hukum yang lebih ringan, dan tugas untuk
bersabar jika naskh itu pada hukum yang lebih berat.[19]
D. Muradif dan
Musytarak
1.
Pengertian
Muradif dan Musytarak
Pengertian Muradif
Pada segi bahasa muradif artinya adalah membonceng atau ikut serta.
Muradif yang dimaksud oleh kalangan Ushul Fiqih “beberapa lafaz yang memiliki
satu makna”
Contohnya :
لليث :الأسد
Artinya: “Singa”
Jadi dapat
disimpulkan bahwa muradif adalah suatu istilah yang menunjukkan pada lafaz-
lafaz yang berbeda tetapi memiliki arti yang sama.
Pengertian Musytarak
Dalam segi bahasa artinya adalah berkumpul, berserikat. Di ushul fiqih
musytarak adalah “lafaz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang tidak sama
atau berbeda- beda”.[20]
Musyatarak dapat disimpulkan suatu lafaz yang memiliki dua arti yang
sebenarnya dan arti tersebut berbeda- beda bentuk katanya. Seperti lafaz jaun
yang artinya adalah putih atau hitam.
Dalam kajian ilmu balaghah suatu kata yang berbeda maknanya, jika
digunakan pada tempat yang berbeda. Contoh:
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ
الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ
Artinya:
“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang- orang yang berdosa:“mereka
tidak berdiam (dalam kubur melainkan sesat”. Seperti demikianlah mereka selalu
dipalingkan(dari kebenaran)”.
Pada
ayat di atas, terdapat kata as- saa’ah. Kata itu disebutkan dua kali.
Pertama bermakna “hari kiamat”. Yang kedua bermakna “waktu sesaat”.
Pengungkapan itu karena disebutkan pada tempat yang berbeda suatu kata yang
mempunyai dua makna. Biasa nya dalam ilmu balaghah disebut dengan Jinas.[21]
2.
Hukum
Lafal Muradif dan Musytarak
Hukum
Lafal Muradif
Hukum muradif disini maksudnya adalah dari munculnya persoalan yang
timbul dari kalangan ulama’ dalam mempersoalkan hukumnya, dikarenakan adanya
lafaz- lafaz yang memiliki arti yang sama.
Disini timbul pertanyaan apakah boleh jika lafaz الأسد diganti dengan lafaz لليث ataupun sebaliknya.
Oleh sebab itu, timbul pendapat dari kalangan ulama’ secara umum bahwa
untuk bacaan pada Al- Qur’an yang mempunyai sifat Ta’abud, tidak bolh
untuk menggantinya dengan lafaz yang lain tetapi memiliki makna yang sama atau muradif
–nya, karena seluruh lafaz Al- Qur’an mengandung mu’jizat di dalamnya.
Sehubungan dengan ini ada beberapa ulama’ yang memiliki pendapat yang
berbeda dalam hal- hal tertentu, seperti pada masalah zikir. Beberapa ulama’
membenarkan muradifnya, tetapi terdapat dua persyaratan yang harus di penuhi:
1)
Boleh memakai lafaz muradifnya, dengan syarat tidak mendapat halangan
dari agama pada penggantian lafaz muradifnya, baik secara jelas ataupun samar-
samar.
2)
Boleh memakai lafaz muradifnya, jika berasal dari satu bahasa yang sama,
contohnya sama- sama bahasa Arabnya.[22]
Hukum
Lafal Musytarak
Disini akan membahas boleh atau tidak bolehnya menggunakan lafaz
musytarak. Disini ada beberapa ulama’ yang membolehkan dan sebagian yang lain
membolehkan.
Menurut dari Jumhur Ulama’:
“Penggunakan lafaz musytarak dalam dua makna atau beberapa makna adalah
diperbolehkan”
Jumhur ulama’ beralasan dengan menggunakan firman Allah Qur’an Surat Al-
Hajj: 08 yaitu: “apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud
apa yang ada di langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon- pohonan,
bintang- bintang yang melata dan sebagian besar dari pada manusia?”
Dari lafaz sujud itu adalah musytarak, karena bisa berarti meletakkan
dahi di tanah dan dapat juga berarti duduk. Dalam ayat trsebut ditunjukkan
kepada seluruh makluk yaitu manusia dan makluk yang tidak berakal seperti
langit, bumi dan lain sebagainya.[23]
E. Penutup
Dapat disimpulkan bahwa bahwa sebuah penetepan hukum, memalui beberapa
proses yang dibutuhkan keseriusan,
ketepatan, dan benar. Dilihat dengan materi diatas, yaitu adanya metode
istinbath dari segi bahasa salah satunya yaitu ta’wil yang mana menjelaskan dan
memaknai suatu dalil yang zhahir atau dalil yang butuh sesuatu keterangan dalam
memahaminya. Dan juga naskh di dalamnya juga terdapat mansukh, yang mana
menjelaskan bahwa dalam menetapkan hukum islam haru memahami dalil mana yang
tepat dan dalil yang mana digunakan untuk pengambilan suatu hukum. Dan jelas
dalam beberapa penetapan hukum di ambil dari dalil- dalil yang telah di nasakh
kan yang awalnya dari dalil- dalil mansukh.
Begitu pula dalam melakukan usaha- usaha di atas para ahli hukum islam
dan juga kita sebagai umat muslim harus memahami ilmu untuk memahami sebuah
nash dan bentuk bentuk kalimat dalam bahasa arab, seperti muradif yaitu
beberapa lafaz yang berbeda bentuknya tetapi memiliki makna yang sama dan
begitu pula musyatarak yaitu suatu lafaz yang memiliki beberpa arti atau
maknanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al- ‘Utsaimin, Asy- Syaikh al- ‘Allamah Muhammad bin Sholeh. 2017. Prinsip
Ilmu Ushul Fiqih. terj. Abu Shilah & Ummu Shilah. http://tholib.wordpress.com.
Al- Qattan, Manna Khalil. 2013. Studi Ilmu- Ilmu
Qur’an. terj. Mudzakir AS. Bogor,
Pustaka Litera AntarNusa.
Djalil, H.A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih:
Satu dan Dua. Jakarta: Kencana.
Dedi,Syarial. 2017. “Ushul Al- Fiqh Dan Kontribusinya: Konsep
Ta’wil dan Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam”. Jurnal Hukum
Islam. Vol. 2. No. 2.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta:
Kencana.
I.Nurol Aen, H.A. Djazuli. 2000. Ushul Fiqih :
Metodologi Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kamali, Muhammad Hasyim. 1996. Prinsip dan Teori-
Teori: Hukum Islam, terj. Noorhadi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syrifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqih. Jakarta:
Kencana.
Syafe, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih.
Bandung: Pustaka Setia.
Unsi, Baiq Tuhfatul. Desember 2013 “Al- Mushtarak Al- Lafzi
dalam Bahasa Arab”. Jurnal Tafqquh: Vol. 1 No.2.
Catatan:
1. Similarity 25%
2. Pembahasan muradif dan
musytarak tidak seimbang dengan pembahasan takwil dan naskh
[1]
Rachmat Syafe, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), hlm. 169.
[2] Ibid,
hlm. 170.
[3] Satria
Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 230.
[4] Rachmat
Syafe, Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 171.
[5] Amir
Syrifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 41.
[6] Ibid,
hlm. 43.
[7]
Rachmat Syafe, Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 176-177.
[8]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 43.
[9] Ibid,
hlm. 45.
[10]
Syarial Dedi,“Ushul Al- Fiqh Dan Kontribusinya: Konsep Ta’wil dan
Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam”, Jurnal Hukum Islam, Vol. 2,
No. 2, 2017, hlm.107
[11]
Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip dan Teori- Teori: Hukum Islam, terj.
Noorhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 193.
[12] Manna Khalil al- Qattan, Studi Ilmu- Ilmu
Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor, Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hlm.
326.
[13] Ibid,
hlm. 327.
[14] Ibid,
hlm. 327-329.
[15] H.A.
Djazuli, I. Nurol Aen, Ushul Fiqih : Metodologi Hukum Islam, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 154.
[16] Manna
Khalil al- Qattan, Studi Ilmu- Ilmu Qur’an, hlm. 329- 330
[17] Ibid,
hlm. 334
[18] Ibid,
hlm. 344
[19]
Asy- Syaikh al- ‘Allamah Muhammad bin Sholeh al- ‘Utsaimin, Prinsip Ilmu
Ushul Fiqih, terj. Abu Shilah & Ummu Shilah, (http://tholib.wordpress.com, 2017), hlm.
90
[20]
H.A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih: Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana,
2010), hlm. 116-117
[21]
Baiq Tuhfatul Unsi, “Al- Mushtarak Al- Lafzi dalam Bahasa Arab”, Jurnal
Tafqquh: Vol. 1 No.2, Desember 2013, hlm. 98
[22]
H.A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih: Satu dan Dua, hlm. 116
[23] Ibid,
hlm. 118-119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar