Senin, 29 April 2019

Takwil dan Naskh, Muradif dan Musytarak (PAI F Semester Genap 2018/2019)




TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Dira Rahmadini (16110174) dan Baddariyah Smad (16110207)
Mahasiswa PAI kelas F Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This article discusses the methods and aspects of language in the ushul fiqh rules, which include ta'wil, nasakh, muradif and musytarak. Talking about ta'wil, this is an effort to bring meaning that zhahir has (probabilities) to other meanings supported by theorem. And it will be explained in terms of terms, conditions and forms of regional offices. The next discussion concerning the subject matter can be interpreted by the cancellation and deletion of a law with the existence of a substitute argument. In it covers the terms, guidelines, scope, division of the text and examples. Then the explanation of the terms of language in the pronunciation, namely muradif and musytarak, and the law will be explained using these lafaz-lafaz.
Keywords: Ta'wil, Nasakh, Muradif and Musytarak
Abstrak
Artikel ini membahas tentang metode dan segi bahasa dalam kaidah ushul fiqih, yaitu meliputi ta’wil, nasakh, muradif dan musytarak. Membicarakan tentang ta’wil, hal ini merupakan suatu usaha membawa makna yang zhahir mempunyai (probilitas) kepada makna lain yang didukung oleh dalil. Dan akan dijelaskan di dalamnya pengertian, syarat dan bentuk- bentuk ta’wil. Pembahasan selanjutnya mengenai nasakh yang bisa diartikan dengan pembatalan dan penghapusan suatu hukum dengan adanya dalil yang mengganti. Didalamnya mencangkup tentang syarat- syarat, pendoman, ruang lingkup, pembagian naskh dan juga contoh- contohnya. Kemudian pembasan tentang segi bahasa pada lafaz yaitu muradif dan musytarak, begitu pula di dalamnya akan dijelaskan hukum menggunakan lafaz- lafaz tersebut.
Kata Kunci: Ta’wil, Nasakh, Muradif Dan Musytarak
A.  Pendahuluan
Dalam materi yang membicarakan hukum Islam selalu akan ditemukan istilah- istilah seperti fiqh, ushul fiqh dan qawa’id al- fiqh. Dengan demikian istilah fiqh mengacu pada sebuah ilmu yang berkaiatn dengan hukum syara’yang praktis. Sedang istilah ushul fiqh suatu ilmu yang menunjukkan kepada pembahasan kaidah- kaidah mengenai metode yang harus ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil- dalilnya.
Pada materi di dalam artikel ini membahas ruang lingkup yang terdapat pada ushul fiqh. Ushul fiqh adalah kaidah- kaidah istinbath hukum syara dari dalil- dalilnya. Dan juga ushul fiqh dapat menjabarkan dibalik usaha dalam menetapkan hukum hukum yang lahir sebuh materi fiqih. Ushul fiqh tidak terlepas dari sumber hukum utama yaitu Al- Qur’an dan As-Sunnah. Dalam memahami sebuah nash dalam sumber utama tersebut dengan benar dan tepat, membutuhkan sebuah usaha. Usaha tersebut masuk dalam kajian ilmu ushul fiqh yaitu salah satunya metode istinbath, metode penetapan hukum Islam dan lain sebagainya.
 Agar dapat mengkaji lebih dalam lagi bagaimana kaidah- kaidah menyampaikan istinbath hukum syara’ dari dalil- dalilnya. Maka butuh sesuatu pemahaman ilmu tentang memahami lafadz sampai terciptanya sebuat kaidah- kaidah yang menyampaikan kepada istinbath hukum syara. Begitu pula memahami metode- metode yang akan digunakan di dalamnya.

B.  Ta’wil (Muawwal)
1.    Pengertian Ta’wil
Secara etimologi, kata ini diambil dari kata:          يُؤَوِّلُ أوّل yang berarti Al- Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al- Jaza’(Balasan yang kembali kepadanya), At- Tafsir (penjelasan, uraian) atau Al- Marja’.[1]
Secara terminologi, terdapat perbedaan dari para ulama salaf dalam mendefinisikan Takwil, antara lain sebagai berikut:
a)    Imam Al- Ghazali di kitab Al- Mustashfa
Sesungguhnya Takwil adalah sebuah ungkapan dalam pengambilan makna dari lafazh yang sifatnya propabilitas yang telah didukung dengan dalil dan menjdaikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan dari lafazh zhahir”.
b)   Imam Al- Amudi di kitab Al- Mustashfa
“Membawa makna yang zhahir mempunyai (probilitas) kepada makna lain yang didukung oleh dalil”.[2]
Menurut ulama Ushul Fiqih, yaitu dari kesimpulan Adib Shalih ta’wil adalah pemalingan dari sesuatu lafaz maknanya yang zhahir kepada makna yang lain yang tidak mudah ditangkap, karena teradapat dalil yang menunjukkan ahwa makna itulah yang dimaksud oleh lafaz tersebut.[3]
Pada kalangan Muhaditsin sejalan dengan definisi yang telah dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih, yaitu:
a)    Menurut Wahab Khalaf:
“Memalingkan lafazh darizhahirnya, karena ada dalil”
b)   Abu Zarhah
“Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain, teapi bukan zhahir-nya”[4]
Definisi- definisi yang terdapat diatas berbeda menurut lahirnya, bisa dirangkum dan menjadi rumusan tentang definisi Ta’wil:
“Memalingkan arti yang lahir dari lafaz kepada arti lain yang mungkin bisa dijangkau oleh dalil”
Dari rumusan tersebut dapat di lihat haqiqah yang merupakan cirri dari ta’wil:
a)    Tidak dapat dipahami menurut dalam arti lahirnya dari Lafaz tersebut.
b)   Arti yang dapat dipahami oleh lafaz itu adalah secara umum artinya yang lain juga dijangkau oleh lahir arti lafaz itu.
c)    Peralihan yang berawal dari arti lahir kepada arti lain itu menyandar kepada pentunjuk dalil yang ada.[5]
2.    Syarat- syarat Ta’wil
a)    Lafaz dapat menerima Ta’wil, yaitu seperti lafaz- lafaz zhahir dan lafazh khas serta ttidak berlaku untuk muhkam dan muffasar.
b)   Lafaz yang mengandung kemungkinan untuk dita’wilkan, lafaz tersebut memiliki kemungkinan jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk dita’wilkan, serta tidak susah ataupun asing dengan pengalihan kepada makna yang lain.
c)    Lafaz tersebut merupakan nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz yang lain yang muffasar. Maka dalam hal seperti ini bertindaklah dengan ta’wil.
d)   Ta’wil tidak bertentangan dengan dalil yang ada dan juga harus mempunyai sandaran kepada dalil.[6]
Para ulama’ menetapkan dasar umum untuk menetapkan adanya ta’wil berasal dari teks bahasa dan uslub- uslubnya, agar terjaga ijtihad dengan ra’yu tidak menjadi sesat. Para ulama’ mewajibkan agar mengamalkan syariat dengan ayat zahir sehingga terdapat isyarat dalam menggunakan ta’wil. Dan sesungguhnya syarat- syarat takwil itu dari teks pembinaan syariat yang ada dan maksud syara’.
Pada kesimpulannya, ta’wil erat dengan kaitannya maksud syariat yang berasal dari nash, tidak hanya dalilnya itu sendiri. Hal tersebut juga termasuk metode ijtihad dengan ra’yu, yaitu membatasi arti yang dimaksud dengan dalil. Agar jelas, dibawah ini persyaratan ta’wil tersebut:
a.    Lafaz yang dita’wilkan, betul- betul sudah memenuhi kriteria dan masuk pada kajiannya.
Bahwa telah diterangkan bahwa dalil- dalil yang sudah ditafsirkan dan sudah ditetapkan ketentuan hukumnya tidak dibisa di ta’wil. Tetapi di kalangan Hanafiyah, ta’wil itu boleh meskipun pada nas yang zhahir dan pada semua dalil yang berhubungan denga syariat Islam.
b.   Ta’wil harus berdasarkan dalil yang shahih yang dapat menguatkan ta’wil
Contoh ta’wil dari naskh yang dalamya terdapati pertentangan antara zhahir nash yang mengandung juz’i dengan dasar umum syariat, adalah hadis tentang mengatakan  bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya”.
Siti Aisyah menolak hadits itu dikarenakan hal itu bertentangan dengan dasar umum syariat yang terdapat dalam Al- Qur’an, yaitu:
Artinya: “Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”
       Beberapa dari mujtahid menakwilkan kemutlakan hadis tersebut, dan mereka setelah itu menaqyid dengan ketika masa hidup jenazah.
Maksud dari ayat tersebut menjadi tidak bertentangan setelah ditaqyid. Pengompromian ini dilakukan dengan cara mengamalkan dua nash bersama sama. Metode ini yang dianggap tebaik dari pada mencela salah satu dari kedua itu.
Contoh di atas, dapat dilihat bahwa ta’wil itu akan ada jika adanya pertentangan dalam nash yang artinya zahir.[7]
3.    Bentuk- bentuk Ta’wil
Pada prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan ta’wil Perbedaan terletak pada kadar penggunaan dan penerimaannya.
a)   Dari segi di terimanya atau tidak diterimnya ta’wi, yaitu ada 2 bentuk:
1)   Ta’wil maqbul, yang bisa disebut dengan ta’wil yang diterima, yaitu ta’wil yang memenuhi syarat di atas. Dan ta’wil yang pada dalam bentuk ini diterima keberadaannya oleh ulama Ushul.
2)   Ta’wil Ghoir al- Maqbul atau ta’wil yang ditolak, yaitu ta’wil yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi sayarat yang ditentukan.
b)   Dan segi jauhnya atau dekatnya dalam pengalihan makna lafaz yang telah di ta’wil dari makna zhahirnya, ta’wil dibagi kepada dua bentuk:
1)   Ta’wil Qarib, yaitu suatu ta’wil beranjak tidak jauh dari arti zhahir-nya, sehingga dapat dipahami maksudnya dengan pentunjuk yang sederhana.
2)   Ta’wil ba’id, yaitu begitu jauhnya pengalihan dari makna lahir suatu lafaz, sehingga dengan dalil sederhanapun tidak dapat diketahui.[8]
Bila lafaz yang telah di ta’wil tersebut terdapat dalil yang kuat akan memberi petunjuk terhadap maknanya, maka ta’wil ini masuk dalam bentuk maqbul.  Tetapi bila lafaz tersebut tidak terdapat dalil yang kuat untuk menjelaskannya dan tidak diketahui dengan dalil yang sederhana, maka ta’wil ini termasuk pada bentuk yang ghoiru maqbul.
Mengenai ta’wil ba’id tersedapat perbedaan di kalangan ulama’, dari ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa ta’wil  harus dekat dengan arti lahirnya dan tidak diperbolehkan dengan yang jauh arti lahirnya. Sementara dari kalangan ulama’ Hanafiyah tidak menggunaka syarat tersebut. Mereka hanya menggunakan syarat pada ta’wil yang sesuai dengan dalil syara’ dan juga tidak menyalahinya.
Karena hal itu terdapat perbedaan dalam persyaratan pada pen ta’wil an, maka dalam masalah furu’ juga terdapat perbedaan pendapat.:
a.    Jika terdapat seorang laki- laki yang masuk  Islam dan mempunyai beberapa istri yaitu 10  yang dinikahi dengan secara missal dalam suatu akad. Ia harus memulai menikahi istrinya sejumlah 4 orang dan yang lain diceraikannya. Ini adalah salah satu pendapat Hanafiyah.
Jika menurut ulama’ Syafi’iyah laki- laki tersebut hanya cukup memilih 4 orang tersebut tanpa harus dinikahi kembali atau dengan akad yang baru dan istri lainnya diceraikannya. Hal ini baik laki- laki itu menikahi 10 orang dengan satu akad sekaligus ataupun dia menikahinya secara berurutan.
Dan kalangan Safi’iyah beralasan dengan salah satu sabda Nabi yang disampaikan kepada Ghailand al- Saqafi yang ia memiliki 10 istri pada saat masuk Islam.
أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَاءِرَا هُنَّ
Artinya: “ Tahan 4 orang dan ceraikan yang lain”
Menurut pada Ulama’ Hanafiyah, ucapan  dari Nabi tersebut: “ Tahan” yang dimaksudkan adalah “mulai lagilah” atau “kukuhkanlah yang mula- mula”. Ketentuan inilah yang sesuai syara’.
Dari pemahaman di atas, menurut ulama Syafi’iyah hal itu adalah ta’wil yang jauh, karena Nabi tidak mungkin berbicara bersama seseorang yang baru masuk Islam tanpa tidak adanya penjelasan seperti itu. Oleh sebab itu, mereka berpendapat bahwa menurut dari lahirnya lafazamsik” itu, berarti “mengukuhkan” bukan “memulai”. Ta’wil yang seperti ini adalah lebih dekat dan tidak menyalahi tasyri’ atau bisa disebut dengan filosofi penetapan hukum.
b.   Jika terdapat seseorang yang sedang melakukan suatu kejahatan ataupun pelanggaran dalam hukum Islam, untuk menghapuskan kesalahan orang tersebut di hadapan Allah ia harus membayar kafarah ataupun keharusan memberikan orang miskin yang berjumblah 60. Hal ini dapat dilihat pada Qur’an surat Al- Mujadalah (58):4 :
فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا
Artinya: “Maka Berikanlah enam puluh orang miskin
Dalam penetapan yaitu 60 orang miskin itu, apakah yang dimaksudkan adalah berjumlah 60 orang miskin, satu orang miskin untuk atau selama 60 hari. Di sinilah terapat perbedaan pendapat di antara kalangan ulama’.
Pada pendapat ulama’ Syafi’iyah bahwa yang diberikan adalah orang miskin yang berjumlah 60 orang, masing- masing dalam satu hari, sesuai dengan zhahir ayat di atas yang secara jelas menyebutkan “60 orang miskin” dan jika memberikan makan satu orang selama 60 hari maka tidak akan terpenuhi kewajiban ini.
Ulama’ Hanafiyah memiliki pendapat bahwa diperbolehkan untuk member makan satu orang miskin untuk masa atau 60 hari seperti bolehnya member makan 60 orag miskin untuk satu hari. Dengan ini mereka dalam men-ta’wil- kan ayat tersebut “memberi makan 60 orang miskin”: kebutuhan 60 orang miskin dalam satu hari sama dengan kebutuhan orang satu dalam 60 hari.
Menganggap hal tersebut di kalangan ulama’ Syafi’iyah bahwa ta’wil itu termasuk yang jauh, dikarenakan cara itu berarti “menyelipkan”sesuatu yang tidak disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu antara “memberi makanan” dengan kata “60 orang miskin” dan juga “makanan”. Dan sekaligus menghilangkan angka 60 untuk jumlah orang.[9]
Para ulama’ushul merupakan sebuah kelompok yang paling mendalami ayat- ayat al- Qur’an untuk kepentingan suatu istinbath al- ahkam. Dari kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wil, di antarnya mengkhususkan dari lafaz yang umum, membatasi lafaz yang mutlaq, mengalihkan lafaz dari maknanya yang awalnya hakiki kepada yang majazi, atau dari makna yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.[10]

C.  NASKH
1.    Pengertian Naskh
Naskh menurut bahasa dipergunakan  ke dalam arti izalah (menghilangkan), menghapuskan dan memindahkan.
Naskh juga dapat dimaknakan penyalinan dan perpindahan sesuatu dari satu tempat kepada tempat yang lainnya, tetapi sementara esensinya tidak berpindah ataupun berubah.[11]
Menurut dalam istilah mengangkat (menghapuskan) hukum pada syara’ dengan dalil hukum (kitab) syara’ yang lain.[12]
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan.
2.    Syarat- syarat Naskh
1)   Hukum yang mansukh itu adalah hukum syara’
2)   Dalil yang penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih duluan dari kitab yang hukumnya mansukh.
3)   Khitab yang terdapat hukumnya mansukh tidak terikat dengan waktu tertentu.[13]
3.    Ruang Lingkup Naskh
Diketahui bahwa naskh terjadi hanya pada perintah dan larangan, baik yan diungkapkan dengan jelas dan tegas, mapundiungkapkan dengan kalimat yang berbentuk berita (khabar) yang makna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada Zat nya Allah, sifat-sifatNya, kitab- kitab Nya dan hari kemudian, serta tidak pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.
Naskh tidak terjadi pada berita yang memang jelas- jelas tidak bermakna talab (tuntutan; perintah dan larangan), seperti janji (al- wa’d) dan juga pula ancaman (al- wa’id).[14]
Maka jika terjadi pada berita yang jelas di nasakh kan, berarti membatalkan berita dengan begitu mendustkannya.[15]
4.    Pendoman Mengetahui Naskh dan Mansukh
Pengetahuan tentang Naskh- Mansukh mmpunyai menfaat dan fungsi besar bagi kalangan ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang hokum tidak menjadi kabur dan kacau.
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ada beberapa cara:
1)   Terdapat keterangan tegas dari Nabi atau sahabat seperti hadits:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ. أَلاَ فَزُوْرُهَا (رواه الحاكم)
Artinya: “Aku dulu pernah melarangmu berziarah kubur, maka kini berziarah kuburlah” (hadis hakim)
2)   Kesepakatan dari umat bahwa ayat ini naskh dan ayat terseut mansukh.
3)   Mengetahui yang mana yang muncul lebih dahulu dan mana yang yang muncul dikemudian.[16]
5.    Pembagian Naskh
a.    Naskh Qur’an dengan Qur’an
b.    Nask Al- Qur’an dengan sunnah
c.    Naskh sunnah dengan Qur’an, hal ini di perbolehkan oleh para jumhur ulama’. Contohnya masalah tentang manghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan oleh sunnah dan di dalam Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu di naskh kan oleh Al- Qur’an dengan firman Nya:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya:”Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram

d.   Naskh sunah dengan sunah, dalam pembagian ini terapat beberapa bentuk:1. Naskh mutawatir dengan mutawatir, 2. Naskh ahad dengan ahad, 3. Naskh ahad dengan mutawatir dan 4. Naskh mutawatir dengan ahad.
Tiga bentuk yaitu yang pertama sampai yang ketiga masih dibolehkan tetapi yang terakhir tidak diperbolehkan karena terjadi silang pendapat sepeti halnya naskh Qur’an deng Hadits Ahad.[17]
6.    Contoh- contoh Naskh
Salah satu contoh yang disebutkan oleh As- Suyuti ayat yang dipandangnya sebagai ayat- ayat mansukh :
·      Firman Allah :
وَلِلهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبْ فَأَيْنَمَا تُوَالُّوْ فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ
Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah”. (al- Baqarah: 115) di Naskh oleh Firman Allah:
Maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram” (al- Baqarah: 144). Bahwa ayat yang pertama tidak di Nasakh kan karena berkenaan dengan shalat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan pada saat di atas kendaraan, dan juga dalam keadaan darurat dan takut. Dengan demikian, ayat tersebut tetap berlaku hukumnya. Sedangkan ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Makdis berkenaan pada arah kiblat shalat fardu lima waktu yang ditetapkan di sunnah.
·      Firman Allah:
Diwajibkan atas kamu, aabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda- tanda)maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu- bapak dan karibnya”(Al- Baqarah: 180).
Dikatakan ayat ini adalah mansukh oleh hadits “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris” (Hadits Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadis Hasan- Shahih).[18]
7.    Hikmah Nasakh:
·      Memelihara maslahat- maslahat umat muslim dengan disyariatkannya apa yang lebih bagi mereka bermanfaat dalam urusan beragama dan dunia mereka
·      Berkembangnya syariat dengan sedikit demi sedikit hingga mencapai kesempurnaan.
·      Ujian bagi para mukallaf pada persiapan mereka dalam menerima perubahan suatu hukum kepada yang lain, dan keridhoan mereka terhadap hal itu.
·      Dan juga ujian bagi mereka untuk menegakkan tugas bersyukur jika naskh itu kepada hukum yang lebih ringan, dan tugas untuk bersabar jika naskh itu pada hukum yang lebih berat.[19]

D.  Muradif dan Musytarak
1.    Pengertian Muradif dan Musytarak
Pengertian Muradif
Pada segi bahasa muradif artinya adalah membonceng atau ikut serta. Muradif yang dimaksud oleh kalangan Ushul Fiqih “beberapa lafaz yang memiliki satu makna”
Contohnya :
لليث :الأسد
Artinya: “Singa”
Jadi dapat disimpulkan bahwa muradif adalah suatu istilah yang menunjukkan pada lafaz- lafaz yang berbeda tetapi memiliki arti yang sama.
Pengertian Musytarak
Dalam segi bahasa artinya adalah berkumpul, berserikat. Di ushul fiqih musytarak adalah “lafaz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang tidak sama atau berbeda- beda”.[20]
Musyatarak dapat disimpulkan suatu lafaz yang memiliki dua arti yang sebenarnya dan arti tersebut berbeda- beda bentuk katanya. Seperti lafaz jaun yang artinya adalah putih atau hitam.
Dalam kajian ilmu balaghah suatu kata yang berbeda maknanya, jika digunakan pada tempat yang berbeda. Contoh:

وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ

Artinya: “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang- orang yang berdosa:“mereka tidak berdiam (dalam kubur melainkan sesat”. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan(dari kebenaran)”.
Pada ayat di atas, terdapat kata as- saa’ah. Kata itu disebutkan dua kali. Pertama bermakna “hari kiamat”. Yang kedua bermakna “waktu sesaat”. Pengungkapan itu karena disebutkan pada tempat yang berbeda suatu kata yang mempunyai dua makna. Biasa nya dalam ilmu balaghah disebut dengan Jinas.[21]


2.    Hukum Lafal Muradif dan Musytarak
Hukum Lafal Muradif
Hukum muradif disini maksudnya adalah dari munculnya persoalan yang timbul dari kalangan ulama’ dalam mempersoalkan hukumnya, dikarenakan adanya lafaz- lafaz yang memiliki arti yang sama.
Disini timbul pertanyaan apakah boleh jika lafaz الأسد diganti dengan lafaz لليث ataupun sebaliknya.
Oleh sebab itu, timbul pendapat dari kalangan ulama’ secara umum bahwa untuk bacaan pada Al- Qur’an yang mempunyai sifat Ta’abud, tidak bolh untuk menggantinya dengan lafaz yang lain tetapi memiliki makna yang sama atau muradif –nya, karena seluruh lafaz Al- Qur’an mengandung mu’jizat di dalamnya.
Sehubungan dengan ini ada beberapa ulama’ yang memiliki pendapat yang berbeda dalam hal- hal tertentu, seperti pada masalah zikir. Beberapa ulama’ membenarkan muradifnya, tetapi terdapat dua persyaratan yang harus di penuhi:
1)   Boleh memakai lafaz muradifnya, dengan syarat tidak mendapat halangan dari agama pada penggantian lafaz muradifnya, baik secara jelas ataupun samar- samar.
2)   Boleh memakai lafaz muradifnya, jika berasal dari satu bahasa yang sama, contohnya  sama- sama bahasa Arabnya.[22]
Hukum Lafal Musytarak
Disini akan membahas boleh atau tidak bolehnya menggunakan lafaz musytarak. Disini ada beberapa ulama’ yang membolehkan dan sebagian yang lain membolehkan.
Menurut dari Jumhur Ulama’:
“Penggunakan lafaz musytarak dalam dua makna atau beberapa makna adalah diperbolehkan”
Jumhur ulama’ beralasan dengan menggunakan firman Allah Qur’an Surat Al- Hajj: 08 yaitu: “apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon- pohonan, bintang- bintang yang melata dan sebagian besar dari pada manusia?”
Dari lafaz sujud itu adalah musytarak, karena bisa berarti meletakkan dahi di tanah dan dapat juga berarti duduk. Dalam ayat trsebut ditunjukkan kepada seluruh makluk yaitu manusia dan makluk yang tidak berakal seperti langit, bumi dan lain sebagainya.[23]

E.  Penutup
Dapat disimpulkan bahwa bahwa sebuah penetepan hukum, memalui beberapa proses yang dibutuhkan  keseriusan, ketepatan, dan benar. Dilihat dengan materi diatas, yaitu adanya metode istinbath dari segi bahasa salah satunya yaitu ta’wil yang mana menjelaskan dan memaknai suatu dalil yang zhahir atau dalil yang butuh sesuatu keterangan dalam memahaminya. Dan juga naskh di dalamnya juga terdapat mansukh, yang mana menjelaskan bahwa dalam menetapkan hukum islam haru memahami dalil mana yang tepat dan dalil yang mana digunakan untuk pengambilan suatu hukum. Dan jelas dalam beberapa penetapan hukum di ambil dari dalil- dalil yang telah di nasakh kan yang awalnya dari dalil- dalil mansukh.  Begitu pula dalam melakukan usaha- usaha di atas para ahli hukum islam dan juga kita sebagai umat muslim harus memahami ilmu untuk memahami sebuah nash dan bentuk bentuk kalimat dalam bahasa arab, seperti muradif yaitu beberapa lafaz yang berbeda bentuknya tetapi memiliki makna yang sama dan begitu pula musyatarak yaitu suatu lafaz yang memiliki beberpa arti atau maknanya.


DAFTAR PUSTAKA

Al- ‘Utsaimin, Asy- Syaikh al- ‘Allamah Muhammad bin Sholeh. 2017. Prinsip Ilmu Ushul Fiqih. terj. Abu Shilah & Ummu Shilah. http://tholib.wordpress.com.
Al- Qattan, Manna Khalil. 2013. Studi Ilmu- Ilmu Qur’an.  terj. Mudzakir AS. Bogor, Pustaka Litera AntarNusa.
Djalil, H.A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih: Satu dan Dua. Jakarta: Kencana.
Dedi,Syarial. 2017. “Ushul Al- Fiqh Dan Kontribusinya: Konsep Ta’wil dan Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam”. Jurnal Hukum Islam. Vol. 2. No. 2.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
I.Nurol Aen, H.A. Djazuli. 2000. Ushul Fiqih : Metodologi Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kamali, Muhammad Hasyim. 1996. Prinsip dan Teori- Teori: Hukum Islam, terj. Noorhadi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syrifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Syafe, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Unsi, Baiq Tuhfatul. Desember 2013 “Al- Mushtarak Al- Lafzi dalam Bahasa Arab”. Jurnal Tafqquh: Vol. 1 No.2.

Catatan:
1.      Similarity 25%
2.      Pembahasan muradif dan musytarak tidak seimbang dengan pembahasan takwil dan naskh



[1] Rachmat Syafe, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 169.
[2] Ibid, hlm. 170.
[3] Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 230.
[4] Rachmat Syafe, Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 171.
[5] Amir Syrifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 41.
[6] Ibid, hlm. 43.
[7] Rachmat Syafe, Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 176-177.
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 43.
[9] Ibid, hlm. 45.
[10] Syarial Dedi,“Ushul Al- Fiqh Dan Kontribusinya: Konsep Ta’wil dan Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam”, Jurnal Hukum Islam, Vol. 2, No. 2, 2017, hlm.107
[11] Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip dan Teori- Teori: Hukum Islam, terj. Noorhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 193.
[12]  Manna Khalil al- Qattan, Studi Ilmu- Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor, Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hlm. 326.
[13] Ibid, hlm. 327.
[14] Ibid, hlm. 327-329.
[15] H.A. Djazuli, I. Nurol Aen, Ushul Fiqih : Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 154.
[16] Manna Khalil al- Qattan, Studi Ilmu- Ilmu Qur’an, hlm. 329- 330
[17] Ibid, hlm. 334
[18] Ibid, hlm. 344
[19] Asy- Syaikh al- ‘Allamah Muhammad bin Sholeh al- ‘Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, terj. Abu Shilah & Ummu Shilah, (http://tholib.wordpress.com, 2017), hlm. 90
[20] H.A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih: Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 116-117
[21] Baiq Tuhfatul Unsi, “Al- Mushtarak Al- Lafzi dalam Bahasa Arab”, Jurnal Tafqquh: Vol. 1 No.2, Desember 2013, hlm. 98
[22] H.A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih: Satu dan Dua, hlm. 116
[23] Ibid, hlm. 118-119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar