Konsep Takwil Naskh Muradif dan Musytarak
Oleh : Nur Fitriana (16110002) dan Setiawan Abdurrahman
(13110239)
(Mahasiswa PAI B UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
Abstract
This article will discuss the concept of takwil nasakh and muradif
musytarak. The purpose of this article is to find out how the process of taking
Islamic law through takwil, naskh, muradif, and musytarak. Takwil is turning a
verse to another meaning because there is a new proposition that removes the
old argument. In defining naskh there are differences of opinion between the
mutaqaddimin and mutaakhirin scholars, because etymologically naskh contains
various meanings, including replacing, deleting, canceling. Muradif is a
synonym or similarity of meaning. While musytarak is a lafadz which is formed
by two or more meanings.
Abstrak
Artikel ini akan membahas mengenai
konsep takwil nasakh dan muradhif musytarak. Adapun tujuan dari ditulisnya
artikel ini adalah untuk mengetahui secara bagaimana proses pengambilan hukum
Islam melalui takwil, naskh, muradif, dan musytarak. Takwil merupakan
memalingkan suatu ayat kepada arti lain dikarenakan ada suatu dalil yang
baru yang menghapus dalil lama. Dalam mendefinisikan naskh terdapat perbedaan
pendapat diantara para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin, karena secara
etimologi naskh mengandung arti yang bermacam-macam, diantaranya mengganti,
menghapus, membatalkan. Adapun muradhif merupakan sinonim atau persamaan makna.
Sedangkan musytarak yaitu suatu lafadz yang dibentuk oleh dua arti atau lebih.
Kata Kunci : Takwil, Naskh, Muradhif, dan Musytarak
A.
Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber utama
hokum Islam ada dua yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan perantara malaikat Jibril. Sedangkan Hadits merupakan segala
perkataan, perbuatan, dan taqrir nabi Muhammad SAW. Hadits merupaan sumber
hokum kedua setelah Al-Quran.[1]
Al-Qur’an selalu sesuai dengan perkembangan
zaman, karena itu banyak ulama yang mengkaji isi kandungan Al-Qur’an ini.
Adapun dalam memahami kandungan ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat
dilakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan takwil, naskh, muradif, dan
musytarak. Dalam melalakukan pengkajian tentunya ulama-ulama banyak memiliki
perbedaan pendapat, dan hal tersebut merupakan suatu kewajaran. Karena
Rasulullah sendiri pernah bersabda bahwa “ikhtilaf atau perbedaan diantara ummatku
adalah suatu rahmat”. Oleh karena itu dalam menyikapi perbedaan ini
hendaknya kita saling menghormati perbedaan orang lain. Focus kajian dalam
artikel ini adalah membahas masalah konsep takwil, naskh, muradif serta
musytarak
B. Takwil
1. Pengertian Takwil
Untuk memahami teks al-Qur’an secara mendalam
tentunya membutuhkan sebuah kajian yang mendalam pula. Selain dengan
menggunakan tafsir, takwil adalah jalan yang digunakan untuk memperdalam makan
tafsir.[2] Secara etimologis kata al-Takwil (التّأويل) berasal dari kata awwala - yu’awwilu
(أوّل
- يؤوّل) yang berarti penjelasan, adapun arti ini sama dengan arti kata al-tafsir (التّفسير) yang artinya uraian, atau al-marja’ (المرجع) yang berarti tempat kembali atau al-jaza’ (الجزاء) artinya balasan.[3] Sedangkan
menurut terminologi, pendefinisian takwil banyak terdapat perbedaan dikalangan
ulama ahli ushul, diantaranya sebagai berikut :
a. Menurut al-Amidiy
التّأويل هو حمل اللّفظ على غير مدلوله الظّاهر منه مع احتماله بدليل
يعضّده
Artinya : Takwil adalah membawa lafadz dzahir yang
mempunyai probabilitas (kemungkinan) kepada arti yang lain dengan didukung
dalil.
b. Menurut abdul wahab khalaf
التّأويل هو صرف الّلفظ عن ظاهر بدليل
Artinya : Takwil adalah memalingkan lafadz dari arti
lahiriahnya karena ada dalil.
Dari beberapa pendapat
ulama ushul tersebut dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa takwil yaitu
memindahkan suatu perkataan dari arti yang sudah jelas (dzahir) kepada arti
yang tidak jelas (lemah), karena ada kemungkinan bahwa arti yang tidak jelas
ini lebih sesuai disebabkan suatu alasan yang kuat. Takwil harus didasarkan pada beberapa ilmu yang berhubungan dengan
teks, diantaranya yaitu tafsir. Seorang Muawwil (orang yang melakukan takwil)
harus mengetahui seluk beluk tafsir sehingga ia dapat memberikan takwil yang
tepat dan dapat diterima, yaitu takwil yang tidak menundukkan suatu teks untuk
kepentingan yang sifatnya subjektif. Inilah yang dikatakan para ulama klasik
sebagai takwil yang terlarang dan bertentangan dengan makna teks baik yang
tersirat maupun yang tersurat.[4]
2. Syarat-Syarat Takwil
Pada dasarnya takwil berawal dari teks dan susunan gaya
bahasanya (uslub). Adapun pentakwilan suatu teks dilakukan dengan tujuan
agar para mujtahid tidak salah ketika melakukan ijtihad bir-ra’yu (ijtihad
dengan menggunakan akal). Syarat-syarat takwil diambil dari suatu teks syariah
yang sudah tersedia, sehingga akan diperoleh hasil pentakwilan yang bisa
dianggap benar dan dapat diterima. [5]Berikut
ini syarat-syarat takwil :
a. Lafadz yang ditakwil harus memiliki kriteria
lafadz yang boleh ditakwil dan masih dalam ranah kajiannya, seperti berikut
ini:
1) Sesuai dengan tata bahasa Arab
2) Dapat dipakai sepanjang pengertian bahasa
3) Lafadz harus sesuai syara’ dan istilah yang
sudah ada sebelumnya.[6]
b.
Takwil haruslah didasari dalil yang sahih yang mana
statusnya bisa menguatkan hasil takwilnya. Tetapi jika dalil yang sudah ada
tafsir dan hukumnya sudah ditetapkan, maka dalil tersebut tidak bisa ditakwil
meskipun kelompok Hanafiyah memperbolehkan takwil terhadap nash yang sifatnya
dhahir dan semua dalil yang mengatur masalah syariat Islam. Sebagai contoh dalam
hadits riwayat Bukhari :
اِنَّ الْمَيِّتَ يُعَقَّبُ بِبُكَاء اَهْلِهِ
Artinya:
sesungguhnya mayat disiksa dengan tangisan keluarganya.
Hadits tersebut
dibantah oleh istri Nabi saw, Siti Aisyah karena kontradiksi dengan ayat
Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 164:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ اُخْرَى
Oleh karena
itu, ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits tersebut harus ditakwilkan dengan mentaqyidkan lafadz
hadits dengan melihat keadaan mayit semasa hidupnya. Dengan pentakwilan seperti
itu, apa yang dimaksud dalam ayat tersebut tidak kontradiksi dengan hadits
tersebut, oleh sebab itu kedua dalil dapat kita amalkan secara bersamaan.[7]
c.
Lafadz takwil harus mengandung arti yang telah dihasilkan dari
takwil bahasa. Adapun pentakwilan itu
dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual, atau majaz (perumpamaan), atau bisa juga dengan dasar yang berasal dari bahasa yang sudah
dibakukan. Hal ini dilakukan sebagai wujud realisasi maksud pembuat syariah
dari sisi artinya. Dengan itu, lafadz pembuat syariah tetap berdasarkan hasil
pemahaman maksud dari syariah yang sesuai dengan kebiasaan penggunaannya.[8]
d. Takwil itu tidak boleh bertentangan dengan
dalil yang qath’iy (pasti). Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut maka takwil
dianggap tidak sah, karena takwil adalah salah satu cara ijtihad yang
kehujjahannya bersifat dhanni. Sedangkan teorinya sesuatu yang bersifat dhanni
tidak bisa melawan sesuatu yang bersifat qath’iy. Contohnya yaitu mentakwilkan
cerita sejarah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan cara mengubah arti
dhahirnya menjadi cerita sejarah yang fiksi, hal tersebut bertentangan dengan
ayat yang qath’iy sebagai suatu realitas sejarah.[9]
e. Arti hasil pentakwilan nash haruslah lebih
kuat daripada arti lahiriahnya dengan diperkuat dengan dalil-dalil. Adapun
berikut ini cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui apakah pentakwilan nash
itu lebih kuat dari arti lahirnya:
1) Ibaratun nash / pemahaman yang diperoleh secara tekstual.
2) Isyaratun nash / pemahaman yang diperoleh secara
kontekstual.
3) Dalalatun nash / pemahaman yang diperoleh secara logis.
4) Iqtidla’/ pemahaman yang menjadi kehendak nash itu
sendiri.
Jika dalam
penerapannya masih terdapat kontradiksi diantara sempat cara tersebut, maka
harus tetap mendahulukan yang ibaratun nash dari isyaratun nash,
kedua cara tersebut harus didahulukan dari dalalatun nash kemudian baru
menggunakan iqtidla’. [10]
3. Klasifikasi
Takwil
Terkadang takwil tidak memerlukan dalil,
tetapi bisa berdasarkan pemhamanan akal, teks, dan kontekstual. Berdasarkan hal
tersebut, takwil dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu takwil qarib dan
takwil ba’id.
a. Takwil Qarib
Takwil qarib adalah takwil yang pentakwilannya
berdasarkan dalil terendah, yaitu pemahaman logis, tekstual, dan kontekstual.
Contoh :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Pada ayat tersebut jika kita artikan secara lafal atau
lahiriah, berarti kewajiban berwudhu itu dilakukan setelah sholat. Nah arti ini
bertentangan dengan syarat sah shalat yaitu harus berwudhu terlebih dahulu
sebelum shalat. Syarat harus didahulukan, baik menurut pemahaman akal maupun syara’. Maka lafal اذا كمتم الى الصلاة harus ditakwilkan dengan mengubah arti
hakikinya (اذا فعلتم) kepada arti majazinya yaitu اذا اردتم / اذا عزمتم . [11]
b. Takwil Ba’id
Takwil ba’id yaitu takwil yang syaratnya tidak dapat
dipenuhi dalam pentakwilan yang didasarkan dalil terendah. Jika kemudian
ditemukan adanya penyimpangan dari syarat tersebut maka takwil harus ditolak.
Contoh dalam QS. Al-Maidah : 89
فَكَفَّارَتُهُ
إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ
كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
Artinya : maka kafarat (sanksi) sumpah adalah memberi
makan sepuluh orang miskin
Pada ayat tersebut, lafadz nash memberikan petunjuk
adanya keharusan memberi makan fakir miskin dalam jumlah tertentu yaitu sepuluh
orang. Adapun ‘adad (bilangan sepuluh) adalah suatu lafadz khusus yang
memiliki kualitas qath’iy. Ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam
mentakwilkan ayat tersebut, adapun ulama tersebut antara lain:
1) Ulama kalangan Hanafiyah mentakwilkan lafadz عشرة مساكين menggunakan arti yang tidak tercantum dalam lafadz
tersebut. Adapun ulama Hanafiyahh mentakwilkan ayat tersebut dengan arti “
memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin” atau “memberi makanan kepada
satu orang miskin saja tetapi dengan kadar sepuluh makanan”.
2) Ulama kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa
pentakwilan seperti diatas merupakan takwil ba’id dan dianggap batal
dikarenakan beberap sebab yaitu :
a) Lafadz عشرة مساكين adalah lafadz yang khusus dan
menunjukkan arti qath’iy, maka tidak perlu ditakwilkan lagi.
b) Adapun hikmah dan sasaran diharuskannya
membagi makanan sesuai ukuran harta yang wajib dikeluarkan adalah agar
kemanfaatannya dapat dirasakan oleh orang banyak.
c) Sedangkan penambahan lafadz طعام jika dimunculkan dalam nash akan menjadi :
فَكَفَّارَتُهُ
إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ
Oleh karena itu, istinbath hukum yang dilakukan dengan
cara takwil, dapat didasarkan pada pemahaman syariat umum, nash lain, ketetapan
dari ijma’ atau mengkompromikan hukum syara’ dengan menyeluruh, baik yang
bersifat juziyyah, kulliyyah, dalalatun nash ataupun
maqashidnya.[12]
C. Naskh
1. Pengertian
Secara
bahasa, naskh (النسخ) dalam bahasa Arab digunakan dengan arti yang berarti menghilangkan atau meniadakan, النقل yang berarti memindah, التحويل yang berarti merubah,
atau التبديل atau mengganti. Sedangkan naskh menurut
istilah yaitu:
النّسخ
رفع حكمٍ شرعيٍّ عن المكلف بحكمٍ شرعيٍّ مِثْله متأحِّر
Yang artinya “ Naskh ialah pembatalan suatu hukum syara’
yang telah ditetapkan pada masa yang lebih dulu dari orang mukallaf dengan
hukum yang datangnya kemudian hari”.[13]
Adapun
Abu Husein al-Bashri berpendapat bahwa naskh hakikatnya yaitu menghilangkan, sedangkan
pemakaiannya dimaksudkan untuk kiasan (majazi). Abu Husein berargumen
bahwa jika naskh diartikan dengan memindahkan dalam ucapan, “saya menaskhkan
buku itu” pernyataan tersebut bermakna majazi karena hakikatnya apa yang ada di
dalam buku tersebut tidak mungkin dipindahkan karena masih tetap ada disana. [14]
Dalam mendefinisikan arti naskh
secara terminologi, para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin memiliki pendapat
yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak lain adalah bersumber pada
pengertian naskh secara etimologi yang bermacam-macam sebagaimana disebutkan
diatas. Adapun makna naskh yang ditetapkan oleh ulama mutaqaddimin meliputi: 1)
Hukum yang telah ada akan dibatalkan oleh hukum yang datangnya kemudian, 2)
pengkhususan hukum bersifat “amm oleh hukum yang datangnya kemudian yang
sifatnya lebih khusus, 3) Penjelasan atau bayan yang datangnya kemudian itu
bersifat samar. Dari beberapa pernyataan tersebut dapat kita peroleh pemahaman
bahwa makna naskh secara etimologis menurut ulama mutaqoddimin adalah dimaknai
secara luas, efeknya tidak menyebabkan suatu hukum terhapus oleh hukum lain.
Adapun naskh dalam perspektif ulama mutaqaddimin lebih seperti pembatasan,
pengkhususan, bahkan suatu pengecualian hukum. [15]
Sedangkan
menurut ulama mutaakhirin, naskh diartikan lebih sempit layaknya suatu
amandemen yang mana dalil yang datang kemudian sifatnya menggugurkan atau
menghilangkan dalil hukum yang datang lebih dulu.
Adapun unsur yang harus ada dalam naskh ada 4,
yaitu:
a.
Naskh atau pernyataan yang menunjukkan pembatalan hukum
yang sebelumnya sudah ada.
b.
Dalil naskh yaitu dalil yang menaskh atau menghapus hukum
yang telah ada dan datangnya kemudian.
c.
Mansukh itu adalah hukum yang kemudian dibatalkan atau
dihapuskan.
d.
Mansukh ‘anhu yaitu orang yang dibebani hukum atad dalil
penaskhan tersebut.[16]
2. Syarat-syarat
Naskh
Yang perlu menjadi perhatian disini adalah sejauh mana
jangkauan dari naskh itu, apakah semua ketentuan hukum syariat bisa dijangkau
oleh naskh atau tidak? Oleh karena itu, Abu Anwar memaparkan beberapa syarat
naskh yaitu:
a. Hukum yang mansukh atau yang datangnya lebih
dulu adalah hukum syara’. Sedangkan naskh hanya berlaku untuk dalil yang
menunjukkan adanya perintah (amr) dan larangan (nahyu), disamping itu dalil
yang mengatur akhlak, ibadah, akidah, serta janji dan ancaman tidak bisa
dinaskh.
b. Adapun dalil yang digunakan untuk menghapus
hukum adalah dalil yang datang kemudian.
c. Dalil yang mansukh tidak terikat oleh waktu,
karena jika terikat waktu hukum itu bisa berakhir.
Dalam hal syarat naskh ini, Quraish Shihab menambahkan
dua syarat barulah naskh bisa dilakukan yaitu: 1) Adanya dua dalil hukum yang
saling kontradiksi sehingga tidak dapat dikompromikan, 2) Urut-urutan turunnya
ayat hukum tersebut harus diketahui terlebih dahulu. [17]
3. Hukum Naskh
a. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ulama yang menyatakan kebolehan menggunakan naskh dalam
Islam, semuanya sepakat akan kebolehan menaskh al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
b. Naskh Al-Qur’an dengan as-Sunnah
Naskh ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Ahad,
Dalam menanggapi hal ini jumhur ulama berpendapat bahwa
sunnah ahad itu tidak bisa atau tidak sah jika menaskh al-Qur’an. Alasannya
adalah Al-Qur’an sudah jelas merupakan nash yang mutawatir (qath’iy) dan hadits
ahad adalah nash yang bersifat dzanni. Ulama Dzahiri berdasarkan penukilan Ibnu
Hazm sepakat akan kebolehan menaskh al-Qur’an dengan Sunnah, baik sunnah ahad
maupun sunnah mutawatirah. [18]
2) Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatirah
Dalam menanggapi naskh model ini, para ulama memiliki
pendapat yang berbeda, diantaranya Imam Malik, Imam Abu Hanifah, serta Imam
Ahmad dalam suatu riwayat memperbolehkan naskh semacam ini dengan dasar firman
Allah dalam QS. An-Najm: 4-5
وما ينطق عن الهوى، إن هو إلاّ وحيٌ يوحيَ
Artinya : Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut
kemauan hawa nafsunya. Dapun ucapan seperti itu tidak lain hanya wahyu yang
kemudian diwahyukan kepadanya.
Sementara itu, Imam Asy-Syafi’i, Dzahiriyah,
dan Imam Ahmad menolak naskh semacam ini dengan dasar argumentasi dari firman
Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah: 106.
ما ننسح من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثاها
Artinya : Apa saja ayat yang Kami naskhkan,
atau kami melupakannya (kepada manusia), niscaya kami datangkan yang lebih baik
atau sebanding dengannya.[19]
c.
Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an
Jumhur ulama
memperbolehkan adanya naskh semacam ini. Contoh menghadap ke arah baitul maqdis
ketika sholat yang telah ditetapkan oleh Sunnah yang kemudian dinaskh oleh ayat
Al-Qur’an dalam QS. Al-Baqarah : 144 berikut ini.
.... فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ....
Artinya:
…maka hadapkanlah wajahmu menuju masjidil haram….[20]
Dalam hal ini, Imam
Syafi’I dalam salah satu qaulnya mengatakan bahwa tidak boleh menaskh al-Qur’an
dengan Sunnah dan tidak boleh menaskh Sunnah dengan Al-Qur’an. Jika ditemukan
dalil Al-Qur’an yang kelihatannya menaskh Sunnah, maka sebenarnya disamping Al-Qur’an
ada Sunnah yang menjelaskan adanya kesersian antara Al-Qur’an dan Sunnah.
d. Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah
Contoh naskh Sunnah dengan Sunnah terdapat dalam hadits
Nabi riwayat Muslim ketika Nabi menerima sebuah laporan bahwa ada seorang
laki-laki menggauli istrinya dan tidak sampai mengeluarkan air mani. Kemudian laki-laki tersebut bertanya kepada Nabi tentang apa yang harus ia
lakukan, kemudian Nabi bersabda:
انّماالماء
من الماء
Artinya : Sesungguhnya air (mandi) itu adalah dari air
(mani yang keluar)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa mandi itu wajib
dilakukan jika dalam persetubuhan itu mengeluarkan mani. Tetapi hadits tersebut
dinaskh dengan hadits riwayat Bukhari Muslim:
إذا
جلسَ بين شعبها الأربع ثم جهدها فقد وجب الغسلُ
Artinya : bila seseorang telah berada diatas tulangnya
yang empat kerat dan telah berbuat diatasnya, maka wajib mandi.
Dalam riwayat lain Muslim menambahkan “walaupun tidak
mengeluarkan mani”[21]
4. Macam-Macam
Naskh
Dilihat dari dalil yang menaskhnya, naskh dibagi menjadi
2 yaitu:
a. Naskh Sharih
Naskh semacam
ini terjadi ketika ayat yang datang terakhir secara jelas menghapus ayat yang
terdahulu.[22]
Dicontohkan dalam QS. Al-Anfal : 65.
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ
يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
Artinya : wahai
Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika diantara kalian ada dua puluh orang yang
sabar , niscaya mereka akan mampu mengalahkan dua ratus musuh dan jika kamu berjumlah
seratus orang niscaya kamu dapat
mengalahkan seribu orang kafir, karena orang kafir adalah kaum yang tidak
mengerti.
Ayat tersebut
dinaskh oleh surat al-Anfal:66
الْآَنَ
خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ
يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya: sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia
mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika diantara kamu ada seratus
orang sabar, niscaya akan mampu mengalahkan dua ratus orang musuh, sedangkan jika diantara kamu ada seribu orang yang sabar maka mereka dapat mengalahkan dua ribu orang
dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang bersabar.
b. Naskh Dzimmi
Naskh ini
terjadi ketika ditemukan dua naskh yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, disisi
lain keduanya membahas masalah yang sama, serta diketahui secara jelas waktu
turunnya, ayat yang datanya kemudian itu dihapus dengan ayat yang datang lebih
dulu.[23]
Contoh terdapat dalam adalah masalah wasiat kepada ahli waris yang terdapat
dalam QS. Al-Baqarah : 180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا
الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى
الْمُتَّقِينَ
Artinya : ditetapkan
atas kamu apabila ada seseorang diantara kamu yang ajalnya hampir tiba dan jika
ia meninggalkan harta agar ia meninggalkan wasiat bagi kedua orang tua dan
kerabat menurut yang semestinya dan itu adalah kewajiban bagi orang yang
bertakwa.
Ada perbedaan
pendapat tentang naskh atau pembatalnya, ada yang berpendapat ayat waris dan
hadits berikut ini:
لا وصية لوارث
Artinya : tidak
ada wasiat bagi ahli waris.[24]
Adapun dilihat
dari segi hokum yang menaskhnya, naskh dibagi menjadi 2 yaitu:
a.
Naskh kulli
Yaitu naskh yang
efeknya menyebabkan batalnya hokum secara keseluruhan, contohnya dalam QS. Al-Baqarah:
240
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ
مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Artinya: dan
orang yang akan meninggal dunia diantara kamu hendaknya berwasiat untuk
istri-istrinya yaitu diberi nafkah hingga setahun dan tidak disuruh pindah dari
rumahnya.
Dari ayat
tersebut dipahami bahwa iddah istri yang ditinggal suami adalah satu tahun,
tetapi ayat tersebut dinaskh dengan QS. Al-Baqarah: 234.
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Artinya : orang-orang
yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri hedaklah
para istri menangguhkan dirinya (beriddah) selama sempat bulan sepuluh hari.
b.
Naskh Juz’i
Naskh juz’I
adalah naskh yang menghapus hokum yang berlaku bagi semua individu dengan hokum
yang berlaku bagi sebagian individu saja. Atau bisa juga dikatakan menghapus
hokum yang bersifat muthlaq dengan hokum muqoyyad. Contohnya dalam QS. An-Nur :
4
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya : dan
orang yang menuduh wanita yang baikbaik berbuat zina dan mereka tidak
mendatngkan empat orang saksi maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu menerima kesaksian yang mereka buat selama-lamanya. Dan mereka
itulah orang yang fasik.
Ayat tersebut
dinaskh dengan QS. AN-Nur “ 6
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ
فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ
الصَّادِقِينَ
Artinya: dan
orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai
saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.
[25]
D. Muradif
1.
Pengertian muradhif
Muradhif
menurut bahasa artinya adalah: membonceng/ikut serta. Muradhif yang
dimaksudoleh ahli ushul fiqih adalah: “Beberapa lafaz terpakai untuk
satu makna”. Contohnya seperti kata, aman, janahu, dhimmah, salam, sulhu,
hudnah memiliki makna yang sama yaitu “damai”. Lafal muradhif adalah lafal
yang hanya mempunyai satu makna (sinonim). Jumhur Ulama mengatakan bahwa
mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu
tidak dicegah oleh syara’.[26]
Sebagaimana kaidah para jumhur Ulama:
Artinya: Mendudukan
dua muradhif itu pada tempat yang sama diperbolehkan jika ditetapkan oleh
syara’.
Hendaklah
diketahui bahwa, perbedaan ini hanyalah dalam selain Al-Qur’an, karena ia
adalah yang kita pergunakan untuk berubadah kepada Allah Swt dengan lafal-Nya
dan karena itu ada penjelasan tambahan dalam pembicaraan mengenai Al-Qur’an.[27]Al-Qur’an
semenjak diturunkannya hingga datangnya hari akhir senantiasa terjaga
sebagaimana pertamakali diturunkannya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu
dikritisi, tidak memerlukan edisi refisi, ataupun penguranga kosakata, begitu
sangat sempurna, Dialah Allah yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa,
yang telah menurunkan-Nya juga kepaa Rasulullah Saw melalui delegasi terpercaya
Malaikat Jibril as.
Maka dari itu
tidak diperbolehkan mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti takbir
shalat, Malikiyah berpendapat dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak
diperbolehkan kecuali kalimat “Allah Huakbar”, sedangkan Imam Syafi’i hanya
memperbolehkan “Allahhu akbar” atau “Allahu akbar” sedangkan Abu Hanifah
memperbolehkan semua lafal yang semisal
dengannya, misalnya kalimat “Allahul A’djom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.
2.
Hukum Muradhif
Hukum muradhif
yang dimaksudkan disini adalah tentang timbulnya persoalan yang dikarenakan
adanya lafaz-lafaz muradif, dalam hal demikian, para ulama mempersoalkan
hukumnya, seperti misalnya apakah bolehsatu lafaz diganti dengan lafaz
lain yang maknanya sama. Seperti lafazجنحو diganti dengan lafaz
هد نه. Para Ulama pada umumnya berpendirian bahwa
bacaan AlQur’an yang tidak boleh diganti dengan bersifat ta’budi tidak
boleh diganti dengan lafaz muradhif-nya karena Al-Qur’an dan seluruh lafaz
nya adalah mengandung mukjizat, sedangkan muradhif satu lafaz dalam
Al-Qur’an bukanlah teks Al-Qur’an yang dengan sendirinya tidak mengandung
mukjizat.
Sehubungan
dengan masalah muradhif, ada juga para ulama yang berselisih pendapat dalam
hal-hal tertentu seperti dalam masalah dzikir. Dalam hal masalah dzikir itupun
bagi golongan yang membenarkan muradhif, memberikan dua syarat yang harus
dipenuhi, yakni:
a.
Boleh dipakai lafaz muradhif, bila penggantian lafaz
muradhif tersebut tidak mendapatkan halangan dari agama, baik secara jelas
ataupun samar-amar.
b.
Boleh dipakai lafaz muradhif, bila penggantian lafaz boleh
dipakai lafaz muradhif-nya itu berasal dari satu bahasa, yakni sama-sama
bahasa Arab.
E.
Musytarak
1.
Pengertian musytarak
Musytarak
menurut bahasa adalah berserikat atau berkumpul. Musytarak dalam ushul fiqih
adalah: “Lafaz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang
berbeda-beda”.Dari pengertian secara bahasa ini, selanjutnya para ulama ushul
merumuskan penegertian musytarak menurut istilah. Adapun defenisi yang
diketengahkan oleh para ulama ushul adalah:
Artinya: “Satu
lafaz (kata) yang menunjukan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan
penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahsa tersebut”.
Menurut
Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul fiqih, yang menyatakan bahwa: “Satu
lafadz yang menunjukan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya
dengan jalan bergantian”.
Maksudnya
pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua
makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus
diartikan dengan arti salah satunya.[28]
Seperti kataقروء yang
dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bisanya masa haid,
lafazعىن
bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan
emas, lafaz as sanah diartikan dengan Hijriyah dan Maladiyah (Masehi),
lafaz al yad diartikan dengan tangan kanan dan tangan kiri dan lafaz al
Qursy yang diartiakan dengan sepuluh dan lima milimat (nama uang di
Mesir).[29]
2.
Sebab-sebab terjadinya lafaz musytarak.
Sebab-sebab
terjadinya lafaz musytarak dalam bahasa Arab sangat banyak sekali, namu para ulama
ushul fiqih telah merumuskan sebab-sebab yang paling
mempangaruhi antara lain adalah:
a.
Perbedaan antara suku-suku. Bagsa arab terdiri dari dua bangsa
besar Adnan dan Qahtan. Setiap bangsa terdiri dari suku yang bermacam-macam dan
berpencar-pencar tempat tinggalnya. Maka adakalanya satu suku mempunyai istilah
dengan satu kata untuk arti tertentu dan suku yang lain mengistilakannya untuk
arti yang lain da nada kalanya untuk kedua arti itu tidak terdapat kesesuaian
sedikitpun. Ketika bahasa Arab dikodifikasikan oleh ahli bahasa, kebanyakan
mereka tidak memperhatikan nisbah dari setiap makana kepada sukunya.
b.
Antara kedua makana terdapat satu makna yang menyatukan keduanya,
maka sesuailah kata itu untuk mesing-masing dari keduanya, karena makna yang
menyatukannya itu (al ma’na al-jaami”). Hal inilah yang dinamakan isytirak
makanawi (homonym dalam makna). Kadang-kadang orang lupa pada makana yang
menyatukan itu, maka merekapun menduga bahwa kata itu dari jenis musytarak
lafshi (homonym dalam kata). Misalnya kata “al quru” yang dalam
bahaa Arab berarti waktu rutin, kemudian mereka mengatakan bahwa “Lil-huma
qur-un” (sakit demam ada waktunya), artinya siklus yang mentradisi dimana
sakit itu muncul, “lits tsurayya qur-un” (bintang ketika memiliki waktu)
artinya waktu yang mentradisi dimana hujan turun pada waktu itu, “Lil mar’ah
qur-un” (perempuan mempunyai waktu) artinya waktu mengalami menstruasi dan
masa suci. Seperti contoh-contoh itulah kata “an-nikah” yang dlam bahasa Arab
berarti mengumpulkan, maka dua kata yang dikumpukan satu sama lainnya disebut
nikah. Dan ini adalah teransaksi, dua tubuh dikumpulkan satu sama lainnya
disebut nikah, tetapi yang popular kata itu disebut untuk (istilah salah satu)
akad.
Ulama
Syafi’iyah menduga kata “nikah” merupakan (kata yang memilki arti) hakikat
(harfiyah) dan menyebutkannya sebagai berkmpulnya dua fisik lebih jelas.Ulama
Hanafi juga menduga (kata “nikah” tersebut) merupakan bentuk harfiyah
(hakikat). Pada hakikatnya kata itu homonym dalam menyatukan kedua makana, akan
tetapi yang banyak dipakai dalam bahasa Syara’ adalah untuk arti akad sehingga
tidak terdapat dalam Al-Qur’an maksud kata “nikah” selain makna yang banyak
dipakai itu, kecuali pada satu bentuk upaya yang tidak dipikir matang secara
tidak langsung.
c.
Penetapan kata pada awalnya untuk satu makna kemudian dialihkan ke
makna lain, karena ada hubungan, kemudian hbungan ini dilupakan atau hilang.
Maka timbul dugaan bahwa kata itu ditetapkan bagi masing-masing dari kedua
makna itu tanpa dilihat, karena kesesuaian antara keduanya. Sedikit diantara
ahli-ahli bahasa yang memperhatikan antara makna-makna hakiki (harfiyah) dari
kata-kata dan makna-makna majazinya (metaphor)
d.
Peletak kata untuk sesuatu yang memiliki makana dan diwaktu
mengisyaratkannya terdapat arti lain bersamanya. Maka ia pun diterima oleh
pendengarnya tanpa memastikan hakikat arti dari kalimat itu, sehingga
dipergunakan dalam sesuatu dalam arti yang pertama atau keduanya bersama-sama
dan barangkali sesudah itu akan terpisah dan adakalahnya merupakan dua arti
yang berlawanan. Seperti kata “jun” yang pertamakali berarti awan dan dalam
awan itu ada warna putih dan hitam sehingga ada warna putih murni itu atau
hitam murni dikatakan jun.
Inilah berdasar pada semua factor yang tampak yang istilah isytirak
disimpulkan darinya dalam (kajian) bahasa. Peletak kata untuk satu makna
kemudian ditetapkan lagi untuk arti lain tanpa adanya hubungan antara kedua
arti itu atau bersamaan, maka hal ini sesuatu yang tidak kami duga terjadinya
kecuali sedikit seperti penetapan bentuk maf’al untuk tempat dan waktu.[30]
3.
Ketentuan hukum lafaz musytarak.
Apabila dalam
nash-nash Al-Qur’an dan As-sunnah terdapat lafaz yang musytarak maka menurt
kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulam ushul adalah sebagai berikut:
a.
Apabila lafaz terebut mengandung kebolehan terjadiya hanya
musytarak antara arti bahasa dan istilah syara, maka yang ditetapkan adalah
arti istilah syara, kecuali ada indikasi ang menujukan bahwa yang dimaksud
adalah arti dalam istilah bahsa.
b.
Apabila lafaz tersebut mengandug kebolean terjadinya banyak arti,
maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah)
yang menguatkan dan menujukan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah
lafdziyah maupun qarinah haliayah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah disiniadalah kata yang menyertai nash. Adapun yang dimaksud qarinah haliyah adalah suatu keadaan/kondisi
tertentu masyarakat Arab saat turunnya nash tersebut..
c.
Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah-satu arti
lafaz-;afaz tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus di mauqufkan sampai
adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan
Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
4.
Contoh-contoh lafaz musytarak.
Dalam Al-Qur’an
banyak contoh-contoh musytarak yang antara lain dalam firman Allah Swt surat
al-Baqara ayat 222, yang berbunyi:
وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ
أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ
أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ
ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: “Mereka bertanya
kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran".
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamua mendekati mereka, sebelum mereka suci.Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri”
Lafadz المحىض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan
bisa pula tempat keluarnya dara haidh (makan).Namun dalam ayat tersebut menurut
ulama’ diartikan tempat keluarnya dara haidh.Karena adanya qarina Haliyah yaitu
bahwa orang-orang Arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli
isteri-istrinya alam waktu haidh.Sehingga yang dimaksud lafdz المحىض diatas adalah bukanlah waktu haidh, akan
tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya dara haidh (qubul).
Contoh lain sebagimana yang
termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 228, yang berbunyi:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ
بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓء
Artinya: “Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali ,
Lafadz quru’
dalam pemakaian bahasa Arab bisa berarti masa succi dan bisa pula berarti masa
haidh.Oleh karena itu seorang ujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya
untuk mengetahui makna yang dimaksudkan oelh syar’I dalam ayat tersebut.
Para ulama
berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz’ quru tersebut diatas. Sebagian ulama
yaitu Imam Syafi’I mengartikannya dengan
masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena, adanya indikasi tanda
muannats pada ‘adad (kata bilangan: tsalatsah) yang menurut kaida bahasa Arab
ma’dudnya harus muzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam
Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh.Dalam hal ini beliau beralasan
bahwa, lafadz tsalatsah adalah lafadz yang kahs yang secara dzahir menunjukan
sempurnannya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan.Hal ini
hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh.Sebab jika lafadz quru’ diartikan
suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).
Contoh lain dalah surat Al-Baqarah
ayat 229, yang berbunyi:
ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰن
Artinya: “Talak (yang dapat
dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau
mencert dalam ibadah tertentuaikan dengan cara yang baik”.
Dalam ayat
tersebut diatas lafadz al-thalaq harus
diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepakskan tali ikatan hunbungan suami
istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali
ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain. “dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat”. Lafadz ashalah pada ayat tersebut dapat bisa
magandung arti dalamistilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam
isti;ah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu.
Berikut ini contoh lafadz ashalah yang diartikan dengan makna istilah
bahasa, yaitu dalah firman Allah Swt surat al-ahzab ayat 56, yang berbunyi:
إِنَّٱللَّهَ
وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ
وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya”.
Lafadz ashalah pada
ayat tersebut bukan bermakna shaat daam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai
makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena
ashalah dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah Swt dan kepada para
Malaikat.Sedangkan shalat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.[31]
F. Penutup
Berdasarkan pemaparan materi diatas, dapat
kita simpulan bahwa takwil merupakan pengalihan makna dari makna yang sudah
jelas kepada makna yang tidak jelas dikarenakan adanya suatu alasan yang kuat.
Adapun takwil dibagi menjadi dua macam yaitu takwil arib dan takwil ba’id.
Sedangkan naskh merupakan suatu pembatalan atau penghapusan suatu hokum yang
datang terlebih dahulu dikarenakan adanya hokum yang datangnya kemudian. Adapun
berdasarkan dalil yang menaskhnya, naskh dibagi menjadi dua yaitu naskh sharih
dan nash dzimmi, sedangkan menurut hokum yang menaskhnya naskh dibagi menjadi
dua yaitu naskh kulli dan naskh juz’i. Berbicara masalah muradhif,
muradif merupakan lafadz yang mempunyai makna yang sama atau bisa kita sebut
dengan sinonim. Sedangkan musytarak yaitu lafadz yang mengandung lebih dari
satu makna. Kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang
terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan
dengan arti salah satunya
Daftar Pustaka
Biek, Muhammad al-khudhari Ushul Fiqih.
Jakarta: Pustaka amani.
Khalaf, Abdul Wahhab.Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta:
Pustaka amami
Malik, Abdul Rahman Jurnal Studi Al-Qur’an, P-ISSN : 0126-1648, E-ISSN:
2239-2614.
Muhammad Husni dan Fathul Wahab. Annaba:
Jurnal Pendidikan Islam. Volume 4 No. 2, 1 September 2018.
Razzaq, Abdur. Wardah: Vol. 17 No. 2/ Juli-Desember 2016
Saebani, Beni Ahmad. 2017. ilmu Ushul Fiqih. Bandung : CV
Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid
I. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Tharaba, M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’
dan Hikmatus Syar’i. Malang: CV Dream Litera.
Ulama’i, Hasan Asyari. Jurnal Didaktika
Islamika.Volume 7 Nomor 1 Februari 2016.
Zaid, Nasr Hamid Abu. 2016. Tekstualitas Al-Qur’an.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Zein, M. Ma’sum. 2013. Menguasai Ilmu
Ushul Fiqih.Yogyakarta:
Pustaka Pesantren.
Catatan:
1.
Similarity 17%
2.
Tolong footnote dirapikan
3.
Jurnal dalam footnote, disebutkan pula judul artikelnya
Secara umum, makalahnya sudah lumayan baik.
[1] Beni Ahmad Saebani, ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : CV Pustaka
Setia, 2017), 156
[2] Abdur Razzaq, Wardah: Vol. 17 No. 2/ Juli-Desember 2016, 96
[3] M. Ma’sum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqih, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2013), 345
[4] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2016), 293
[5] M. Ma’sum Zein, 347
[6] M. Ma’sum Zein, 347-348
[22] Muhammad Husni dan Fathul
Wahab, Annaba: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 4 No. 2, 1 September 2018, 312
[27] Ibid hal 307
[28]Abdul
Wahhad Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih (Pustaka amami-jakarta) hal 227
[29]Abdul
Wahhad Khalaf, hal 228
[30] Syaikh Muhammah al-Khudahari
Biek, Ushul Fiqih (Pustaan amani-jakarta) 310
Tidak ada komentar:
Posting Komentar