Senin, 22 April 2019

Ta'arudh dan Tarjih, Amr dan Nahy (PAI C Semester Genap 2018/2019)



TA’ARUD, TARJIH DAN AL AMRU,NAHYU
Mochammad Ilham Akbar(16110093), Ahmad Choirul Anwar(16110120), Muh.Qudsi Jihadi(16110064)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Kelas C Tahun 2019
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstrac                                                                                        
The Islamic shri’a brough by the king Rosululloh SAW is in the form of the Qur’an and Sunnah, where both of these can be understandtood trough the ushul fiqh and also Arabic. The perposeof this discussion is to find out how the Islamic syaria law is in accordance with worship wich has been datemined by the scholars of ushl fiqh and fikih acocording to al Qur’an and Sunnah as forits use is to know the lurel of the ruler relating to ta’arud, tarjih,amar and nahi, by knowing the rulers of the rules of the rule it is ecpected to be easy to know the law contain the Qur’an and Sunnah, and also how inportand it is and its position
Keywords: ta’arud,tarjih,amar,nahi

Abstrak
Syariat islam yang di bawa oleh baginda Rosululloh SAW adalah berupa al Qur’an  dan as Sunnah, dimana kedua hal tersebut bisa di pahami lewat ushuk fiqh dan juga bahasa arab.Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara penetapan hukum syriat islam sesuai dengan ibadah yang sudah di tetapkan oleh ulama ushuk fiqh dan fikih sesuai dengan al ur’an dan as Sunnah adapun kegunaannya adalah dengan mengetahui kaidah kaidah yang berkaitan dengan ta’arud,tarjid,amar dan dan nahi dengan mengetahui kaidah kaidah tersebut maka di harapkan  dengan mudah untuk mengetahui hukum yang terkandung dalam al Qur’an dan as Sunnah dan juga bagaimana pentingnya serta kedudukannya.
Kata kunci: ta’arud,tarjih,amar,nahi







A.Pendahuluan
            Salah satu objek utama yang akan di bahas dalam ushul fiqh adalah al Qur’an dan as Sunnah, untuk memahami kedua hal tersebut yang berbahasa arab maka para ulama telah menyusun “semantik” semacam yang di gunakan dalam praktik dalam penalaran fikih.untuk itu para ahli ushul fiqh telah membuat beberapa lafal dengan berbagai redaksi di antaranya yang sangat penting adalah masalah amar dan nahi.
Amar dan nahi merupakan dua istilah yang terdpat dala, pembahasan lafaz dari segi penggunaan sighat taklif atau suatu lafaz yang menunjukkan mukallaf atau beban hukum.Amar dan nahi merupakn pokok dalam pengkajian ushul fiqh yang kebanyakan para penulis ushul fiqh memulai kajiannya dari dua hal ini yaitu amar dan nahi, semua yang di perintahkan Allah kepada mukallaf menuntut untuk berbuat dan semua larangan untuk di tiggalkan.
Kemudian di sisi lai ada suatu faktor yang tidak boleh kita pungkiri bahwasannya untuk menguasai ushul fiqhtidak serta merta menjamin kesatuan dari ijtihad dan istimbath para mujtahid, di samping untuk mengetahui faktor eksternal dari fikih itu sendiri maka di ferlukan pula faktor internal yang dimana pada bagian masalhnya mengalami perdebatan  di kalangan ulama ushuluyyin hal inilah yang akan menyebabkan munculnya ilmu ilmu seperti ta’arud dan tarjih .
Hal di atas tersebut merukan hal yang sangat penting di telaah dan di pelajari untuk itu artikel ini akan membahas empat hal tersebut yaitu amar, nahi, ta’arud dan tarjih.
B.Pembahasan
1.      Ta’arudlh
a.      Pengertian Ta’arud
Kata ta’arud secara bahasa mempunyai arti berlawanan antara dua dalil.Ta’arud juga dapat diartikan dengan beberapa makna “Al-Min’u” (Mencegah), “Ad-Dzuhuru” (Nampak), “Al-Miqobalu” (saling berhadapan), “Al-musaawaatu” (suatu derajat yang memiliki pertentangan), “At-Tauriyyatu” (tersembunyi).4 pengertian tersebut menjelaskan mengenai kedudukan Ta’arudh, yang mana taarudh mencegah berlakunya suatu hokum, ta’arudh hanya mengkaji yang nampak saja atau yang zhahir, ta’arud mewujudkan sesuatu yang baru dan taarudh terjadi pada dalil yang sederajat.[1]
Ta’arudh secara umum berarti “adanya 2 kontradiksi nash yang saling berlawanan atau bertentangan”, apabila terdapat 2 dalil yang saling menafikan apa yang telah di tunjuk oleh dalil yang lain maka hal tersebut dapat dikatan sebagai Ta’arudh, permasalahan ta’arudh sendiri terkadang menjadi salah satu sebab yang paling banyak menimbulkan perbedaan pendapat pada ulama ushul fiqh.[2]
Konradiksi antara 2 dalil syara’ tersebut tidak mungkin terjadi apabila dari kedua dalil tersebut mengalami ketimpangan kekuatan, apabila salah satu dari dua dalil tersebut lebih kuat, maka jelaslah yang wajib di ikuti adalah dalil yang lebih kuat, dan di abaikanlah dalil hokum yang kontradiksi dengannya di kehendaki oleh dalil lain. Oleh karenanya tidak akan terjadi kontradiksi atau pertentangan antara nash Qath’i dan Zhanny, antara nash dan ijma’atau qiyas, antara ijma dan qiyas, kontradiksi tersebut dapat terjadi pada dua ayat, atau antara dua hadist mutawatir, antara ayat dengan hadist mutawattir, antara dua hadist yang tidak mutawattir, dan juga antara dua qiyas.[3]
Yang perlu kita perhatikan bahwasanya tidak ada kontradiksi yang hakiki antara dalil, antara dua ayat, antara dua hadist mutawattir, antara ayat dan hadist shahih.Jika tampak kontradiksi antara dua dalil, maka hal tersebut hanya sebatas lahiriyah saja atau secara zhahiriyah saja. Karena syari’ Tuhan yang Maha Esa dan Maha Bijaksana tidak mungkin mengeluarkan dalil yang menuntut suatu hokum dalam suatu kejadian, dan mengeluarkan dalil lain yang menuntut hokum dalam kejadian yang sama, yang mana hokum tersebut berlawanan dengan hokum yang lainya atau hokum pertama secara bersama. Jika terdapat kontradiksi yang demikian maka dapat di tempuh jalan ijtihad untuk mengalihkan keduanya dari makna lahir atau zhahir.Keduanya tidak diartikan secara hakiki demi mensucikan Dzat Allah yang maha bijaksana dari pertentangan dalil atau kontradiksi dalam perundangaNya.[4]
b.      Ta’arud dalam beberapa nash
al baqarah 234Adapun dalam firman Allah SWT :




Artinya : Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari ….. (Q.S. Al-Baqarah 234).
Nash tersebut menunjukkan bahwasanya setiap istri yang ditinngal mati oleh suaminya, iddahnya akan selesai dengan masa 4 bulan 10 hari. Baik istri itu sedang hamil ataupun tidak.
al thalaq 4Dan Firman Allah lainya :


Artinya :Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…. (Q.S. At-Thalaq 4)
Dalam ayat ke dua bahwasanya istri yang di tinggal mati suami pada saat hamil, masa iddahnya yaitu sampai sang istri melahirkan. Dari kedua suatu peristiwa yang di kehendaki nash pertama dan kedua maka timbullah kontradiksi antara kedua nash di atas.[5]
Terdapat juga dalam hadits :
لاَرَيْباً إِلاَّ فِى النَّسِيْئَةِ
“Tidak ada riba kecuali riba nasi'ah (riba yang muncul dari utang piutang” (HR. Bukhari dan Muslim).Dalam hadits tersebut di jelaskan bahwasanya Riba’ Nasiah adalah haram, dengan demikian, Riba’ Fadl yang mana berasal dari transaksi jual beli halal.
Terdapat dalam sebuah hadits lain :

لاَتَبِيْعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ إِلاَّ مَثَلاً بِمَثَلٍ
“Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama..” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam kedua hadits tersebut terjadi pertentangan dalil yang mana pada hadits pertama Mengharamkan Riba Nasi’ah dan tidak melarang Riba Fadl, akan tetapi pada hadits ke dua, terdapat larangan terhadapap riba fadl.
Wahbah Zuhaili, pertentangan dalil yang terjadi itu adalah hanya dalam pandangan mujtahid yang mana mempunyai keterbatasan logika dan juga kemampuan dalam berfikir, tidak mungkin Allah SWT menciptakan dalil yang bertentangan dengan apa yang telah di bawa oleh Rasulullah Saw.

c.       Ta’arud antara beberapa Qiyas
Kontradiksi dalil juga dapat di temui dalam Qiyas, menurut Abu Zahroh, Tidak ada satu kontradiksi pada Qiyas, tatmana illatnya termakstub dalam nash, atau telah di sepakati suatu Illat tertentu oleh para ulama’. Dalam keadaan ini, tidak akan mungkin terjadi sesuatu perbedaan atau perbedaan sudut pandang terhadap qiyas. Karena pada dasarnya illat itu di sepakati oleh bersama, jika ada ulama’ yang mengajukan qiyas, namun dengan hasil dari istinbath, maka yang demikian itu tidak lain dan tidak bukan semata-mata karena ulama’ tersebut tidak dapat menjangkau illat karena terjangkau pengetahuannya.[6]
                        Contoh dalam masalah wali ijbar, terhadap seorang gadis cilik.Imam Abu Hanifah berpendapat bahwasanya, ‘illatnya adalah kecilikan, dan oleh karena itu, perwaliannya akan berakhir pada waktu gadis itu telah baligh. Namun Imam Syafi’I menganggap ‘illatnya adalah kegadisan/keperawanan dan karena itu perwaliannya akan berakhir apabila gadis tersebut sudah menikah atau kawin. Imam Syafi’i juga menjelaskan bahwa setiap perbedaan tersebut tidaklah tercela, karena hal tersebut tentang sesuatu yang memang terdapat peluang ijtihad, seorang mujtahid berpegang pada satu asal dan mujtahid yang lain mengambil yang satunya lagi, sehingga terjadilah perbedaan.[7]

d.      Metode Penyelesaian Ta’arud
Ta’arud adalah suatu permasalahan yang harus di selesaikan, para ahli ushul fiqih membagi menjadi 4 jalan untuk menyelesaikan ta’arud : nasakh (menghapus suatu dalil terdahulu) , tarjih (mengunggulkan salah satu nash), al-jam’u wa al-taufiq (mengkompromikan), tasaqut al-dalilain (tidak mengamalkan keduanya).[8]
Tentunya dalam memecahkan atau menyelesaikan ta’arud , cara yang di tempuh para ahli ushul fiqih berbeda-beda, di antaranya yaitu Madzhab Hanafiyah dan juga Syafi’iyah, pada intinya tetap menggunakan 4 cara di atas, namun urutan pelaksanaanya berbeda-beda.
Adapun cara yang di tempuh ahli ushul fiqh Hanafiyah dalam menyelesaikan Taarud yaitu yang pertama menggunakan Nasakh, jika tidak di dapatkan sejarah datangnya maka menggunakan metode tarjih, jika dengan metode tarjih yaitu mengunggulkan salah satu nash tidak tercapai, maka menggunakan metode kompromi atau al-jam’u wa al-taufiq. Berbeda dengan para ahli fiqih Syafi’iyah, mereka memulainya dengan al’jam’u wa al-taufiq, jika kompromi tidak tercapai maka menggunakan metode tarjih antara 2 nash, jika tarjih tidak tercapai, maka menggunakan cara nasakh, jika dengan cara nasakh tidak di jumpai sejarah datangnya 2 dalil yang kontradiksi tersebut maka cara terakhir yaitu tasaqut dalilain atau menggugurkan dalil yang kontradiksi tersebut , lalu merujuk pada nash yang di bawah derajat dalil berkontradiksi tersebut.[9]
  1. TARJIH
a.      Pengertian
Sebagian besar dari ulama’ hanafiah, syafi’iyah, hanabilah sepakat bahwasanya tarjh adalah salah satu perbuatan mujtahid. Pengertian tarjih itu sendiri jika di tinjau dari segi kebahasaan yaitu berasal dari kata “Rajjaha” yang artinya memberi pertimbangan lebih daripada yang lain. Dalam kitab Kasyf-u ‘l Asrar juga di jelaskan mengenai pengertian tarjih itu sendiri “Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu diantara dua jalan yang bertenangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu”.[10] Menurut Muhammad Wafa, tarjih menurut bahasa yaitu mengunggulkan suatu dan memenangkannya. Tarjih menurut istilah, mengutip dari pendapat Fakh ad-Din Ar-Razi adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil agar di ketahui yang lebih kuat untuk diamalkan.[11]
b.      Unsur Tarjih
Sebagian besar ulama ushul menyepakati ketentuan mengenai unsur-unsur tarjih, bahwa tarjih akan terpenuhi jika memenuhi unsur sebagai berikut : Pertama, adanya dua dalil, Kedua, adanya sesuatu yang menjadikan salah satu dalil tersebut di utamakan, maka dari kedua dalil tersebut di syaratkan : a. bersamaan martabatnya, b. bersamaan kekuatannya, c. keduanya sama dalam menetapkan hokum dalam satu waktu.
c.       Aspek Pentarjihan
Di kutip dari buku “Manhaj Tarjih Muhammadiyah”, jika di uraikan, ada beberapa aspek dalam mentarjih:[12]
1.      Yang kembali pada diri perawi :Jumlah perawi yang banyak di menangkan dari yang sedikit, perawi yang lebih wara’ dan taqwa di menangkan daripada yang kurang, perawi yang telah mengamalkan di utamakan dari pada yang menyelisihkan,perawi yang lebih dekat hubunganya dengan nabi di menangkan dari yang jauh, perawi yang lebih dulu islamnya di menangkan dari pada yang kemudian, perawi yang khibar shahabah di menangkan daripada yang sighar shahabah, perawi yang menerima ucapan hafalan secara langsung lebih di utamakan dari pada hanya menerima tulisan.
2.      Yang kembali ke penilaian(Tazkiyah) perawi: Jumlah yang menganggap lebih baik di menangkan dari pada yang sedikit, Ungkapan yang menganggap tegas di utamakan daripada yang tidak, pensucian perawi menggunakan kata “pensaksian” di menangkan daripada periwayatan,
3.      Yang kembali pada periwayatan: Yang di riwayatkan atas yang di dengar gurunya di utamakan daripada yang di baca di hadapan gurunya, yang disepakati marfu’nya di menangkan dari yang di selisihkan, riwayat bil lafdzi di menangkan daripada bil’ ma’na.
4.      Yang kembali ke matan: Yang bukan musytarak di dahulukan dari yang musytarak, Haqikah di dahulukan daripada majaz, kalau keduanya musytarak di dahulukan yang sedikit artinya daripada yang banyak, kalau keduanya haqiqi di dahulukan yang lebih masyhur, makna syar’I di dahulukan daripada yang lughowi, yang ada muakkadnya di dahulukan daripada yang tidak, manthuq di dahulukan daripapa yang mafhum, khos di dahulukan daripada ‘am.
5.      Yang kembali pada isi dalil: Yang melarang di dahulukan dari yang membolehkan, yang melarang di dahulukan atas mewajibkan, yang mengandung hokum haram di dahulukan atas makruh, Itsbat di dahulukan atas yang nafi’, yang mengandung ziyadah di dahulukan atas yang tidak, yang mengandung taklifi di dahulukan atas yang tidak, yang meringankan di dahulukan daripada yang memberatkan.
6.      Berdasarkan yang lain dari hal-hal tersebut: Yang mencocoki dengan dalil lain di menangkan daripada yang tidak, yang mengandung apa yang di amalkan oleh ahli madinah di menangkan dari yang tidak, yang ta’wilnya sesuai di menangkan dari yang tidak sesuai, hokum ber ‘illah di menangkan dari yang tidak
3. AMAR
a. Pengertian
Banyak sekali literature dalam ushul fikih yang menjelaskan definisi dari amar salah satunya secara umum amar bias di artikan suatu ucapan yang menghendaki kepatuhan seseorang untuk melakukan suatu printah atau erbuatan, secara sederhananya bias di ambil kesimpulan bahwa Amar adalah tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebh rendah.[13]
Contoh dalam firman Allah SWT surah al Baqarah ayat 110 yang di tunjukkan kepada orang yang beriman:
وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة
Artinya: Dirikanlah sholat dan dirikanlah sholat
            Dari pengertian di atas maka dapat di temukan hakikat dari amar itu bahwasannya :
1.      Bahwa iaadalah ucapan yang berbentuk suruhan, seperti ayat pada surah al Baqarah tersebut.
2.      Upaya dating dari pihak yang lebih tinggi, yaitu Allah SWT.
3.      Ada suatu perbutan yang di tuntut yaitu sholat dan zakat.
4.      Ada pihak yang diperintahkan yang dimana posisinya atau kedudukannya lebih rendah yaitu hamba Allah yang beriman.[14]
Menurut ahli ushul fiqh yaitu Abid Saleh yang berasal dari Damaskus berpendapat bahwa perintah melakukan suatu perbuatan  di dalam al-nshus di sampaikan dalam berbagai bentuk redaksi antara lain sebagai berikut:[15]
1.      Melalui kata atau lafal amara dan seakar dengannya yang mengandung perintah(suruhan) seperti dalam firman Allah SWT surah an Nisa’ ayat 55
ان الله يأمركم أن تؤدوا اللأمانات إلى أهلها
“Sesungguhnya Alla menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya "
2.      Menggunkan kata atau lafal kutiba (diwajikan ), seperti dalam firman Allah SWT surah al Baqarah ayat 183:
يآ أيها الذين ءامنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
“Hai orang orang yang beriman telah diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana di wajibkan kepada orang orang sebelum kamu,mudah mudahan kamu bertaqwa.”
3.      Pemberitahuan menggunakan redaksi pemberitahuan (jumlah khobariyah) tetapi maksudnya adalah perintah seperti dalam surah al baqarah ayat 228 “wanita wanita yang di talak hendaklah menahan diri menunggu hingga tiga kali quruk(suci)”
4.      Perintah dengan menggunkan kata kerja printah secara langsung seperti dalam al qur’an surah al baqarah:239 “peliharalah(hafidzu) segala sholatmu dan sholat wustha, berdirilah untuk Allah dalam sholat dengan khusu’”
5.      Fi’il mudhari yang di sertai dengan lam amar (lam yang mengandung suatu perintah) seperti dalam surah at Talak:7

لينفق ذوسعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق ممآءاتاهالله
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang di sempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang di berikan Allah kepadanya.”
6.      Perintah dengan memakai kata wajaba dan faradha seperti dalam surah al Ahzab ayat 50

قد علمن ما فردنا عليهم فى أزواجهم وما ملكت أيما نهم
                         Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan(ma
faradha) kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang
mereka miliki
7.      Perintah yang berbentuk penilaian bahwa perbuatan itu baik seperti dalam surah al Baqarah 220 “mereka bertanya kepadamu tentang anak anak yatim, katakanlah: mengurus urusan mereka secara patut adalah baik”.
8.      Perintah dengan janji kebaikan yang banyak bagi pelakunya, seperti dalam surah al Baqarah 245 :siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (membelanjakan hartanya di jalan Allah maka Allah akan melipat gandakan pembayarannya dengan lipat ganda yang banyaka”
Kesimpulannya pengertian amar menurut mayoritas ulama ushul fiqh,amar adalah
اللفظ الدال على طلب الفعل على جهة اللإ ستعلاء
                  Suatu tuntutan(perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatan atau kedudukannya.[16]

b.Hukum-hukum yang Mungkin Ditunjukkan Oleh Bentuk Amar
Seperti yang di ugkapkan oleh Muhammad Adib Saleh seorang guru besar Universitas Damaskus Bahwasannya suatu bentuk perintah bias di gunakan untuk berbagai pegertian antara lain:
1.    Menunjukkan hukum wajib seoerti peritah untuk meaksanakan solat
2.    Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh untuk di lakukan seperti pada surah al mukminun ayat 51 “hai para rosul makanlah dari makanan yag baik-baik”
3.    Sebagai anjuran atau menunjukkan anjuran seperti dalam surah al baqarah ayat 282 “hai orang-orang yang beriman apabila lamu bermuamalat secara tidak tunai untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya”
4.    Untuk melemahkan seperti dalam surah al baqara ayat 23 “dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami Muhammad, buatlah satu surat saja semisal dengan al Qur’an.
5.      Sebagai bentuk ejekan atau penghinaan seperti dalam surah ad Dukhan ayat 49 “rasakanlah,sesungguhnya orag-orang perkasa lagi mulia.[17]
c. Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Amar
Para ulama menetapkan menetapkan beberapak kaidah terkait dengan amar antara lain sebagai berikut:[18]
a.       Meskipun suatu perintah bias menunjukkan berbagai pengertian namun pada dasarya suatu perintah selalu menunjukkan pada hukum wajib kecuali ada suatu indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut, misalnya perintah yang menujukkan untuk wajib sholat lima waktu yang terdapat dalam surah al isra’ ayat 78
أقمةالصلاة لدلوك الشمس
“Dirikanlah sholat karena tergelincirnya matahari”
Contoh yang perintah yang mengandung atau di sertai indikasi yang memalingkan hukum wajib kepada hukum lain terdapat dalam surah al Baqarah ayat 282 dan 283 di mana pada ayat 282, Allah memerintahkan kepada orang orang yang beriman yang melakukan transaksi secara utang-piutang untuk waktunya di tentukan hendaklah mereka mencatatnya ,printah ini mengandung perintah wajib tetapi karena adanya indikasi lain yang memalingkannya yaitu pada ayat 283 bahwasannya, apabila orang yang berutang-piutang saling mempercayai maka tidak perlu mencatat utang piutang tersebut.dengan demikian hukumnya menjadi sunat bukan wajib lagi.
b.      Jumhur ushul fiqh menetapkan bahwa suatu peritah tidak wajib di lakukan berulang kali kecuali ada dalil yang menyebutkan untuk itu, seperti printah melaksanakan haji dala surah al Baqarah ayat 196:
وأتموا الحجّ والعمرة لله
Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah
pada ayat ini menjelaskan bahwa telah tercapai hanya dengan melakukan sekali  dalam seumur hidup.
c.       Jumhur ulama berpendapat dan berpendirian bahwa suatu perintah tidak harus segera di kerjakan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan unruk itu, karena pada dasarnya tujuan dari suatu perintah adalah terwujudnya perbutan yang di printahkan,contonya perintah untuk segera melakukan suatu kebaikan,bukan di ambil dari perintah itu sendiri, namun ada dalil lain yaitu surah al Baqarah ayat 148 “berlomba-lombalah kamu dalam melakukan kebaikan” namun ada pendapat dari Abu Hasan al Karkhi (w.430 H) berpendapat bahwa perintah yang menunjukkan hukum wajib dan segera di lakukan, iapa yang tidak segera melakukannya akan berdosa.[19]

4.      AL-NAHY
a.    Pengertian
Dilihat dari segi etimologi, al-nahy merupakan lawan dari al-amr.Jika al-amr mempunyai makna perintah, maka al-nahy merupakan larangan.Dalam memaknai lafadz al-nahy ini, ada beberpa pendapat dari kalangan ulama ushul fiqh.[20] Antara lain sebagai berikut:
Zaky al-Din Sya’ban mendefinisikan al-nahy sebagai berikut:
هو ما دلّ على طلب الامتناع عن الفعل
Al-nahy ialah sesuatu tuntutan yang menunjukkan (mengandung) larangan untuk berbuat.

Selain itu, Imam Abu Zahrah juga menyatakan pendapatnya tentang definisi al-nahy sebagai berikut:
النهي هو طلب الكفّ عن فعل
Al-nahy ialah tuntutan yang berisi larangan atau cegahan untuk melakukan perbuatan.
Dari dua pendapat tersebut, kita dapat mendefinisikan lafadz al-nahy sebagai bentuk larangan atau cegahan terhadap seseorang agar tidak melakukan sesuatu yang telah tercantum dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah.

b.   Format Sighat Al-nahy
Ulama ushul fiqh membagi format atau bentuk sighat al-nahy menjadi empat bagian.[21] Adapun empat format tersebut antara lain:
1.    Format Fi’il mudhari’ yang disertai dengan la nahiyah. Sehingga menimbulkan makna larangan atau tidak boleh melakukan sesuatu. Contoh:
ولا تقربوا الزّنا  انّه كان فاحشة وّساء سّبيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya perbuatan zina merupakan hal yang keji dan seburuk-buruknya jalan.”
2.    Format kata kerja atau perintah yang berisi untuk meninggalkan suatu perbuatan. Contoh:
فاجتنبوا الرّجس من الاوثان واجتنبوا قول الزّور
“Maka jauhilah olehmu kekotoran itu, yaitu berhala-berhala dan jauhilah pula perbuatan dusta”
Dalam ayat ini digunakan lafadz fajtanibuu yang merupakan bentuk kata kerja yaitu untuk meninggalkan sesuatu.
3.    Format penggunaan kata al-nahy itu sendiri dalam kalimat. Contoh:
وينهى عن الفخشاء والمنكار ...
…dan Allah melarang dari perbuatan keji dan kemungkaran…

4.    Format jumlah khabariyah. Yaitu kalimat khabar atau berita yang mempunyai maksud untuk menetapkan larangan, baik dalam penyampaian kalimat tersebut menggunakan kata “haram” maupun “tidak halalnya sesuatu”. Contoh:
حرّمت عليكم امّهاتكم وبناتكم واخواتكم...
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu, saudara-saudara perempuan kamu…”
Dalam ayat ini menggunakan kata haram secara langsung, sehingga baik dari segi lafadz maupun makna adalah haram.
لايحلّ لكم ان ترثوا النّساء كرها
“Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita secara paksa”
Pada ayat ini, penggunaan kata “tidak halal” menunjukkan bahwa perbuatan tersebut merupakan sebuah larangan.

c.    Penggunaan Sighat Al-Nahy
Jika kita memaknai lafadz al-nahy secara bahasa, pasti kita akan berfikir bahwa al-nahy itu selalu mengarah kepada keharaman maupun kemakruhan sesuatu. Akan tetapi sebenarnya tidak demikian.Didalam al-Qur’an, ayat yang menggunakan lafadz al-nahy dapat mengandung beberapa makna.[22] Antara lain sebagai berikut:

1.    Untuk menyatakan hukum haramnya suatu perbuatan, atau larangan atas sesuatu. Contoh:
ولا تقربوا الزّنا...
“dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina”
2.    Untuk menyatakan hukum makruhnya suatu perbuatan. Maksudnya disini lafadz al-nahy memiliki arti larangan, akan tetapi larangan tersebut tidak sampai menjadikan haramnya suatu perbuatan, hanya sebatas kepada makruh saja. Contoh:
لا يمسّنّ احدكم ذكره بيمينه وهو يبول
“Janganlah diantara kamu sekalian memegang kemaluannya menggunakan tangan kanan ketika buang air kecil”
3.    Untuk menyatakan bimbingan atau mendidik. Dalam konteks ini lafadz al-nahy memiliki makna larangan, akan tetapi larangan tersebut bersifat pengarahan atau bimbingan. Contoh:
لا تسئلوا عن اشياء ان تبد لكم تسؤكم
“Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya akan menyusahkanmu”
4.    Untuk menyatakan permohonan atau do’a. dalam konteks ini, meskipun terdapat lafadz al-nahy yang bermakna larangan, akan tetapi disini bersifat untuk permohonan atau berdo’a. contoh:
ربّنا لا تزغ قلوبنا بعد اذ هديتنا...
“Wahai Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah engkau berikan petunjuk(hidayah) kepada kami”
5.    Untuk menyatakan hinaan atau merendahkan. Al-nahy disini bersifat untuk merendahkan sesuatu agar sesuatu tersebut tidak dilakukan oleh seseorang. Contoh:
لا تمدّنّ عينيك الى ما متعنا به ازواجا منهم...
“Janganlah sesekali kamu tunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan diantara mereka (orang-orang kafir)”
6.      Untuk menyatakan suatu akibat dari suatu perbuatan. Dalam hal ini al-nahy yang berarti larangan tersebut mempunyai makna untuk menegaskan bahwa setiap perbuatan pasti akan ada akibatnya. Contoh:
ولا تحسبنّ الله غافلا عمّا يعمل الظّالمون
“Dan janganlah sesekali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim”
7.      Untuk menyatakan keputus-asaan. Seperti yang ada pada contoh berikut, al-nahy memiliki makna atau tujuan untuk menjadikan orang-orang kafir putus asa atas rahmat Allah. Contoh:
ياايّها الّذين كفروا لا تعذروا اليوم انّما تجزون ما كنتم تعملون
“Wahai orang-orang kafir janganlah kamu menyatakan uzur pada hari ini, bahwasanya kamu akan diberi balasan berdasarkan apa yang kamu perbuat”

d.      Perbedaan Pandangan Para Ulama
Dalam memahami lafadz al-nahy, ada beberapa perbedaan pandangan dari kalangan ulama’ ushul fiqh.[23]
1.      Jumhur Ulama. Dalam hal ini, jumhur ulama berpendapat bahwa hakikat dari lafadz al-nahy adalah untuk pengharaman sesuatu. Dan baru bisa menjadi tidak haram apabila ada dalil lain yang menghalalkannya. Dalam pengambilan makna ini, jumhur ulama berpedoman pada kaidah berikut:
الاصل فى النّهى للتّحريم
Asal dari larangan adalah untuk hukum haram
2.      Ulama Mu’tazilah. Mengemukakan pendapat bahwa al-nahy itu mengarahkan kepada hukum karahah (makruh). Karena kelompok ini memahami bahwa sesuatu dikatakan haram tidak bersumber dari larangan itu sendiri, akan tetapi ada dalil lain yang memberikan petunjuk bahwa sesuatu itu haram.
3.      Ulama yang mempunyai pendapat bahwa makna dari lafadz al-nahy itu adalah musytarak (pengertian ganda). Artinya bahwa al-nahy memiliki dua makna, ada kalanya al-nahy bermakna haram dan ada kalanya juga al-nahy memiliki makna karahah (makruh).

C.Penutup
            Ta’arudh secara umum berarti “adanya 2 kontradiksi nash yang saling berlawanan atau bertentangan”, apabila terdapat 2 dalil yang saling menafikan apa yang telah di tunjuk oleh dalil yang lain maka hal tersebut dapat dikatan sebagai Ta’arudh, permasalahan ta’arudh sendiri terkadang menjadi salah satu sebab yang paling banyak menimbulkan perbedaan pendapat pada ulama ushul fiqh.
Adapun pengertian tarjih itu sendiri jika di tinjau dari segi kebahasaan yaitu berasal dari kata “Rajjaha” yang artinya memberi pertimbangan lebih daripada yang lain. Dalam kitab Kasyf-u ‘l Asrar juga di jelaskan mengenai pengertian tarjih itu sendiri “Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu diantara dua jalan yang bertenangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu”
Sedangkan amar adalah
اللفظ الدال على طلب الفعل على جهة اللإ ستعلاء
Suatu tuntutan(perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatan atau kedudukannya.
            Ada pula an nahi dari  segi etimologi, al-nahy merupakan lawan dari al-amr. Jika al-amr mempunyai makna perintah, maka al-nahy merupakan larangan. Dalam memaknai lafadz al-nahy ini, ada beberpa pendapat dari kalangan ulama ushul fiqh















DARTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih.(Pustaka Amani:Jakarta,2003)
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam.(PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta,1996)
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam.(PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta,1996)
Ahmad Atabik, “Kontradiksi antar Dalil dan Penyelesaiannya Prespektif Ushuliyyin”.Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. Vol.6, No. 2, Desember 2015
Alaiddin Kotto, Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih.(PT.Raja Grafindo Persada:Jakarta,2006)
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh jilid 2. (Jakarta: Kencana, 2008)
Asjmuni Abdurrahman,  Manhaj Tarjih Muhammadiyah.(Pustaka Pelajar:Yogyakarta,2007).
Asmawi.Perbandingan Ushul Fiqh. (Jakarta: Amzah, 2011)
DAHLIAH, Tesis: “Metode Penetapan Ta’arud Al-Adillah dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam” (Makasar:UIN Alaudin Makasar,2013)
Firdaus,Ushul Fiqh (Jakarta :Zikrul Hakim,2004) .137
Imron Rosyidi, “Tarjih sebagai Metode: Prespektif Ushul Fiqih”.Ishraqi. Vol.1
Romli SA. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014)
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam.(Sinar Grafika:Jakarta, 1995)

Catatan:
1.      Similarity 11%
2.      Penulisan footnote perlu diperbaiki
3.      Perujukan dari jurnal harus ditulis secara lengkap
4.      Mana contoh tarjih?


[1] DAHLIAH, Tesis: “Metode Penetapan Ta’arud Al-Adillah dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam” (Makasar:UIN Alaudin Makasar,2013).32
[2] Alaiddin Kotto, ILMU FIQIH DAN USHUL FIQIH.(PT.RAJA GRAFINDO PERSADA:Jakarta,2006).141
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam.(PT. RAJA GRAFINDO PERSADA:Jakarta,1996).382-383
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih.(Pustaka Amani:Jakarta,2003).338
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam.(PT. RAJA GRAFINDO PERSADA:Jakarta,1996).382
[6] Ahmad Atabik, “Kontradiksi antar Dalil dan Penyelesaiannya Prespektif Ushuliyyin”.Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. Vol.6, No. 2, Desember 2015.268
[7] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam.(Sinar Grafika:Jakarta, 1995).174
[8] DAHLIAH, Tesis: “Metode Penetapan Ta’arud Al-Adillah dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam” (Makasar:UIN Alaudin Makasar,2013).61
[9] Ahmad Atabik, “Kontradiksi antar Dalil dan Penyelesaiannya Prespektif Ushuliyyin”.Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. Vol.6, No. 2, Desember 2015.260-261
[10]Asjmuni Abdurrahman,  Manhaj Tarjih Muhammadiyah.(Pustaka Pelajar:Yogyakarta,2007).3
[11]Imron Rosyidi, “Tarjih sebagai Metode: Prespektif Ushul Fiqih”.Ishraqi. Vol.1, No.1, Januari 2017.12
[12] Asjmuni Abdurrahman,  Manhaj Tarjih Muhammadiyah.(Pustaka Pelajar:Yogyakarta,2007).5-7
[13] Sarifddin Amir,Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,2012) .127
[14] Ibid., 128
[15] Firdaus,Ushul Fiqh(Jakarta :Zikrul Hakim,2004) .137
[16] Efendi Satria, Ushul Fiqh,( Jakarta: Kencana, 2005) .179
[17]Ibid. 184
[18] Sarifddin Amir,Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,2012) .141
[19] Sarifddin Amir,Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,2012) .143
[20] Romli SA. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014).257-258
[21]Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. (Jakarta: Amzah, 2011).229-230
[22] Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh jilid 2. (Jakarta: Kencana, 2008).196-197
[23] Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh jilid 2. (Jakarta: Kencana, 2008).198

Tidak ada komentar:

Posting Komentar