TA’ARUD, TARJIH DAN AL AMRU,NAHYU
Mochammad Ilham Akbar(16110093), Ahmad Choirul Anwar(16110120), Muh.Qudsi Jihadi(16110064)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Kelas C Tahun
2019
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstrac
The Islamic shri’a brough by the king Rosululloh SAW is in the form
of the Qur’an and Sunnah, where both of these can be understandtood trough the
ushul fiqh and also Arabic. The perposeof this discussion is to find out how
the Islamic syaria law is in accordance with worship wich has been datemined by
the scholars of ushl fiqh and fikih acocording to al Qur’an and Sunnah as
forits use is to know the lurel of the ruler relating to ta’arud, tarjih,amar
and nahi, by knowing the rulers of the rules of the rule it is ecpected to be
easy to know the law contain the Qur’an and Sunnah, and also how inportand it
is and its position
Keywords: ta’arud,tarjih,amar,nahi
Abstrak
Syariat islam yang di bawa oleh baginda
Rosululloh SAW adalah berupa al Qur’an
dan as Sunnah, dimana kedua hal tersebut bisa di pahami lewat ushuk fiqh
dan juga bahasa arab.Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui
bagaimana cara penetapan hukum syriat islam sesuai dengan ibadah yang sudah di
tetapkan oleh ulama ushuk fiqh dan fikih sesuai dengan al ur’an dan as Sunnah
adapun kegunaannya adalah dengan mengetahui kaidah kaidah yang berkaitan dengan
ta’arud,tarjid,amar dan dan nahi dengan mengetahui kaidah kaidah
tersebut maka di harapkan dengan mudah
untuk mengetahui hukum yang terkandung dalam al Qur’an dan as Sunnah dan juga
bagaimana pentingnya serta kedudukannya.
Kata kunci: ta’arud,tarjih,amar,nahi
A.Pendahuluan
Salah satu objek utama yang akan di bahas
dalam ushul fiqh adalah al Qur’an dan as Sunnah, untuk memahami kedua hal
tersebut yang berbahasa arab maka para ulama telah menyusun “semantik” semacam
yang di gunakan dalam praktik dalam penalaran fikih.untuk itu para ahli ushul
fiqh telah membuat beberapa lafal dengan berbagai redaksi di antaranya yang
sangat penting adalah masalah amar dan nahi.
Amar dan nahi merupakan dua istilah yang
terdpat dala, pembahasan lafaz dari segi penggunaan sighat taklif atau suatu lafaz
yang menunjukkan mukallaf atau beban hukum.Amar dan nahi merupakn pokok dalam
pengkajian ushul fiqh yang kebanyakan para penulis ushul fiqh memulai kajiannya
dari dua hal ini yaitu amar dan nahi, semua yang di perintahkan Allah kepada
mukallaf menuntut untuk berbuat dan semua larangan untuk di tiggalkan.
Kemudian di sisi lai ada suatu faktor yang
tidak boleh kita pungkiri bahwasannya untuk menguasai ushul fiqhtidak serta
merta menjamin kesatuan dari ijtihad dan istimbath para mujtahid, di samping
untuk mengetahui faktor eksternal dari fikih itu sendiri maka di ferlukan pula
faktor internal yang dimana pada bagian masalhnya mengalami perdebatan di kalangan ulama ushuluyyin hal inilah yang
akan menyebabkan munculnya ilmu ilmu seperti ta’arud dan tarjih .
Hal di atas tersebut merukan hal yang sangat
penting di telaah dan di pelajari untuk itu artikel ini akan membahas empat hal tersebut yaitu amar, nahi, ta’arud dan tarjih.
B.Pembahasan
1. Ta’arudlh
a.
Pengertian Ta’arud
Kata ta’arud
secara bahasa mempunyai arti berlawanan antara dua dalil.Ta’arud juga dapat
diartikan dengan beberapa makna “Al-Min’u” (Mencegah), “Ad-Dzuhuru” (Nampak),
“Al-Miqobalu” (saling berhadapan), “Al-musaawaatu” (suatu derajat yang memiliki
pertentangan), “At-Tauriyyatu” (tersembunyi).4 pengertian tersebut menjelaskan
mengenai kedudukan Ta’arudh, yang mana taarudh mencegah berlakunya suatu hokum,
ta’arudh hanya mengkaji yang nampak saja atau yang zhahir, ta’arud mewujudkan
sesuatu yang baru dan taarudh terjadi pada dalil yang sederajat.[1]
Ta’arudh secara
umum berarti “adanya 2 kontradiksi nash yang saling berlawanan atau
bertentangan”, apabila terdapat 2 dalil yang saling menafikan apa yang telah di
tunjuk oleh dalil yang lain maka hal tersebut dapat dikatan sebagai Ta’arudh,
permasalahan ta’arudh sendiri terkadang menjadi salah satu sebab yang paling
banyak menimbulkan perbedaan pendapat pada ulama ushul fiqh.[2]
Konradiksi
antara 2 dalil syara’ tersebut tidak mungkin terjadi apabila dari kedua dalil
tersebut mengalami ketimpangan kekuatan, apabila salah satu dari dua dalil
tersebut lebih kuat, maka jelaslah yang wajib di ikuti adalah dalil yang lebih
kuat, dan di abaikanlah dalil hokum yang kontradiksi dengannya di kehendaki
oleh dalil lain. Oleh karenanya tidak akan terjadi kontradiksi atau
pertentangan antara nash Qath’i dan Zhanny, antara nash dan ijma’atau qiyas,
antara ijma dan qiyas, kontradiksi tersebut dapat terjadi pada dua ayat, atau
antara dua hadist mutawatir, antara ayat dengan hadist mutawattir, antara dua
hadist yang tidak mutawattir, dan juga antara dua qiyas.[3]
Yang perlu kita
perhatikan bahwasanya tidak ada kontradiksi yang hakiki antara dalil, antara
dua ayat, antara dua hadist mutawattir, antara ayat dan hadist shahih.Jika
tampak kontradiksi antara dua dalil, maka hal tersebut hanya sebatas lahiriyah
saja atau secara zhahiriyah saja. Karena syari’ Tuhan yang Maha Esa dan Maha
Bijaksana tidak mungkin mengeluarkan dalil yang menuntut suatu hokum dalam
suatu kejadian, dan mengeluarkan dalil lain yang menuntut hokum dalam kejadian
yang sama, yang mana hokum tersebut berlawanan dengan hokum yang lainya atau
hokum pertama secara bersama. Jika terdapat kontradiksi yang demikian maka
dapat di tempuh jalan ijtihad untuk mengalihkan keduanya dari makna lahir atau
zhahir.Keduanya tidak diartikan secara hakiki demi mensucikan Dzat Allah yang
maha bijaksana dari pertentangan dalil atau kontradiksi dalam perundangaNya.[4]
b.
Ta’arud dalam beberapa nash
Adapun dalam firman Allah SWT :
Artinya : Dan
orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh
hari ….. (Q.S. Al-Baqarah 234).
Nash tersebut
menunjukkan bahwasanya setiap istri yang ditinngal mati oleh suaminya, iddahnya
akan selesai dengan masa 4 bulan 10 hari. Baik istri itu sedang hamil ataupun
tidak.
Dan Firman Allah lainya :
Artinya :Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya…. (Q.S. At-Thalaq 4)
Dalam ayat ke
dua bahwasanya istri yang di tinggal mati suami pada saat hamil, masa iddahnya
yaitu sampai sang istri melahirkan. Dari kedua suatu peristiwa yang di
kehendaki nash pertama dan kedua maka timbullah kontradiksi antara kedua nash
di atas.[5]
Terdapat juga
dalam hadits :
لاَرَيْباً إِلاَّ فِى النَّسِيْئَةِ
“Tidak ada riba kecuali riba nasi'ah (riba yang muncul dari utang
piutang” (HR. Bukhari dan Muslim).Dalam hadits tersebut di jelaskan bahwasanya
Riba’ Nasiah adalah haram, dengan demikian, Riba’ Fadl yang mana berasal dari
transaksi jual beli halal.
Terdapat dalam sebuah hadits lain :
لاَتَبِيْعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ إِلاَّ مَثَلاً بِمَثَلٍ
“Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang
sama..” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam kedua
hadits tersebut terjadi pertentangan dalil yang mana pada hadits pertama
Mengharamkan Riba Nasi’ah dan tidak melarang Riba Fadl, akan tetapi pada hadits
ke dua, terdapat larangan terhadapap riba fadl.
Wahbah Zuhaili, pertentangan dalil yang terjadi itu adalah hanya
dalam pandangan mujtahid yang mana mempunyai keterbatasan logika dan juga
kemampuan dalam berfikir, tidak mungkin Allah SWT menciptakan dalil yang
bertentangan dengan apa yang telah di bawa oleh Rasulullah Saw.
c.
Ta’arud antara beberapa Qiyas
Kontradiksi dalil juga dapat di temui dalam Qiyas, menurut Abu
Zahroh, Tidak ada satu kontradiksi pada Qiyas, tatmana illatnya termakstub
dalam nash, atau telah di sepakati suatu Illat tertentu oleh para ulama’. Dalam
keadaan ini, tidak akan mungkin terjadi sesuatu perbedaan atau perbedaan sudut
pandang terhadap qiyas. Karena pada dasarnya illat itu di sepakati oleh
bersama, jika ada ulama’ yang mengajukan qiyas, namun dengan hasil dari
istinbath, maka yang demikian itu tidak lain dan tidak bukan semata-mata karena
ulama’ tersebut tidak dapat menjangkau illat karena terjangkau pengetahuannya.[6]
Contoh
dalam masalah wali ijbar, terhadap seorang gadis cilik.Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwasanya, ‘illatnya adalah kecilikan, dan oleh karena itu,
perwaliannya akan berakhir pada waktu gadis itu telah baligh. Namun Imam
Syafi’I menganggap ‘illatnya adalah kegadisan/keperawanan dan karena itu
perwaliannya akan berakhir apabila gadis tersebut sudah menikah atau kawin.
Imam Syafi’i juga menjelaskan bahwa setiap perbedaan tersebut tidaklah tercela,
karena hal tersebut tentang sesuatu yang memang terdapat peluang ijtihad,
seorang mujtahid berpegang pada satu asal dan mujtahid yang lain mengambil yang
satunya lagi, sehingga terjadilah perbedaan.[7]
d.
Metode Penyelesaian Ta’arud
Ta’arud adalah
suatu permasalahan yang harus di selesaikan, para ahli ushul fiqih membagi
menjadi 4 jalan untuk menyelesaikan ta’arud : nasakh (menghapus suatu dalil
terdahulu) , tarjih (mengunggulkan salah satu nash), al-jam’u wa al-taufiq
(mengkompromikan), tasaqut al-dalilain (tidak mengamalkan keduanya).[8]
Tentunya dalam
memecahkan atau menyelesaikan ta’arud , cara yang di tempuh para ahli ushul
fiqih berbeda-beda, di antaranya yaitu Madzhab Hanafiyah dan juga Syafi’iyah,
pada intinya tetap menggunakan 4 cara di atas, namun urutan pelaksanaanya
berbeda-beda.
Adapun cara
yang di tempuh ahli ushul fiqh Hanafiyah dalam menyelesaikan Taarud
yaitu yang pertama menggunakan Nasakh, jika tidak di dapatkan sejarah datangnya
maka menggunakan metode tarjih, jika dengan metode tarjih yaitu mengunggulkan
salah satu nash tidak tercapai, maka menggunakan metode kompromi atau al-jam’u
wa al-taufiq. Berbeda dengan para ahli fiqih Syafi’iyah, mereka
memulainya dengan al’jam’u wa al-taufiq, jika kompromi tidak tercapai maka
menggunakan metode tarjih antara 2 nash, jika tarjih tidak tercapai, maka
menggunakan cara nasakh, jika dengan cara nasakh tidak di jumpai sejarah
datangnya 2 dalil yang kontradiksi tersebut maka cara terakhir yaitu tasaqut
dalilain atau menggugurkan dalil yang kontradiksi tersebut , lalu merujuk pada
nash yang di bawah derajat dalil berkontradiksi tersebut.[9]
- TARJIH
a.
Pengertian
Sebagian besar
dari ulama’ hanafiah, syafi’iyah, hanabilah sepakat bahwasanya tarjh adalah
salah satu perbuatan mujtahid. Pengertian tarjih itu sendiri jika di tinjau
dari segi kebahasaan yaitu berasal dari kata “Rajjaha” yang artinya memberi
pertimbangan lebih daripada yang lain. Dalam kitab Kasyf-u ‘l Asrar juga di jelaskan mengenai pengertian tarjih itu
sendiri “Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu diantara
dua jalan yang bertenangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan
tarjih itu”.[10]
Menurut Muhammad Wafa, tarjih menurut bahasa yaitu mengunggulkan suatu dan
memenangkannya. Tarjih menurut istilah, mengutip dari pendapat Fakh ad-Din
Ar-Razi adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil agar di ketahui yang
lebih kuat untuk diamalkan.[11]
b.
Unsur Tarjih
Sebagian besar
ulama ushul menyepakati ketentuan mengenai unsur-unsur tarjih, bahwa tarjih
akan terpenuhi jika memenuhi unsur sebagai berikut : Pertama, adanya dua dalil,
Kedua, adanya sesuatu yang menjadikan salah satu dalil tersebut di utamakan,
maka dari kedua dalil tersebut di syaratkan : a. bersamaan martabatnya, b.
bersamaan kekuatannya, c. keduanya sama dalam menetapkan hokum dalam satu waktu.
c.
Aspek Pentarjihan
Di kutip dari
buku “Manhaj Tarjih Muhammadiyah”, jika di uraikan, ada beberapa aspek dalam
mentarjih:[12]
1.
Yang kembali pada diri perawi :Jumlah perawi yang banyak di
menangkan dari yang sedikit, perawi yang lebih wara’ dan taqwa di menangkan
daripada yang kurang, perawi yang telah mengamalkan di utamakan dari pada yang
menyelisihkan,perawi yang lebih dekat hubunganya dengan nabi di menangkan dari
yang jauh, perawi yang lebih dulu islamnya di menangkan dari pada yang
kemudian, perawi yang khibar shahabah di menangkan daripada yang sighar
shahabah, perawi yang menerima ucapan hafalan secara langsung lebih di utamakan
dari pada hanya menerima tulisan.
2.
Yang kembali ke penilaian(Tazkiyah) perawi: Jumlah yang menganggap
lebih baik di menangkan dari pada yang sedikit, Ungkapan yang menganggap tegas
di utamakan daripada yang tidak, pensucian perawi menggunakan kata “pensaksian”
di menangkan daripada periwayatan,
3.
Yang kembali pada periwayatan: Yang di riwayatkan atas yang di
dengar gurunya di utamakan daripada yang di baca di hadapan gurunya, yang
disepakati marfu’nya di menangkan dari yang di selisihkan, riwayat bil lafdzi
di menangkan daripada bil’ ma’na.
4.
Yang kembali ke matan: Yang bukan musytarak di dahulukan dari yang
musytarak, Haqikah di dahulukan daripada majaz, kalau keduanya musytarak di
dahulukan yang sedikit artinya daripada yang banyak, kalau keduanya haqiqi di
dahulukan yang lebih masyhur, makna syar’I di dahulukan daripada yang lughowi,
yang ada muakkadnya di dahulukan daripada yang tidak, manthuq di dahulukan
daripapa yang mafhum, khos di dahulukan daripada ‘am.
5.
Yang kembali pada isi dalil: Yang melarang di dahulukan dari yang
membolehkan, yang melarang di dahulukan atas mewajibkan, yang mengandung hokum
haram di dahulukan atas makruh, Itsbat di dahulukan atas yang nafi’, yang
mengandung ziyadah di dahulukan atas yang tidak, yang mengandung taklifi di
dahulukan atas yang tidak, yang meringankan di dahulukan daripada yang
memberatkan.
6.
Berdasarkan yang lain dari hal-hal tersebut: Yang mencocoki dengan
dalil lain di menangkan daripada yang tidak, yang mengandung apa yang di
amalkan oleh ahli madinah di menangkan dari yang tidak, yang ta’wilnya sesuai
di menangkan dari yang tidak sesuai, hokum ber ‘illah di menangkan dari yang
tidak
3. AMAR
a. Pengertian
Banyak sekali
literature dalam ushul fikih yang menjelaskan definisi dari amar salah satunya
secara umum amar bias di artikan suatu ucapan yang menghendaki kepatuhan
seseorang untuk melakukan suatu printah atau erbuatan, secara sederhananya bias
di ambil kesimpulan bahwa Amar adalah tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dari
pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebh rendah.[13]
Contoh dalam
firman Allah SWT surah al Baqarah ayat 110 yang di tunjukkan kepada
orang yang beriman:
وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة
Artinya: Dirikanlah
sholat dan dirikanlah sholat
Dari pengertian di atas maka dapat
di temukan hakikat dari amar itu bahwasannya :
1.
Bahwa iaadalah ucapan yang berbentuk suruhan, seperti ayat pada
surah al Baqarah tersebut.
2.
Upaya dating dari pihak yang lebih tinggi, yaitu Allah SWT.
3.
Ada suatu perbutan yang di tuntut yaitu sholat dan zakat.
4.
Ada pihak yang diperintahkan yang dimana posisinya atau
kedudukannya lebih rendah yaitu hamba Allah yang beriman.[14]
Menurut ahli
ushul fiqh yaitu Abid Saleh yang berasal dari Damaskus berpendapat bahwa
perintah melakukan suatu perbuatan di
dalam al-nshus di sampaikan dalam berbagai bentuk redaksi antara lain sebagai
berikut:[15]
1.
Melalui kata atau lafal amara dan seakar dengannya yang mengandung
perintah(suruhan) seperti dalam firman Allah SWT surah an Nisa’ ayat 55
ان الله يأمركم
أن تؤدوا اللأمانات إلى أهلها
“Sesungguhnya
Alla menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya "
2.
Menggunkan kata atau lafal kutiba (diwajikan ), seperti dalam
firman Allah SWT surah al Baqarah ayat 183:
يآ أيها الذين
ءامنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
“Hai orang orang yang beriman telah diwajibkan
kepadamu berpuasa sebagaimana di wajibkan kepada orang orang sebelum kamu,mudah
mudahan kamu bertaqwa.”
3.
Pemberitahuan menggunakan redaksi pemberitahuan (jumlah khobariyah)
tetapi maksudnya adalah perintah seperti dalam surah al baqarah ayat 228 “wanita
wanita yang di talak hendaklah menahan diri menunggu hingga tiga kali
quruk(suci)”
4.
Perintah dengan menggunkan kata kerja printah secara langsung
seperti dalam al qur’an surah al baqarah:239 “peliharalah(hafidzu) segala
sholatmu dan sholat wustha, berdirilah untuk Allah dalam sholat dengan khusu’”
5.
Fi’il mudhari yang di sertai dengan lam amar (lam yang mengandung
suatu perintah) seperti dalam surah at Talak:7
لينفق ذوسعة من
سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق ممآءاتاهالله
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya, dan orang yang di sempitkan rizkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang di berikan Allah kepadanya.”
6.
Perintah dengan memakai kata wajaba dan faradha
seperti dalam surah al Ahzab ayat 50
قد علمن ما
فردنا عليهم فى أزواجهم وما ملكت أيما نهم
Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang
kami wajibkan(ma
faradha) kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya
yang
mereka miliki
7.
Perintah yang berbentuk penilaian bahwa perbuatan itu baik seperti
dalam surah al Baqarah 220 “mereka bertanya kepadamu tentang anak anak
yatim, katakanlah: mengurus urusan mereka secara patut adalah baik”.
8.
Perintah dengan janji kebaikan yang banyak bagi pelakunya, seperti
dalam surah al Baqarah 245 :siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (membelanjakan hartanya di jalan Allah maka Allah akan
melipat gandakan pembayarannya dengan lipat ganda yang banyaka”
Kesimpulannya pengertian amar
menurut mayoritas ulama ushul fiqh,amar adalah
اللفظ الدال على
طلب الفعل على جهة اللإ ستعلاء
Suatu
tuntutan(perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
tingkatan atau kedudukannya.[16]
b.Hukum-hukum
yang Mungkin Ditunjukkan Oleh Bentuk Amar
Seperti yang di
ugkapkan oleh Muhammad Adib Saleh seorang guru besar Universitas Damaskus
Bahwasannya suatu bentuk perintah bias di gunakan untuk berbagai pegertian
antara lain:
1.
Menunjukkan hukum wajib seoerti peritah untuk meaksanakan solat
2.
Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh untuk di lakukan seperti
pada surah al mukminun ayat 51 “hai para rosul makanlah dari makanan yag
baik-baik”
3.
Sebagai anjuran atau menunjukkan anjuran seperti dalam surah al
baqarah ayat 282 “hai orang-orang yang beriman apabila lamu bermuamalat
secara tidak tunai untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu
menuliskannya”
4.
Untuk melemahkan seperti dalam surah al baqara ayat 23 “dan jika
kamu tetap dalam keraguan tentang Al Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba
kami Muhammad, buatlah satu surat saja semisal dengan al Qur’an.
5.
Sebagai bentuk ejekan atau penghinaan seperti dalam surah ad Dukhan
ayat 49 “rasakanlah,sesungguhnya orag-orang perkasa lagi mulia.[17]
c.
Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Amar
Para ulama
menetapkan menetapkan beberapak kaidah terkait dengan amar antara lain sebagai
berikut:[18]
a.
Meskipun suatu perintah bias menunjukkan berbagai pengertian namun
pada dasarya suatu perintah selalu menunjukkan pada hukum wajib kecuali ada
suatu indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut, misalnya
perintah yang menujukkan untuk wajib sholat lima waktu yang terdapat dalam
surah al isra’ ayat 78
أقمةالصلاة
لدلوك الشمس
“Dirikanlah
sholat karena tergelincirnya matahari”
Contoh
yang perintah yang mengandung atau di sertai indikasi yang memalingkan hukum wajib
kepada hukum lain terdapat dalam surah al Baqarah ayat 282 dan 283 di mana pada
ayat 282, Allah memerintahkan kepada orang orang yang beriman yang melakukan
transaksi secara utang-piutang untuk waktunya di tentukan hendaklah mereka
mencatatnya ,printah ini mengandung perintah wajib tetapi karena adanya
indikasi lain yang memalingkannya yaitu pada ayat 283 bahwasannya, apabila
orang yang berutang-piutang saling mempercayai maka tidak perlu mencatat utang
piutang tersebut.dengan demikian hukumnya menjadi sunat bukan wajib lagi.
b.
Jumhur ushul fiqh menetapkan bahwa suatu peritah tidak wajib di
lakukan berulang kali kecuali ada dalil yang menyebutkan untuk itu, seperti
printah melaksanakan haji dala surah al Baqarah ayat 196:
وأتموا الحجّ
والعمرة لله
“Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah”
pada ayat ini menjelaskan bahwa telah tercapai hanya dengan melakukan sekali dalam seumur hidup.
c. Jumhur ulama berpendapat dan berpendirian
bahwa suatu perintah tidak harus segera di kerjakan selama tidak ada dalil lain
yang menunjukkan unruk itu, karena pada dasarnya tujuan dari suatu perintah
adalah terwujudnya perbutan yang di printahkan,contonya perintah untuk segera
melakukan suatu kebaikan,bukan di ambil dari perintah itu sendiri, namun ada
dalil lain yaitu surah al Baqarah ayat 148 “berlomba-lombalah kamu dalam
melakukan kebaikan” namun ada pendapat dari Abu Hasan al Karkhi (w.430 H)
berpendapat bahwa perintah yang menunjukkan hukum wajib dan segera di lakukan,
iapa yang tidak segera melakukannya akan berdosa.[19]
4.
AL-NAHY
a.
Pengertian
Dilihat dari segi etimologi, al-nahy merupakan lawan dari
al-amr.Jika al-amr mempunyai makna perintah, maka al-nahy merupakan
larangan.Dalam memaknai lafadz al-nahy ini, ada beberpa pendapat dari kalangan
ulama ushul fiqh.[20]
Antara lain sebagai berikut:
Zaky al-Din Sya’ban mendefinisikan al-nahy sebagai berikut:
هو ما دلّ على طلب الامتناع عن الفعل
Al-nahy ialah sesuatu tuntutan yang menunjukkan (mengandung)
larangan untuk berbuat.
Selain itu, Imam Abu Zahrah juga menyatakan pendapatnya tentang
definisi al-nahy sebagai berikut:
النهي هو طلب الكفّ عن فعل
Al-nahy ialah
tuntutan yang berisi larangan atau cegahan untuk melakukan perbuatan.
Dari dua
pendapat tersebut, kita dapat mendefinisikan lafadz al-nahy sebagai bentuk
larangan atau cegahan terhadap seseorang agar tidak melakukan sesuatu yang
telah tercantum dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah.
b.
Format Sighat Al-nahy
Ulama ushul
fiqh membagi format atau bentuk sighat al-nahy menjadi empat bagian.[21]
Adapun empat format tersebut antara lain:
1.
Format Fi’il mudhari’ yang disertai dengan la nahiyah. Sehingga
menimbulkan makna larangan atau tidak boleh melakukan sesuatu. Contoh:
ولا تقربوا الزّنا انّه كان
فاحشة وّساء سّبيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena
sesungguhnya perbuatan zina merupakan hal yang keji dan seburuk-buruknya jalan.”
2.
Format kata kerja atau perintah yang berisi untuk meninggalkan
suatu perbuatan. Contoh:
فاجتنبوا الرّجس من الاوثان واجتنبوا قول الزّور
“Maka jauhilah olehmu kekotoran itu, yaitu
berhala-berhala dan jauhilah pula perbuatan dusta”
Dalam
ayat ini digunakan lafadz fajtanibuu yang merupakan bentuk kata kerja
yaitu untuk meninggalkan sesuatu.
3.
Format penggunaan kata al-nahy itu sendiri dalam kalimat. Contoh:
وينهى عن الفخشاء والمنكار ...…
…dan Allah
melarang dari perbuatan keji dan kemungkaran…
4.
Format jumlah khabariyah. Yaitu kalimat khabar atau berita yang
mempunyai maksud untuk menetapkan larangan, baik dalam penyampaian kalimat
tersebut menggunakan kata “haram” maupun “tidak halalnya sesuatu”. Contoh:
حرّمت عليكم امّهاتكم وبناتكم واخواتكم...
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu,
anak-anak perempuan kamu, saudara-saudara perempuan kamu…”
Dalam
ayat ini menggunakan kata haram secara langsung, sehingga baik dari segi lafadz
maupun makna adalah haram.
لايحلّ لكم ان ترثوا النّساء كرها
“Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
secara paksa”
Pada
ayat ini, penggunaan kata “tidak halal” menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
merupakan sebuah larangan.
c.
Penggunaan Sighat Al-Nahy
Jika kita memaknai lafadz al-nahy secara bahasa, pasti kita akan
berfikir bahwa al-nahy itu selalu mengarah kepada keharaman maupun kemakruhan
sesuatu. Akan tetapi sebenarnya tidak demikian.Didalam al-Qur’an, ayat yang
menggunakan lafadz al-nahy dapat mengandung beberapa makna.[22]
Antara lain sebagai berikut:
1.
Untuk menyatakan hukum haramnya suatu perbuatan, atau larangan atas
sesuatu. Contoh:
ولا تقربوا الزّنا...
“dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina”
2.
Untuk menyatakan hukum makruhnya suatu perbuatan. Maksudnya disini
lafadz al-nahy memiliki arti larangan, akan tetapi larangan tersebut tidak
sampai menjadikan haramnya suatu perbuatan, hanya sebatas kepada makruh saja.
Contoh:
لا يمسّنّ احدكم ذكره بيمينه وهو يبول
“Janganlah diantara kamu sekalian memegang
kemaluannya menggunakan tangan kanan ketika buang air kecil”
3.
Untuk menyatakan bimbingan atau mendidik. Dalam konteks ini lafadz
al-nahy memiliki makna larangan, akan tetapi larangan tersebut bersifat
pengarahan atau bimbingan. Contoh:
لا تسئلوا عن اشياء ان تبد لكم تسؤكم
“Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu, niscaya akan menyusahkanmu”
4.
Untuk menyatakan permohonan atau do’a. dalam konteks ini, meskipun
terdapat lafadz al-nahy yang bermakna larangan, akan tetapi disini bersifat
untuk permohonan atau berdo’a. contoh:
ربّنا لا تزغ قلوبنا بعد اذ هديتنا...
“Wahai Tuhan kami janganlah engkau jadikan
hati kami condong kepada kesesatan setelah engkau berikan petunjuk(hidayah)
kepada kami”
5.
Untuk menyatakan hinaan atau merendahkan. Al-nahy disini bersifat
untuk merendahkan sesuatu agar sesuatu tersebut tidak dilakukan oleh seseorang.
Contoh:
لا تمدّنّ عينيك الى ما متعنا به ازواجا منهم...
“Janganlah sesekali kamu tunjukkan pandanganmu
kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan
diantara mereka (orang-orang kafir)”
6.
Untuk menyatakan suatu akibat dari suatu perbuatan. Dalam hal ini
al-nahy yang berarti larangan tersebut mempunyai makna untuk menegaskan bahwa
setiap perbuatan pasti akan ada akibatnya. Contoh:
ولا تحسبنّ الله غافلا عمّا يعمل الظّالمون
“Dan
janganlah sesekali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang
diperbuat oleh orang-orang yang zhalim”
7.
Untuk menyatakan keputus-asaan. Seperti yang ada pada contoh
berikut, al-nahy memiliki makna atau tujuan untuk menjadikan orang-orang kafir
putus asa atas rahmat Allah. Contoh:
ياايّها الّذين كفروا لا تعذروا اليوم انّما تجزون ما كنتم تعملون
“Wahai orang-orang kafir janganlah kamu
menyatakan uzur pada hari ini, bahwasanya kamu akan diberi balasan berdasarkan
apa yang kamu perbuat”
d.
Perbedaan Pandangan Para Ulama
Dalam memahami lafadz al-nahy, ada
beberapa perbedaan pandangan dari kalangan ulama’ ushul fiqh.[23]
1.
Jumhur Ulama. Dalam hal ini, jumhur ulama berpendapat bahwa hakikat
dari lafadz al-nahy adalah untuk pengharaman sesuatu. Dan baru bisa menjadi
tidak haram apabila ada dalil lain yang menghalalkannya. Dalam pengambilan
makna ini, jumhur ulama berpedoman pada kaidah berikut:
الاصل فى النّهى للتّحريم
Asal dari larangan adalah untuk hukum haram
2.
Ulama Mu’tazilah. Mengemukakan pendapat bahwa al-nahy itu
mengarahkan kepada hukum karahah (makruh). Karena kelompok ini memahami
bahwa sesuatu dikatakan haram tidak bersumber dari larangan itu sendiri, akan
tetapi ada dalil lain yang memberikan petunjuk bahwa sesuatu itu haram.
3.
Ulama yang mempunyai pendapat bahwa makna dari lafadz al-nahy itu
adalah musytarak (pengertian ganda). Artinya bahwa al-nahy memiliki dua
makna, ada kalanya al-nahy bermakna haram dan ada kalanya juga al-nahy memiliki
makna karahah (makruh).
C.Penutup
Ta’arudh secara
umum berarti “adanya 2 kontradiksi nash yang saling berlawanan atau
bertentangan”, apabila terdapat 2 dalil yang saling menafikan apa yang telah di
tunjuk oleh dalil yang lain maka hal tersebut dapat dikatan sebagai Ta’arudh,
permasalahan ta’arudh sendiri terkadang menjadi salah satu sebab yang paling
banyak menimbulkan perbedaan pendapat pada ulama ushul fiqh.
Adapun pengertian tarjih itu sendiri
jika di tinjau dari segi kebahasaan yaitu berasal dari kata “Rajjaha” yang
artinya memberi pertimbangan lebih daripada yang lain. Dalam kitab Kasyf-u ‘l Asrar juga di jelaskan
mengenai pengertian tarjih itu sendiri “Usaha yang dilakukan oleh mujtahid
untuk mengemukakan satu diantara dua jalan yang bertenangan, karena adanya
kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu”
Sedangkan amar adalah
اللفظ الدال على
طلب الفعل على جهة اللإ ستعلاء
Suatu tuntutan(perintah) untuk melakukan sesuatu dari
pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatan
atau kedudukannya.
Ada pula an nahi dari segi
etimologi, al-nahy merupakan lawan dari al-amr. Jika al-amr mempunyai makna
perintah, maka al-nahy merupakan larangan. Dalam memaknai lafadz al-nahy ini,
ada beberpa pendapat dari kalangan ulama ushul fiqh
DARTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqih.(Pustaka Amani:Jakarta,2003)
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam.(PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta,1996)
Abdul Wahhab Khallaf,
Kaidah-Kaidah Hukum Islam.(PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta,1996)
Ahmad Atabik, “Kontradiksi
antar Dalil dan Penyelesaiannya Prespektif Ushuliyyin”.Jurnal Pemikiran
Hukum dan Hukum Islam. Vol.6, No. 2, Desember 2015
Alaiddin Kotto, Ilmu Fiqih
Dan Ushul Fiqih.(PT.Raja Grafindo Persada:Jakarta,2006)
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh jilid 2. (Jakarta: Kencana,
2008)
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah.(Pustaka
Pelajar:Yogyakarta,2007).
Asmawi.Perbandingan Ushul Fiqh. (Jakarta: Amzah, 2011)
DAHLIAH, Tesis: “Metode
Penetapan Ta’arud Al-Adillah dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam” (Makasar:UIN
Alaudin Makasar,2013)
Firdaus,Ushul Fiqh (Jakarta :Zikrul Hakim,2004) .137
Imron Rosyidi, “Tarjih sebagai Metode: Prespektif Ushul Fiqih”.Ishraqi.
Vol.1
Romli SA. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014)
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam.(Sinar Grafika:Jakarta,
1995)
Catatan:
1. Similarity 11%
2. Penulisan footnote perlu diperbaiki
3. Perujukan dari jurnal harus ditulis secara lengkap
4. Mana contoh tarjih?
[1]
DAHLIAH, Tesis: “Metode Penetapan Ta’arud
Al-Adillah dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam” (Makasar:UIN Alaudin
Makasar,2013).32
[2]
Alaiddin Kotto, ILMU FIQIH DAN USHUL
FIQIH.(PT.RAJA GRAFINDO PERSADA:Jakarta,2006).141
[3]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam.(PT. RAJA GRAFINDO PERSADA:Jakarta,1996).382-383
[4]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih.(Pustaka
Amani:Jakarta,2003).338
[5]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam.(PT. RAJA GRAFINDO PERSADA:Jakarta,1996).382
[6]
Ahmad Atabik, “Kontradiksi antar Dalil
dan Penyelesaiannya Prespektif Ushuliyyin”.Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum
Islam. Vol.6, No. 2, Desember 2015.268
[7]
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam.(Sinar Grafika:Jakarta, 1995).174
[8]
DAHLIAH, Tesis: “Metode Penetapan Ta’arud
Al-Adillah dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam” (Makasar:UIN Alaudin
Makasar,2013).61
[9]
Ahmad Atabik, “Kontradiksi antar Dalil
dan Penyelesaiannya Prespektif Ushuliyyin”.Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum
Islam. Vol.6, No. 2, Desember 2015.260-261
[10]Asjmuni
Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah.(Pustaka
Pelajar:Yogyakarta,2007).3
[11]Imron
Rosyidi, “Tarjih sebagai Metode: Prespektif Ushul Fiqih”.Ishraqi. Vol.1, No.1,
Januari 2017.12
[12]
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah.(Pustaka
Pelajar:Yogyakarta,2007).5-7
[13]
Sarifddin Amir,Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,2012) .127
[14]
Ibid., 128
[15]
Firdaus,Ushul Fiqh(Jakarta :Zikrul Hakim,2004) .137
[16]
Efendi Satria, Ushul Fiqh,( Jakarta: Kencana, 2005) .179
[17]Ibid.
184
[18]
Sarifddin Amir,Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,2012) .141
[20]
Romli SA. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014).257-258
[21]Asmawi.
Perbandingan Ushul Fiqh. (Jakarta: Amzah, 2011).229-230
[22]
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh jilid 2. (Jakarta: Kencana, 2008).196-197
[23]
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh jilid 2. (Jakarta: Kencana, 2008).198
Tidak ada komentar:
Posting Komentar