Senin, 01 April 2019

Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih (PAI F Semester Genap 2018/2019)



HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I,
MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Nur Khamid (16110098) & Aida Kholisotul Masturoh (16110099)
Mahasiswa PAI kelas F Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This article discusses the Taklifi law, the Wadh’i law, Mahkum Fih, Mahkum Alaih which relates to a set of rules in Islam that relate to human actions to achieve salvation in the world and at the end. Taklifi's law itself appears as a rule in the form of guidance or choice for humans in carrying out their actions. In addition, the existence of the Taklifi law is of course accompanied by the Wadh'i law as the basis of the determination of taklifi law which covers cause, condition, seminal (barrier), rukhshah and azimah, legal and null. In implementing a law, of course there are elements as objects of law and the subject of law itself. The object of this law is called Mahkum Fih, which discusses Mukallaf's own behavior while the legal subject is called Mahkum Alaih, which is someone who is a believer himself. So, as human beings we are also given a set of rules as our guideline in carrying out life so that it is directed and has a strong foundation in deciding what we will do.

Keywords: TaklifiLaw, Wadh’iLaw, Mahkum Fih, Mahkum Alaih

Abstrak
Artikel ini membahas tentang Hukum Taklifi, Hukum Wadh’i, Mahkum Fih, Mahkum Alaih yang mana berkaitan seperangkat aturan dalam Islam yang berhubungan dengan perbuatan manusia hingga mencapai keselamatan di dunia dan di akhir. Hukum Taklifi sendiri muncul sebagai aturan yang berwujud tuntunan atau pilihan bagi manusia dalam melakukan perbuatannya. Di samping itu, adanya Hukum Taklifi tentu dibarengi oleh Hukum Wadh’i sebagai dasar dari penentuan hukum taklifiyang meliputi sebab, syarat, mani’ (penghalang), rukhshah dan azimah, sah dan batal. Dalam melaksanakan suatu hukum, tentu saja terdapat unsur sebagai obyek hukum dan subyek hukum itu sendiri. Obyek hukum ini disebut dengan Mahkum Fih yang mana membahas mengenai perilaku mukallaf sendiri sedangkan subyek hukum disebut Mahkum Alaih yakni seseorang mukallaf itu sendiri. Jadi, sebagai manusia kita juga diberikan seperangkat aturan sebagai pedoman kita dalam menjalankan kehidupan agar terarah dan mempunyai dasar yang kuat dalam memutuskan segala apa yang akan kita lakukan.

Kata Kunci:Hukum Taklifi, Hukum Wadh’i, Mahkum Fih, Mahkum Alaih

A.    Pendahuluan
Allah SWT. menciptakan alam semesta dan seisinya, tentu tidak sembarangan. Allah SWT. sudah mengatur segalanya dari mulainya diciptakan alam semesta ini hingga hancurnya alam semesta, sudah dibuatkan skenario kehidupan yang tidak dapat dirubah kecuali atas kehendak-Nya.
Salah satualasan Allah SWT menciptakan manusia di bumi selain menjadi khalifah, manusia juga diciptakan dengan tujuan supaya beribadah kepada-Nya. Segala perbuatan hamba-hamba-Nya akan dipertanggung jawabkan ketika di akhirat nanti. Mereka yang melakukan kebajikan akan menadapat amal yang baik (pahala), namun sebaliknya jika mereka melakukan suatu keburukan maka mereka akan mendapat amal yang buruk (dosa).
Dalam hukum Islam sendiri pun terdapat hukum yang berfungsi sebagai mengatur perbuatan manusia dalam menjalankan kehidupannya supaya mencapai tujuan awal Allah SWT. menciptakan manusia. Hukum tersebut dinamakan hukum syara’. Hukum syara’ ialah seperangkat aturan sesuai dengan ketentuan Allah SWT. yang berhubungan dengan perbuatan atau perilaku manusia yang diterapkan dan diyakini serta mengikat bagi semua umat Islam yang mana akan mengantarkan manusia pada keselamatan kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Berbicara mengenai ilmu ushul fiqh, hukum syara’ dianggap sebagai tujuan akhir. Bisa dikatakan hukum syara’ sama halnya dengan hukum fiqh yang berarti merupakan produk dari ushul fiqh. Hukum syara’ sendiri terbagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi merupakan tuntutan atau larangan, pilihan dalam pelakasanaaan hukum,sedangkan hukum wadh’i sebagai dasar untuk penentuan dari hukum taklifi. Dalam pelaksaanaan hukum tentu ada yang menjadi obyek hukum (mahkum fih) dan subyek hukum (mahkum’alaih). Yang mana semua itu menjadi pedoman kita dalam berbuat sesuatu sehingga hidup kita terarah dan mempunyai dasar yang kuat atas perbuatan kita sehingga kita bisa menjadi hamba yang patuh akan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.

B.     Hukum Taklifi
1.      Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi ialah seperangkat aturan yang menerangkan tentang segala perintah, pilihan, dan larangan untuk ikut serta maupun tidak dalam suatu aktivitas. Bentuk dari hukum ini yaitu tuntutan atau pilihan. [1]
Dalam pengertian lain,hukum ini dapat didefinisikan sebagai perintah Allah yang berkaitan dengan perilaku mukallaf dalam melaksanakan maupun tidak melaksanakan suatu perbuatan karena disebabkan dengan adanya larangan maupun pilihan. Seperangkat aturan yang di dalamnya terdapat tuntutan kepada seorang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan-Nya (mukallaf) untuk melaksanakan suatu pebuatan atau memberi ruang yang luas dalam suatu pilihan maka aturan tersebut dinamakan hukum taklif.[2]
Hukum yang di dalamnya terdapat tuntunan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Sebagai tuntunan untuk dilaksanakan. Pertama, tuntunan yang pasti dilaksanakan yang disebut wajib. Kedua, tuntunan yang tingkatannya hanya sebagai sebuah anjuran yang disebutsunnah (mandub)
b.      Sebagai tuntutan untuk dijauhi atau ditinggalkan. Pertama,tuntutan yang secara otomatis untuk ditinggalkan disebut haram. Kedua,tuntunan yang memberi saran untuk ditinggalkan disebut makruh.
Dalam hukum Islam sendiri terdapat satu bentuk yang hanya dijadikan suatu pilihan, yaitu mubah.[3]

2.      Macam-Macam Hukum Taklifi
Dari pemaparan di atas sudah menyinggung sedikit mengenai pembahasan kita pada kali ini, yakni mengenai macam-macam hukum taklifi. Berikut ini kita akan membahasnya secara rinci.
Pembagian hukum taklifi yang terdiri dari lima bagian hukum secara lebih terperinci dapat dijabarkan berikut ini.
a.      Wajib
Para ulama fiqh mayoritas mendeskripsikan, secara bahasa kata “wajib” dapat diartikan “tetap”. Sedangkan menurut istilah, wajib ialah suatu perilaku yang diperintahkan oleh Allah dalam bentuk tuntutan yang dikerjakan oleh mukallaf yang sifatnya harus dan mesti dilaksanakan. Apabila seorang mukallaf tersebut melaksanakan, maka ia akan mendapat pahala. Namun, sebaliknya jika seorang mukallaf melanggar hukum ini, maka ia akan mendapatkan dosa.
Pemamparan di atas, menyimpulkan bahwa terdapat dua unsur wajib yang tidak sama dengan hukum taklifi lainnya. Pertama, terdapat sifat “al-luzum” “(mesti; tegas; pasti)” untuk melaksanakannya. Jadi hukum ini tidak berfungsi untuk saran saja dalam melakukan perbuatan atau perilaku, namun sebagai anjuran yang pasti. Memang diantara hukum wajib dan mandub, saling dianjurkan untuk dilaksanakan. Tetapi sifat al-luzum inilah meberikan perbedaan pada hukum wajib terhadap hukum mandub. Kedua, terdapat jaminan akan mendapatkan amal baik untuk orang yang melaksanakannya serta ada balasan dosa untuk orang yang melanggar perbuatan tersebut. orang yang berbuat sesuai perintah Allah akan mendapat pahala, sedangkan yang melanggar-Nya akan mendapat dosa. Hal tersebut merupakan ciri dari hukum wajib.

Wajib dari sudut pandang pelaksanaannya, hukum wajib terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1)      Al-Wajib Al-‘Aini
Arti dari “Al-Wajib Al- ‘Aini”ini ialah kewajiaban personal. Suatu perilaku atau pekerjaan yang diperintahkan Allah SWT. kepada mukallafyang dalam pengerjaannya bersifat personal dari mukallaf itu sendiri.
Hukum wajib ‘ain ini dibebankan kepada setiap individu mukallaf. Jika satu mukallaf tersebut melakukan kewajibannya, maka tidak gugur kewajiban mukallaf lain karena kewajiban tersebut hanya berlaku secara individu.
2)      Al-Wajib Al-Kafa’i
Arti dari “Al-Wajib Al-Kafa’i”ini ialah kewajiban kelompok. Suatu perilaku atau pekerjaan yang diperintahkan Allah SWT. kepada mukallaf yang dalam pengerjaannya bersifat kelompok atau kolektif.
Hukum wajib kafa’i ini tidak dibebankan kepada satu mukallaf saja. Namun, jika terdapat sekelompok mukallaf yang telah menggugurkan suatu kewajiban maka mukallaf lain ikut gugur kewajibannya. Meskipun begitu, jika setiap individu mukallaf tidak ada yang melakukan kewajiban atas perintah-Nya, maka semua mukallaf tadi akan mendapatkan amal buruk (dosa).
Namun, perlu diketahui bahwa jika sekelompok mukallaf sudah mengerjakan kewajiban atas perintah-Nya dan mukallaf lain ikut gugur kewajibannya bukan berarti mukallaf yang tanpa mengerjakan kewajiban tadi sudah berpikiran tidak bertanggung jawab atas suatu kewajibannya melainkan harus tetap mempunyai sudut pandang bahwa kewajiban ini juga Tanggung jawab seluruh mukallaf.

Wajib dilihat dari sudut pandang waktu pelaksanaannya, terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1)      Al-Wajib Al-Muthlaq
Arti “Al-Wajib Al-Muthlaq” yakni bentuk kewajiban atas perintah-Nya yang mana tidak meghubungkan pengerjaannya dengan waktu tertentu. Makudnya disini ialah, seorang mukallaf dapat melaksanakan kewajibannya dapat dilaksanakan kapan saja selagi ia menyamnggupinya.
2)      Al-Wajib Al-Mu’aqqat
Arti “Al-Wajib Al-Mu’aqqat” yakni bentuk kewajiban yang sedang dikerjakan dihubungkan dengan waktu teterntu. Maksudnya disini ialah jika suatu kewajiban tersebut tidak sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, maka kewajiban tersebut menjadi tidak sah. Terdapat tiga pembagian lagi dalam Al-Wajib Al-Mu’aqqat, yaitu Al-wajib al-muwassa’ (dalam melakasanakan kewajiban mempunyai waktu yang lebih luas), Al-wajib al-mudhayyaq (dalam melaksanakan kewajiban mempunyai waktu yang sempit), Al-wajib zu syabhain (dalam melaksanakan kewajiban mempunyai dua kemiripan antara waktu luas dan sempit).
Wajib dilihat dari sudut pandang perilaku yang diperintahkan yakni terbagi menjadi dua, yaitu:
1)      Al-Wajib Al-Mu’ayyan
Arti Al-Wajib Al-Mu’ayyan yaitu bentuk kewajiban yang diperintahkan untuk melakukan perilaku tertentu dan tidak bisa diganti oleh perilaku yang lain. Mkasudnya disini ialah, jika mukallaf tidak melakukan kewajiban tertentu (khusus) maka tidak bisa dengan melaksanakan perbuatan lain untuk menggugurkan kewajibannya.
2)      Al-Wajib Al-Mukhayyar
Arti Al-Wajib Al-Mukhayyar yaitu bentuk kewajiban yang derintahkan oleh Allah SWT. untukmelaksanakan perbuatan tertentu dengan cara memilih salah satu dari perbuatan tadi.

Wajib dilihat dari sudut pandang kadar kewajiban yang diperintahkan yakni terbagi menjadi dua, yaitu:
1)      Al-Wajib Al-Muhaddad
Arti Al-Wajib Al-Muhaddad yaitu bentuk kewajiban yang memandang dari segi perbuatan seorang mukallaf dengan standart tertentu. Maksudnya ialah seseorang bisa terlepas dari kewajibannya dengan melihat kadar atau ukuran tertentu dari seorang mukallaf itu sendiri.
2)      Al-Wajib Ghair Al-Muhaddad
Arti Al-Wajib Ghair Al-Muhaddad yaitu bentuk kewajiban tanpa ada batasnya. Tidak ada ukuran tertentu yang ditetapkan.

Wajib dilihat dari sudut pertanggungjawaban pelaksanaannya terbagi menjadi dua, yaitu:
1)      Al-Wajib Al-Qadha’i
Arti Al-Wajib Al-Qadha’i yaitu bentuk kewajiban yang mana hasil dari perbuatan tersebut dapat diminta pertanggungjawabkan dengan perantara pemereintahan negara.
2)      Al-Wajib Ad-Diyani
Arti Al-Wajib Ad-Diyani yaitu bentuk kewajiban yang bersifat spiritual. Maksudnya, jika suatu kewajiban tidak dilakukan maka akan mendapatkan balasan buruk di akhirat, namun kewajiban itu tidak bisa didesak untuk dapat dilakukan di dunia.

Wajib dilihat dari sudut pandang tujuannya terbagi menjadi dua, yaitu:
1)      Al-Wajib At-Ta’abbudi
ArtiAl-Wajib At-Ta’abbudi yaitu bentuk kewajiban yang hasil dari perbuatan tersebut hanya berharap mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan tujuan beribadah kepada-Nya.
2)      Al-Wajib At-Tawashshulli
Arti Al-Wajib At-Tawashshulli yaitu bentuk kewajiban yang dilakukan dengan tujuan sosial.  Maksudnya disini, kewajiban tersebut tidak semata-mata untuk memperlihatkan sifat seorang hamba yang tunduk kepada Allah SWT, tetapi juga ada unsur untuk menciptakan kemaslahatan di masyarakat umum. [4]

b.      Mandub
Pengertian Mandub (sunah) yaitu segala hal yang mana dianjurkan pada hukum Islam supaya dilakukan oleh mukallaf, namun bentuk dari anjurkan ini tidak meperlihatkan adanya kewajiban.
Mandub (Sunnah) terbagi menjadi tiga, yakni:
1)      Sunnah Muakkadah atau Sunnah Huda
Sunnah ini dianjurkan untuk dilaksanakan sebagai pelengkap hal yang wajib. Mukallaf yang tidak melaksalkan Sunnah ini tidak mendapat amal buruk namun bisa mendapat ejekan dari orang lain. Beberapa sunnah dilakukan dan bisa menjadi kebiasaan yang harus dilakukan Rasulullah di dalam kehidupannya. Hal tersebut bisa termasuk dalam Sunnah muakkadah
2)      Sunnah Zaidah
Sunnah ini bisa dilaksankan boleh tidak. Jika meninggalkannya pun tidak mendapat dosa dan tidak ada ejekan dari orang lain.
3)      Mustahab, Adab dan Fadhilah
Bagi mukallaf, Sunnah ini bisa menjadi pengyempurna. Dinataranya dengan ikut melaksanakan apa yang menjadi kebiasaan Rasul yang bersifat seperti manusia yang biasa. Namun, jika seseorang tidak ikut serta dalam mempraktekkan keseharian yang dilakukan Rasul, maka seseorang tersebut tidak dipandang sebagai orang yang tidak baik.[5]

c.       Haram
Haram ialah perilaku yang tidak boleh dilakukan yang telah ditetapkan oleh Allah, yang mana jika kita melaksanakan perilaku tersebut maka timbul suatu keburukan maupun bahaya. Bukan hanya bahaya untuk dirinya sendiri, namun bisa merugikan orang lain juga.
Pembagian hukum haram ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1)      Haram Zati
Perilaku yang tidak diperbolehkan (haram) dengan sebab akan ada mudharat pada dzat dari perilaku tersebut. Contohnya melakukan hubungan antara laki-laki dengan perempuan (zina), bermain judi dan pesta khamr.
2)      Haram ‘Ardi
Perilaku yang tidak diperbolehkan (haram) yang mana bukan disebabkan dari perilaku itu, namun berasal dari faktor eksternalnya. Contohnya melakukan transaksi atau jual beli ketika bertepatan pada hari jum’at dan khotib sedang melangsungkan kewajibannya yakni berkhotbah. Transaksi atau jual beli tersebut memang dibolehkan, yang membuat haram yakni kegiatan transaksi tersebut dilakukan saat khotbah.

d.      Makruh
Makruh ialah perilaku yang tidak disukai, lebih baiknya dihindari supaya jika kita tidak melaksanakan perilaku ini akan mendapat amal baik. Dan jika kita melakukan perilaku yang bersifat makruh, maka kita tidak dihantui dengan adanya dosa atau bisa mendapat dosa yang kecil dibanding dosa dari perilaku yang tidak dibolehkan (haram).
Makruh terbagi menjadi dua, yaitu:
1)      Makruh Tahrim
Pengikut Imam Hanafi menyebutnya sebagai perilaku yang menganjurkan untuk menghindari perilaku tersebut dengan tegas tetapi dengan dasar yang lemah. Contohnhya sifat tercela manusia yakni bohong
2)      Makruh Tanzih
Perilaku yang menganjurkan untuk menghindari perilaku tersebut secara tidak tegas. Bisa jadi perilaku tersebut masih dilakukan. Contohnya merokok.

e.       Mubah
Makruh ialah suatu perilaku yang dilaksanakan maupun tidak dilaksanakan oleh mukallaf yang mana Allah SWT membiarkannya, sehingga tidak ada balasan amal baik (pahala) maupun amal buruk (dosa) bagi yang melaksanakan maupun yang tidak sama saja.
Mubah dibagi menjadi empat, yaitu:
1)      Mubah yang menuntut untuk melakukannya. Meskipun pada mulanya hukum dari makan dan menikah yakni mubah, namun jika berniat menghindari atau menghilangkan hal tersebut dari mukallaf maka hukumnya menjadi wajib, karena kalau dihilangkan akan menjadi haram.
2)      Mubah yang menuntut untuk menghilangkannya. Contohnya bermain. Yang semula mubah akan menjadi terlarang jika dilakukan sepanjang hari sampai lupa sholatnya.
3)      Mubah yang dilaksanakan karena banyak kemaslahatan, tidak mengikuti yang haram maupun yang wajib.
Mubah yang patuh pada hukum mubah itu sendiri, Contohnya jika seseorang diberi kebebasan antara memilih melaksanakan atau tidak melaksanakan.[6]
Sebagai makhluk yang dapat merenungi Syariat Islam maka akan dapat menbedakan antara yang halal dan yang haram. Haram ialah segala hal yang tidak disukai secara fitrah manusia, namun mubah ialah segala hal yang disukai atau diperbolehkan oleh fitrah. Setara antara dosa jika kita mengharamkan mubah dengan dosa jika kita menghalakan yang haram. Allah SWT. berfirman dalam Q.S Yunus ayat 59-60:
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
Artinya:
59. Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?"

وَمَا ظَنُّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَشْكُرُونَ

Artinya:
60. Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya). [7]

C.    Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i menurut Amir Syarifuddin dalam buku Ushul Fiqh yakniHukum wadh’i bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi atau merupakan akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.
Hukum wadh’i menurut para Fuqaha yaitu “Apa-apa yang diletakkan oleh pembuat syari’at dari tanda-tanda untuk menetapkan atau menolak, melaksanakan, atau membatalkan.”
Menurut Abdul Wahab Khallaf di tulis dalam kitabnya IImu Ushul Fiqh, dibagi menjadi lima macam, yakni Sebab, Syarat, Mani’ (Penghalang), Rukhshah dan Azimah, lalu Sah dan Batal. Selanjutnya, pembahasan lebih rinci sebagai berikut.
1.      Sebab
Abdul Wahab Khallaf berpendapat bahwa sebab adalah “Sesuatu yang oleh Syari’ (pembuat syari’at) dijadikan sebagai tanda atas suatu akibat dan hubungan adanya akibat dengan sebab serta tidak adanya akibat karena tidak adanya sebab.”
Sedangkan, Jumhur Ulama berpendapat, seperti yang telah dikutip oleh Muhanmad Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqh, sebab ialah “Sesuatu yang lahir dan jelas batasn-batasannya, yang oleh pembuat Syari’ (pembuat hukum) dijadikan sebagi tanda bagi wujudnya hukum.”
Dari kedua pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa:
a.       Segala hal tidak dapat dikatakan sebagai sebab kecuali pembuat syari’at yang memutuskannya sebagai sebab.
b.      Hukum taklifi muncul bukan dipengaruhi karena adanya sebab-sebab, tapi seabagi tanda adanya hukum-hukum tersebut.
Sebab terbagi menjadi dua bagian, yakni sebab yang tidak lahir dari perilaku manusia dan sebab yang lahir dari perilaku manusia. Adapun maksud dari keduanya yaitu:
a.       Sebab yang tidak lahir dari perilaku manusia ialah sebab yang ditetapkan oleh Allah yang merupakan simbol atas lahirnya hukum itu. Misalnya wajibnya melaksanakna sholat disebabkan oleh adanya waktu yang telah ditentukan, kewajiban berpuasa disebabkan karena kita sudah melihat hilal bulan Ramadhan.

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ
Artinya:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam...” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 78)
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya:
“...Maka, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu...” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 185)
b.      Sebab yang lahir dari perilaku manusia atau manusia mempunyai kemampuan menggapainya yakni perilaku-perilaku seorang mukhallafyang telah ditetapkan oleh Allah memunculkan suatu hukum karena suatu akibat. Misalnya, sebab berkewajiban untuk potong tangan akibat perilaku mencuri.

2.      Syarat
Muhammad Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqh, berpendapat bahwa syarat ialah “Sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum, tidak adanya syarat bearti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat pasti wujudnya hukum”
Terdapat hal pembeda antara syarat dengan sebabyaitu adanya syarat itu tidak menentukan adanya hukum. Misalnya, wudhu’ sebagai syarat shalat tidak menentukan wajibnya shalat. Namun, tanpa wudhu’ shalat akan tidak sah. Sedangkan sebab, adanya sebab itu menentukan adanya hukum, kecuali ada penghalang. Maka, diwajibkan berpuasa ketika bulan Ramadhan telang datang.
Rukun dan syarat itu berbeda. Rukun sebagai bagian suatu hakikat, namun syarat tidak termasuk di dalamnya. Ruku’ merupakan bagian dari sholat maka ruku’ termasuk rukun. Namun, datangnya dua orang laki-laki sebagi saksi dalam pernikahan adalah syarat, karena hal tersebut tidak terdapat dalam ijab qobul (akad).

3.      Mani’ (Penghalang)
Abdul Wahaf Khallaf dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh, berpendapat pengertian mani’ ialah “sesuatu yang adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab”. Sedangkan menurut Jumhur Fuqaha, yang dimaksud penghalang (mani’) ialah “sesuatu yang ditemukan setelah terbukti sebabnya dan memenuhi syaratnya, tetapi tidak dapat menghalangi hubungan seba dan akibat.”
Mani’ (penghalang) sendiri terdiri dari dua, yaitu:
a.       Mani’ yang berimbas pada sebab. Misalnya, terdapat perbedaan mengenai agama dan persolaan tentang pembunuhan. Syarat memperoleh harta warisan yakni terjalinnya hubungan keluarga atau pernikahan dan tentu terdapat kematian
b.      Mani’yang berdampak pada hukum dan langusng menghapuskannya. Misalnya, terdapat hubungan kebapakan sebagai mani’ dilakukannya qishah karena sebenarnya pelajaran dari hukuman ini yakni bentuk kegiatan preventif dengan perantara hukum.

4.      Rukhshah dan Azimah
Ulama ushul sebagian ada yang menjelaskan Rukhshah dan Azimah sebagai berikut.
“Rukhsah ialah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang membolehkan untuk meninggalkan hukum yang asli, sedangkan Azimah ialah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatuyang menghalang-halanginya.”
Dari penjelasan tersebut, kita ketahui bahwa rukhshahtermasuk dalam hukum baru, bukan hukum asal. Hal ini dikarena ada suatu penghalang untuk mengerjakan hukum asal. Pengertian rukhshah secara umum, ialah berubahnya hukum yang awalnya dari perilaku yang harus dilakukan menjadi boleh untuk dilakukan. Azimah sendiri mempunyai pengertian yakni hukum asli yang mempunyai sifat umum, yang mana semua manusia diperintahkan untuk melakukan pekerjaan atau kewajibannya.
Terdapat dua macam dari rukhshah yaitu rukhshah untuk melaksanakan suatu pekerjaan, dan rukhshah untuk menghindari suatu pekerjaan. Jikalau hukum dari rukhshah  dan azimah itu berbentuk larangan, rukhshah-nya tersebut berbentuk keringanan untuk melaksanakan. Nanum, jika hukum Azimah tersebut berbentuk kewajiban melakukan suatu perbuatan, maka rukhshah-nya berbentuk kerinnganan untuk menghindarinya.

5.      Sah dan Batal
Sah dan Batal merupakan istilah yang tidak asing lagi dalam hukum Islam. Misalnya masalah sholat yang termasuk cakupan dari hukm taklifi yakni dituntut dalam keabsahannya. Tidak sahnya shalat seseorang tidak memenuhi syarat yang ada dan kewajiban tersebut belum dilaksanakan berdosa seseorang itu tidak mengulangi maupun meng-qodho’ sholat.
Begitupun dengan hukum wadh’i.Sebab yang sah dapat memuculkan efek hukum, Dan sempurnanya hukum dan sebab karena ada syarat yang sah.
Menurut syara pengertian dari sah ialah “perbuatan mukallaf mempunyai pengaruh secara syara’.”
Menurut para pakar fiqh, ibadah yang tidak sah sama halnya ibadah yang rusak ataupun batal. Jika ibadah telah sesuai dengan rukun dan syarat sahnya berarti sudah dikatakan sukup dan terlepas dari kewajibannya, namun ketika rukun dan syarat dari ibadah itu kurang dari yang ditentukan, maka belum cukup dan belum terlepas dan kewajibannya. Hal ini tidak ada perbedaan antara rukun dan syarat.[8]

D.    Mahkum Fih
Mahkum Fih dapat daiartikan sebagai perilaku seorang mukallaf yang berkaitan dengan hukum syari’at Islam.[9]
Makna lain dari mahkum fih atau obyek hukum ini yaitu sebuah perilaku mukallafsesuai perintah hukum Islam, yang mana dapat berupa bentuk anjuran untuk melaksanakan, menghindari, maupun membuat pilihan suatu pekerjaan yang terdapat sifat syarat, sebab, halangan (mani’), rukhshah dan azimah, serta sah dan batal.
Maka dari itu, segala yang diperintahkan oleh syari’at Islam mesti terdapat obyeknya, dan obyek tersebut bentuknya dari perilaku mukallaf dan hukum akan muncul dari perilaku mukallaf tadi.[10]
Sebgaimana Allah SWT. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tepatilah janji” (Q.S. Al-Ma’idah [5]:1)

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya:
“Hai orang-orang beriman, apanila kamu bermuamalah, tidak secra tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282)[11]

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ...
Artinya: “Dirikanlah shalat…” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 43)

Atau sabda Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad yang berbunyi:
“Seseorang yang membunuh seorang korban, maka dia tidak dapat mewarisinya, sekalipun korbannya tidak memiliki pewaris melainkan dirinya dan jika korban itu ayahnya atau ankanya, maka bagi pembunuh tidak berhak untuk menerima harta peninggalan.” (HR. Ahmad).”

Dari pemaparan contoh di atas dapat kita simpulkan, bahwa mahkum bih atau mahkum fih atau obyek suatu hukum yakni dari perilaku manusia. Dari obyek tersebut para ahli ushul menentukan teori berikut ini.
“Tidak ada taklif (pembebanan hukum) kecuali terhadap perbuatan atu peristiwa”
Dari hal tersebut juga terdapat alasan jika hukum syari’at Islam mencakup wajib atau Sunnah, maka tuntunan tersebut pasti jelas, maksudnya jika berakaitan dengan suatu perilaku yang harus dikerjkan maka sifatnya wajib. Namun, jika sunah tidak, keduanya sama dalam hal dapat dilakukan dengan terealisasinya suatu perilaku. Maka dari itu, semua itu adalah perilaku mukallaf yang menjadi pembicaraan mahkum fih, sedangkan hukum taklif ialag seperangkat aturan yang mengatur perilaku mukallaf.
Terdapat syarat sah suatu taklif (pembebanan hukum) pada perilaku mukallaf, para ahli ushul berpendapat syarat tersebut meliputi:
1.      Syarat pertama yakni dari mukallafnya sendiri diharuskan tahu mengenai perilaku yang akan dilaksanakan, sehingga hasil akhir atau maksud perilaku tersebut dapat dicerna dengan jelas dan baik. jika tidak demikian maka, mukallaf tersebut tidak terkena taklif dalam melakukan pekerjaan.Sebagai contoh bahwa mukallaf tidak terkena taklif mengharuskan ia shalat selagi mukallaf itu belum paham dengan syarat dan rukun shalat. Sedangkan untuk memahami kejelasannya, maka Rasulullah yang menerangkannya.
2.      Asal dari taklif itu sendiri harus diketahui oleh seorang mukallaf, sehingga apa yang ia lakuakan sesuai dengan kepatuhan untuk melakukan tuntutan dari Allah SWT.
3.      Kewajiban yang telah diberikan kepada mukallaf harus dilakukan dengan serius yang baik dan benar.
Mahkum bih atau mahkum fih adalah produk dari perilaku mukallaf yang berkaitan dengan aturan-aturan Islam. Sebagaimana contoh sebagai berikut.
1.      Perilaku dalam menyempurnkan janji. Perilaku ini merupakan mahkum fih, karena kaitannya dengan ijab. Hukum yang berlaku yakni wajib.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu dan sempurnakanlah janji…” (Q.S. Al-Maidah [5]: 1)
2.      Perilaku seorang mukallaf berkaitan dengan puasa Ramadhan atau diberi keringanan tidak puasa untuk orang-orang tertentu yang tidak sanggupu melaksanakannya seperti orang sakit dan orang dalam perjalanan, yaitu mahkum fih, sebab kaitannya dengan masalah ibadah
Pemaparan di atas, dapat daimbil kesimpulan bahwa perilaku manusia terdapat kaitannya dengan seperangkat aturan Islam yang dikenal sebagai istilah mahkum fih (kejadian hukum) dan mahkum bih (obyek hukum).

E.     Mahkum Alaih
Makhkum alaih(subyek hukum)ialah seseorang yang perilakunya dibebankan karena perintah Allah, yaitu mukallaf yang menjadi obyek tuntunan seperangkat aturan di dalam Islam (syari’at Islam).
Dari pemaparan tersebut, mukallaf secara etimologi, bisa didefinisikan sebagai “orang yang dibebani hukum”,secara terminologi ialah seseorang yang telah dinilai pantas dan bisa bergerak sesuai aturan, bauik kaitrannya dengan tuntunan maupun hal yang harus ditinggalkan.
Suatu hukum bisa diberikan atau dibebakan kepada orang lain, dengan persyaratan berikut ini:
1.      Dapat mengerti dasar taklifnya, baik berasal dari sumber hukum Islam Al-Qur’an dan Hadist. Allah SWT. berfirman:

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ
Artinya:
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 286)

Maka dari itu, jika seseorang tersebut belum mempunyai kesanggupan dalam berbuat sesauatu, tidak bisa diberikan tanggungan kepadanya dan tidak bila melakukan taklif sesuai syari’at.
2.      Umurnya sudah baligh serta tidak mempunyai penyakit yang bisa menyebakan daya tangkapnya rusak. Maka dari itu anak kecil serta orang kurang sehat dalam akalnya tidak bisa dikategorikan sebagai mukallaf.
3.      Beban dari taklif ditanggung oleh mukallaf itu sendiri.[12]Terkait dengan mukallaf, tentu akan berhubungan dengan tingkat kemampuanya tentang beban tersebut yang ditanggungnya. Ulama ushul mengartikannya dengan “Ahliyah”. Abu Zahrah mengartikannya “kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak”. Makna lain, seseorang layak untuk menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain, dan pantas untuk melakukannya. Wahbah Zuhaily, mengutip dari ulama Hanafiyah, membagi ahliyyah dalam dua bagian. Pertama, Ahliyah al-wujub ialah kelayakan seseorang dalam menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Fuqaha mengartikannya dengan “dzimmah”. Kedua,Ahliyah al-Ada’ atau kecakapan dalam melaksanakan hukumnya yakni kelayakan seseorang manusia untuk dipertanggungjawabkan dari semu perilaku yang diperbuat menurut hukum. Hal ini, baik dalam bentuk lisan atau tindakan telah memiliki akibat hukum. [13]



F.     Penutup
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum taklifi, hukum wadh’i,mahkum fih, dan mahkum alaih merupakan sebagai pedoman dalam melaksanakan hukum syara’. Jika kita berbicara mengenai hukum yang berkenaan dengan tuntutan, perintah, ataupun larangan maka merujuk pada hukum taklifi. Untuk melaksanakan hukum taklifi tesebut, kita juag harus memahami dari hukum wadh’i nya terlebih dahulu yang meliputi sebab, syarat, penghalang, rukhshah atau azimat, sah atau batal yang mana jika kita melaksanakan hukum taklifi mempunyai dasar atas pelaksanaan hukum tersebut. Dalam melaksanakan suatu hukum, tentu saja ada yang berperan sebagai “pelaku” dan “apa yang dilakukan pelaku”. Dalam ushul fiqh sendiri pelaku hukum ini disebut dengan mahkum fih dan apa yang dilakukan oleh pelaku hukum (perilaku hukum) disebut dengan mahkum alaih. Oleh karean itu, sebagai manusia kita juga dibebankan seperangkat aturan yang berhubungan dengan perilaku atau perbuatan kita sehingga dapat mewujudkan insan yang patuh dan taat pada Allah SWT.


DAFTAR PUSTAKA

Amirudin & Fathurrohman, N. Pengantar Ilmu Fiqh. Bandung: PT Refika Aditama,2016.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: AMZAH, 2011.
Irwansyah, Shindu. Perbuatan Dan Pertanggungjawaban Hukum Dalam Bingkai Ushul Fikih. Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. (1): 1. 2018.
Ismaeel, Saeed. Ushul Fiqih Aplikatif. Malang: Darul Ukhuwwah Publisher, 2017.
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh). Jakarta: Rajawali, 1989.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995.
Koto, Alaiddin. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Suyatno. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Syarifuddin, Amir.Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Zein, M. Ma’shum. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-Sumbernya. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013.

Catatan:
1.      Similarity 4%, bagus sekali.
2.      Buku terjemahan perlu dicantumkan siapa penerjemahnya.
3.      Pembahasan tentang hukum taklifi dan hukum wadh’i bagus, tetapi kok menurun di bagian mahkum fih dan mahkum alaih?
4.      Perujukan perlu dimaksimalkan.
5.      Makalah rapi, saya senang membaca makalah ini.



[1] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.111.
[2] M. Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-Sumbernya, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), hlm. 237.
[3]Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 29.
[4] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm.45-54.
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.172-175.
[6] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 15-17
[7] Saeed Ismaeel, Ushul Fiqih Aplikatif. (Malang: Darul Ukhuwwah Publisher, 2017), hlm.151-152
[8] Amirudin & N. Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bandung: PT Refika Aditama, 2016), hlm.85-90
[9] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hlm.154.
[10]M. Ma’shum Zein, op.cit. hlm.229.
[11]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,op.cit. hlm. 154.
[12]M. Ma’shum Zein, loc.cit
[13]Shindu Irwansyah, Perbuatan Dan Pertanggungjawaban HukumDalam Bingkai Ushul Fikih, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol.1 No.1, Maret, 2018, hlm.99-100.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar