HUKUM TAKLIFI
DAN HUKUM WADH’I,
MAHKUM FIH DAN
MAHKUM ALAIH
Nur Khamid
(16110098) & Aida Kholisotul Masturoh (16110099)
Mahasiswa PAI
kelas F Angkatan 2016
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This article discusses the Taklifi law, the Wadh’i law,
Mahkum Fih, Mahkum Alaih which relates to a set of rules in Islam that relate
to human actions to achieve salvation in the world and at the end. Taklifi's
law itself appears as a rule in the form of guidance or choice for humans in
carrying out their actions. In addition, the existence of the Taklifi law is of
course accompanied by the Wadh'i law as the basis of the determination of
taklifi law which covers cause, condition, seminal (barrier), rukhshah and
azimah, legal and null. In implementing a law, of course there are elements as
objects of law and the subject of law itself. The object of this law is called
Mahkum Fih, which discusses Mukallaf's own behavior while the legal subject is
called Mahkum Alaih, which is someone who is a believer himself. So, as human
beings we are also given a set of rules as our guideline in carrying out life
so that it is directed and has a strong foundation in deciding what we will do.
Keywords: TaklifiLaw, Wadh’iLaw, Mahkum Fih, Mahkum Alaih
Abstrak
Artikel ini
membahas tentang Hukum Taklifi, Hukum Wadh’i, Mahkum Fih, Mahkum
Alaih yang mana berkaitan seperangkat aturan dalam Islam yang berhubungan
dengan perbuatan manusia hingga mencapai keselamatan di dunia dan di akhir.
Hukum Taklifi sendiri muncul sebagai aturan yang berwujud tuntunan atau
pilihan bagi manusia dalam melakukan perbuatannya. Di samping itu, adanya Hukum
Taklifi tentu dibarengi oleh Hukum Wadh’i sebagai dasar dari
penentuan hukum taklifiyang meliputi sebab, syarat, mani’ (penghalang),
rukhshah dan azimah, sah dan batal. Dalam melaksanakan suatu hukum, tentu saja
terdapat unsur sebagai obyek hukum dan subyek hukum itu sendiri. Obyek hukum
ini disebut dengan Mahkum Fih yang mana membahas mengenai perilaku
mukallaf sendiri sedangkan subyek hukum disebut Mahkum Alaih yakni
seseorang mukallaf itu sendiri. Jadi, sebagai manusia kita juga diberikan
seperangkat aturan sebagai pedoman kita dalam menjalankan kehidupan agar
terarah dan mempunyai dasar yang kuat dalam memutuskan segala apa yang akan
kita lakukan.
Kata Kunci:Hukum Taklifi, Hukum Wadh’i, Mahkum Fih, Mahkum Alaih
A.
Pendahuluan
Allah SWT. menciptakan alam semesta dan seisinya, tentu tidak
sembarangan. Allah SWT. sudah mengatur segalanya dari mulainya diciptakan alam
semesta ini hingga hancurnya alam semesta, sudah dibuatkan skenario kehidupan
yang tidak dapat dirubah kecuali atas kehendak-Nya.
Salah satualasan Allah SWT menciptakan manusia di bumi selain
menjadi khalifah, manusia juga diciptakan dengan tujuan supaya beribadah
kepada-Nya. Segala perbuatan hamba-hamba-Nya akan dipertanggung jawabkan ketika
di akhirat nanti. Mereka yang melakukan kebajikan akan menadapat amal yang baik
(pahala), namun sebaliknya jika mereka melakukan suatu keburukan maka mereka
akan mendapat amal yang buruk (dosa).
Dalam hukum Islam sendiri pun terdapat hukum yang berfungsi sebagai
mengatur perbuatan manusia dalam menjalankan kehidupannya supaya mencapai
tujuan awal Allah SWT. menciptakan manusia. Hukum tersebut dinamakan hukum
syara’. Hukum syara’ ialah seperangkat aturan sesuai dengan ketentuan Allah
SWT. yang berhubungan dengan perbuatan atau perilaku manusia yang diterapkan
dan diyakini serta mengikat bagi semua umat Islam yang mana akan mengantarkan
manusia pada keselamatan kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Berbicara mengenai ilmu ushul fiqh, hukum syara’ dianggap sebagai
tujuan akhir. Bisa dikatakan hukum syara’ sama halnya dengan hukum fiqh yang
berarti merupakan produk dari ushul fiqh. Hukum syara’ sendiri terbagi menjadi
dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi merupakan
tuntutan atau larangan, pilihan dalam pelakasanaaan hukum,sedangkan hukum wadh’i
sebagai dasar untuk penentuan dari hukum taklifi. Dalam pelaksaanaan
hukum tentu ada yang menjadi obyek hukum (mahkum fih) dan subyek hukum (mahkum’alaih).
Yang mana semua itu menjadi pedoman kita dalam berbuat sesuatu sehingga hidup
kita terarah dan mempunyai dasar yang kuat atas perbuatan kita sehingga kita
bisa menjadi hamba yang patuh akan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
B.
Hukum
Taklifi
1.
Pengertian
Hukum Taklifi
Hukum Taklifi ialah seperangkat aturan yang menerangkan tentang
segala perintah, pilihan, dan larangan untuk ikut serta maupun tidak dalam
suatu aktivitas. Bentuk dari hukum ini yaitu tuntutan atau pilihan. [1]
Dalam pengertian lain,hukum ini dapat didefinisikan sebagai
perintah Allah yang berkaitan dengan perilaku mukallaf dalam
melaksanakan maupun tidak melaksanakan suatu perbuatan karena disebabkan dengan
adanya larangan maupun pilihan. Seperangkat aturan yang di dalamnya terdapat tuntutan
kepada seorang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi
larangan-Nya (mukallaf) untuk melaksanakan suatu pebuatan atau memberi
ruang yang luas dalam suatu pilihan maka aturan tersebut dinamakan hukum
taklif.[2]
Hukum yang di dalamnya terdapat tuntunan dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a.
Sebagai
tuntunan untuk dilaksanakan. Pertama, tuntunan yang pasti dilaksanakan
yang disebut wajib. Kedua, tuntunan yang tingkatannya hanya
sebagai sebuah anjuran yang disebutsunnah (mandub)
b.
Sebagai
tuntutan untuk dijauhi atau ditinggalkan. Pertama,tuntutan yang secara
otomatis untuk ditinggalkan disebut haram. Kedua,tuntunan yang
memberi saran untuk ditinggalkan disebut makruh.
Dalam hukum
Islam sendiri terdapat satu bentuk yang hanya dijadikan suatu pilihan, yaitu mubah.[3]
2.
Macam-Macam
Hukum Taklifi
Dari pemaparan di atas sudah menyinggung sedikit mengenai
pembahasan kita pada kali ini, yakni mengenai macam-macam hukum taklifi. Berikut
ini kita akan membahasnya secara rinci.
Pembagian hukum taklifi yang terdiri dari lima bagian hukum secara
lebih terperinci dapat dijabarkan berikut ini.
a.
Wajib
Para ulama fiqh mayoritas mendeskripsikan, secara bahasa kata “wajib”
dapat diartikan “tetap”. Sedangkan menurut istilah, wajib ialah suatu perilaku yang
diperintahkan oleh Allah dalam bentuk tuntutan yang dikerjakan oleh mukallaf
yang sifatnya harus dan mesti dilaksanakan. Apabila seorang mukallaf tersebut
melaksanakan, maka ia akan mendapat pahala. Namun, sebaliknya jika seorang
mukallaf melanggar hukum ini, maka ia akan mendapatkan dosa.
Pemamparan di atas, menyimpulkan bahwa terdapat dua unsur wajib
yang tidak sama dengan hukum taklifi lainnya. Pertama, terdapat
sifat “al-luzum” “(mesti; tegas; pasti)” untuk melaksanakannya. Jadi
hukum ini tidak berfungsi untuk saran saja dalam melakukan perbuatan atau
perilaku, namun sebagai anjuran yang pasti. Memang diantara hukum wajib dan
mandub, saling dianjurkan untuk dilaksanakan. Tetapi sifat al-luzum inilah
meberikan perbedaan pada hukum wajib terhadap hukum mandub. Kedua,
terdapat jaminan akan mendapatkan amal baik untuk orang yang melaksanakannya
serta ada balasan dosa untuk orang yang melanggar perbuatan tersebut. orang
yang berbuat sesuai perintah Allah akan mendapat pahala, sedangkan yang
melanggar-Nya akan mendapat dosa. Hal tersebut merupakan ciri dari hukum wajib.
Wajib dari sudut pandang pelaksanaannya, hukum wajib terbagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1)
Al-Wajib
Al-‘Aini
Arti
dari “Al-Wajib Al- ‘Aini”ini ialah kewajiaban personal. Suatu perilaku
atau pekerjaan yang diperintahkan Allah SWT. kepada mukallafyang dalam
pengerjaannya bersifat personal dari mukallaf itu sendiri.
Hukum
wajib ‘ain ini dibebankan kepada setiap individu mukallaf. Jika satu mukallaf
tersebut melakukan kewajibannya, maka tidak gugur kewajiban mukallaf lain
karena kewajiban tersebut hanya berlaku secara individu.
2)
Al-Wajib
Al-Kafa’i
Arti dari “Al-Wajib Al-Kafa’i”ini ialah kewajiban kelompok.
Suatu perilaku atau pekerjaan yang diperintahkan Allah SWT. kepada mukallaf
yang dalam pengerjaannya bersifat kelompok atau kolektif.
Hukum wajib kafa’i ini tidak dibebankan kepada satu mukallaf
saja. Namun, jika terdapat sekelompok mukallaf yang telah menggugurkan
suatu kewajiban maka mukallaf lain ikut gugur kewajibannya. Meskipun begitu,
jika setiap individu mukallaf tidak ada yang melakukan kewajiban atas
perintah-Nya, maka semua mukallaf tadi akan mendapatkan amal buruk (dosa).
Namun, perlu diketahui bahwa jika sekelompok mukallaf sudah
mengerjakan kewajiban atas perintah-Nya dan mukallaf lain ikut gugur
kewajibannya bukan berarti mukallaf yang tanpa mengerjakan kewajiban
tadi sudah berpikiran tidak bertanggung jawab atas suatu kewajibannya melainkan
harus tetap mempunyai sudut pandang bahwa kewajiban ini juga Tanggung jawab
seluruh mukallaf.
Wajib dilihat dari sudut pandang waktu pelaksanaannya, terbagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1)
Al-Wajib
Al-Muthlaq
Arti “Al-Wajib Al-Muthlaq” yakni bentuk kewajiban atas
perintah-Nya yang mana tidak meghubungkan pengerjaannya dengan waktu tertentu. Makudnya
disini ialah, seorang mukallaf dapat melaksanakan kewajibannya dapat
dilaksanakan kapan saja selagi ia menyamnggupinya.
2)
Al-Wajib
Al-Mu’aqqat
Arti “Al-Wajib Al-Mu’aqqat” yakni bentuk kewajiban yang
sedang dikerjakan dihubungkan dengan waktu teterntu. Maksudnya disini ialah jika
suatu kewajiban tersebut tidak sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, maka
kewajiban tersebut menjadi tidak sah. Terdapat tiga pembagian lagi dalam Al-Wajib
Al-Mu’aqqat, yaitu Al-wajib al-muwassa’ (dalam melakasanakan
kewajiban mempunyai waktu yang lebih luas), Al-wajib al-mudhayyaq (dalam
melaksanakan kewajiban mempunyai waktu yang sempit), Al-wajib zu syabhain (dalam
melaksanakan kewajiban mempunyai dua kemiripan antara waktu luas dan sempit).
Wajib dilihat dari sudut pandang perilaku yang diperintahkan yakni
terbagi menjadi dua, yaitu:
1)
Al-Wajib
Al-Mu’ayyan
Arti Al-Wajib Al-Mu’ayyan yaitu bentuk kewajiban yang
diperintahkan untuk melakukan perilaku tertentu dan tidak bisa diganti oleh
perilaku yang lain. Mkasudnya disini ialah, jika mukallaf tidak
melakukan kewajiban tertentu (khusus) maka tidak bisa dengan melaksanakan
perbuatan lain untuk menggugurkan kewajibannya.
2)
Al-Wajib
Al-Mukhayyar
Arti Al-Wajib Al-Mukhayyar yaitu bentuk kewajiban yang
derintahkan oleh Allah SWT. untukmelaksanakan perbuatan tertentu dengan cara
memilih salah satu dari perbuatan tadi.
Wajib dilihat dari sudut pandang kadar kewajiban yang diperintahkan
yakni terbagi menjadi dua, yaitu:
1)
Al-Wajib
Al-Muhaddad
Arti Al-Wajib Al-Muhaddad yaitu bentuk kewajiban yang
memandang dari segi perbuatan seorang mukallaf dengan standart tertentu.
Maksudnya ialah seseorang bisa terlepas dari kewajibannya dengan melihat kadar
atau ukuran tertentu dari seorang mukallaf itu sendiri.
2)
Al-Wajib
Ghair Al-Muhaddad
Arti Al-Wajib Ghair Al-Muhaddad yaitu bentuk kewajiban tanpa
ada batasnya. Tidak ada ukuran tertentu yang ditetapkan.
Wajib dilihat dari sudut pertanggungjawaban pelaksanaannya terbagi
menjadi dua, yaitu:
1)
Al-Wajib
Al-Qadha’i
Arti Al-Wajib Al-Qadha’i yaitu bentuk kewajiban yang mana hasil
dari perbuatan tersebut dapat diminta pertanggungjawabkan dengan perantara
pemereintahan negara.
2)
Al-Wajib
Ad-Diyani
Arti Al-Wajib Ad-Diyani yaitu bentuk kewajiban yang bersifat
spiritual. Maksudnya, jika suatu kewajiban tidak dilakukan maka akan
mendapatkan balasan buruk di akhirat, namun kewajiban itu tidak bisa didesak
untuk dapat dilakukan di dunia.
Wajib dilihat dari sudut pandang tujuannya terbagi menjadi dua,
yaitu:
1)
Al-Wajib
At-Ta’abbudi
ArtiAl-Wajib At-Ta’abbudi yaitu bentuk kewajiban yang hasil dari
perbuatan tersebut hanya berharap mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
tujuan beribadah kepada-Nya.
2)
Al-Wajib
At-Tawashshulli
Arti Al-Wajib At-Tawashshulli yaitu bentuk kewajiban yang
dilakukan dengan tujuan sosial.
Maksudnya disini, kewajiban tersebut tidak semata-mata untuk
memperlihatkan sifat seorang hamba yang tunduk kepada Allah SWT, tetapi juga
ada unsur untuk menciptakan kemaslahatan di masyarakat umum. [4]
b.
Mandub
Pengertian Mandub (sunah) yaitu segala hal yang mana dianjurkan
pada hukum Islam supaya dilakukan oleh mukallaf, namun bentuk dari anjurkan ini
tidak meperlihatkan adanya kewajiban.
Mandub (Sunnah) terbagi menjadi tiga, yakni:
1)
Sunnah
Muakkadah atau Sunnah Huda
Sunnah ini dianjurkan untuk dilaksanakan sebagai pelengkap hal yang
wajib. Mukallaf yang tidak melaksalkan Sunnah ini tidak mendapat amal
buruk namun bisa mendapat ejekan dari orang lain. Beberapa sunnah dilakukan dan
bisa menjadi kebiasaan yang harus dilakukan Rasulullah di dalam kehidupannya. Hal
tersebut bisa termasuk dalam Sunnah muakkadah
2)
Sunnah
Zaidah
Sunnah ini bisa dilaksankan boleh tidak. Jika meninggalkannya pun
tidak mendapat dosa dan tidak ada ejekan dari orang lain.
3)
Mustahab, Adab dan Fadhilah
Bagi mukallaf, Sunnah ini bisa menjadi pengyempurna. Dinataranya
dengan ikut melaksanakan apa yang menjadi kebiasaan Rasul yang bersifat seperti
manusia yang biasa. Namun, jika seseorang tidak ikut serta dalam mempraktekkan
keseharian yang dilakukan Rasul, maka seseorang tersebut tidak dipandang
sebagai orang yang tidak baik.[5]
c.
Haram
Haram ialah perilaku yang tidak boleh dilakukan yang telah
ditetapkan oleh Allah, yang mana jika kita melaksanakan perilaku tersebut maka
timbul suatu keburukan maupun bahaya. Bukan hanya bahaya untuk dirinya sendiri,
namun bisa merugikan orang lain juga.
Pembagian hukum haram ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1)
Haram
Zati
Perilaku yang tidak diperbolehkan (haram) dengan sebab akan ada
mudharat pada dzat dari perilaku tersebut. Contohnya melakukan hubungan antara
laki-laki dengan perempuan (zina), bermain judi dan pesta khamr.
2)
Haram
‘Ardi
Perilaku yang tidak diperbolehkan (haram) yang mana bukan
disebabkan dari perilaku itu, namun berasal dari faktor eksternalnya. Contohnya
melakukan transaksi atau jual beli ketika bertepatan pada hari jum’at dan
khotib sedang melangsungkan kewajibannya yakni berkhotbah. Transaksi atau jual
beli tersebut memang dibolehkan, yang membuat haram yakni kegiatan transaksi
tersebut dilakukan saat khotbah.
d.
Makruh
Makruh ialah perilaku yang tidak disukai, lebih baiknya dihindari
supaya jika kita tidak melaksanakan perilaku ini akan mendapat amal baik. Dan
jika kita melakukan perilaku yang bersifat makruh, maka kita tidak dihantui
dengan adanya dosa atau bisa mendapat dosa yang kecil dibanding dosa dari
perilaku yang tidak dibolehkan (haram).
Makruh terbagi menjadi dua, yaitu:
1)
Makruh
Tahrim
Pengikut Imam Hanafi menyebutnya sebagai perilaku yang menganjurkan
untuk menghindari perilaku tersebut dengan tegas tetapi dengan dasar yang
lemah. Contohnhya sifat tercela manusia yakni bohong
2)
Makruh
Tanzih
Perilaku yang menganjurkan untuk menghindari perilaku tersebut
secara tidak tegas. Bisa jadi perilaku tersebut masih dilakukan. Contohnya
merokok.
e.
Mubah
Makruh ialah suatu perilaku yang dilaksanakan maupun tidak
dilaksanakan oleh mukallaf yang mana Allah SWT membiarkannya, sehingga tidak
ada balasan amal baik (pahala) maupun amal buruk (dosa) bagi yang melaksanakan
maupun yang tidak sama saja.
Mubah dibagi menjadi empat, yaitu:
1)
Mubah
yang menuntut untuk melakukannya. Meskipun pada mulanya hukum dari makan dan
menikah yakni mubah, namun jika berniat menghindari atau menghilangkan hal
tersebut dari mukallaf maka hukumnya menjadi wajib, karena kalau dihilangkan
akan menjadi haram.
2)
Mubah
yang menuntut untuk menghilangkannya. Contohnya bermain. Yang semula mubah akan
menjadi terlarang jika dilakukan sepanjang hari sampai lupa sholatnya.
3)
Mubah
yang dilaksanakan karena banyak kemaslahatan, tidak mengikuti yang haram maupun
yang wajib.
Mubah yang patuh pada hukum mubah itu sendiri, Contohnya jika
seseorang diberi kebebasan antara memilih melaksanakan atau tidak melaksanakan.[6]
Sebagai makhluk yang dapat merenungi Syariat Islam maka akan dapat
menbedakan antara yang halal dan yang haram. Haram ialah segala hal yang tidak
disukai secara fitrah manusia, namun mubah ialah segala hal yang disukai atau
diperbolehkan oleh fitrah. Setara antara dosa jika kita mengharamkan mubah
dengan dosa jika kita menghalakan yang haram. Allah SWT. berfirman dalam Q.S
Yunus ayat 59-60:
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ
أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
Artinya:
59.
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah
kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal".
Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini)
atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?"
وَمَا ظَنُّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ
عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى
النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَشْكُرُونَ
Artinya:
60.
Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada
hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang
dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya). [7]
C.
Hukum
Wadh’i
Hukum Wadh’i menurut Amir Syarifuddin dalam buku Ushul
Fiqh yakni“Hukum wadh’i
bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang
ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi
atau merupakan akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.”
Hukum wadh’i menurut para Fuqaha yaitu
“Apa-apa yang diletakkan oleh pembuat syari’at dari tanda-tanda untuk
menetapkan atau menolak, melaksanakan, atau membatalkan.”
Menurut Abdul Wahab Khallaf di tulis dalam kitabnya
IImu Ushul Fiqh, dibagi menjadi lima macam, yakni Sebab, Syarat, Mani’
(Penghalang), Rukhshah dan Azimah, lalu Sah dan Batal. Selanjutnya, pembahasan
lebih rinci sebagai berikut.
1.
Sebab
Abdul Wahab Khallaf berpendapat bahwa sebab adalah
“Sesuatu yang oleh Syari’ (pembuat syari’at) dijadikan sebagai tanda atas suatu
akibat dan hubungan adanya akibat dengan sebab serta tidak adanya akibat karena
tidak adanya sebab.”
Sedangkan, Jumhur Ulama berpendapat, seperti yang telah
dikutip oleh Muhanmad Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqh, sebab
ialah “Sesuatu yang lahir dan jelas batasn-batasannya, yang oleh pembuat Syari’
(pembuat hukum) dijadikan sebagi tanda bagi wujudnya hukum.”
Dari kedua pengertian di atas, dapat kita simpulkan
bahwa:
a.
Segala hal tidak dapat dikatakan sebagai sebab kecuali pembuat
syari’at yang memutuskannya sebagai sebab.
b.
Hukum taklifi muncul bukan dipengaruhi karena adanya sebab-sebab,
tapi seabagi tanda adanya hukum-hukum tersebut.
Sebab terbagi menjadi dua bagian, yakni sebab yang tidak lahir dari
perilaku manusia dan sebab yang lahir dari perilaku manusia. Adapun
maksud dari keduanya yaitu:
a.
Sebab yang tidak lahir dari perilaku manusia ialah
sebab yang ditetapkan oleh Allah yang merupakan simbol atas lahirnya hukum itu.
Misalnya wajibnya melaksanakna sholat disebabkan oleh adanya waktu yang telah
ditentukan, kewajiban berpuasa disebabkan karena kita sudah melihat hilal bulan
Ramadhan.
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ
Artinya:
“Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam...” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 78)
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya:
“...Maka, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu...” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 185)
b.
Sebab yang lahir dari perilaku manusia atau manusia
mempunyai kemampuan menggapainya yakni perilaku-perilaku seorang mukhallafyang
telah ditetapkan oleh Allah memunculkan suatu hukum karena suatu akibat.
Misalnya, sebab berkewajiban untuk potong tangan akibat perilaku
mencuri.
2.
Syarat
Muhammad Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqh,
berpendapat bahwa syarat ialah “Sesuatu yang menjadi tempat
bergantung wujudnya hukum, tidak adanya syarat bearti pasti tidak adanya hukum,
tetapi wujudnya syarat pasti wujudnya hukum”
Terdapat hal pembeda antara syarat
dengan sebabyaitu adanya syarat itu tidak menentukan adanya hukum. Misalnya,
wudhu’ sebagai syarat shalat tidak menentukan wajibnya shalat. Namun,
tanpa wudhu’ shalat akan tidak sah. Sedangkan sebab, adanya sebab itu
menentukan adanya hukum, kecuali ada penghalang. Maka, diwajibkan berpuasa
ketika bulan Ramadhan telang datang.
Rukun dan syarat itu berbeda. Rukun sebagai
bagian suatu hakikat, namun syarat tidak termasuk di dalamnya. Ruku’ merupakan
bagian dari sholat maka ruku’ termasuk rukun. Namun, datangnya dua orang
laki-laki sebagi saksi dalam pernikahan adalah syarat, karena hal tersebut
tidak terdapat dalam ijab qobul (akad).
3.
Mani’ (Penghalang)
Abdul Wahaf Khallaf dalam kitab Ilmu Ushul
Fiqh, berpendapat pengertian mani’ ialah “sesuatu yang adanya meniadakan
hukum atau membatalkan sebab”. Sedangkan menurut Jumhur Fuqaha, yang
dimaksud penghalang (mani’) ialah “sesuatu yang ditemukan setelah
terbukti sebabnya dan memenuhi syaratnya, tetapi tidak dapat menghalangi
hubungan seba dan akibat.”
Mani’ (penghalang) sendiri terdiri dari dua, yaitu:
a.
Mani’ yang berimbas pada sebab. Misalnya, terdapat
perbedaan mengenai agama dan persolaan tentang pembunuhan. Syarat memperoleh
harta warisan yakni terjalinnya hubungan keluarga atau pernikahan dan tentu
terdapat kematian
b.
Mani’yang berdampak pada hukum dan langusng
menghapuskannya. Misalnya, terdapat hubungan kebapakan sebagai mani’
dilakukannya qishah karena sebenarnya pelajaran dari hukuman ini yakni bentuk
kegiatan preventif dengan perantara hukum.
4.
Rukhshah dan Azimah
Ulama ushul sebagian ada yang menjelaskan Rukhshah
dan Azimah sebagai berikut.
“Rukhsah ialah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada
suatu sebab yang membolehkan untuk meninggalkan hukum yang asli, sedangkan
Azimah ialah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada
sesuatuyang menghalang-halanginya.”
Dari penjelasan tersebut, kita ketahui bahwa rukhshahtermasuk dalam
hukum baru, bukan hukum asal. Hal ini dikarena ada suatu penghalang
untuk mengerjakan hukum asal. Pengertian rukhshah secara umum, ialah
berubahnya hukum yang awalnya dari perilaku yang harus dilakukan menjadi boleh
untuk dilakukan. Azimah sendiri mempunyai pengertian yakni hukum asli
yang mempunyai sifat umum, yang mana semua manusia diperintahkan untuk
melakukan pekerjaan atau kewajibannya.
Terdapat dua macam dari rukhshah yaitu rukhshah untuk
melaksanakan suatu pekerjaan, dan rukhshah untuk menghindari suatu
pekerjaan. Jikalau hukum dari rukhshah dan azimah itu berbentuk larangan, rukhshah-nya
tersebut berbentuk keringanan untuk melaksanakan. Nanum, jika hukum Azimah tersebut
berbentuk kewajiban melakukan suatu perbuatan, maka rukhshah-nya
berbentuk kerinnganan untuk menghindarinya.
5.
Sah dan Batal
Sah dan Batal merupakan istilah yang tidak asing lagi dalam hukum
Islam. Misalnya masalah sholat yang termasuk cakupan dari hukm taklifi yakni
dituntut dalam keabsahannya. Tidak sahnya shalat seseorang tidak memenuhi
syarat yang ada dan kewajiban tersebut belum dilaksanakan berdosa seseorang itu
tidak mengulangi maupun meng-qodho’ sholat.
Begitupun dengan hukum wadh’i.Sebab
yang sah dapat memuculkan efek hukum, Dan sempurnanya hukum dan sebab karena
ada syarat yang sah.
Menurut syara pengertian dari sah ialah “perbuatan mukallaf
mempunyai pengaruh secara syara’.”
Menurut para pakar fiqh, ibadah yang tidak sah sama halnya
ibadah yang rusak ataupun batal. Jika ibadah telah sesuai dengan rukun dan
syarat sahnya berarti sudah dikatakan sukup dan terlepas dari kewajibannya, namun
ketika rukun dan syarat dari ibadah itu kurang dari yang ditentukan, maka belum
cukup dan belum terlepas dan kewajibannya. Hal ini tidak ada perbedaan antara
rukun dan syarat.[8]
D.
Mahkum Fih
Mahkum Fih dapat daiartikan sebagai perilaku seorang mukallaf yang
berkaitan dengan hukum syari’at Islam.[9]
Makna lain dari mahkum fih atau obyek hukum ini yaitu sebuah
perilaku mukallafsesuai perintah hukum Islam, yang mana dapat berupa
bentuk anjuran untuk melaksanakan, menghindari, maupun membuat pilihan suatu
pekerjaan yang terdapat sifat syarat, sebab, halangan (mani’), rukhshah
dan azimah, serta sah dan batal.
Maka dari itu, segala yang diperintahkan oleh syari’at Islam mesti
terdapat obyeknya, dan obyek tersebut bentuknya dari perilaku mukallaf dan
hukum akan muncul dari perilaku mukallaf tadi.[10]
Sebgaimana Allah SWT. berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, tepatilah janji” (Q.S. Al-Ma’idah [5]:1)
أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
Artinya:
“Hai
orang-orang beriman, apanila kamu bermuamalah, tidak secra tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282)[11]
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ...
Artinya: “Dirikanlah shalat…” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 43)
Atau sabda Nabi
yang diriwayatkan Imam Ahmad yang berbunyi:
“Seseorang yang membunuh seorang korban, maka dia tidak dapat
mewarisinya, sekalipun korbannya tidak memiliki pewaris melainkan dirinya dan
jika korban itu ayahnya atau ankanya, maka bagi pembunuh tidak berhak untuk
menerima harta peninggalan.” (HR. Ahmad).”
Dari
pemaparan contoh di atas dapat kita simpulkan, bahwa mahkum bih atau mahkum
fih atau obyek suatu hukum yakni dari perilaku manusia. Dari obyek tersebut
para ahli ushul menentukan teori berikut ini.
“Tidak ada taklif (pembebanan hukum) kecuali terhadap perbuatan atu
peristiwa”
Dari
hal tersebut juga terdapat alasan jika hukum syari’at Islam mencakup wajib atau
Sunnah, maka tuntunan tersebut pasti jelas, maksudnya jika berakaitan dengan
suatu perilaku yang harus dikerjkan maka sifatnya wajib. Namun, jika sunah
tidak, keduanya sama dalam hal dapat dilakukan dengan terealisasinya suatu
perilaku. Maka dari itu, semua itu adalah perilaku mukallaf yang menjadi
pembicaraan mahkum fih, sedangkan hukum taklif ialag seperangkat aturan yang
mengatur perilaku mukallaf.
Terdapat
syarat sah suatu taklif (pembebanan hukum) pada perilaku mukallaf, para ahli
ushul berpendapat syarat tersebut meliputi:
1.
Syarat
pertama yakni dari mukallafnya sendiri diharuskan tahu mengenai perilaku yang
akan dilaksanakan, sehingga hasil akhir atau maksud perilaku tersebut dapat
dicerna dengan jelas dan baik. jika tidak demikian maka, mukallaf tersebut
tidak terkena taklif dalam melakukan pekerjaan.Sebagai contoh bahwa mukallaf
tidak terkena taklif mengharuskan ia shalat selagi mukallaf itu belum paham
dengan syarat dan rukun shalat. Sedangkan untuk memahami kejelasannya, maka
Rasulullah yang menerangkannya.
2.
Asal
dari taklif itu sendiri harus diketahui oleh seorang mukallaf, sehingga apa
yang ia lakuakan sesuai dengan kepatuhan untuk melakukan tuntutan dari Allah
SWT.
3.
Kewajiban
yang telah diberikan kepada mukallaf harus dilakukan dengan serius yang baik
dan benar.
Mahkum bih atau mahkum fih adalah produk dari perilaku mukallaf
yang berkaitan dengan aturan-aturan Islam. Sebagaimana contoh sebagai berikut.
1.
Perilaku
dalam menyempurnkan janji. Perilaku ini merupakan mahkum fih, karena kaitannya
dengan ijab. Hukum yang berlaku yakni wajib.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu dan sempurnakanlah janji…”
(Q.S. Al-Maidah [5]: 1)
2.
Perilaku
seorang mukallaf berkaitan dengan puasa Ramadhan atau diberi keringanan tidak
puasa untuk orang-orang tertentu yang tidak sanggupu melaksanakannya seperti
orang sakit dan orang dalam perjalanan, yaitu mahkum fih, sebab kaitannya
dengan masalah ibadah
Pemaparan di atas, dapat daimbil kesimpulan bahwa perilaku manusia
terdapat kaitannya dengan seperangkat aturan Islam yang dikenal sebagai istilah
mahkum fih (kejadian hukum) dan mahkum bih (obyek hukum).
E.
Mahkum Alaih
Makhkum alaih(subyek hukum)ialah seseorang yang perilakunya dibebankan
karena perintah Allah, yaitu mukallaf yang menjadi obyek tuntunan seperangkat
aturan di dalam Islam (syari’at Islam).
Dari pemaparan tersebut, mukallaf secara
etimologi, bisa didefinisikan sebagai “orang yang dibebani hukum”,secara
terminologi ialah seseorang yang telah dinilai pantas dan bisa bergerak sesuai
aturan, bauik kaitrannya dengan tuntunan maupun hal yang harus ditinggalkan.
Suatu hukum bisa diberikan atau dibebakan kepada orang lain, dengan
persyaratan berikut ini:
1.
Dapat
mengerti dasar taklifnya, baik berasal dari sumber hukum Islam Al-Qur’an dan
Hadist. Allah SWT. berfirman:
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ
Artinya:
Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. (Q.S.
Al-Baqarah [2]: 286)
Maka dari itu, jika seseorang tersebut belum mempunyai kesanggupan
dalam berbuat sesauatu, tidak bisa diberikan tanggungan kepadanya dan tidak
bila melakukan taklif sesuai syari’at.
2.
Umurnya
sudah baligh serta tidak mempunyai penyakit yang bisa menyebakan daya
tangkapnya rusak. Maka dari itu anak kecil serta orang kurang sehat dalam
akalnya tidak bisa dikategorikan sebagai mukallaf.
3.
Beban
dari taklif ditanggung oleh mukallaf itu sendiri.[12]Terkait
dengan mukallaf, tentu akan berhubungan dengan tingkat kemampuanya tentang beban
tersebut yang ditanggungnya. Ulama ushul mengartikannya dengan “Ahliyah”. Abu
Zahrah mengartikannya “kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan
menerima hak”. Makna lain, seseorang layak untuk menanggung hak-hak orang lain,
menerima hak-hak atas orang lain, dan pantas untuk melakukannya. Wahbah
Zuhaily, mengutip dari ulama Hanafiyah, membagi ahliyyah dalam dua bagian. Pertama,
Ahliyah al-wujub ialah kelayakan seseorang dalam menerima hak-hak dan
dikenai kewajiban. Fuqaha mengartikannya dengan “dzimmah”. Kedua,Ahliyah
al-Ada’ atau kecakapan dalam melaksanakan hukumnya yakni kelayakan
seseorang manusia untuk dipertanggungjawabkan dari semu perilaku yang diperbuat
menurut hukum. Hal ini, baik dalam bentuk lisan atau tindakan telah memiliki
akibat hukum. [13]
F.
Penutup
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa
hukum taklifi, hukum wadh’i,mahkum fih, dan mahkum alaih
merupakan sebagai pedoman dalam melaksanakan hukum syara’. Jika kita berbicara mengenai hukum yang berkenaan dengan tuntutan,
perintah, ataupun larangan maka merujuk pada hukum taklifi. Untuk
melaksanakan hukum taklifi tesebut, kita juag harus memahami dari hukum
wadh’i nya terlebih dahulu yang meliputi sebab, syarat, penghalang, rukhshah
atau azimat, sah atau batal yang mana jika kita melaksanakan hukum
taklifi mempunyai dasar atas pelaksanaan hukum tersebut. Dalam melaksanakan
suatu hukum, tentu saja ada yang berperan sebagai “pelaku” dan “apa yang
dilakukan pelaku”. Dalam ushul fiqh sendiri pelaku hukum ini disebut dengan mahkum
fih dan apa yang dilakukan oleh pelaku hukum (perilaku hukum) disebut
dengan mahkum alaih. Oleh karean itu, sebagai manusia kita juga
dibebankan seperangkat aturan yang berhubungan dengan perilaku atau perbuatan
kita sehingga dapat mewujudkan insan yang patuh dan taat pada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin & Fathurrohman, N. Pengantar
Ilmu Fiqh. Bandung: PT Refika Aditama,2016.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta:
AMZAH, 2011.
Irwansyah, Shindu. Perbuatan Dan
Pertanggungjawaban Hukum Dalam Bingkai Ushul Fikih. Jurnal Peradaban dan
Hukum Islam. (1): 1. 2018.
Ismaeel, Saeed. Ushul Fiqih
Aplikatif. Malang: Darul Ukhuwwah Publisher, 2017.
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah
Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh). Jakarta: Rajawali, 1989.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul
Fiqh. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995.
Koto, Alaiddin. Filsafat Hukum
Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Suyatno. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh
dan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Syarifuddin, Amir.Garis-Garis
Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Zein, M. Ma’shum. Menguasai Ilmu
Ushul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-Sumbernya. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2013.
Catatan:
1.
Similarity 4%, bagus sekali.
2.
Buku terjemahan perlu dicantumkan siapa penerjemahnya.
3.
Pembahasan tentang hukum taklifi dan hukum wadh’i bagus, tetapi kok menurun
di bagian mahkum fih dan mahkum alaih?
4.
Perujukan perlu dimaksimalkan.
5.
Makalah rapi, saya senang membaca makalah ini.
[1] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.111.
[2] M. Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum
Islam Disarikan dari Sumber-Sumbernya, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2013), hlm. 237.
[3]Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2012), hlm. 29.
[4] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011),
hlm.45-54.
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul
Fiqh), (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.172-175.
[6] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 15-17
[7] Saeed Ismaeel, Ushul Fiqih Aplikatif. (Malang: Darul
Ukhuwwah Publisher, 2017), hlm.151-152
[8] Amirudin & N. Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bandung:
PT Refika Aditama, 2016), hlm.85-90
[9] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1995), hlm.154.
[10]M. Ma’shum Zein, op.cit. hlm.229.
[11]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,op.cit. hlm. 154.
[12]M. Ma’shum Zein, loc.cit
[13]Shindu Irwansyah, Perbuatan Dan Pertanggungjawaban HukumDalam
Bingkai Ushul Fikih, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol.1 No.1, Maret,
2018, hlm.99-100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar