Senin, 01 April 2019

Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i, Mahkum Fih dan Mahkum 'Alaih (PAI B Semester Genap 2018/2019)



Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’I, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih
Oleh: Sharvina Salsabilla (16110056) dan M. Afif Izzuddin (16110044)
Mahasiswa PAI-B Semester 6 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
The law that was revealed by Allah SWT to us, is nothing but for our benefit both in the world and in the hereafter. We can get that salvation if we are willing to obey God's laws consequently. If we pay close attention, then the laws of God that we must obey are those that are strict orders, namely the demands to be done by us explicitly and surely which are called compulsory laws such as prayer and fasting.
          There are times when the order is not explicit, namely the demand to be done, but its nature does not have to be and must be like a sunnah prayer. There are times when the request is in the form of a demand to abandon the work for certain which is called haram such as adultery. And there are times when the order is in the form of a demand to leave the job without meaning, meaning that it doesn't have to be abandoned, but leaving it is considered better, such as eating jengkol and banana. And there are times when God's commands are optional, meaning someone is given the freedom to choose between doing or leaving like eating and drinking. For more details, let us see the following discussion associated with hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum fih dan mahkum alaih.

Keywords: hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum fih dan mahkum alaih
Abstrak
Hukum yang diturunkan oleh Allah SWT kepada kita, tidak lain kecuali untuk kemaslahatan kita baik di dunia maupun di akhirat kelak. Keselamatan tersebut akan dapat kita peroleh jika kita mau mentaati hukum-hukum Allah secara konsekuen. Jika kita perhatikan secara cermat, maka hukum-hukum Allah itu yang harus kita taati ada yang bersifat perintah tegas, yaitu tuntutan untuk dikerjakan oleh kita secara tegas dan pasti yang disebut dengan hukum wajib seperti solat dan puasa.
Ada kalanya perintah itu bersifat tidak tegas yaitu tuntutan untuk dikerjakan tapi sifatnya tidak harus dan mesti seperti sholat sunnah. Ada kalanya perinta itu berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan secara pasti yang disebut dengan haram seperti berzinah. Dan ada kalanya perintah itu berupa tuntutan untuk meniggalkan pekerjaan itu secara tidak paasti artinya tidak harus ditinggalkan tapi meninggalkannya dipandang lebih baik seperti makan jengkol dan pete. Dan ada kalanya perintah Allah itu bersifat pilihan artinya seseorang diberikan keleluasaan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan seperti makan dan minum. Untuk lebih jelasnya marilah kita lihat pembahasan berkaitan dengan hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum fih dan mahkum alaih.
Kata Kunci: hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum fih dan mahkum alaih

A.    Pendahuluan
Pada dasarnya, hukum syara’ merupakan salah satu tujan utama dari pembahasan ilmu ushul fiqh. Dan dapat hukum syara’ pun dapat pula dikatakan sebagai tujuan akhir dari ilmu ushul fiqh untuk menemukan dan menetapkan hukum syara’ yang disebut dengan hukum fiqh.
Ushul fiqh merupakan ilmu yang berisi dasar-dasar dan cara-cara metodologi untuk menetapkan hukum syara’/hukum fiqh dan ushul fiqh ini sebagai alat untuk menemukan hukum syara’. Namun, tentu saja yang dimaksudkan dalam ilmu ushul fiqh adalah keseluruhan bagian dari ilmu ushul fqh itu sendiri, sehingga kita tidak mungkin dapat langsung menemukan dan menetapkan hukum-hukum syara’/fiqh hanya dengan mempelajari dan menguasai pembahasan hukum syara’ tanpa mempelajari dan menguasai keseluruhan bagian dari ilmu ushul fiqh, seperti pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil hukum, metode ijtihad, dan lain-lain. Pembicaraan tentang hukum syara’ membahas tentang hakim (perbuatan manusia), al-mahkum fih (perbuatan manusia), al-mahkum ‘alaih (subjek hukum/mukalaf).[1]
B.     Hukum Taklifi
1.      Pengertian
Hukum Taklifi adalah suatu tuntutan yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf untuk berbuat atau menahan dari melakukannyaatau memilih antara melakukan dengan tidak melakukannya.Jadi manusia dituntut melaksanakan apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang dan diperbolehkan mengerjakan sesuatu atau tidak melakukan apapun.[2]
Contoh hukum yang menghendaki dilakukannya perbuatan oleh mukallaf ialah firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 43:




Sedangkan contoh lain yang menuntut meninggalkannya ialah firman Allah SWT QS. An-Nisa’ ayat 43:


 


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu sholat sedang kamu dalam keadaaan mabuk.”
Sedangkan hukum yang menghendaki yang bersifat memilih (fakultatif):[3]
 









2.      Pembagian Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut pandangan ulama dapat dilihat sebagai dalil hukum dapat dibagi menjadi 5 bentuk menurut jumhur ulama.[4]
(1)   Ijab (mewajibkan) atau Wajib, yaitu ayat atau hadis yang diperintah untuk melakukan suatu perbuatan. Hasil dari ijab dinamakan wujud dan pekerjaan yang dikenai hukum wujub yang disebut wajib. Karena tuntutan ini bersifat tidak mesti dilakukan, maka mukallaf yang melaksanakan perintah tersebut berhak mendapat imbalan berupa pahala dan balasan surga karena ketaatannya. Namun, sebaliknya apabila kita meninggalkannya akan mendapat dosa dan ancaman siksa api neraka karena kedurhakaannya. Misalnya, perintah untuk melakukan shalat dan menunaikan zakat.
(2)   Nadb(anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan. Tuntuntan ini merupakan suatu perbuatan yang tidak tegas dan pasti.yang biasa disebut dengan nadab, sedangkan pekerjaan yang dikenai hukum nadab biasa disebut dengan mandub. Apabila suatu perbuatan ini dilakukan maka akan mendapatkan pahala, namun karena tuntutan ini tidak dipertegas maka bagi yang tidak melaksanakannya tidak mendapatkan dosa. Seperti; membuang duri di jalan agar orang tidak terluka.
(3)   Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu perbuatan. Tuntutan ini berisi larangan dan harus ditinggalkan. Pengaruhnya terhadap perbuatan yang dilarang disebut hurmah dan pekerjaan yang dikenai hukum hurmah disebut dengan haramun atau haram. Orang yang meninggalkan perbuatan ini akan mendapat pahala, begitupun sebaliknya apabila melakukannya akan mendapat dosa. Contohnya seperti; mencuri dan berzina.
(4)   Karahah, yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan pekerjaan yang dikenainya maka disebut dengan makruh. Bagi seseorang yang meninggalkan perbuatan ini maka akan mendapat pahala dan apabila dilakukan tidak mendapat dosa. Misalnya seperti; memakan makanan yang berbau di tempat umum.
(5)   Ibahahyaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dikenai ini disebut dengan mubah. Perbuatan ini tidak ada pahala atau dosa bagi yang melakukan atau meninggalkannya. Seperti contoh dalam makan dan minum adalah perbuatan yang mubah. Akan tetapi jika seseorang melakukannya dengan niat agar perbuatan makan dan minum itu dapat menambah kekuatan kita untuk melakukan ibadah dengan taat kepada Allah, maka perbuatan itu akan mendapat pahala. Begitu pula sebaliknya, jika perbuatan itu diniatkan untuk melanggar larangan Allah, maka perbuatan yang semula mubah akan mendapat dosa dan ancaman siksa neraka.
Penjelasan terperincinya berkaitan dengan hukum-hukum taklifi diatas akan diuraikan secara berurutan, mulai dari hukum wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah sebagai berikut di bawah ini.
1)      Wajib
a)      Pengertian Wajib
Secara etimologi kata wajib ini yaitu tetap. Sedangkan secara terminologi yaitu:[5]
الفعل المطلوب على وجه اللزوم بحيث يثاب فاعله ويعاقب تاركه
“Perbuatan yang dituntut Allah untuk dilaksanakan oleh mukallaf dengan sifat mesti (tidak boleh tidak) dilakukan, yang jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala, dan jika ditinggalkan, maka ia dikenakan dosa.”
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa wajib merupakan suatu yang harus dilakukan. Jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika tidak dilaksanakan akan mendapatkan dosa. Perbuatan ini bersifat pasti untuk dilakukan (wajib) dari bentuk perintah, atau dengan adanya qarinah (indikasi) yang ada dalam suatu redaksi, misalnya; diwajibkannya shalat fardhu lima waktu dalam satu hari satu malam dalam arti disini yaitu harus dilaksanakan, apabila meninggalkan akan mendapat dosa. Hukum wajib ini terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Ankabut ayat 45:[6]




“Bacalah apa-apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur’an), dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabut: 45).
b)     Pembagian Wajib
Dari segi orang yang dibebani kewajiban Hukum WajIb dapat dibagi kepada dua macam, yaitu wajib‘ainy dan wajib kifa’i.
ü  Wajib ‘Aini
Adalah kewajiban yang dibebankan oleh setiap orang yang sudah balig (berakal) tanpa terkecuali. Kewajiban ini tidak bisa diwakilkan oleh orang lain. Seperti: Melakukan shalat lima waktu sehari semalam, Menunaikan ibadah puasa dan haji bagi yang mampu.[7]
ü  Wajib Kifa’i
Adalah kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf, namun apabila sudah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak wajib untuk mengerjakannya. Seperti : Dalam pelaksanaan shalat jenazah, umat muslim itu diwajibkan untuk menyolati jenazah, namun terkait dengan pelaksanaannya sudah dianggap cukup bilamana dilaksanakan oleh sebagian anggota masyarakat. Namun, apabila tidak adap seorang pun yang mengerjakannya maka seluruh umat Islam akan mendapatkan dosa.[8]
Dari segi kandungan perintah, Hukum Wajib dapat dibagi kepada dua macam:
ü  Wajib Muayyan
Yang dimaksud dengan al-wajib al-muayyan (kewajiban tertentu) ialah:[9]
ما طلب الشارع فعله واحدا بعينه
“Suatu kewajiban yang Asy-Syari’ memerintahkan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu”.
Suatu kewajiban yang dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Wajib muayyan ini merupakan suatu kewajiban yang telah ditentukan bentuknya dan tidak dapat dilakukan kecuali itu, tanpa pilihan lain. Contohnya: Shalat wajib dilakukan dalam bentuk khusus dan tidak ada bentuk lain dari itu dan tidak pula digantikan dengan kewajiban yang lain.[10]
ü  Wajib Mukhayyar
Adapun yang dimaksud dengan wajib al-mukhayyar ialah:[11]

ما طلب الشارع واحدا من أمور معينة
“Suatu kewajiban yang asy-syari’ memerintahkan untuk melakukan salah satu dari beberapa perbuatan tertentu.”
Suatu kewajiban yang dapat dipilih satu diantara beberapa kewajiban yang ditetapkan, apabila ia sudah melakukan kewajiban tersebut maka ia tidak perlu melakukan kewajiban yang lainnya. Contohnya: Kewajiban membayar kafarat (denda melanggar sumpah). Dalam surat Al-Maidah ayat 89 Allah berfirman:[12]




 






“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaina kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya berpuasa selama tiga hari”. (QS. A-Maidah:89).
Dalam ayat di atas membahas kewajiban membayar kafarat. Apabila seseorang melakukan sumpah tersebut, kemudian ia melanggar sumpahnya, ia wajib membayar kafarat sumpahnya dengan cara memilih satu diantara yang ditetapkan: memberi makan 10 orang miskin atau memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian untuk 10 orang miskin atau memerdekakan hamba sahaya.[13]
Dari segi waktu pelaksanaannya, Hukum Wajib terbagi kepada dua macam:
ü  Wajib Mutlak
مالم يقيده الشارع فعله بوقت محدد
“Suatu kewajiban yang asy-Syari’ tidak mengaitkan pelaksanannya dengan waktu tertentu”.[14]
Wajib mutlaq merupakan kewajiban yang waktu pelaksanaannya tidak ditentukan, dengan arti seseorang yang dituntut untuk berbuat dapat melakukannya dalam waktu kapan saja selagi ia masih hidup. Contoh: Membayar nazar yang tidak ada batasan waktu pelaksanaannya.[15]
Menurut Abu Hanifah, puasa yang tertinggal boleh dibayar kapanpun tanpa ada batasan waktu tertentu. Namun berbeda dengan pendapat menurut Imam Syafi’i tentang kewajiban membayar puasa yang tertinggal itu harus dibayar sebelum bulan Ramadhan berikutnya.[16]
ü  Wajib Muaqqat
مالم قيده الشارع فعله بوقت محدد
“Suatu kewajiban yang Syari’ mengaitkan pelaksanaannya dengan waktu tertentu”.[17]
Wajib muwaqqat merupakan kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi dalam waktu tertentu, dengan arti tidak boleh dilakukan dilain waktu yang ditentukan. Dari segi batas waktu, wajib muwaqqat terbagi menjadi 3 yang terdiri dari:[18]
a)    Wajib muwassa’ yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya dapat dilakukan untuk melakukan perbuatan yang lain. Misalnya; Waktu yang disediakan untuk sholat dhuhur sekitar 3 jam, sedangkan shalat dhuhur itu sendiri sekitar 15 menit. Sisa waktu lainnya bisa dipergunakan untuk melaksanakan shlat-shalat Sunnah lainnya.
b)   Wajib mudhayyaq yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya terbatas sehingga tidak dapat dimasuki oleh kewajiban lain. Karena waktu pelaksanaan kewajiban yang tersedia sama dengan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan kewajiban itu sendiri, maka dari itu suatu kewajiban tidak dapat dilakukan diluar waktunya. Misalnya; waktu pelaksanaan bulan Ramadhan; tidak dapat dilakukan di luar bulan puasa Ramadhan dan pada bulan Ramadhan itu sendiri tidak dapat dilaksanakan puasa-puasa lainnya.
c)    Wajib zu syabhain yaitu mempunyai dua bentuk muwassa’(luas) dan mudhayyaq (sempit), ditinjau dari pelaksanaan waktu pelaksanaan nya. Misalnya: dalam pelaksanaan ibadah haji itu sendiri hanya memerlukan waktu beberapa hari yang waktunya biasa disebut dengan muwassa’, karena bulan haji ada beberapa bulan dalam setahun. Namun, apabila ditinjau dari segi bahwa ibadah haji dapat dilakukan sekali dalam seahun, maka wakunya disebut dengan mudhayyaq.

2)      Mandub
a)      Pengertian Mandub
Mandub ialah:[19]

 المندوب: هو طلب الشارع فعله من المكلف طلبا غير حتم
“Mandub adalah sesuatu yang dituntut syara’ (agama) memperbuatnya kepada orang mukallaf dengan tuntutan yang tidak mesti”.
Menurut Abdul Karim Zaidan, mandub adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, apabila dikerjakan ia akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan mendapat dosa. Makna ini sama dengan pengertian sunnah yang sudah dijelaskan sebelumnya.[20]

b)     Pembagian Mandub
Dilihat dari segi yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh Nabi, Mandub dibagi menjadi 2:
ü  Sunnah Muakkadah
Yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan karena perbuatan yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkan. Contoh: Melakukan shalat witir di malam hari.
ü  Sunnah ghairu muakkadah
Yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi, namun Nabi tidak dilakukan dalam kesehariannya. Contoh: Melakukan shalat Sunnah empat rakaat sebelum Dhuhur.[21]
Dilihat dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan nadab, Sunnah itu dibagi menjadi 3:
ü  Sunnah Hadyi
Adalah perbuatan yang dianjurkan karena manfaatnya sangat besar, sehingga orang yang meninggalkannya patut dicela. Contoh : Shalat Berjamaah.
ü  Sunnah Zaidah
Adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang melakukannya akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Contoh: Perbuatan sehari-hari yang dilakukan oleh Nabi, seperti etika makan.
ü  Sunnah Nafal
Adalah perbuatan yang dituntut mengerjakan sebagai tambahan dalam perbuatan wajib. Contoh: Shalat dua rakaat mengiringi shalat wajib
3)      Haram
a)      Pengertian Haram
هو ما طلب الشارع الكف عن فعله طلبا حتم
“Haram adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk tidak mengerjakannya dengan tuntutan yang mesti”.[22]
Secara terminologi Ushul Fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, apabila kita melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dosa. Namun apabila meninggalkannya berarti kita menaati Allah dan akan mendapat pahala.[23] Contoh larangan berzina dalam firman Allah dalam Surah Al-Isra’: 32 dan Larangan mencuri dalam surat Al-Maidah: 38.
b)     Pembagian Haram
Para ulama Ushul Fiqh, antara lain Abdul Karim Zaidan, membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:[24]
ü  Al-Muharram li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena mengandung kemudharatan tidak akan terpisahkan dari zatnya. Contoh: Larangan Berzina dalam Surat Al-Isra’:32 dan larangan menikahi wanita-wanita mahram dalam Surat An-Nisa’:23
ü  Al-Muharram li Ghairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena tidak mengandung kemudharatan, namun dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Contoh: Larangan melakukan jual beli pada waktu adzan shalat jum’at dalam QS. Al-Jumuah:9.

4)      Makruh
a)      Pengertian Makruh
Dari segi etimologi, makruh berarti yang dibenci. Sedangkan dari segi terminologi ialah suatu perbuatan yang asy-Syari’ menuntut mukallaf untuk meninggalkan perbuatan tersebut secara tidak mesti (menganjurkan untuk meninggalkannya), namun apabila mukallaf menjauhi larangan itu karena patuh kepada Allah, ia akan mendapatkan pahala dan jika ia melanggar maka ia tidak dikenai dosa dan ancaman siksa.[25]
b)     Pembagian Makruh
Menurut kalangan Hanafiyah, makruh terbagi menjadi dua macam:
ü  Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat dan suatu perbuatan yang dituntut untuk meninggalkannya secara tegas namun menggunkan dalil yang tidak kuat dan pasti (zanni). Contoh: Larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain dan larangan membeli sesuatu yang sedang dalam tawaran orang lain.
ü  Mahkum Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Contoh: Memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu perang.[26]
5)      Mubah
a)      Pengertian Mubah
Yang dimaksud dengan mubah yaitu:[27]
هو ما خيرالشارع المكلف بين فعله وتركه
“Sesuatu yang diberi memilih mukallaf oleh syara’ antara berbuat atau meninggalkan”.
Yaitu suatu perbuatan yang dibiarkan oleh Allah untuk dilakukan oleh mukallaf atau ditinggalkan, sehingga tidak mendapat pahala dan tidak berdosa bagi yang melakukan atau meninggalkannya.[28]

b)     Pembagian Mubah
Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi mubah kepada tiga macam:[29]
ü  Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misal: makan dan minum adalah sesuatu yang mubah, namum berfungsi untuk mengantarkan seseorang sampai iamampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti shalat dan berusaha mencari rezeki.
ü  Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya, bermain dan mendengar nyanyian hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekalisekali, tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengar nyanyian.
ü  Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya, membeli perabotan rumah untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang hukumnya adalah mubah, dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan menggunakan sesuatu yang dilarang.

C.    Hukum Wadh’I
1.      Pengertian
Adalah firman Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halangan dari suatu ketetapan hukum taklifi. Oleh karena itu, hukum wadh’I sangat berhubungan dengan hukum taklifi baik dalam hukum sebab (sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab) suatu hukum taklifi, atau dalam bentuk syarat (syarth), sehingga dimungkinkan berlakunya (masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun dalam bentuk halangan (mani’), sehingga suatu hukum taklifi menjadi tidak terlaksana (mamnu’). Disamping itu ada pembahasan hukum wadh’I yang berkaitan dengan ‘azimah (hukum yang berlaku umum dan keadaan normal) dan rukhsah (keringanan), ash-shihhah (sah) dan al-buthlan (batal).[30]

2.      PembagianHukum Wadh’i
1)      Sebab
a)      Pengertian Sebab
Secara etimologi berarti “sesuatu yang dapat menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut pendapat Ulama Ushul Fiqh seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan sebab yaitu:
“Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum”.
Misalnya, perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembimbingnya, dan adanya tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.
b)     Pembagian Sebab
Para ulama membagi sebab kepada dua bagian yaitu, sebab hukum yang merupakan perbuatan mukallaf, dan sebab hukum yang bukan perbuatan mukallaf.[31]
ü  Sebab hukum yang merupakan perbuatan mukallaf
Sabab yang merupakan perbuatan mukallaf yaitu sebagai pengenal/penanda adanya musabbab/akibat dalam bntuk hukum syara’. Contohnya: melakukan tindak pidana pembunuhan yang disengaja merupakan sebab hukum yang menimbulkan akibat hukum, yaitu hukum qishash bagi pelakunya.
ü  Sebab hukum yang bukan perbuatan mukallaf
Sabab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf yaitu sesuatu yang Syari’ menjadikannya sebagai penanda/pengenal adanya hukum syara’, dalam bentuk sabab, sedangkan ia bukan merupakan perbuatan mukallaf. Contoh: Melihat hilal Ramadhan dan hilal Syawal, sebagai tanda/pengenal wajibnya melaksanakan puasa Ramadhan dan berakhirnya bulan Ramadhan.
2)      Asy-Syarth (Syarat)
a)      Pengertian Syarath
Dari segi etimologi, syarath (syarat) yaitu sesuatu yang diperlukan untuk adanya sesuatu yang lain. Sebagai contoh: wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan bagian dari pelaksanaan shalat.[32]
b)     Pembagian Syarath
ü  Syarath Asy-Syar’iyyah
Yaitu syarath yang datang langsung dari syariat sendiri. Seperti, keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelajaan sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim yang dijadikan oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya. Sebagaimana dalam Firman Allah QS.An-Nisa’:6.
ü  Syarath al-ja’liyyah
Syarath Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri. Misalnya, seorang suami yang mengaitkan kejatuhan talaknya dengan suatu syarat, dengan mengatakan istrinya: “Jika engkau mengulangi perkataan dusta itu, maka talakmu jatuh satu”.
3)      Mani’
a)      Pengertian Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara Terminologi Menurut Abdul Karim Zaidan, kata Mani’ ialah: “Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab”.Misalnya, akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab bagi waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya sendiri.
b)     Pembagian Mani’
Para ahli Ushul Fiqh membagi Mani’ kepada dua macam:
ü  Mani’ al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat bagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani’ (penghalang) bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu haid.
ü  Mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunya akibat hukum. Misalnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun, jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari suatu nisab, maka dalam kajian ini fikih keadaan berhutang menjadi mani’ (penghalang) bagi wajib zakat pada harta yang dimilikinya itu.
4)      Al-Azimah dan Ar-Rukhshah
a)      Pengertian Al-Azimah dan Ar-Rukhshah
Adapun yang dimaksud dengan al-azimahialah:
ما شرع إبتداء على وجه العموم
“Suatu ketentuan syara’ yang sejak semula ditetapkan sebagai ketentuan yang berlaku secara umum”.
Adapun yang dimaksud dengan ar-rukhshahialah:
ما شرع من الاحكام للتخفيف عن العباد في أحوال خاصة
“Hukum-hukum yang disyariatkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam keadaan tertentu”.
b)     Pembagian Ar-Rukhshah
Ditinjau dari segi bentuk hukum yang berlaku umum, rukhshah dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut:
1.      Ar-rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menurut ketentuan syariat yang umum diharamkan, karena darurat atau hajah. Misalnya, diperbolehkannya mengucapkan kalimat kufur dalam keadaan terpaksa sebagaimana ditegaskan QS An-Nahl:106.
2.      Ar-rukhshah untuk meninggalkan perbuatan yang menurut aturan syariat yang umum diwajibkan, karena kesulitan melaksanakannya. Misalnya, berdasarkan ketentuan umum, puasa Ramadhan adalah wajib, berdasarkan surah QS. Al-Baqarah: 183. Akan tetapi, karena keadaan sakit atau berpergian, sehingga menimbulkan kesulitan jika dikerjakan, maka boleh tidak berpuasa. Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 184.
Ditinjau dari segi bentuk rukhshah-nya sendiri dapat dibagi kepada limamacam sebagai berikut:
1.      Rukhshah yang berbentuk menggugurkan kewajiban. Misalnya, dalam keadaan kesulitan diperbolehkan meninggalkan kewajiban jihad seperti: karena buta, pincang, dan sakit. Begitupula boleh tidak melakukan haji, umrah dan shalat jum’at apabila sedang sakit.
2.      Rukhshah yang berbentuk pengurangan kewajiban. Misalnya, menurut jumhur ulama, meng-qashar shalat yang empat raka’at menjadi dua rakaat ketika musafir, merupakan rukhshah.
3.      Rukhshah yang berbentuk penggantian kewajiban. Misalnya, mengganti kewajiban berwudhu dengan tayamum karena kesulitan menggunakan air untuk wudhu’, baik karena ketiadaan air maupun karena sakit, baik pada waktu mukim maupun musafir.
4.      Rukhshah yang berbentuk pengunduran waktu pelaksanaan kewajiban. Misalnya, penangguhan pelaksanaan puasa Ramadhan pada hari-hari lain di luar bulan Ramadhan, karena sakit atau musafir.
5.      Rukhshah yang berbentuk perubahan tatacara pelaksanaan kewajiban. Misalnya, perubahan tatacara shalat yang biasa menjadi tatacara shalat khauf, karena kesulitan dan dalam suasana perang.
5)      Ashihhah, al-Buthlan dan al-Fasad
a)      Pengertian Ashihhah, al-Buthlan
Yang dimaksud dengan ash-shihah ialah, sesuatu perbuatan yang telah memiliki sebab, memenuhi berbagai rukun dan persyaratan syara’ dan tidak terdapat Mani’ padanya. Yang dimaksudkan ialah perbuatan itu sah apabila terpenuhinya semua kriteria yang dituntut dari suatu perbuatan yang disyariatkan, baik dalam bidang ibadah maupun muamalah.
Adapun yang dimaksud dengan al-buthlan (batal), kebalikan dari pengertiannya sah, yaitu suatu perbuatan yang tidak memenuhi semua kriteria yang dituntut oleh syara’. Dengan kata lain, jika salah satu persyaratan atau rukun dari suatu perbutan yang disyariatkan tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut disebut batal.
Sebagai contoh, dalam bidang ibadah, shalat disebut sah apabila seorang mukallaf melakukan perbuatan shalat yang telah memenuhi semua rukun dan syarat-syaratnya dan tidak terdapat mani-nya. Begitu sebaliknya, jika salah satu rukun atau syarat shalat tidak terpenuhi, atau adanya mani’ yang menghalangi keabsahan shalat tersebut, maka perbuatan shalat tersebut disebut batal.

D.    Mahkum fih
Mahkum Fih merupakan sebuah istilah penyebutan untuk obyek atau peristiwa, atau suatu pekerjaan yang di lakukan oleh seorang mukallaf yang senantiasa memiliki keterkaitan terhadap hukum syara’, perbuatan ini dapat berupa tuntutan, anjuran, larangan atau di hadapkan pada pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu pekerjaan yang diikuti dengan syarat.[33]
Para ulama sepakat bahwasannya segala sesuatu yang dilakukan oleh mukallaf merupakan obyek dari hukum syara’, seperti contoh:
a.       Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah : 43
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.
 Ayat di atas jelas merupakan perbuatan orang mukallaf, yaitu kewajiban mengerjakan sholat dan kewajiban menunaikan zakat.
b.      Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am : 151
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ 
Artinya:
Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
Di dalam ayat tersebut jelas terdapat laragan bagi orang mukallaf,yaitu dilarang membunuh seseorang tanpa sebab yang jelas, karena membunuh tanpa sebab itu haram hukumnya.
c.       Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah : 5-6
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ 
Artinya:
Apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku.
Dari kutipan ayat di atas jelas dapat kita ketahui bahwa wudlu adalah perbuatan orang mukallaf, dan wudlu termasuk dalam salah satu syarat sah nya sholat.
d.      Rasulullah SAW bersabda:
الْقَاتِلُ لَا يَرِثُ
Artinya:
Pembunuh tidak dapat mewarisi (H.R. Abu Dawud, Imam Malik, dan Imam Ahmad Ibn Hambal)
Dari hadits di atas dapat di simpulkan bahwa membunuh adalah perbuatan seorang mukallaf yang dapat menghalangi untuk menjadi seorang pewaris. Kemudian dari semua penjelasan yang ada di atas yang menjadi bahasan pokok di dalam bab ini adalah obyek dari mukallaf atau perbuatan mukallaf sebagai sasaran hukum syara’.[34]
2. Syarat-syarat Mahkum Fih.
Syarat-syarat mahkum fih oleh ulama ushul dibagi menjadi tiga, antara lain:
a.       Mukallaf mengetahui dan memahami tentang perbuatan yang akan di lakukannya.
b.      Mukallaf mengetahui dan memahami sumber taklif yang akan iya jalankan.
c.       Mukallaf mengetahui dan memahami perbuatan yang akan dilakukan atau yang akan di tinggalkan di sebabkan oleh syarat-syarat yang di sahkan oleh syara’.
Dari syarat-syarat di atas terdapat suatu bentuk hukum yakni dapat di tinggalkan atau di kerjakan di karenakan mukallaf tidak sanggup untuk melakukanya yaitu:
a.       Orang yang sedang hilang ingatan.
b.      Mukallaf yang belum mengetahui suatu hukum mengenai perbuatan tersebut.
c.       Terdapat suatu sebab yang menghalangi mukallaf.
E.     Mahkum Alaih
Mahkum alaih adalah suatu istilah yang di gunakan untuk menyebut tempat berlakunya hukum Allah atas suatu perbuatan, yaitu manusia itu sendiri yang lebih rinci disebut mukallaf.
Syarat-syarat menerima beban tidak semua manusia dewasa dapat menerima beban tuntutan hukum syara’ secara sempurna dalam menginterpretasikannya. [35]
Mukallaf dapat memahami dan mengetahui khitab pembebanan suatu perbuatan terhadap mukallaf.
Berakal, yaitu seorang mukallaf memiliki dan dapat memfungsikan akalnya dengan baik dan benar.
Seorang mukallaf mampu untuk menerima suatu tuntutan bekan hukum dari syarah dalam hal ini ulama ushul membaginya menjadi 3:
Ahli al wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban) yaitu adalah kemampuan manusia dari berbagai umur dan kalangan untuk menerima hak dan kewajiban. Ahliah alwujub dibagi menjadi dua bagian.[36]
Ahliah alwujub, kemampuan menerima hak dan kewajiban dengan sempurna. Kemampuan ini dimiliki oleh semua kalangan manusia dari lahir hingga wafat.
Ahliah alwujub ghairu tamm,yaitu adalah kemampuan menerima hak dan kewajiban yang tidak sempurna yakni hanya menerima hak sedangkan tidak menerima kewajiban. Contohnya adalah janin dalam kandungan ibu.
Ahliahal ada’, yaitu adalah kemampuan seseorang untuk berbuat benar menurut syara’, baik dari ibadah, muamalah, jinayat, dan lain sebagainya. Di bidang ibadah seperti sholat, puasa, zakat. Di bidang muamalah seperti transaksi jual beli. Di bidang jinayat seperti melakukan tindakan kriminal terhadap benda atau jiwa yang akan berkonsekuensi terhadap tindakan hukum.
Tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat. Yang termasuk dalam kategori nomor tiga ini adalah anak-anak dan orang gila, karena segala kata-kata dan perbuatan mereka tidak bisa mengakibatkan tindakan hukum. Seandaikan merka berbuat sesuatu yang menyalahi hukum merka tidak dapat di kenai tindakan pidana, hanya pidana ganti rugi.
F.     Penutup
Dari pembahasan yang sudah dibahas dapat disimpulkan Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau disuru memilih antara melakukan atau meninggalkannya. hukum wadh’I ialah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai seatu sebab adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai sesuatu yang lain. Yang dimaksud dengan mahkum fih ialah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’. Sedangkan yang dimaksud dengan mahkum alaih ialah mukallaf yang mendapatkan khitab dari Allah dimana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat.






DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 2003. Fiqh & Ushul Fiqh. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada).
Dahlan, Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. (Jakarta: AMZAH).
Djalil,A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. (Jakarta: Kencana).
Djazuli, A. 2015. Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kencana).
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. (Jakarta: Prenada Media).
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu).
Khallaf, Abdul Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fikih. (Jakarta: PT Rineka Cipta).
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: CV. Pustaka Setia).
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana).
Tharaba, M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’. (Malang: CV. Dream Litera Buana).
Yusuf, Nasruddin. 2012. Pengantar Ilmu Ushul Fikih. (Malang: UM PRESS).

Catatan:
1. Similarity 24%.
2. Pengiriman makalah ini TELAT
3. Abstrak seharusnya Cuma satu paragraf
4. Jika ada pengulangan footnote, jangan ditulise semua keterangannya
5. Gelar dihilangkan dalam tulisan ilmiah
6. Daftar pustaka tolong diperbaiki, cara penulisannya salah.














[1]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 32
[2] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm. 6
[3] Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 154
[4] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm.42
[5]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 45
[6] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm.44
[7]Ibid, hlm. 44
[8] Ibid, hlm. 46
[9]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 50           
[10] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm. 12
[11]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 50
[12] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 48
[13] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm. 12
[14]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 50
[15] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm. 10
[16] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 48
[17]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 48
[18] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm. 10
[19] Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 161
[20] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 52
[21] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm. 14
[22] Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 163
[23] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 53
[24] Ibid, hlm. 55
[25]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 64
[26] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 59
[27] Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 167
[28] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm. 16
[29] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 61
[30]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 67
[31]Ibid, hlm. 69
[32]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 70
[33] Drs.Rachmat Syafe’i, M.A.,ILMU USHUL FIQIH, (Bandung: CV. PUSTAKA SETIA), hal, 317
[34] Ibid,. hal 319
[35] Dr. H. Moh. Padil, M.Pd.I., Dr. M. Fahim Tharaba, M.Pd., USHUL FIQH, (Malang: MADANI, 2017). Hal 147
[36] Ibid., hal 148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar