Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’I, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih
Oleh: Sharvina
Salsabilla (16110056)
dan M. Afif Izzuddin (16110044)
Mahasiswa PAI-B
Semester 6 UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
The law that was revealed by Allah SWT to us, is nothing but for our benefit both in the world and in the hereafter. We can get that salvation if we are willing to obey God's laws consequently. If we pay close attention, then the laws of God that we must obey are those that are strict orders, namely the demands to be done by us explicitly and surely which are called compulsory laws such as prayer and fasting.
There are times when the order is not explicit, namely the demand to be done, but its nature does not have to be and must be like a sunnah prayer. There are times when the request is in the form of a demand to abandon the work for certain which is called haram such as adultery. And there are times when the order is in the form of a demand to leave the job without meaning, meaning that it doesn't have to be abandoned, but leaving it is considered better, such as eating jengkol and banana. And there are times when God's commands are optional, meaning someone is given the freedom to choose between doing or leaving like eating and drinking. For more details, let us see the following discussion associated with hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum fih dan mahkum alaih.
Keywords: hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum fih dan mahkum alaih
Abstrak
Hukum yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
kita, tidak lain kecuali untuk kemaslahatan kita baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Keselamatan tersebut akan dapat kita
peroleh jika kita mau mentaati hukum-hukum Allah secara konsekuen. Jika kita
perhatikan secara cermat, maka hukum-hukum Allah itu yang harus kita taati ada
yang bersifat perintah tegas, yaitu tuntutan untuk dikerjakan oleh kita secara
tegas dan pasti yang disebut dengan hukum wajib seperti solat dan puasa.
Ada kalanya perintah itu bersifat tidak tegas yaitu tuntutan untuk
dikerjakan tapi sifatnya tidak harus dan mesti seperti sholat sunnah. Ada
kalanya perinta itu berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan secara pasti
yang disebut dengan haram seperti berzinah. Dan ada kalanya perintah itu berupa
tuntutan untuk meniggalkan pekerjaan itu secara tidak paasti artinya tidak
harus ditinggalkan tapi meninggalkannya dipandang lebih baik seperti makan
jengkol dan pete. Dan ada kalanya perintah Allah itu bersifat pilihan artinya
seseorang diberikan keleluasaan untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan seperti makan dan minum. Untuk lebih jelasnya marilah kita lihat
pembahasan berkaitan dengan hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum fih dan mahkum
alaih.
Kata Kunci: hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum fih dan mahkum alaih
A.
Pendahuluan
Pada dasarnya, hukum syara’ merupakan salah
satu tujan utama dari pembahasan ilmu ushul fiqh. Dan dapat hukum syara’ pun
dapat pula dikatakan sebagai tujuan akhir dari ilmu ushul fiqh untuk menemukan
dan menetapkan hukum syara’ yang disebut dengan hukum fiqh.
Ushul fiqh merupakan ilmu yang berisi
dasar-dasar dan cara-cara metodologi untuk menetapkan hukum syara’/hukum fiqh
dan ushul fiqh ini sebagai alat untuk menemukan hukum syara’. Namun, tentu saja
yang dimaksudkan dalam ilmu ushul fiqh adalah keseluruhan bagian dari ilmu
ushul fqh itu sendiri, sehingga kita tidak mungkin dapat langsung menemukan dan
menetapkan hukum-hukum syara’/fiqh hanya dengan mempelajari dan menguasai
pembahasan hukum syara’ tanpa mempelajari dan menguasai keseluruhan bagian dari
ilmu ushul fiqh, seperti pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil hukum,
metode ijtihad, dan lain-lain. Pembicaraan tentang
hukum syara’ membahas tentang hakim (perbuatan manusia), al-mahkum
fih (perbuatan manusia), al-mahkum ‘alaih (subjek hukum/mukalaf).[1]
B.
Hukum
Taklifi
1.
Pengertian
Hukum Taklifi adalah suatu tuntutan yang mengandung perintah, larangan,
atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf untuk berbuat atau menahan dari
melakukannyaatau memilih antara melakukan dengan tidak melakukannya.Jadi
manusia dituntut melaksanakan apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang
dilarang dan diperbolehkan mengerjakan sesuatu atau tidak melakukan apapun.[2]
Contoh hukum
yang menghendaki dilakukannya perbuatan oleh mukallaf ialah firman Allah SWT
QS. Al-Baqarah ayat 43:
Sedangkan contoh lain yang menuntut meninggalkannya ialah firman
Allah SWT QS. An-Nisa’ ayat 43:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu sholat
sedang kamu dalam keadaaan mabuk.”
Sedangkan hukum yang menghendaki yang bersifat memilih
(fakultatif):[3]
2.
Pembagian
Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut pandangan ulama dapat dilihat sebagai dalil
hukum dapat dibagi menjadi 5 bentuk menurut jumhur ulama.[4]
(1)
Ijab (mewajibkan) atau Wajib, yaitu ayat atau hadis yang diperintah
untuk melakukan suatu perbuatan. Hasil dari ijab dinamakan wujud dan pekerjaan
yang dikenai hukum wujub yang disebut wajib. Karena tuntutan ini bersifat tidak
mesti dilakukan, maka mukallaf yang melaksanakan perintah tersebut berhak
mendapat imbalan berupa pahala dan balasan surga karena ketaatannya. Namun,
sebaliknya apabila kita meninggalkannya akan mendapat dosa dan ancaman siksa
api neraka karena kedurhakaannya. Misalnya, perintah untuk melakukan shalat dan
menunaikan zakat.
(2)
Nadb(anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan
untuk melakukan suatu perbuatan. Tuntuntan ini merupakan suatu perbuatan yang
tidak tegas dan pasti.yang biasa disebut dengan nadab, sedangkan pekerjaan yang
dikenai hukum nadab biasa disebut dengan mandub. Apabila suatu perbuatan
ini dilakukan maka akan mendapatkan pahala, namun karena tuntutan ini tidak
dipertegas maka bagi yang tidak melaksanakannya tidak mendapatkan dosa.
Seperti; membuang duri di jalan agar orang tidak terluka.
(3)
Tahrim
(melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti untuk
melakukan suatu perbuatan. Tuntutan ini berisi larangan dan harus ditinggalkan.
Pengaruhnya terhadap perbuatan yang dilarang disebut hurmah dan
pekerjaan yang dikenai hukum hurmah disebut dengan haramun atau haram. Orang
yang meninggalkan perbuatan ini akan mendapat pahala, begitupun sebaliknya
apabila melakukannya akan mendapat dosa. Contohnya seperti; mencuri dan
berzina.
(4)
Karahah,
yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu
perbuatan. Sedangkan pekerjaan yang dikenainya maka disebut dengan makruh. Bagi
seseorang yang meninggalkan perbuatan ini maka akan mendapat pahala dan apabila
dilakukan tidak mendapat dosa. Misalnya seperti; memakan makanan yang berbau di
tempat umum.
(5)
Ibahahyaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk
melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dikenai ini disebut
dengan mubah. Perbuatan ini tidak ada pahala atau dosa bagi yang melakukan atau
meninggalkannya. Seperti contoh dalam makan dan minum adalah perbuatan yang
mubah. Akan tetapi jika seseorang melakukannya dengan niat agar perbuatan makan
dan minum itu dapat menambah kekuatan kita untuk melakukan ibadah dengan taat
kepada Allah, maka perbuatan itu akan mendapat pahala. Begitu pula sebaliknya,
jika perbuatan itu diniatkan untuk melanggar larangan Allah, maka perbuatan
yang semula mubah akan mendapat dosa dan ancaman siksa neraka.
Penjelasan terperincinya berkaitan dengan hukum-hukum taklifi
diatas akan diuraikan secara berurutan, mulai dari hukum wajib, mandub, haram,
makruh, dan mubah sebagai berikut di bawah ini.
1)
Wajib
a)
Pengertian
Wajib
Secara
etimologi kata wajib ini yaitu tetap. Sedangkan secara terminologi yaitu:[5]
الفعل المطلوب على وجه اللزوم بحيث يثاب فاعله ويعاقب تاركه
“Perbuatan yang dituntut Allah untuk dilaksanakan oleh mukallaf
dengan sifat mesti (tidak boleh tidak) dilakukan, yang jika perbuatan itu
dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala, dan jika ditinggalkan, maka ia
dikenakan dosa.”
Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa wajib merupakan suatu yang harus dilakukan.
Jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika tidak dilaksanakan akan
mendapatkan dosa. Perbuatan ini bersifat pasti untuk dilakukan (wajib) dari
bentuk perintah, atau dengan adanya qarinah (indikasi) yang ada dalam
suatu redaksi, misalnya; diwajibkannya shalat fardhu lima waktu dalam satu hari
satu malam dalam arti disini yaitu harus dilaksanakan, apabila meninggalkan
akan mendapat dosa. Hukum wajib ini terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Ankabut
ayat 45:[6]
“Bacalah
apa-apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur’an), dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (QS.
Al-Ankabut: 45).
b)
Pembagian
Wajib
Dari segi orang yang dibebani kewajiban Hukum WajIb dapat dibagi
kepada dua macam, yaitu wajib‘ainy dan wajib kifa’i.
ü Wajib ‘Aini
Adalah kewajiban yang dibebankan oleh setiap orang yang sudah balig
(berakal) tanpa terkecuali. Kewajiban ini tidak bisa diwakilkan oleh orang
lain. Seperti: Melakukan shalat lima waktu sehari semalam, Menunaikan ibadah
puasa dan haji bagi yang mampu.[7]
ü Wajib Kifa’i
Adalah kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf, namun
apabila sudah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam maka kewajiban itu sudah
dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak wajib
untuk mengerjakannya. Seperti : Dalam pelaksanaan shalat jenazah, umat muslim
itu diwajibkan untuk menyolati jenazah, namun terkait dengan pelaksanaannya
sudah dianggap cukup bilamana dilaksanakan oleh sebagian anggota masyarakat.
Namun, apabila tidak adap seorang pun yang mengerjakannya maka seluruh umat
Islam akan mendapatkan dosa.[8]
Dari segi kandungan
perintah, Hukum Wajib dapat dibagi kepada dua macam:
ü Wajib Muayyan
Yang dimaksud dengan al-wajib al-muayyan (kewajiban tertentu)
ialah:[9]
ما طلب الشارع فعله واحدا بعينه
“Suatu
kewajiban yang Asy-Syari’ memerintahkan untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu”.
Suatu kewajiban yang dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu
tanpa ada pilihan lain. Wajib muayyan ini merupakan suatu kewajiban yang telah
ditentukan bentuknya dan tidak dapat dilakukan kecuali itu, tanpa pilihan lain.
Contohnya: Shalat wajib dilakukan dalam bentuk khusus dan tidak ada bentuk lain
dari itu dan tidak pula digantikan dengan kewajiban yang lain.[10]
ü Wajib Mukhayyar
Adapun yang dimaksud dengan wajib al-mukhayyar ialah:[11]
ما طلب الشارع
واحدا من أمور معينة
“Suatu
kewajiban yang asy-syari’ memerintahkan untuk melakukan salah satu dari
beberapa perbuatan tertentu.”
Suatu kewajiban yang dapat dipilih satu diantara beberapa kewajiban
yang ditetapkan, apabila ia sudah melakukan kewajiban tersebut maka ia tidak
perlu melakukan kewajiban yang lainnya. Contohnya: Kewajiban membayar kafarat
(denda melanggar sumpah). Dalam surat Al-Maidah ayat 89 Allah berfirman:[12]
“Allah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi pakaina kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa
yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya berpuasa selama
tiga hari”. (QS. A-Maidah:89).
Dalam ayat di
atas membahas kewajiban membayar kafarat. Apabila seseorang melakukan sumpah
tersebut, kemudian ia melanggar sumpahnya, ia wajib membayar kafarat sumpahnya
dengan cara memilih satu diantara yang ditetapkan: memberi makan 10 orang
miskin atau memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian untuk 10 orang
miskin atau memerdekakan hamba sahaya.[13]
Dari segi waktu
pelaksanaannya, Hukum Wajib terbagi kepada dua macam:
ü Wajib Mutlak
مالم يقيده
الشارع فعله بوقت محدد
“Suatu kewajiban yang asy-Syari’ tidak
mengaitkan pelaksanannya dengan waktu tertentu”.[14]
Wajib mutlaq
merupakan kewajiban yang waktu pelaksanaannya tidak ditentukan, dengan arti
seseorang yang dituntut untuk berbuat dapat melakukannya dalam waktu kapan saja
selagi ia masih hidup. Contoh: Membayar nazar yang tidak ada batasan waktu
pelaksanaannya.[15]
Menurut Abu
Hanifah, puasa yang tertinggal boleh dibayar kapanpun tanpa ada batasan waktu
tertentu. Namun berbeda dengan pendapat menurut Imam Syafi’i tentang kewajiban
membayar puasa yang tertinggal itu harus dibayar sebelum bulan Ramadhan berikutnya.[16]
ü Wajib Muaqqat
مالم قيده
الشارع فعله بوقت محدد
“Suatu kewajiban yang Syari’ mengaitkan pelaksanaannya dengan waktu
tertentu”.[17]
Wajib muwaqqat merupakan kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi
dalam waktu tertentu, dengan arti tidak boleh dilakukan dilain waktu yang
ditentukan. Dari segi batas waktu, wajib muwaqqat terbagi menjadi 3 yang
terdiri dari:[18]
a)
Wajib
muwassa’ yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya dapat dilakukan untuk
melakukan perbuatan yang lain. Misalnya; Waktu yang disediakan untuk sholat
dhuhur sekitar 3 jam, sedangkan shalat dhuhur itu sendiri sekitar 15 menit.
Sisa waktu lainnya bisa dipergunakan untuk melaksanakan shlat-shalat Sunnah
lainnya.
b)
Wajib
mudhayyaq yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya terbatas sehingga tidak
dapat dimasuki oleh kewajiban lain. Karena waktu pelaksanaan kewajiban yang
tersedia sama dengan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan kewajiban itu
sendiri, maka dari itu suatu kewajiban tidak dapat dilakukan diluar waktunya.
Misalnya; waktu pelaksanaan bulan Ramadhan; tidak dapat dilakukan di luar bulan
puasa Ramadhan dan pada bulan Ramadhan itu sendiri tidak dapat dilaksanakan
puasa-puasa lainnya.
c)
Wajib
zu syabhain yaitu mempunyai dua bentuk muwassa’(luas) dan mudhayyaq (sempit),
ditinjau dari pelaksanaan waktu pelaksanaan nya. Misalnya: dalam pelaksanaan
ibadah haji itu sendiri hanya memerlukan waktu beberapa hari yang waktunya
biasa disebut dengan muwassa’, karena bulan haji ada beberapa bulan dalam setahun.
Namun, apabila ditinjau dari segi bahwa ibadah haji dapat dilakukan sekali
dalam seahun, maka wakunya disebut dengan mudhayyaq.
2)
Mandub
a)
Pengertian
Mandub
Mandub ialah:[19]
المندوب: هو طلب الشارع فعله من المكلف طلبا غير
حتم
“Mandub
adalah sesuatu yang dituntut syara’ (agama) memperbuatnya kepada orang mukallaf
dengan tuntutan yang tidak mesti”.
Menurut Abdul Karim Zaidan, mandub adalah suatu perbuatan yang
dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, apabila dikerjakan ia akan mendapat pahala
dan apabila ditinggalkan tidak akan mendapat dosa. Makna ini sama dengan
pengertian sunnah yang sudah dijelaskan sebelumnya.[20]
b)
Pembagian
Mandub
Dilihat dari segi yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh Nabi,
Mandub dibagi menjadi 2:
ü Sunnah Muakkadah
Yaitu perbuatan
yang dianjurkan untuk dilakukan karena perbuatan yang biasa dilakukan oleh
Rasulullah dan jarang ditinggalkan. Contoh: Melakukan shalat witir di malam
hari.
ü Sunnah ghairu muakkadah
Yaitu perbuatan
yang pernah dilakukan oleh Nabi, namun Nabi tidak dilakukan dalam
kesehariannya. Contoh: Melakukan shalat Sunnah empat rakaat sebelum Dhuhur.[21]
Dilihat dari segi kemungkinan
meninggalkan perbuatan nadab, Sunnah itu dibagi menjadi 3:
ü Sunnah Hadyi
Adalah
perbuatan yang dianjurkan karena manfaatnya sangat besar, sehingga orang yang
meninggalkannya patut dicela. Contoh : Shalat Berjamaah.
ü Sunnah Zaidah
Adalah
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang melakukannya akan mendapat pahala
dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Contoh: Perbuatan sehari-hari
yang dilakukan oleh Nabi, seperti etika makan.
ü Sunnah Nafal
Adalah
perbuatan yang dituntut mengerjakan sebagai tambahan dalam perbuatan wajib.
Contoh: Shalat dua rakaat mengiringi shalat wajib
3)
Haram
a)
Pengertian
Haram
هو ما طلب الشارع الكف عن فعله طلبا حتم
“Haram adalah sesuatu yang dituntut oleh
syara’ untuk tidak mengerjakannya dengan tuntutan yang mesti”.[22]
Secara terminologi Ushul Fiqh kata haram berarti sesuatu yang
dilarang oleh Allah SWT, apabila kita melanggarnya dianggap durhaka dan diancam
dosa. Namun apabila meninggalkannya berarti kita menaati Allah dan akan
mendapat pahala.[23]
Contoh larangan berzina dalam firman Allah dalam Surah Al-Isra’: 32 dan
Larangan mencuri dalam surat Al-Maidah: 38.
b)
Pembagian
Haram
Para ulama Ushul Fiqh, antara lain
Abdul Karim Zaidan, membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:[24]
ü Al-Muharram li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat
karena mengandung kemudharatan tidak akan terpisahkan dari zatnya. Contoh:
Larangan Berzina dalam Surat Al-Isra’:32 dan larangan menikahi wanita-wanita
mahram dalam Surat An-Nisa’:23
ü Al-Muharram li Ghairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena
tidak mengandung kemudharatan, namun dalam kondisi tertentu sesuatu itu
dilarang karena ada pertimbangan yang akan membawa kepada sesuatu yang
dilarang. Contoh: Larangan melakukan jual beli pada waktu adzan shalat jum’at
dalam QS. Al-Jumuah:9.
4)
Makruh
a)
Pengertian
Makruh
Dari segi etimologi, makruh berarti yang dibenci. Sedangkan dari
segi terminologi ialah suatu perbuatan yang asy-Syari’ menuntut mukallaf untuk
meninggalkan perbuatan tersebut secara tidak mesti (menganjurkan untuk
meninggalkannya), namun apabila mukallaf menjauhi larangan itu karena patuh
kepada Allah, ia akan mendapatkan pahala dan jika ia melanggar maka ia tidak
dikenai dosa dan ancaman siksa.[25]
b)
Pembagian
Makruh
Menurut
kalangan Hanafiyah, makruh terbagi menjadi dua macam:
ü Makruh Tahrim, yaitu sesuatu
yang dilarang oleh syariat dan suatu perbuatan yang dituntut untuk
meninggalkannya secara tegas namun menggunkan dalil yang tidak kuat dan pasti (zanni). Contoh: Larangan meminang wanita yang
sedang dalam pinangan orang lain dan larangan membeli sesuatu yang sedang dalam
tawaran orang lain.
ü Mahkum Tanzih, yaitu sesuatu
yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Contoh: Memakan daging kuda
dan meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu perang.[26]
5)
Mubah
a)
Pengertian
Mubah
Yang dimaksud
dengan mubah yaitu:[27]
هو ما خيرالشارع المكلف بين فعله وتركه
“Sesuatu yang diberi memilih mukallaf oleh
syara’ antara berbuat atau meninggalkan”.
Yaitu suatu perbuatan yang dibiarkan oleh Allah untuk dilakukan
oleh mukallaf atau ditinggalkan, sehingga tidak mendapat pahala dan tidak
berdosa bagi yang melakukan atau meninggalkannya.[28]
b)
Pembagian
Mubah
Abu Ishaq
al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi mubah kepada tiga macam:[29]
ü Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu
hal yang wajib dilakukan. Misal: makan dan minum adalah sesuatu yang mubah,
namum berfungsi untuk mengantarkan seseorang sampai iamampu mengerjakan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti shalat dan berusaha
mencari rezeki.
ü Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan
sekali-sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya,
bermain dan mendengar nyanyian hukumnya adalah mubah bila dilakukan
sekalisekali, tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan
mendengar nyanyian.
ü Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai
sesuatu yang mubah pula. Misalnya, membeli perabotan rumah untuk kepentingan
kesenangan. Hidup senang hukumnya adalah mubah, dan untuk mencapai kesenangan
itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat
mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan
menggunakan sesuatu yang dilarang.
C.
Hukum
Wadh’I
1.
Pengertian
Adalah firman Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halangan dari suatu ketetapan hukum
taklifi. Oleh karena itu, hukum wadh’I sangat berhubungan dengan hukum taklifi
baik dalam hukum sebab (sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab)
suatu hukum taklifi, atau dalam bentuk syarat (syarth), sehingga
dimungkinkan berlakunya (masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun dalam
bentuk halangan (mani’), sehingga suatu hukum taklifi menjadi tidak
terlaksana (mamnu’). Disamping itu ada pembahasan hukum wadh’I yang
berkaitan dengan ‘azimah (hukum yang berlaku umum dan keadaan normal)
dan rukhsah (keringanan), ash-shihhah (sah) dan al-buthlan
(batal).[30]
2.
PembagianHukum Wadh’i
1)
Sebab
a)
Pengertian
Sebab
Secara etimologi berarti “sesuatu yang dapat menyampaikan seseorang
kepada sesuatu yang lain”. Menurut pendapat Ulama Ushul Fiqh seperti yang
dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan sebab yaitu:
“Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum,
dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum”.
Misalnya, perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan
hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada
pembimbingnya, dan adanya tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban
mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.
b) Pembagian Sebab
Para ulama membagi sebab kepada dua bagian yaitu,
sebab hukum yang merupakan perbuatan mukallaf, dan sebab hukum
yang bukan perbuatan mukallaf.[31]
ü Sebab hukum yang merupakan perbuatan mukallaf
Sabab yang merupakan
perbuatan mukallaf yaitu sebagai pengenal/penanda adanya musabbab/akibat
dalam bntuk hukum syara’. Contohnya: melakukan tindak pidana pembunuhan yang
disengaja merupakan sebab hukum yang menimbulkan akibat hukum, yaitu hukum qishash
bagi pelakunya.
ü Sebab hukum yang bukan perbuatan mukallaf
Sabab yang bukan
merupakan perbuatan mukallaf yaitu sesuatu yang Syari’ menjadikannya sebagai
penanda/pengenal adanya hukum syara’, dalam bentuk sabab, sedangkan ia
bukan merupakan perbuatan mukallaf. Contoh: Melihat hilal Ramadhan dan hilal Syawal,
sebagai tanda/pengenal wajibnya melaksanakan puasa Ramadhan dan berakhirnya
bulan Ramadhan.
2)
Asy-Syarth
(Syarat)
a)
Pengertian
Syarath
Dari segi etimologi, syarath (syarat) yaitu sesuatu yang
diperlukan untuk adanya sesuatu yang lain. Sebagai contoh: wudhu adalah sebagai
syarat bagi sahnya shalat tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan
wudhu itu sendiri bukan bagian dari pelaksanaan shalat.[32]
b)
Pembagian
Syarath
ü Syarath Asy-Syar’iyyah
Yaitu syarath yang datang langsung dari syariat sendiri. Seperti,
keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelajaan sehingga tidak
menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim yang dijadikan oleh syariat sebagai
syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya. Sebagaimana dalam
Firman Allah QS.An-Nisa’:6.
ü Syarath al-ja’liyyah
Syarath Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf
itu sendiri. Misalnya, seorang suami yang mengaitkan kejatuhan talaknya dengan
suatu syarat, dengan mengatakan istrinya: “Jika engkau mengulangi perkataan
dusta itu, maka talakmu jatuh satu”.
3)
Mani’
a)
Pengertian
Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”.
Secara Terminologi Menurut Abdul Karim Zaidan, kata Mani’ ialah: “Sesuatu
yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang
bagi berfungsinya suatu sebab”.Misalnya, akad perkawinan yang sah karena
telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab bagi waris mewarisi.
Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang disebabkan suami misalnya
telah membunuh istrinya sendiri.
b)
Pembagian
Mani’
Para ahli Ushul Fiqh membagi Mani’ kepada dua macam:
ü Mani’
al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat
bagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita
ditetapkan Allah sebagai mani’ (penghalang) bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh
karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu haid.
ü Mani’
al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab
itu tidak lagi mempunya akibat hukum. Misalnya, bahwa sampainya harta minimal
satu nisab,
menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan
zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun, jika
pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu bila dibayar akan
mengurangi hartanya dari suatu nisab, maka dalam kajian ini fikih keadaan berhutang menjadi mani’ (penghalang) bagi wajib zakat pada harta
yang dimilikinya itu.
4)
Al-Azimah
dan Ar-Rukhshah
a)
Pengertian
Al-Azimah dan Ar-Rukhshah
Adapun yang
dimaksud dengan al-azimahialah:
ما شرع إبتداء على وجه العموم
“Suatu ketentuan syara’ yang sejak semula
ditetapkan sebagai ketentuan yang berlaku secara umum”.
Adapun yang dimaksud dengan ar-rukhshahialah:
ما شرع من الاحكام للتخفيف عن العباد في أحوال خاصة
“Hukum-hukum yang disyariatkan untuk keringanan bagi mukallaf
dalam keadaan tertentu”.
b)
Pembagian
Ar-Rukhshah
Ditinjau dari segi bentuk hukum yang berlaku umum, rukhshah
dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut:
1.
Ar-rukhshah
untuk melakukan perbuatan yang menurut ketentuan syariat yang umum
diharamkan, karena darurat atau hajah. Misalnya, diperbolehkannya mengucapkan kalimat kufur dalam keadaan
terpaksa sebagaimana ditegaskan QS An-Nahl:106.
2.
Ar-rukhshah
untuk meninggalkan perbuatan yang menurut aturan syariat yang umum
diwajibkan, karena kesulitan melaksanakannya. Misalnya, berdasarkan ketentuan
umum, puasa Ramadhan adalah wajib, berdasarkan surah QS. Al-Baqarah: 183. Akan
tetapi, karena keadaan sakit atau berpergian, sehingga menimbulkan kesulitan
jika dikerjakan, maka boleh tidak berpuasa. Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah:
184.
Ditinjau dari segi bentuk rukhshah-nya
sendiri dapat dibagi kepada limamacam sebagai berikut:
1.
Rukhshah
yang berbentuk menggugurkan kewajiban. Misalnya, dalam keadaan
kesulitan diperbolehkan meninggalkan kewajiban jihad seperti: karena buta,
pincang, dan sakit. Begitupula boleh tidak melakukan haji, umrah dan shalat
jum’at apabila sedang sakit.
2.
Rukhshah
yang berbentuk pengurangan kewajiban. Misalnya, menurut jumhur
ulama, meng-qashar shalat yang empat raka’at menjadi dua rakaat ketika
musafir, merupakan rukhshah.
3.
Rukhshah
yang berbentuk penggantian kewajiban. Misalnya, mengganti kewajiban
berwudhu dengan tayamum karena kesulitan menggunakan air untuk wudhu’, baik
karena ketiadaan air maupun karena sakit, baik pada waktu mukim maupun musafir.
4.
Rukhshah
yang berbentuk pengunduran waktu pelaksanaan kewajiban. Misalnya,
penangguhan pelaksanaan puasa Ramadhan pada hari-hari lain di luar bulan
Ramadhan, karena sakit atau musafir.
5.
Rukhshah
yang berbentuk perubahan tatacara pelaksanaan kewajiban. Misalnya,
perubahan tatacara shalat yang biasa menjadi tatacara shalat khauf,
karena kesulitan dan dalam suasana perang.
5)
Ashihhah,
al-Buthlan dan al-Fasad
a)
Pengertian
Ashihhah, al-Buthlan
Yang dimaksud dengan ash-shihah ialah, sesuatu perbuatan
yang telah memiliki sebab, memenuhi berbagai rukun dan persyaratan syara’ dan
tidak terdapat Mani’ padanya. Yang dimaksudkan ialah perbuatan itu sah
apabila terpenuhinya semua kriteria yang dituntut dari suatu perbuatan yang
disyariatkan, baik dalam bidang ibadah maupun muamalah.
Adapun yang dimaksud dengan al-buthlan (batal), kebalikan
dari pengertiannya sah, yaitu suatu perbuatan yang tidak memenuhi semua
kriteria yang dituntut oleh syara’. Dengan kata lain, jika salah satu
persyaratan atau rukun dari suatu perbutan yang disyariatkan tidak terpenuhi,
maka perbuatan tersebut disebut batal.
Sebagai
contoh, dalam bidang ibadah, shalat disebut sah apabila seorang mukallaf
melakukan perbuatan shalat yang telah memenuhi semua rukun dan syarat-syaratnya
dan tidak terdapat mani-nya. Begitu sebaliknya, jika salah satu rukun
atau syarat shalat tidak terpenuhi, atau adanya mani’ yang menghalangi
keabsahan shalat tersebut, maka perbuatan shalat tersebut disebut batal.
D.
Mahkum
fih
Mahkum Fih merupakan sebuah istilah penyebutan
untuk obyek atau peristiwa, atau suatu pekerjaan yang di lakukan oleh seorang
mukallaf yang senantiasa memiliki keterkaitan terhadap hukum syara’, perbuatan
ini dapat berupa tuntutan, anjuran, larangan atau di hadapkan pada pilihan
untuk melakukan atau meninggalkan suatu pekerjaan yang diikuti dengan syarat.[33]
Para ulama sepakat bahwasannya segala sesuatu yang dilakukan oleh
mukallaf merupakan obyek dari hukum syara’, seperti contoh:
a.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah : 43
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.
Ayat di atas jelas merupakan perbuatan orang
mukallaf, yaitu kewajiban mengerjakan sholat dan kewajiban menunaikan zakat.
b. Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am : 151
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ
Artinya:
Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah di
haramkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
Di dalam ayat tersebut jelas terdapat laragan bagi
orang mukallaf,yaitu dilarang membunuh seseorang tanpa sebab yang jelas, karena
membunuh tanpa sebab itu haram hukumnya.
c.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah : 5-6
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya:
Apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku.
Dari kutipan ayat di atas jelas dapat kita ketahui
bahwa wudlu adalah perbuatan orang mukallaf, dan wudlu termasuk dalam salah
satu syarat sah nya sholat.
d.
Rasulullah SAW bersabda:
الْقَاتِلُ لَا يَرِثُ
Artinya:
Pembunuh tidak dapat mewarisi (H.R. Abu Dawud, Imam
Malik, dan Imam Ahmad Ibn Hambal)
Dari hadits di atas dapat di simpulkan bahwa
membunuh adalah perbuatan seorang mukallaf yang dapat menghalangi untuk menjadi
seorang pewaris. Kemudian dari semua penjelasan yang ada di atas yang menjadi
bahasan pokok di dalam bab ini adalah obyek dari mukallaf atau perbuatan
mukallaf sebagai sasaran hukum syara’.[34]
2. Syarat-syarat Mahkum Fih.
Syarat-syarat mahkum fih oleh ulama ushul dibagi
menjadi tiga, antara lain:
a.
Mukallaf mengetahui dan memahami tentang perbuatan
yang akan di lakukannya.
b.
Mukallaf mengetahui dan memahami sumber taklif
yang akan iya jalankan.
c.
Mukallaf mengetahui dan memahami perbuatan yang
akan dilakukan atau yang akan di tinggalkan di sebabkan oleh syarat-syarat yang
di sahkan oleh syara’.
Dari syarat-syarat di atas terdapat suatu bentuk
hukum yakni dapat di tinggalkan atau di kerjakan di karenakan mukallaf tidak
sanggup untuk melakukanya yaitu:
a.
Orang yang sedang hilang ingatan.
b.
Mukallaf yang belum mengetahui suatu hukum
mengenai perbuatan tersebut.
c.
Terdapat suatu sebab yang menghalangi mukallaf.
E.
Mahkum
Alaih
Mahkum alaih adalah suatu
istilah yang di gunakan untuk menyebut tempat berlakunya hukum Allah atas suatu
perbuatan, yaitu manusia itu sendiri yang lebih rinci disebut mukallaf.
Syarat-syarat menerima beban tidak semua manusia
dewasa dapat menerima beban tuntutan hukum syara’ secara sempurna dalam
menginterpretasikannya. [35]
Mukallaf dapat memahami dan mengetahui khitab pembebanan suatu
perbuatan terhadap mukallaf.
Berakal, yaitu seorang mukallaf memiliki dan dapat memfungsikan
akalnya dengan baik dan benar.
Seorang mukallaf mampu untuk menerima suatu tuntutan bekan hukum
dari syarah dalam hal ini ulama ushul membaginya menjadi 3:
Ahli al wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban) yaitu adalah
kemampuan manusia dari berbagai umur dan kalangan untuk menerima hak dan
kewajiban. Ahliah alwujub dibagi menjadi dua bagian.[36]
Ahliah alwujub, kemampuan menerima hak dan kewajiban dengan
sempurna. Kemampuan ini dimiliki oleh semua kalangan manusia dari lahir hingga
wafat.
Ahliah alwujub ghairu tamm,yaitu adalah kemampuan menerima hak dan
kewajiban yang tidak sempurna yakni hanya menerima hak sedangkan tidak menerima
kewajiban. Contohnya adalah janin dalam kandungan ibu.
Ahliahal ada’, yaitu adalah kemampuan seseorang untuk berbuat benar
menurut syara’, baik dari ibadah, muamalah, jinayat, dan lain sebagainya. Di
bidang ibadah seperti sholat, puasa, zakat. Di bidang muamalah seperti
transaksi jual beli. Di bidang jinayat seperti melakukan tindakan kriminal
terhadap benda atau jiwa yang akan berkonsekuensi terhadap tindakan hukum.
Tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat. Yang termasuk dalam
kategori nomor tiga ini adalah anak-anak dan orang gila, karena segala
kata-kata dan perbuatan mereka tidak bisa mengakibatkan tindakan hukum.
Seandaikan merka berbuat sesuatu yang menyalahi hukum merka tidak dapat di
kenai tindakan pidana, hanya pidana ganti rugi.
F.
Penutup
Dari pembahasan yang sudah dibahas dapat
disimpulkan Hukum taklifi adalah
hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang
mengerjakannya atau disuru memilih antara melakukan atau meninggalkannya. hukum
wadh’I ialah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai seatu sebab adanya yang
lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai sesuatu yang lain. Yang dimaksud dengan mahkum
fih ialah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’.
Sedangkan yang dimaksud dengan mahkum
alaih ialah mukallaf yang mendapatkan khitab dari Allah dimana perbuatannya
berhubungan dengan hukum syariat.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. 2003. Fiqh & Ushul Fiqh. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada).
Dahlan, Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. (Jakarta: AMZAH).
Djazuli, A. 2015. Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kencana).
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. (Jakarta:
Prenada Media).
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. (Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu).
Khallaf, Abdul Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fikih.
(Jakarta: PT Rineka Cipta).
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih.
(Bandung: CV. Pustaka Setia).
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh.
(Jakarta: Kencana).
Tharaba, M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’.
(Malang: CV. Dream Litera Buana).
Yusuf, Nasruddin. 2012. Pengantar Ilmu Ushul Fikih.
(Malang: UM PRESS).
Catatan:
1. Similarity 24%.
2. Pengiriman makalah ini TELAT
3. Abstrak seharusnya Cuma satu paragraf
4. Jika ada pengulangan footnote, jangan ditulise semua keterangannya
5. Gelar dihilangkan dalam tulisan ilmiah
6. Daftar pustaka tolong diperbaiki, cara penulisannya salah.
[2] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2012), hlm. 6
[3] Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 154
[4] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2017), hlm.42
[6] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2017), hlm.44
[8] Ibid, hlm. 46
[10] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2012), hlm. 12
[12] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2017), hlm. 48
[13] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2012), hlm. 12
[15] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2012), hlm. 10
[16] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2017), hlm. 48
[18] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2012), hlm. 10
[19] Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 161
[20] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2017), hlm. 52
[21] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2012), hlm. 14
[22] Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 163
[23] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2017), hlm. 53
[24] Ibid, hlm. 55
[26] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2017), hlm. 59
[27] Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 167
[28] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2012), hlm. 16
[29] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2017), hlm. 61
[31]Ibid, hlm. 69
[33] Drs.Rachmat Syafe’i, M.A.,ILMU USHUL FIQIH, (Bandung: CV.
PUSTAKA SETIA), hal, 317
[34] Ibid,. hal 319
[35] Dr. H. Moh. Padil, M.Pd.I., Dr. M. Fahim Tharaba, M.Pd., USHUL
FIQH, (Malang: MADANI, 2017). Hal 147
[36] Ibid., hal 148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar