URF,
SADDUDZARA’I, MADZHAB SAHABAT DAN SAR’U MAN QABLANA
Nita Deviana
Sari (16110087)
Mahasiswa PAI-Fangkatan
2016
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibraham Malang
e-mail: deviananita06@gmail.com
Abstract
This article
talks about Urf, Saddudzara'I, Madzhab Sahabat, and Sar'u Man Qablana.
Al-Qur'an, and Al-Hadith became the guidance in living the life of Muslims. And
his companions started ijtihad after the Prophet Muhammad died, so there is a
consensus and agreed upon and Qiyas refers to the Qur'an and Al-Hadith. With so
many problems that occur in the community, then the scholars ' use some method
of law such as ' Urf, Saddudzara'i, Madzhab Sahabat and Syar'u man Qablana.
Where the scholars do ijtihad to get a decision shari’a law. In fact Muslims
can't live without customs prevailing in its territory. But as long as not
contrary to the provisions of nash in the Qur'an and the Hadith, the mores of
this can be done by the Muslims. For Muslims in the era of the current laws
that are extremely relevant and dynamic.
Keywords: Urf,
Saddudzara'i, Madzhab Sahabat, Syar'u man Qablana
Abstrak
Artikel ini berbicara tentang Urf,
Saddudzara’I, Madzhab Sahabat, dan Sar’u Man Qablana.Al-Qur’an, dan
Al-Hadist menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan umat Islam.Danpara
sahabat mulai berijtihad setelah Rasulullah Saw meninggal, sehingga terdapat Ijma’
dan Qiyas yang telah disepakati dan merujuk pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.Dengan
banyaknya permasalahan yang terjadi di masyarakat, maka para ulama’ menggunakan
beberapa metode pengambilan hukum yaitu ‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat
dan Syar’u man Qablana.Dimana paraulama melakukan ijtihad untuk
mendapatkan suatu keputusan hukum kesyariatan.Pada hakekatnya umat Islam tidak
bisa hidup tanpa adat istiadat yang berlaku di daerahnya.Namunselama tidak
bertentangan dengan ketentuan nash dalam Al-Qur’an dan Hadits,adat
istiadat ini dapat dilakukan oleh kaum muslimin.Bagi umat Islam di era saat ini
hukum-hukum tersebut sangatlah relevan dan dinamis.
Kata Kunci:Urf,
Saddudzara’i, Madzhab Sahabat, Syar’u man Qablana
A.
Pendahuluan
Maraknya permasalahan yang kompleks
saat ini di masyarakat menjadi hal yang harus diperhatikan.Seiring dengan perkembangan
IPTEK (Ilmu pengetahuan dan Teknologi) yang membuat masyarakat menuntut adanya
penyelesaian permasalahan yang relevan dan dapat diterima oleh masyarakat.Dalam
hal ini masyarakat juga menuntut penyelesaian permaslahan yang diharapkan mampu membawa
kemaslahatan bagi umat Islam serta menerapkan salah satu strategi untuk
mengistinbath suatu permasalahan didalam kehidupannya. Namun dalam hal ini
haruslah tetap berpegang tegung pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.Dengan maraknya
permasalahan yang terjadi di masyarakat, maka para ulama melakukan ijtihad
dengan menggunakan beberapa metode pengambilan hukum yaitu ‘Urf, Saddudzara’i,
Madzhab Sahabat dan Syar’u man Qablana yang bertujuan untuk memperoleh solusi
terbaik terhadap permasalahan yang marak di masyarakat.
Sebagai umat Islam haruslah juga
mempunyai pengetahuan yang cukup untuk memahami hukum-hukum Islam. Karena dalam
menetapkan hukum islam, terjadi berbagai kontrofersi atau perbedaan pendapat
para ulama’. Dan penetapan hukum tersebut juga berhubungan dengan urf (adat)
yang telah menjamur dan berlaku didaerahnya, serta disalah gunakannya
kemaslahatan yang pada akhirnya menimbulkan sebuah kerusakan. Maka, dalam
artikel ini akan membahas tentang kajian hukum Islam yaitu Urf,
Saddudzara’i, madzhab Sahabat, serta Syar’u man Qablana agar sebagai umat Islam
haruslah mempunyai pengetahuan yang cukup untuk memahami hukum-hukum Islam dan
tidak mudah goyah dengan pengaruh yang sangat pesat di era saat ini.
B.
‘Urf
1.
Definisi ‘Urf
Secara
etimologi kata ‘Urf memiliki arti “kebiasaan
baik”(الْمَأْلُوْفٌ الْمُسْتَحْسِنُ),[1]
dapat juga dikatakan suatu hal yang sudah dikenal serta dilihat baik dan bisa
diterima dengan akal sehat. ‘Urf juga dapat diartikan sebagai suatu hal yang
sering dilakukan atau dibiasakan manusia secara terus-menerus bukan dilihat
dari berapa kali suatu perbuatan itu dilakukan.[2]
Sedangkan
secara terminologi ‘Urf dapat diartikan suatu perbuatan, perkataan dan jiwa
mendapatkan ketenangan dalam melakukannya karena sudah sepemikiran dengan akal
sehat dan mampu diterima oleh manusia. Maka, ‘Urf lebih mudah dipahami dan
dapat dijadikan hujjah.’Urf juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang
dipahami oleh umat Islam dan dikerjakan oleh umat Islam, baik dari segi
perbuatan dan perkataan. Hal tersebut juga disebut “al-‘adah”.[3]
Dengan
beberapa pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa“urf” dan “adat”
adalah dua istilah yang mempunyai makna yang setara, dan ‘Urf ialah suatu hal
yang harus diketahui, diakui,dan diterima oleh umat Islam. Oleh karena itu,
dalam hal ini Musthafa Syalbi memberikan kejelasan yang timbul
dari definisi ‘Urf dan adat yang terdapat beberapa perbedaan ijma’:[4]
a.
Berdasarkan ruang lingkupnya, ijma’
tidak berjalan tanpa implikasi dari semua mujtahid. Sedangkan ‘Urf tidak ada
term kompetensi ijtihad, maka orang awam atau mujtahid mempunyai kedudukan yang
setara dalam proses pembentukannya.
b.
Dalam ijma’ terdapat dalil yang
mengindikasikan pada hukum meskipun dilalah-nya zhanni, sedangkan pada
‘Urf tidak ada dalil yang membuktikannya.
c.
Ijma’ dilihat dari aspek ‘amali
(praktik) dapat terbentuk ketika semua mujtahid melaksanakannya meskipun hanya
sekali, sedangkan ‘urf terbentuk secara berulang-ulang atau continue, supaya
umat Islam mengetahui dan menganggap sebagai suatu kebiasaan
d.
Ijma’ tidak dapat berubah ketika
tidak disandarkan pada kemslahatan, namun ‘urf dapat berubah.
2.
Macam-Macam ‘Urf
Ditinjau dari beberapa aspek, ulama’
membagi 'urf dalam 3 jenis :
a. Dilihat dari aspek aspek
yang menjadi kebiasaan, ditinjau dari aspek ini ‘urf dibagi menjadi dua macam:[5]
1) Al-urf al-qauli (kebiasaan yang
berbentuk ucapan)
Kebiasaan umat Islam yang mempergunakan lafal tertentu dalam
mengucapkan suatu hal, sehingga makna ucapan tersebut dipahami dan selalu
teringat dalam pikiran mereka.Misal, ungkapan "daging" yang dimaksud
adalah daging sapi, padahal kata "daging" mencakup semua daging. Jika
seseorang akan membeli daging, dan si penjual daging mempunyai bermacam-macam
daging, kemudian si pembeli mengatakan "saya beli daging tiga
kilogram" dan ternyata si penjual tersebut langsung memberikan daging
sapi. Karena kebiasaan masyarakat di daerahnya telah menspesifikasikan penggunaan
kata "daging" pada daging sapi.
2) Al-'urf al-'amali
Kebiasaan umat Islam yang berhubungan dengan perilaku biasa atau
mu'amalah keperdataan. Perbuatan atau perilaku biasa ialah perbuatan dalam
permasalahan hidup tanpa terkait dengan kepentingan oran lain. Misalnya
kebiasaan libur kerja pada hari tertentu dan dalam satu minggu. Kebiasaan umat
Islam tertentu memakan makanan yang khusus atau minuman yang khusus serta
adanya kebiasaan memakai pakaian tertentu dalam acara khusus
b. Dilihat dari aspek
cakupan penggunaannya, 'urf dibagi menjadi 2 macam:[6]
1)
Al-'urf al-'am
Kebiasaan yang
khusus dan berlaku secara menyeluruh di masyarakat dan seluruh daerah.
Contohnya, saat jual beli motor, semua alat-alat yang dibutuhkan untuk
memperbaiki motor seperti ban, kunci, dan sebagainya termasuk dalam hal harga
jual, serta tidak ada akad dan biaya tambahan. Adapun contoh lain adalah
kebiasaan ketika akan naik pesawat terbang yaitu berat barang bawaan bagi
penumpang pesawat terbang ialah dua puluh kilogram.
2)
Al-'urf al-khash
Suatu kebiasaan yang
ada dan dilaksanakan di suatu masyarakat dan daerah tertentu.Contohnya,
dikalangan pedagang, jika terdapat kecacatan pada sebuah barang yang dibeli
oleh si pembeli itu dapat dikembalikan, serta untuk kecacatan yang lainnya pada
barang tersebut seorang konsumen tidak bisa mengembalikan barang tersebut.Juga
bisa mengenai kebiasaan tentang ditentukannya masa garansi terhadap barang yang
khusus. Adapun contoh lain ialah kebiasaan yang berlaku di kalangan pengacara
hukum yang menjelaskan bahwa jasa dalam pembelaan hukum yang dilakukan oleh
seorang pengacara haruslah dibayar dulu sebagian oleh kliennya. Menurut
pendapat Musthafa Ahmad Al-Zarqa aspek 'urf al khas seperti ini tidak dapat
dihitung jumlahnya serta akan senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan
kondisi dan situasi di masyarakat.
c. Dilihat dari aspek
keabsahannya (penilaian baik dan buruk) dari pandangan syara', 'urf dibagi
menjadi dua macam:[7]
1) Al-'urf al-shahih
Suatu kebiasaan yang terjadi dan berlaku di tengah-tengah
masyarakat terutama didaerahnyaakan tetapi tidak bertentangan dengan nash
(Al-Qu'ran dan Al Hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan serta tidak juga
membawa mudharat kepada masyarakat tersebut. Contohnya, pada peristiwa atau
kejadian tunangan, dari pihak laki-laki memberikan sebuah hadiah kepada pihak
perempuan dan hadiah tersebut tidak dianggap sebagai mahar (mas kawin).
2) Al-'urf al-fasid
Suatu kebiasaan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah dasar dan
dalil-dalil yang ada dalam syara'.Misal, suatu kebiasaan yang terjadi atau
berlaku di kalangan pedagang yang menghalalkan riba, seperti pinjam-meminjam
uang antar sesama pedagang.Dan uang yang dipinjam sebesar dua puluh juta rupiah
dalam tempo dua bulan, haruslah dibayarkan sebanyak dua puluh satu juta rupiah
ketika sudah jatuh pada waktu tempo, dengan perhitungan bunga sebanyak 10%. Dan
dapat dilihat dari sisi keuntungannya yang di dapat oleh peminjam, penambahan
hutang-piutang sebanyak 10% tidaklah memberatkan baginya, karena laba yang
didapat dari dua puluh juta rupiah itu mungkin bisa dikatakan melebihi bunga
dari 10% tadi. Namun, praktik yang dilakukan bukan suatu kebiasaan yang
tolong-menolong dalam pandangan syara'.Karena pertukaran barang yang sejenis,
menurut pandangan syara' tidak boleh saling melebihkan (H.R Al-Bukhari, Muslim
dan Ahmad Ibn Hanbal) dan praktik yang dilakukan tersebut ialah praktik yang
dilakukan dan berlaku di zaman Jahiliyah, serta diketahui sebagai riba
al-nasiah (riba yang muncul dari hutang-piutang).
3. Kedudukan ‘Urf dalam
Menetapkan Hukum
Banyak ulama’ yang sepakat menerima’urf
sebagai dalil yang mengistinbath hukum. Selama tidak bertentangan dengan hukum
islam dan dapat diasumsikan ‘urf yang shahih. Dalam hal ini, Syatibi menyatakan
bahwa seluruh madzhab fiqih menjadikan atau tidak menolak ‘urf sebagai dalil
syara’ dalam menetapkan suatu hokum saat tidak ada nash menerangkan hukum yang
muncul dikalangan masyarakat.[8]
Menurut asumsi Amir Syarifuddin, ulama’
yang menerima ‘urf sebagai dalil untuk mengistinbath hokum, ulama’ juga
menetapkan beberapa persyaratan ‘urf tersebut supaya dapat diterima.
Syarat-syarat tersebut diantaranya:[9]
a. ‘Urf tersebut memuat
kemaslahatan dan rasional
Ini merupakan syarat dimana sesuatu yang utuh pada ‘urf shahih,
sehingga dapat diterima oleh kalangan masyarakat.Namun jika ‘urf membawa
kemudharatan serta tidak bisa diterima oleh akal pikiran, maka ‘urf tersebut
dalam Islam tidak dibenarkan.Misalnya, kebiasaan seorang istri yang membakar
hidup-hidup dirinya ketika bersamaan dengan jenazah suaminya yang dibakar.Walaupun
‘urf ini tergolong baik dikalangan masyarakat tertentu namun hal tersebut tidak
dapat diterima oleh logika (akal sehat).
b. ‘Urf yang berlaku
secara global dikalangan masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan ‘urf
Sudah sangat jelas sekali untuk syarat berikut ini jika dilihat
dari segi perkembangan dikalangan masyarakat.Misalnya, sebuah tindakan
tranksaksi jual beli di Indonesia yang pastinya menggunakan alat tukar yang
resmi atau bisa disebut mata uang rupiah.Bahwasannya, dalam hal tranksaksi
masyarakat tidak pernah mengucapkan berapa nilai mata uangnya karena semua
orang telah mengetahuinya kecuali dalam masalah tertentu.
c. ‘Urf yang menjadi
dasar penetapan suatu hukum dan berlangsung saat itu.
Syarat tersebut menjelaskan bahwa sebelum penetapan suatu hukum
dilakukan, ‘urf harus sudah ada.Maka dari itu, apabila ada ‘urf yang baru maka
tidak dapat diterima keberadaannya.Seperti, pemberian mahar dikalangan
masyarakat tersebut harus dibayar lunas, namun ‘urf ditempat tersebut mengalami
perubahan dengan mahar yang dicicil.Maka si suami harus membayar mahar secara
lunas sesuai dengan ‘urf yang berlaku, serta tidak menerapkan ‘urf yang baru
muncul.
d. ‘Urf yang tidak
bertentangan dengan prinsip atau dalil syara’ yang ada.
Bahwasannya syarat tersebut memperkokoh ‘urf yang shahih, karena
apabila ‘urf tersebut bertentangan dengan nash atau prinsip syara’ yang jelas,
maka ‘urf tersebut termasuk fasid dan tidak bisa diterima.
4. Kehujjahan ‘Urf
Memahami mengenai kehujjahan teori ‘urf
dalam mengistinbathkan hokum, ulama’ memliki asumsi yang berbeda-beda:[10]
a. Kalangan Malikiyyah
dan Hanafiyyah berasumsi bahwasannya ‘urf dapat menjadi suatu hujjah dalam
menetapkan suatu hukum (istinhbath al-hukm asy-syar’iy). Landasanya
ialah sebagai berikut:
QS Al-A’raf ayat 199, Allah telah berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ
عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya:
“Jadilah engkau
pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
daripada orang-orang yang bodoh”.
Adapun Hadis yang memperkuat dasar
dijadikannya ‘urf sebagai hujjah:
“
Sesuatu yang dianggap baik oleh umat Islam, termasuk sesuatu hal yang baik pula
menurut Allah SWT”.
b.
Kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah berasumsi
bahwasannya ‘urf tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menetapkan sebuah
hukum.
Bahwasannya untuk memahami letak atau kondisi
‘urf sebagai salah satu kaidah hokum para ulama’ bermacam-macam dalam
memakainya sebagi dalil hukum:
1)
Imam Malik dan Abu Hanifah memagang dalil hokum
sebagai berikut: Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas, Istihsan serta ‘urf
dikalangan masyarakat.
2)
‘Urf atau adat dibagi menjadi tiga macam
menurut Malikiyyah:
a)
Bahwasannya ‘Urf menjadi konsisten atau
ditetapkan sebagai hukum, sebab nash membuktikan hal itu.
b)
Apabila mengamalkannya bermakna mengamalkan
yang dilarang atau sama halnya dengan mengabaikan syara’.
c)
Bahwasannya yang tidak dilarang ataupun tidak
diterima sebab tidak adanya suatu larangan.
3)
‘Urf atau adat tidak dipergunakan sebagai
dalil, menurut pendapat Imam Syafi’I sebab beliau berpegang teguh kepada
Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, Ijtihad yang hal tersebut hanya dibatasi dengan
qiyas saja. Sebab itu menjadi keputusan yang dipegang oleh Imam Syafi’I dalam
tatanan atau wujud “qaul jaded” yang merupakan sesuatu yang sebanding
terhadap penetapan hokum di Bagdad dalam wujud “qaul qadim”.
B. Sadd Al-dzari’ah
1. Definisi Sadd Al-dzari’ah
Sadd Al-dzariah (سدالذريعة) terdiri
atas dua kata, yaitu kata sadd memiliki arti “penghalang, sumbatan atau
hambatan” sedangkan kata dzari’ah memiliki arti “jalan”.Maka dari itu,
sadd al-dzari’ah secara singkatnya dapat dimaknai dengan arti “menutup jalan”.
Menurut ulama’ ushul fiqih, secara harfiyah al-dzariah berarti:
“Dzari’ah ialah suatu masalah yang dzahirnya boleh atau
mubah dan ia membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang”.[11]
Sadd Al-Dzari’ah seringkali disebut didalam
kitab-kitab Malikiyah dan Hanabilah.Dzari’ah berarti washilah atau
jalan, yang menyampaikan kepada suatu tujuan.Dimaksud dzari’ah adalah suatu
jalan untuk sampai kepada hal yang haram ataupun yang halal. Dengan demikian,
jalan ataupun cara yang disampaikan dengan haram hukumnya pun juga haram,
sebaliknya jika disampaikan dengan halal hukumnya pun juga halal, serta yang
disampaikan secara wajib hukumnya pun juga wajib pula.[12]Misalnya
adalah kasus pemberian hadiah kepada seorang hakim. Hakim dilarang menerima
pemberian hadiah dari seorang klien (orang yang memiliki perkara) sebelum
perkara tersebut diputuskan, dan dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakadilan
dalam menetapkan sebuah hokum mengenai kasus yang sedang dijalaninya. Pada
hakekatnya, menerima hadiah atau pemberian dari orang lain adalah mubah, namun
dalam kasus ini dilarang atau haram.[13]
2. Macam-Macam Sadd Al-dzari’ah
Beberapa pendapat atau pernyataan yang
dicetuskan oleh para ahli ushul fiqh dan pendapat yang dikemukakan oleh
Al-Syathibi mengenai pembagian al-dzari’ah membuahkan hasil yang setara
dalam mengklasifikasi macam-macam al-dzari’ah antara lain:
a. Kualitas Kerusakan Dzari’ah
Imam al-Syatibi mengemukakan teori
pengelompokkan dzari’ah berdasarkan kekuatan hasil akhirnya (natijah) serta
mafsadah yang ditimbulkannya.Ia mengkategorikan dalam empat pembagian,
diantaranya:
1) Suatu tindakan atau perbuatan yang
dipastikan akan mengakibatkan kerusakan (mafsadah). Misalnya menggali
sumur dibelakang rumah yang bertepatan di balik pintu rumah. Hal tersebut akan
mengakibatkan kecelakan seperti seseorang itu akan terperosok kedalam sumur.
Oleh sebab itu, kecerobohan semacam ini harus dipertanggungjawabka
perbuatannya, karena perbuatan tersebut tidak diperbolehkan.[14]
2) Dzari’ah dimana suatu dugaan yang
kuat akan mendatangkan kepada mafsadah.Contohnya adalah saat si produsen
memperjualkan buah anggur kepada konsumen atau sebuah perusahaan yang biasa
membuat atau mengolah minuman keras (khamr). Dalam hal tersebut, dzari’ah
sejenis ini, ahli ushul fiqh telah menyetujui penetapan keharamannya.[15]
3) Suatu perbuatan yang besar
kemungkinannya menimbulkan mafsadah. Misal, mendagangkan sentaja tajam
kepada orang yang kafir, musuh ataupun orang yang sering berbuat kejahatan atau
kriminal serta dikhawatirkan akan mengakibatkan pembunuhan dan sebagainya.[16]
4) Dzari’ah yang bersumber pada
anggapan biasa (bukan dugaan yang kuat) akan mendatangkan kepada mafsadah.
Contohnya, saat melakukan transaksi jual beli kredit. Berdasarkan anggapan yang
biasa, tranksaksi tersebut akan mendatangkan dan membawa kepada mafsadah,
terutama bagi seorang debitur. Adapun dzari’ah sejenis ini, ulama’ berbeda akan
pendapatnya. Ada yang beranggapan, tindakan tersebut harus dilarang atau haram
atas dasar Sadd Al-dzari’ah da nada pula yang beranggapan lainnya.[17]
b. Kerusakan yang diakibatkan
Dzari’ah
Ibn Al-Qayyim berasumsi tentang pembagian
dzari’ah apabila dinisbathkan dengan kesimpulan akhir (natijah), dibagi
dalam dua macam:[18]
Pertama, suatu tindakan yang dengan sendirinya
membawa kerusakan, contohnya seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan
kerusakan pada saraf otak, organ tubuh dan sebagainya.Adapun contoh lainnya
yaitu berbuat zina yang menimbulkan percampuran sperma laki-laki dan perempuan
serta merusakbenih-benih keturunan.Kedua, suatu tindakan yang
diperbolehkan atau dianjurkan akan tetapi dijadikan suatu perantara untuk
menuju kepada sesuatu yang diharamkan, baik secara tidak sengaja ataupun
sengaja. Contohnya seorang pria yang menikah dengan seorang wanita dan sudah
ditalak tiga kali, akan tetapi memliki tujuan supaya wanita tersebut bisa
diajak rujuk kembali dengan suami yang pertama.
Dalam asumsi Ibn Al-Qayyim mengenai perihal tersebut,
muncullah dua kondisi:
1)
Pada dasarnya kemaslahatan dari suatu
tindakan itu lebih dominan dari kemafsadatannya.
2)
Bahwasannya
mafsadahnya lebih dominan dari kemaslahatannya. Pada kondisi dari kedua asumsi
ini, maka terbagi lagi menjadi empat bagian, diantaranya:
a)
Suatu
perbuatan yang dikerjakan dengan sengaja untuk menuju kemafsadatan, misalnya,
minum-minuman yang mengandung alkohol seperti arak atau melakukan perbuatan
zina yang akan menimbulkan percampuran nasab serta menimbulkan pertikaian antar
sesama.
b)
Suatu
perbuatan yang sesungguhnya boleh atau dianjurkan, akan tetapi memiliki tujuan mafsadah,
misalnya melakukan tranksaksi jual beli dengan maksud untuk mendapatkan riba.
c)
Suatu
perbuatan dengan maksud kemafsadatan atau berimbas kepada mafsadah dan bukan
pula mashlahah, misalnya mengolok-olok atau memaki-maki berhala dihadapan
mereka.
d)
Suatu
tindakan yang diperbolehkan (mubah) akan tetapi terkadang menimbulkan
kemafsadatan. Namun, dalam masalah ini kemaslahatan juga memiliki peran
kekuatan yang lebih dari pada kemafsadatan. Misalnya melihat secara
terus-menerus wanita yang akan dipinang.
3. Kehujjahan Sadd Al-Dzari’ah
Berpedoman kepada dzari’ah dan
memberikan hukum yang sama dari hasil hukum tersebut, serta didasarkan pada
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Di dalam Al-Qur’an terkandung larangan mengolok-olok atau
memaki-maki berhala dengan firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا
Artinya:
“Hai orang beriman. Janganlah kamu katakana : Raa’inaa,
tetapi katakanlah: perhatikanlah dan dengarkanlah.”
Larangan-larangan tersebut disebabkan
lantaran kaum Yahudi memakai kata-kata “raa’inaa” untuk memaki-maki Nabi, oleh
karenanya seseorang dilarang untuk melafalkan kata-kata tersebut serta untuk
menutup peluang sad al-dzara’i dari hinaan mereka kepada Nabi.Dalam
Al-Hadits, terdapat berbagai pendapat yang datang melalui hadits, diantaranya:
1) Bahwasannya Nabi berusaha mencegah
agar tidak membunuh orang-orang munafiq dan sementara mereka terus-menerus
mengumbar fitnah sesame kaum muslimin. Hal tersebut ditimbulkan dzari’ah
apabila mereka dibunuh dan akan dikatakan bahwa Nabi Muhammad membunuh sahabatnya
sendiri.
2) Bahwasannya Nabi melarang orang
yang dihutangi untuk menerima hadiah dari yang berhutang kepada orang tersebut,
karena hal tersebut untuk mencegah terjadinya riba.
3) Bahwasannya Nabi melarang orang
yang bersedekah untuk membeli apa yang telah disedekahkannya, sebab dzari’ah
yang terikat kaum fakir tersebut mengembalikannya dengan harga yang buruk
ataupun murah dari pasaran.[19]
C.
Madzhab Sahabat (مذهب الصحابي)
1.
Definisi
Madzhab Shahabi
Setelah
wafatnya Rasulullah SAW, dalam penetapan hukum Islam dilanjutkan oleh para
sahabat Nabi.Hal ini karena semakin luasnya problematika yg dihadapi oleh Islam
dan yang harus ditetapkan oleh Islam itu. Disisi lain, sahabat yang menjadi
pionir dalam menetapkan hukum Islam ini, sebab mereka orang yang ahli dalam
fiqh, mengetahui hukum-hukum dalam Al-Qur’an serta Sunnah Nabi. Selain itu,
mereka yang pernah hidup bersama Nabi dan berjuang untuk menegakkan ajaran
Islam bersama Nabi SAW. Maka dari itu, para sahabat menjadi rujukan bagi kaum
muslim yang memiliki masalah terkait dengan hukum serta memberikan fatwa-fatwa
terkait dengan suatu kejadian. Menurut ulama ushul fiqh, sahabat adalah
orang-orang yang bertemu Rasulullah yang langsung menerima risalahnya dan
mendengar langsung penjelasan tentang syari'at dari beliau sendiri.[20]
Ketika
masa ulama tabi'in dan tabi' tabi'in, mereka banyak yang meriwayatkan
fatwa-fatwa para sahabat ini.Sehingga ulama menyebutnya sebagai Madzhab Shahabi atau Qoul Shahabi. Sebab mereka memandang
Sahabat adalah orang yang benar-benar mengertidan paham akan ilmu agama. Mereka
orang yang mempunyai keakraban dan kedekatan dengan Nabi.Para ulama memandang
mereka lebih mampu dalam memahami kandungan dan maksud dari Al-Qur’an daripada
orang Islam lainnya. Oleh karena itu, jumhur ulama menetapkan bahwa fatwa-fatwa
para sahabat Nabi ini dapat dijadikan sebagai hikmah dalam penetapan hukum Islam
setelah dalil-dalil nash.
Adapun
dalil yang menjadi landasan bagi para ulama yang menetapkan madzhab Shahabi ini
dapat dijadikan sebagai hikmah, yaitu Q.S. at-taubah ayat 100:[21]
وَٱلسَّٰبِقُونَٱلْأَوَّلُونَمِنَٱلْمُهَٰجِرِينَوَٱلْأَنصَارِوَٱلَّذِينَٱتَّبَعُوهُمبِإِحْسَٰنٍرَّضِىَٱللَّهُعَنْهُمْوَرَضُوا۟عَنْهُ
Yang artinya:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan
mereka pun rida kepada Allah.Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai.Mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya.Itulah kemenangan yang agung.”
Dalam kitab Imam Ibnu Qayyim yang berjudul "I'lamul Muwaqqi'i"
mengemukakan terdapat empat puluh tiga asumsi yang wajib untuk mengikuti
pendapat para sahabat, yang pada akhirnya Imam Ibnu Qayyim berkata, bahwasannya
fatwa sahabat tersebut tidak melenceng dari enam hal berikut ini:[22]
a.
Bahwasannya
fatwa yang telah didengar oleh sahabat adalah dari Nabi
b.
Adapun
fatwa yang didengar oleh orang yang mendengarnya dari Nabi
c.
Fatwa
yang dilandaskan pada pemikiran atau pemahaman terhadap Al-Qur'an yang sedikit
hilang dari ayat itu pemahamannya bagi umat Islam.
d.
Suatu
fatwa yang disetujui oleh para sahabat yang sampai kepada umat Islam melalui
perantara salah seorang sahabat.
e.
Bahwasannya
fatwa yang menjadi dasar pada kesempurnaan ilmunya baik secara lughowi ataupun
tingkah laku, serta kesempurnaan suatu ilmu tentang kondisi Nabi
f.
Suatu
fatwa yang berlandaskan pemahaman yang tidak hadir dari Nabi atau pemahamannya
salah.
2.
Kedudukan
Madzhab Sahabat Sebagai Sumber Hukum
Kalangan
ulama' menyetujui bahwasannya anggapan seorang sahabat atau qaul sahabat tidak
bisa dijadikan hujjah kepada sahabat yang lain, mereka berbeda asumsi mengenai
qaul sahabat atau madzhab sahabat, dan timbul pertanyaan "apakah madzhab
sahabat tersebut dapat dijadikan hujjah terhadap orang-orang sesudah sahabat,
kalangan tabi'in dan orang-orang sesudahnya?". Pada penetapan dan
ketentuan yang terakhir tersebut dapat diperjelas sebagai berikut:[23]
a.
Pendapat
sahabat yang diduga tersebut sesungguhnya berasal dari Rasulaallah saw, sebab
logika belum bisa menjangkau hal tersebut. Pendapat sejenis ini menjadi hujjah
terhadap umat Islam, sebab diungkapkannya tidak boleh berasal dari pendengaran
seorang Nabi.
b.
Bahwasannya
pendapat seorang sahabat dan tidak ada sahabat yang lain untuk menyalahkannya.
Hal tersebut dinamakan hujjah, sebab pendapat tersebut adalah ijma' sahabat.
c.
Pendapat
sahabat tersebut ialah hasil ijtihat maupun pendapatnya tersendiri, sedangkan
diantara sahabat ada yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Pendapat
seperti inilah yang diragukan atau diperselisihkan para ulama'.
3.
Contoh
Madzhab sahabat atau fatwa shahabi
Berikut
ini adalah beberapa contoh dari madzhab sahabat, diantaranya:[24]
a.
Fatwa
atau ucapan Aisyah ra yang menjelaskan penentu batas maksimal kehamilan seorang
wanita dua tahun, berikut ini fatwa Aisyah: ”Anak tidak berada dalam perut
ibunya lebih dari dua tahun”.
b.
Fatwa Umar bin Khatab mengenai laki-laki yang menikahi seorang perempuan
dengan kondisi perempuan tersebut dalam masa iddah dan harus dipisahkan serta
haram bagi seorang laki-laki yang akan menikahi perempuan itu untuk selamanya.
c.
Fatwa
Anas bin Malik yang menjelaskan bahwa tiga hari adalah masa minimal haid
seorang perempuan.
4.
Kehujjahan
Madzhab Sahabat
Dalam
menafsirkan masalah kehujjahan madzhab shahabi, dikalangan ulama menyetujui
bahwa madzhab shahabi dapat dijadikan sebagai hujjah. Hal ini disebabkan
beberapa hal:
a.
Madzhab
Shahabi tidak akan jauh dari tutunan Allah dan Rasul-Nya.
b.
Mereka
yang lebih mengetahui proses turunnya wahyu serta menerima dan menyaksikan dari
Rasulullah semua tindakan beliau dalam mengamalkan wahyu.
c.
Mereka
bersikap Taqlil al-Riwayah (minimalkan periwayat dari Rasul), sebab
khawatir akan terjadi penambahan dan pengurangan terhadap teks wahyu.
Namun
ada masalah yang masih menjadi perselisihan diantara mereka yaitu kehujjahan
madzhab shahabi dikalangan ulama tabi’in dan tabi’ tabi’in, padahal perbedaan
ini terjadi pada ijtihad yang mereka lakukan. Maka dari itu, untuk menanggapi
persoalan ini para ahli berbeda pandangan diantaranya:
a.
Imam
Malik, Abu Bakar al-Raziy, Abu Sa’id (pengikut abuh Hanifah), Imam Syafi’i
(dalam qoul qadimnya), Imam Ahmad bin Hambal berasumsi bahwa madzhab
shahabi dapat dijadikan hujjah bagiketurunan selanjutnya. Dengan dasar:
1)
Q.
S. Ali Imran: 110
كنتم خير أمة اخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر
Artinya: “Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk menyuruh manusia kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.”
Ayat ini merupakan khithab Allah untuk para shahabat Nabi
SAW supaya mereka menganjurkan yang ma’ruf sedangkan perbuatan ma’ruf itu
hukumnya wajib.Karena itulah madzhab shahabi itu wajib diterima.
2)
Hadits
riwayat ‘Abd bin Humaidi:
اصحابى كالنجوم بايهم اقتديتم اهتديتم
Artinya: “Sahabatku
bagaikan bintang-bintang, siapa saja diantara mereka yang kamu ikuti, pasti
engkau mendapatkan petunjuk.”
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW membuat suatu ikatan
kepada siapa saja dari para sahabatnya sebagai dasar pijakan untuk mendapatkan
petunjuk.Ini berarti setiap pendapat sahabat adalah hujjah dan wajib diamalkan.
b.
Jumhur
Asy’ariyyah dan Mu’tazilah, Syi’ah, Imam Syafi’I (dalam qoul jadid-
nya), Abu Hasan al-Kharkiy (dari golongan Hanafiyyah) dan Malikiyyah berasumsi
bahwasannya madzhab shahabi tidak dapat dijadikan hujjah atas sahabat yang lainnya.
Dengan dasar:
1)
Q.S.
al-Hasyr: 2
فاعتبروا ياأولى
الأبصار
Artinya: “Maka ambillah (dari kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, hai orang yang memiliki pandangan luas.”
Pada
ayat ini terdapat kata I’tibar yang dimaksud disini adalah qiyas dan
bentuk kalimatnya ialah amr yang bermakna ijtihad. Maka dalam kondisi
yang sama, qiyas dan ijtihad dalam hal ini memberikan pengetahuan bahwa setiap
mujtahid tidak boleh bertaqlidterhadap mujtahid yang lainnya, baik
mujtahid itu sahabat ataupun bukan sahabat.
2)
Adapun
kenyataan bahwasannya hasil ijtihad sahabat yang satu dengan sahabat yang lain
tidak sama, misalnya yang terjadi pada sahabat Umar dan Ali dalam permasalahan
sebagai berikut:
“Ada
seorang laki-laki memiliki seorang perempuan yang masih dalam keadaan iddah
dari suami pertama, lalu dipisahkan atau diceraikan lantaran pernikahannya
dianggap tidak sah.” dalam memahami permasalahan ini, pendapat mereka berbeda:
a)
Sahabat
Umar bin Khatthab memakai qiyas menyatakan bahwasannya laki-laki tersebut diharamkan
untuk mengulangi pernikahannya kembali. Maka, diqiyaskan atas terhalangnya hak
waris bagi ahli waris yang membunuh pewarisnya.
b)
Sahabat
Ali bin Abi Thalib memakaiistishab bara’ah al-ashliyyah (berpeganng pada
keadaan asal yang dekat) menyatakan bahwasannya laki-laki itu dibolehkan
menikahi kembali wanita itu setelah cerai dari suaminnya serta telah habis masa
iddahnya dengan suaminya yang pertama.[25]
D.
Syar’u
Man Qablana
1.
Definisi
Syar’u Man Qablana (شرع من قبلنا)
Syar’u
man qablana (شرع
من قبلنا)
atau bisa disebut syari’at umat sebelum kita adalah syari’at Allah yang
diturunkan untuk umat-umat sebelum kita, melalui perantara para Nabi dan Rasul
atau juga bisa disebut ajaran agama seblum Islam.Seperti Nabi Ibrahim, Nabi
Daud, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Syari’at-syar’at para Rasul serta syariat Islam,
keduanya sering dikenal dengan sebutan “syari’at samawiyah”.Karena pada
hakikatnya, syariat yang diturunkan tersebut menjadi penuntun atau pedoman bagi
umat Islam.[26]
Adapun
definisi syar’u man qablana secara terminology adalah sebagi berikut:[27]
ما نقل الينا من الاحكام التي شر عها الله سبحانه للامم السابقة بواسطة انبيا ئه الذين
ارسلهم الى تلك الامم كسيدنا إبراهيم و موسى و عيسى
Yang artinya:
“Syar’u man Qablana adalah segala sesuatu yang telah dinukilkan kepada
kita dari hukum-hukum syara’ yang telah disyari’atkan Allah SWT kepada umat
terdahulu melalui para nabi yang diutus kepada umat, seperti Nabi Ibrahim, Nabi
Musa dan Nabi Isa as”.
Maksud dari ayat tersebut ilah syariah-syariah yang berlaku di
periode para nabi yang dulu sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW. Apabila
Al-Qur’an dan As-Sunnah shahih memaparkan suatu hukum yang disyari’atkan oleh
Allah SWT kepada umat terdahulu dengan melalui para Rasul, yang kemudian nash
tersebut berlaku wajib bagi mereka. Oleh karena itu hukum tersebut
diperuntukkan kepada umat Islam dan sifatnya fardhu diikuti, misalnya kewajiban
untuk berpuasa, ialah:
ياَايُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِكُم
Yang artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu sekalian berpuasa sebagaimana
diwajiban kepada orang-orang sebelum kamu”
2.
Penggolongan
Syar’u Man Qablana dalam Pandangan Ulama’
Dari
pembahasan mengenai pengertian dari syar’u man qablana, hukum dapat
dikategorisasikan menjadi tiga bagian, diantaranya:[28]
a.
Hukum
(syariah) telah dihapuskan atau juga bisa diartikan dimansukh dengan
dalil-dalil qath’iy. Oleh karena itu, tidaklah menjadi hukum atau syari’ah bagi
umat Islam. Dalam firman Allah surat Al-An'am ayat145-146:
Yang artinya: “Katakanlah,
tidak aku peroleh dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai
atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam
keadaan terpaksa, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kepada
orang-orang Yahudi kami haramkan segala binatang yang berlaku dan dari sapi dan
domba Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu”
b.
Hukum
atau syar’iyah mereka dijadikan hukum berlandaskan dalil-dalil yang qath’iy.
Dalam hal tesebut jelas menjadi hukum atau syari’ah umat Islam yang wajib
diamalkan. Misalnya:
2)
Penyembelihan
(udlhiyyah) yang disyari’atkan kepada Nabi Ibrahim as, dan hal itu menjadi
hukum bagi umat Islam sampai sekarang.
c.
Hukum
atau syari’ah yang hanya dikisahkan Allah kepada umat Islam namun tidak ada
dalil-dalil yang menyebutkan apakah hukum itu dihapus atau tidak dihapus.
Misalnya, Syari’ah Bani Israil yang disebutkan serta dibahas dalam kitab Injil
yang tercantum didalam QS. Al-Maidah ayat 45.
3.
Kehujjahan
Syar’u Man Qablana
Para
ulama Ushul berbeda pendapat mengenai keabsahan syar’u man qablana sebagai
sumber dalil penetapan hukum islam, terdapat tiga pendapat mengenai hal
tersebut:
a.
Ulama
dari kalangan Hanafiy dan Maliky berpendapat bahwa syariat yang ditetapkan
untuk umat terdahulu wajib untuk kita ikuti pula, karena sama-sama berasal dari
Allah. Dengan dalil surat al-An’am ayat 90: [29]
أُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ فَبِهُدَاهُمُ قْتَدِهِ
Artinya: “Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka”.
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنْ اِتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ
حَنْيْفًأ
Artinya: dan kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ikutilah agama ibrahim
yang hanif.
b.
Menurut
mayoritas Ulama Syafi’iy, syar’u man qablana jika berkaitan dengan hukum, maka
tidak dianggap sebagai syariat umat islam sekarang dan tidak dibenarkan untuk
dijadikan hujjah serta tidak wajib pengamalanya. Dengan dalil surat al-Maidah
ayat 48:
لِكُلِّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Artinya: “Bagi
tiap-tiap umat diantara kamu (umat Nabi Muhammad dan Umat yang sebelumnya) kami
berikan aturan-aturan dan jalan yang terang”.
c.
Sementara
dari kalangan ulama Hambali mengambil jalan tengah antara kedua pendapat
diatas. Yakni terkadang syariat yang ditetapkan untuk umat terdahulu bisa
dijadikan hukum untuk umat Nabi Muhammad dan bisa juga tidak.
E. Penutup
Kesimpulan dari pembahasan dalam artikel ini tentang ‘Urf,
Saddudzara’i, Madzhab Sahabat dan Syar’u man Qablana adalah
bahwasannya didalam penetapan suatu syari’at yang dijadikan dasar fiqh tersebut
mengikuti perkembangan dari masa ke masa. Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah
syari’at yang diturunkan Allah SWT kepada Rasul dalam bentuk sumber hokum yang
paling utama dan dijadikan pedoman atau petunjuk bagi umat Islam. Didalam
Al-Qur’an dan Hadits terkandung hukum istinhbath yang diperoleh melalui ijtihad
termasuk ‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat dan Syar’u man Qablana.
'Urf
dapat didefinisikan sesuatu yang diakui, dikenali atau diterima oleh kalangan
masyarakat serta berlaku didaerahnya.‘Urf juga dibagi menjadi beberapa macam
yaitu 'urf qauli, 'urf amali, 'urf khash, 'urf amm, 'urf fasid serta 'urf
shahih.Sadd adz dzariah merupakan suatu tindakan atau perilaku yang dijadikan suatu perantara
larangan bagi syari’ah. Adapun macam-macam sadd adz dzariah ditinjau dari aspek
kualitas dzari’ahnya dan kerusakan yang ditimbulkan dari dzari’ah
tersebut.Kemudian kehujjahan dari sadd adz dzariah dapat ditinjau dari motivasi
seseorang yang melaksanakan tindakan dan ditinjau dari aspek dampak tindakan
itu.Madzhab sahabat dapat dimaknai dengan fatwa sahabat Nabi yang
dijadikan hasil dari ijtihadnya dalam menetapkan suatu syari’at.Didalam
kehujahannya mempunyai banyak perbedaan asumsi dan didalamnya tidak ada
hubungan antar sahabat satu dengan yang lainnya, Sedang sar’u man qablana
merupakan hukum yang dibawa oleh para Nabi sebelum nabi Muhammad Saw. Apabila
tidak ada dalil yang dinasakh,
jumhur ulama’, syari’at orang terdahulu ini dapat menjadi pedoman hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,Sulaiman.
Sumber Hukum Islam: Permasalahannya dan Fleksibilitasnya. Jakarta:
Sinar Grafika, 1995.
Asmawi.Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta:
Amzah, 2018.
Djazuli.Ilmu Fiqh : Penggalian,
Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2005.
Djazuli
dan Nurol Aen.Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo
Persada,2000.
Haroen, Narun.Ushul Fiqh. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997.
Mahfudh, Sahal. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siwa Aliyyah Madrasah
Hidayatul Mubtadi’ien PP Lirboyo, 2004.
Suratno
dan Anang Zamroni.Mendalami Fikih 1. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri,
2013.
Syarifudin,
Amir. Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif. Jakarta
Timur: Zikrul Hakim, 2004.
Yusuf,
Nasruddin. Pengantar Ilmu Ushul Fiqih. Malang: IKIP Malang, 2012.
Zein, Ma’shum.Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016.
Catatan:
Makalah sudah sangat bagus, similarity cuma 3%.
[1] Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2016), hlm. 175.
[2]Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siwa
Aliyyah Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien PP Lirboyo, 2004), hlm. 215.
[3]Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 176.
[5]Narun
Haroen, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 139.
[8]Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif, (Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004), hlm. 102.
[11]Nasruddin
Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fiqih, (Malang: IKIP Malang, 2012), hlm. 90.
[12]Djazuli, Ilmu Fiqh : Penggalian,
Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group,2005),
hlm. 98.
[13]Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih,
(Jakarta: Amzah, 2018), hlm. 142.
[15]Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, hlm.
143.
[17]Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, hlm.
143.
[19]Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahannya dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:
Sinar Grafika,1995), hlm. 165.
[20]Nasruddin
Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 92.
[22]Djazuli
dan Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2000), hlm. 212-213.
[23]Nasruddin
Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 94-95
[24]Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif, hlm. 129
[26]
Suratno dan Anang Zamroni, Mendalami Fikih 1,(Solo: PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2013), hlm. 229.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar