Senin, 18 Maret 2019

Sumber-Sumber Hukum yang Tidak Disepakati II (PAI F Semester Genap 2018/2019)



URF, SADDUDZARA’I, MADZHAB SAHABAT DAN SAR’U MAN QABLANA

Nita Deviana Sari (16110087)
Mahasiswa PAI-Fangkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibraham Malang

Abstract
This article talks about Urf, Saddudzara'I, Madzhab Sahabat, and Sar'u Man Qablana. Al-Qur'an, and Al-Hadith became the guidance in living the life of Muslims. And his companions started ijtihad after the Prophet Muhammad died, so there is a consensus and agreed upon and Qiyas refers to the Qur'an and Al-Hadith. With so many problems that occur in the community, then the scholars ' use some method of law such as ' Urf, Saddudzara'i, Madzhab Sahabat and Syar'u man Qablana. Where the scholars do ijtihad to get a decision shari’a law. In fact Muslims can't live without customs prevailing in its territory. But as long as not contrary to the provisions of nash in the Qur'an and the Hadith, the mores of this can be done by the Muslims. For Muslims in the era of the current laws that are extremely relevant and dynamic.
Keywords: Urf, Saddudzara'i, Madzhab Sahabat, Syar'u man Qablana

Abstrak
Artikel ini berbicara tentang Urf, Saddudzara’I, Madzhab Sahabat, dan Sar’u Man Qablana.Al-Qur’an, dan Al-Hadist menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan umat Islam.Danpara sahabat mulai berijtihad setelah Rasulullah Saw meninggal, sehingga terdapat Ijma’ dan Qiyas yang telah disepakati dan merujuk pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.Dengan banyaknya permasalahan yang terjadi di masyarakat, maka para ulama’ menggunakan beberapa metode pengambilan hukum yaitu ‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat dan Syar’u man Qablana.Dimana paraulama melakukan ijtihad untuk mendapatkan suatu keputusan hukum kesyariatan.Pada hakekatnya umat Islam tidak bisa hidup tanpa adat istiadat yang berlaku di daerahnya.Namunselama tidak bertentangan dengan ketentuan nash dalam Al-Qur’an dan Hadits,adat istiadat ini dapat dilakukan oleh kaum muslimin.Bagi umat Islam di era saat ini hukum-hukum tersebut sangatlah relevan dan dinamis.

Kata Kunci:Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat, Syar’u man Qablana

A.      Pendahuluan
Maraknya permasalahan yang kompleks saat ini di masyarakat menjadi hal yang harus diperhatikan.Seiring dengan perkembangan IPTEK (Ilmu pengetahuan dan Teknologi) yang membuat masyarakat menuntut adanya penyelesaian permasalahan yang relevan dan dapat diterima oleh masyarakat.Dalam hal ini masyarakat juga menuntut penyelesaian  permaslahan yang diharapkan mampu membawa kemaslahatan bagi umat Islam serta menerapkan salah satu strategi untuk mengistinbath suatu permasalahan didalam kehidupannya. Namun dalam hal ini haruslah tetap berpegang tegung pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.Dengan maraknya permasalahan yang terjadi di masyarakat, maka para ulama melakukan ijtihad dengan menggunakan beberapa metode pengambilan hukum yaitu ‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat dan Syar’u man Qablana yang bertujuan untuk memperoleh solusi terbaik terhadap permasalahan yang marak di masyarakat.
Sebagai umat Islam haruslah juga mempunyai pengetahuan yang cukup untuk memahami hukum-hukum Islam. Karena dalam menetapkan hukum islam, terjadi berbagai kontrofersi atau perbedaan pendapat para ulama’. Dan penetapan hukum tersebut juga berhubungan dengan urf (adat) yang telah menjamur dan berlaku didaerahnya, serta disalah gunakannya kemaslahatan yang pada akhirnya menimbulkan sebuah kerusakan. Maka, dalam artikel ini akan membahas tentang kajian hukum Islam yaitu Urf, Saddudzara’i, madzhab Sahabat, serta Syar’u man Qablana agar sebagai umat Islam haruslah mempunyai pengetahuan yang cukup untuk memahami hukum-hukum Islam dan tidak mudah goyah dengan pengaruh yang sangat pesat di era saat ini.

B.  ‘Urf
1.    Definisi ‘Urf
Secara etimologi kata ‘Urf memiliki arti kebiasaan baik”(الْمَأْلُوْفٌ الْمُسْتَحْسِنُ),[1] dapat juga dikatakan suatu hal yang sudah dikenal serta dilihat baik dan bisa diterima dengan akal sehat. ‘Urf juga dapat diartikan sebagai suatu hal yang sering dilakukan atau dibiasakan manusia secara terus-menerus bukan dilihat dari berapa kali suatu perbuatan itu dilakukan.[2]
Sedangkan secara terminologi ‘Urf dapat diartikan suatu perbuatan, perkataan dan jiwa mendapatkan ketenangan dalam melakukannya karena sudah sepemikiran dengan akal sehat dan mampu diterima oleh manusia. Maka, ‘Urf lebih mudah dipahami dan dapat dijadikan hujjah.’Urf juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dipahami oleh umat Islam dan dikerjakan oleh umat Islam, baik dari segi perbuatan dan perkataan. Hal tersebut juga disebut “al-‘adah”.[3]
Dengan beberapa pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa“urf” dan “adat” adalah dua istilah yang mempunyai makna yang setara, dan ‘Urf ialah suatu hal yang harus diketahui, diakui,dan diterima oleh umat Islam. Oleh karena itu, dalam hal ini Musthafa Syalbi memberikan kejelasan yang timbul dari definisi ‘Urf dan adat yang terdapat beberapa perbedaan ijma’:[4]
a.       Berdasarkan ruang lingkupnya, ijma’ tidak berjalan tanpa implikasi dari semua mujtahid. Sedangkan ‘Urf tidak ada term kompetensi ijtihad, maka orang awam atau mujtahid mempunyai kedudukan yang setara dalam proses pembentukannya.
b.      Dalam ijma’ terdapat dalil yang mengindikasikan pada hukum meskipun dilalah-nya zhanni, sedangkan pada ‘Urf tidak ada dalil yang membuktikannya.
c.       Ijma’ dilihat dari aspek ‘amali (praktik) dapat terbentuk ketika semua mujtahid melaksanakannya meskipun hanya sekali, sedangkan ‘urf terbentuk secara berulang-ulang atau continue, supaya umat Islam mengetahui dan menganggap sebagai suatu kebiasaan
d.      Ijma’ tidak dapat berubah ketika tidak disandarkan pada kemslahatan, namun ‘urf dapat berubah.

2.    Macam-Macam ‘Urf
Ditinjau dari beberapa aspek, ulama’ membagi 'urf dalam 3 jenis :
a.    Dilihat dari aspek aspek yang menjadi kebiasaan, ditinjau dari aspek ini ‘urf dibagi menjadi dua macam:[5]
1)   Al-urf al-qauli (kebiasaan yang berbentuk ucapan)
Kebiasaan umat Islam yang mempergunakan lafal tertentu dalam mengucapkan suatu hal, sehingga makna ucapan tersebut dipahami dan selalu teringat dalam pikiran mereka.Misal, ungkapan "daging" yang dimaksud adalah daging sapi, padahal kata "daging" mencakup semua daging. Jika seseorang akan membeli daging, dan si penjual daging mempunyai bermacam-macam daging, kemudian si pembeli mengatakan "saya beli daging tiga kilogram" dan ternyata si penjual tersebut langsung memberikan daging sapi. Karena kebiasaan masyarakat di daerahnya telah menspesifikasikan penggunaan kata "daging" pada daging sapi.
2)   Al-'urf al-'amali
Kebiasaan umat Islam yang berhubungan dengan perilaku biasa atau mu'amalah keperdataan. Perbuatan atau perilaku biasa ialah perbuatan dalam permasalahan hidup tanpa terkait dengan kepentingan oran lain. Misalnya kebiasaan libur kerja pada hari tertentu dan dalam satu minggu. Kebiasaan umat Islam tertentu memakan makanan yang khusus atau minuman yang khusus serta adanya kebiasaan memakai pakaian tertentu dalam acara khusus
b.    Dilihat dari aspek cakupan penggunaannya, 'urf dibagi menjadi 2 macam:[6]
1)      Al-'urf al-'am
Kebiasaan yang khusus dan berlaku secara menyeluruh di masyarakat dan seluruh daerah. Contohnya, saat jual beli motor, semua alat-alat yang dibutuhkan untuk memperbaiki motor seperti ban, kunci, dan sebagainya termasuk dalam hal harga jual, serta tidak ada akad dan biaya tambahan. Adapun contoh lain adalah kebiasaan ketika akan naik pesawat terbang yaitu berat barang bawaan bagi penumpang pesawat terbang ialah dua puluh kilogram.
2)      Al-'urf al-khash
Suatu kebiasaan yang ada dan dilaksanakan di suatu masyarakat dan daerah tertentu.Contohnya, dikalangan pedagang, jika terdapat kecacatan pada sebuah barang yang dibeli oleh si pembeli itu dapat dikembalikan, serta untuk kecacatan yang lainnya pada barang tersebut seorang konsumen tidak bisa mengembalikan barang tersebut.Juga bisa mengenai kebiasaan tentang ditentukannya masa garansi terhadap barang yang khusus. Adapun contoh lain ialah kebiasaan yang berlaku di kalangan pengacara hukum yang menjelaskan bahwa jasa dalam pembelaan hukum yang dilakukan oleh seorang pengacara haruslah dibayar dulu sebagian oleh kliennya. Menurut pendapat Musthafa Ahmad Al-Zarqa aspek 'urf al khas seperti ini tidak dapat dihitung jumlahnya serta akan senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan kondisi dan situasi di masyarakat.
c.    Dilihat dari aspek keabsahannya (penilaian baik dan buruk) dari pandangan syara', 'urf dibagi menjadi dua macam:[7]
1)   Al-'urf al-shahih
Suatu kebiasaan yang terjadi dan berlaku di tengah-tengah masyarakat terutama didaerahnyaakan tetapi tidak bertentangan dengan nash (Al-Qu'ran dan Al Hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan serta tidak juga membawa mudharat kepada masyarakat tersebut. Contohnya, pada peristiwa atau kejadian tunangan, dari pihak laki-laki memberikan sebuah hadiah kepada pihak perempuan dan hadiah tersebut tidak dianggap sebagai mahar (mas kawin).
2)   Al-'urf al-fasid
Suatu kebiasaan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah dasar dan dalil-dalil yang ada dalam syara'.Misal, suatu kebiasaan yang terjadi atau berlaku di kalangan pedagang yang menghalalkan riba, seperti pinjam-meminjam uang antar sesama pedagang.Dan uang yang dipinjam sebesar dua puluh juta rupiah dalam tempo dua bulan, haruslah dibayarkan sebanyak dua puluh satu juta rupiah ketika sudah jatuh pada waktu tempo, dengan perhitungan bunga sebanyak 10%. Dan dapat dilihat dari sisi keuntungannya yang di dapat oleh peminjam, penambahan hutang-piutang sebanyak 10% tidaklah memberatkan baginya, karena laba yang didapat dari dua puluh juta rupiah itu mungkin bisa dikatakan melebihi bunga dari 10% tadi. Namun, praktik yang dilakukan bukan suatu kebiasaan yang tolong-menolong dalam pandangan syara'.Karena pertukaran barang yang sejenis, menurut pandangan syara' tidak boleh saling melebihkan (H.R Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad Ibn Hanbal) dan praktik yang dilakukan tersebut ialah praktik yang dilakukan dan berlaku di zaman Jahiliyah, serta diketahui sebagai riba al-nasiah (riba yang muncul dari hutang-piutang).

3.    Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum
Banyak ulama’ yang sepakat menerima’urf sebagai dalil yang mengistinbath hukum. Selama tidak bertentangan dengan hukum islam dan dapat diasumsikan ‘urf yang shahih. Dalam hal ini, Syatibi menyatakan bahwa seluruh madzhab fiqih menjadikan atau tidak menolak ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan suatu hokum saat tidak ada nash menerangkan hukum yang muncul dikalangan masyarakat.[8]
Menurut asumsi Amir Syarifuddin, ulama’ yang menerima ‘urf sebagai dalil untuk mengistinbath hokum, ulama’ juga menetapkan beberapa persyaratan ‘urf tersebut supaya dapat diterima. Syarat-syarat tersebut diantaranya:[9]
a.       ‘Urf tersebut memuat kemaslahatan dan rasional
Ini merupakan syarat dimana sesuatu yang utuh pada ‘urf shahih, sehingga dapat diterima oleh kalangan masyarakat.Namun jika ‘urf membawa kemudharatan serta tidak bisa diterima oleh akal pikiran, maka ‘urf tersebut dalam Islam tidak dibenarkan.Misalnya, kebiasaan seorang istri yang membakar hidup-hidup dirinya ketika bersamaan dengan jenazah suaminya yang dibakar.Walaupun ‘urf ini tergolong baik dikalangan masyarakat tertentu namun hal tersebut tidak dapat diterima oleh logika (akal sehat).
b.      ‘Urf yang berlaku secara global dikalangan masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan ‘urf
Sudah sangat jelas sekali untuk syarat berikut ini jika dilihat dari segi perkembangan dikalangan masyarakat.Misalnya, sebuah tindakan tranksaksi jual beli di Indonesia yang pastinya menggunakan alat tukar yang resmi atau bisa disebut mata uang rupiah.Bahwasannya, dalam hal tranksaksi masyarakat tidak pernah mengucapkan berapa nilai mata uangnya karena semua orang telah mengetahuinya kecuali dalam masalah tertentu.
c.       ‘Urf yang menjadi dasar penetapan suatu hukum dan berlangsung saat itu.
Syarat tersebut menjelaskan bahwa sebelum penetapan suatu hukum dilakukan, ‘urf harus sudah ada.Maka dari itu, apabila ada ‘urf yang baru maka tidak dapat diterima keberadaannya.Seperti, pemberian mahar dikalangan masyarakat tersebut harus dibayar lunas, namun ‘urf ditempat tersebut mengalami perubahan dengan mahar yang dicicil.Maka si suami harus membayar mahar secara lunas sesuai dengan ‘urf yang berlaku, serta tidak menerapkan ‘urf yang baru muncul.
d.      ‘Urf yang tidak bertentangan dengan prinsip atau dalil syara’ yang ada.
Bahwasannya syarat tersebut memperkokoh ‘urf yang shahih, karena apabila ‘urf tersebut bertentangan dengan nash atau prinsip syara’ yang jelas, maka ‘urf tersebut termasuk fasid dan tidak bisa diterima.


4.    Kehujjahan ‘Urf
Memahami mengenai kehujjahan teori ‘urf dalam mengistinbathkan hokum, ulama’ memliki asumsi yang berbeda-beda:[10]
a.    Kalangan Malikiyyah dan Hanafiyyah berasumsi bahwasannya ‘urf dapat menjadi suatu hujjah dalam menetapkan suatu hukum (istinhbath al-hukm asy-syar’iy). Landasanya ialah sebagai berikut:
QS Al-A’raf ayat 199, Allah telah berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya:
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.  
Adapun Hadis yang memperkuat dasar dijadikannya ‘urf sebagai hujjah:
“ Sesuatu yang dianggap baik oleh umat Islam, termasuk sesuatu hal yang baik pula menurut Allah SWT”.
b.    Kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah berasumsi bahwasannya ‘urf tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menetapkan sebuah hukum.
Bahwasannya untuk memahami letak atau kondisi ‘urf sebagai salah satu kaidah hokum para ulama’ bermacam-macam dalam memakainya sebagi dalil hukum:
1)      Imam Malik dan Abu Hanifah memagang dalil hokum sebagai berikut: Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas, Istihsan serta ‘urf dikalangan masyarakat.
2)      ‘Urf atau adat dibagi menjadi tiga macam menurut Malikiyyah:
a)      Bahwasannya ‘Urf menjadi konsisten atau ditetapkan sebagai hukum, sebab nash membuktikan hal itu.
b)      Apabila mengamalkannya bermakna mengamalkan yang dilarang atau sama halnya dengan mengabaikan syara’.
c)      Bahwasannya yang tidak dilarang ataupun tidak diterima sebab tidak adanya suatu larangan.
3)      ‘Urf atau adat tidak dipergunakan sebagai dalil, menurut pendapat Imam Syafi’I sebab beliau berpegang teguh kepada Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, Ijtihad yang hal tersebut hanya dibatasi dengan qiyas saja. Sebab itu menjadi keputusan yang dipegang oleh Imam Syafi’I dalam tatanan atau wujud “qaul jaded” yang merupakan sesuatu yang sebanding terhadap penetapan hokum di Bagdad dalam wujud “qaul qadim”.

B. Sadd Al-dzari’ah
1.    Definisi Sadd Al-dzari’ah
Sadd Al-dzariah (سدالذريعة) terdiri atas dua kata, yaitu kata sadd memiliki arti “penghalang, sumbatan atau hambatan” sedangkan kata dzari’ah memiliki arti “jalan”.Maka dari itu, sadd al-dzari’ah secara singkatnya dapat dimaknai dengan arti “menutup jalan”. Menurut ulama’ ushul fiqih, secara harfiyah al-dzariah berarti:
“Dzari’ah ialah suatu masalah yang dzahirnya boleh atau mubah dan ia membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang”.[11]
Sadd Al-Dzari’ah seringkali disebut didalam kitab-kitab Malikiyah dan Hanabilah.Dzari’ah berarti washilah atau jalan, yang menyampaikan kepada suatu tujuan.Dimaksud dzari’ah adalah suatu jalan untuk sampai kepada hal yang haram ataupun yang halal. Dengan demikian, jalan ataupun cara yang disampaikan dengan haram hukumnya pun juga haram, sebaliknya jika disampaikan dengan halal hukumnya pun juga halal, serta yang disampaikan secara wajib hukumnya pun juga wajib pula.[12]Misalnya adalah kasus pemberian hadiah kepada seorang hakim. Hakim dilarang menerima pemberian hadiah dari seorang klien (orang yang memiliki perkara) sebelum perkara tersebut diputuskan, dan dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakadilan dalam menetapkan sebuah hokum mengenai kasus yang sedang dijalaninya. Pada hakekatnya, menerima hadiah atau pemberian dari orang lain adalah mubah, namun dalam kasus ini dilarang atau haram.[13]

2.    Macam-Macam Sadd Al-dzari’ah
Beberapa pendapat atau pernyataan yang dicetuskan oleh para ahli ushul fiqh dan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Syathibi mengenai pembagian al-dzari’ah membuahkan hasil yang setara dalam mengklasifikasi macam-macam al-dzari’ah antara lain:
a.    Kualitas Kerusakan Dzari’ah
Imam al-Syatibi mengemukakan teori pengelompokkan dzari’ah berdasarkan kekuatan hasil akhirnya (natijah) serta mafsadah yang ditimbulkannya.Ia mengkategorikan dalam empat pembagian, diantaranya:
1)   Suatu tindakan atau perbuatan yang dipastikan akan mengakibatkan kerusakan (mafsadah). Misalnya menggali sumur dibelakang rumah yang bertepatan di balik pintu rumah. Hal tersebut akan mengakibatkan kecelakan seperti seseorang itu akan terperosok kedalam sumur. Oleh sebab itu, kecerobohan semacam ini harus dipertanggungjawabka perbuatannya, karena perbuatan tersebut tidak diperbolehkan.[14]
2)   Dzari’ah dimana suatu dugaan yang kuat akan mendatangkan kepada mafsadah.Contohnya adalah saat si produsen memperjualkan buah anggur kepada konsumen atau sebuah perusahaan yang biasa membuat atau mengolah minuman keras (khamr). Dalam hal tersebut, dzari’ah sejenis ini, ahli ushul fiqh telah menyetujui penetapan keharamannya.[15]
3)   Suatu perbuatan yang besar kemungkinannya menimbulkan mafsadah. Misal, mendagangkan sentaja tajam kepada orang yang kafir, musuh ataupun orang yang sering berbuat kejahatan atau kriminal serta dikhawatirkan akan mengakibatkan pembunuhan dan sebagainya.[16]
4)   Dzari’ah yang bersumber pada anggapan biasa (bukan dugaan yang kuat) akan mendatangkan kepada mafsadah. Contohnya, saat melakukan transaksi jual beli kredit. Berdasarkan anggapan yang biasa, tranksaksi tersebut akan mendatangkan dan membawa kepada mafsadah, terutama bagi seorang debitur. Adapun dzari’ah sejenis ini, ulama’ berbeda akan pendapatnya. Ada yang beranggapan, tindakan tersebut harus dilarang atau haram atas dasar Sadd Al-dzari’ah da nada pula yang beranggapan lainnya.[17]
b.    Kerusakan yang diakibatkan Dzari’ah
Ibn Al-Qayyim berasumsi tentang pembagian dzari’ah apabila dinisbathkan dengan kesimpulan akhir (natijah), dibagi dalam dua macam:[18]
Pertama, suatu tindakan yang dengan sendirinya membawa kerusakan, contohnya seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan kerusakan pada saraf otak, organ tubuh dan sebagainya.Adapun contoh lainnya yaitu berbuat zina yang menimbulkan percampuran sperma laki-laki dan perempuan serta merusakbenih-benih keturunan.Kedua, suatu tindakan yang diperbolehkan atau dianjurkan akan tetapi dijadikan suatu perantara untuk menuju kepada sesuatu yang diharamkan, baik secara tidak sengaja ataupun sengaja. Contohnya seorang pria yang menikah dengan seorang wanita dan sudah ditalak tiga kali, akan tetapi memliki tujuan supaya wanita tersebut bisa diajak rujuk kembali dengan suami yang pertama.
Dalam asumsi Ibn Al-Qayyim mengenai perihal tersebut, muncullah dua kondisi:
1)        Pada dasarnya kemaslahatan dari suatu tindakan itu lebih dominan dari kemafsadatannya.
2)        Bahwasannya mafsadahnya lebih dominan dari kemaslahatannya. Pada kondisi dari kedua asumsi ini, maka terbagi lagi menjadi empat bagian, diantaranya:
a)    Suatu perbuatan yang dikerjakan dengan sengaja untuk menuju kemafsadatan, misalnya, minum-minuman yang mengandung alkohol seperti arak atau melakukan perbuatan zina yang akan menimbulkan percampuran nasab serta menimbulkan pertikaian antar sesama.
b)   Suatu perbuatan yang sesungguhnya boleh atau dianjurkan, akan tetapi memiliki tujuan mafsadah, misalnya melakukan tranksaksi jual beli dengan maksud untuk mendapatkan riba.
c)    Suatu perbuatan dengan maksud kemafsadatan atau berimbas kepada mafsadah dan bukan pula mashlahah, misalnya mengolok-olok atau memaki-maki berhala dihadapan mereka.
d)   Suatu tindakan yang diperbolehkan (mubah) akan tetapi terkadang menimbulkan kemafsadatan. Namun, dalam masalah ini kemaslahatan juga memiliki peran kekuatan yang lebih dari pada kemafsadatan. Misalnya melihat secara terus-menerus wanita yang akan dipinang.

3.    Kehujjahan Sadd Al-Dzari’ah
Berpedoman kepada dzari’ah dan memberikan hukum yang sama dari hasil hukum tersebut, serta didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Di dalam Al-Qur’an terkandung larangan mengolok-olok atau memaki-maki berhala dengan firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا
Artinya:
“Hai orang beriman. Janganlah kamu katakana : Raa’inaa, tetapi katakanlah: perhatikanlah dan dengarkanlah.”
Larangan-larangan tersebut disebabkan lantaran kaum Yahudi memakai kata-kata “raa’inaa” untuk memaki-maki Nabi, oleh karenanya seseorang dilarang untuk melafalkan kata-kata tersebut serta untuk menutup peluang sad al-dzara’i dari hinaan mereka kepada Nabi.Dalam Al-Hadits, terdapat berbagai pendapat yang datang melalui hadits, diantaranya:
1)   Bahwasannya Nabi berusaha mencegah agar tidak membunuh orang-orang munafiq dan sementara mereka terus-menerus mengumbar fitnah sesame kaum muslimin. Hal tersebut ditimbulkan dzari’ah apabila mereka dibunuh dan akan dikatakan bahwa Nabi Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.
2)   Bahwasannya Nabi melarang orang yang dihutangi untuk menerima hadiah dari yang berhutang kepada orang tersebut, karena hal tersebut untuk mencegah terjadinya riba.
3)   Bahwasannya Nabi melarang orang yang bersedekah untuk membeli apa yang telah disedekahkannya, sebab dzari’ah yang terikat kaum fakir tersebut mengembalikannya dengan harga yang buruk ataupun murah dari pasaran.[19]

C.  Madzhab Sahabat (مذهب الصحابي)
1.    Definisi Madzhab Shahabi
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, dalam penetapan hukum Islam dilanjutkan oleh para sahabat Nabi.Hal ini karena semakin luasnya problematika yg dihadapi oleh Islam dan yang harus ditetapkan oleh Islam itu. Disisi lain, sahabat yang menjadi pionir dalam menetapkan hukum Islam ini, sebab mereka orang yang ahli dalam fiqh, mengetahui hukum-hukum dalam Al-Qur’an serta Sunnah Nabi. Selain itu, mereka yang pernah hidup bersama Nabi dan berjuang untuk menegakkan ajaran Islam bersama Nabi SAW. Maka dari itu, para sahabat menjadi rujukan bagi kaum muslim yang memiliki masalah terkait dengan hukum serta memberikan fatwa-fatwa terkait dengan suatu kejadian. Menurut ulama ushul fiqh, sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah yang langsung menerima risalahnya dan mendengar langsung penjelasan tentang syari'at dari beliau sendiri.[20]
Ketika masa ulama tabi'in dan tabi' tabi'in, mereka banyak yang meriwayatkan fatwa-fatwa para sahabat ini.Sehingga ulama menyebutnya sebagai Madzhab Shahabi atau Qoul Shahabi. Sebab mereka memandang Sahabat adalah orang yang benar-benar mengertidan paham akan ilmu agama. Mereka orang yang mempunyai keakraban dan kedekatan dengan Nabi.Para ulama memandang mereka lebih mampu dalam memahami kandungan dan maksud dari Al-Qur’an daripada orang Islam lainnya. Oleh karena itu, jumhur ulama menetapkan bahwa fatwa-fatwa para sahabat Nabi ini dapat dijadikan sebagai hikmah dalam penetapan hukum Islam setelah dalil-dalil nash.
Adapun dalil yang menjadi landasan bagi para ulama yang menetapkan madzhab Shahabi ini dapat dijadikan sebagai hikmah, yaitu Q.S. at-taubah ayat 100:[21]

وَٱلسَّٰبِقُونَٱلْأَوَّلُونَمِنَٱلْمُهَٰجِرِينَوَٱلْأَنصَارِوَٱلَّذِينَٱتَّبَعُوهُمبِإِحْسَٰنٍرَّضِىَٱللَّهُعَنْهُمْوَرَضُوا۟عَنْهُ
Yang artinya:
Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah.Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.Itulah kemenangan yang agung.
Dalam kitab Imam Ibnu Qayyim yang berjudul "I'lamul Muwaqqi'i" mengemukakan terdapat empat puluh tiga asumsi yang wajib untuk mengikuti pendapat para sahabat, yang pada akhirnya Imam Ibnu Qayyim berkata, bahwasannya fatwa sahabat tersebut tidak melenceng dari enam hal berikut ini:[22]
a.       Bahwasannya fatwa yang telah didengar oleh sahabat adalah dari Nabi
b.      Adapun fatwa yang didengar oleh orang yang mendengarnya dari Nabi
c.       Fatwa yang dilandaskan pada pemikiran atau pemahaman terhadap Al-Qur'an yang sedikit hilang dari ayat itu pemahamannya bagi umat Islam.
d.      Suatu fatwa yang disetujui oleh para sahabat yang sampai kepada umat Islam melalui perantara salah seorang sahabat.
e.       Bahwasannya fatwa yang menjadi dasar pada kesempurnaan ilmunya baik secara lughowi ataupun tingkah laku, serta kesempurnaan suatu ilmu tentang kondisi Nabi
f.       Suatu fatwa yang berlandaskan pemahaman yang tidak hadir dari Nabi atau pemahamannya salah.

2.    Kedudukan Madzhab Sahabat Sebagai Sumber Hukum
Kalangan ulama' menyetujui bahwasannya anggapan seorang sahabat atau qaul sahabat tidak bisa dijadikan hujjah kepada sahabat yang lain, mereka berbeda asumsi mengenai qaul sahabat atau madzhab sahabat, dan timbul pertanyaan "apakah madzhab sahabat tersebut dapat dijadikan hujjah terhadap orang-orang sesudah sahabat, kalangan tabi'in dan orang-orang sesudahnya?". Pada penetapan dan ketentuan yang terakhir tersebut dapat diperjelas sebagai berikut:[23]
a.       Pendapat sahabat yang diduga tersebut sesungguhnya berasal dari Rasulaallah saw, sebab logika belum bisa menjangkau hal tersebut. Pendapat sejenis ini menjadi hujjah terhadap umat Islam, sebab diungkapkannya tidak boleh berasal dari pendengaran seorang Nabi.
b.      Bahwasannya pendapat seorang sahabat dan tidak ada sahabat yang lain untuk menyalahkannya. Hal tersebut dinamakan hujjah, sebab pendapat tersebut adalah ijma' sahabat.
c.       Pendapat sahabat tersebut ialah hasil ijtihat maupun pendapatnya tersendiri, sedangkan diantara sahabat ada yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Pendapat seperti inilah yang diragukan atau diperselisihkan para ulama'.

3.    Contoh Madzhab sahabat atau fatwa shahabi
Berikut ini adalah beberapa contoh dari madzhab sahabat, diantaranya:[24]
a.       Fatwa atau ucapan Aisyah ra yang menjelaskan penentu batas maksimal kehamilan seorang wanita dua tahun, berikut ini fatwa Aisyah: ”Anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari dua tahun”.
b.      Fatwa Umar bin Khatab mengenai laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan kondisi perempuan tersebut dalam masa iddah dan harus dipisahkan serta haram bagi seorang laki-laki yang akan menikahi perempuan itu untuk selamanya.
c.       Fatwa Anas bin Malik yang menjelaskan bahwa tiga hari adalah masa minimal haid seorang perempuan.

4.        Kehujjahan Madzhab Sahabat
Dalam menafsirkan masalah kehujjahan madzhab shahabi, dikalangan ulama menyetujui bahwa madzhab shahabi dapat dijadikan sebagai hujjah. Hal ini disebabkan beberapa hal:
a.         Madzhab Shahabi tidak akan jauh dari tutunan Allah dan Rasul-Nya.
b.        Mereka yang lebih mengetahui proses turunnya wahyu serta menerima dan menyaksikan dari Rasulullah semua tindakan beliau dalam mengamalkan wahyu.
c.         Mereka bersikap Taqlil al-Riwayah (minimalkan periwayat dari Rasul), sebab khawatir akan terjadi penambahan dan pengurangan terhadap teks wahyu.
Namun ada masalah yang masih menjadi perselisihan diantara mereka yaitu kehujjahan madzhab shahabi dikalangan ulama tabi’in dan tabi’ tabi’in, padahal perbedaan ini terjadi pada ijtihad yang mereka lakukan. Maka dari itu, untuk menanggapi persoalan ini para ahli berbeda pandangan diantaranya:
a.       Imam Malik, Abu Bakar al-Raziy, Abu Sa’id (pengikut abuh Hanifah), Imam Syafi’i (dalam qoul qadimnya), Imam Ahmad bin Hambal berasumsi bahwa madzhab shahabi dapat dijadikan hujjah bagiketurunan selanjutnya. Dengan dasar:
1)      Q. S. Ali Imran: 110
كنتم خير أمة اخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk menyuruh manusia kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.”
Ayat ini merupakan khithab Allah untuk para shahabat Nabi SAW supaya mereka menganjurkan yang ma’ruf sedangkan perbuatan ma’ruf itu hukumnya wajib.Karena itulah madzhab shahabi itu wajib diterima.
2)        Hadits riwayat ‘Abd bin Humaidi:
اصحابى كالنجوم بايهم اقتديتم اهتديتم
Artinya: “Sahabatku bagaikan bintang-bintang, siapa saja diantara mereka yang kamu ikuti, pasti engkau mendapatkan petunjuk.”
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW membuat suatu ikatan kepada siapa saja dari para sahabatnya sebagai dasar pijakan untuk mendapatkan petunjuk.Ini berarti setiap pendapat sahabat adalah hujjah dan wajib diamalkan.
b.        Jumhur Asy’ariyyah dan Mu’tazilah, Syi’ah, Imam Syafi’I (dalam qoul jadid- nya), Abu Hasan al-Kharkiy (dari golongan Hanafiyyah) dan Malikiyyah berasumsi bahwasannya madzhab shahabi tidak dapat dijadikan hujjah atas sahabat yang lainnya. Dengan dasar:
1)      Q.S. al-Hasyr: 2
فاعتبروا ياأولى الأبصار
Artinya: “Maka ambillah (dari kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang yang memiliki pandangan luas.”
     Pada ayat ini terdapat kata I’tibar yang dimaksud disini adalah qiyas dan bentuk kalimatnya ialah amr yang bermakna ijtihad. Maka dalam kondisi yang sama, qiyas dan ijtihad dalam hal ini memberikan pengetahuan bahwa setiap mujtahid tidak boleh bertaqlidterhadap mujtahid yang lainnya, baik mujtahid itu sahabat ataupun bukan sahabat.
2)   Adapun kenyataan bahwasannya hasil ijtihad sahabat yang satu dengan sahabat yang lain tidak sama, misalnya yang terjadi pada sahabat Umar dan Ali dalam permasalahan sebagai berikut:
“Ada seorang laki-laki memiliki seorang perempuan yang masih dalam keadaan iddah dari suami pertama, lalu dipisahkan atau diceraikan lantaran pernikahannya dianggap tidak sah.” dalam memahami permasalahan ini, pendapat mereka berbeda:
a)      Sahabat Umar bin Khatthab memakai qiyas menyatakan bahwasannya laki-laki tersebut diharamkan untuk mengulangi pernikahannya kembali. Maka, diqiyaskan atas terhalangnya hak waris bagi ahli waris yang membunuh pewarisnya.
b)      Sahabat Ali bin Abi Thalib memakaiistishab bara’ah al-ashliyyah (berpeganng pada keadaan asal yang dekat) menyatakan bahwasannya laki-laki itu dibolehkan menikahi kembali wanita itu setelah cerai dari suaminnya serta telah habis masa iddahnya dengan suaminya yang pertama.[25]

D.  Syar’u Man Qablana
1.    Definisi Syar’u Man Qablana (شرع من قبلنا)
Syar’u man qablana (شرع من قبلنا) atau bisa disebut syari’at umat sebelum kita adalah syari’at Allah yang diturunkan untuk umat-umat sebelum kita, melalui perantara para Nabi dan Rasul atau juga bisa disebut ajaran agama seblum Islam.Seperti Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Syari’at-syar’at para Rasul serta syariat Islam, keduanya sering dikenal dengan sebutan “syari’at samawiyah”.Karena pada hakikatnya, syariat yang diturunkan tersebut menjadi penuntun atau pedoman bagi umat Islam.[26]
Adapun definisi syar’u man qablana secara terminology adalah sebagi berikut:[27]
ما نقل الينا من الاحكام التي شر عها الله  سبحانه للامم السابقة بواسطة انبيا ئه الذين ارسلهم الى تلك الامم كسيدنا إبراهيم و موسى و عيسى
Yang artinya:
“Syar’u man Qablana adalah segala sesuatu yang telah dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara’ yang telah disyari’atkan Allah SWT kepada umat terdahulu melalui para nabi yang diutus kepada umat, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa as”.
Maksud dari ayat tersebut ilah syariah-syariah yang berlaku di periode para nabi yang dulu sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW. Apabila Al-Qur’an dan As-Sunnah shahih memaparkan suatu hukum yang disyari’atkan oleh Allah SWT kepada umat terdahulu dengan melalui para Rasul, yang kemudian nash tersebut berlaku wajib bagi mereka. Oleh karena itu hukum tersebut diperuntukkan kepada umat Islam dan sifatnya fardhu diikuti, misalnya kewajiban untuk berpuasa, ialah:
ياَايُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُم
Yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajiban kepada orang-orang sebelum kamu”

2.    Penggolongan Syar’u Man Qablana dalam Pandangan Ulama’
Dari pembahasan mengenai pengertian dari syar’u man qablana, hukum dapat dikategorisasikan menjadi tiga bagian, diantaranya:[28]
a.    Hukum (syariah) telah dihapuskan atau juga bisa diartikan dimansukh dengan dalil-dalil qath’iy. Oleh karena itu, tidaklah menjadi hukum atau syari’ah bagi umat Islam. Dalam firman Allah surat Al-An'am ayat145-146:
Yang artinya: “Katakanlah, tidak aku peroleh dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan segala binatang yang berlaku dan dari sapi dan domba Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu”
b.    Hukum atau syar’iyah mereka dijadikan hukum berlandaskan dalil-dalil yang qath’iy. Dalam hal tesebut jelas menjadi hukum atau syari’ah umat Islam yang wajib diamalkan. Misalnya:
2)   Penyembelihan (udlhiyyah) yang disyari’atkan kepada Nabi Ibrahim as, dan hal itu menjadi hukum bagi umat Islam sampai sekarang.
c.    Hukum atau syari’ah yang hanya dikisahkan Allah kepada umat Islam namun tidak ada dalil-dalil yang menyebutkan apakah hukum itu dihapus atau tidak dihapus. Misalnya, Syari’ah Bani Israil yang disebutkan serta dibahas dalam kitab Injil yang tercantum didalam QS. Al-Maidah ayat 45.

3.    Kehujjahan Syar’u Man Qablana
Para ulama Ushul berbeda pendapat mengenai keabsahan syar’u man qablana sebagai sumber dalil penetapan hukum islam, terdapat tiga pendapat mengenai hal tersebut:
a.    Ulama dari kalangan Hanafiy dan Maliky berpendapat bahwa syariat yang ditetapkan untuk umat terdahulu wajib untuk kita ikuti pula, karena sama-sama berasal dari Allah. Dengan dalil surat al-An’am ayat 90: [29]
أُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ فَبِهُدَاهُمُ قْتَدِهِ
     Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka”.
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنْ اِتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنْيْفًأ
Artinya: dan kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ikutilah agama ibrahim yang hanif. 
b.    Menurut mayoritas Ulama Syafi’iy, syar’u man qablana jika berkaitan dengan hukum, maka tidak dianggap sebagai syariat umat islam sekarang dan tidak dibenarkan untuk dijadikan hujjah serta tidak wajib pengamalanya. Dengan dalil surat al-Maidah ayat 48:

لِكُلِّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Artinya: “Bagi tiap-tiap umat diantara kamu (umat Nabi Muhammad dan Umat yang sebelumnya) kami berikan aturan-aturan dan jalan yang terang”.
c.    Sementara dari kalangan ulama Hambali mengambil jalan tengah antara kedua pendapat diatas. Yakni terkadang syariat yang ditetapkan untuk umat terdahulu bisa dijadikan hukum untuk umat Nabi Muhammad dan bisa juga tidak.

E. Penutup
Kesimpulan dari pembahasan dalam artikel ini tentang ‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat dan Syar’u man Qablana adalah bahwasannya didalam penetapan suatu syari’at yang dijadikan dasar fiqh tersebut mengikuti perkembangan dari masa ke masa. Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah syari’at yang diturunkan Allah SWT kepada Rasul dalam bentuk sumber hokum yang paling utama dan dijadikan pedoman atau petunjuk bagi umat Islam. Didalam Al-Qur’an dan Hadits terkandung hukum istinhbath yang diperoleh melalui ijtihad termasuk ‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat dan Syar’u man Qablana.
 'Urf dapat didefinisikan sesuatu yang diakui, dikenali atau diterima oleh kalangan masyarakat serta berlaku didaerahnya.‘Urf juga dibagi menjadi beberapa macam yaitu 'urf qauli, 'urf amali, 'urf khash, 'urf amm, 'urf fasid serta 'urf shahih.Sadd adz dzariah merupakan suatu tindakan  atau perilaku yang dijadikan suatu perantara larangan bagi syari’ah. Adapun macam-macam sadd adz dzariah ditinjau dari aspek kualitas dzari’ahnya dan kerusakan yang ditimbulkan dari dzari’ah tersebut.Kemudian kehujjahan dari sadd adz dzariah dapat ditinjau dari motivasi seseorang yang melaksanakan tindakan dan ditinjau dari aspek dampak tindakan itu.Madzhab sahabat dapat dimaknai dengan fatwa sahabat Nabi yang dijadikan hasil dari ijtihadnya dalam menetapkan suatu syari’at.Didalam kehujahannya mempunyai banyak perbedaan asumsi dan didalamnya tidak ada hubungan antar sahabat satu dengan yang lainnya, Sedang sar’u man qablana merupakan hukum yang dibawa oleh para Nabi sebelum nabi Muhammad Saw. Apabila tidak ada dalil yang dinasakh,  jumhur ulama’, syari’at orang terdahulu ini dapat menjadi pedoman hukum.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,Sulaiman. Sumber Hukum Islam: Permasalahannya dan Fleksibilitasnya. Jakarta:
Sinar Grafika, 1995.
Asmawi.Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah, 2018.
Djazuli.Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2005.
Djazuli dan Nurol Aen.Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2000.
Haroen, Narun.Ushul Fiqh. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997.
Mahfudh, Sahal. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siwa Aliyyah Madrasah
Hidayatul Mubtadi’ien PP Lirboyo, 2004.
Suratno dan Anang Zamroni.Mendalami Fikih 1. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
2013.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif. Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004.
Yusuf, Nasruddin. Pengantar Ilmu Ushul Fiqih. Malang: IKIP Malang, 2012.
Zein, Ma’shum.Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016.


Catatan:
Makalah sudah sangat bagus, similarity cuma 3%.



[1] Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), hlm. 175.
[2]Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siwa Aliyyah Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien PP Lirboyo, 2004), hlm. 215.
[3]Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 176.
[4]Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, hlm. 216-217.
[5]Narun Haroen, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 139.
[6]Ibid., hlm. 140.
[7]Ibid., hlm. 141.
[8]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, (Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004), hlm. 102.
[9]Ibid., hlm. 105-107
[10]Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh,hlm. 179-181.
[11]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fiqih, (Malang: IKIP Malang, 2012), hlm. 90.
[12]Djazuli, Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group,2005), hlm. 98.
[13]Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2018), hlm. 142.
[14]Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, hlm. 302.
[15]Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, hlm. 143.
[16]Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, hlm. 302.
[17]Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, hlm. 143.
[18]Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, hlm. 301.
[19]Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahannya dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika,1995), hlm. 165.
[20]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 92.
[21]Ibid., hlm. 93
[22]Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2000), hlm. 212-213.
[23]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 94-95
[24]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, hlm. 129
[25]Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 187-190.
[26] Suratno dan Anang Zamroni, Mendalami Fikih 1,(Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013), hlm. 229.
[27]Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 181.
[28]Ibid., hlm 182-183.
[29]Ibid.,hlm. 184-185.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar