SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAK
DISEPAKATI
(‘Urf, Saddudz Dzara’i, Syar’u Man Qablana,
dan Madzhab Shahabi)
Viviani Rezeki dan Aliffia
Fitri Rizky
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “C”
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
Email : viviani.rejeki.1397@gmail.com
Abstract
This article discusses the law that is not
agreed upon or is called the law of Mecca. This source of law can be used as a
basis because of the position that allows and opinions of scholars. Here we
will learn about the legal sources of f Urf, Saddudz Dzara'i, Mazhab Shahabi,
and Syar’u Man Qablana. In this source of law we can learn and use it as a
source of law for certain reasons. Opinions from ulama are taken into
consideration as proof. Law f Urf which is about habits both in terms of
actions, words, general and special and saheeh and not. In the division of
legal groups f this urf there are examples of reinforcement that can strengthen
the definition of various ‘urf. Both traditions in the community have become customary
or customary in the community. saddudz dzari'ah is a wasilah or road that aims
to fulfill that goal. In this case, the road that is used is good for lawful
matters or for illegal purposes. The Syar'u Man Qablana is an Islamic law
syari'ah which was revealed by Allah to the previous prophets and messengers.
While the Shahabi School is a law that comes from the opinion of friends. This
law cannot be used as proof because orders can not be from God and we do not
require to follow them. We can learn about these various discussions in more
detail in this article.
Abstrak
Artikel ini membahas mengenai hukum yang
tidak disepakati atau disebut hukum mukhtalaf. Sumber hukum ini dapat dijadikan
sebagai satu dasar karena dengan kedudukan yang memperbolehkan dan pendapat
ulama-ulama. Disini yang akan kita pelajari yaitu mengenai sumber hukum ‘Urf,
Saddudz Dzara’i, Mazhab Shahabi, dan Syar’u Man Qablana. Dalam sumber hukum ini
dapat kita pelajari dan kita gunakan sebagai sumber hukum karena sebab-sebab
tertentu. Pendapat dari ulama menjadi pertimbangan dijadikannya sebagai hujjah.
Hukum ‘Urf yaitu mengenai kebiasaan baik dari segi perbuatan, perkataan, umum
dan khusus serta shahih dan tidaknya. Pada pembagian kelompok hukum ‘urf ini
terdapat contoh-contoh penguat yang dapat menguatkan definisi dari macam-macam
‘urf. Baik tradisi-tradisi yang ada dimasyarakat yang sudah menjadi kebiasaan
atau adat di masyarakat itu. saddudz dzari’ah merupakan wasilah atau jalan yang
bertujuan untuk memenuhi tujuan tersebut. Dalam hal ini jalan yang digunakan
baik untuk perkara yang halal maupu prkara yang haram. Adapun Syar’u Man
Qablana merupakan syari’at hukum islam yang diturunkan Allah kepada para nabi
dan rasul terdahulu. Sedangkan Madzhab Shahabi merupakan hukum yang berasal dari
pendapat sahabat. Hukum ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena
perintah yang dapat bukan dari Allah dan kita tidak mengharuskan untuk
mengikutinya. Berbagai pembahasan tersebut dapat kita pelajari lebih rinci
didalam artikel ini.
Kata Kunci : ‘Urf, Saddudz Dzara’i, Syar’u Man Qablana, dan
Madzhab Shahabi
A. Pendahuluan
Sumber hukum islam yang kita ketahui ada
dua yaitu yang disepakati dan tidak disepakati. Untuk sumber hukum islam yang
tidak sepakati ini ada beberapa pendapat yang memperbolehkan dipakai sebagai
sumber hukum (hujjah) dan ada yang bertentangan. Hal ini dapat kita ketahui
dengan pendapat-pendapat para ulama (madzhab). Syari’at islam yang selama ini
kita tau bahwa sumer hukum islam hanya dari Allah saja yaitu Al-Qur’an dan
dikuatkan dengan As-Sunah atau hadist. Akan tetapi adanya
kesepakatan-kesepakatan dari para ulama menjadikan pertimbangan dalam hukum
islam ini.
Tidak menutup kemunginan bahwa syari’at
islam semua membawa kepada petunjuk dan tuntunan Allah swt. dan juga mewujudkan
kepada syari’at islam yang abadi dan komprehensif. Hal ini dibuktikan dengan prinsip-prinsip
dan kaidah-kaidah yang ada dalam islam yang memberikan jawaban atas kebutuhan
manusia dari waktu ke waktu seiring perkembangan zaman.
Secara konkrit ada hal penting dalam hukum
islam yaitu (1) adanya nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan
berubah sepanjang masa dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk
melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam
nash-nash. Ushul fiqh sebuah ilmu yang mengatur tentang proses ijtihad dan
dikenalkan dengan landasan penetapan hukum islam yang pada penggunaan kemampuan
ra’yu para fuqaha. Dengan hal tersebut maka kita akan membahas hukum-hukumnya
diantaranya adalah ‘Urf, Saddudz Dzara’i, Syar’u Man Qablana dan Madzhab
Shahabi.
B.
‘Urf
1.
Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu yang diartikan
dengan “al-ma’ruf” dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Kata ‘urf juga
terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “ma’ruf” yang artinya kebajikan
(berbuat baik).[1]
Menurut bahasa kata urf memiliki arti “adat” , “kebiasaan” , “suatu
kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus”. Maksud dari kata urf sendiri
jika didalam ilmu ushul fiqh adalah “sesuatu yang telah terbiasa (dikalangan)
manusia atau pada sebagian mereka dalam hal muamalat dan telah melihat atau
tetap dalam diri mereka untuk beberapa hal secara terus-menerus yang diterima
oleh akal yang sehat. Menurut istilah urf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh
manusia dan mereka memperaktikannya, baik perbedaan, perbuatan, maupun
meninggalkan.[2]
Banyak ulama fiqh yang berpendapat bahwa urf disebut juga adat. Dan
sebagian lagi mendefinisikan adat sebagai perkara yang diulang-ulang lebih umum
dari pada urf, dimana setiap urf adalah adat, namun tidak setiap adat adalah
urf. Tetapi sebagian ulama lainnya menilai urf lebih umum dari pada adat. Yang
dimaksudkan ulama fiqh sendiri yakni urf dan adat adalah sama. Karena keduanya
ialah nama untuk hal yang di ulang-ulang manusia dan biasa dilakukannya, serta
menjadi hal ini menjadi acuan mereka dalam menjalankan kehidupan.[3]
Terdapat beberapa perbedaan ‘urf atau ‘adah dengan ijma’
mengenai sesuatu yang harus dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak.
1)
‘Urf terjadi karena ada penyesuaian dalam
perbuatan ataupun perkataan diantara umumnya manusia baik orang biasa, cerdik
cendekiawan atau para mujtahid.
Sedangkan didalam Ijma’ kesepakatan hanya terjadi dikalangan para
mujtahid saja.
2)
Apabila ‘urf
ditentang oleh sebagian kecil manusia tidak membatalkan kedudukannya sebagai
‘urf. Sedangkan ijma’ jika tidak disetujui oleh seorang mujtahid saja, sudah
tidak bisa dianggap sebagai ijma’ lagi.
3)
Hukum yang
dihasilkan berdasarkan Ijma’ menjadi hukum yang pasti dalam arti tidak bisa
dijadikan objek Ijtihad. Adapun hukum yang dihasilkan berdasarkan ‘urf bisa
berubah dengan perubahan ‘urf itu sendiri.[4]
2.
Macam-macam Urf
Urf memiliki
beberapa macam penggolongan dilihat dari berbagai segi.
Pertama, Urf dilihat dari segi materi yang biasa
dilakuan, dalam bagian ini urf terbagi menjadi dua yaitu urf qauli dan urf
amali.
a.
Urf qauli ialah
kebiasaan yang dilakukan menggunakan kata-kata atau ucapan. Menggunakan kata
walad pada anak laki-laki bukan kepada anak perempuan. Meski secara bahasa bisa
digunakan pada keduanya. Makna inilah yang dimaksudkan pada firman Allah (QS Annisa:
11-12). Seluruh kata walad digunakan untuk
keduanya baik laki-laki maupun perempuan.
b.
Sedangkan urf
amali/fi’li ialah
kebiasaan manusia yang
dilakukan dengan perbuatan. Misalnya kebiasaan yang dilakukan dalam jual beli
barang bagi anak kecil yang belum baligh, kebiasaan meminjam barang milik
temannya tanpa ada ucapan meminjam, dan sebagainya.
Kedua, menurut segi keumumannya atau penggunaannya, urf terbagi menjadi dua yaitu urf “am dan urf khas.
a.
Urf ‘am yakni
kebiasaan yang telah dikenal manusia dimana-mana hampir seluruh penjuru
negeri pada suatu
masa. Urf ‘am ini termasuk
dalam kategori ijma’ bahkan mempunyai status yang lebih universal dari
ijma’. Contoh dari urf am sendiri yaitu
mengantri ketika beli bensin, menganggukkan kepala ketika mengiyakan sesuatu
dan menggelengkan kepala ketika menolak sesuatu, jika hal itu dibalik maka
dianggap aneh, memakai kamar mandi umum dengan mematokkan harga tidak diatasi
penggunaannya, memberikan perhiasan kepada istri sebagai hadiah dan sebagainya.
b.
Urf khash ialah
kebiasaan yang diakui oleh sebagian penduduk negeri saja, seperti pada satu negara,
satu provinsi, atau sebagian masyarakat. Contohnya seperti halnya dengan
kebiasaan penduduk Iran dalam melangsungkan sebagian mahar dan mengakhirkan
sebagian lain hingga dekat waktu meninggal atau talak, menikah dengan orang
yang sama-sama berkasta orang-orang Hindu di Bali, menarik garis keturunan
melalui garis ibu atau perempuan (matrilineal) di Minangkabau dan melalui bapak
(patrilineal) dikalangan suku Batak, di Jawa orang yang berdarah biru menikah sama
dengan orang yang berdarah biru, dan tidak boleh menikah dengan orang dengan
letak rumahnya yang berbeda adu arah, di Indonesia setiap bulan Syawal
mengadakan halal bi halal di negara lain tidak melakukannya .
Ketiga, dari segi keabsahan dan tidaknya,
urf terbagi menjadi dua bagian yakni urf shahih dan urf fasid.
a.
Urf Shahih yaitu ‘urf yang sah atau tidak bertentangan
dengan hukum-hukum syariah dan kaidah-kaidah yang ada, dan dapat diterima oleh
banyak . Contohnya seperti ketika halal bi halal memberikan uang sebagai hadiah
atau ucapan rasa syukur, mengadakan pertunangan sebelum nikah dan sebagainya.
b.
Urf fasid atau
‘urf yang tidak sah yaitu suatu yang telah dikenal manusia tetapi bertentangan
dengan hukum-hukum syariat dan kaidah-kaidah yang ada dan ini merupakan suatu
kebiasaan yang tidak bisa dijadikan landasan hukum. Seperti hal nya muamalah
riba, minum khamr, berjudi, adu binatang dan lain sebagainya.
3.
Kedudukan Urf
Sebagai Sumber Hukum
Urf bisa dijadikan landasan hukum masalah fiqhiyyah jika sudah
tidak menemukan lagi dalam Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan hadits yang berbunyi
“Suatu kebiasaan yang dinilai baik oleh orang-orang Islam, dan juga dinilai
baik di sisi Allah. Menurut Imam Jalaluddin As suyuti dalam kitab Aybah
Waannadlair mengatakan bahwa ketetapan berdasarkan ‘urf termasuk dalam kategori
dalil syara’, dan berdasarkan kaidah: apa yang dikenal sebagai urf sama dengan
apa yang ditetapkan sebagai syarat dan sesuatu yang tetap karena urf sama
dengan yang tetap karena nash.
Menurut para ulama urf shahih saja yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
ulama malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan penduduk madinah.
Dari sini kita dapat menyimpulkan apa yang terdapat dalam masyarakat dapat
dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara Imam
Syafi’i yang terkenal dengan Qoul Qadim dan Qoul Jadidnya, karena
melihat praktik yang berlaku pada masyarakat Baghdad dan Mesir yang berlainan
dengan adat dan kebiasaannya.
Hukum yang dibangun berdasarkan urf dan adat pun dapat berubah
apabila urf dan adat pun berubah. Kami menemukan satu madzhab yang berbeda
adatnya karena itulah terjadinya perbedaan pendapat dikalangan fuqaha. Fuqaha
menyebut perbedaan pendapat semacam ini karena berbedanya zaman, bukan dalil
maupun hujjah. Suatu ketika Imam Syafi’i berpindah dari Irak ke Mesir, ia
mengubah sebagian pendapatnya mengenai masalah berbeda antara kebiasaan
penduduk Mesir dan penduduk Irak. Imam Al-Qarafi menjelaskan makna “Hukum-hukum
yang ditentukan berdasarkan adat istiadat itu berputar bersama adat kemanapun
ia berputar, dan batal bersama adat jika ia juga batal. Undang-undang
seperti inilah yang membuat seluruh hukum syariat dibangun diatas adat dan
dijadikan acuan. ‘Urf merupakan tahqiq (verifikasi yang telah disepakati pada
kalangan ulama).
Penerimaan
para ulama mengenai urf sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan dan memenuhi kebutuhan manusia. Dengan kata lain
jika tidak mendatangkan ‘Urf tersebut maka dapat mendatangkan kesulitan kepada
manusia.
Kebiasaan
telah teruji dan dipraktekan secara terus-menerus. Diantara kaidah tersebut
adalah :
العبادة محكمة
Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.
Dalam kaidah yang lain, para ulama menempatkan sebagai syarat yang
disyaratkan.
لمعروف عرفا كالمشروط شرطا
Yang benar-benar ma’ruf (terkenal) adalah seperti yang disyaratkan
secara bear-benar pula.
Pada kaidah fiqh yang lain, ulama memandang bahwa sesuatu yang
ditetapkan berlandaskan pada urf mepunyai kekuatan hukum yang sama persis
dengan yang ditetapan berdasarkan nash.
التعيين بالعرف كا لتعيين با لنص
Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan urf
sama seperti yang ditetapkan berdasarkan nash.
Pendapat para ulama mengenai kedudukan ‘urf
sebagai sumber hukum
1)
Menurut ulama Hanafiyah, ‘urf bisa dijadikan sebagai
hujjah sebab dalam berijtihad ulama hanafiyah menggunakan metode Istihsan
Al-‘urf yaitu istihsan yang disandarkan pada ‘urf atau adat.
2)
Menurut ulama Malikiyah, ‘urf dapat dijadikan dasar
dalam menetapkan hukum namun hanya terbatas pada ‘urf yang ada di kalangan ahli
Madinah. Selain itu, ulama Malikiyah juga lebih mendahulukan ‘urf daripada
hadis Ahad.
3)
Menurut ulama Syafi’iyah, lebih banyak menggunakan
‘urf dalam hal yang tidak ditemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun
dalam penggunaan bahasanya.
كل
ما ورد به الشر ع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا في اللغة يرجع فيه الي عرف
“Setiap yang
datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’
mapun dalam Bahasa, maka dikembalikan kepada urf’”.[5]
Contohnya:
menentukan arti dan batasan tentang tempat simpanan (حرز)dalam pencurian, arti berpisah dalam khiyar majelis, waktu dan
kadar haid,dll.
4.
Syarat- syarat
‘urf yang bisa diterima oleh hukum islam
1)
Adat yang berlaku tidak bertentangan dengan dalil nash
baik dalam Al-Qur’an atau Sunnah.
2)
Pemakaiannya
tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’ah termasuk juga tidak
mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan kesulitan.
3)
Telah berlaku
secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang
saja.[6]
4)
‘Urf harus sudah ada sebelum terjadinya peristiwa yang
akan dilandaskan pada ‘urf tersebut.
5)
Tidak ada ketegasan dari pihak yang terkait yang
berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut. [7]
C.
Saddudz
Dzari’ah
1. Pengertian
Secara lughawi (bahasa), al-Dzari’ah itu berarti: “Jalanyang membawa
kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik atau buruk. Ibnu Qayyim
merumuskan definisi mengenai sadduz dzariah, yaitu: “Apa-apa yang menjadi
perantara dan jalan kepada sesuatu.
Dzari’ah artinya wasilah (jalan), yang menyampaikan kepada tujuan.
Dzari’ah disini yang dimaksud adalah jalan untuk sampai kepada perkara yang
haram atau kepada perkara yang halal. Maka dari itu perkara yang haram hukumnya
haram dan perkara yang halal hukumnya juga halal pula. Begitu juga dengan
perkara yang wajib hukumnya juga wajib, hingga ada suatu kaidah :
للو سا ئل حكم المقاصد
“Hukumnya wasilah (jalan/cara yang menuju kepada
tujuan)sama dengan hukumnya tujuan”
Kata saddu memiliki arti menutup, menghalangi, hambatan atau
sumbatan. Sedangkan kata Dzara’i berarti bahaya-bahaya adapula yang mengartikan
sarana-sarana.[8]
Definisi kata Dzariah sendiri adalah masalah yang dzahirnya boleh dan ia
membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang.
Dzara’i
menurut Prof.Dr Abdul Karim Zaidan ialah sarana. Beliau menjelaskan bahwa
sarana itu membawa kepada perilaku haram atau kerusakan. Maka sarana tersebut
haram hukumnya dan wajib ditutup dan mencegahnya untuk menghilangkan
berkembangnya sarana kerusakan, tetapi wajib dan diperbolehkan jika membawa
kebaikan. Tetapi kebanyakan hal yang dimaksud
dzari’ah adalah perbuatan kerusakan. Oleh karena itu, jika ada yang
mengatakan sadd adz-dzara’i berarti menutup jalan dan mencegah kepada perbuatan
yang mengantarkan pada kerusakan dan keburukan.
Dalam ilmu ushul fiqh saddu
dzara’i atau Dzariah yakni “ jalan untu menutup suatu masalah yang kelihatannya
mubah, tetapi (kemungkinan) bisa menyampaikan kepada perkara yang terhalang
(haram)”.
Contohnya, ketika kita berteman atau bersahabat dengan orang yang jahat akan
ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama kita akan menjadi orang jahat karena
bersahabat dengan mereka, yang kedua orang jahat tersebut yang berubah dan
berprilaku baik karena bersahabat dengan kita, sedangkan bersahabat sendiri
hukumnya mubah. Kewajiban
dalam mengerjakan shalat lima waktu, seseorang yang dapat mengerjakan shalat
bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak dapat
mengerjakannya. Haji itu wajib bagi yang
mampu, maka usaha untuk menuju kepada terlaksananya ibadah haji adalah wajib
pula.
2.
Kekuatan Hujjah
Saddudz Dzari’ah
Al-Dzari’ah ditempatkan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, yang mengandung arti bahwa meski syara’ tidak menetapkan secara jelas
mengenai hukum perbuatan, namun perbuatan itu merupakan wasilah bagi suatu
perbutan yang dilarang secara jelas, al
ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum wasilah adalah sebagaimana hukum
ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok.[9] Hal ini dikuatkan dengan ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadits
a.
Al-Qur’an
Dasar
Sadd al-dzara’i dapat dibuktikan ke shahihannya dengan dalil-dalil dari
Al-Qur’an dan as-sunnah beserta amalan-amalan sahabat. (QS Al-Anam: 60/108)
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah, selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat
mengangap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka,
lalu Allah memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Ayat
diatas menjelaskan bahwa mencaci berhala tidaklah dilarang Allah SWT. namun ayat ini
melarang kaum muslimin untuk tidak mencaci dan menghina berhala, dikarenakan
jika nantinya orang-orang musyrik pun bertindak untuk mencaci dan memaki Allah
secara melampaui batas.
Contoh lainnya pada surah Al-Baqarah ayat
104.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan
(kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Undzurna”, dan “dengarlah”.
Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”
Pada
ayat ini Allah melarang umat islam menggunakan kata “ra’ina” (perhatikan kami)
dikarenakan orang-orang Yahudi ingin mencaci Nabi dengan ungkapan tersebut, dan
tidak menghendaki makna bahasa yang sudah dikenal. Oleh karena itu, larangan
ini keluar demi menutup celah kerusakan.[10]
b.
Hadits
“Ketahuilah,
tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaannya.
Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus
ke dalamnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits
diatas menjelaskan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat menjerumuskan pada
perbuatan maksiat kemungkinan besar akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu
daripada kemungkinan memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling
selamat yaitu melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
Selain itu dalam hadi ini juga iterangkan
bahwa,
a)
Nabi melarang membunuh orang munafik karena menyebaban
Nabi dituduh membunuh sahabat-sahabatnya.
b)
Nabi melarang kreditor menerima hadiah dari debitur,
karena cara tersebut bisa mengakibatkan jatuh kepada riba.
c)
Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu
perang, karena memotong tangan disaat perang berakibat membawa tentara-tentara
lari menggabungkan diri dengan musuh, hadist tersebut berbunyi:
لا تقطع الايدي في لغزو
“Tidaklah dipotong
tangan pada waktu peperangan”(H.R. Abu Dawud)
d)
Nabi melarang penibunan karena hal itu menjadi
dzari’ah kepada kesempitan atau kesulitan manusia.
e)
Nabi melarang
fakir miskin dari Bani Hasyim menerima bagian dari zakat, kecuali apabila dia
berfungsi sebagai ‘amilin/karena dzaria’ah, agar jangan timbul fitnah, Nabi
memperkaya diri dan keluarganya dengan zakat.[11]
3.
Pengelompokan Saddudz Dzari’ah
Ada beberapa kelompok dzari’ah dilihat dari beberapa segi:
a.
Dzari’ah yang
membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang
menyebabkan kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang dapat merusak
keturunan.
b.
Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah,
akan tetapi dilakukan karena niat yang buruk dan merusak. Nikah itu hukumnya
boleh akan tetapi jika niatnya untuk menghalalkan yang haram menjadi tidak
boleh. Mencaci sesembahan agama lain boleh akan tetapi jika nantinya
menimbulkan kontra sehingga agama lain mencaci Allah maka hukumnya menjadi
terlarang.
c.
Dzari’ah yang
semula ditentukan untuk mubah, tidak ditunjukkan untuk kerusakan, namun
akhirnya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari
kebaikannya. Seperti contoh seorang istri yang ditingal
suami masih dalam masa iddahnya, ia berhias. Hukum berhias itu boleh akan
tetapi melakukan berhias tersebut masih dalam masa iddah menjadi lain.
d.
Dzari’ah yang
semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kerusakan, sedangkan
kerusakan itu lebih kecil daripada kebaikannya. Contohnya yaitu melihat wajah perempuan saat dipinang.[12]
4.
Kedudukan
Saddudz Dzari’ah
1.
Abu Hanifah dan
Imam syafi’i berpendapat bahwa saddudz Dzari’ah tidak dapat dijadikan sumber
hukum, karena menurut mereka jika sesuatu yang hukum asalnya mubah, tetap
diperlakukan sebagai yang mubah. Dikatakan pada sebuah hadits Nabi: “ Bagi
siapa yang berputar-putar disekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan
melanggar larangan tersebut”.
2.
Imam Malik
berpendapat jika saddudz dzariah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun
mubah tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan yang dilarang oleh agama.
Seorang ulama madzhab maliki yakni Al-Qurtubi meyatakan: “ Sesungguhnya apa-apa
yang dapat mendorong kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara
pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan”.
D.
Syar’u
Man Qoblana
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan syar’u man qoblana ialah hukum-hukum yang
telah di syariatkan Allah kepada umat-umat terdahulu yang diturunkan melalui
para Nabi dan Rasul untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu. Syariat ini
merupakan syariat para nabi terdahulu sebelum adanya syariat islam yang dibawa
oleh Rasulullah SAW. Seperti hal nya agama yang dibawa nabi Musa dengan kitab
sucinya yaitu taurat, kemudian agama yang dibawa Nabi Daud dengan kitab sucinya
yaitu Zabur dan yang terakhir agama yang dibawa nabi Isa dengan kitab sucinya
yaitu injil.
Dalam ilmu fiqh hal ini dibicarakan agar kita semua mengetahui
boleh atau tidak nya mengikuti aturan-aturan agama yang dibawa sebelum Nabi
Muhammad SAW. Boleh atau tidak nya ini bertujuan menggunakan syariat umat
terdahulu ini menimbulkan kesepakatan dan juga perselisihan.
1)
Hal-hal yang
disepakati
a.
Sebagian ulama
sepakat tentang tidak boleh nya beramal mengenai hukum-hukum agama sebelum
islam yang ternyata telah dihapus dalam islam.
b.
Dan sebagian
ulama lainnya pun berpendapat tentng wajibnya setiap muslim mengamalkan
hukum-hukum agama sebelum islam, yang mana syariat islam (Al-Qur’an dan Hadits)
telah menetapkan berlakunya hukum tersebut.
2)
Hal-hal yang
diperselisihkan
Yaitu
nash AL-Qur’an ataupun matan Hadits yang meriwayatkan tentang peraturan
agama-agama sebelum datangnyaislam, sedangkan nash atau matan hadits itu tidak
secara tegas melarang kita mengikutinya.[13]
Contohnya dalam QS Al-Maidah: 45
Dari
ayat diatas timbulah perbedaan pendapat dikalangan ulama. Pertama,
mereka berpendapat bahwa yang demikian wajib diikuti dan diamalkan, karena
menurut mereka dengan diceritakannya hal tersebut pada kita berarti hal itu
merupakan sebuah syariat untuk kita, yang dibawa oleh Rasulullah.[14]
Pendapat ini merupakan dari golongan Hanafiyah sebagian Syafi’iyah dan
Malikiyah.
Menurut
golongan kedua ini peraturan atau hukum agama-agama sebelum islam
sebaiknya tidak diamalkan, karena datangnya agama islam ini untuk menghapus
hukum agama yang terdahulu golongan ini membolehkan mengamalkan hukum agama
terdahulu jika itu dibenarkan atau diperintah oleh islam contohnya seperti pada
sabda nabi: “... maka puasalah sehari dan berbukalah sehari, karena yang
demikian adalah puasanya nabi daud.” (HR Bukhari)
Maksud
dari hadits diatas ialah puasa bermula dari syariat nabi Daud, kini telah
dimasukkan dalam syariat islam. Kesimpulan yang dapat diambil dari perselisihan
diatas, tampak bahwa yang ditolak ialah golongan kedua, bukan mengenai hal-hal
yang diperselisihkan seperti yang dimaksud oleh golongan pertama, tetapi
mengenai hal yang telah disepakati.
2.
Kedudukan
Syar’u Man Qoblana
Menurut ahli Ushul Fiqh mereka bersepakat syariat Nabi terdahulu
yang tidak tercantum dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW maka tidak
berlaku bagi umat islam. Karena menurut mereka datangnya syariat yang dibawa
Nabi Muhammad ini untuk membatalkan syariat yang terdahulu. Hal ini berlaku
bagi syariat para Nabi yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah, namun ada
dalil yang membatalkannya (nasakh), maka para ahli ushul sepakat menetapkan
bukan termasuk syariat bagi umat islam.
Ahli ushul fiqh menyepakati syariat sebelum islam yang tercantum
dalam Al-Quran dan Sunnah yang sahih berlaku bagi umat islam apabila
bahwa syariat tersebut pun berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Maksudnya,
pemberlakuannya bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum islam tetapi
ditetapkan Al-quran, contohnya kewajiban
puasa Ramadhan bagi umat islam yang juga telah ada di syariat sebelumnya.
Syariat ini telah ditegaskan dalam (QS Al-Baqarah:183).
E. Madzhab Shahabi
1. Pengertian
Kata “Qaul” memiliki arti
ucapan atau perkataan sedangkan kata “Shahaby” memiliki arti sahabat atau
teman.[15]
Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib sahabat adalah setiap orang islam yang hidup
dan bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang lama serta menimba ilmu dari
nya, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.
Mereka-mereka inilah orang yang telah berjasa menyampaikan ajaran islam yang
bersumber dari AL-Qur’an dan Sunnah dari Nabi kepada generasi sesudahnya.
Banyak sahabat yang tampil membeikan pendapat (fatwa) dalam
menjawab berbagai masalah yang muncul, seiring dengan perkembangan situasi dan
kondisi pada saat wafat Nabi Muhammad SAW. Sebagian ahli ushl fiqh menamakannya
dengan fatwa sahabi. Sementara itu, banyak ahli ushul fiqh yang
menyebutnya dengan madzhab sahabi. Dan sebagian yang lainnya menyebut
pendapat pendapat sahabat dengan qaul sahabi. Qaul shahaby menurut ilmu
ushul fiqh adalah : “fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar
(pendapat) pribadinya.”
Meskipun mereka menempatkannya dalam bahasan mengenai dalil syara’
yang diperselisihkan, kajian mengenai mazhab sahabi menjadi salah satu
tema menarik dikalangan ahli ushul fiqh. Menurut Amir Syarifuddin, Asnawi dalam
bukunya Syarh Minhaj al-Ushul
menempatkan madzhab sahabi sebagai dalil syara’ yang ditolak.[16]
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa mazhab sahabi berbeda
dengan ijma’ sahabi yang memiliki kedudukan berbeda dengan ijma’ sahabi
yang mempunyai kedudukan yang kuat dan tinggi sebagai dalil syara’ karena
kehujahannya diterima semua ahli ushul fiqh. Ijma’ sahabat pun dipandang lebih
kuat dari nash sebagai pernyataan ahli ushul fiqh yakni : “Ijma’ itu lebih kuat
dari nash”.
Jadi kesimpulannya mazhab sahaby ialah pendapat sahabat Nabi SAW
tentang suatu kasus yang tidak dijelaskan hukumnya secara tegas pada Al-Qur’an
dan Sunnah.
2.
Kehujahan Qaul
Shahabi
Untuk menentukan kekuatan atau kehujahan mazhab sahabi sebagai
dalil hukum terkait dengan bentuk dan asala fatwa tersebut. Menurut ahli ushul
fiqh tentang bentuk fatwa tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur
menentukan hal itu. Pendapat sahabat dapat dibagi menjadi emapt macam menurut
Abdul Karim Zaidan, yaitu:
1)
Fatwa sahabat
ini bukan berasal dari hasil ijtihadnya. Para ulama tidak berbeda pendapat
dalam menjadikan fatwa sahabat sebagai hujjah dalam menetapkan hukum bagi
generasi selanjutnya. Contohnya fatwa Ibn Masud dalam memberi batas minimal
haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa
seperti inilah yang kuat karena ini bukan hasil dari ijtihad sahabat, tetapi
mereka menerima langsung dari Rasulullah Saw.
2)
Ijma’Sahabat
yakni fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka. Fatwa ini
merupakan hujjah dan mengikat untuk generasi selanjutnya.
3)
Fatwa sahabat
dengan cara individu tidak mengikat sahabat yang lain. oleh karena itu,
sebagian para mujtahid dikalangan sahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah.
4)
Fatwa sahabat
yang dilakukan secara individu yang berasal dari hasil ijtihadnya. Dan tidak
ada kesepakatan sahabat terhadapnya. Sebab itu hal ini menimbulkan berbagai
perbedaan pendapat ulama, apakah fatwa tersebut mengikat atau tidak mengikat
pada generasi selanjutnya. Karena peristiwa inilah, setidaknya berkembangan
beberapa pendapat dikalangan ulama.[17]
3. Contoh Fatwa Sahabi
1)
Fatwa Aisyah
dalam menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita ialah dua tahun,
melalui ungkapannya: “ Anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari dua
tahun”.
2)
Fatwa Anas bin
Malik dalam menjelaskan masa minimal haid wanita yakni tiga hari.
3)
Fatwa Umar bin
Khattab mengenai laki-laki yang menikahi wanita dalam masa iddah harus
dipisahkan dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut selamanya. [18]
F. Penutup
Dari
pembahasan diatas dapat kita simpulkan mengenai Urf, Syar’u Man Qoblana Madzhab
Sahabi, dan Saddu Dzara’i yaitu :
Urf menurut bahasa memiliki arti adat ,
kebiasaan, suatu kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus. Sedangkan
menurut istilah urf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan
mereka memperaktikannya, baik perbedaan, perbuatan, maupun meninggalkan. Maksud
dari kata urf sendiri jika didalam ilmu ushul fiqh adalah “sesuatu yang telah
terbiasa (dikalangan) manusia atau pada sebagian mereka dalam hal muamalat dan
telah melihat atau tetap dalam diri mereka untuk beberapa hal secara
terus-menerus yang diterima oleh akal yang sehat.
Urf
terbagi tiga macam yang pertama urf qauli dan urf amali, yang kedua menurut
segi keumumannya yakni urf “am dan urf khas, yang ketiga dari segi keabsahan
tidaknya yaitu urf shahih dan urf fasid. Urf bisa dijadikan landasan hukum
fiqhiyyah dengan alasan sudah tidak ada nya lagi didalam Al-Qur’an.
Saddu
Dzara’i menurut Ibn Qayyim ialah “apa-apa yang menjadi perantara dan jalan
kepada sesuatu”. Kekuatan Saddu Dzara’i terbagi menjadi dua yakni pada
Al-Qur’an dan Sunnah. Kedudukan Saddu Dzara’i pun terbagi menjadi dua yakni
menurut Abu Haniffah dan Imam Syafi’i mengatakan tidak diperbolehkan menjadi
sumber hukum kemudian pendapat yang kedua dari Imam Malik bahwa Saddu Dzara’i
diperbolehkan menjadi sumber hukum.
Syar’u
Man qoblana yakni syariat-syariat sebelum datang nya islam seperti
ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa, Nabi Daud, dan Nabi Isa. Dalam ilmu
fiqh hal ini dibicarakan agar kita semua mengetahui boleh atau tidak nya
mengikuti aturan-aturan agama yang dibawa sebelum Nabi Muhammad SAW. Boleh atau
tidak nya ini bertujuan menggunakan syariat umat terdahulu ini menimbulkan
kesepakatan dan juga perselisihan.
Madzhab
Sahabi pendapat sahabat Nabi SAW tentang suatu kasus yang tidak dijelaskan
hukumnya secara tegas pada Al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Abdul Karim Zaidan
pendapat sahabat dapat dibagi menjadi empat macam yaitu fatwa sahabat ini bukan
berasal dari hasil ijtihadnya, Ijma’Sahabat, Fatwa sahabat dengan cara
individu.
DAFTAR
PUSTAKA
Djazuli, A.
2015. Ilmu Fiqh Penggalian Perkembangan dan Penerapan Huku Islam. Jakarta:Prenademedia
Group .
Jalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh
1&2. Jakarta: Prenada Media
Group.
Khalaf,Abd Wahab. 1980.Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh). Yogyakarta: Nur Cahaya.
Khalaf,Abd
Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta:Rineka Cipta.
Mahfudh, Sahal. 2004.Kilas Balik Teoritis Fiqh
Islam. Kediri: Purna Siwa Aliyyah.
Syarifuddin, Amir. 2011.Ushul Fiqh,jilid 2.Jakarta:Kencana.
Syarifudin, Amir. 2004.Ushul
Fiqh Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Kompherhensif. Jakarta: Zikrul
Hakim.
Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur. 2012.Bahan Ajar
Fiqih Madrasah Aliyah Program Keagamaan. Surabaya: Tim Penyusun Buku Ajar MGPK
Provinsi Jawa Timur.
Zaidan, Abdul Karim. 2008.Pengantar Studi Syariah Mengenal Syariah Islam Lebih Dalam. Baghdad: Rabbani Press.
Zein, Satria Effendi M. 2017.Ushul Fiqh. Jakarta:
Prenamedia Group.
Catatan:
1. Similarity
23%.
2. Abstrak
tidak representatif.
3. Nama
kitab/buku dimiringkan.
4. Gelar
(Prof., Dr., Ustaz dalam karya ilmiah hendaknya dihilangkan).
[1]Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh,jilid 2, (Jakarta:Kencan, 2011) hlm.387
[2] Tim Guru
MGPK Provinsi Jawa Timur, Bahan Ajar Fiqih Madrasah Aliyah Program Keagamaan,
(Surabaya; Tim Penyusun Buku Ajar MGPK Provinsi Jawa Timur,2012), hlm 131
[3] Abdul
Karim Zaidan,Pengantar Studi Syariah Mengenal Syariah Islam Lebih Dalam,
(Baghdad; Rabbani Press, 2008) hlm 259
[4]A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian
Perkembangan dan Penerapan Huku Islam, (Jakarta:Prenademedia Group, 2015,
cet.ke-10) hlm.88
[5]Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh,jilid 2, (Jakarta:Kencana, 2011) hlm.399
[6]A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian
Perkembangan dan Penerapan Huku Islam, (Jakarta:Prenademedia Group, 2015,
cet.ke-10) hlm.89
[7]Satria Effendi M. Zein, Ushul
Fiqh,(Jakarta: Prenamedia Group,2017) hlm. 143
[8] A. Basiq
Jalil, Ilmu Ushul Fiqh 1&2, ( Jakarta, Prenada Media Group:2010) hlm
165
[9]Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh,jilid 2, (Jakarta:Kencana, 2011) hlm.426
[10]A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian
Perkembangan dan Penerapan Huku Islam, (Jakarta:Prenademedia Group, 2015,
cet.ke-10) hlm.99
[12]Amir Syarifudin, Op.cit. hlm.427
[13]Abd Wahab Khalaf, Ilmu Ushul
Fiqh, (Jakarta:Rineka Cipta, 2005) hlm. 110.
[14] Abd
Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Yogyakarta, Nur Cahaya:
1980) hlm 131
[15] A.
Basiq Jalil, Ilmu Ushul Fiqh 1&2, ( Jakarta, Prenada Media
Group:2010) hlm 163
[16] Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara
Kompherhensif, ( Jakarta: Zikrul Hakim: 2004) hlm 124
[17]Sahal Mahfudh, Kilas Balik
Teoritis Fiqh Islam,(Kediri: Purna Siwa Aliyyah, 2004) hlm. 271
[18] Ibid,
hlm 129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar