Senin, 18 Maret 2019

Sumber-Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati II (PAI C Semester Genap 2018/2019)



SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAK DISEPAKATI
(‘Urf, Saddudz Dzara’i, Syar’u Man Qablana, dan Madzhab Shahabi)
Viviani Rezeki dan Aliffia Fitri Rizky
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “C”
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email : viviani.rejeki.1397@gmail.com
Abstract
This article discusses the law that is not agreed upon or is called the law of Mecca. This source of law can be used as a basis because of the position that allows and opinions of scholars. Here we will learn about the legal sources of f Urf, Saddudz Dzara'i, Mazhab Shahabi, and Syar’u Man Qablana. In this source of law we can learn and use it as a source of law for certain reasons. Opinions from ulama are taken into consideration as proof. Law f Urf which is about habits both in terms of actions, words, general and special and saheeh and not. In the division of legal groups f this urf there are examples of reinforcement that can strengthen the definition of various ‘urf. Both traditions in the community have become customary or customary in the community. saddudz dzari'ah is a wasilah or road that aims to fulfill that goal. In this case, the road that is used is good for lawful matters or for illegal purposes. The Syar'u Man Qablana is an Islamic law syari'ah which was revealed by Allah to the previous prophets and messengers. While the Shahabi School is a law that comes from the opinion of friends. This law cannot be used as proof because orders can not be from God and we do not require to follow them. We can learn about these various discussions in more detail in this article.

Abstrak
Artikel ini membahas mengenai hukum yang tidak disepakati atau disebut hukum mukhtalaf. Sumber hukum ini dapat dijadikan sebagai satu dasar karena dengan kedudukan yang memperbolehkan dan pendapat ulama-ulama. Disini yang akan kita pelajari yaitu mengenai sumber hukum ‘Urf, Saddudz Dzara’i, Mazhab Shahabi, dan Syar’u Man Qablana. Dalam sumber hukum ini dapat kita pelajari dan kita gunakan sebagai sumber hukum karena sebab-sebab tertentu. Pendapat dari ulama menjadi pertimbangan dijadikannya sebagai hujjah. Hukum ‘Urf yaitu mengenai kebiasaan baik dari segi perbuatan, perkataan, umum dan khusus serta shahih dan tidaknya. Pada pembagian kelompok hukum ‘urf ini terdapat contoh-contoh penguat yang dapat menguatkan definisi dari macam-macam ‘urf. Baik tradisi-tradisi yang ada dimasyarakat yang sudah menjadi kebiasaan atau adat di masyarakat itu. saddudz dzari’ah merupakan wasilah atau jalan yang bertujuan untuk memenuhi tujuan tersebut. Dalam hal ini jalan yang digunakan baik untuk perkara yang halal maupu prkara yang haram. Adapun Syar’u Man Qablana merupakan syari’at hukum islam yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul terdahulu. Sedangkan Madzhab Shahabi merupakan hukum yang berasal dari pendapat sahabat. Hukum ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena perintah yang dapat bukan dari Allah dan kita tidak mengharuskan untuk mengikutinya. Berbagai pembahasan tersebut dapat kita pelajari lebih rinci didalam artikel ini.

Kata Kunci : ‘Urf, Saddudz Dzara’i, Syar’u Man Qablana, dan Madzhab Shahabi

A.      Pendahuluan

Sumber hukum islam yang kita ketahui ada dua yaitu yang disepakati dan tidak disepakati. Untuk sumber hukum islam yang tidak sepakati ini ada beberapa pendapat yang memperbolehkan dipakai sebagai sumber hukum (hujjah) dan ada yang bertentangan. Hal ini dapat kita ketahui dengan pendapat-pendapat para ulama (madzhab). Syari’at islam yang selama ini kita tau bahwa sumer hukum islam hanya dari Allah saja yaitu Al-Qur’an dan dikuatkan dengan As-Sunah atau hadist. Akan tetapi adanya kesepakatan-kesepakatan dari para ulama menjadikan pertimbangan dalam hukum islam ini.
Tidak menutup kemunginan bahwa syari’at islam semua membawa kepada petunjuk dan tuntunan Allah swt. dan juga mewujudkan kepada syari’at islam yang abadi dan komprehensif. Hal ini dibuktikan dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang ada dalam islam yang memberikan jawaban atas kebutuhan manusia dari waktu ke waktu seiring perkembangan zaman.
Secara konkrit ada hal penting dalam hukum islam yaitu (1) adanya nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang masa dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash. Ushul fiqh sebuah ilmu yang mengatur tentang proses ijtihad dan dikenalkan dengan landasan penetapan hukum islam yang pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dengan hal tersebut maka kita akan membahas hukum-hukumnya diantaranya adalah ‘Urf, Saddudz Dzara’i, Syar’u Man Qablana dan Madzhab Shahabi.

B.       Urf

1.    Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu yang diartikan dengan “al-ma’ruf” dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Kata ‘urf juga terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “ma’ruf” yang artinya kebajikan (berbuat baik).[1]
Menurut bahasa kata urf memiliki arti “adat” , “kebiasaan” , “suatu kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus”. Maksud dari kata urf sendiri jika didalam ilmu ushul fiqh adalah “sesuatu yang telah terbiasa (dikalangan) manusia atau pada sebagian mereka dalam hal muamalat dan telah melihat atau tetap dalam diri mereka untuk beberapa hal secara terus-menerus yang diterima oleh akal yang sehat. Menurut istilah urf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka memperaktikannya, baik perbedaan, perbuatan, maupun meninggalkan.[2]
Banyak ulama fiqh yang berpendapat bahwa urf disebut juga adat. Dan sebagian lagi mendefinisikan adat sebagai perkara yang diulang-ulang lebih umum dari pada urf, dimana setiap urf adalah adat, namun tidak setiap adat adalah urf. Tetapi sebagian ulama lainnya menilai urf lebih umum dari pada adat. Yang dimaksudkan ulama fiqh sendiri yakni urf dan adat adalah sama. Karena keduanya ialah nama untuk hal yang di ulang-ulang manusia dan biasa dilakukannya, serta menjadi hal ini menjadi acuan mereka dalam menjalankan kehidupan.[3]
Terdapat beberapa perbedaan ‘urf atau ‘adah dengan ijma’ mengenai sesuatu yang harus dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak.
1)        ‘Urf  terjadi karena ada penyesuaian dalam perbuatan ataupun perkataan diantara umumnya manusia baik orang biasa, cerdik cendekiawan atau para mujtahid.  Sedangkan didalam Ijma’ kesepakatan hanya terjadi dikalangan para mujtahid saja.
2)        Apabila ‘urf ditentang oleh sebagian kecil manusia tidak membatalkan kedudukannya sebagai ‘urf. Sedangkan ijma’ jika tidak disetujui oleh seorang mujtahid saja, sudah tidak bisa dianggap sebagai ijma’ lagi.
3)        Hukum yang dihasilkan berdasarkan Ijma’ menjadi hukum yang pasti dalam arti tidak bisa dijadikan objek Ijtihad. Adapun hukum yang dihasilkan berdasarkan ‘urf bisa berubah dengan perubahan ‘urf itu sendiri.[4]

2.    Macam-macam Urf
Urf memiliki beberapa macam penggolongan dilihat dari berbagai segi.
Pertama, Urf dilihat dari segi materi yang biasa dilakuan, dalam bagian ini urf terbagi menjadi dua yaitu urf qauli dan urf amali.
a.         Urf qauli ialah kebiasaan yang dilakukan menggunakan kata-kata atau ucapan. Menggunakan kata walad pada anak laki-laki bukan kepada anak perempuan. Meski secara bahasa bisa digunakan pada keduanya. Makna inilah yang dimaksudkan pada firman Allah (QS Annisa: 11-12). Seluruh kata walad digunakan untuk keduanya baik laki-laki maupun perempuan.
b.        Sedangkan urf amali/fi’li ialah kebiasaan manusia yang dilakukan dengan perbuatan. Misalnya kebiasaan yang dilakukan dalam jual beli barang bagi anak kecil yang belum baligh, kebiasaan meminjam barang milik temannya tanpa ada ucapan meminjam, dan sebagainya.
Kedua, menurut segi keumumannya atau penggunaannya, urf terbagi menjadi dua yaitu urf “am dan urf khas.
a.         Urf am yakni kebiasaan yang telah dikenal manusia dimana-mana hampir seluruh penjuru negeri pada suatu masa. Urf am ini termasuk dalam kategori ijma’ bahkan mempunyai status yang lebih universal dari ijma’.  Contoh dari urf am sendiri yaitu mengantri ketika beli bensin, menganggukkan kepala ketika mengiyakan sesuatu dan menggelengkan kepala ketika menolak sesuatu, jika hal itu dibalik maka dianggap aneh, memakai kamar mandi umum dengan mematokkan harga tidak diatasi penggunaannya, memberikan perhiasan kepada istri sebagai hadiah dan sebagainya.
b.        Urf khash ialah kebiasaan yang diakui oleh sebagian penduduk negeri saja, seperti pada satu negara, satu provinsi, atau sebagian masyarakat. Contohnya seperti halnya dengan kebiasaan penduduk Iran dalam melangsungkan sebagian mahar dan mengakhirkan sebagian lain hingga dekat waktu meninggal atau talak, menikah dengan orang yang sama-sama berkasta orang-orang Hindu di Bali, menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan (matrilineal) di Minangkabau dan melalui bapak (patrilineal) dikalangan suku Batak, di Jawa orang yang berdarah biru menikah sama dengan orang yang berdarah biru, dan tidak boleh menikah dengan orang dengan letak rumahnya yang berbeda adu arah, di Indonesia setiap bulan Syawal mengadakan halal bi halal di negara lain tidak melakukannya .
      Ketiga, dari segi keabsahan dan tidaknya, urf terbagi menjadi dua bagian yakni urf shahih dan urf fasid.
a.    Urf Shahih yaitu ‘urf yang sah atau tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariah dan kaidah-kaidah yang ada, dan dapat diterima oleh banyak . Contohnya seperti ketika halal bi halal memberikan uang sebagai hadiah atau ucapan rasa syukur, mengadakan pertunangan sebelum nikah dan sebagainya.
b.    Urf fasid atau ‘urf yang tidak sah yaitu suatu yang telah dikenal manusia tetapi bertentangan dengan hukum-hukum syariat dan kaidah-kaidah yang ada dan ini merupakan suatu kebiasaan yang tidak bisa dijadikan landasan hukum. Seperti hal nya muamalah riba, minum khamr, berjudi, adu binatang dan lain sebagainya.

3.    Kedudukan Urf Sebagai Sumber Hukum
Urf bisa dijadikan landasan hukum masalah fiqhiyyah jika sudah tidak menemukan lagi dalam Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan hadits yang berbunyi “Suatu kebiasaan yang dinilai baik oleh orang-orang Islam, dan juga dinilai baik di sisi Allah. Menurut Imam Jalaluddin As suyuti dalam kitab Aybah Waannadlair mengatakan bahwa ketetapan berdasarkan ‘urf termasuk dalam kategori dalil syara’, dan berdasarkan kaidah: apa yang dikenal sebagai urf sama dengan apa yang ditetapkan sebagai syarat dan sesuatu yang tetap karena urf sama dengan yang tetap karena nash.
Menurut para ulama urf shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan ulama malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan penduduk madinah. Dari sini kita dapat menyimpulkan apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara Imam Syafi’i yang terkenal dengan Qoul Qadim dan Qoul Jadidnya, karena melihat praktik yang berlaku pada masyarakat Baghdad dan Mesir yang berlainan dengan adat dan kebiasaannya.
Hukum yang dibangun berdasarkan urf dan adat pun dapat berubah apabila urf dan adat pun berubah. Kami menemukan satu madzhab yang berbeda adatnya karena itulah terjadinya perbedaan pendapat dikalangan fuqaha. Fuqaha menyebut perbedaan pendapat semacam ini karena berbedanya zaman, bukan dalil maupun hujjah. Suatu ketika Imam Syafi’i berpindah dari Irak ke Mesir, ia mengubah sebagian pendapatnya mengenai masalah berbeda antara kebiasaan penduduk Mesir dan penduduk Irak. Imam Al-Qarafi menjelaskan makna “Hukum-hukum yang ditentukan berdasarkan adat istiadat itu berputar bersama adat kemanapun ia berputar, dan batal bersama adat jika ia juga batal. Undang-undang seperti inilah yang membuat seluruh hukum syariat dibangun diatas adat dan dijadikan acuan. ‘Urf merupakan tahqiq (verifikasi yang telah disepakati pada kalangan ulama).
Penerimaan para ulama mengenai urf sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan memenuhi kebutuhan manusia. Dengan kata lain jika tidak mendatangkan ‘Urf tersebut maka dapat mendatangkan kesulitan kepada manusia.
Kebiasaan telah teruji dan dipraktekan secara terus-menerus. Diantara kaidah tersebut adalah :
العبادة محكمة
Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.
Dalam kaidah yang lain, para ulama menempatkan sebagai syarat yang disyaratkan.
لمعروف عرفا كالمشروط شرطا
Yang benar-benar ma’ruf (terkenal) adalah seperti yang disyaratkan secara bear-benar pula.
Pada kaidah fiqh yang lain, ulama memandang bahwa sesuatu yang ditetapkan berlandaskan pada urf mepunyai kekuatan hukum yang sama persis dengan yang ditetapan berdasarkan nash.
التعيين بالعرف كا لتعيين با لنص
Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan urf sama seperti yang ditetapkan berdasarkan nash.

Pendapat para ulama mengenai kedudukan ‘urf sebagai sumber hukum
1)             Menurut ulama Hanafiyah, ‘urf bisa dijadikan sebagai hujjah sebab dalam berijtihad ulama hanafiyah menggunakan metode Istihsan Al-‘urf yaitu istihsan yang disandarkan pada ‘urf atau adat.
2)             Menurut ulama Malikiyah, ‘urf dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum namun hanya terbatas pada ‘urf yang ada di kalangan ahli Madinah. Selain itu, ulama Malikiyah juga lebih mendahulukan ‘urf daripada hadis Ahad.
3)             Menurut ulama Syafi’iyah, lebih banyak menggunakan ‘urf dalam hal yang tidak ditemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasanya.

كل ما ورد به الشر ع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا في اللغة يرجع فيه الي عرف
Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’ mapun dalam Bahasa, maka dikembalikan kepada urf’”.[5]

Contohnya: menentukan arti dan batasan tentang tempat simpanan (حرز)dalam pencurian, arti berpisah dalam khiyar majelis, waktu dan kadar haid,dll.

4.    Syarat- syarat ‘urf yang bisa diterima oleh hukum islam
1)        Adat yang berlaku tidak bertentangan dengan dalil nash baik dalam Al-Qur’an atau Sunnah.
2)        Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’ah termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan kesulitan.
3)        Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja.[6]
4)        ‘Urf harus sudah ada sebelum terjadinya peristiwa yang akan dilandaskan pada ‘urf tersebut.
5)        Tidak ada ketegasan dari pihak yang terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut. [7]

C.      Saddudz Dzari’ah

1.    Pengertian
Secara lughawi (bahasa), al-Dzari’ah itu berarti: “Jalanyang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik atau buruk. Ibnu Qayyim merumuskan definisi mengenai sadduz dzariah, yaitu: “Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu.
Dzari’ah artinya wasilah (jalan), yang menyampaikan kepada tujuan. Dzari’ah disini yang dimaksud adalah jalan untuk sampai kepada perkara yang haram atau kepada perkara yang halal. Maka dari itu perkara yang haram hukumnya haram dan perkara yang halal hukumnya juga halal pula. Begitu juga dengan perkara yang wajib hukumnya juga wajib, hingga ada suatu kaidah :
للو سا ئل حكم المقاصد
“Hukumnya wasilah (jalan/cara yang menuju kepada tujuan)sama dengan hukumnya tujuan”
Kata saddu memiliki arti menutup, menghalangi, hambatan atau sumbatan. Sedangkan kata Dzara’i berarti bahaya-bahaya adapula yang mengartikan sarana-sarana.[8] Definisi kata Dzariah sendiri adalah masalah yang dzahirnya boleh dan ia membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang.
Dzarai menurut Prof.Dr Abdul Karim Zaidan ialah sarana. Beliau menjelaskan bahwa sarana itu membawa kepada perilaku haram atau kerusakan. Maka sarana tersebut haram hukumnya dan wajib ditutup dan mencegahnya untuk menghilangkan berkembangnya sarana kerusakan, tetapi wajib dan diperbolehkan jika membawa kebaikan. Tetapi kebanyakan hal yang dimaksud  dzari’ah adalah perbuatan kerusakan. Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan sadd adz-dzara’i berarti menutup jalan dan mencegah kepada perbuatan yang mengantarkan pada kerusakan dan keburukan.
Dalam ilmu ushul fiqh  saddu dzara’i atau Dzariah yakni “ jalan untu menutup suatu masalah yang kelihatannya mubah, tetapi (kemungkinan) bisa menyampaikan kepada perkara yang terhalang (haram)”.
Contohnya, ketika kita berteman atau bersahabat dengan orang yang jahat akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama kita akan menjadi orang jahat karena bersahabat dengan mereka, yang kedua orang jahat tersebut yang berubah dan berprilaku baik karena bersahabat dengan kita, sedangkan bersahabat sendiri hukumnya mubah. Kewajiban dalam mengerjakan shalat lima waktu, seseorang yang dapat mengerjakan shalat bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak dapat mengerjakannya.  Haji itu wajib bagi yang mampu, maka usaha untuk menuju kepada terlaksananya ibadah haji adalah wajib pula.

2.    Kekuatan Hujjah Saddudz Dzari’ah
Al-Dzari’ah ditempatkan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, yang mengandung arti bahwa  meski syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum perbuatan, namun perbuatan itu merupakan wasilah bagi suatu perbutan yang dilarang  secara jelas, al ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum wasilah adalah sebagaimana hukum ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok.[9] Hal ini dikuatkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits
a.    Al-Qur’an

Dasar Sadd al-dzara’i dapat dibuktikan ke shahihannya dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan as-sunnah beserta amalan-amalan sahabat. (QS Al-Anam: 60/108)






“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah, selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat mengangap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka, lalu Allah memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Ayat diatas menjelaskan bahwa mencaci berhala tidaklah dilarang Allah SWT. namun ayat ini melarang kaum muslimin untuk tidak mencaci dan menghina berhala, dikarenakan jika nantinya orang-orang musyrik pun bertindak untuk mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.
      Contoh lainnya pada surah Al-Baqarah ayat 104.








“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Undzurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”

Pada ayat ini Allah melarang umat islam menggunakan kata “ra’ina” (perhatikan kami) dikarenakan orang-orang Yahudi ingin mencaci Nabi dengan ungkapan tersebut, dan tidak menghendaki makna bahasa yang sudah dikenal. Oleh karena itu, larangan ini keluar demi menutup celah kerusakan.[10]

b.    Hadits
Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaannya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits diatas menjelaskan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat menjerumuskan pada perbuatan maksiat kemungkinan besar akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat yaitu melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
Selain itu dalam hadi ini juga iterangkan bahwa,

a)    Nabi melarang membunuh orang munafik karena menyebaban Nabi dituduh membunuh sahabat-sahabatnya.
b)   Nabi melarang kreditor menerima hadiah dari debitur, karena cara tersebut bisa mengakibatkan jatuh kepada riba.
c)    Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang, karena memotong tangan disaat perang berakibat membawa tentara-tentara lari menggabungkan diri dengan musuh, hadist tersebut berbunyi:
لا تقطع الايدي في لغزو
“Tidaklah dipotong tangan pada waktu peperangan”(H.R. Abu Dawud)
d)   Nabi melarang penibunan karena hal itu menjadi dzari’ah kepada kesempitan atau kesulitan manusia.
e)    Nabi melarang fakir miskin dari Bani Hasyim menerima bagian dari zakat, kecuali apabila dia berfungsi sebagai ‘amilin/karena dzaria’ah, agar jangan timbul fitnah, Nabi memperkaya diri dan keluarganya dengan zakat.[11]

3.    Pengelompokan Saddudz Dzari’ah

Ada beberapa kelompok dzari’ah dilihat dari beberapa segi:
a.         Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang menyebabkan kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang dapat merusak keturunan.
b.         Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, akan tetapi dilakukan karena niat yang buruk dan merusak. Nikah itu hukumnya boleh akan tetapi jika niatnya untuk menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh. Mencaci sesembahan agama lain boleh akan tetapi jika nantinya menimbulkan kontra sehingga agama lain mencaci Allah maka hukumnya menjadi terlarang.
c.         Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditunjukkan untuk kerusakan, namun akhirnya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti contoh seorang istri yang ditingal suami masih dalam masa iddahnya, ia berhias. Hukum berhias itu boleh akan tetapi melakukan berhias tersebut masih dalam masa iddah menjadi lain.
d.        Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kerusakan, sedangkan kerusakan itu lebih kecil daripada kebaikannya. Contohnya yaitu melihat wajah perempuan saat dipinang.[12]

4.    Kedudukan Saddudz Dzariah
1.    Abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa saddudz Dzari’ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena menurut mereka jika sesuatu yang hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dikatakan pada sebuah hadits Nabi: “ Bagi siapa yang berputar-putar disekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut”.
2.    Imam Malik berpendapat jika saddudz dzariah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun mubah tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan yang dilarang oleh agama. Seorang ulama madzhab maliki yakni Al-Qurtubi meyatakan: “ Sesungguhnya apa-apa yang dapat mendorong kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan”.

D.      Syar’u Man Qoblana

1.    Pengertian
Yang dimaksud dengan syar’u man qoblana ialah hukum-hukum yang telah di syariatkan Allah kepada umat-umat terdahulu yang diturunkan melalui para Nabi dan Rasul untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu. Syariat ini merupakan syariat para nabi terdahulu sebelum adanya syariat islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Seperti hal nya agama yang dibawa nabi Musa dengan kitab sucinya yaitu taurat, kemudian agama yang dibawa Nabi Daud dengan kitab sucinya yaitu Zabur dan yang terakhir agama yang dibawa nabi Isa dengan kitab sucinya yaitu injil.
Dalam ilmu fiqh hal ini dibicarakan agar kita semua mengetahui boleh atau tidak nya mengikuti aturan-aturan agama yang dibawa sebelum Nabi Muhammad SAW. Boleh atau tidak nya ini bertujuan menggunakan syariat umat terdahulu ini menimbulkan kesepakatan dan juga perselisihan.
1)        Hal-hal yang disepakati
a.    Sebagian ulama sepakat tentang tidak boleh nya beramal mengenai hukum-hukum agama sebelum islam yang ternyata telah dihapus dalam islam.
b.    Dan sebagian ulama lainnya pun berpendapat tentng wajibnya setiap muslim mengamalkan hukum-hukum agama sebelum islam, yang mana syariat islam (Al-Qur’an dan Hadits) telah menetapkan berlakunya hukum tersebut.
2)        Hal-hal yang diperselisihkan
Yaitu nash AL-Qur’an ataupun matan Hadits yang meriwayatkan tentang peraturan agama-agama sebelum datangnyaislam, sedangkan nash atau matan hadits itu tidak secara tegas melarang kita mengikutinya.[13] Contohnya dalam QS Al-Maidah: 45
Dari ayat diatas timbulah perbedaan pendapat dikalangan ulama. Pertama, mereka berpendapat bahwa yang demikian wajib diikuti dan diamalkan, karena menurut mereka dengan diceritakannya hal tersebut pada kita berarti hal itu merupakan sebuah syariat untuk kita, yang dibawa oleh Rasulullah.[14] Pendapat ini merupakan dari golongan Hanafiyah sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah.
Menurut golongan kedua ini peraturan atau hukum agama-agama sebelum islam sebaiknya tidak diamalkan, karena datangnya agama islam ini untuk menghapus hukum agama yang terdahulu golongan ini membolehkan mengamalkan hukum agama terdahulu jika itu dibenarkan atau diperintah oleh islam contohnya seperti pada sabda nabi: “... maka puasalah sehari dan berbukalah sehari, karena yang demikian adalah puasanya nabi daud.” (HR Bukhari)
Maksud dari hadits diatas ialah puasa bermula dari syariat nabi Daud, kini telah dimasukkan dalam syariat islam. Kesimpulan yang dapat diambil dari perselisihan diatas, tampak bahwa yang ditolak ialah golongan kedua, bukan mengenai hal-hal yang diperselisihkan seperti yang dimaksud oleh golongan pertama, tetapi mengenai hal yang telah disepakati.

2.    Kedudukan Syar’u Man Qoblana
Menurut ahli Ushul Fiqh mereka bersepakat syariat Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW maka tidak berlaku bagi umat islam. Karena menurut mereka datangnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad ini untuk membatalkan syariat yang terdahulu. Hal ini berlaku bagi syariat para Nabi yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah, namun ada dalil yang membatalkannya (nasakh), maka para ahli ushul sepakat menetapkan bukan termasuk syariat bagi umat islam.
Ahli ushul fiqh menyepakati syariat sebelum islam yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah yang sahih berlaku bagi umat islam apabila bahwa syariat tersebut pun berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Maksudnya, pemberlakuannya bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum islam tetapi ditetapkan  Al-quran, contohnya kewajiban puasa Ramadhan bagi umat islam yang juga telah ada di syariat sebelumnya. Syariat ini telah ditegaskan dalam (QS Al-Baqarah:183).

E.  Madzhab Shahabi

1.    Pengertian
Kata  “Qaul” memiliki arti ucapan atau perkataan sedangkan kata “Shahaby” memiliki arti sahabat atau teman.[15] Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib sahabat adalah setiap orang islam yang hidup dan bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang lama serta menimba ilmu dari nya, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Mereka-mereka inilah orang yang telah berjasa menyampaikan ajaran islam yang bersumber dari AL-Qur’an dan Sunnah dari Nabi kepada generasi sesudahnya.
Banyak sahabat yang tampil membeikan pendapat (fatwa) dalam menjawab berbagai masalah yang muncul, seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi pada saat wafat Nabi Muhammad SAW. Sebagian ahli ushl fiqh menamakannya dengan fatwa sahabi. Sementara itu, banyak ahli ushul fiqh yang menyebutnya dengan madzhab sahabi. Dan sebagian yang lainnya menyebut pendapat pendapat sahabat dengan qaul sahabi. Qaul shahaby menurut ilmu ushul fiqh adalah : “fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar (pendapat) pribadinya.”
Meskipun mereka menempatkannya dalam bahasan mengenai dalil syara’ yang diperselisihkan, kajian mengenai mazhab sahabi menjadi salah satu tema menarik dikalangan ahli ushul fiqh. Menurut Amir Syarifuddin, Asnawi dalam bukunya  Syarh Minhaj al-Ushul menempatkan madzhab sahabi sebagai dalil syara’ yang ditolak.[16]
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa mazhab sahabi berbeda dengan ijma’ sahabi yang memiliki kedudukan berbeda dengan ijma’ sahabi yang mempunyai kedudukan yang kuat dan tinggi sebagai dalil syara’ karena kehujahannya diterima semua ahli ushul fiqh. Ijma’ sahabat pun dipandang lebih kuat dari nash sebagai pernyataan ahli ushul fiqh yakni : “Ijma’ itu lebih kuat dari nash”.
Jadi kesimpulannya mazhab sahaby ialah pendapat sahabat Nabi SAW tentang suatu kasus yang tidak dijelaskan hukumnya secara tegas pada Al-Qur’an dan Sunnah.

2.    Kehujahan Qaul Shahabi
Untuk menentukan kekuatan atau kehujahan mazhab sahabi sebagai dalil hukum terkait dengan bentuk dan asala fatwa tersebut. Menurut ahli ushul fiqh tentang bentuk fatwa tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur menentukan hal itu. Pendapat sahabat dapat dibagi menjadi emapt macam menurut Abdul Karim Zaidan, yaitu:
1)        Fatwa sahabat ini bukan berasal dari hasil ijtihadnya. Para ulama tidak berbeda pendapat dalam menjadikan fatwa sahabat sebagai hujjah dalam menetapkan hukum bagi generasi selanjutnya. Contohnya fatwa Ibn Masud dalam memberi batas minimal haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa seperti inilah yang kuat karena ini bukan hasil dari ijtihad sahabat, tetapi mereka menerima langsung dari Rasulullah Saw.
2)        Ijma’Sahabat yakni fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka. Fatwa ini merupakan hujjah dan mengikat untuk generasi selanjutnya.
3)        Fatwa sahabat dengan cara individu tidak mengikat sahabat yang lain. oleh karena itu, sebagian para mujtahid dikalangan sahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah.
4)        Fatwa sahabat yang dilakukan secara individu yang berasal dari hasil ijtihadnya. Dan tidak ada kesepakatan sahabat terhadapnya. Sebab itu hal ini menimbulkan berbagai perbedaan pendapat ulama, apakah fatwa tersebut mengikat atau tidak mengikat pada generasi selanjutnya. Karena peristiwa inilah, setidaknya berkembangan beberapa pendapat dikalangan ulama.[17]

3.    Contoh Fatwa Sahabi 

1)        Fatwa Aisyah dalam menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita ialah dua tahun, melalui ungkapannya: “ Anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari dua tahun”.
2)        Fatwa Anas bin Malik dalam menjelaskan masa minimal haid wanita yakni tiga hari.
3)        Fatwa Umar bin Khattab mengenai laki-laki yang menikahi wanita dalam masa iddah harus dipisahkan dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut selamanya. [18]

F.   Penutup

Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan mengenai Urf, Syar’u Man Qoblana Madzhab Sahabi, dan Saddu Dzara’i yaitu :
Urf  menurut bahasa memiliki arti adat , kebiasaan, suatu kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus. Sedangkan menurut istilah urf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka memperaktikannya, baik perbedaan, perbuatan, maupun meninggalkan. Maksud dari kata urf sendiri jika didalam ilmu ushul fiqh adalah “sesuatu yang telah terbiasa (dikalangan) manusia atau pada sebagian mereka dalam hal muamalat dan telah melihat atau tetap dalam diri mereka untuk beberapa hal secara terus-menerus yang diterima oleh akal yang sehat.
Urf terbagi tiga macam yang pertama urf qauli dan urf amali, yang kedua menurut segi keumumannya yakni urf “am dan urf khas, yang ketiga dari segi keabsahan tidaknya yaitu urf shahih dan urf fasid. Urf bisa dijadikan landasan hukum fiqhiyyah dengan alasan sudah tidak ada nya lagi didalam Al-Qur’an.
Saddu Dzara’i menurut Ibn Qayyim ialah “apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu”. Kekuatan Saddu Dzara’i terbagi menjadi dua yakni pada Al-Qur’an dan Sunnah. Kedudukan Saddu Dzara’i pun terbagi menjadi dua yakni menurut Abu Haniffah dan Imam Syafi’i mengatakan tidak diperbolehkan menjadi sumber hukum kemudian pendapat yang kedua dari Imam Malik bahwa Saddu Dzara’i diperbolehkan menjadi sumber hukum.
Syar’u Man qoblana yakni syariat-syariat sebelum datang nya islam seperti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa, Nabi Daud, dan Nabi Isa. Dalam ilmu fiqh hal ini dibicarakan agar kita semua mengetahui boleh atau tidak nya mengikuti aturan-aturan agama yang dibawa sebelum Nabi Muhammad SAW. Boleh atau tidak nya ini bertujuan menggunakan syariat umat terdahulu ini menimbulkan kesepakatan dan juga perselisihan.
Madzhab Sahabi pendapat sahabat Nabi SAW tentang suatu kasus yang tidak dijelaskan hukumnya secara tegas pada Al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Abdul Karim Zaidan pendapat sahabat dapat dibagi menjadi empat macam yaitu fatwa sahabat ini bukan berasal dari hasil ijtihadnya, Ijma’Sahabat, Fatwa sahabat dengan cara individu.



DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. 2015. Ilmu Fiqh Penggalian Perkembangan dan Penerapan Huku Islam. Jakarta:Prenademedia Group .
Jalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh 1&2. Jakarta: Prenada Media Group.

Khalaf,Abd Wahab. 1980.Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh). Yogyakarta: Nur Cahaya.

Khalaf,Abd Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta:Rineka Cipta.

Mahfudh, Sahal. 2004.Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siwa Aliyyah.

Syarifuddin, Amir. 2011.Ushul Fiqh,jilid 2.Jakarta:Kencana.

Syarifudin, Amir. 2004.Ushul Fiqh Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Kompherhensif. Jakarta: Zikrul Hakim.

Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur. 2012.Bahan Ajar Fiqih Madrasah Aliyah Program Keagamaan. Surabaya: Tim Penyusun Buku Ajar MGPK Provinsi Jawa Timur.

Zaidan, Abdul Karim. 2008.Pengantar Studi Syariah Mengenal Syariah Islam Lebih Dalam. Baghdad: Rabbani Press.

Zein, Satria Effendi M. 2017.Ushul Fiqh. Jakarta: Prenamedia Group.

Catatan:
1. Similarity 23%.
2. Abstrak tidak representatif.
3. Nama kitab/buku dimiringkan.
4. Gelar (Prof., Dr., Ustaz dalam karya ilmiah hendaknya dihilangkan).






[1]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,jilid 2, (Jakarta:Kencan, 2011) hlm.387
[2] Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur, Bahan Ajar Fiqih Madrasah Aliyah Program Keagamaan, (Surabaya; Tim Penyusun Buku Ajar MGPK Provinsi Jawa Timur,2012), hlm 131
[3] Abdul Karim Zaidan,Pengantar Studi Syariah Mengenal Syariah Islam Lebih Dalam, (Baghdad; Rabbani Press, 2008) hlm 259
[4]A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian Perkembangan dan Penerapan Huku Islam, (Jakarta:Prenademedia Group, 2015, cet.ke-10) hlm.88
[5]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,jilid 2, (Jakarta:Kencana, 2011) hlm.399
[6]A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian Perkembangan dan Penerapan Huku Islam, (Jakarta:Prenademedia Group, 2015, cet.ke-10) hlm.89
[7]Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh,(Jakarta: Prenamedia Group,2017) hlm. 143
[8] A. Basiq Jalil, Ilmu Ushul Fiqh 1&2, ( Jakarta, Prenada Media Group:2010) hlm 165
[9]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,jilid 2, (Jakarta:Kencana, 2011) hlm.426
[10]A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian Perkembangan dan Penerapan Huku Islam, (Jakarta:Prenademedia Group, 2015, cet.ke-10) hlm.99

[11]Ibid ,hlm.100
[12]Amir Syarifudin, Op.cit. hlm.427
[13]Abd Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta:Rineka Cipta, 2005) hlm. 110.
[14] Abd Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Yogyakarta, Nur Cahaya: 1980) hlm 131
[15] A. Basiq Jalil, Ilmu Ushul Fiqh 1&2, ( Jakarta, Prenada Media Group:2010) hlm 163
[16] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Kompherhensif, ( Jakarta: Zikrul Hakim: 2004) hlm 124
[17]Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam,(Kediri: Purna Siwa Aliyyah, 2004) hlm. 271
[18] Ibid, hlm 129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar