Selasa, 12 Maret 2019

Sumber-Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati II (PAI A Semester Genap 2018/2019)



Urf, Saddudzara’i, Madhab Shahabi, dan Syar’u Man Qablana
Muhammad Muhibbin dan Ahmad Haris Nafi’an
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “A” 2016 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail : muhammadmuhibbin71@gamil.com

Abstract
Law is often referred to as a product that appears or is born of the dynamics of human life. "Where there are people there is no law". Therefore, the legal sector should always follow the rhythm of the development of society, which means that in the advanced and modern society must have laws that advanced and modern as well.
Nevertheless, we must admit that the law is an inanimate object that intangible that is part of the works and human initiative. That is, because the law is not a source of life and is not in a position to transform itself, in the sense that if the law had not been modernized or changed then the law will never be modern. In Islamic law there are two sources of law provisions or sources of law 'argument that the agreed and legal source of disagreement. According to 'Abd al Majid Mohammed Al Khafawi that source of law in the scholars agreed that the Qur'an and Sunnah, ijma', and Qiyas.
Being a source of law or proposition of disagreement or deviation occurs in general that there are 7 Istihsan, Istishab, Maslahah al mursalah, Urf, Saddudz dzari'ah, Syar'u man Qablana, and Qaul Sahabi.
As in this article, we will discuss the sources of law are not agreed upon by the majority of scholars ', so that there is a difference (deviation) in its use, among which'urf, Saddudzara'i, Mazhab Shahabi, and Syar'u Man Qoblana,
Keywords: ‘Urf, Saddudzara'i, Mazhab Shahabi, and Syar'u Man Qoblana
Abstrak
Hukum sering disebut sebagai produk yang muncul atau lahir dari dinamika kehidupan manusia. “Di mana ada  masyarakat disitu ada hukum”. Oleh sebab itu, sektor hukum harus selalu mengikuti irama perkembangan masyarakat, artinya dalam masyarakat yang maju dan modern harus memiliki hukum yang maju dan modern juga.
Namun demikian, harus kita akui bahwa hukum adalah benda mati yang tidak berwujud yang menjadi bagian dari karya dan karsa manusia. Artinya, karena hukum bukan sumber hidup dan tidak pada posisi untuk mengubah dirinya, dalam arti apabila hukum tidak dimodernisasi atau diubah maka hukum tidak akan pernah modern. Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan sumber hukum atau dalil yaitu sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum yang tidak disepakati. Menurut ‘Abd al Majid Muhammad Al Khafawi bahwa  sumber hukum yang di sepakati ulama tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Sedang sumber hukum atau dalil yang tidak disepakati atau terjadi Ikhtilaf ada 7 secara umum yaitu Istihsan, Istishab, Maslahah al mursalah, Urf, Saddudz dzarî’ah, Syar’u man Qablana, dan Qaul Sahabi.
Adapun dalam artikel ini, kami akan membahas sumber hukum yang tidak disepakati oleh mayoritas ulama’,sehingga terjadi perbedaan (ikhtilaf) dalam penggunaanya, diantaranya yaitu ‘Urf, Saddudzara’i, Mazhab Shahabat, dan Syar’u Man Qoblana.
Kata Kunci : Urf, Saddudzara’i, Mazhab Shahabat, dan Syar’u Man Qoblana

A.    Pendahuluan
Kata-kata Sumber Hukum Islam merupakan terjemahan dari lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fiqih dan ushul fiqh klasik. Untuk menjelaskan arti dari sumber hukum Islam, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah se-arti atau se-makna dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah. Dan yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada pula yang masih diperselisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para jumhur Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas). Namun dari kalangan Mu’tazilah menempatkan akal dalam urutan pertama sebelum Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas.[1] Maka kami akan membahas dalam artikel ini mengenai sumber hukum yang tidak disepakati: Urf, Saddudzara’i, Mazhab Shahabat, dan Syar’u Man Qoblana.

B.     Al-Urf/Al Adah
1.      Pengertian al-Urf
Dari segi bahasa (etimologi) al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’, dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini munculah kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata urf (kebiasaan yang baik).
Secara terminologi, definsi al-‘urf yaitu apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang, baik berupa perkataan, perbuatan atau meninggalkan.[2] Urf/Adat menurut Imam Al-Ghazali di dalam kitab Al-Mustashfa ialah sesuatu yang telah menjadi mantap atau mapan di dalam jiwa dari segi akal, dan telah bisa diterima oleh watak-watak yang sehat atau baik. Urf dan adat menurut Imam Al-ghazali mempunyai arti yang sama (kata yang muradif/sinonim).[3] Al-Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya; baik berupa perkataan, perbuatan atau pantangan-pantangan, serta disebut juga adat menurut istilah ahli syara’, dan tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan adat istiadat.
Disisi lain para ulama Ushul fiqh membedakan antara ‘urf dengan adat dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefenisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Menurut defenisi ini bahwa apabila perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat, tetapi adat itu mencakup persoalan yang amat luas yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan dan mengkonsumsi makanan jenis tertentu, atau permasalah yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan buruk.
Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan diantara ‘urf dengan adat , maka ‘urf  yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia tentang jual beli dengan pelaksanaannya tanpa shigat yang diucapkan. Sedangkan ‘urf yang bersifat ucapan adalah seperti saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafal al-wadad adalah anak laki-laki bukan anak perempuan, dan juga pengertian mereka agar tidak mengitlakkan lafal al-lahm yang bermakna daging atas al-samak yang bermakna ikan tawar.
Defenisi lain dari ‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal manusia dan tetap dalam menjalankannya baik berupa ucapan dan perbuatan. ‘urf yang dimaksud adalah yang baik bukan yang mungkar. Dan ‘urf juga disebut adat, karena sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang untuk menghasilkan tujuannya. Dan adat lebih penting dari ‘urf, karena adat sudah menjadi kebiasaan seseorang pribadi tertentu, maka tidak dinamakan ‘urf tetapi kebiasaan yang sudah menjadi kesepakatan bersama, itulah yang dinamakan dengan‘urf baik bersifat khusus maupun bersifat umum.[4]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami, al-‘urf atau al-‘adah terdiri atas dua bentuk yaitu, al-‘urf al-qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan al-‘urf al-fi’li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan). Urf dalam bentuk perkataan, misalnya kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat Islam Indonesia, mengandung arti talak. Sedangkan contoh urf dalam bentuk perbuatan, misalnya transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul. Demikian juga membagi mahar menjadi “hantaran” dan “mas kawin”.

2.      Pembagian al-‘Urf
Ditinjau dari segi jangkauannya, ‘urf dapat dibagi menjadi dua yaitu antara lain:
a.    Al-‘Urf al-Amm
Al-‘Urf al-Amm adalah kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk tertentu tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
b.      Al-‘Urf al-Khashsh
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya kebiasaan masyarakat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk tanah” itu untuk menunjukan pengertian luas tanah 10x10 meter. Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, al-‘urf dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Al-‘Urf ash-Shahihah (‘Urf yang Absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at islam. Dengan kata lain, ‘urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya mengubah yang halal menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, hadiah yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka hadiah atau hantaran yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahnya kepada pihak laki-laki yang meminang.
b.      Al-‘Urf al-Fasidah (‘Urf yang rusak/salah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syara’. Sebaliknya dari al-‘urf ash-shahihah, maka adat kebiasaan yang salah adalah mengharamkan yang halal atau menghalalkan hal-hal yang haram. Misalnya, kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam acara pertemuan-pertemuan pesta. Para ulama sepakat bahwa al-‘urf al-fasidah tidak dapat menjadi landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi hukum. Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan pemasyarakatan dan pengamalan hukum Islam pada masyarakat, sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf, diupayakan mengubah adat kebiasaan yang bertentangan dengan ketentuan ajaran Islam tersebut, dan menggantikannya dengan adat kebiasaan yang sesuai dengan syariat Islam. Karena al-‘urf al-fasidah bertentangan dengan ajaran Islam, maka uraian selanjutnya hanya berkaitan dengan al-‘urf ash-shahihah.
                           
3.      Kedudukan al-‘Urf sebagai Dalil Syara’
Pada dasarnya, semua ulama’ menyepakati bahwa kedudukan al-‘urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah yang paling banyak menggunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama’ Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas argumen-argumen berikut ini.
a.    Firman Allah SWT pada surah al-A’raf (7): 199:
 خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ  ١٩٩  
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Melalui ayat di atas Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.
b.      Ucapan sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Mas’ud:
“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik dari sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi ataupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat Islam juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam hal itu, Allah SWT berfirman pada surah al-Ma’idah (5): 6:
 مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ  ٦  
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Berdasarkan dalil-dalil kehujjahan ‘urf di atas sebagai dalil hukum, maka ulama’ terutama ulama Hanafiyyah dan Malikiyah merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan al-‘urf antara lain:
“Adat kebiasaan dapat menjadi hukum.”
“Yang berlaku berdasarkan ‘urf, (seperti) berlaku berdasarkan dalil syara’.”
“Yang berlaku berdasarkan ‘urf seperti berlaku berdasarkan nash.”
“Semua ketentuan syara’ yang bersifat mutlak dan tidak ada pembatasan di dalamnya, bahkan juga tidak ada pembatasan dari segi kebahasaan, maka pemberlakuannya dirujukkan kepada ‘urf.”
Aplikasi dari kaidah ‘urf yang terakhir di atas, misalnya: syara’ tidak memberi batasan pengertian yang disebut al-hirz (barang yang terpelihara), berkaitan dengan situasi barang yang dicuri sehingga hukuman potong tangan dapat dijatuhkan terhadap pencuri. Oleh karena itu, untuk menentukan batasan pengertiannya diserahkan kepada ketentuan ‘urf. Demikian juga tentang lamanya masa tenggang waktu maksimum tanah yang ditelantarkan oleh pemilik tanah pertama, untuk bolehnya orang lain menggarap tanah tersebut, ditentukan oleh ‘urf yang berlaku dalam masyarakat.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa al-‘urf ada yang berlaku secara umum dan ada pula yang berlaku khusus dalam komunitas tertentu saja. Demikian pula, ada al-‘urf shahih (‘urf yang benar) dan ada pula ‘urf al-fasid (‘urf yang salah). Dalam kaitan ini perlu ditegaskan bahwa ‘urf yang disepakati seluruh ulama’ keberlakuannya adalah ‘urf al-shahih al-amm al-muththarid (‘urf yang benar, berlaku umum (sejak masa sahabat dan seterusnya) dan bersifat konstan), tidak bertentangan dengan nashsh syara’ yang bersifat qath’, dan tidak pula bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’ yang bersifat prinsip. Apabila suatu ‘urf memenuhi kriteria-kriteria tersebut, maka menurut ulama’ Hanafiyyah, ‘urf tersebut bukan saja dapat menjadi dalil syara’, tetapi juga dapat mengenyampingkan hukum yang didasarkan atas qiyas, dan dapat pula men-takhshish dalil syara’ lainnya.
Adapun ‘urf yang bersifat khusus, maka ia hanya bisa mengenyampingkan pendapat-pendapat mazhab yang didasarkan atas hasil ijtihad terhadap nashsh yang zhanni’ saja. Dengan demikian, berbeda dengan al-‘urf al-amm yang berlaku bagi semua masyarakat secara umum dan dapat mengenyampingkan qiyas dan dalil syara’, maka al-‘urf al-khashsh, selain hanya berlaku pada suatu komunitas tertentu, ia juga tidak dapat menyampingkan nashsh syara’ dan ketentuan qiyas, serta tidak pula dapat menjadi pen-takhshish terhadap atsar (yang berlaku di kalangan sahabat). Sementara itu, sebagaimana telah disebutkan, al-‘urf al-fasid (‘urf yang salah) sama sekali tidak diakui keberadaannya dalam hukum mesti ditolak.[5]

4.      Hukum ‘Urf
Untuk ‘urf shahih haruslah dilestarikan dalam rangka pembentukan hukum dan proses peradilan. Para Mujtahid, tentu harus melestarikan atau memelihara ketika berupaya membentuk hukum. Bagi seorang Qadhi, harus memelihara ketik proses peradilan berlangsung. Sebab, segala sesuatu yang sudah saling dimengerti oleh manusia yang tidak menjadi tradisi, tetapi hal itu telah menjadi kesepakatan dan dianggap sebagai kemaslahatan serta tidak kontradiksi dengan syara’, maka harus dipelihara. Dalam hal ini syari’ juga telah memelihara ‘urf bangsa Arab yang benar dalam pembentukan hukum. Seperti wajib membayar diyat terhadap wanita berakal, syarat kafa’ah untuk kelangsungan pernikahan, juga hitungan ‘ashabah dalam masalah kematian dan pembagian harta waris.
Dalam hal ini ulama’ mengatakan, adat adalah syari’ah muhkamah, dan berdasarkan syara’, ‘urf itu mempunyai i’tibar. Imam Malik mengambil dasar pembentukan hukum berdasarkan amal yang dilakukan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan murid-muridnya berbeda pendapat dalam ketetapan hukumnya lantaran perbedaan ‘urf. Ketika Imam Asy-Syafi’i sudah berada di Mesir, beliau merubah sebagian hukum yang ditetapkan selama berada di Baghdad. Hal itu lantaran perbedaan ‘urf sehingga Imam Asy-Syafi’i mempunyai dua qaul, qaul qadim (pendapat yang lama) dan qaul jadid (pendapat yang baru). Dalam fiqh ulama’ Hanafiyah banyak sekali ketetapan-ketetapan hukum yang berdasarkan ‘urf, di antaranya ialah jika terdapat perselisihan antara dua terdakwa dan tidak dijumpai saksi nyata untuk salah satu dari keduanya, maka pendapat yang dibenarkan ialah pendapat yang selaras dengan ‘urf. Jika suami istri tidak ada kesepakatan terhadap mahar muqaddam (yang diberikan dahulu) atau muakhkhar (diberikan kemudian), maka hukum yang diambil adalah yang selaras dengan ‘urf.
Mengenai ‘urf fasid, tidak harus dipelihara atau dilestarikan. Sebab, pemeliharaan terhadap ‘urf fasid berarti menentang hukum syara’ atau membatalkan ketentuan syara’. Karenanya, jika manusia mengerti tentang akad yang rusak (mafsadah) seperti akad melakukan riba, penipuan dan akad yang berbahaya, maka akad-akad itu tidak bisa dipakai sebagai ‘urf. Dengan demikian, dalam undang-undang yang disusun manusia yang bertentangan dengan ketentuan umum tidak bisa diakui oleh ‘urf. Namun dalam contoh akad itu, ditinjaunya hanya dari satu segi, ialah akad itu dianggap sebagai darurat atau merupakan kebutuhan manusia. Dengan kata lain, jika akad itu bersifat membatalkan peraturan umum, berarti mereka telah mengadakan tipuan terhadap peraturan mereka sendiri. Dan yang menjadi masalah, apakah mereka akan mendapatkan kesulitan atau sebaliknya. Karenanya, jika hal itu memang sesuatu yang darurat dan dibutuhkan manusia, hal itu bisa diperkenankan. Sebab, dalam keadaan darurat diperbolehkan melakukan hal yang sebenarnya diharamkan. Sedangkan kebutuhan manusia tidak bisa menduduki tempat ‘urf, jika tidak masuk dalam kelompok darurat dan bukan merupakan kebutuhan mendesak, maka hukum akad itu menjadi batal, dan ‘urf dalam hal ini tidak bisa diakui.[6]

C.    Saddudzara’i atau Sadd Adz-Dzari’ah

1.    Pengertian Sadd adz-Dzari’ah
Kata sadd menurut bahasa berarti menutup, dan kata adz-dzari’ah berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian, sadd adz-dzari’ah secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan. Menurut istilah di kalangan ulama’ ushul fiqh, sadd adz-dzari’ah berarti Menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan. Sedangkan Saddu Adz-Dzara’i atau Dzari’ah yang dimaksudkan dalam Ilmu Ushul Fiqih adalah satu masalah yang tampaknya mubah, tetapi (kemungkinan) bisa menyampaikan kepada perkara yang terlarang.[7] Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd adz-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakuakan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Sadd adz-Dzari’ah merupakan cabang dari Adz-Dzari’ah. Dalam segi bahasa, adz-dzari’ah (jamak : adz-zara’i) berarti media yang menyampaikan kepada sesuatu. Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, yang dimaksud adz-dzari’ah adalah sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai kepada sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’, baik yang halal maupun yang haram (yang dibenarkan atau terlarang) dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan. Oleh karena itu, dalam kajian ushul fiqh, adz-dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Meskipun adz-dzari’ah dapat berarti sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah, namun dikalangan ulama ushul fiqh, jika kata adz-dzariah disebut secara sendiri, tidak dalam bentuk kalimat majemuk, maka kata itu selalu digunakan untuk menunjukkan pengertian sadd adz-dzari’ah.[8]
Apabila dzari’ah diartikan seperti yang dirumuskan oleh kebanyakan ulama’ Ushul Fiqh, yakni dzari’ah yang hanya membawa mafsadah saja (kerusakan), dapat kita ketahui di dalam kitab-kitab mazhab Maliki dan Hambali. Tetapi apabila dzari’ah diartikan seperti dirumuskan oleh Ibnu Qayyim “dzari’ah adalah apa saja yang bisa menjadi perantaraan dan jalan ke arah yang sesuatu”, maka ada dzari’ah yang harus ditutup (saddu adz-dzari’ah). Di samping itu ada juga dzari’ah yang wajib mubah/mandub/makruh dibuka (fathu adz-dzari’ah), tergantung kepada tujuan yang dicapainya: maslahah atau mafsadah, atau tergantung kepada akibat yang ditimbulkan oleh dzari’ah itu.
Oleh sebab itu, menurut Ibnul Qayyim, dzari’ah itu ada 4 macam yaitu:
a.       Dzari’ah yang selamanya membawa mafsadah (kerusakan), seperti minuman keras yang selalu membawa akibat mabuk, yang pada gilirannya bisa merusak otak atau akal. Ualama’ telah sepakat wajib menutup dzari’ahnya.
b.      Dzari’ah yang pada dasarnya mubah dan tidak dimaksudkan membawa mafsadah, tetapi pada umumnya bisa membawa ke mafsadah dan mafsadahnya jauh lebih besar dari pada maslahahnya, maka dzari’ah macam kedua ini masih dipersoalkan oleh para ulama’ tentang boleh atau tidaknya.
Misalnya seorang janda akibat kematian suaminya, bukan karena perceraian, yang belum habis masa iddahnya (4 bulan 10 hari berdasarkan surah Al-Baqarah ayat  234). Pada dasarnya, si janda ini boleh berhias diri dengan make up  dan sebagainya dan dengan berhias diri itu ia belum tentu bermaksud negatif atau mafsadah. Namun, perbuatannya itu kemungkinan besar bisa membawa akibat yang negatif, yakni mendorong lelaki yang simpati, meminangnya dengan terus terang. Dan hal ini jelas dilarang oleh agama, karena belum habis masa iddahnya.
c.       Dzari’ah yang pada dasarnya mubah, tetapi terkadang bisa membawa ke mafsadah. Hanya saja maslahahnya lebih besar dari pada mafsadahnya. Misalnya seorang dokter lelaki memeriksa kesehatan pasien wanita, maslahahnya jauh lebih besar dari pada mafsadahnya, karena adanya sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Hukum dzari’ah macam ketiga ini bisa mubah, mandub, atau wajib, tergantung kepada tingkatan kemaslahatannya.
d.      Dzari’ah yang pada dasarnya mubah, tetapi dimaksudkan untuk tujuan mafsadah. Misalnya jual beli secara kredit untuk mendapatkan bunga, atau menyewakan tempat kepada orang untuk dipakai sebagai tempat maksiat, orang yang menyewakan tempat mendapatkan dosa, sekalipun tidak memakainya sendiri tetapi masih dipersoalkan dikalangan ulama’. Penyewaannya jelas berdosa, seperi perjudian, pelacuran dan sebagainya. Atau menjual buah anggur kepada orang yang biasa yang memakai anggur itu untuk membuat minuman khamr (minuman keras). Hukum dzari’ah yang seperti ini masih dipersoalkan oleh ulama’ tentang boleh/tidaknya (saddu adz-dzari’ah ataukah fathu adz-dzari’ah).
Pada umumnya fuqaha dari berbagai mazhab memakai saddu adz-dzari’ah sebagai dalil atau sumber hukum Islam, kecuali mazhab Dzahiri yang menolaknya dengan alasan, bahwa seorang cukup menghindari hal-hal yang syubhat ( yang tidak jelas halal-haramnya) agar tidak jatuh ke dalam haram.[9]

2.      Metode Penentuan Hukum adz-Dzari’ah
Predikat-predikat hukum syara’ yang dilekatkan kepada perbuatan yang bersifat adz-dzari’ah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
a.       Ditinjau dari segi al-ba’its (motif pelaku). Al-Ba’its adalah motif yang mendorong pelaku untuk melakukan sesuatu perbuatan, baik motifnya untuk menimbulkan sesuatu yang dibenarkan (halal) maupun motifnya untuk menghasilkan sesuatu yang terlarang (haram). Misalnya, seseorang melakukan akad nikah dengan seorang wanita. Akan tetapi niatnya ketika menikah tersebut bukan untuk mencapai tujuan nikah yang disyariatkan Islam, yaitu membangun rumah tangga yang abadi, melainkan agar setelah diceraikannya, wanita tersebut halal menikah lagi dengan mantan suaminya yang telah menalaknya dengan tiga talak.
b.      Ditinjau dari segi dampak yang ditimbulkannya semata-mata, tanpa meninjaunya dari segi motif dan niat pelaku. Tinjauan yang kedua ini, difokuskan pada segi mashlahah dan mafsadah yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan. Jika dampak yang ditimbulkan oleh rentetan suatu perbuatan adalah kemaslahatan, maka perbuatan tersebut diperintahkan, sesuai dengan kadar kemaslahatannya (wajib atau sunnah). Sebaliknya, jika rentetan perbuatan tersebut membawa pada kerusakan, maka perbuatan tersebut terlarang, sesuai dengan kadarnya pula (haram atau makruh). Sebagai contoh, seseorang mencaci maki berhala-berhala orang musyrik sebagai bukti keimanannya kepada Allah dan dengan niat ibadah. Akan tetapi, perbuatan tersebut mengakibatkan tindakan balasan dalam bentuk caci maki pula dari orang musyrik terhadap Allah SWT. Oleh karena itu, perbuatan tersebut menjadi terlarang. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman pada surah al-An’am (6): 108:
وَلَا تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَيۡرِ عِلۡمٖۗ  ١٠٨
 “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”

Jika dengan dzari’ah yang pertama diatas, yaitu segi motif perbuatan hanya dapat mengakibatkan dosa atau pahala bagi pelakunya, maka sebaliknya dengan tinjauan kedua ini, perbuatan dzari’ah melahirkan ketentuan hukum yang bersifat qadha’i, dimana hakim pengadilan dapat menjatuhkan hukum sah atau batalnya perbuatan tersebut, bahkan menimbulkan hukum boleh atau terlarangnya perbuatan tersebut, tergantung pada: apakah perbuatan dzari’ah tersebut menimbulkan dampak mashlahah atau mafsadah, tanpa mempertimbangkan apakah motif pelaku adalah untuk melakukan kebaikan atau kerusakan.


3.      Kedudukan adz-dzari’ah dalam Hukum Islam
Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal menjadikan adz-dzari’ah sebagai dalil hukum syara’. Sementara Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i terkadang menjadikan adz-dzari’ah sebagai dalil, tetapi pada waktu yang lain menolaknya sebagai dalil. Sebagai contoh, asy-Syafi’i membolehkan seseorang karena uzur (seperti sakit dan musafir) meninggalkan sholat jum’at dan menggantinya dengan sholat dzuhur, namun hendaknya ia mengerjakan sholat dzuhur tersebut secara tersembunyi dan diam-diam agar tidak dituduh orang sengaja meninggalkan sholat jum’at. Selanjutnya Imam Syi’ah juga menggunakan sadd adz-dzari’ah. Akan tetapi Ibnu Hazm azh-Zhahiri sama sekali menolak adz-dzari’ah sebagai dalil syara’ (hujjah).
Kelompok yang memandang dzari’ah sebagai hujjah mengajukan dalil dan alasan sebagai berikut:
a.       Firman Allah SWT pada surah al-Baqarah (2): 104:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقُولُواْ رَٰعِنَا وَقُولُواْ ٱنظُرۡنَا وَٱسۡمَعُواْۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٞ  ١٠٤

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”
Kata ra’ina berarti: sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Ketika para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi juga memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut ra’ina, padahal yang mereka katakan ialah ru’unah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebab Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar kata ra’ina dengan unzhurna yang juga sama artinya dengan ra’ina. Dengan kata lain, larangan Allah tersebut merupakan sadd adz-dzari’ah.
b.      Hadist yang diriwayatkan al-Bukhari:
“Dari Abdullah bin ‘Amru, katanya Rasulullah SAW bersabda: “Salah satu dosa besar ialah, seseorang melaknat orang tuanya”. Sahabat ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang melaknat orang tuanya? Rasulullah SAW bersabda: “Ia memaki ayah seseorang, maka orang tersebut membalas memaki ayah dan ibunya”.
c.       Rasulullah SAW menetapkan bahwa pembunuh tidak mendapat warisan dari orang yang dibunuhnya, sebagai sadd adz-dzari’ah agar perbuatan membunuh jangan menjadi jalan mempercepat seseorang mendapat warisan dari korbannya.
d.      Para sahabat sepakat bahwa hukum qishash dijatuhkan kepada sejumlah orang karena mereka membunuh seseorang, meskipun hal itu tidak seimbang, sebagai sadd adz-dzari’ah. Apabila diperhatikan, banyak sekali dalil lainnya dari sunnah yang menunjukkan pemberlakuan prinsip sadd adz-dzari’ah pada ketentuan hukum syara’, seperti melarang transaksi atas buah pohon yang belum nyata kematangannya, larangan memadu antara seorang wanita dengan saudara ibunya atau ayahnya, dan larangan berlebihan dalam melaksanakan ibadah.

Adapun Ibnu Hazm, ia sama sekali menolak  adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Sebagaimana diketahui, ia sangat kuat berpegang kepada zhahir nashsh, dan menolak penggunaan ijtihad dalam bentuk qiyas dan perluasan hukum atas nashsh yang dinilainya bersifat zhanni. Ia berpendapat, menetapkan kehalalan dan keharaman suatu perbuatan tidak boleh berdasarkan dalil zhanni, sedangkan berpegang pada dzari’ah termasuk dalam kelompok menetapkan hukum dengan sesuatu yang zhanni. Dalam hal ini, Ibnu Hazm berpegang teguh pada surah an-Najm (53): 28:
وَمَا لَهُم بِهِۦ مِنۡ عِلۡمٍۖ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّۖ وَإِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيۡٔٗا  ٢٨

“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.”
Demikianlah uraian tentang adz-dzari’ah, baik dalam bentuk sadd adz-dzari’ah maupun fath adz-dzari’ah.[10]

D.    Madhab Shabat

1.      Pengertian Madhab Shabat
Sebagian ulama ushul fiqh menyebutkan mengenai istilah madzab ash-shahabi dan qaul ash-shahabi. Menurut bahasa qaul memiliki arti ucapan, pendapat dan perkataan. Sedangkan madzab menurut etimologi memiliki arti teori, pendapat, doktrin dan kepercayaan. Sedangkan istilah kata shabhabi  berasal dari kata shuhbah yang memiliki arti persahabatan dan pertemanan. Maka dapat disimpulkan bahwa  adanya kesamaan antara kedua istilah ini yaitu pendapat yang di sandarkan kepada shahabat Nabi.[11]
Dalam sumber lain dijeaskan bahwa pada hakikatnya kedua istilah ini tidak sama persis maknanya. Karena qaul ash-shahabi yang dimaksud disini adalah, sahabat Rasulullah Saw. secara individu, mengenai suatu hukum yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al-qur’an dan Sunnnah Rasulullah Saw. Namun,  dari istilah memberikan pengertian bahwa madhab ash-shahabhi ialah pendapat hukum dari para sahabat secara keseluruhan mengenai suatu hukum syara’ yang tidak dimuat dalam al-Qur’an maupun Sunnah, yang mana para sahabat tersebut memberikan pendapat hasil dari kesepakatan diantara mereka. Maka dari itu, dapat di pahami, bahwa terdapat perbedaan antara keduanya yaitu qaul ash-shahabi merupakan pendapat dari perorangan yang mana antara sahabat yang satu dengan yang lain memiliki kemungkinan terdapat perbedaan. Sedangkan madhab ash-sahabi merupakan pendapat yang telah disepakati oleh sahabat secara bersama atau dapat disebut juga dengan istilah . ijma’ ash-shahabi . Darisini dapat dipahami bahwasanya perbedaan antara kedua kata ini terdapat pada segi kuantitas sahabat yang memberi pendapat.[12]

2.      Pendapat Ulama tentang Qaul ash-Shahabi
Sebenarnya posisi dari sahabat apakah dapat menjadi sumber dalil atau tidak, masih menjadi ikhtilaf / khilafiyah dikalangan ulama. Ada yang menyatakan pendapat sahabat merupakan dalil yang mutlak dan ada juga sebagian lain berpendapat bahwa yang dapat dijadikah hujjah adalah qaulnya pendapat sahabat Abu Bakar yang dapat dijadikan sebagai sumber dalil. Dan sedangkan ulama lain juga memliki pandangan bahwa pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah adalah pendapat khulafur rasyidin.[13]
a.       Ulama yang Sepakat
Menurut jumhur ulama, yakni ulama Hanafiyyah, Imam Malik, pendapat Asy-Syafi’i yang lama (qaul al-qadim), Ahmad bin  Hanbal (pendapat yang terkuat), qaul ash shahabi didahulukan daripada al-qiyas. Mereka menerima pendapat sahabat sebagai hujjah berdasarkan dalil naqli maupun aqli (secara logika) diantaranya:
1)   Dalil naqli, firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 100 yakni;
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ  ١٠٠

Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Ayat tersebut menunjukan bahwasanya Allah Swt. memuji para sahabat dan generasi berikutnya yang mengiikutinya.
2)      Dari segi ra’yu (logika), diantara alasan logis yang menjadi dasar kehujjahan yakni:
1.      Pendapat sahabat dapat dijadikan hujjah karena adanya kemungkinan bahwa pendapat dari mereka berasal dari rasulullah Saw.
2.      Karena kedekatan sahabat dengan Rasulullah, mereka memperoleh pengalaman yang luas dan mampu memahami subtansi dari syariat dan tujuan-tujuan persyariatan.
3.      Mereka diyakini mendekati kebenaran karena berguru langsung kepada Rasulullah.
4.      Mereka memiliki sifat ‘adalah dan jauh lebih dari kemungkinan melahirkan pendapat syara’ tanpa alsanan.[14]

b.      Ulama Yang Tidak Sepakat.
Menurut ulama Asya’irah, Mu’tazilah, Syi’ah salah satu pendapat asy-Syafi’i (qaul al-jadid) dan salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal: qaul ash-sahabi bukan merupakan hujjah. Alasan mereka salah satunya berdasarkan juga pada dalil naqli dan aqli, yakni:
1)      Dalil naqli, firman Allah dalam Qur’an Surat al-Hasr ayat 2 yakni;
فَٱعۡتَبِرُواْ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ  ٢

Artinya: “Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Ayat ini menerangkan bahawa Allah Swt memerintahkan orang-orang yang memiliki nalar agar berijtihad menggunakan nalar, dan hal itu seklaigus melarang adanya taqlid bagi orang yang memiliki kapasotas intelektual yang tinggi, apalagi jika terdapat pertentangan antara qaul shahabi dengan qiyas. Menimbang kedudukan al-qiyas merupakan dalil yang lebih tinggi dari qaul shahabi.[15]  
2)      Dari segi ra’yu (logika), sahabat dan juga golongan mujtahid termasuk golongan yang memiliki peluang salah dan lupa. Persis halnya dengan para tabi’in yang juga merupakan golongan mujtahid. maka dari itu mujtahid generasi tabi’n ataupun sesudahnya tidak memiliki kewajiban mengikuti qaul shahabi.[16]
3)      Dari perbedaan yang terjadi ,Wabah az-Zuhaili mengambil hukum dari Tarjih dengan menyatakan bahwa, qaul sahabi yang semata-mata merupakan hasil ijtihad perorangan, bukanlah merupakan hujjah syari’iyah yang dapat berdiri sendiri. Karena sebagai hasil dari ijtihad, ia dapat benar dan juga dapat salah. Bahwa kebenaran sahabat memperoleh kedudukan yang sangat mulia, dan akan tetapi hal ini tidak dapat mengubah kedudukan seoarang sahabat menjdai ma’sum. Maka dari itu , pendapat sahabat yang bersifat ijtihad perorngan hanya dapat dijadikan hujjah yang wajib diikuti, apabila memiliki sandaran dalam bentuk nash al-Qura,an maupun Sunnah.[17]

3.      Aplikasi Qaul Shahabi dalam Fiqh Kontemporer
Sudah menjadi suatu hal yang biasa bahwa ketika terjadi suatu perbedaan akan menimbulkan pengaruh terhadap beberapa permasalahan. Dibawah ini contoh beberapa permasalahan yang terkena dampak ikhtilaf atau perbedaan Ulama dalam qaul shahabi. Diantaranya:[18]
a)      Waktu maksimal kehamilan
Ulama berbeda berpendapat mengenai jangka waktu maksimal bagi wanita hamil. Menurut Ulama Hanafiyyah bahwa waktu kehamilan maksimal bagi wanita ialah dua tahun berdasarkan qaul shahabi yakni qaul Aisyah yang menyatakan bahwasanya “Seorang anak tidak tinggal dalam kandungan ibunya lebih dari dua tahun meskipun berupa sebulat pintalan benang.”
Sedangkan menurut Ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, mengenai waktu kehamilan yakni empat tahun. Pendapat mereka berdasarkan pada fakta kehidupan bahwasanya adanya sejumlah bayi yang hidup di dalam kandungan ibunya selama empat tahun.
b)      Ganti Rugi atas pencenderaan hewan ternak
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ketika hewan ternak yang dilukai seperti unta, sapi dan kuda, maka kadar ganti riginya yaitu sperempat dari harga standar hewan tersebut. Pendapat tersebut didasarkan pada qaul Umar ibn Khattab dalam suratnya yang ditujukan kepada Syurairah yang mana inti dari surat tersebut adalah mengenai ganti rugi hewan yang diciderai matanya ialah seperempat dari harga standar hewan tersebut.
Berbeda pendapat dengan Ulama malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah yang menyatakan bahwa, kadar ganti ruginya hewan yang diciderai ialah senilai dengan harga yang terkurangi dari harga standar hewan tersebut. Hal itu didasarkan dengan qiyas, yaitu qiyas kasus perbuatan melawan hukum terhadap harta kekayaan orang lain.
c)      Masa minimal menstruasi
Ulama Hanafiyyah berpendapat mengenai kadar masa tercepat menstruasi perempuan yakni tiga hari atau 3x24 jam. Pendapat merea didasari pada qaul Anas bin Malik yang menyatakan bahwasanya masa menstruasi bagi kaum wanita yaitu tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh hari.
Sedangkan pendapat Ulama Malikiyyah, Syafiiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa waktu tercepat menstruasi bagi kaum perempuan yakni sehari semalam atau 1x24 jam. Pendapat mereka bahwasanya sesuatu yang tidak disinggung pada nash keentuannya, maka dikembalikan lagi kepada urf. Yang mana dalam urf  terdapat wanita yang waktu menstruasinya hanya sehari saja atau 1x24 jam.

E.     Syar’u Man Qablana

1.      Pengertian Syar’u Man Qablana
Secara bahasa “syar’u” berati mengalir. Secara keseluruhan “Syar’u man qablana” artinya syariat orang-orang yang sebelum kita. Maksudnya ialah syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada para nabi sebelum nabi Muhammad Saw. diutus menjadi rasul, seperti halnya syariat Nabi Ibrahim, Nabi Dawud, Nabi Musa, Nabi Isa, dan sebagainya.
Sebagaimana yang diketahui, bahwasanya syariat Nabi Muhammad Saw. merupakan syariat terakhir yang diturunkan Allah Swt kepada manusia. Maka dari itu, baik didalam Alquran ataupun hadis, terdapat banyak kisah menegenai para nabi dan rasul Allah yang dahulu, dan juga mengenai hukum-hukum syara’ yang berlaku bagi mereka dan umatnya.[19]

2.      Pendapat Ulama tentang Syar’u Man Qaablana
Jumhur ulama sepakat bahwasanya syar’u man qablana yang tidak terdapat dalam al-Quran ataupun sunnah, tidak berlaku lagi terhadap Nabi Muhammad Saw. dan umatnya. Dikarenakan syariat Nabi Muhammad bersifat menggantikan syariat terdahulu. Oleh karna itu, dengan datangnya syariat Nabi Muhammad Saw. semua syariat para nabi terdahulu menjadi tidak berlaku lagi karna tidak tercantum dalam nashsh al-Quran dan Sunnah.[20] Misal seperti syariat Nabi Musa yang mengajarkan bahwa orang yang durhaka kepada Allah maka cara melebur dosanya yaitu dengan bunuh diri. Dan mengenai pakaian yang terkena najis, maka harus dipotong bagian yang terkena najis tersebut. Disini dapat terlihat bahwasanya begitu berat hukum-hukum yang berlaku pada uamat terdahulu dan betapa ringanya hukum syariat Nabi Muhammad Saw.[21]
Kemudian, para ulama juga sepakat bahwasanya syar’u man qablana yang terdapat dalam al-Quran maupun sunnah, secara tegas dinyataan berlaku bagi  Rasulullah Saw, sebab keberlakuanya bukan dikarenakan kedudukanya sebagai syar’u man qablana akan tetapi disyariatkan oleh al-Quran ataupun  sunnah Rasulullah Saw. Misal seperti syariat puasa dan haji. Kedua ibadah tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan dengan ibadah puasa dan haji yang berlaku pada nabi dan rasul terdahulu.
Adapun yang menjadi ikhtilaf pendaat ulama yakni, ketika hukum dari masalah-masalah yang tidak secara tegas diberlakukan pada syariat Nabi Muhammad, tetapi juga tidak terdapat nashsh yang me-nashkhannya atau membatalkanya.[22] Misalnya mengenai hukum qishas yang berlaku pada Bani Israil sebagaimana disebut dalam Q.S al-Maidah ayat 45.[23] Maka, terdapat ikhtilaf pendapat antar ulama yang saling bertolak belakang mengenai berlaku atau tidaknya syar’u man qablana bagi Nabi Saw, dan umat beliau. Ada ulama yang memberlakukan dan adapula yang tidak memberlakukan diantaranya:
a.       Ulama yang memberlakukan
Pendapat jumhur ulama Hanafiyyah, ulama Malikiyyah, sebagian ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanabiah, antara lain; at Tamimi, menyatakan bahwasanya syar’u man qablana masih belaku bagi umat Islam, apabila tidak terdapat nashsh syara’ yang membantahnya. Salah satu ayat yang menjadi dasar pendapat mereka yakni Q.S. Ash-Shura ayat 13.[24]
۞شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ  ١٣

Artinya: “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwasanya syariat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. juga telah disyariatkan kepada para nabi sebelum beliau. Dan juga ayat ini menunjukkan bahwasanya, pada dasarnya semua syariat yang diturunkan Allah Swt. itu merupakan satu kesatuan.[25]

b.      Ulama yang tidak memberlakukan
Pendapat Ulama Asya’irah, Mu’tazilah, Syi’ah, dan sebagian ulama Syafi’iyyah serta mayoritas ulama Hanabilah menyatakan bahwasanya syar’u man qablana yang tidak ada ketegasan pemberlakuanya dan tidak pula ada nashsh yang me-nasakh-kanya, maka itu tidak dapat berlaku lagi  bagi Nabi Muhammad dan umatnya. Adapun landasan yang menjadi alasan pendapat mereka diantaranya:
1)      Dalam Q.S. al Maidah ayat 48.
لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ  ٤٨
Artinya: “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”
Ayat ini menunjukkan bahwasanya setiap umat sudah mempunyai  syariatnya masing-masing, dan tidak ada perintah untuk mengikuti syariat umat lainya. Oleh karena itu, syar’u man qablana tidak berlaku bagi kita.
2)      Apabila syariat sebelumya berlaku bagi kita, sudah pasti Rasulullah Saw. dan umatnya diperintah beliau untuk mempelajari dan merujuk pada kitab-kitab suci sebelunya, dalam mencari hukum-hukum yang tidak terdapat pada nashsah al-Quran dan Sunnah. Misal seperti contoh, ketika Nabi Saw diahadapkan pada masalah  zihar, li’an dan juga tentang masalah-masalah hukum waris, beliau tidak menyatakan pendapat hukum dikarenakan menunggu sampai datangnya wahyu yang menjelaskan masalah-masalah tersebut. Maka dapat dipahami bahwasanya, Nabi Muhammad Saw tidak bertindak meneliti hukum-hukum tersebut dalam kitab-kitab suci sebelumya, meskipun kitab-kitab tersebut juga merupakan syariat yang diturunkan Allah Swt.
3)      Ketika Mu’az bin Jabal diutus oleh Nabi Muhammad Saw. untuk pergi ke Yaman sebagai hakim, Nabi bertanya kepada Mu’az mengenai pedoman apa yang digunakan untuk bertugas. Setelah itu Mu’az menjawab bahwasanya ia berpedoman pada tiga yakni al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad. Jawaban ini disetujui Rasulullah dan tidak mengarahkannya untuk berpedoman pada syar’ man qablana. Adapun jika syar’u man qablana berlaku bagi kita, pastilah Rasulullah mengkoreksi jawaban Mu’az, dan mengingatkan agar berpedoman pula pada syar’u man qablana.[26]

Jadi, dari berbagai uraian pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasanya syar’u man qablana tidak berdiri sendiri, melainkan baru dapat berlaku jika dikukuhkan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis ya ng shahih, sekaligus tidak terdapat dalil yang menujukkan bahwa ia telah manshuh.[27]



Daftar Pustaka
Aripin, Musa. 2016. Eksistensi Urf Dalam Kompilasi Hukum Islam. Vol. 2 No. 1. Al-Maqasid.
Dahlan, Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Hadi, Solikhul. 2018. Analisis Kitab Al Mustasfa Karya Al-Ghazali Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Vol. 9, No. 1, Yudisia.
Khalaf, Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press.
Khallaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fikh. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Nizar, Muhammad Coirun. 2017. Qaul Shahabi dan Aplikasinya dalam Fiqh Kontemporer, Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam Vol.1 Nomor 1. Semarang: Ulul Albab
Sulistiani, Sika Lis. 2018.  Perbandingan Sumber Hukum Islam. Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol. 1 No.1, Tahkim.
Zuhdi, Masjfuk. 1990. Pengantar Hukum Syari’ah. Jakarta: CV Haji Masagung.


Catatan:
  1. Similarity 32%, termasuk tinggi.
  2. Abstrak seharusnya hanya satu paragraf.
  3. Daftar pustaka mengapa hanya delapan dan cara pengaturannya salah?
  4. Mana penutup/kesimpulannya?


[1] Sika Lis Sulistiani, “Perbandingan Sumber Hukum Islam”. Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol. 1 No.1, 2018. hlm. 103.
[2] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikh (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2005), hlm. 104.
[3] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah.cet-2. (Jakarta: Haji Masagung, 1990), hlm. 86.
[4] Musa Aripin, “Eksistensi Urf Dalam Kompilasi Hukum Islam”. Al-Maqasid. Vol. 2 No. 1, 2016.
[5] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh.ed-1,ced-2. (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 210-215.

[6] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh. (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), hlm: 150-152
[7] Masjfuk Zuhdi, op.cit. hlm. 96.
[8] Abd. Rahman Dahlan, op.cit hlm. 236.
[9] Masjfuk Zuhdi, op.cit. hlm. 98-99.
[10] Abd. Rahman Dahlan, op.cit. hlm. 239-241
[11] Muhammad Coirun Nizar, Qaul Shahabi dan Aplikasinya dalam Fiqh Kontemporer, Ulul Albab Vol.1 Nomor 1 Tahun 2017, hlm. 2-3.
[12] Abd. Rahman Dahlan, op.cit. hlm. 225.
[13] Solikhul Hadi, Analisis Kitab Al Mustasfa Karya Al-Ghazali, Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018, hlm. 93-94
[14] Abd. Rahman Dahlan, op.cit  hlm. 226
[15] Ibid,. hlm. 228
[16] Ibid,. hlm. 229
[17] Muhammad Coirun Nizar, op.cit hlm. 33.
[18] Muhammad Coirun Nizar, loc.cit
[19] Abd. Rahman Dahlan, op.cit  hlm. 230.
[20] Abd. Rahman Dahlan., loc.cit. 
[21] Masjfuk Zuhdi, op.cit. hlm. 92.
[22] Abd. Rahman Dahlan., op.cit hlm. 231.
[23] Masjfuk Zuhdi, loc.cit.
[24] Abd. Rahman Dahlan., loc.cit.
[25] Ibid., hlm. 232.
[26] Ibid., hlm. 233.
[27]Ibid., hlm. 235.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar