Urf, Saddudzara’i, Madhab Shahabi, dan Syar’u
Man Qablana
Muhammad Muhibbin dan Ahmad Haris Nafi’an
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “A” 2016 Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail : muhammadmuhibbin71@gamil.com
Abstract
Law is often referred to as a product that appears or
is born of the dynamics of human life. "Where there are people there is no
law". Therefore, the legal sector should always follow the rhythm of the
development of society, which means that in the advanced and modern society
must have laws that advanced and modern as well.
Nevertheless, we must admit that the
law is an inanimate object that intangible that is part of the works and human
initiative. That is, because the law is not a source of life and is not in a
position to transform itself, in the sense that if the law had not been
modernized or changed then the law will never be modern. In Islamic law there
are two sources of law provisions or sources of law 'argument that the agreed
and legal source of disagreement. According to 'Abd al Majid Mohammed Al
Khafawi that source of law in the scholars agreed that the Qur'an and Sunnah,
ijma', and Qiyas.
Being a source of law or proposition
of disagreement or deviation occurs in general that there are 7 Istihsan,
Istishab, Maslahah al mursalah, Urf, Saddudz dzari'ah, Syar'u man Qablana, and
Qaul Sahabi.
As in this article, we will discuss
the sources of law are not agreed upon by the majority of scholars ', so that
there is a difference (deviation) in its use, among which'urf, Saddudzara'i,
Mazhab Shahabi, and Syar'u Man Qoblana,
Keywords: ‘Urf,
Saddudzara'i, Mazhab Shahabi, and Syar'u Man Qoblana
Abstrak
Hukum sering disebut sebagai produk yang muncul atau
lahir dari dinamika kehidupan manusia. “Di mana ada masyarakat disitu ada hukum”. Oleh sebab itu,
sektor hukum harus selalu mengikuti irama perkembangan masyarakat, artinya
dalam masyarakat yang maju dan modern harus memiliki hukum yang maju dan modern
juga.
Namun demikian, harus kita akui
bahwa hukum adalah benda mati yang tidak berwujud yang menjadi bagian dari
karya dan karsa manusia. Artinya, karena hukum bukan sumber hidup dan tidak
pada posisi untuk mengubah dirinya, dalam arti apabila hukum tidak
dimodernisasi atau diubah maka hukum tidak akan pernah modern. Dalam hukum
Islam terdapat dua ketentuan sumber hukum atau dalil yaitu sumber hukum yang
disepakati dan sumber hukum yang tidak disepakati. Menurut ‘Abd al Majid
Muhammad Al Khafawi bahwa sumber hukum
yang di sepakati ulama tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan
Qiyas.
Sedang sumber hukum atau dalil yang
tidak disepakati atau terjadi Ikhtilaf ada 7 secara umum yaitu Istihsan, Istishab, Maslahah al
mursalah, Urf, Saddudz dzarî’ah, Syar’u man Qablana, dan Qaul Sahabi.
Adapun dalam artikel ini, kami akan
membahas sumber hukum yang tidak disepakati oleh mayoritas ulama’,sehingga
terjadi perbedaan (ikhtilaf) dalam penggunaanya, diantaranya yaitu ‘Urf, Saddudzara’i, Mazhab Shahabat, dan Syar’u Man
Qoblana.
Kata
Kunci : Urf, Saddudzara’i,
Mazhab Shahabat, dan Syar’u Man Qoblana
A.
Pendahuluan
Kata-kata
Sumber Hukum Islam merupakan terjemahan dari lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata
tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh
ulama-ulama fiqih dan ushul fiqh klasik. Untuk menjelaskan arti dari sumber
hukum Islam, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir
al-Ahkam
oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah se-arti atau
se-makna dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah. Dan yang dimaksud Masâdir
al-Ahkâm
adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya
untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan
ada pula yang masih diperselisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang
disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para jumhur
Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas). Namun dari kalangan Mu’tazilah menempatkan akal dalam
urutan pertama sebelum Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas.[1]
Maka kami akan membahas dalam artikel ini mengenai sumber hukum yang tidak
disepakati: ‘Urf, Saddudzara’i, Mazhab Shahabat, dan Syar’u Man
Qoblana.
B.
Al-Urf/Al
Adah
1.
Pengertian
al-Urf
Dari segi bahasa (etimologi) al-‘urf
berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’, dan fa’ yang berarti
kenal. Dari kata ini munculah kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi),
kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata urf (kebiasaan yang
baik).
Secara terminologi, definsi al-‘urf
yaitu apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang, baik berupa
perkataan, perbuatan atau meninggalkan.[2] Urf/Adat menurut Imam Al-Ghazali di dalam kitab Al-Mustashfa ialah sesuatu yang telah
menjadi mantap atau mapan di dalam jiwa dari segi akal, dan telah bisa diterima
oleh watak-watak yang sehat atau baik. Urf dan adat menurut Imam Al-ghazali
mempunyai arti yang sama (kata yang muradif/sinonim).[3]
Al-Urf adalah apa yang
dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya; baik berupa perkataan, perbuatan
atau pantangan-pantangan, serta disebut juga adat menurut istilah ahli syara’,
dan tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan adat istiadat.
Disisi lain para ulama Ushul fiqh
membedakan antara ‘urf dengan adat dalam membahas kedudukannya sebagai salah
satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefenisikan sebagai sesuatu
yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Menurut
defenisi ini bahwa apabila perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum
akal, tidak dinamakan adat, tetapi adat itu mencakup persoalan yang amat luas
yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur,
makan dan mengkonsumsi makanan jenis tertentu, atau permasalah yang menyangkut
orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan
buruk.
Menurut istilah ahli syara’, tidak ada
perbedaan diantara ‘urf dengan adat , maka
‘urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling
pengertian manusia tentang jual beli dengan pelaksanaannya tanpa shigat yang
diucapkan. Sedangkan ‘urf yang bersifat ucapan adalah seperti saling mengerti
mereka tentang kemutlakan lafal al-wadad adalah anak laki-laki bukan anak perempuan, dan
juga pengertian mereka agar tidak mengitlakkan lafal al-lahm yang bermakna
daging atas al-samak yang bermakna ikan tawar.
Defenisi lain dari ‘Urf adalah sesuatu
yang telah dikenal manusia dan tetap dalam menjalankannya baik berupa ucapan
dan perbuatan. ‘urf yang dimaksud adalah yang baik bukan yang mungkar. Dan ‘urf
juga disebut adat, karena sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang untuk
menghasilkan tujuannya. Dan adat lebih penting dari ‘urf, karena adat sudah
menjadi kebiasaan seseorang pribadi tertentu, maka tidak dinamakan ‘urf tetapi
kebiasaan yang sudah menjadi kesepakatan bersama, itulah yang dinamakan
dengan‘urf baik bersifat khusus maupun bersifat umum.[4]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami,
al-‘urf atau al-‘adah terdiri atas dua bentuk yaitu, al-‘urf al-qauli
(kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan al-‘urf al-fi’li (kebiasaan dalam bentuk
perbuatan). Urf dalam bentuk perkataan, misalnya kalimat “engkau saya
kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat Islam Indonesia, mengandung
arti talak. Sedangkan contoh urf dalam bentuk perbuatan, misalnya transaksi
jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul. Demikian juga membagi
mahar menjadi “hantaran” dan “mas kawin”.
2.
Pembagian
al-‘Urf
Ditinjau
dari segi jangkauannya, ‘urf dapat dibagi menjadi dua yaitu antara lain:
a.
Al-‘Urf al-Amm
Al-‘Urf al-Amm adalah kebiasaan yang
bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah
yang luas. Misalnya, membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan
harga tiket masuk tertentu tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang
digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
b.
Al-‘Urf al-Khashsh
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara
khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya
kebiasaan masyarakat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk tanah” itu untuk
menunjukan pengertian luas tanah 10x10 meter. Demikian juga kebiasaan
masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat bukti pembayaran yang
sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
Selanjutnya ditinjau dari segi
keabsahannya, al-‘urf dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Al-‘Urf ash-Shahihah (‘Urf yang
Absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang
sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at islam. Dengan kata lain, ‘urf
yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya
mengubah yang halal menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam
suatu masyarakat, hadiah yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan,
tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan
peminangan adalah pihak wanita, maka hadiah atau hantaran yang diberikan kepada
wanita yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahnya kepada pihak
laki-laki yang meminang.
b.
Al-‘Urf al-Fasidah (‘Urf yang
rusak/salah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang
bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syara’. Sebaliknya dari al-‘urf
ash-shahihah, maka adat kebiasaan yang salah adalah mengharamkan yang halal
atau menghalalkan hal-hal yang haram. Misalnya, kebiasaan berciuman antara
laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam acara pertemuan-pertemuan pesta. Para
ulama sepakat bahwa al-‘urf al-fasidah tidak dapat menjadi landasan hukum, dan
kebiasaan tersebut batal demi hukum. Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan
pemasyarakatan dan pengamalan hukum Islam pada masyarakat, sebaiknya dilakukan dengan
cara yang ma’ruf, diupayakan mengubah adat kebiasaan yang bertentangan dengan
ketentuan ajaran Islam tersebut, dan menggantikannya dengan adat kebiasaan yang
sesuai dengan syariat Islam. Karena al-‘urf al-fasidah bertentangan dengan
ajaran Islam, maka uraian selanjutnya hanya berkaitan dengan al-‘urf
ash-shahihah.
3.
Kedudukan
al-‘Urf sebagai Dalil Syara’
Pada
dasarnya, semua ulama’ menyepakati bahwa kedudukan al-‘urf ash-shahihah sebagai
salah satu dalil syara’. Akan tetapi diantara mereka terdapat perbedaan
pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama
Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah yang paling banyak menggunakan al-‘urf sebagai
dalil, dibandingkan dengan ulama’ Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Adapun
kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas argumen-argumen berikut
ini.
a.
Firman Allah SWT pada surah
al-A’raf (7): 199:
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ
وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ
١٩٩
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Melalui
ayat di atas Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang
ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai
oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak
bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan yang dibimbing oleh
prinsip-prinsip umum ajaran Islam.
b.
Ucapan sahabat Rasulullah SAW;
Abdullah bin Mas’ud:
“Sesuatu yang
dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik dari sisi Allah, dan sesuatu yang
mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.
Ungkapan
Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi ataupun maksudnya,
menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat
muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat Islam juga merupakan sesuatu
yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan
yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan
dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam hal itu, Allah SWT berfirman pada
surah al-Ma’idah (5): 6:
مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ
عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ
عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٦
“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Berdasarkan
dalil-dalil kehujjahan ‘urf di atas sebagai dalil hukum, maka ulama’ terutama
ulama Hanafiyyah dan Malikiyah merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan
al-‘urf antara lain:
“Adat kebiasaan
dapat menjadi hukum.”
“Yang berlaku
berdasarkan ‘urf, (seperti) berlaku berdasarkan dalil syara’.”
“Yang berlaku
berdasarkan ‘urf seperti berlaku berdasarkan nash.”
“Semua ketentuan
syara’ yang bersifat mutlak dan tidak ada pembatasan di dalamnya, bahkan juga
tidak ada pembatasan dari segi kebahasaan, maka pemberlakuannya dirujukkan
kepada ‘urf.”
Aplikasi
dari kaidah ‘urf yang terakhir di atas, misalnya: syara’ tidak memberi batasan
pengertian yang disebut al-hirz (barang yang terpelihara), berkaitan dengan
situasi barang yang dicuri sehingga hukuman potong tangan dapat dijatuhkan
terhadap pencuri. Oleh karena itu, untuk menentukan batasan pengertiannya
diserahkan kepada ketentuan ‘urf. Demikian juga tentang lamanya masa tenggang
waktu maksimum tanah yang ditelantarkan oleh pemilik tanah pertama, untuk
bolehnya orang lain menggarap tanah tersebut, ditentukan oleh ‘urf yang berlaku
dalam masyarakat.
Sebelumnya
telah dijelaskan bahwa al-‘urf ada yang berlaku secara umum dan ada pula yang
berlaku khusus dalam komunitas tertentu saja. Demikian pula, ada al-‘urf shahih
(‘urf yang benar) dan ada pula ‘urf al-fasid (‘urf yang salah). Dalam kaitan
ini perlu ditegaskan bahwa ‘urf yang disepakati seluruh ulama’ keberlakuannya
adalah ‘urf al-shahih al-amm al-muththarid (‘urf yang benar, berlaku umum
(sejak masa sahabat dan seterusnya) dan bersifat konstan), tidak bertentangan
dengan nashsh syara’ yang bersifat qath’, dan tidak pula bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara’ yang bersifat prinsip. Apabila suatu ‘urf memenuhi
kriteria-kriteria tersebut, maka menurut ulama’ Hanafiyyah, ‘urf tersebut bukan
saja dapat menjadi dalil syara’, tetapi juga dapat mengenyampingkan hukum yang
didasarkan atas qiyas, dan dapat pula men-takhshish dalil syara’ lainnya.
Adapun
‘urf yang bersifat khusus, maka ia hanya bisa mengenyampingkan
pendapat-pendapat mazhab yang didasarkan atas hasil ijtihad terhadap nashsh
yang zhanni’ saja. Dengan demikian, berbeda dengan al-‘urf al-amm yang berlaku
bagi semua masyarakat secara umum dan dapat mengenyampingkan qiyas dan dalil
syara’, maka al-‘urf al-khashsh, selain hanya berlaku pada suatu komunitas
tertentu, ia juga tidak dapat menyampingkan nashsh syara’ dan ketentuan qiyas,
serta tidak pula dapat menjadi pen-takhshish terhadap atsar (yang berlaku di
kalangan sahabat). Sementara itu, sebagaimana telah disebutkan, al-‘urf
al-fasid (‘urf yang salah) sama sekali tidak diakui keberadaannya dalam hukum
mesti ditolak.[5]
4.
Hukum ‘Urf
Untuk ‘urf shahih haruslah dilestarikan dalam rangka pembentukan
hukum dan proses peradilan. Para Mujtahid, tentu harus melestarikan atau
memelihara ketika berupaya membentuk hukum. Bagi seorang Qadhi, harus
memelihara ketik proses peradilan berlangsung. Sebab, segala sesuatu yang sudah
saling dimengerti oleh manusia yang tidak menjadi tradisi, tetapi hal itu telah
menjadi kesepakatan dan dianggap sebagai kemaslahatan serta tidak kontradiksi
dengan syara’, maka harus dipelihara. Dalam hal ini syari’ juga telah
memelihara ‘urf bangsa Arab yang benar dalam pembentukan hukum. Seperti wajib
membayar diyat terhadap wanita berakal, syarat kafa’ah untuk kelangsungan
pernikahan, juga hitungan ‘ashabah dalam masalah kematian dan pembagian harta
waris.
Dalam hal ini ulama’ mengatakan, adat adalah syari’ah muhkamah,
dan berdasarkan syara’, ‘urf itu mempunyai i’tibar. Imam Malik mengambil dasar
pembentukan hukum berdasarkan amal yang dilakukan penduduk Madinah. Abu Hanifah
dan murid-muridnya berbeda pendapat dalam ketetapan hukumnya lantaran perbedaan
‘urf. Ketika Imam Asy-Syafi’i sudah berada di Mesir, beliau merubah sebagian
hukum yang ditetapkan selama berada di Baghdad. Hal itu lantaran perbedaan ‘urf
sehingga Imam Asy-Syafi’i mempunyai dua qaul, qaul qadim (pendapat yang lama)
dan qaul jadid (pendapat yang baru). Dalam fiqh ulama’ Hanafiyah banyak sekali ketetapan-ketetapan
hukum yang berdasarkan ‘urf, di antaranya ialah jika terdapat perselisihan
antara dua terdakwa dan tidak dijumpai saksi nyata untuk salah satu dari
keduanya, maka pendapat yang dibenarkan ialah pendapat yang selaras dengan
‘urf. Jika suami istri tidak ada kesepakatan terhadap mahar muqaddam (yang
diberikan dahulu) atau muakhkhar (diberikan kemudian), maka hukum yang diambil
adalah yang selaras dengan ‘urf.
Mengenai ‘urf fasid, tidak harus dipelihara atau dilestarikan.
Sebab, pemeliharaan terhadap ‘urf fasid berarti menentang hukum syara’ atau
membatalkan ketentuan syara’. Karenanya, jika manusia mengerti tentang akad
yang rusak (mafsadah) seperti akad melakukan riba, penipuan dan akad yang
berbahaya, maka akad-akad itu tidak bisa dipakai sebagai ‘urf. Dengan demikian,
dalam undang-undang yang disusun manusia yang bertentangan dengan ketentuan
umum tidak bisa diakui oleh ‘urf. Namun dalam contoh akad itu, ditinjaunya
hanya dari satu segi, ialah akad itu dianggap sebagai darurat atau merupakan
kebutuhan manusia. Dengan kata lain, jika akad itu bersifat membatalkan
peraturan umum, berarti mereka telah mengadakan tipuan terhadap peraturan
mereka sendiri. Dan yang menjadi masalah, apakah mereka akan mendapatkan
kesulitan atau sebaliknya. Karenanya, jika hal itu memang sesuatu yang darurat
dan dibutuhkan manusia, hal itu bisa diperkenankan. Sebab, dalam keadaan
darurat diperbolehkan melakukan hal yang sebenarnya diharamkan. Sedangkan
kebutuhan manusia tidak bisa menduduki tempat ‘urf, jika tidak masuk dalam
kelompok darurat dan bukan merupakan kebutuhan mendesak, maka hukum akad itu
menjadi batal, dan ‘urf dalam hal ini tidak bisa diakui.[6]
C. Saddudzara’i atau Sadd Adz-Dzari’ah
1.
Pengertian Sadd
adz-Dzari’ah
Kata sadd menurut
bahasa berarti menutup, dan kata adz-dzari’ah berarti wasilah
atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian, sadd adz-dzari’ah secara
bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan. Menurut istilah di kalangan
ulama’ ushul fiqh, sadd adz-dzari’ah berarti Menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.
Sedangkan Saddu Adz-Dzara’i atau Dzari’ah yang dimaksudkan dalam
Ilmu Ushul Fiqih adalah satu masalah
yang tampaknya mubah, tetapi (kemungkinan) bisa menyampaikan kepada perkara
yang terlarang.[7] Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd
adz-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakuakan seseorang yang sebelumnya
mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Contohnya,
seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap
setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari
kewajiban zakat.
Sadd adz-Dzari’ah merupakan cabang dari Adz-Dzari’ah.
Dalam segi bahasa, adz-dzari’ah (jamak : adz-zara’i) berarti
media yang menyampaikan kepada sesuatu. Sedangkan menurut istilah ushul fiqih,
yang dimaksud adz-dzari’ah adalah sesuatu yang merupakan media dan jalan
untuk sampai kepada sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’, baik yang halal
maupun yang haram (yang dibenarkan atau terlarang) dan yang menuju ketaatan atau
kemaksiatan. Oleh karena itu, dalam kajian ushul fiqh, adz-dzari’ah dibagi
menjadi dua yaitu Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah.
Meskipun adz-dzari’ah dapat berarti sadd adz-dzari’ah dan fath
adz-dzari’ah, namun dikalangan ulama ushul fiqh, jika kata adz-dzariah
disebut secara sendiri, tidak dalam bentuk kalimat majemuk, maka kata itu
selalu digunakan untuk menunjukkan pengertian sadd adz-dzari’ah.[8]
Apabila
dzari’ah diartikan seperti yang dirumuskan oleh kebanyakan ulama’ Ushul Fiqh,
yakni dzari’ah yang hanya membawa mafsadah saja (kerusakan), dapat kita ketahui
di dalam kitab-kitab mazhab Maliki dan Hambali. Tetapi apabila dzari’ah
diartikan seperti dirumuskan oleh Ibnu Qayyim “dzari’ah adalah apa saja yang
bisa menjadi perantaraan dan jalan ke arah yang sesuatu”, maka ada dzari’ah
yang harus ditutup (saddu adz-dzari’ah). Di samping itu ada juga dzari’ah yang
wajib mubah/mandub/makruh dibuka (fathu adz-dzari’ah), tergantung kepada tujuan
yang dicapainya: maslahah atau mafsadah, atau tergantung kepada akibat yang
ditimbulkan oleh dzari’ah itu.
Oleh
sebab itu, menurut Ibnul Qayyim, dzari’ah itu ada 4 macam yaitu:
a. Dzari’ah yang selamanya membawa mafsadah
(kerusakan), seperti minuman keras yang selalu membawa akibat mabuk, yang pada
gilirannya bisa merusak otak atau akal. Ualama’ telah sepakat wajib menutup
dzari’ahnya.
b. Dzari’ah yang pada dasarnya mubah dan tidak
dimaksudkan membawa mafsadah, tetapi pada umumnya bisa membawa ke mafsadah dan
mafsadahnya jauh lebih besar dari pada maslahahnya, maka dzari’ah macam kedua
ini masih dipersoalkan oleh para ulama’ tentang boleh atau tidaknya.
Misalnya
seorang janda akibat kematian suaminya, bukan karena perceraian, yang belum
habis masa iddahnya (4 bulan 10 hari berdasarkan surah Al-Baqarah ayat 234). Pada dasarnya, si janda ini boleh
berhias diri dengan make up dan
sebagainya dan dengan berhias diri itu ia belum tentu bermaksud negatif atau
mafsadah. Namun, perbuatannya itu kemungkinan besar bisa membawa akibat yang
negatif, yakni mendorong lelaki yang simpati, meminangnya dengan terus terang.
Dan hal ini jelas dilarang oleh agama, karena belum habis masa iddahnya.
c. Dzari’ah yang pada dasarnya mubah, tetapi
terkadang bisa membawa ke mafsadah. Hanya saja maslahahnya lebih besar dari
pada mafsadahnya. Misalnya seorang dokter lelaki memeriksa kesehatan pasien
wanita, maslahahnya jauh lebih besar dari pada mafsadahnya, karena adanya
sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Hukum dzari’ah macam ketiga ini bisa
mubah, mandub, atau wajib, tergantung kepada tingkatan kemaslahatannya.
d. Dzari’ah yang pada dasarnya mubah, tetapi
dimaksudkan untuk tujuan mafsadah. Misalnya jual beli secara kredit untuk
mendapatkan bunga, atau menyewakan tempat kepada orang untuk dipakai sebagai
tempat maksiat, orang yang menyewakan tempat mendapatkan dosa, sekalipun tidak
memakainya sendiri tetapi masih dipersoalkan dikalangan ulama’. Penyewaannya
jelas berdosa, seperi perjudian, pelacuran dan sebagainya. Atau menjual buah
anggur kepada orang yang biasa yang memakai anggur itu untuk membuat minuman
khamr (minuman keras). Hukum dzari’ah yang seperti ini masih dipersoalkan oleh
ulama’ tentang boleh/tidaknya (saddu adz-dzari’ah ataukah fathu adz-dzari’ah).
Pada
umumnya fuqaha dari berbagai mazhab memakai saddu adz-dzari’ah sebagai dalil
atau sumber hukum Islam, kecuali mazhab Dzahiri yang menolaknya dengan alasan,
bahwa seorang cukup menghindari hal-hal yang syubhat ( yang tidak jelas
halal-haramnya) agar tidak jatuh ke dalam haram.[9]
2. Metode Penentuan Hukum adz-Dzari’ah
Predikat-predikat hukum syara’ yang
dilekatkan kepada perbuatan yang bersifat adz-dzari’ah dapat ditinjau dari dua
segi, yaitu:
a. Ditinjau dari segi al-ba’its (motif pelaku). Al-Ba’its adalah motif yang
mendorong pelaku untuk melakukan sesuatu perbuatan, baik motifnya untuk
menimbulkan sesuatu yang dibenarkan (halal) maupun motifnya untuk menghasilkan
sesuatu yang terlarang (haram). Misalnya, seseorang melakukan akad nikah dengan
seorang wanita. Akan tetapi niatnya ketika menikah tersebut bukan untuk
mencapai tujuan nikah yang disyariatkan Islam, yaitu membangun rumah tangga
yang abadi, melainkan agar setelah diceraikannya, wanita tersebut halal menikah
lagi dengan mantan suaminya yang telah menalaknya dengan tiga talak.
b. Ditinjau dari segi dampak yang ditimbulkannya semata-mata, tanpa meninjaunya
dari segi motif dan niat pelaku. Tinjauan yang kedua ini, difokuskan pada segi
mashlahah dan mafsadah yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan. Jika dampak yang
ditimbulkan oleh rentetan suatu perbuatan adalah kemaslahatan, maka perbuatan
tersebut diperintahkan, sesuai dengan kadar kemaslahatannya (wajib atau
sunnah). Sebaliknya, jika rentetan perbuatan tersebut membawa pada kerusakan,
maka perbuatan tersebut terlarang, sesuai dengan kadarnya pula (haram atau
makruh). Sebagai contoh, seseorang mencaci maki berhala-berhala orang musyrik
sebagai bukti keimanannya kepada Allah dan dengan niat ibadah. Akan tetapi,
perbuatan tersebut mengakibatkan tindakan balasan dalam bentuk caci maki pula
dari orang musyrik terhadap Allah SWT. Oleh karena itu, perbuatan tersebut
menjadi terlarang. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman pada surah al-An’am (6):
108:
وَلَا
تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا
بِغَيۡرِ عِلۡمٖۗ ١٠٨
“Dan janganlah kamu
memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Jika dengan dzari’ah
yang pertama diatas, yaitu segi motif perbuatan hanya dapat mengakibatkan dosa
atau pahala bagi pelakunya, maka sebaliknya dengan tinjauan kedua ini,
perbuatan dzari’ah melahirkan ketentuan hukum yang bersifat qadha’i, dimana
hakim pengadilan dapat menjatuhkan hukum sah atau batalnya perbuatan tersebut,
bahkan menimbulkan hukum boleh atau terlarangnya perbuatan tersebut, tergantung
pada: apakah perbuatan dzari’ah tersebut menimbulkan dampak mashlahah atau
mafsadah, tanpa mempertimbangkan apakah motif pelaku adalah untuk melakukan
kebaikan atau kerusakan.
3. Kedudukan adz-dzari’ah dalam Hukum Islam
Imam Malik dan Ahmad bin
Hanbal menjadikan adz-dzari’ah sebagai dalil hukum syara’. Sementara Abu
Hanifah dan Asy-Syafi’i terkadang menjadikan adz-dzari’ah sebagai dalil, tetapi
pada waktu yang lain menolaknya sebagai dalil. Sebagai contoh, asy-Syafi’i
membolehkan seseorang karena uzur (seperti sakit dan musafir) meninggalkan
sholat jum’at dan menggantinya dengan sholat dzuhur, namun hendaknya ia
mengerjakan sholat dzuhur tersebut secara tersembunyi dan diam-diam agar tidak
dituduh orang sengaja meninggalkan sholat jum’at. Selanjutnya Imam Syi’ah juga
menggunakan sadd adz-dzari’ah. Akan tetapi Ibnu Hazm azh-Zhahiri sama sekali
menolak adz-dzari’ah sebagai dalil syara’ (hujjah).
Kelompok yang memandang
dzari’ah sebagai hujjah mengajukan dalil dan alasan sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT pada surah al-Baqarah (2): 104:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقُولُواْ رَٰعِنَا وَقُولُواْ ٱنظُرۡنَا وَٱسۡمَعُواْۗ
وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٞ ١٠٤
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah:
"Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih.”
Kata ra’ina berarti:
sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Ketika para sahabat menghadapkan kata
ini kepada Rasulullah, orang Yahudi juga memakai kata ini dengan digumam
seakan-akan menyebut ra’ina, padahal yang mereka katakan ialah ru’unah yang
berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebab
Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar kata ra’ina dengan unzhurna yang
juga sama artinya dengan ra’ina. Dengan kata lain, larangan Allah tersebut
merupakan sadd adz-dzari’ah.
b. Hadist yang diriwayatkan al-Bukhari:
“Dari Abdullah bin
‘Amru, katanya Rasulullah SAW bersabda: “Salah satu dosa besar ialah, seseorang
melaknat orang tuanya”. Sahabat ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana
seseorang melaknat orang tuanya? Rasulullah SAW bersabda: “Ia memaki ayah
seseorang, maka orang tersebut membalas memaki ayah dan ibunya”.
c. Rasulullah SAW menetapkan bahwa pembunuh tidak mendapat warisan dari orang
yang dibunuhnya, sebagai sadd adz-dzari’ah agar perbuatan membunuh jangan
menjadi jalan mempercepat seseorang mendapat warisan dari korbannya.
d. Para sahabat sepakat bahwa hukum qishash dijatuhkan kepada sejumlah orang
karena mereka membunuh seseorang, meskipun hal itu tidak seimbang, sebagai sadd
adz-dzari’ah. Apabila diperhatikan, banyak sekali dalil lainnya dari sunnah
yang menunjukkan pemberlakuan prinsip sadd adz-dzari’ah pada ketentuan hukum
syara’, seperti melarang transaksi atas buah pohon yang belum nyata
kematangannya, larangan memadu antara seorang wanita dengan saudara ibunya atau
ayahnya, dan larangan berlebihan dalam melaksanakan ibadah.
Adapun Ibnu Hazm, ia sama sekali
menolak adz-dzari’ah sebagai dalil
syara’. Sebagaimana diketahui, ia sangat kuat berpegang kepada zhahir nashsh,
dan menolak penggunaan ijtihad dalam bentuk qiyas dan perluasan hukum atas
nashsh yang dinilainya bersifat zhanni. Ia berpendapat, menetapkan kehalalan
dan keharaman suatu perbuatan tidak boleh berdasarkan dalil zhanni, sedangkan
berpegang pada dzari’ah termasuk dalam kelompok menetapkan hukum dengan sesuatu
yang zhanni. Dalam hal ini, Ibnu Hazm berpegang teguh pada surah an-Najm (53):
28:
وَمَا
لَهُم بِهِۦ مِنۡ عِلۡمٍۖ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّۖ وَإِنَّ ٱلظَّنَّ لَا
يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيۡٔٗا ٢٨
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu
tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.”
Demikianlah uraian tentang adz-dzari’ah,
baik dalam bentuk sadd adz-dzari’ah maupun fath adz-dzari’ah.[10]
D.
Madhab Shabat
1.
Pengertian
Madhab Shabat
Sebagian ulama
ushul fiqh menyebutkan mengenai istilah madzab ash-shahabi dan qaul
ash-shahabi. Menurut bahasa qaul memiliki arti ucapan, pendapat dan
perkataan. Sedangkan madzab menurut etimologi memiliki arti teori,
pendapat, doktrin dan kepercayaan. Sedangkan istilah kata shabhabi berasal dari kata shuhbah yang
memiliki arti persahabatan dan pertemanan. Maka dapat disimpulkan bahwa adanya kesamaan antara kedua istilah ini
yaitu pendapat yang di sandarkan kepada shahabat Nabi.[11]
Dalam sumber
lain dijeaskan bahwa pada hakikatnya kedua istilah ini tidak sama persis
maknanya. Karena qaul ash-shahabi yang dimaksud disini adalah, sahabat
Rasulullah Saw. secara individu, mengenai suatu hukum yang tidak terdapat
ketentuannya dalam Al-qur’an dan Sunnnah Rasulullah Saw. Namun, dari istilah memberikan pengertian bahwa madhab
ash-shahabhi ialah pendapat hukum dari para sahabat secara keseluruhan
mengenai suatu hukum syara’ yang tidak dimuat dalam al-Qur’an maupun Sunnah,
yang mana para sahabat tersebut memberikan pendapat hasil dari kesepakatan
diantara mereka. Maka dari itu, dapat di pahami, bahwa terdapat perbedaan
antara keduanya yaitu qaul ash-shahabi merupakan pendapat dari
perorangan yang mana antara sahabat yang satu dengan yang lain memiliki
kemungkinan terdapat perbedaan. Sedangkan madhab ash-sahabi merupakan
pendapat yang telah disepakati oleh sahabat secara bersama atau dapat disebut
juga dengan istilah . ijma’ ash-shahabi . Darisini dapat dipahami
bahwasanya perbedaan antara kedua kata ini terdapat pada segi kuantitas sahabat
yang memberi pendapat.[12]
2.
Pendapat Ulama
tentang Qaul ash-Shahabi
Sebenarnya
posisi dari sahabat apakah dapat menjadi sumber dalil atau tidak, masih menjadi
ikhtilaf / khilafiyah dikalangan ulama. Ada yang menyatakan pendapat sahabat
merupakan dalil yang mutlak dan ada juga sebagian lain berpendapat bahwa yang
dapat dijadikah hujjah adalah qaulnya pendapat sahabat Abu Bakar yang dapat
dijadikan sebagai sumber dalil. Dan sedangkan ulama lain juga memliki pandangan
bahwa pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah adalah pendapat khulafur
rasyidin.[13]
a.
Ulama yang Sepakat
Menurut jumhur ulama, yakni ulama
Hanafiyyah, Imam Malik, pendapat Asy-Syafi’i yang lama (qaul al-qadim), Ahmad
bin Hanbal (pendapat yang terkuat), qaul
ash shahabi didahulukan daripada al-qiyas. Mereka menerima pendapat
sahabat sebagai hujjah berdasarkan dalil naqli maupun aqli (secara logika)
diantaranya:
1)
Dalil naqli, firman Allah
dalam Surat At-Taubah ayat 100 yakni;
وَٱلسَّٰبِقُونَ
ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم
بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ
تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ
ٱلۡعَظِيمُ ١٠٠
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar.”
Ayat
tersebut menunjukan bahwasanya Allah Swt. memuji para sahabat dan generasi
berikutnya yang mengiikutinya.
2)
Dari segi ra’yu (logika),
diantara alasan logis yang menjadi dasar kehujjahan yakni:
1.
Pendapat sahabat dapat dijadikan
hujjah karena adanya kemungkinan bahwa pendapat dari mereka berasal dari
rasulullah Saw.
2.
Karena kedekatan sahabat dengan
Rasulullah, mereka memperoleh pengalaman yang luas dan mampu memahami subtansi
dari syariat dan tujuan-tujuan persyariatan.
3.
Mereka diyakini mendekati
kebenaran karena berguru langsung kepada Rasulullah.
4.
Mereka memiliki sifat ‘adalah
dan jauh lebih dari kemungkinan melahirkan pendapat syara’ tanpa alsanan.[14]
b.
Ulama Yang Tidak Sepakat.
Menurut ulama
Asya’irah, Mu’tazilah, Syi’ah salah satu pendapat asy-Syafi’i (qaul al-jadid)
dan salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal: qaul ash-sahabi bukan
merupakan hujjah. Alasan mereka salah satunya berdasarkan juga pada dalil naqli
dan aqli, yakni:
1)
Dalil naqli, firman Allah
dalam Qur’an Surat al-Hasr ayat 2 yakni;
فَٱعۡتَبِرُواْ
يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ ٢
Artinya: “Maka ambillah (Kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Ayat ini
menerangkan bahawa Allah Swt memerintahkan orang-orang yang memiliki nalar agar
berijtihad menggunakan nalar, dan hal itu seklaigus melarang adanya taqlid bagi
orang yang memiliki kapasotas intelektual yang tinggi, apalagi jika terdapat
pertentangan antara qaul shahabi dengan qiyas. Menimbang kedudukan al-qiyas
merupakan dalil yang lebih tinggi dari qaul shahabi.[15]
2)
Dari segi ra’yu (logika),
sahabat dan juga golongan mujtahid termasuk golongan yang memiliki peluang
salah dan lupa. Persis halnya dengan para tabi’in yang juga merupakan golongan
mujtahid. maka dari itu mujtahid generasi tabi’n ataupun sesudahnya tidak
memiliki kewajiban mengikuti qaul shahabi.[16]
3)
Dari perbedaan yang terjadi
,Wabah az-Zuhaili mengambil hukum dari Tarjih dengan menyatakan bahwa, qaul
sahabi yang semata-mata merupakan hasil ijtihad perorangan, bukanlah merupakan
hujjah syari’iyah yang dapat berdiri sendiri. Karena sebagai hasil dari
ijtihad, ia dapat benar dan juga dapat salah. Bahwa kebenaran sahabat
memperoleh kedudukan yang sangat mulia, dan akan tetapi hal ini tidak dapat
mengubah kedudukan seoarang sahabat menjdai ma’sum. Maka dari itu , pendapat
sahabat yang bersifat ijtihad perorngan hanya dapat dijadikan hujjah yang wajib
diikuti, apabila memiliki sandaran dalam bentuk nash al-Qura,an maupun Sunnah.[17]
3. Aplikasi Qaul Shahabi dalam Fiqh Kontemporer
Sudah menjadi suatu hal
yang biasa bahwa ketika terjadi suatu perbedaan akan menimbulkan pengaruh
terhadap beberapa permasalahan. Dibawah ini contoh beberapa permasalahan yang
terkena dampak ikhtilaf atau perbedaan Ulama dalam qaul shahabi. Diantaranya:[18]
a) Waktu
maksimal kehamilan
Ulama berbeda berpendapat mengenai
jangka waktu maksimal bagi wanita hamil. Menurut Ulama Hanafiyyah bahwa waktu
kehamilan maksimal bagi wanita ialah dua tahun berdasarkan qaul shahabi
yakni qaul Aisyah yang menyatakan bahwasanya “Seorang anak tidak tinggal dalam
kandungan ibunya lebih dari dua tahun meskipun berupa sebulat pintalan benang.”
Sedangkan menurut Ulama Malikiyyah,
Syafi’iyyah dan Hanabilah, mengenai waktu kehamilan yakni empat tahun. Pendapat
mereka berdasarkan pada fakta kehidupan bahwasanya adanya sejumlah bayi yang
hidup di dalam kandungan ibunya selama empat tahun.
b) Ganti
Rugi atas pencenderaan hewan ternak
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
ketika hewan ternak yang dilukai seperti unta, sapi dan kuda, maka kadar ganti
riginya yaitu sperempat dari harga standar hewan tersebut. Pendapat tersebut
didasarkan pada qaul Umar ibn Khattab dalam suratnya yang ditujukan kepada
Syurairah yang mana inti dari surat tersebut adalah mengenai ganti rugi hewan
yang diciderai matanya ialah seperempat dari harga standar hewan tersebut.
Berbeda pendapat dengan Ulama malikiyyah,
Syafi’iyyah dan Hanabilah yang menyatakan bahwa, kadar ganti ruginya hewan yang
diciderai ialah senilai dengan harga yang terkurangi dari harga standar hewan
tersebut. Hal itu didasarkan dengan qiyas, yaitu qiyas kasus perbuatan melawan
hukum terhadap harta kekayaan orang lain.
c) Masa
minimal menstruasi
Ulama Hanafiyyah berpendapat
mengenai kadar masa tercepat menstruasi perempuan yakni tiga hari atau 3x24
jam. Pendapat merea didasari pada qaul Anas bin Malik yang menyatakan
bahwasanya masa menstruasi bagi kaum wanita yaitu tiga, empat, lima, enam,
tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh hari.
Sedangkan pendapat Ulama
Malikiyyah, Syafiiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa waktu tercepat menstruasi
bagi kaum perempuan yakni sehari semalam atau 1x24 jam. Pendapat mereka
bahwasanya sesuatu yang tidak disinggung pada nash keentuannya, maka
dikembalikan lagi kepada urf. Yang mana dalam urf terdapat wanita yang waktu menstruasinya hanya
sehari saja atau 1x24 jam.
E.
Syar’u Man
Qablana
1.
Pengertian
Syar’u Man Qablana
Secara bahasa “syar’u”
berati mengalir. Secara keseluruhan “Syar’u man qablana” artinya
syariat orang-orang yang sebelum kita. Maksudnya ialah syariat hukum dan
ajaran-ajaran yang berlaku pada para nabi sebelum nabi Muhammad Saw. diutus
menjadi rasul, seperti halnya syariat Nabi Ibrahim, Nabi Dawud, Nabi Musa, Nabi
Isa, dan sebagainya.
Sebagaimana yang
diketahui, bahwasanya syariat Nabi Muhammad Saw. merupakan syariat terakhir
yang diturunkan Allah Swt kepada manusia. Maka dari itu, baik didalam Alquran
ataupun hadis, terdapat banyak kisah menegenai para nabi dan rasul Allah yang
dahulu, dan juga mengenai hukum-hukum syara’ yang berlaku bagi mereka dan
umatnya.[19]
2.
Pendapat Ulama
tentang Syar’u Man Qaablana
Jumhur ulama
sepakat bahwasanya syar’u man qablana yang tidak terdapat dalam al-Quran
ataupun sunnah, tidak berlaku lagi terhadap Nabi Muhammad Saw. dan umatnya.
Dikarenakan syariat Nabi Muhammad bersifat menggantikan syariat terdahulu. Oleh
karna itu, dengan datangnya syariat Nabi Muhammad Saw. semua syariat para nabi
terdahulu menjadi tidak berlaku lagi karna tidak tercantum dalam nashsh
al-Quran dan Sunnah.[20]
Misal seperti syariat Nabi Musa yang mengajarkan bahwa orang yang durhaka
kepada Allah maka cara melebur dosanya yaitu dengan bunuh diri. Dan mengenai
pakaian yang terkena najis, maka harus dipotong bagian yang terkena najis
tersebut. Disini dapat terlihat bahwasanya begitu berat hukum-hukum yang
berlaku pada uamat terdahulu dan betapa ringanya hukum syariat Nabi Muhammad
Saw.[21]
Kemudian, para
ulama juga sepakat bahwasanya syar’u man qablana yang terdapat dalam
al-Quran maupun sunnah, secara tegas dinyataan berlaku bagi Rasulullah Saw, sebab keberlakuanya bukan
dikarenakan kedudukanya sebagai syar’u man qablana akan tetapi
disyariatkan oleh al-Quran ataupun
sunnah Rasulullah Saw. Misal seperti syariat puasa dan haji. Kedua
ibadah tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan dengan ibadah puasa dan haji yang
berlaku pada nabi dan rasul terdahulu.
Adapun yang
menjadi ikhtilaf pendaat ulama yakni, ketika hukum dari masalah-masalah yang
tidak secara tegas diberlakukan pada syariat Nabi Muhammad, tetapi juga tidak
terdapat nashsh yang me-nashkhannya atau membatalkanya.[22]
Misalnya mengenai hukum qishas yang berlaku pada Bani Israil sebagaimana
disebut dalam Q.S al-Maidah ayat 45.[23]
Maka, terdapat ikhtilaf pendapat antar ulama yang saling bertolak belakang
mengenai berlaku atau tidaknya syar’u man qablana bagi Nabi Saw, dan
umat beliau. Ada ulama yang memberlakukan dan adapula yang tidak memberlakukan
diantaranya:
a.
Ulama yang memberlakukan
Pendapat jumhur ulama Hanafiyyah, ulama
Malikiyyah, sebagian ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanabiah, antara lain; at
Tamimi, menyatakan bahwasanya syar’u man qablana masih belaku bagi umat Islam,
apabila tidak terdapat nashsh syara’ yang membantahnya. Salah satu ayat
yang menjadi dasar pendapat mereka yakni Q.S. Ash-Shura ayat 13.[24]
۞شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ
أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ
وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ ١٣
Artinya: “Dia telah mensyari'atkan
bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya.”
Dalam ayat ini
dijelaskan bahwasanya syariat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. juga
telah disyariatkan kepada para nabi sebelum beliau. Dan juga ayat ini
menunjukkan bahwasanya, pada dasarnya semua syariat yang diturunkan Allah Swt.
itu merupakan satu kesatuan.[25]
b.
Ulama yang tidak memberlakukan
Pendapat Ulama Asya’irah, Mu’tazilah,
Syi’ah, dan sebagian ulama Syafi’iyyah serta mayoritas ulama Hanabilah
menyatakan bahwasanya syar’u man qablana yang tidak ada ketegasan
pemberlakuanya dan tidak pula ada nashsh yang me-nasakh-kanya, maka itu tidak
dapat berlaku lagi bagi Nabi Muhammad
dan umatnya. Adapun landasan yang menjadi alasan pendapat mereka diantaranya:
1)
Dalam Q.S. al Maidah ayat 48.
لِكُلّٖ
جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ
٤٨
Artinya: “Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”
Ayat ini
menunjukkan bahwasanya setiap umat sudah mempunyai syariatnya masing-masing, dan tidak ada
perintah untuk mengikuti syariat umat lainya. Oleh karena itu, syar’u man
qablana tidak berlaku bagi kita.
2)
Apabila syariat sebelumya berlaku
bagi kita, sudah pasti Rasulullah Saw. dan umatnya diperintah beliau untuk
mempelajari dan merujuk pada kitab-kitab suci sebelunya, dalam mencari
hukum-hukum yang tidak terdapat pada nashsah al-Quran dan Sunnah. Misal seperti
contoh, ketika Nabi Saw diahadapkan pada masalah zihar, li’an dan juga tentang
masalah-masalah hukum waris, beliau tidak menyatakan pendapat hukum dikarenakan
menunggu sampai datangnya wahyu yang menjelaskan masalah-masalah tersebut. Maka
dapat dipahami bahwasanya, Nabi Muhammad Saw tidak bertindak meneliti
hukum-hukum tersebut dalam kitab-kitab suci sebelumya, meskipun kitab-kitab
tersebut juga merupakan syariat yang diturunkan Allah Swt.
3)
Ketika Mu’az bin Jabal diutus
oleh Nabi Muhammad Saw. untuk pergi ke Yaman sebagai hakim, Nabi bertanya
kepada Mu’az mengenai pedoman apa yang digunakan untuk bertugas. Setelah itu
Mu’az menjawab bahwasanya ia berpedoman pada tiga yakni al-Qur’an, sunnah, dan
ijtihad. Jawaban ini disetujui Rasulullah dan tidak mengarahkannya untuk
berpedoman pada syar’ man qablana. Adapun jika syar’u man qablana berlaku bagi
kita, pastilah Rasulullah mengkoreksi jawaban Mu’az, dan mengingatkan agar
berpedoman pula pada syar’u man qablana.[26]
Jadi, dari
berbagai uraian pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasanya syar’u
man qablana tidak berdiri sendiri, melainkan baru dapat berlaku jika dikukuhkan
dengan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis ya ng shahih, sekaligus tidak terdapat
dalil yang menujukkan bahwa ia telah manshuh.[27]
Daftar Pustaka
Aripin, Musa. 2016. Eksistensi Urf Dalam
Kompilasi Hukum Islam. Vol. 2 No. 1.
Al-Maqasid.
Dahlan, Abd.
Rahman. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Hadi, Solikhul.
2018. Analisis Kitab Al Mustasfa Karya Al-Ghazali Jurnal Pemikiran Hukum dan
Hukum Islam Vol. 9, No. 1, Yudisia.
Khalaf, Abdul
Wahab. 1997. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press.
Khallaf, Abdul
Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fikh. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Nizar, Muhammad
Coirun. 2017. Qaul Shahabi dan Aplikasinya dalam Fiqh Kontemporer, Jurnal Studi
dan Penelitian Hukum Islam Vol.1 Nomor 1. Semarang: Ulul Albab
Sulistiani,
Sika Lis. 2018. Perbandingan Sumber
Hukum Islam. Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol. 1 No.1, Tahkim.
Zuhdi, Masjfuk.
1990. Pengantar Hukum Syari’ah. Jakarta: CV Haji Masagung.
Catatan:
- Similarity 32%, termasuk tinggi.
- Abstrak seharusnya hanya satu paragraf.
- Daftar pustaka mengapa hanya delapan dan cara pengaturannya salah?
- Mana penutup/kesimpulannya?
[1]
Sika
Lis Sulistiani, “Perbandingan Sumber Hukum Islam”. Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol. 1 No.1, 2018. hlm. 103.
[2]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fikh (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2005), hlm. 104.
[3]
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah.cet-2. (Jakarta:
Haji Masagung, 1990), hlm. 86.
[4]
Musa Aripin, “Eksistensi
Urf Dalam Kompilasi Hukum Islam”. Al-Maqasid.
Vol. 2 No. 1, 2016.
[5]
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh.ed-1,ced-2. (Jakarta: Amzah,
2011), hlm. 210-215.
[6]
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh. (Bandung: Gema
Risalah Press, 1996), hlm: 150-152
[7]
Masjfuk Zuhdi, op.cit. hlm. 96.
[8]
Abd. Rahman Dahlan, op.cit hlm. 236.
[9]
Masjfuk Zuhdi, op.cit. hlm. 98-99.
[10] Abd. Rahman Dahlan, op.cit. hlm. 239-241
[11] Muhammad Coirun Nizar, Qaul
Shahabi dan Aplikasinya dalam Fiqh Kontemporer, Ulul Albab Vol.1 Nomor 1
Tahun 2017, hlm. 2-3.
[12] Abd. Rahman Dahlan, op.cit.
hlm. 225.
[13] Solikhul Hadi, Analisis Kitab Al
Mustasfa Karya Al-Ghazali, Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018, hlm.
93-94
[14] Abd. Rahman Dahlan, op.cit hlm. 226
[15] Ibid,. hlm. 228
[16] Ibid,. hlm. 229
[17] Muhammad Coirun Nizar, op.cit
hlm. 33.
[18] Muhammad Coirun Nizar, loc.cit
[19] Abd. Rahman Dahlan, op.cit hlm. 230.
[20] Abd. Rahman Dahlan., loc.cit.
[21] Masjfuk Zuhdi, op.cit. hlm.
92.
[22] Abd. Rahman Dahlan., op.cit hlm.
231.
[23] Masjfuk Zuhdi, loc.cit.
[24] Abd. Rahman Dahlan., loc.cit.
[25] Ibid., hlm. 232.
[26] Ibid., hlm. 233.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar