SUMBER-SUMBER
HUKUM ISLAM YANG TIDAK DISEPAKATI (ISTIHSAN, ISTISHAB DAN MASLAHAH MURSALAH)
Oleh:
Ayu Nova Hidayati (16110073)
Mahasiswi
PAI-B Semester 6 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail:
ayunova1901@gmail.com
Abstract
Evidence
of Islamic law to solve a problem there are two views according to the
scholars, there are agreed and not agreed upon. Agreed there are four, namely
al-quran, hadith, ijma’ and qiyas. While that is not agreed upon by the
scholars there is twenty-six. And that is part of istihsan, istishab and
maslahah mursalah. Istihsan is one of the sources of law which the law by way
of mentarjih or take a better, or can be called also with the migration of a
law because there is a law or evidence which is stronger than the evidence
before . As for having two kinds of istihsan is istihsan qiyasi and istihsan
istisna'i. Istihsan is also in scholars who accept and reject. Scholars who
accept include hanafi, maliki, and hanbali, while scholars who refused to include
syafi’iyah, zahiriyah, mu'tazilah and syi’ah. While the istishab is one of the
sources of law in which the law or the evidence remain in force if there is no
evidence that change it. As for the istishab has four kinds of istishab is
istishab al-ibahah al-ashliyah, al-istishab al-baraah ashliyah, istishab ma
dalla asy-syar’ aw al-‘aql ‘ala wajudih, and istishab
al-wasf. In the istishab there are also scholars ' different opinions on
istishab in particular istishab al-wasf, which were divided into two groups,
the first group is hanabillah and syafi’iyah. And the second group is hanafiyah
and malikiyah. As for the latter, namely maslahah mursalah that has the meaning
of a legal assignment based on views of the magnitude of the benefit assignment
the law rather than ugliness. As for the maslahah mursalah has three kinds
namely al-Maslahah al-Mu'tabarah, al-Mulgah, al-Maslahah and al-al-Mursalah
Maslahah. Inside there are also mursalah maslahah scholars who accept and
reject. Scholars who accept the malikiyah, hanabillah and part of syafi’iyah,
while the rejected is part of syafi'iyah, zahiriyah and hanafiyah. It is the
third most disputed or not agreed upon by all scholars in the determination of
the reference being Islamic law.
Abstrak
Dalil
hukum Islam untuk memecahkan suatu permasalahan terdapat dua pandangan menurut
para ulama, ada yang disepakati dan tidak disepakati. Yang disepakati ada empat
yaitu al-quran, hadits, ijma dan qiyas. Sedangkan yang tidak disepakati oleh
sebagian ulama ada dua puluh enam. Dan dari sebagian tersebut adalah istihsan,
istishab dan maslahah mursalah. Istihsan merupakan salah satu
sumber hukum dimana pengambilan hukumnya yaitu dengan cara mentarjih atau
mengambil yang lebih baik, atau bisa disebut juga dengan berpindahnya suatu
hukum dikarenakan terdapat hukum atau dalil yang lebih kuat dari dalil
sebelumnya. Adapun istihsan memiliki dua macam yaitu istihsan qiyasi
dan istihsan istisna’i. Didalam istihsan juga terdapat ulama’
yang menerima dan menolak. Ulama’ yang menerima meliputi mazhab hanafi, maliki,
dan hanbali, sedangkan ulama’ yang menolak meliputi syafi’i, zahiriyah,
mu’tazilah dan syi’ah. Sedangkan istishab merupakan salah satu sumber
hukum dimana hukum atau dalil tersebut tetap berlaku jika tidak ada dalil yang
mengubahnya. Adapun istishab memiliki empat macam yaitu istishab
al-ibahah al-ashliyah, istishab al-baraah al-ashliyah,istishab ma dalla
asy-syar’ aw al-‘aql ‘ala wajudih, serta istishab al-wasf. Didalam istishab
juga terdapat ulama’ yang berbeda pendapat mengenai istishab khususnya istishab
al-wasf, yang terbagi menjadi dua golongan, golongan pertama yaitu
hanabillah dan syafi’iyyah dan golongan kedua yaitu hanafiyah dan malikiyah. Adapun
yang terakhir yaitu maslahah mursalah yang mempunyai arti penetapan
hukum berdasarkan dilihat dari besarnya kemaslahatan pada penetapan hukum
tersebut daripada kemudharatannya. Adapun maslahah mursalah memiliki
tiga macam yaitu al-Maslahah al-Mu’tabarah,al-Maslahah al-Mulgah, dan al-Maslahah
al-Mursalah. Didalam maslahah mursalahjuga terdapat ulama’ yang
menerima dan menolak. Ulama’ yang menerima meliputi malikiyah, dan hanabilah,
serta sebagian dari syafi’iyah, sedangkan ulama’ yang menolak meliputi sebagian
dari syafi’iyah, zahiriyah dan hanafiyah.Ketiga hal tersebut merupakan sebagian
yang masih diperdebatkan atau belum disepakati oleh semua ulama dalam menjadi
acuan penetapan hukum Islam.
Keywords: Istihsan,
Istishab, Maslahah Mursalah.
A.
PENDAHULUAN
Dalam
memecahkan suatu permasalahan tentu harus melalui hukum, dan setiap hukum
memerlukan dalil atau sumber sebagai acuan penetapan. Dalam hal sumber atau
dalil terdapat dua macam yaitu dalil yang disepakati tidak disepakati oleh para imam mazhab. Dalil
yang disepakati dalam menjadi sumber hukum oleh para ulama wajib dijadikan
sumber utama, sedangkan yang tidak bagi yang menyetujui menjadi sumber
selanjutnya.
Dalil
sendiri menurut bahasa Arab memilikiarti orang yang menunjukkan kepada apa
saja, baik badiah (apa yang dapat dicerap oleh panca indera maupun ma’nawi
(yang berada dalam jiwa) tentang baik dan buruk. Sebagian dari ahli ushul
mendefinisikan dalil yaitu merupakan apa-apa yang digunakan oleh syar’i dan
berkaitan dengan amal perbuatan secara pasti atau secara mutlak[1].
Dalil-dalil
hukum ini dalam pandangan kalangan ulama yang tidak disepakati oleh sebagian
ulama’ terdapat dua puluh enam dalil syara’ yang bersifat terperinci[2].
Namun dari ketidak setujuan tersebut bukan berarti dibiarkan namun tetap
dijadikan hujjah bagi para ulama yang sepakat dalam mempergunakannya. Sebagian
dari dalil tersebut adalah istihsan, istishab dan maslahah mursalah.
Dari hal tersebut maka dalam artikel ini akan membahas secara rinci tentang istihsan,
istishab dan maslahah mursalah sebagai bentuk pengetahuan dan
pengembangan ilmu yang wajib untuk kita ketahui.
B.
ISTIHSAN
Istihsan
menurut bahasa berarti anggapan baik atau menganggap baik, serta menilai
sesuatu sebagai baik. Adapun beberapa para ulama’ mendefinisikan istihsan
yang dikutip dari buku Ushul Fiqh karya Abd. Rahman Dahlan sebagai berikut.
a)
Menurut
al-Bazdawi, sebagaimana dikutip oleh al-Bukhari dalam kitab Kasyf al-Asrar
‘An Ushul al-Bazdawi:
اَلْعُدُوْلُ
عَنْ مُوْجِبِ قِيَاسٍ إِلَى قِيَاسٍ أَقْوَى مِنْهُ أَوْ هُوَ تَحْصِيْصُ قِيَاسٍ
بِدَلِيْلٍ أًقْوَى مِنْهُ
“Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain
yang lebih kuat dari qiyas yang pertama.”
b)
Menurut Imam
Malik:
اَلْعَمَلُ
بِأَقْوَى الدَّلِيْلَيْنِ، أَوِالْأَخْذُ بِمَصْلَحَةٍ جُزْئِيَّةٍ فِيْ
مُقَابِلَةِ دَلِيْلٍ كُلِّيٍّ
“Menerapkan yang terkuat di antara dua dalil, atau menggunakan
prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan
dengan dalil yang bersifat umum.”
c)
Menurut Wahbah
az-Zuhaili dalam kitabnya al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami
merumuskan dua definisi yaitu,
Pertama:
تَرْجِيْحٌ
قِيَاسٍ خَفِيٍّ عَلَى قِيَاسٍ جَلِيٍّ بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ
“Lebih mengunggulkan qiyas khafi daripada qiyas jali berdasarkan
alasan tertentu.”
Kedua:
إِسْتِثْنَاءُ
مَسْأَلَةٍ جُزْئِيَّةٍ مِنْ أَصْلِ كُلِّيٍّ أَوْ قَضِيَّةٍ عَامَّةٍ بِنَاءَ
عَلَى دَلِيْلٍ خَاصٍّ يَقْتَضِي ذَلِكَ
“Mengecualikan hukum kasus tertentu dari prinsip hukum atau
premis yang bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya
pengecualian tersebut.”[3]
Sedangkan
istihsan menurut ahli Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Basiq Djalil
dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua adalah:
دَلِيلُ
يَظْهَرُ فِي عَقْلِ الْمُجْتَهِدِ يَقْتَضِي تَرْجِيْعُ قِيَاسٍ خَفِيٍّ عَلَى
قِيَاسٍ جَلِيٍّ اَوْ اِسْتِسْنَاءَ جُزْءِيٍّ مِنْ حُكْمِ كُلِّيٍّ
“Satu
dalil yang keluar dari pemikiran seorang Mujtahid yang menetapkan kerajihan
qiyas yang tidak terang (khafy) daripada qiyas yang terang (jaly), atau
merajihkan) ketentuan hukum yang khusus (juz’iy) dari ketentuan yang umum
(kully).”[4]
Dari definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa istihsan
merupakan perpindahan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara’
kepada hukum lain karena ada sebuah dalil yang lebih menguatkan atau mengharuskan
perpindahan yang bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Istihsan pada hakekatnya
terbagi menjadi 2 macam yaitu sebagai berikut.
1.
Istihsan
Qiyasi
Istihsan
qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang
asalnya didasarkan kepada qiyas jali kemudian beralih ketentuan hukum
tersebut menjadi didasarkan pada qiyas khafi, hal tersebut dikarenakan
adanya suatu alasan yang kuat yakni untuk mencapai kemaslahatan umat[5].
Sebagaimana
contoh berikut yaitu apabila ada seseorang yang mewakafkan sebidah tanah
pertaniannya untuk kepentingan umum, maka berdasarkan hukum istihsan,
yang diwakafkan itu juga termasuk hak pengairan, hak membuat saluran di atas
tanah tersebut, serta perbuatan yang lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan
tanah tersebut.
Apabila
ketentuan wakaf ditetapkan berdasarkan qiyas jaliterhadap transaksi jual
beli, maka hak-hak tersebut tidak ikut berpindah kepada si penerima wakaf,
karena hakikat dari jual beli yaitu hanyalah perpindahan barang dari penjual
kepada pembeli. Akan tetapi, karena bertujuan untuk kemaslahatan maka hak-hak
tersebut ikut berpindak kepada si penerima waqaf dan wakaf itu di qiyaskan
dengan transaksi sewa-menyewa.
Dalam
transaksi sewa-menyewa yang paling penting adalah pemindahan hak memperoleh
manfaat dari pemilik kepada hak si penyewa. Dan illah yang ditemukan
atau yang sama dengan wakaf yaitu agar barang yang diwakafkan itu bermanfaat,
walaupun illah tersebut bersifat tersembunyi (khafi). Tanah
pertanian dapat dimanfaatkan dengan baik jika di tanah tersebut terdapat
pengairan yang cukup baik. Hak manfaat menjadi tujuan dari wakaf, jika
diqiyaskan dengan jual beli melaui qiyas jali, maka hal tersebut tidak
akan tercapai. Karena jual beli hanyalah mengutamakan pemindahan hak milik, dan
bukan hak manfaat. Karena itulah wakaf diqiyaskan kepada transaksi sewa
menyewa, dimana memiliki tujuan yang sama dengan wakaf yakni untuk suatu
kemanfaatan. Pengalihan hukum ini dari yang berdasarkan qiyas jali
kemudian beralih menjadi didasarkan kepada qiyas khafi tersebut
dikarenakan memiliki alasan yang kuat, yaitu bertujuan untuk kemaslahatan wakaf
dan untuk memanfaatkan tanah pada pertanian.
Contoh
yang lainnya yaitu tentang permasalahan air minum yang diminum oleh burung buas
yakni burung gagak atau burung elang sisa air minum tersebut adalah suci dan
halal diminum berdasarkan qiyas khafi. Padahal berdasarkan qiyas jali,
sisa minuman dari binatang buas seperti anjing, harimau, dan lain sebagainya
itu haram diminum dikarenakan minuman tersebut telah bercampur dengan air liur
dari binatang tersebut yang diqiyaskan kepada dagingnya.
Pada
umumnya binatang buas itu meminum air dengan mulutnya sehingga air liurnya
masuk atau bercampur terhadap wadah air minum yang digunakan. Akan tetapi,
tekstur mulut dan paruh memiliki zat yang berbeda, jika mulut binatang buas
terdiri atas daging yang haram dimakan, sedangkan paruh terdiri zat tulang atau
zat tanduk, dan tulang atau zat tanduk tidaklah najis. Ketika burung buas minum
air, daging dan air liurnya tidak langsung bertemu dengan air atau tempat wadah
untuk minum tetapi terpisah oleh paruh yang memiliki zat tulang dan zat tanduk
itu. Oleh karena itu, air dari minuman binatang buas itu tidaklah najis dan
halal untuk diminum.
Pembedaan
dari hukum yang telah di jelaskan diatas antara air sisa minum burung buas
dengan air sisa minum binatang buas yaitu berdasarkan istihsan qiyasi
yaitu mengalihkan hukum dari hukum yang asalnya berdasarkan qiyas jali
(najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan
halal), karena adanya alasan yang lebih kuat, yakni untuk suatu kemaslahatan
umat[6].
2.
Istihsan
Istisna’i
Istihsan
istisna’i adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum
yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kemudian dialihkan kepada
prinsip-prinsip yang bersifat lebih khusus[7]. Istihsan
istisna’i dapat terbagi menjadi beberapa macam sebagai berikut.
a)
Istihsan bi al-nashadalah
pengalihan hukum dari ketentuan yang berdasarkan prinsip-prinsip universal
kepada ketentuan lain dikarenakan ada nash yang mengecualikan, baik itu nash
yang berasal dari al-Quran maupun dari sunnah, sebagai contohistihsan
istisna’i berdasarkan nash Al-Quran yaitu berlakunya ketentuan wasiat
setelah seseorang wafat. Bahwasanya jika ada seseorang yang telah wafat maka
hartanya akan beralih pada ahli warisnya tetapi hal tersebut dikecualikan
karena adanya dalil Al-Quran pada QS. An-Nisa’ ayat (4):12 yang mengharuskan
untuk melaksanakan wasiatnya terlebih dahulu sebelum harta si mayit diberikan
kepada ahli warisnya, sebagaimana firman Allah berikut ini:
مِنْ
بَعْدِ وَ صِيَّةٍ يُوْ صِيْنَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ
“Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah
dibayar utangnya.[8]”
Adapun contoh istihsan
istisna’i yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa orang yang
makan dan minum di siang hari pada bulan Ramadhan dikarenakan tidak sengaja
atau dikarenakan lupa. Padahal menurut ketentuan umum, makan dan minum
merupakan hal yang dapat membatalkan puasa. Nyatanya ketentuan umum tersebut
dibatalkan oleh hadits berikut ini yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitabnya
Shahih Muslim yang dikutip dari buku Ushul Fiqh karya Abd. Rahman Dahlan
sebagai berikut.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله ﷺ مَنْ نَسِيَ
وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ
الله وَسَقَاهُ
“Dari Abu Hurairah ra, katanya, Rasulullah SAW
bersabda:’Barangsiapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau
minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah
sedang memberi makan dan minum kepadanya.”[9]
b)
Istihsan bi
al-Ijma’adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang berdasarkan
prinsip-prinsip universal kepada ketentuan lain dikarenakan ada ketentuan ijma’
yang mengecualikannya[10].
Sebagai contoh pada umumnya orang yang ingin melakukan akad jual beli harus ada
ketenntuan bahwa barang harus sudah ada atau sudah tersedia, karena
memperjualbelikan benda yang belum ada waktu melakukan akad dilarang oleh
Rasulullah SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Namun jika ada
seseorang yang memesan untuk membuatkan lemari kemudian membayarnya di awal
pemesanan hal itu dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorang
pun ulama yang membantah keberlakukannya dalam masyarakat sehingga di anggap
sudah disepakati (ijma’)[11].
c)
Istihsan bi
al-‘Urfadalah pengalihan hukum dari ketentuan yang berdasarkan
prinsip-prinsip universal kepada ketentuan lain dengan memandang tradisi yang
berlaku[12].
Sebagai contoh penggunaan fasilitas kamar mandi di tempat umum dalam
pembayarannya tidak dapat ditentukan melalui sewa menyewa atau jual beli sesuai
dengan air yang dihabiskan atau lama penggunaan kamar mandinya, tetapi hal itu
didasarkan pada kebiasaan masyarakat sekitar dengan menggunakan tarif tertentu
untuk mempermudah pembayarannya[13].
Contoh lainnya yaitu menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu dan
dipukul secara merata, tanpa membedakan jauh dan dekat perjalanan yang
ditempuh. Sebenarnya hal itu dilarang karena transaksi mengupah itu harus
berdasarkan pada kejelasan pada objek sesuai dengan upah yang dibayar. Akan
tetapi, melalui istihsan hal itu diperbolehkan berdasarkan kebiasaan
yang berlaku, dan juga demi menjaga kemaslahatan masyarakan serta tidak
menimbulkan kesulitan di dalam masyarakat serta tetap terpeliharanya kebutuhan
mereka terhadap transaksi tersebut.
d)
Istihsan bi
ad-Dharurahadalah pengalihan hukum dari ketentuan yang berdasarkan
prinsip-prinsip universal kepada ketentuan lain dikarenakan terjadi
keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak dapat
memberlakukan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang bersifat umum. Sebagai
contoh kasus sumur yang kemasukan najis, pada umumnya untuk menghilangkan najis
tersebut maka air sumur haruslah dikuras terlebih dahulu, tetapi dikarenakan
sumur merupakan sumber air, maka sulit untuk dikeringkan. Akan tetapi, ulama
Hanafiyah mengatakan untuk kasus yang seperti ini, maka dalam mensucikannya
diperbolehkan memasukkan beberapa galon air ke sumur itu, karena keadaan darurat
dan agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapakan air untuk beribadah
dan memenuhi kehidupannya[14].
e)
Istihsan bi
al-Maslahah al-Mursalahadalah pengalihan hukum dari
ketentuan yang berdasarkan prinsip-prinsip universal kepada ketentuan lain yang
berprinsip kemaslahatan[15].
Sebagai contoh menurut kaidah secara umum jika seseorang menyewa rumah tidak
dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak di dalamnya kecuali jika kerusakan itu
disebabkan oleh kelalaiannya. Tetapi menurut hukum kemaslahatan yang
dikeluarkan oleh ahli Fiqh jika seseorang menyewa rumah maka sang penyewa harus
menjaga dan merawat barang yang ada di dalam rumah tersebut dan harus
menggantinya apabila barang yang disewakan itu rusak[16].
C.
KEDUDUKAN
ISTIHSAN
Di
dalam beberapa pendapat ulama’ terbagi menjadi dua kelompok tentang kehujjahan
istihsan. Kelompok pertama yaitu kelompok yang berpendapat bahwa istihsan dapat
dijadikan sebagai landasan hukum, kelompok tersebut yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab
Maliki, dan Mazhab Hanbali. Mereka berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan
sebagai landasan hukum sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Az-Zumar (39) :
18 sebagai berikut.
الَّذِيْنَ
يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَا
هُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk
dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
Maksud
dari ayat tersebut yaitu bahwa kita dianjurkan untuk mengikuti perkataan
(pendapat) yang baik, sehingga mengikuti istihsan berarti mengikuti
sesuatu yang baik, oleh karena itu istihsan boleh atau sah dijadikan
sebagai landasan hukum[17].
Sedangkan
kelompok kedua yaitu kelompok yang menolak penggunaan istihsan sebagai landasan hukum diantaranya adalah
asy- Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah, mereka berpendapat bahwa
menggunakan istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk
bersenang-senang, dengan cara menggunakan nalarnya untuk menentang hukum yang
ditetapkan oleh dalil syara’. Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Wasith
fi Ushul al-Fiqh al-Islami yang dikutip oleh Abd. Rahman Dahlan, dalam buku
ushul fiqh menginformasikan Imam Syafi’i dalam menolak istihsan sebagai
kehujjahan suatu landasan hukum, beliau berkata: “Barangsiapa yang
menggunakan istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri[18]”.
Adapun dalil yang digunakan kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan
yaitu terdapat dalam firman Allah SWT pada QS. Al-Maidah (5):49 sebagai
berikut.
وَأَنِ
احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآأَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka[19].”
Dalam
buku Ushul Fiqh karya Satria Effendi mengutip dari perkataan Wahbah az-Zuhaili,
bahwa adanya perbedaan pendapat dari kelompok yang menolak atau yang mendukung
disebabkan karena adanya perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam
Syafi’i membantah istihsan karena hal tersebut didasarkan pada hawa
nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Akan tetapi istihsan yang dipakai
oleh ulama’ yang menganutnya bukanlah didasarkan pada hawa nafsu, tetapi men-tarjih
(menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan dan dipilih
karena lebih dapat menjangkau tujuan dalam suatu pembentukan hukum[20].
D.
ISTISHAB
Istishab
menurut bahasa berarti mengikut sertakan, menjadikan teman, dan sebagainya.
Adapun beberapa para ulama’ mendefinisikan istihsan yang dikutip dari
buku Ushul Fiqh karya Abd. Rahman Dahlan sebagai berikut.
a)
Menurut
asy-Syaukani:
بَقَاءُ
الْأَمْرِ مَالَمْ يُوْجَدْ مَا يُغَيِّرُهُ
“Tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang
mengubahnya.”
b)
Menurut Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyyah:
إِسْتِدَامَةُ
مَاكَانَ ثَابِتًا وَنَفَي مَا كَانَ مَنْفِيًّا حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى
تَغَيُّرِ الْحَالِ
“Mengkukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau menegasikan
suatu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah
keadaan tersebut.”
c)
Menurut Ibnu
Hazm:
بَقَاءُ
حُكْمِ الْأَصْلِ الثَّابِتِ بِالنُّصُوْصِ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ مِنْهَا
عَلَى التَّغَيُّرِ
“Tetap berlakunya suatu hukum didasarkan atas nashsh, sampai ada
dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut.”[21]
Sedangkan
istishabmenurut ahli Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Basiq Djalil dalam
bukunya Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua adalah:
جَعْلُ
الْحُكْمِ الثَّابِتِ فِى الْمَاضِى بَاقِيًا اِلَى الْحَالِ لِعَدَمِ الْعِلْمِ
بِا الْمُغَيِّرِ
“Menjadikan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu,
berlaku terus sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubahnya.”[22]
Dari
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa istishab merupakan suatu hukum
yang telah ditetapkan masa lalu dan hukum tersebut akan terus berlaku selama
belum ada dalil yang mengubah suatu hukum tersebut. Istishab pada
hakikatnya terbagi menjadi empat macam sebagai berikut.
1.
Istishab
al-ibahah al-ashliyah
Pada
dasarnya setelah agama Islam itu datang, seseorang boleh melakukan atau
menggunakan segala sesuatu yang didalamnya terkandung manfaat, selama tidak ada
dalil yang menegaskan hukum terhadapnya. Tetapi hal ini berlaku hanya dalam
konteks hukum mu’amalah saja bukan dalam konteks hukum ibadah maupun akidah.[23]
Dalam
surat Al-Baqarah (2):29 Allah telah berfirman sebagai berikut.
هُوَالَّذِي
خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيْعًا
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu.”
Ayat
tersebut meenjelaskan sekaligus menegaskan bahwa segala yang ada di bumi
dijadikan untuk manusia dalam artian boleh dimakan makanannya serta boleh
melakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan umat manusia. Hal itu
dijadikan landasan dari istishab al-ibahah al-ashliyah dengan adanya
prinsip yang mengatakan, bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh
dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya[24].
Berdasarkan hal ini maka semua makanan boleh untuk dimakan selama tidak ada
dalil syara’ yang melarangnya. Demikian juga dalam hal bermu’amalah atau
melakukan transaksi maka hal itu diperbolehkan asalkan didalamnya mengandung
kemanfaatan dan tidak menimbulkan kemudlaratan.
2.
Istishab
al-baraah al-ashliyah
Pada
dasarnya setiap orang terbebas dari tuntutan beban (taklif) sampai ada
dalil yang mengubahnya atau sampai ada bukti yang menetapkan takliefnya.
Seperti contoh seorang anak kecil tidak memiliki kewajiban syara’ (taklif),
kecuali jika ia telah mencapai usia baligh (mukallaf). Sedangkan contoh
lain seperti tidak adanya kewajiban dan hak antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya ikatan atau akad pernikahan[25].
3.
Istishab
ma dalla asy-syar’ aw al-‘aql ‘ala wajudih
Suatu
hukum tetap diberlakukan atas hukum tersebut, baik keberlakuannya ditinjau dari
dalil syara’ maupun menurut logika atau akal, sampai ada alasan atau dalil lain
yang mengubah keberlakuan hukum tersebut. Disini istishab terhadap
sesuatu yang menurut akal atau syara’ diakui keberadaanya dan disepakati oleh
ulama’ tentang kedudukannya sebagai dalil syara’. Seperti contoh tetapnya
tanggung jawab seseorang untuk membayar hutang, misalnya dikarenakan merusak
barang orang lain, sampai terbukti bahwa hutang tersebut telah dilunasi atau
dibayar oleh yang berpiutang. Adapun contoh lain, yaitu tetapnya wudhu’ setelah
seseorang berwudhu, sampai terbukti bahwa wudhunya telah batal seperti misalnya
buang angin. Berdasarkan istishab, wudhu’ tidak batal hanya karena
perasaan orang yang ragu-ragu tentang masih tetap atau batalnya wudhu’
seseorang[26].
4.
Istishab
al-wasf
Suatu
hukum didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya
sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya sifat hidup yang dimiliki oleh
seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti yang menyatakan
bahwa ia telah wafat atau pengadilan menyatakan bahwa ia telah dinyatakan wafat[27].
Berdasarkan sifat hidup yang ia miliki, maka hartanya tidak boleh
dibagi-bagikan sebagai harta warisan. Demikian juga bila orang tersebut sudah
menikah maka istrinya tidak diperbolehkan untuk menikah dengan lelaki lain,
sampai ada bukti bahwa seseorang tersebut telah wafat atau meninggal.
E.
KEDUDUKAN
ISTISHAB
Dalam
keempat macam-macam istishab yang telah disebutkan diatas, semua istishab
disepakati oleh semua ulama’ atau semua imam madzhab, kecuali istishab
yang terakhir yaitu istishab al-wasf. Di dalam istishab al-wasf
ada banyak beberapa perbedaan pendapat dari kalangan ulama’ atau imam madzhab,
yaitu terbagi menjadi dua golongan yaitu:
1.
Golongan
pertama terdiri dari kalangan Hanabillah dan Syafi’iyyah, mereka berpendapat
bahwa istishab al-wasf dapat dijadikan sebagai landasan hukum secara
penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan hak yang
sudah ada. Misalnya, jika ada seseorang yang hilang dan tidak tau tempatnya
dimana, maka seseorang itu tetap dinyatakan hidup sampai ada bukti bahwa ia telah
wafat. Maka dari itu hak-hak yang dimiliki oleh seseorang yang telah hilang
tersebut masih berlaku, yaitu apabila dia memiliki seorang istri maka istri
tersebut tetap menjadi istri sahnya dan jika ada keluarganya yang meninggal
maka dia tetap dihitung sebagai ahli waris dalam keluarga tersebut dan juga
mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut.
2.
Golongan kedua
terdiri dari kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, mereka berpendapat bahwa istishab
al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada dan bukan
untuk menimbulkan hak yang baru. Misalnya, dalam contoh diatas telah disebutkan
bahwa orang yang hilang tersebut istrinya masih berstatus sebagai istrinya dan
harta yang dia miliki masih berstatus miliknya, tetapi jika ada keluarganya
yang meninggal maka harta yang menjadi bagiannya akan disimpan terlebih dahulu
tidak langsung diberikan sampai ada bukti apakah diamasih hidup atau sudah
wafat. Dan apabila terbukti orang yang hilang tersebut sudah wafat maka harta
yang disimpan tersebut dibagikan kepada ahli waris lainnya yang masih ada.
Alasan mereka adalah karena keadaannya masih hidup yaitu diambil dari dalil istishab
yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta[28].
F.
MASLAHAH
MURSALAH
Maslahah
mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah
yang secara bahasa maslahah mempunyai arti “manfaat” dan mursalah
mempunyai arti “ lepas”. Sedangkan menurut pengarang kamus Lisan Al-’Arab
yang terdapat dalam buku Ilmu Ushul Fiqih karya Rachmat Syafe’imenjelaskan
definisi dari maslahah meliputi dua arti, yaitu al-maslahah yang
berarti al-shalah dan al-maslahah yang berarti bentuk tunggal
dari al-mashalih. Dari keduaanya memiliki arti yang sama yakni “manfaat”
baik secara asal maupun secara proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan
faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadaratan dan
penyakit. Yang semuanya itu merupakan arti maslahah secara bahasa[29].
Sedangkan dalam pengertian mursalah itu sendiri yang dimaksud dengan
“lepas” menurut Hussain Hamid Hassan dalam kitab Nadzariyah al-Maslahah fi
al-Fiqh al-Islamiy yang dikutip oleh Nasruddin Yusuf dalam bukunya
Pengantar Ilmu Ushul Fikih, mendefinisikan terlepas dari dalil yang
menganggapnya atau dalil yang mengabaikannya[30].
Sedangkan
maslahah mursalah menurut ahli ushul fiqih adalah:
اَنْ
يُوْجَدَ مَعْنًى يُشْعِرُ بِالْحُكْمِ مُنَاسِبٌ عَقْلاً وَلاَ يُوْجَدُ اَصْلٌ
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Bahwa terdapat satu makna yang dirasa ketentuan itu cocok
dengan akal sedang dalil yang disepakati tentang (hal tersebut) tidak
terdapat.”[31]
Adapun
menurut Abdul Wahhab Khallaf dalam buku Ushul Fiqh karya Satria Effendi,
berarti “sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya
dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”.[32]
Jadi dapat kita pahami bahwa maslahah mursalah merupakan salah satu
landasan hukum dimana hukum tersebut tidak terdapat dalam nash al-Quran, sunnah
maupun ijma’ tetapi berdasarkan terhadap suatu kemaslahatan dan tidak ada dalil
yang menerima maupun yang menolak hukum tersebut.
Dalam
maslahah mursalah terdapat beberapa macam untuk mengelompokkan maslahah
mursalah. Abdul-Karim Zaidan menjabarkan macam-macam maslahah mursalah
menjadi 3 macam yakni al-Maslahah al-Mu’tabarah, al-Maslahah al-Mulgah
dan al-Maslahah al-Mursalah, hal ini terdapat dalam buku Ushul Fiqh
karya Satria Effendiyang akan dijabarkan sebagai berikut.
1.
al-Maslahah
al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui oleh syari’at dan
telah ditentukan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya
yaitu diperintahkannya untuk berjihad di jalan Allah dan melindungi agama dari
musuh, diwajibkan hukum qishash untuk memelihara jiwa dan terciptanya
suatu keadilan, ancaman hukuman bagi peminum khamr hal ini untuk memelihara
akal, ancaman hukuman orang yang melakukan zina hal ini untuk menjaga
kehormatan dan keturunan, serta ancaman bagi seseorang yang mencuri hal ini
untuk memelihara dan menjaga harta.
2.
al-Maslahah
al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal dan pikiran,
tetapi dianggap palsu karena bertentangan dengan hukum yang terdapat di dalam
Al-Quran ataupun sunah Rasul dan juga tidak sesuai dengan syariat Islam. Misalnya
yaitu adanya anggapan untuk menyeimbangkan atau menyama ratakan hak waris
terhadap anak laki-laki dan perempuan demi suatu kemaslahatan. Tentunya hal itu
bertentangan dengan nash Al-Quran yang terdapat dalam QS. An-Nisa’ ayat 11 yang
didalamnya ditegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali dari pembagian
anak perempuan. Maslahah yang demikian merupakan kemaslahatan yang
berdasarkan pada manusia itu sendiri tapi tidak berdasarkan kemaslahatan
berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
3.
al-Maslahah
al-Mursalah, sebagaimana telah didefinisikan diatas al-Maslahah al-Mursalah
ini tidak terdapat dalil khusus yang menjelaskannya tetapi hal itu disesuaikan
dengan kemaslahatan yang ada pada saat itu asalkan tidak ada syariat yang
bertentangan dan mengandung banyak kemaslahatan (kebaikan) daripada
kemudharatan (keburukan). Misalnya yaitu adanya rambu-rambu lalu lintas atau
peraturan lalu lintas, hal ini tidak terdapat di dalam Al-Quran maupun sunnah
Rasul, tetapi hal itu bertujuan untuk suatu kemaslahatan yaitu untuk menjaga
jiwa, maka hal itu diperbolehkan[33].
Contoh yang lain yaitu terdapat pada saat zaman sahabat Abu Bakar atau lebih
tepatnya pada saat kekhalifahan Abu Bakar, yaitu adanya pengumpulan ayat-ayat
Al-Quran dalam satu mushaf, hal ini tidak terdapat pada Al-Quran maupun sunnah
Rasulullah SAW, tetapi hal itu dilakukan karena bila tidak dikumpulkan
dikhawatirkan ayat-ayat Al-Quran yang berserakan akan hilang. Maka dari itu
memiliki kemaslahatan yang besar, jadi hal itu diperbolehkan karena sesuai
dengan tujuan syariat Islam yaitu menjaga keutuhan Al-Quran.
G.
KEDUDUKAN
MASLAHAH MURSALAH
Para
ulama Ushul Fiqh bersepakat bahwa maslahah mursalah dalam segi ibadah
tidak sah untuk dijadikan landasan hukum, karena hal tersebut tidak sesuai
dengan apa yang diwariskan oleh Rasulullah SAW. Maka dari itu, dalam bidang
ibadah tidak mengalami perkembangan. Sedangkan dalam bidang muamalat terdapat
banyak perbedaan pendapat dikalangan para ulama atau imam madzhabyaitu terbagi
menjadi dua golongan yaitu golongan yang menolak maslahah mursalah
sebagai landasan hukum dan golongan yang menerima maslahah mursalah
sebagai landasan hukum. Berikut ini akan dijabarkan alasan para imam madzhab
menerima dan menolak maslahah mursalah sebagai berikut.
1.
Golongan
yangmenolak maslahah mursalah sebagai landasan hukum terdiri dari
kalangan Zahiriyah, Hanafiyah, serta sebagian dari kalangan Syafi’iyah. Adapun
alasan mereka menolak maslahah mursalah dikarenakan sebagai berikut.
a)
Allah dan
Rasul-Nya telah merumuskan berbagai ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk
untuk kemaslahatan umat manusia. Menetapkan hukum yang berlandaskan maslahah
mursalah berarti telah melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya atau bahkan
menganggap bahwa syariat Islam tidak lengkap karena menganggap masih ada
maslahat yang belum tertampung di dalam hukum Al-Quran dan Sunnah. Hal seperti
ini bertentangan dengan firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Qiyamah ayat 36
sebagai berikut:
أَيَحْسَبُ
الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja
(tanpa pertanggungjawaban)?”.
b)
Membenarkan maslahah
mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka pintu dari berbagai pihak
untuk menyalah gunakan praktik maslahah mursalah, misalnya bagi seorang
hakim dipengadilan atau seorang penguasa di berbagai tempat dapat menetapkan
suatu hukum sesuai dengan pilihannya atau sesuai dengan seleranya dan disertai
dengan alasan untuk suatu kemaslahatan, hal itu tidak diperkenankan oleh agama
atau syariat karena menyalahi aturan dan merusak citra suatu agama Islam.
2.
Golongan yang
menerima maslahah mursalah sebagai landasan hukum terdiri dari kalangan
Malikiyah, Hanabilah, serta sebagian dari kalangan Syafi’iyah. Adapun alasan
mereka menerima maslahah mursalah dikarenakan sebagai berikut.
a)
Syariat Islam
diturunkan, seperti yang telah dikatakan oleh para ulama’ bahwa berdasarkan
petunjuk-petunjuk Al-Quran dan Sunnah, yang bertujuan untuk merealisasikan
kemaslahatan dalam kebutuhan umat manusia. Kebutuhan umat manusia selalu
mengalami perkembangan, yang hal itu tidak mungkin dirinci di dalam Al-Quran
maupun Sunnah Rasulullah SAW. Namun secara umum tujuan dari syariat Islam yaitu
untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Maka dari itu, setiap hal yang dianggap maslahah,
selama hal tersebut tidak bertetangan dengan Al-Quran dan sunnah Rasulullah,
hukumnya sah untuk dijadikan sebagai landasan hukum.
b)
Para sahabat
dalam berijtihad menganggap sah maslahah mursalah sebagai landasan hukum
tanpa ada seorang pun yang membantahnya. Seperti contoh, khalifah Umar bin
Khaththab pernah menyita sebagian harta para pejabat dimasanya yang diperoleh
dari penyalahgunaan dari jabatannya. Praktik tersebut tidak ada pada zaman
Rasulullah tapi hal itu perlu dilakukan demi menjaga harta negara dari
seseorang yang menyelewengkan uang negara[34].
Agar suatu maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai
landasan hukum tentunya memiliki persyaratan yang ekstra ketat agar hal
tersebut tidak untuk disalahgunakan. Dalam buku Ushul Fiqh karya Satria Effendi
Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan syarat-syarat agar maslahah mursalah
itu dapat diterima yaitu meliputi sebagai berikut.
1)
Sesuatu yang
dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat yang hakiki yaitu yang
benar-benar mendatangkan suatu kemanfaatan daripada kemudharatan, bukan hanya
berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan kemsalahatan atau kemanfaatan tanpa melihat adanya akibat
kemudharatan di dalamnya. Misalnya yaitu adanya anggapan bahwa hak untuk
menjatuhkan thalak itu berada di tangan wanita bukan lagi di tangan pria itu
merupakan maslahat palsu, karena hal tersebut bertentangan dengan syariat yang
menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan thalak adalah berada di tangan suami hal
ini sesuai dengan hadis sebagaimana berikut ini.
عن
ابن عمر انه طلق امرأته وهي حائض، فذكر ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال : مره
فليراجعها وهي طاهر أو حامل (رواه ابن ماجه)
“Dari Ibnu Umar sesungguhnya dia pernah menalak istrinya padahal
dia sedang dalam keadaan haid, hal itu diceritakan kepada Nabi SAW. Maka beliau
bersabda: Suruh Ibnu Umar untuk merujuknya lagi, kemudian menalaknya dalam
kondisi suci atau hamil.” (HR. Ibnu Majah)
Secara tidak
langsung hadits tersebut memberikan informasi bahwa yang mempunyai hak untuk untuk
menalak istri dalam suami, sebagaimana kasus yang terdapat pada Ibnu Umar.
2)
Sesuatu yang
dianggap maslahat itu hendaknya yang berlaku pada kepentingan umum, bukan atas
kepentingan pribadi. Hal ini Syekh Abdul Wahab Khallaf dalam Ilmu Ushul Fikih
yang telah diterjemahkan oleh Halimuddin menambahi bahwa yang dimaksud dengan
ini adalah meyakinkan bahwa tasyri’ suatu hukum itu terhadap suatu peristiwa
mendatangkan manfaat untuk orang banyak dan membuang kemudharatan. Dan juga
bukan untuk kemaslahatan pribadi atau kepentingan dari kelompok tertentu yang
jumlahnya sedikit. Serta tidak boloeh mengsyariatkan suatu hukum hanya
dikhususkan untuk kemaslahatan Amir atau pemerintah, serta menyampingkan
pendapat dari golongan yang tidak termasuk dari mereka[35].
3)
Sesuatu yang
dianggap maslahat itu hendaknya tidak bertentangan dengan ketentuan dan
ketegasan yang berada pada Al-Quran atau sunnah Rasulullah, dan juga tidak
bertentangan dengan ijma’ atau kesepakatan para ulama’[36].
H.
Penutup
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebagain dari
sumber hukum Islam yang tidak di sepakati oleh semua ulama dari dua puluh enam
yaitu istihsan, istishab dan maslahah mursalah.Istihsan
merupakan berpindahnya suatu hukum dikarenakan terdapat hukum atau dalil yang
lebih kuat dari dalil sebelumnya. Adapun macam-macam istihsan yaitu istihsan
qiyasi dan istihsan istisna’i. Dan pastinya didalam pengambilan
sumber hukum melaui istihsan terdapat ulama’ ya menolak dan ulama’ yang
menerima. Ulama’ yang menerima meliputi mazhab hanafi, maliki, dan hanbali,
sedangkan ulama’ yang menolak meliputi syafi’i, zahiriyah, mu’tazilah dan
syi’ah. Istishab merupakan tetapnya suatu hukum sampai ada dalil yang merubah
hukum tersebut. Adapun macam-macamistishabyaitu istishab al-ibahah
al-ashliyah, istishab al-baraah al-ashliyah,istishab ma dalla asy-syar’
aw al-‘aql ‘ala wajudih, serta istishab al-wasf. Didalam macam istishab
al-wasf terdapat dua golongan ulama’ yang berbeda pendapat,golongan pertama
yaitu hanabillah dan syafi’iyyah dan golongan kedua yaitu hanafiyah dan malikiyah.
Yang terakhir yaitu maslahah mursalah merupakan suatu penegasan hukum
dimana tidak terdapat dalil yang mendukung ataupun menolak dan penegasan hukum
tersebut berdasarkan suatu kemaslahatan bersama. Adapun macam-macam darimaslahah
mursalahyaitu al-Maslahah al-Mu’tabarah,al-Maslahah al-Mulgah, dan al-Maslahah
al-Mursalah. Didalam maslahah mursalah juga terdapat ulama’ yang
menerima dan menolak sumber hukum tersebut. Ulama’ yang menerima meliputi
malikiyah, dan hanabilah, serta sebagian dari syafi’iyah, sedangkan ulama’ yang
menolak meliputi sebagian dari syafi’iyah, zahiriyah dan hanafiyah.Dari hal
tersebut maka disimpulkan bahwa ketiga hal diatas merupakan sebagian yang masih
diperdebatkan atau belum disepakati oleh para ulama dalam menjadi acuan
penetapan hukum Islam, sehingga tidak semua ulama menetapkan sebagai acuan
dalam penetapan hukum Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Dahlan, Abd. Rahmad. 2011.Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Djalil, Basiq. 2010.Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta:
Kencana.
Djazuli, A. 2005.Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana.
Effendi, Satria. 2005.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Haroen, Nasrun. 1997.Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Khallaf, Abdul Wahab. 1995.Ilmu Ushul Fikih, terj.
Halimuddin. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Pokja Forum Karya Ilmiah (FKI). 2008.Kilas Balik Teoritis Fiqh
Islam. Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Syafe’i, Rachmat. 1999.Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Syarifuddin, Amir. 2012.Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta:
Kencana.
Yusuf, Nasruddin. 2012.Pengantar Ilmu Ushul Fikih. Malang:
UM Press.
Catatan:
Similarity 13%. Secara umum makalah ini sudah bagus dan dikerjakan dengan
sungguh-sungguh.
[1] Syekh
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, terj. Halimuddin (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1995), 14.
[2] Abd.
Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), 196.
[3]Ibid,
197-198.
[4] Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), 157.
[5] Abd.
Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 198.
[6]Ibid,
198-200.
[7]Ibid, 200.
[8]Ibid.
[9]Ibid,
201.
[10]Ibid.
[11] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), 144-145.
[12] Pokja
Forum Karya Ilmiah (FKI), Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri:
Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, 2008), 235.
[13] Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), 63.
[14] Nasrun
Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 107-108.
[15] Abd.
Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 202.
[16] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, 145.
[17]Ibid,
145-146.
[18] Abd.
Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 203.
[19]Ibid,
205.
[20] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, 148.
[21] Abd.
Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 217.
[22] Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, 155
[23] Abd.
Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 219.
[24] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, 148.
[25] A.
Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), 92.
[26] Abd.
Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 221-222.
[27] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, 161.
[28]Ibid,
161-162.
[29] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 117.
[30]
Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang: UM Press, 2012),
77.
[31] Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, 160.
[32]
Satria Effendi, Ushul Fiqh, 149.
[33]Ibid,
149-150.
[34]Ibid,
150-151.
[35] Syekh
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, 101.
[36] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, 152-153.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar