Senin, 04 Maret 2019

Sumber-Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati I (PAI B Semester Genap 2018/2019)



SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAK DISEPAKATI (ISTIHSAN, ISTISHAB DAN MASLAHAH MURSALAH)

Oleh: Ayu Nova Hidayati (16110073)
Mahasiswi PAI-B Semester 6 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
Evidence of Islamic law to solve a problem there are two views according to the scholars, there are agreed and not agreed upon. Agreed there are four, namely al-quran, hadith, ijma’ and qiyas. While that is not agreed upon by the scholars there is twenty-six. And that is part of istihsan, istishab and maslahah mursalah. Istihsan is one of the sources of law which the law by way of mentarjih or take a better, or can be called also with the migration of a law because there is a law or evidence which is stronger than the evidence before . As for having two kinds of istihsan is istihsan qiyasi and istihsan istisna'i. Istihsan is also in scholars who accept and reject. Scholars who accept include hanafi, maliki, and hanbali, while scholars who refused to include syafi’iyah, zahiriyah, mu'tazilah and syi’ah. While the istishab is one of the sources of law in which the law or the evidence remain in force if there is no evidence that change it. As for the istishab has four kinds of istishab is istishab al-ibahah al-ashliyah, al-istishab al-baraah ashliyah, istishab ma dalla asy-syar’ aw al-‘aql ‘ala wajudih, and istishab al-wasf. In the istishab there are also scholars ' different opinions on istishab in particular istishab al-wasf, which were divided into two groups, the first group is hanabillah and syafi’iyah. And the second group is hanafiyah and malikiyah. As for the latter, namely maslahah mursalah that has the meaning of a legal assignment based on views of the magnitude of the benefit assignment the law rather than ugliness. As for the maslahah mursalah has three kinds namely al-Maslahah al-Mu'tabarah, al-Mulgah, al-Maslahah and al-al-Mursalah Maslahah. Inside there are also mursalah maslahah scholars who accept and reject. Scholars who accept the malikiyah, hanabillah and part of syafi’iyah, while the rejected is part of syafi'iyah, zahiriyah and hanafiyah. It is the third most disputed or not agreed upon by all scholars in the determination of the reference being Islamic law.

Abstrak
Dalil hukum Islam untuk memecahkan suatu permasalahan terdapat dua pandangan menurut para ulama, ada yang disepakati dan tidak disepakati. Yang disepakati ada empat yaitu al-quran, hadits, ijma dan qiyas. Sedangkan yang tidak disepakati oleh sebagian ulama ada dua puluh enam. Dan dari sebagian tersebut adalah istihsan, istishab dan maslahah mursalah. Istihsan merupakan salah satu sumber hukum dimana pengambilan hukumnya yaitu dengan cara mentarjih atau mengambil yang lebih baik, atau bisa disebut juga dengan berpindahnya suatu hukum dikarenakan terdapat hukum atau dalil yang lebih kuat dari dalil sebelumnya. Adapun istihsan memiliki dua macam yaitu istihsan qiyasi dan istihsan istisna’i. Didalam istihsan juga terdapat ulama’ yang menerima dan menolak. Ulama’ yang menerima meliputi mazhab hanafi, maliki, dan hanbali, sedangkan ulama’ yang menolak meliputi syafi’i, zahiriyah, mu’tazilah dan syi’ah. Sedangkan istishab merupakan salah satu sumber hukum dimana hukum atau dalil tersebut tetap berlaku jika tidak ada dalil yang mengubahnya. Adapun istishab memiliki empat macam yaitu istishab al-ibahah al-ashliyah, istishab al-baraah al-ashliyah,istishab ma dalla asy-syar’ aw al-‘aql ‘ala wajudih, serta istishab al-wasf. Didalam istishab juga terdapat ulama’ yang berbeda pendapat mengenai istishab khususnya istishab al-wasf, yang terbagi menjadi dua golongan, golongan pertama yaitu hanabillah dan syafi’iyyah dan golongan kedua yaitu hanafiyah dan malikiyah. Adapun yang terakhir yaitu maslahah mursalah yang mempunyai arti penetapan hukum berdasarkan dilihat dari besarnya kemaslahatan pada penetapan hukum tersebut daripada kemudharatannya. Adapun maslahah mursalah memiliki tiga macam yaitu al-Maslahah al-Mu’tabarah,al-Maslahah al-Mulgah, dan al-Maslahah al-Mursalah. Didalam maslahah mursalahjuga terdapat ulama’ yang menerima dan menolak. Ulama’ yang menerima meliputi malikiyah, dan hanabilah, serta sebagian dari syafi’iyah, sedangkan ulama’ yang menolak meliputi sebagian dari syafi’iyah, zahiriyah dan hanafiyah.Ketiga hal tersebut merupakan sebagian yang masih diperdebatkan atau belum disepakati oleh semua ulama dalam menjadi acuan penetapan hukum Islam.
Keywords: Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah.

A.           PENDAHULUAN
Dalam memecahkan suatu permasalahan tentu harus melalui hukum, dan setiap hukum memerlukan dalil atau sumber sebagai acuan penetapan. Dalam hal sumber atau dalil terdapat dua macam yaitu dalil yang disepakati  tidak disepakati oleh para imam mazhab. Dalil yang disepakati dalam menjadi sumber hukum oleh para ulama wajib dijadikan sumber utama, sedangkan yang tidak bagi yang menyetujui menjadi sumber selanjutnya.
Dalil sendiri menurut bahasa Arab memilikiarti orang yang menunjukkan kepada apa saja, baik badiah (apa yang dapat dicerap oleh panca indera maupun ma’nawi (yang berada dalam jiwa) tentang baik dan buruk. Sebagian dari ahli ushul mendefinisikan dalil yaitu merupakan apa-apa yang digunakan oleh syar’i dan berkaitan dengan amal perbuatan secara pasti atau secara mutlak[1].
Dalil-dalil hukum ini dalam pandangan kalangan ulama yang tidak disepakati oleh sebagian ulama’ terdapat dua puluh enam dalil syara’ yang bersifat terperinci[2]. Namun dari ketidak setujuan tersebut bukan berarti dibiarkan namun tetap dijadikan hujjah bagi para ulama yang sepakat dalam mempergunakannya. Sebagian dari dalil tersebut adalah istihsan, istishab dan maslahah mursalah. Dari hal tersebut maka dalam artikel ini akan membahas secara rinci tentang istihsan, istishab dan maslahah mursalah sebagai bentuk pengetahuan dan pengembangan ilmu yang wajib untuk kita ketahui.

B.            ISTIHSAN
Istihsan menurut bahasa berarti anggapan baik atau menganggap baik, serta menilai sesuatu sebagai baik. Adapun beberapa para ulama’ mendefinisikan istihsan yang dikutip dari buku Ushul Fiqh karya Abd. Rahman Dahlan sebagai berikut.
a)             Menurut al-Bazdawi, sebagaimana dikutip oleh al-Bukhari dalam kitab Kasyf al-Asrar ‘An Ushul al-Bazdawi:
اَلْعُدُوْلُ عَنْ مُوْجِبِ قِيَاسٍ إِلَى قِيَاسٍ أَقْوَى مِنْهُ أَوْ هُوَ تَحْصِيْصُ قِيَاسٍ بِدَلِيْلٍ أًقْوَى مِنْهُ
“Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama.”
b)             Menurut Imam Malik:
اَلْعَمَلُ بِأَقْوَى الدَّلِيْلَيْنِ، أَوِالْأَخْذُ بِمَصْلَحَةٍ جُزْئِيَّةٍ فِيْ مُقَابِلَةِ دَلِيْلٍ كُلِّيٍّ
“Menerapkan yang terkuat di antara dua dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.”
c)             Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami merumuskan dua definisi yaitu,
Pertama:
تَرْجِيْحٌ قِيَاسٍ خَفِيٍّ عَلَى قِيَاسٍ جَلِيٍّ بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ
“Lebih mengunggulkan qiyas khafi daripada qiyas jali berdasarkan alasan tertentu.”
Kedua:
إِسْتِثْنَاءُ مَسْأَلَةٍ جُزْئِيَّةٍ مِنْ أَصْلِ كُلِّيٍّ أَوْ قَضِيَّةٍ عَامَّةٍ بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ خَاصٍّ يَقْتَضِي ذَلِكَ
“Mengecualikan hukum kasus tertentu dari prinsip hukum atau premis yang bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya pengecualian tersebut.”[3]
Sedangkan istihsan menurut ahli Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Basiq Djalil dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua adalah:
دَلِيلُ يَظْهَرُ فِي عَقْلِ الْمُجْتَهِدِ يَقْتَضِي تَرْجِيْعُ قِيَاسٍ خَفِيٍّ عَلَى قِيَاسٍ جَلِيٍّ اَوْ اِسْتِسْنَاءَ جُزْءِيٍّ مِنْ حُكْمِ كُلِّيٍّ
Satu dalil yang keluar dari pemikiran seorang Mujtahid yang menetapkan kerajihan qiyas yang tidak terang (khafy) daripada qiyas yang terang (jaly), atau merajihkan) ketentuan hukum yang khusus (juz’iy) dari ketentuan yang umum (kully).[4]
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa istihsan merupakan perpindahan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara’ kepada hukum lain karena ada sebuah dalil yang lebih menguatkan atau mengharuskan perpindahan yang bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Istihsan pada hakekatnya terbagi menjadi 2 macam yaitu sebagai berikut.
1.             Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang asalnya didasarkan kepada qiyas jali kemudian beralih ketentuan hukum tersebut menjadi didasarkan pada qiyas khafi, hal tersebut dikarenakan adanya suatu alasan yang kuat yakni untuk mencapai kemaslahatan umat[5].
Sebagaimana contoh berikut yaitu apabila ada seseorang yang mewakafkan sebidah tanah pertaniannya untuk kepentingan umum, maka berdasarkan hukum istihsan, yang diwakafkan itu juga termasuk hak pengairan, hak membuat saluran di atas tanah tersebut, serta perbuatan yang lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan tanah tersebut.
Apabila ketentuan wakaf ditetapkan berdasarkan qiyas jaliterhadap transaksi jual beli, maka hak-hak tersebut tidak ikut berpindah kepada si penerima wakaf, karena hakikat dari jual beli yaitu hanyalah perpindahan barang dari penjual kepada pembeli. Akan tetapi, karena bertujuan untuk kemaslahatan maka hak-hak tersebut ikut berpindak kepada si penerima waqaf dan wakaf itu di qiyaskan dengan transaksi sewa-menyewa.
Dalam transaksi sewa-menyewa yang paling penting adalah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik kepada hak si penyewa. Dan illah yang ditemukan atau yang sama dengan wakaf yaitu agar barang yang diwakafkan itu bermanfaat, walaupun illah tersebut bersifat tersembunyi (khafi). Tanah pertanian dapat dimanfaatkan dengan baik jika di tanah tersebut terdapat pengairan yang cukup baik. Hak manfaat menjadi tujuan dari wakaf, jika diqiyaskan dengan jual beli melaui qiyas jali, maka hal tersebut tidak akan tercapai. Karena jual beli hanyalah mengutamakan pemindahan hak milik, dan bukan hak manfaat. Karena itulah wakaf diqiyaskan kepada transaksi sewa menyewa, dimana memiliki tujuan yang sama dengan wakaf yakni untuk suatu kemanfaatan. Pengalihan hukum ini dari yang berdasarkan qiyas jali kemudian beralih menjadi didasarkan kepada qiyas khafi tersebut dikarenakan memiliki alasan yang kuat, yaitu bertujuan untuk kemaslahatan wakaf dan untuk memanfaatkan tanah pada pertanian.
Contoh yang lainnya yaitu tentang permasalahan air minum yang diminum oleh burung buas yakni burung gagak atau burung elang sisa air minum tersebut adalah suci dan halal diminum berdasarkan qiyas khafi. Padahal berdasarkan qiyas jali, sisa minuman dari binatang buas seperti anjing, harimau, dan lain sebagainya itu haram diminum dikarenakan minuman tersebut telah bercampur dengan air liur dari binatang tersebut yang diqiyaskan kepada dagingnya.
Pada umumnya binatang buas itu meminum air dengan mulutnya sehingga air liurnya masuk atau bercampur terhadap wadah air minum yang digunakan. Akan tetapi, tekstur mulut dan paruh memiliki zat yang berbeda, jika mulut binatang buas terdiri atas daging yang haram dimakan, sedangkan paruh terdiri zat tulang atau zat tanduk, dan tulang atau zat tanduk tidaklah najis. Ketika burung buas minum air, daging dan air liurnya tidak langsung bertemu dengan air atau tempat wadah untuk minum tetapi terpisah oleh paruh yang memiliki zat tulang dan zat tanduk itu. Oleh karena itu, air dari minuman binatang buas itu tidaklah najis dan halal untuk diminum.
Pembedaan dari hukum yang telah di jelaskan diatas antara air sisa minum burung buas dengan air sisa minum binatang buas yaitu berdasarkan istihsan qiyasi yaitu mengalihkan hukum dari hukum yang asalnya berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang lebih kuat, yakni untuk suatu kemaslahatan umat[6].
2.             Istihsan Istisna’i
Istihsan istisna’i adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kemudian dialihkan kepada prinsip-prinsip yang bersifat lebih khusus[7]. Istihsan istisna’i dapat terbagi menjadi beberapa macam sebagai berikut.
a)             Istihsan bi al-nashadalah pengalihan hukum dari ketentuan yang berdasarkan prinsip-prinsip universal kepada ketentuan lain dikarenakan ada nash yang mengecualikan, baik itu nash yang berasal dari al-Quran maupun dari sunnah, sebagai contohistihsan istisna’i berdasarkan nash Al-Quran yaitu berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang wafat. Bahwasanya jika ada seseorang yang telah wafat maka hartanya akan beralih pada ahli warisnya tetapi hal tersebut dikecualikan karena adanya dalil Al-Quran pada QS. An-Nisa’ ayat (4):12 yang mengharuskan untuk melaksanakan wasiatnya terlebih dahulu sebelum harta si mayit diberikan kepada ahli warisnya, sebagaimana firman Allah berikut ini:
مِنْ بَعْدِ وَ صِيَّةٍ يُوْ صِيْنَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ
Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya.[8]
Adapun contoh istihsan istisna’i yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa orang yang makan dan minum di siang hari pada bulan Ramadhan dikarenakan tidak sengaja atau dikarenakan lupa. Padahal menurut ketentuan umum, makan dan minum merupakan hal yang dapat membatalkan puasa. Nyatanya ketentuan umum tersebut dibatalkan oleh hadits berikut ini yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim yang dikutip dari buku Ushul Fiqh karya Abd. Rahman Dahlan sebagai berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله ﷺ مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ الله وَسَقَاهُ
“Dari Abu Hurairah ra, katanya, Rasulullah SAW bersabda:’Barangsiapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya.”[9]
b)             Istihsan bi al-Ijma’adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang berdasarkan prinsip-prinsip universal kepada ketentuan lain dikarenakan ada ketentuan ijma’ yang mengecualikannya[10]. Sebagai contoh pada umumnya orang yang ingin melakukan akad jual beli harus ada ketenntuan bahwa barang harus sudah ada atau sudah tersedia, karena memperjualbelikan benda yang belum ada waktu melakukan akad dilarang oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Namun jika ada seseorang yang memesan untuk membuatkan lemari kemudian membayarnya di awal pemesanan hal itu dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorang pun ulama yang membantah keberlakukannya dalam masyarakat sehingga di anggap sudah disepakati (ijma’)[11].
c)             Istihsan bi al-‘Urfadalah pengalihan hukum dari ketentuan yang berdasarkan prinsip-prinsip universal kepada ketentuan lain dengan memandang tradisi yang berlaku[12]. Sebagai contoh penggunaan fasilitas kamar mandi di tempat umum dalam pembayarannya tidak dapat ditentukan melalui sewa menyewa atau jual beli sesuai dengan air yang dihabiskan atau lama penggunaan kamar mandinya, tetapi hal itu didasarkan pada kebiasaan masyarakat sekitar dengan menggunakan tarif tertentu untuk mempermudah pembayarannya[13]. Contoh lainnya yaitu menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu dan dipukul secara merata, tanpa membedakan jauh dan dekat perjalanan yang ditempuh. Sebenarnya hal itu dilarang karena transaksi mengupah itu harus berdasarkan pada kejelasan pada objek sesuai dengan upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui istihsan hal itu diperbolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, dan juga demi menjaga kemaslahatan masyarakan serta tidak menimbulkan kesulitan di dalam masyarakat serta tetap terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut.
d)            Istihsan bi ad-Dharurahadalah pengalihan hukum dari ketentuan yang berdasarkan prinsip-prinsip universal kepada ketentuan lain dikarenakan terjadi keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak dapat memberlakukan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang bersifat umum. Sebagai contoh kasus sumur yang kemasukan najis, pada umumnya untuk menghilangkan najis tersebut maka air sumur haruslah dikuras terlebih dahulu, tetapi dikarenakan sumur merupakan sumber air, maka sulit untuk dikeringkan. Akan tetapi, ulama Hanafiyah mengatakan untuk kasus yang seperti ini, maka dalam mensucikannya diperbolehkan memasukkan beberapa galon air ke sumur itu, karena keadaan darurat dan agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapakan air untuk beribadah dan memenuhi kehidupannya[14].
e)             Istihsan bi al-Maslahah al-Mursalahadalah pengalihan hukum dari ketentuan yang berdasarkan prinsip-prinsip universal kepada ketentuan lain yang berprinsip kemaslahatan[15]. Sebagai contoh menurut kaidah secara umum jika seseorang menyewa rumah tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak di dalamnya kecuali jika kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya. Tetapi menurut hukum kemaslahatan yang dikeluarkan oleh ahli Fiqh jika seseorang menyewa rumah maka sang penyewa harus menjaga dan merawat barang yang ada di dalam rumah tersebut dan harus menggantinya apabila barang yang disewakan itu rusak[16].

C.           KEDUDUKAN ISTIHSAN
Di dalam beberapa pendapat ulama’ terbagi menjadi dua kelompok tentang kehujjahan istihsan. Kelompok pertama yaitu kelompok yang berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan sebagai landasan hukum, kelompok tersebut yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanbali. Mereka berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan sebagai landasan hukum sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Az-Zumar (39) : 18 sebagai berikut.
الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَا هُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الأَلْبَابِ
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Maksud dari ayat tersebut yaitu bahwa kita dianjurkan untuk mengikuti perkataan (pendapat) yang baik, sehingga mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu yang baik, oleh karena itu istihsan boleh atau sah dijadikan sebagai landasan hukum[17].
Sedangkan kelompok kedua yaitu kelompok yang menolak penggunaan istihsan  sebagai landasan hukum diantaranya adalah asy- Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah, mereka berpendapat bahwa menggunakan istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan cara menggunakan nalarnya untuk menentang hukum yang ditetapkan oleh dalil syara’. Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami yang dikutip oleh Abd. Rahman Dahlan, dalam buku ushul fiqh menginformasikan Imam Syafi’i dalam menolak istihsan sebagai kehujjahan suatu landasan hukum, beliau berkata: “Barangsiapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri[18]”. Adapun dalil yang digunakan kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan yaitu terdapat dalam firman Allah SWT pada QS. Al-Maidah (5):49 sebagai berikut.
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآأَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka[19].”
Dalam buku Ushul Fiqh karya Satria Effendi mengutip dari perkataan Wahbah az-Zuhaili, bahwa adanya perbedaan pendapat dari kelompok yang menolak atau yang mendukung disebabkan karena adanya perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’i membantah istihsan karena hal tersebut didasarkan pada hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Akan tetapi istihsan yang dipakai oleh ulama’ yang menganutnya bukanlah didasarkan pada hawa nafsu, tetapi men-tarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan dan dipilih karena lebih dapat menjangkau tujuan dalam suatu pembentukan hukum[20].

D.           ISTISHAB
Istishab menurut bahasa berarti mengikut sertakan, menjadikan teman, dan sebagainya. Adapun beberapa para ulama’ mendefinisikan istihsan yang dikutip dari buku Ushul Fiqh karya Abd. Rahman Dahlan sebagai berikut.
a)             Menurut asy-Syaukani:
بَقَاءُ الْأَمْرِ مَالَمْ يُوْجَدْ مَا يُغَيِّرُهُ
“Tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya.”
b)             Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah:
إِسْتِدَامَةُ مَاكَانَ ثَابِتًا وَنَفَي مَا كَانَ مَنْفِيًّا حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى تَغَيُّرِ الْحَالِ
“Mengkukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau menegasikan suatu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut.”
c)             Menurut Ibnu Hazm:
بَقَاءُ حُكْمِ الْأَصْلِ الثَّابِتِ بِالنُّصُوْصِ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ مِنْهَا عَلَى التَّغَيُّرِ
“Tetap berlakunya suatu hukum didasarkan atas nashsh, sampai ada dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut.”[21]
Sedangkan istishabmenurut ahli Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Basiq Djalil dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua adalah:
جَعْلُ الْحُكْمِ الثَّابِتِ فِى الْمَاضِى بَاقِيًا اِلَى الْحَالِ لِعَدَمِ الْعِلْمِ بِا الْمُغَيِّرِ
Menjadikan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu, berlaku terus sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubahnya.[22]
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa istishab merupakan suatu hukum yang telah ditetapkan masa lalu dan hukum tersebut akan terus berlaku selama belum ada dalil yang mengubah suatu hukum tersebut. Istishab pada hakikatnya terbagi menjadi empat macam sebagai berikut.
1.             Istishab al-ibahah al-ashliyah
Pada dasarnya setelah agama Islam itu datang, seseorang boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu yang didalamnya terkandung manfaat, selama tidak ada dalil yang menegaskan hukum terhadapnya. Tetapi hal ini berlaku hanya dalam konteks hukum mu’amalah saja bukan dalam konteks hukum ibadah maupun akidah.[23]
Dalam surat Al-Baqarah (2):29 Allah telah berfirman sebagai berikut.
هُوَالَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيْعًا
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”
Ayat tersebut meenjelaskan sekaligus menegaskan bahwa segala yang ada di bumi dijadikan untuk manusia dalam artian boleh dimakan makanannya serta boleh melakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan umat manusia. Hal itu dijadikan landasan dari istishab al-ibahah al-ashliyah dengan adanya prinsip yang mengatakan, bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya[24]. Berdasarkan hal ini maka semua makanan boleh untuk dimakan selama tidak ada dalil syara’ yang melarangnya. Demikian juga dalam hal bermu’amalah atau melakukan transaksi maka hal itu diperbolehkan asalkan didalamnya mengandung kemanfaatan dan tidak menimbulkan kemudlaratan.
2.             Istishab al-baraah al-ashliyah
Pada dasarnya setiap orang terbebas dari tuntutan beban (taklif) sampai ada dalil yang mengubahnya atau sampai ada bukti yang menetapkan takliefnya. Seperti contoh seorang anak kecil tidak memiliki kewajiban syara’ (taklif), kecuali jika ia telah mencapai usia baligh (mukallaf). Sedangkan contoh lain seperti tidak adanya kewajiban dan hak antara seorang laki-laki dan perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya ikatan atau akad pernikahan[25].
3.             Istishab ma dalla asy-syar’ aw al-‘aql ‘ala wajudih
Suatu hukum tetap diberlakukan atas hukum tersebut, baik keberlakuannya ditinjau dari dalil syara’ maupun menurut logika atau akal, sampai ada alasan atau dalil lain yang mengubah keberlakuan hukum tersebut. Disini istishab terhadap sesuatu yang menurut akal atau syara’ diakui keberadaanya dan disepakati oleh ulama’ tentang kedudukannya sebagai dalil syara’. Seperti contoh tetapnya tanggung jawab seseorang untuk membayar hutang, misalnya dikarenakan merusak barang orang lain, sampai terbukti bahwa hutang tersebut telah dilunasi atau dibayar oleh yang berpiutang. Adapun contoh lain, yaitu tetapnya wudhu’ setelah seseorang berwudhu, sampai terbukti bahwa wudhunya telah batal seperti misalnya buang angin. Berdasarkan istishab, wudhu’ tidak batal hanya karena perasaan orang yang ragu-ragu tentang masih tetap atau batalnya wudhu’ seseorang[26].
4.             Istishab al-wasf
Suatu hukum didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya sifat hidup yang dimiliki oleh seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti yang menyatakan bahwa ia telah wafat atau pengadilan menyatakan bahwa ia telah dinyatakan wafat[27]. Berdasarkan sifat hidup yang ia miliki, maka hartanya tidak boleh dibagi-bagikan sebagai harta warisan. Demikian juga bila orang tersebut sudah menikah maka istrinya tidak diperbolehkan untuk menikah dengan lelaki lain, sampai ada bukti bahwa seseorang tersebut telah wafat atau meninggal.

E.            KEDUDUKAN ISTISHAB
Dalam keempat macam-macam istishab yang telah disebutkan diatas, semua istishab disepakati oleh semua ulama’ atau semua imam madzhab, kecuali istishab yang terakhir yaitu istishab al-wasf. Di dalam istishab al-wasf ada banyak beberapa perbedaan pendapat dari kalangan ulama’ atau imam madzhab, yaitu terbagi menjadi dua golongan yaitu:
1.             Golongan pertama terdiri dari kalangan Hanabillah dan Syafi’iyyah, mereka berpendapat bahwa istishab al-wasf dapat dijadikan sebagai landasan hukum secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan hak yang sudah ada. Misalnya, jika ada seseorang yang hilang dan tidak tau tempatnya dimana, maka seseorang itu tetap dinyatakan hidup sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Maka dari itu hak-hak yang dimiliki oleh seseorang yang telah hilang tersebut masih berlaku, yaitu apabila dia memiliki seorang istri maka istri tersebut tetap menjadi istri sahnya dan jika ada keluarganya yang meninggal maka dia tetap dihitung sebagai ahli waris dalam keluarga tersebut dan juga mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut.
2.             Golongan kedua terdiri dari kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, mereka berpendapat bahwa istishab al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada dan bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Misalnya, dalam contoh diatas telah disebutkan bahwa orang yang hilang tersebut istrinya masih berstatus sebagai istrinya dan harta yang dia miliki masih berstatus miliknya, tetapi jika ada keluarganya yang meninggal maka harta yang menjadi bagiannya akan disimpan terlebih dahulu tidak langsung diberikan sampai ada bukti apakah diamasih hidup atau sudah wafat. Dan apabila terbukti orang yang hilang tersebut sudah wafat maka harta yang disimpan tersebut dibagikan kepada ahli waris lainnya yang masih ada. Alasan mereka adalah karena keadaannya masih hidup yaitu diambil dari dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta[28].

F.            MASLAHAH MURSALAH
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah yang secara bahasa maslahah mempunyai arti “manfaat” dan mursalah mempunyai arti “ lepas”. Sedangkan menurut pengarang kamus Lisan Al-’Arab yang terdapat dalam buku Ilmu Ushul Fiqih karya Rachmat Syafe’imenjelaskan definisi dari maslahah meliputi dua arti, yaitu al-maslahah yang berarti al-shalah dan al-maslahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Dari keduaanya memiliki arti yang sama yakni “manfaat” baik secara asal maupun secara proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadaratan dan penyakit. Yang semuanya itu merupakan arti maslahah secara bahasa[29]. Sedangkan dalam pengertian mursalah itu sendiri yang dimaksud dengan “lepas” menurut Hussain Hamid Hassan dalam kitab Nadzariyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy yang dikutip oleh Nasruddin Yusuf dalam bukunya Pengantar Ilmu Ushul Fikih, mendefinisikan terlepas dari dalil yang menganggapnya atau dalil yang mengabaikannya[30].
Sedangkan maslahah mursalah menurut ahli ushul fiqih adalah:
اَنْ يُوْجَدَ مَعْنًى يُشْعِرُ بِالْحُكْمِ مُنَاسِبٌ عَقْلاً وَلاَ يُوْجَدُ اَصْلٌ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Bahwa terdapat satu makna yang dirasa ketentuan itu cocok dengan akal sedang dalil yang disepakati tentang (hal tersebut) tidak terdapat.”[31]
Adapun menurut Abdul Wahhab Khallaf dalam buku Ushul Fiqh karya Satria Effendi, berarti “sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”.[32] Jadi dapat kita pahami bahwa maslahah mursalah merupakan salah satu landasan hukum dimana hukum tersebut tidak terdapat dalam nash al-Quran, sunnah maupun ijma’ tetapi berdasarkan terhadap suatu kemaslahatan dan tidak ada dalil yang menerima maupun yang menolak hukum tersebut.
Dalam maslahah mursalah terdapat beberapa macam untuk mengelompokkan maslahah mursalah. Abdul-Karim Zaidan menjabarkan macam-macam maslahah mursalah menjadi 3 macam yakni al-Maslahah al-Mu’tabarah, al-Maslahah al-Mulgah dan al-Maslahah al-Mursalah, hal ini terdapat dalam buku Ushul Fiqh karya Satria Effendiyang akan dijabarkan sebagai berikut.
1.             al-Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui oleh syari’at dan telah ditentukan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya yaitu diperintahkannya untuk berjihad di jalan Allah dan melindungi agama dari musuh, diwajibkan hukum qishash untuk memelihara jiwa dan terciptanya suatu keadilan, ancaman hukuman bagi peminum khamr hal ini untuk memelihara akal, ancaman hukuman orang yang melakukan zina hal ini untuk menjaga kehormatan dan keturunan, serta ancaman bagi seseorang yang mencuri hal ini untuk memelihara dan menjaga harta.
2.             al-Maslahah al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal dan pikiran, tetapi dianggap palsu karena bertentangan dengan hukum yang terdapat di dalam Al-Quran ataupun sunah Rasul dan juga tidak sesuai dengan syariat Islam. Misalnya yaitu adanya anggapan untuk menyeimbangkan atau menyama ratakan hak waris terhadap anak laki-laki dan perempuan demi suatu kemaslahatan. Tentunya hal itu bertentangan dengan nash Al-Quran yang terdapat dalam QS. An-Nisa’ ayat 11 yang didalamnya ditegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali dari pembagian anak perempuan. Maslahah yang demikian merupakan kemaslahatan yang berdasarkan pada manusia itu sendiri tapi tidak berdasarkan kemaslahatan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
3.             al-Maslahah al-Mursalah, sebagaimana telah didefinisikan diatas al-Maslahah al-Mursalah ini tidak terdapat dalil khusus yang menjelaskannya tetapi hal itu disesuaikan dengan kemaslahatan yang ada pada saat itu asalkan tidak ada syariat yang bertentangan dan mengandung banyak kemaslahatan (kebaikan) daripada kemudharatan (keburukan). Misalnya yaitu adanya rambu-rambu lalu lintas atau peraturan lalu lintas, hal ini tidak terdapat di dalam Al-Quran maupun sunnah Rasul, tetapi hal itu bertujuan untuk suatu kemaslahatan yaitu untuk menjaga jiwa, maka hal itu diperbolehkan[33]. Contoh yang lain yaitu terdapat pada saat zaman sahabat Abu Bakar atau lebih tepatnya pada saat kekhalifahan Abu Bakar, yaitu adanya pengumpulan ayat-ayat Al-Quran dalam satu mushaf, hal ini tidak terdapat pada Al-Quran maupun sunnah Rasulullah SAW, tetapi hal itu dilakukan karena bila tidak dikumpulkan dikhawatirkan ayat-ayat Al-Quran yang berserakan akan hilang. Maka dari itu memiliki kemaslahatan yang besar, jadi hal itu diperbolehkan karena sesuai dengan tujuan syariat Islam yaitu menjaga keutuhan Al-Quran.

G.           KEDUDUKAN MASLAHAH MURSALAH
Para ulama Ushul Fiqh bersepakat bahwa maslahah mursalah dalam segi ibadah tidak sah untuk dijadikan landasan hukum, karena hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang diwariskan oleh Rasulullah SAW. Maka dari itu, dalam bidang ibadah tidak mengalami perkembangan. Sedangkan dalam bidang muamalat terdapat banyak perbedaan pendapat dikalangan para ulama atau imam madzhabyaitu terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang menolak maslahah mursalah sebagai landasan hukum dan golongan yang menerima maslahah mursalah sebagai landasan hukum. Berikut ini akan dijabarkan alasan para imam madzhab menerima dan menolak maslahah mursalah sebagai berikut.
1.             Golongan yangmenolak maslahah mursalah sebagai landasan hukum terdiri dari kalangan Zahiriyah, Hanafiyah, serta sebagian dari kalangan Syafi’iyah. Adapun alasan mereka menolak maslahah mursalah dikarenakan sebagai berikut.
a)        Allah dan Rasul-Nya telah merumuskan berbagai ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk untuk kemaslahatan umat manusia. Menetapkan hukum yang berlandaskan maslahah mursalah berarti telah melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya atau bahkan menganggap bahwa syariat Islam tidak lengkap karena menganggap masih ada maslahat yang belum tertampung di dalam hukum Al-Quran dan Sunnah. Hal seperti ini bertentangan dengan firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Qiyamah ayat 36 sebagai berikut:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?”.
b)        Membenarkan maslahah mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka pintu dari berbagai pihak untuk menyalah gunakan praktik maslahah mursalah, misalnya bagi seorang hakim dipengadilan atau seorang penguasa di berbagai tempat dapat menetapkan suatu hukum sesuai dengan pilihannya atau sesuai dengan seleranya dan disertai dengan alasan untuk suatu kemaslahatan, hal itu tidak diperkenankan oleh agama atau syariat karena menyalahi aturan dan merusak citra suatu agama Islam.
2.             Golongan yang menerima maslahah mursalah sebagai landasan hukum terdiri dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, serta sebagian dari kalangan Syafi’iyah. Adapun alasan mereka menerima maslahah mursalah dikarenakan sebagai berikut.
a)        Syariat Islam diturunkan, seperti yang telah dikatakan oleh para ulama’ bahwa berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Quran dan Sunnah, yang bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan dalam kebutuhan umat manusia. Kebutuhan umat manusia selalu mengalami perkembangan, yang hal itu tidak mungkin dirinci di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah SAW. Namun secara umum tujuan dari syariat Islam yaitu untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Maka dari itu, setiap hal yang dianggap maslahah, selama hal tersebut tidak bertetangan dengan Al-Quran dan sunnah Rasulullah, hukumnya sah untuk dijadikan sebagai landasan hukum.
b)        Para sahabat dalam berijtihad menganggap sah maslahah mursalah sebagai landasan hukum tanpa ada seorang pun yang membantahnya. Seperti contoh, khalifah Umar bin Khaththab pernah menyita sebagian harta para pejabat dimasanya yang diperoleh dari penyalahgunaan dari jabatannya. Praktik tersebut tidak ada pada zaman Rasulullah tapi hal itu perlu dilakukan demi menjaga harta negara dari seseorang yang menyelewengkan uang negara[34].
Agar suatu maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum tentunya memiliki persyaratan yang ekstra ketat agar hal tersebut tidak untuk disalahgunakan. Dalam buku Ushul Fiqh karya Satria Effendi Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan syarat-syarat agar maslahah mursalah itu dapat diterima yaitu meliputi sebagai berikut.
1)             Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat yang hakiki yaitu yang benar-benar mendatangkan suatu kemanfaatan daripada kemudharatan, bukan hanya berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan kemsalahatan  atau kemanfaatan tanpa melihat adanya akibat kemudharatan di dalamnya. Misalnya yaitu adanya anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan thalak itu berada di tangan wanita bukan lagi di tangan pria itu merupakan maslahat palsu, karena hal tersebut bertentangan dengan syariat yang menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan thalak adalah berada di tangan suami hal ini sesuai dengan hadis sebagaimana berikut ini.
عن ابن عمر انه طلق امرأته وهي حائض، فذكر ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال : مره فليراجعها وهي طاهر أو حامل (رواه ابن ماجه)
“Dari Ibnu Umar sesungguhnya dia pernah menalak istrinya padahal dia sedang dalam keadaan haid, hal itu diceritakan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda: Suruh Ibnu Umar untuk merujuknya lagi, kemudian menalaknya dalam kondisi suci atau hamil.” (HR. Ibnu Majah)
Secara tidak langsung hadits tersebut memberikan informasi bahwa yang mempunyai hak untuk untuk menalak istri dalam suami, sebagaimana kasus yang terdapat pada Ibnu Umar.
2)             Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaknya yang berlaku pada kepentingan umum, bukan atas kepentingan pribadi. Hal ini Syekh Abdul Wahab Khallaf dalam Ilmu Ushul Fikih yang telah diterjemahkan oleh Halimuddin menambahi bahwa yang dimaksud dengan ini adalah meyakinkan bahwa tasyri’ suatu hukum itu terhadap suatu peristiwa mendatangkan manfaat untuk orang banyak dan membuang kemudharatan. Dan juga bukan untuk kemaslahatan pribadi atau kepentingan dari kelompok tertentu yang jumlahnya sedikit. Serta tidak boloeh mengsyariatkan suatu hukum hanya dikhususkan untuk kemaslahatan Amir atau pemerintah, serta menyampingkan pendapat dari golongan yang tidak termasuk dari mereka[35].
3)             Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaknya tidak bertentangan dengan ketentuan dan ketegasan yang berada pada Al-Quran atau sunnah Rasulullah, dan juga tidak bertentangan dengan ijma’ atau kesepakatan para ulama’[36].

H.           Penutup
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebagain dari sumber hukum Islam yang tidak di sepakati oleh semua ulama dari dua puluh enam yaitu istihsan, istishab dan maslahah mursalah.Istihsan merupakan berpindahnya suatu hukum dikarenakan terdapat hukum atau dalil yang lebih kuat dari dalil sebelumnya. Adapun macam-macam istihsan yaitu istihsan qiyasi dan istihsan istisna’i. Dan pastinya didalam pengambilan sumber hukum melaui istihsan terdapat ulama’ ya menolak dan ulama’ yang menerima. Ulama’ yang menerima meliputi mazhab hanafi, maliki, dan hanbali, sedangkan ulama’ yang menolak meliputi syafi’i, zahiriyah, mu’tazilah dan syi’ah. Istishab merupakan tetapnya suatu hukum sampai ada dalil yang merubah hukum tersebut. Adapun macam-macamistishabyaitu istishab al-ibahah al-ashliyah, istishab al-baraah al-ashliyah,istishab ma dalla asy-syar’ aw al-‘aql ‘ala wajudih, serta istishab al-wasf. Didalam macam istishab al-wasf terdapat dua golongan ulama’ yang berbeda pendapat,golongan pertama yaitu hanabillah dan syafi’iyyah dan golongan kedua yaitu hanafiyah dan malikiyah. Yang terakhir yaitu maslahah mursalah merupakan suatu penegasan hukum dimana tidak terdapat dalil yang mendukung ataupun menolak dan penegasan hukum tersebut berdasarkan suatu kemaslahatan bersama. Adapun macam-macam darimaslahah mursalahyaitu al-Maslahah al-Mu’tabarah,al-Maslahah al-Mulgah, dan al-Maslahah al-Mursalah. Didalam maslahah mursalah juga terdapat ulama’ yang menerima dan menolak sumber hukum tersebut. Ulama’ yang menerima meliputi malikiyah, dan hanabilah, serta sebagian dari syafi’iyah, sedangkan ulama’ yang menolak meliputi sebagian dari syafi’iyah, zahiriyah dan hanafiyah.Dari hal tersebut maka disimpulkan bahwa ketiga hal diatas merupakan sebagian yang masih diperdebatkan atau belum disepakati oleh para ulama dalam menjadi acuan penetapan hukum Islam, sehingga tidak semua ulama menetapkan sebagai acuan dalam penetapan hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd. Rahmad. 2011.Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Djalil, Basiq. 2010.Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana.
Djazuli, A. 2005.Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana.
Effendi, Satria. 2005.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Haroen, Nasrun. 1997.Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Khallaf, Abdul Wahab. 1995.Ilmu Ushul Fikih, terj. Halimuddin. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Pokja Forum Karya Ilmiah (FKI). 2008.Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Syafe’i, Rachmat. 1999.Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2012.Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Yusuf, Nasruddin. 2012.Pengantar Ilmu Ushul Fikih. Malang: UM Press.

Catatan:
Similarity 13%. Secara umum makalah ini sudah bagus dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh.


[1] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, terj. Halimuddin (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), 14.
[2] Abd. Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), 196.
[3]Ibid, 197-198.
[4] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), 157.
[5] Abd. Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 198.
[6]Ibid, 198-200.
[7]Ibid, 200.
[8]Ibid.
[9]Ibid, 201.
[10]Ibid.
[11] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), 144-145.
[12] Pokja Forum Karya Ilmiah (FKI), Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, 2008), 235.
[13] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), 63.
[14] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 107-108.
[15] Abd. Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 202.
[16] Satria Effendi, Ushul Fiqh, 145.
[17]Ibid, 145-146.           
[18] Abd. Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 203.
[19]Ibid, 205.
[20] Satria Effendi, Ushul Fiqh, 148.
[21] Abd. Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 217.
[22] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, 155
[23] Abd. Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 219.
[24] Satria Effendi, Ushul Fiqh, 148.
[25] A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), 92.
[26] Abd. Rahmad Dahlan, Ushul Fiqh, 221-222.
[27] Satria Effendi, Ushul Fiqh, 161.
[28]Ibid, 161-162.
[29] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 117.
[30] Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang: UM Press, 2012), 77.
[31] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, 160.
[32] Satria Effendi, Ushul Fiqh, 149.                                         
[33]Ibid, 149-150.
[34]Ibid, 150-151.
[35] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, 101.
[36] Satria Effendi, Ushul Fiqh, 152-153.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar