Sumber Hukum Islam Yang Disepakatai: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Dan
Qiyas
Silqy Rosidah dan Amalia Dwi Cahyani
Mahasiswa
Pendidikan Agama Islam “A” 2016 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Abstract
In this article, it describes the sources of Islamic law
which are agreed upon both from, Al-quran, as-sunnah, ijma 'and qiyas. The
source of Islamic law itself is used in seeking the law in an existing problem.
In making this method using qualitative methods, in the form of analysis from
several sources both from books, books or scientific journals. In his
discussion, there will be shown a number of differences of opinion from the
ulamas themselves, both from definitions, and judgments in every source of law
that can be used by the Muslims themselves with the arguments that are
explained or proven by the existence of the sources of Islamic law. In this
article we will also discuss types, harmonize in every Islamic law or the
conditions needed, and also examples that make it easier for readers to
understand Islamic law itself.
Keywords: Islamic law, Qur'an, sunnah, ijma 'and qiyas.
Abstrak
Dalam artikel ini menjelaskan tentang
sumber hukum islam yang disepakatai baik itu dari, Al-qur’an, as-sunnah, ijma’
dan qiyas. Sumber hukum islam itu sendiri digunakan dalam mencari hukum didalam
suatu permasalahan yang ada. Dalam pembuatannya ini menggunakan metode kualitatif,
berupa analisi dari beberapa sumber baik dari buku-buku, kitab ataupun jurnal
ilmiah. Dalam pembahasannya akan ditunjukkan beberapa perbedaan pendapat dari
para ulama itu sendiri baik itu dari definisi, serta kehujjahan dalam setiap
sumber hukum yang bisa dipakai umat islam itu sendiri dengan dalil- dalil yang
dipaparkan atau pembukti kehujjahan
sumber hukum islam. Didalam artikel ini juga akan dibahas mengenai macam-
macamr, rukun dalam setiap hukum islam ataupun syarat- syarat yang
diperlukannya, dan juga contoh- contoh yang memudahkan para pembaca dalam
memahami hukum islam itu sendiri.
Kata kunci : Hukum Islam, Al-Qur’am, Sunnah, Ijma’ Dan Qiyas.
A.
Pendahuluan
Sumber hukum islam adalah suatu hal yang
sangat penting dan sangat dibutuhkan didalam kehidupan, khususnya bagi umat
islam sendiri. Dikarenakan sumber hukum islam merupakan dasar hukum yang
dipakai didalam menguhukumi suatu permasalahan yang ada baik itu yang sudah ada
hukumnya taupun masalah baru yang timbul dan belum ada hukum. Islam sebagai
agama penutup dan yang sempurna pastilah menyediakan pokok-pokok yang dapat
diterapkan didalam kehidupan kita.
Oleh kareana itu, sebagai muslim pentingnya
mempelajari dan memahami sumber hukum islam, seperti halnya dalam firman Allah dalam surat
an-nisaa ayat 59 yaitu: “Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”[1].
Dalam ayat itu dijelaskan bahwasanya
didalam persoalan, serta perbedaan pendapat hendaklah kembali kepada dua sumber
hukum islam yang utama yakni al-qur’an dan as-sunnah, tetapi dengan
berkembangnya zaman muncul persolan-persoalan yang dimana pengambilan hukumnya
kita tidak bisa ditemukan didalam al-qur’an dan as-sunnah, maka dari itu
lahirlah beberapa sumber hukum yang bersumber dari akal atau ra’yu (penalaran) yang dilakukan oleh
para mujtahid atau para ulama didalam memecahkan sebuah masalah yang baru. Tetapi
dalam pemecahan masalah tersebut para mujtahid atau ulama didalam penalarannya
berlandasan kepada sumber hukum yang utama yakni al-qur’an.
Metode atau cara yang digunakan mujtahid
didalam menetapkan hukum banyak sekali macamnya karena itu didalam sumber hukum
islam dibagai dua macam yakni sumber hukum islam yang disepakati dan yang tidak
disepakati dan kali ini yang akan dibahas dalam artikel ini adalah sumber hukum
islam yang disepakati yakni al-qur’an as-sunnah, ijma’ dan qiyas.
B.
Pengertian
Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam adalah asal (tempat
pengambilan) hukum Islam yang sudah ditetapkan atau ditentukan. Sumber hukum
Islam disebut juga dengan istilah dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau
dasar hukum Islam. Kata sumber yang juga dapat diartikan suatu tempat yang dari
tempat itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Dalam artian ini kata
“sumber” hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, karena memang
keduanya merupakan tempat yang dapat ditimba hukum syara’ tetapi kata
ini tidak mungkin digunakan untuk ‘ijma dan qiyas karena keduanya bukanlah
tempat yang dapat ditimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas keduanya itu adalah cara
dalam menemukan hukum. Kata ‘dalil’dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah,
dapat juga digunakan untuk ijma dan qiyas, karena semuanya memang mengarah
kepada penemuan hukum Allah.
1.
Al-Qur’an
a.
Pengertian
Alqur'an
secara istilah adalah Kalamullah yang
diturunkannya kepada Nabi Muhammad, dengan secara tertulis dalam mushhaf
berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, apabila
membacanya maka mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat An-Nas. “Al-Jurjani mendefinisikan Al-Qur'an: Al-Qur'an
adalah (Kalamullah) yang diturunkan kepada Rasulullah tertulis dalam mushhaf,
ditukil dari Rasulullah secara mutawatir dengan tidak diragukan.”[2]
b.
Penjelasan
Al-Qur’an Terhadap Hukum
Dari
segi penjelasan terhadap hukum, yang digunakan dalam Al-Qur’an ada beberapa
cara, yaitu:
1.
Secara Juz’i (terperinci). Dalam Al-Qur’an Allah telah memberikan
penjelasan dengan secara lengkap, sehingga dapat dijalankan dengan apa adanya,
meskipun tidak dijelaskan oleh Nabi dengan sunah-Nya. Seperti ayat-ayat tentang
“kewarisan dalam surat an-Nisa’ (4): 11 dan 12. Tentang “sanksi terhadap
kejahatan zina dalam surat an-Nur (24): 4”. Seperti yang telah dijelaskan dalam
ayat diatas, maksudnya pun sudah jelas dan juga tidak memberikan celah dengan adanya
kemungkinan pemahaman lain. Ayat tersebut termasuk ayat muhkamat, dapat dilihat dari segi penjelasan artinya.
2.
Secara Kulli (global). Secara garis besar Al-Qur’an terhadap hukum masih
berlaku, sehingga dalam pelaksanaannya masih memerlukan penjelasan. Nabi
Muhammad dan sunah-Nya itu lah yang paling berwenang dalam memberikan
penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk dalam garis besar itu.
3.
Secara Isyarah. Al-Qur’an telah memberikan penjelasan terhadap apa yang
secara lahir disebutkan di dalamnya secara ‘ibarat. Disamping itu juga dalam
maksut lain telah memberi pengertian secara isyarat.
Dengan demikian dalam satu ayat Al-Qur’an itu dapat menjelaskan beberapa
maksut.
Seperti
firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 23:
“كَرِيمٗا قَوۡلٗا لَّهُمَا وَقُل تَنۡهَرۡهُمَا وَلَا
أُفّٖ لَّهُمَآ تَقُل فَلَا”
“Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentuk mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.”
Menurut
yang tersurat (‘ibarat) ayat tersebut
merupakan: haram hukumnya berkata kasar dan menghardik orang tua. Menurut dari
yang tersirat di balik yang tersurat itu adalah haram hukumnya jika memukul dan
menendang orang tua.
Firman
Allah surat al-Baqarah ayat 233:
“بِٱلْمَعْرُوفِ وَكِسْوَتُهُنَّ رِزْقُهُنَّ لَهُۥ ٱلْمَوْلُودِ وَعَلَى”
“Dan
kewajiban ayah memberi nafkah dan pakaian terhadap keluarganya secara patut.”
Ayat
ini menurut yang tersurat (‘ibarat)
mewajibkan kepada ayah untuk menanggung nafkah dan pakaian untuk anak dan
istrinya. Dilain itu juga, ayat ini juga meng-isyarat-kan juga hubungan nasab
anak adalah kepada ayahnya, bukan kepada ibunya.
Dalam
ayat itu tidak mungkin ada maksut lain dan tidak mungkin juga ditanggapi dengan
tanggapan yang berbeda. Hukum ini yang sudah ditunjuk secara pasti berlaku juga
secara universal dan tidak akan pula mengalami perubahan walaupun waktu dan
tempatnya sudah berubah.[3]
c.
Hukum Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum
yang terkandung dalam Alqur'an, yaitu:
1. Hukum I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang
berhubungan dengan keimanan kepada Allah swt, Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul
Allah, dan kepada hari akhir.
2. Hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang
berhubungan dengan akhlak. Manusia harus mempunyai akhlak yang baik dan
menjauhi perilaku yang buruk.
3. Hukum
Amaliyah, yaitu
hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Hukum amaliyah ini ada dua
yaitu mengenai Ibadah dan
mengenai muamalah dalam
artian yang luas.[4]
d.
Cara
Al-Qur’an Menjelaskan Hukum
Al-qur’an
menjelaskan hukum ada tiga jenis:
1. Penjelasan
umum (kulli), yaitu yang menjadikan
dasar untuk menentukan hukum-hukum furu’ dengan menyebutkan kaidah-kaidah dan
prinsip-prinsip umum, seperti:
1)
Perintah musyawarah, yang telah
difirmankan oleh Allah:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. (Ali-Imran (3): 156)”
2)
Sanksi setimpal dengan
pelanggaran:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa. (asy-Syura (42): 40)”
3)
Memenuhi komitmen:
“Wahai orang-orang yang beriman,
penuhilah janji-janji. (al-Ma’idah (5): 1)”
2. Penjelasan
global (ijmali), yaitu penyebutan
hukum-hukum dengan secara global yang membutuhkan penjelasan dan perincian.
Diantaranya hukum-hukum tersebut adalah:
1)
Kewajiban shalat dan zakat,
sebagaimana Allah telah berfirman:
“Tegakkan shalat dan tunaikan zakat.
(al-Baqarah(2): 110)”
Dalam Al-Qur’an tidak memberikan
penjelasan berapa jumlah rakaat shalat dan tata caranya. Maka, sunnah lah yang
lebih menjelaskan hal tersebut secara rinci. “Rasulullah saw. bersabda:
shalatlah sebagaimana kamu melihatku shalat.” Begitu juga dengan sunnah yang
menjelaskan tentang hukum-hukum zakat, takarannya, dan nishabnya.
2)
Kewajiban haji, Allah berfirman:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. (Ali-Imran (3): 97)”
Sunnah telah merincikan dan menjelaskan
haji serta rukun-rukunnya. “Nabi bersabda: Ambillah dariku manasik-manasikmu.”
3)
Halalnya jual beli dan haramnya
riba:
“Dan Allah telah menghalalkan jual-beli
dan mengharamkan riba. (al-Baqarah(2): 275)
Sunnah telah menjelaskan jual-beli yang
halal dan yang haram, serta maksut dari riba.
3. Penjelasan
rinci (tafshili), menyebutkan hukum-hukum
dengan secara rinci. Misalnya, pembagian warisan, cara talak dan jumlahnya,
cara li’an antara suami-istri, wanita-wanita yang haram dinikahi, sebagian
hukuman yang disebut had, seperti had zina, pencurian, perampasan di
jalan, qadzaf (tuduhan zina), dan
hukum-hukum tafshil lain di dalam
Al-Qur’an.
Jika seluruh
hukum dijelaskan dengan secara detail maka hal ini justru tidak sesuai dengan
tujuan utamanya, yaitu member petunjuk dan hidayah. Sebagaimana awal adanya
hukum dalam bentuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum yang fleksibel itu
sangat relevan dengan universalitas dan keabadian syari’at, sehingga kita bisa
membangun hukum-hukum di atasnya dengan menerapkannya pada suatu kejadian
persial di masa yang berbeda-beda.[5]
2.
As-Sunnah
a.
Pengertian
As-Sunnah
ialah segala sesutau perkataan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah saw. yang
berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa
adanya 3 bentuk sunnah, yaitu Qauliyah
(berupa perkataan), fi’liyah (berupa perbuatan), dan taqririyah (berupa pengakuan/persetujuan
terhadap perkataan atau perbuatan orang lain).
Sunnah
qauliyah lebih sering disebut hadis adalah seperti Sabda Nabi saw.
“.نَوَى مَا امْرِئٍ لِكُلِّ
وَإِنَّمَا بِالنِّيَّاتِ اْلأَعْمَالُ
إِنَّمَا”
“Semua amal perbuatan
tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang
diniatkan.”
Sunnah
fi’liyah atau amaliyah seperti hadis-hadis yang diriwayatkan tentang perbuatan,
misalnya wudhu’ Nabi saw., shalatnya, hajinya, setiap keputusan terhadap suatu
perkara dengan seorang saksi dan sumpah yang terdakwa, dipotongnya tangan kanan
seorang pencuri dan sebagainya.
Sunnah
taqririyah ialah pengakuan/ pembenaran Nabi saw. terhadap perkataan atau
perbuatan yang sumbernya berasal dari sahabatnya, baik dengan diamnya ataupun
dengan tidak diingkarinya ataupun dengan menyatakan persetujuannya, baik
perbuatan atau perkataan sahabat itu dilakukan didepan ataupun dibelakangnya.
Pembenaran terhadap perbuatan/perkataan sahabat dipandang sebagai hadis beliau
juga, karena sekiranya perbuatan/perkataan sahabat itu mungkar tentu beliau
melarangnya, sebab Rasul sebagaimana difirmankan Allah:
“.الْخَبَائِثَ عَلَيْهِمُ وَيُحَرِّمُ الطَّيِّبَاتِ لَهُمُ وَيُحِلُّ الْمُنْكَرِ عَنِ
وَيَنْهَاهُمْ بِالْمَعْرُوفِ يَأْمُرُهُمْ”
“Menyuruh
mereka berbuat ma’ruf, melarang mereka dari berbuat munkar, menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan atas mereka segala yang buruk.”[6]
b.
Macam-Macam
Sunnah
Menurut
pengertian ahli ushul, sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas terbagi
menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Sunnah qauliyah, yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh para sahabat dan
disampaikan kepada orang lain. Misalnya sahabat menyampaikan bahwa ia telah
mendengar Nabi bersabda, “siapa yang tidak shalat karena tertidur atau karena
ia lupa, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia telah ingat.”
2.
Sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad
saw. yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikannya kepada
orang lain dengan ucapannya. Misalnya sahabat berkata, “saya melihat Nabi
Muhammad saw. melakukan shalat sunat dua rakaat sesudah shalat dzuhur.”
3.
Sunnah taqririyah, yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang
dilakukan dihadapan atau dengan sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi
atau dilarang oleh Nabi. Dengan diamnya Nabi itu disampaikanlah oleh sahabat
yang menyaksikannya itu kepada orang lain dengan perkataannya. Misalnya ada seorang sahabat tengah memakan
daging dhab tersebut di depan Nabi.
Nabi pun juga mengetahui apa yang tengah dimakan oleh sahabat itu, namun Nabi
tidak melarang ataupun menyatakan keberatan atas perbuatan itu. Dengan kisah
tersebut disampaikanlah oleh sahabat yang mengetahuinya dengan perkataannya,
“Saya melihat seorang sahabat memakan daging dhab di dekat Nabi. Nabi
mengetahui, tetapi Nabi tidak melarang perbuatan itu.”[7]
Macam-macam
sunnah dari segi sanadnya, yang dimaksut dengan sanad adalah para perawinya.
Dari segi ini sunnah dibagi menjadi tiga macam jika sanadnya bersambung.
1.
Sunnah mutawatirah, yaitu sunnah yang telah diriwayatkan dari Nabi
Muhammad saw. oleh sekelompok
orang yang secara akal tidak mungkin sekelompok orang itu berbohong terhadap
sunnah tersebut. Kategori ini termasuk sunnah ‘amaliyah yang menjelaskan ketentuan zakat, tata cara haji, dan
tata cara shalat serta rukun-rukunnya.
2.
Sunnah masyhurah, yaitu yang diriwayatkan dari Nabi oleh banyak orang
namun jumlah mereka tidak sampai pada batas mutawatir,
kemudian menjadi sangat dikenal dengan (masyhur)
kemudian diriwayatkan oleh sebanyak orang yang ada di dalam riwayat mutawatir di masa tabi’in dan
tabi’ut-tabi’in.
3.
Sunnah ahad, yaitu yang telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. oleh
sejumlah orang yang tidak sampai pada batas mutawatir
dan tidak masyhur setelah itu, yakni
bukan sunnah mutawatir dan masyhur.[8]
c.
Fungsi
Sunnah
Sumber
hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an yaitu as-sunnah. Sebagaimana yang
telah kita ketahui, bahwa Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang masih mujmal (umum), maksudnya maka ayat-ayat
yang seperti ini masih memerlukan penjelasan yang telah diberikan oleh
Rasulullah dengan melalui sunnahnya. Karena fungsi sunnah/hadis terhadap
Al-Qur’an sendiri adalah memberi penjelasan/menguatkan hukum yang telah
ditetapkan oleh Al-Qur’an. Fungsi as-sunnah sendiri terhadap Al-Qur’an secara
umum, yaitu:
1.
As-sunnah menjelaskan pernyataan
Al-Qur’an yang bersifat umum, misalnya dalam surah Al-Baqarah ayat 110 yang
menjelaskan tentang perintah shalat, dalam aya tersebut kata shalat masih
bersifat umum, maka as-sunnah menjelaskan secara operasional, baik dari
kaifiyatnya/tata cara shalat (bacaan dan gerakannya). “Nabi bersabda: shalat
kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat (Al-Hadis)”. Dengan demikian pula
shalat tersebut memiliki status hukumnya wajib atau sunnah, misalnya mana
shalat yang wajib dan shalat mana yang sunnah. “Ketika ada seorang arab Badui
bertanya kepada Rasulullah: wahai Rasulullah beritahukan kepadaku shalat yang
difardhukan untukku? Rasulullah berkata: shalat lima waktu, yang lainnya adalah
sunnah. (HR. Bukhari dan Muslim)”
2.
As-sunnah memberikan batasan
maksimal terhadap apa-apa yang telah dinyatakan oleh Al-Qur’an, misalnya
tentang wasiat, mengenai hal ini as-sunnah telah memberikan batasan mengenai
banyaknya wasiat agar tidak melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan.
Hal ini juga telah disampaikan oleh Rasululah saw. “dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqash ra. Yang
menanyakan kepada Rasulullah saw. tentang jumlah wasiatnya, Rasulullah
memberikan wasiat seluruhnya, tetapi hanya menyetujui sepertiga dari jumlah
harta yang ditinggalkan.”
3.
As-sunnah sebagai penguat hukum
yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an seperti menetapkan hukum, sebagaimana yang
telah Allah firmankan di dalam surah Al-Baqarah ayat 183:
لَعَلَّكُمْ قَبْلِكُمْ مِنْ الَّذِينَ عَلَى
كُتِبَ كَمَا الصِّيَامُ عَلَيْكُمُ كُتِبَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يَاأَيُّهَا ”
“تَتَّقُون
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkannya atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.”
Dalam ayat tersebut memiliki kandungan
atas kewajiban puasa, yang telah dikuatkan oleh as-sunnah “dengan sabda Rasul:
Islam didirikan di atas lima perkara; persaksian tiada Tuhan melainkan Allah,
Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa pada
bulan Ramadhan, dan pergi haji ke Baitullah. (HR. Bukhari dan Muslim)”[9]
d.
Kedudukan
Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Sunnah
merupakan sumber pertama setelah Al-Qur’an. Karena sunnah merupakan penjelas
dari Al-Qur’an, maka yang dijelaskan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada
yang menjelaskan. Namun, kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an sekurang-kurangnya ada tigal berikut ini:
1.
Sunnah sebagai ta’kid (penguat) Al-Qur’an
Hukum islam
disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Jadi tidak heran
jika banyak sekali sunnah yang menjelaskan tentang kewajiban shalat, zakat,
puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
2.
Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an
Sunnah sebagai
penjelas (bayanu tasyri’) yang sesuai
dengan firman Allah surat An-Nahl ayat 44:
“.يَتَفَكَّرُونَ وَلَعَلَّهُمْ إِلَيْهِمْ نُزِّلَ مَا
لِلنَّاسِ لِتُبَيِّنَ ٱلذِّكْرَ إِلَيْكَ وَأَنزَلْنَآ”
“Telah Kami turunkan kitab kepadamu
untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa yang diharamkan kepada mereka,
supaya mereka berfikir.”
Maka sudah jelas bahwa sunnah itu sangat
berperan penting dalam menjelaskan maksut-maksut yang terkandungn dalam
Al-Qur’an, sehingga dalam memahami Al-Qur’an dapat menghilangkan kekeliruan.
Bahwasannya penjelasan sunnah terhadap
Al-Qur’an dapat dikategorikan dalam tiga bagian:
1)
Penjelasan terhadap hal yang
global, seperti diperintahkannya shalat namun dalam Al-Qur’an sendiri tidak
diiringi dengan penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan
shalat lainnya. Dalam hal itu telah dijelaskan oleh sunnah sebagaimana sabda
Rasulullah saw.:
“.أُصَلِّي رَأَيْتُمُونِي كَمَا صَلُّوا”
“Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu
telah melihat saya shalat.”
2)
Penguat secara mutlaq, sunnah merupakan sebagai penguat
terhadap dalil-dalil umum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
3)
Sunnah sebagai takhsis, dalil-dalil Al-Qur’an yang
masih umum.
3.
Sebagai Musyar’I (Pembuat Syari’at)
Sunnah sudah
tidak diragukan lagi yang merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam
Al-Qur’an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunnahkannya aqiqah, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:
1)
Sunnah itu memuat hal-hal baru
yang belum ada dalam Al-Qur’an.
2)
Sunnah yang tidak memuat hal-hal
baru yang tidak ada dalam Al-Qur’an, tetapi hanya saja memuat hal-hal yang ada
landasannya dalam Al-Qur’an.[10]
1.
Ijma’
a.
Pengertian
Ijma’ menurut bahasa
, yaitu إمجما ع bermakna dua pengertian ;
a)
Ijma’ yang
bermakna م عل الشئي المز “keputusan berbuat sesuatu atau ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu”. Seperti halnya firman Allah pada surat yunus ayat 71 :
فَأَجْمِعُوٓا۟
أَمْرَكُمْ وَشُرَكَآءَكُمْ
Artinya : “....karema itu bulatkan keputusan dan (kumpulkanlah)
sekutu - sekutumu (untuk membinasakanku)”.
Demikian
pula dalam hadist Nabi SAW yang berbuyi;
لاَ صيَامَ لمَن لَم يَجمَعَ الصيَامَ من اللَيل
Artinya: “tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa
sejak malam”.
b)
Ijma’yang
bermakna “sepakat”, seperti halnya pengertian ijma’ ini sejalan dengan firman
Alllah yakni surat Yusuf ayat 15:
فَلَمَّا ذَہَبُوۡا بِہٖ وَ اَجۡمَعُوۡۤا اَنۡ
یَّجۡعَلُوۡہُ فِیۡ غَیٰبَتِ الۡجُبِّ
Artinya: “ Maka
tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur”.[11]
Sedangkan
menurut syara’ (menurut jumhur) adalah kesepakatan mujtahid (seluruhnya) umat
islam dicocokkan masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW tentang hukum syara’
yang amali.[12]
Atau
definisi lainnya adalah sebuah pandangan para sahabat Nabi dan pencapaian
persetujuan dalam berbagai keputusan dan dilakukan oleh para ulama,fuqoha atau
mufti yang ahli didalam banyaknya persoalan dinul islam.[13] sejalan
dengan itu juga terdapat pada firman Allah surah Ali-Imron ayat 159 :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ
ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ
حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ
ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
[246]
“Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan
politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya”.
Adapun
dalam istilah syari’nya memiliki beberapa perbedaan definisi dari para ulama,
pendapat mereka mengenai deinisi ijma’ sebagai berikt:
1)
Menurut
Al-Ghozali ijma’ adalah “ kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas
suatu agama”.
2)
Menurut
Al-Amidi , ijma’ adalah : “ kesepakatan sejumlah ahlul halli wal’aqd
(para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa
atas hukum suatu kasus”.
3)
Definisi yang
berbeda dikemukakan oleh ulama syi’ah secara substantial, yakni dalam kata “
semua” tetapi xukup dalam kata “ kelompok atau beberapa orang ‘ asalkan kelompok
tersbeut memiliki wewenang dalam menetapkan hukum. Yang berbunyi; “ kesepakatan
suatu komunitas yang kesepakatan mereka memiliki kekuatan dalam menetapkan
hukum syara’”.
4)
Menurut Ibnu
Hazmi, ijma’ adalah “ kesepakatan ulama islam tentang nash, baik dari al-qur’an
maupun sunnah”.
5)
Menurut
Al-Nazham, ijma’ adalah “setiap perkataan yang hujahnya tidak dapat
dibantah” dll.[14]
6)
Menurut
pengarang kitab Fushulul Bada’i, ijma’ adalah “sebuah kesepakatan semua
mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW, dalam suatu masa setelah beliau wafat
terhadap hukum syara”.
b.
Kedudukan
ijma’
Menurut
jumhur ulama kedudukan ijma sebagai dalil hukum sesudah al-qur’an dan sunnah.
ijma juga menetapkan hukum wajib dan mengikat yang harus dipatuhi oleh umat
islam setelah kedua hukum yang utama (al-qur’an dan sunnah)[15].
pernyataan ini dikuat dengan beberapa ayat al-qur’an dan hadist nabi sebagai
berikut;
1)
Surah an- Nisa
ayat 115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya:”dan
Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
[348] Allah
biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
2)
Surah al-
Baqarah ayat 143
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ
ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ
Artinya :” dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.
[95] “Umat
Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi
atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di
akhirat”.
3)
Surah Ali Imran
ayat 110
4)
Sirah Ali Imron
ayat 103
5)
Surah an-Nisa
ayat 59
Adapun
hadist nabi sebagai berikut: “umatku tidak akan sepakat untuk melakukan
kesalahan. Umatku tidak akan sepakat melakukan kesesatan. Allah tidak akan
membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan”[16]
c.
Pendapat
para ulama tentang batasan ijma’
Menurut
Ahl al-Sunnah memposisikan ijma’ sebagai dalil yang dapat berdiri sendiri
setelah dua sumber hukum sebelumnya (al-qur’an dan sunnah) akan tetapi didalam
ijma juga terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan adanya pembatasan dan
persyaratan, baik dari batasan dalam pendefinisiannya dan lain sebagainnya.
1)
Keikutsertaan
kalangan awam dalam ijma’
Banyak
pendapat mengenai hal ini, yakni ada diperhitungkan atau tidaknya, tetapi menurut jumhur ulama suara kalangan awam
tidak diikutkan (diperhitungkan) dalam melakukan ijma’. Kemudian sebagian kecil
ulama berpendapat bahwa suara kalangan awam dapat diikutsertakan dalam
melakukan ijma’ beberapa ulama yang sejalan dengan ini adalah Qadhi Abu Bakar
dan juga Amidi.[17]
2)
Ijma’ sesudah
masa sahabat
Dalam
hal ini juga banyak perbedaan pendapat, banyak ulama berpendapat bahwa ijma’
memiliki kekuatan hujjah dan pemakaiannya tidak terbatas pada masa sahabat saja
tetapi dapat digunakan pada setiap masa dengan ketentuan hujjah tersendiri
pendpat ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama dan menurut pendapat lainnya
yang berbeda, salah satunya adalah Daud al-Zhahiri serta pengikutnya dan imam
Ahmad ijma yang memiliki daya hujjah adalah ketika masa sahabat.[18]
3)
Kesepakatan
mayoritas
Menurut
jumhur ulama berpendapat, ijma’ tidak sah bila hanya mayoritas menyetujui dan
sebgian lagi ada yang tidak setuju atau menentangnya. Pendapat lainnya yakni
jika jumlah minoritas mencapai mutawatir maka ketidak setujuan mereka
menyebabkan ijma tidak dilaksanakan, tetapi jika tidak sampai mutawatir makaketidak
setujuan mereka tidak berpengaruh dan masih banyak lagi pendapat lainnya.[19]
4)
Kesepakatan
ulama madinah
Jumhur
ulama berpendapat bahwa kesepakatan ini bukanlah ijma’ dan tidak memiliki
kekuatan hujjah. Karena dalil- dalil kehujjahan tersebut itu mencangkup ulama
diluar madinah juga. Sedangkan ulama malikiyah kesepakatan ini merupakan ijma
dan memiliki kekuatan hujjah terhadap ulama yang menyalahhkannya.[20]
5)
kesepakatn ahlu
al-bait
menurut
ulama syi’ah ahlu al-bait yaitu keturunan Nabi Muhammad dari putrinya Fatimah
dan Ali. Dan mereka berpendapat kesepakatn ahlu al-bait dalam ijma’ memiliki
kehujjahan (memiliki kekuatan hukum), mereka berlandasan pada ayat al- ahzab
ayat 33 serta hadist nabi yang berbunyi, “perkenankan aku meninggalkan pada
kalian dua pedoman. Apabila kalian berpegang teguh pada keduannya,niscaya
kalian tidak akan sesat, yaitu kitabulloh dan keluargaku”. Namun pendapat
ini ditolak oleh seluruh ulama Ahl
al-sunnah karena yang dimaksud mahsum disini bukanlah ahlu al –bait saja
melainkan umat secara keseluruhan.[21]
6)
Kesepakatan
Khulafaur Rasyidin
Menurut
Ahmad ibn Hambal kesepakatan ini tidak bisa dikatakan ijma’ tetapi bisa gunakan
sebagai hujjah. Imam Ahmad dalam periwayatannya mengatakan bahwa kesepakatan
ini termasuk ijma’ yang mengikat, akan tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa
kesepakatan ini bukanlah ijma’ dan tidak termasuk hujjah. Sedangkan yang
mengatakan bahwa kesepakatan khulafaur rasyidin sebagai ijma’berdasarkan hadist
nabi yakni “ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin sesudahku” dan
masih banyak lagi perbedaan pendapat lainnya.[22]
d.
Macam-
macam ijma’
Dilihat
dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma,maka dibagi menjadi beberapa
bagian yaitu:
1)
Ijma’ al-Ummat
(إجماع الأمة
) ijma’inilah yang dimaksudkan dengan dermisi pada awal pembahasan ini.
2)
Ijma’ Ash-
Sahabat (إجماع الصحابة) adalah persesuaian paham segala ulama sahabat terhadap suatu
urusan
3)
Ijma’ Ahl
al-Madinah (إجماع اهل المدينة) adalah persesuaian paham ulama- ulama ahli madinah terhadap
sesuatu kasus, dan ijma ini menurut imam Maliki adalah sebuah hujjah.
4)
Ijma’ Ahl
al-Kuah (إجماع اهل الكوفة) yakni dianggap sebagai hujjah oleh imam Hanifah.
5)
Ijma’
Al-Khulafa’ al-Arba’ah (إجماع الخلفاءالاربعة) yakni dianggap hu jjah oleh beberapa
ulama didasari oleh hadist, “kamu wajib mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin sesudahku” (hadist ini diriwayatkan oleh Ahmad,Abu Daud dan
At-Turmudzi).
6)
Ijma’
Al-Syayhayni (إجماع الشيخين) adalah sebuah persesuaian dari paham Abu Bakar dan Umar dalam
suatu hukum, dan Iijma’ ini dianggap hujjah oleh sebagian ulama atas dasar
hadis, “ ikutlah atau teladanilah kedua orang ini sesudahku, yaitu Abu Bakar
dan Umar”.
7)
Ijma’Al-Itrah ( إجماع العترة) adalah sebuah persesuaian paham
ulama-ulama Ahli Bait.[23]
Dan
jika dilihat dari segi terjadinya dan kedudukan ijma’ ada dua macam ijma’
yaitu:
a)
Ijma’ Al-Sharih
(جماع الصاريحإ )
Adalah
ijma’ persetujuan ketegasannya bisa melewati ucapan maupun dengan perbuatan.[24] Yang dilakukan oleh semua mujtahid menyampaikan
pendapat- pendapat mereka kemudian memilih salah satu untuk disepakati. Hal ini
bisa dilakukan ketika para mujtahid berkumpul dan mengemukakan pendapat mereka
dan juga apabila muncul suatu peristiwa yang perlu di ijma’kan.[25]
Dalam kehujjahan ijma’ ini jumhur ulama
bersepakat bahwa hujjah jima ini wajib diamalkan dan haram untuk menolaknya
atau disebut qath’i. sedangkan dalil yang menjadi sandaran adalah surat an-nisa
ayat 115.[26]
b)
Ijma’ sukuti (إجماع السكوتى)
Adalah
ijma’ persetujuan ketegasannya dinyatakan oleh mujtahid,dan sebagian diam, serta
tidak jelas apakah apakah mereka menyetujui atau malah menentangnya.[27] dan
di dalam ijma’ ini memiliki kriteria yang harus dipenuhi yakni, 1) mujtahid
diam karena menunjukkan persetujuannya ataupun penolakannya, 2) keterdiaman
mereka memakan waktu cukup lama, yang
dikira untuk berpikir didalam permasalahan tersebut, 3) permasalahan yang
dibahas haruslah permasalahan ijtihad dan bersumber dari dalil zhanni.[28]
e.
Naskh
( pembatalan) ijma’
Kemunculan
naskh ijma’ ini dikarenakan ijma’ yang sebelumnya sudah tidak berlaku lagi atau
muncul suatu hukum baru (berbeda) dialam menghukumi suatu permasalahan dari
ijma’. Sejatinya naskh ini tidak berlaku keculai dalam penetapan hukum yang
ditetapkan dengan nash (al-qur’an dan hadist), dikarenakan naskh ini berlaku
pada masa nabi ketika hidup saja karena tidak akan terjadi naskh karena
pembatalan ijma ini berdasarkan hukum yang ra’yu yang merujuk pada nash.
Sedangkan menurut para ulama tentang naskh sebagai berikut:
1)
Jumhur ulama
menyatakan bahwa naskh tidak berlaku pada ijma’.
2)
Sebagian ilama
diantaranya Mu’tazilah dan Fakhrur Razi berpendapat bahwa ijma’ dapat di
naskhkan.[29]
f.
Contoh
–contoh ijma’
Beberapa
contoh berikut merupakan hasil yang didasarkan pada
proses ijma:
1) seperti halnya pada keabsahan kontrak dalam
pemebelian barang yang A’dul Istitsna ( diolah) berdasarkan pada ijma’
2) Biasanya
pada hukum jual beli yang barangnya yang belum ada adalah tidak sah
kerena barang tersebut belum pasti. Dan para ulama menyepakati untuk
memperbolehkan hal tersebut karena bertujuan utuk memperoleh jalan keluar yang
mudah.
3) dalam aspek
warisan, juga sudah disepakati jika seseorang ditinggal mati oleh ayahnya, maka kakeknya juga memperoleh hak
warisan bersamaan dengan anak laki-laki yang bagianya itu diambil dari bagian
dari ayahnya.
4) serta dalam masalah hukum keluarga juga sudah
disepakati bahwa dilarangannya menikah dengan nenek dan cucu perempuan (
sekalipun jaraknya jauh) , dikarenakan dalam Al-qur’an menjelaskan tentang
larangan menikah dengan ibu dan anak perempuan, kerana hukum pelarangan
tersebut diberlakukan sama.[30]
2. Qiyas
a. Pengertian
Menurut
bahasa qiyas berarti menyamakan (musawah) dan mengukur (taqdir).[31]
Sedangkan kan menurut ulama fiqih qiyas menurut istilah adalah menyamakan suatu masalah baru yang tidak ada
ketentuan hukumnya dalam Al-qur’an dan Sunnah nabi dengan masalah yang memang
sudah ada hukumnya didalam Al-qur’an dan Sunnah yang berdasarkan dengan adanya
persamaan illat hukumnya.[32]
b.
Rukun
qiyas
Dalam
qiyas memiliki 4 rukun nyaitu:
1) Maqis ‘alaihi (ashal= pokok (tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya))
Adalah
suatu hukum yang di-nash-kan untuk di qiyaskan, dan dalam ushul fiqh disebut
Al-maqis alih, Al-Ashlu dan Al-Musyabah bihi. Dalam ashla ini haruslah berupa
nash yakni al-qur’an,sunnah atau ijma, serta dalam kandungannya harus terdapat illat hukumnya.[33]
Syarat- syaratnya antara lain:
·
Terdapat dalil atau petunjuk diperbolehkannya
pengqiyasan tersebut, baik dalam nau’I atau lingkungan yang sempit atau
terbatas (syakhi) menurut Utsman ibn Muslim.
·
Didalam adanya illat harus ada kesepakatan ulama
didalam ashal maqis ‘alaih menurut Basyri al-Marisi.[34]
2) Maqis (furu’= cabang (sesuatu yang kan disamakan hukumnya dengan ashal))
Adalah
suatu hukum yang tidak dinashkan , dalam istilahkan ushul fiqh yakni Al-Fa’ru,
Al-Musyabah dan Al-Maqis adapun syarat- syarat yang harus dipenuhi adalah:
·
Cabang tidak
memiliki hukum sendiri.
·
Dalam cabang
dan ashal harus memiliki illat hukum yang sama.
·
Cabang tidak
boleh mendahului ashal.
·
Hukum yang ada
dalam cabang dan ashal sama.[35]
3) Illat
Adalah
“ washaf yang nyata lagi tetap yang melengkapi pengertian yang munasabah dengan
hukum. (seperti mabuk, illat haram meminum minuman keras)”.[36]
Syarat- syaratnya yaitu:
·
Sifatnya nyata
(jelas) dan dapat diindrai, walaupun tanpa tahu dengan jelas illatnya.
·
Bersifat tegas
dan tertentu yakni dapat dipatkan dalam wujud cabang.
·
Keterkaitan illat hukum dengan hukum illat
karena ilat merupakan penerapan hukum unutuk mencapai maqasidu syari’ah.
·
Illat sejalan
dengan nash, dan jika berlawanan maka nashnya didahulukan.
·
Illat bukan
termasuk sifat yang adapada ashal, karena sifat tersebut hanya ashal saja dan
tidak bisa dianalogikan.[37]
Adapun macamnya illat ada 4 macam yaitu:
o Munasib muatssir
o Al- munasib al-mula’im
o Munasib mulgha
o Al- munasib al-mursal atau al-mursal al-muthlak
4) Hukum pokok (hukum ashal)
Adalah
hukum syara yang dinashkan pada ashal dan akan dijadikan hukum pada furu’.dan
syarat- syarat yang harus dipenuhi adalah:
·
Haruslah hukum
amaliah.
·
Dalam hal
persyariatannya harus rasional atau ma’qul al-ma’na.
·
bukan termasuk
hukum khusus.
·
Hukum ashal adalah
hukum yang berlaku (bukan termasuk hukum yang sudah dimansukhkan)
c. Qiyas sebagai dalil hukum syara’
Menurut
Muhammad Abu Zahra membagi 3 kelompok dalam hal penerimaan ulama terhadap qias
sebagai berikut:
1)
Golongan Jumhur
Ulama menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Penggunaan qiyas ini dilakukan
untuk mencari hukum yang tidak ada pada sumber hukum tiga (al-qur’an , sunnah
dan ijma’), tetapi dalam prakteknya qiyas digunkan secara tidak berlebihan.
2)
Golongan ulama
Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah, mereka dengan mutlak menolak pemakaian qiyas,
Zhahariyah juga menolak penggunaan illat dalam suatu hukum serta berpendapat
tidak perlu mengetahui tujuan suatu hukum syara’.
3)
Dan kelompok
ini menggunakan qiyas secara mudah dan luas.kelompok ini menyatukan dua hal
yang tidak jelas (terlihat) kesamaan illat keduanya, terkadang memberikan
kekuatan yang tinggi terhadap qiyas dan karena itu berakibat membatasi keumuman
beberapa dalil al-qur’an dan sunnah.
Beberapa
dalil yang digunakan jumhur ulama dalam penerimaan qiyas sebagai hukum syara’ :
a)
Dalil al-qur’an
Yakni
dalam surat Yasin ayat 78-79 yakni Allah memberika petunjuk penggunaan qiyas,
kemudian juga pada surat Al-Hasyr ayat 2 tentang Allah memerintah digunakannya
qiyas., lalu dalam sura Ali Imron ayat 13 dan juga dalam surat An-Nisa ayat 59.
b)
Dalil sunnah
Diantara
dalil sunnah yang digunakan jumhur ulama sebagai penggunaan qiyas adalah hadist
dialog Nabi Muhammad dengan Muaz ibn Jabal ketika ia ditugaskan ke Yaman untuk
menjad i penguasa, dan juga petunjuk yang diberika Nabi kepada sahabat tentang
penggunaan qiyas didalam keputusan didalam membandingkan hal tersebut.
c)
Atsar Shahabi
Menurut
pendapat jumhur ulama adalah dalam surat Umar Ibn Khatab untuk Abu Musa
Al-Asy’ari ketika dia ditugaskan ke Yaman untuk menjadi qodhi, para sahabat seringkali
perpendapat dengan didasari dengan qiyas.[38]
Dari
banyaknya para ulama menerima penggunaan qiyas didalam hukum syara’ ada juga
yang menolak pqnggunaan qiyas dalam hukum syara’contohnya saja yakni, Syi’ah
Imamiyah, Al-Nazham, ahlu Zhahiri dan masih banyak lagi diantaranya.[39]
d.
Macam-
macam qiyas
Terbagi
menjadi dua macam yaitu:
1) Al-qiyas al-jali ( qiyas yang nyata)
Dalam
qiyas ini dicontohkan tentang minuman beralkhol yang diharamkan karean
menyebabkan mabuk dan hal itu dilarang dalam agama.
2) Al-qiyas al-khafi ( qiyas tersembuyi)
Sedangkan
dalam contoh ini adalah Allah sudah memerintahkan kepada hambanya untuk
membayar zakat. Kemudian Nabi menjelaskan tentang cara untuk membayar zakat
tersebut. Serta mewajibkan didalam sabdahnya tentang pemeliharaan hewan kambing
harus dizakati yakni jika sudah mencapai 40 ekor kambimg, dan karena hal itu
jika kita memberikan hewan kamibing kepada orang miskin dikhawatirkan kurang
bermanfaat untuk orang tersebut. Dan sebab tersebut diperbolehkan memberikan
uang dari hasil penjualan kambing tersebut yang diharap lebih bermanfaat
ketimbang kita memberikan seekor kambing.[40]
e. Contoh- contoh qiyas
1) Hukum minum khamer yaitu “haram” karena
sudah ditegaskan didalam nash. Dan illah hukum haram ini adalah “ memabukkan”,
maka karena itu dapat disimpulkan bahawa dalam minuman perasan ( nabidz) yang
terdapat efek memabukkan maka hukumnya haram dengan meng-qiyas- kan kepada hukum meminum khamer tersebut.
2)
Didalam hadist
nabi diterangkan bahwa adanya larangan jika tiga orang yang berada dalam suatu
majelis, janganlah diantara dua orang tersebut berbicara berbisik-bisik, dan
orang ketiga tidak dilibatkan didalam pembicaraan tersebut. Karena adanya
larangan tersebut mencegah rasa kecemburuan orang ketiga, atau ia merasa
dibicarakan diantara keduanya atau lain sebagainnya, kemudian muncul masalah
baru yakni jika kedua orang tersebut dari ketigannya itu berbicara dengan suara
keras, bagaimana hukumnya?. Sebagai contoh, dari tiga orang tersebut dua
diantaranya dari suku Bugis dan yang ketiga berasal dari suku jawa yang tidak
paham bahasa Bugis. Maka ketika dua orang dari suku Bugis berbicara dengan
bahasa Bugis walaupun dengan suara yang
cukup keras dan dapat didengarkan oleh orang jawa tersebut, pastinya orang
ketiga tersebut juga merasa kurang senang karena hal tersebut. Maka dari itu
masalah ini dapat diqiyaskan yakni berbicara cukup keras tetapi tidak dapat diketahui
atau dipahami orang ketiga, maka hukumnya disamakan dengan hukum dilarannya
berbisik- bisik, hal ini disebabkan illat hukum larangan ini juga ada didalam
berbicara keras yakni tidak dipahami oleh orang ketiga.[41]
3) Ahli waris (warits) yang membunuh orang yang mewariskan (muwarrits)
merupakan suatu masalah yang sudah ditegaskan hukumnya didalam nash, yakni
pembunuh tersebut terhalang atau tidak bisa mendapatkan warisan tersebut. Dan illat hukumnnya yaitu ketergesa-gesaan
warits ( ahli waris) didalam mendapatkan warisan sebelum waktunya, maka
hukumannya adalah ahli waris tidak mendapat warisan tersebut. Dan permasalahan
baru yang muncul yakni pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang mendapat
wasiat ( musha lahu) kepada mushil ( pemberi wasiat) yang merupakan sebuah
kasus yang belum ada hukumnya didalam nash, namun karena illatnya sama dengan
masalah yang diatas ( warist membunuh muwarrits) yakni ketergesa- gesa untuk
memiliki sesuatu sebelum waktunya tiba, maka pengambilan hukumnya sama,yaitu
terhalangnya penerima wasiat untuk mendapatkan haknya dalam wasiat tersebut.[42]
C.
Penutup
Dari hasil penjabaran diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwasannya
dalam ushul fiqh bertemakan
sumber hukum islam yang disepakati ada beberapa macam pembahasan yaitu
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas, merupakan sumber hukum islam itu sendiri digunakan dalam mencari
hukum didalam suatu permasalahan yang ada. Al-Qur’an sendiri yaitu Kalamullah yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad,
dengan secara tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita
dengan jalan mutawatir. Bahwasannya setiap orang yang membacanya maka
akan bernilai ibadah, namun dalam Al-Qur’an sendiri terdapat banyak pembahasan
diantaranya yaitu penjelasan
Al-Qur’an terhadap hukum, hukum yang
terkandung dalam Al-Qur’an, dan cara Al-Qur’an
menjelaskan hukum. Sedangkan Sunnah yaitu sesutau
perkataan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah saw. yang berposisi sebagai
petunjuk dan tasyri’. Oleh sebab itu,
sunnah
terhadap Al-Qur’an sendiri adalah memberi penjelasan/menguatkan hukum yang
telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Ijma’ memiliki arti pandangan para
sahabat Nabi dan pencapaian persetujuan dalam berbagai keputusan dan dilakukan
oleh para ulama, fuqoha atau
mufti yang ahli didalam banyaknya persoalan dinul islam. Dalam ijma’ sendiri terdapat pendapat ulama’, diambil menurut
Ahl al-Sunnah bahwasannya ijma’
memposisikan sebagai dalil yang dapat berdiri sendiri setelah dua sumber hukum
sebelumnya (al-qur’an dan sunnah) akan tetapi didalam ijma juga terdapat
perbedaan pendapat berkaitan dengan adanya pembatasan dan persyaratan, baik
dari batasan dalam pendefinisiannya dan lain sebagainnya. Yang terakhir yaitu Qiyas yang memiliki
arti menyamakan suatu masalah baru yang tidak memiliki ketentuan hukumnya
dalam Al-qur’an dan Sunnah Nabi dengan masalah yang memang sudah ada hukumnya didalam Al-qur’an
dan Sunnah yang berdasarkan dengan adanya persamaan illat hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman ,A. 2002. Penejelasan
Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah).RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Ali,Zainuddin. 2006.Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Sinar Grafika.
Jakarta.
Djazuli,A. 2005. Edisi Revisi Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan
Penerapan Hukum Islma. Kencana.
Jakarta.
Zaidan, Abdul Karim. 2008. Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam. Rabbani Press. Jakarta.
Rahman , Abdur.1993. Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam., Rineka Cipta.Jakarta.
Syarifuddin,Amir.2008. Ushul Riqih jilid 1.Kencana. Jakarta.
Abdullah, Sulaiman. 1995.Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Sinar
Grafika. Jakarta.
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hsbi Ash.1999. Pengantar
Ilmu Fiqh. Pustaka Rizki Putra.
Semarang.
Syafe’i, Rachmat.2007. Ilmu Ushul Fiqih
untuk UIN, STAIN,PTS. Pustaka Setia. Bandung.
Sulistiani,Siska Lis. Maret, 2018. Perbandingan
Sumber Hukum Islam. Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1 No.1.
Abdullah,Sulaiman. Oktober 1995. Sumber Hukum
Islam. Jakarta: Sinar Grafika, Cet.
Pertama,.
Catatan:
1.
Similarity 11%.
2.
Membuat makalah
harus jelis. Jika ada beberapa referensi membahas persoalan yang sama, yang
harus dilakukan adalah menggabungkan menjadi satu, bukan dengan menuliskannya
masing-masing. Makalah ini banyak yang mengulang pembahasan karena tidak paham
prinsip itu.
3.
Penulisa gelar
(Prof., Dr., Ustadz, dll) dalam tulisan ilmiah hendaknya dihilangkan, terlebih
lagi dalam footnote.
4.
Macam-macam
qiyas perlu disebutkan variannya yang lain.
[1] Al-qur’an
terjemah.
[2]Siska Lis
Sulistiani, Perbandingan Sumber Hukum Islam, Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1 No.1 (Maret, 2018),
hlm. 105.
[5] Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah :
Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, (Jakarta: Robbani Press, Cet. 1,
2008), hlm. 233-236.
[6]Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Pertama, Oktober 1995), hlm. 20-21.
[9] Zainuddin
Ali, M.A., Hukum Islam: Pengantar Ilmu
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet.1, Oktober 2006),
hlm. 33-34.
[11] Amir
Syarifuddin,Ushul Fiqih
jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm 276.
[12] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum
Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Sinar Grafika, Jakarta, 1995,hlm 42.
[13] Abdur
Rahman, Shari’ah Kondifikasi Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta,1993,
hlm 98-99.
[14] Amir
Syarifuddin,Ushul Fiqih
jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm 276-279.
[15] Amir
Syarifuddin ,Ibid, hlm 283.
[16]Amir
Syarifuddin, Ibid,hlm 185.
[17]Amir Syarifuddin,
Ibid, hlm 286- 287.
[18] Amir
Syarifuddin ,Ibid, hllm 287-288.
[19] Amir
Syarifuddin,bid, hlm 288.
[20] Amir
Syarifuddin ,Ibid, hlm 289-291.
[21] Amir
Syarifuddin ,Ibid, hlm 291-292.
[22] Amir
Syarifuddin ,Ibid, hlm 293-n295,
[23]
A.Djazuli, Edisi Revisi Ilmu Fiqh
Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma, Kencana, Jakarta, 2005,
hlm 75-76.
[24]A.Djazuli,
Ibid, hlm 76.
[25] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih
untuk UIN, STAIN,PTS, Pustaka Setia, Bandung,2007, hlm 72.
[29]Amir
Syarifuddin,Ushul Fiqih
jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm 310-312.
[30] Abdur Rahman , Shari’ah
Kodifikasi Hukum Islam, Rineka Cipta,Jakarta, 1993, hlm 101-102.
[31] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, Rabbani Press, Jakarta,
2008, hlm 250.
[32] Zainuddin Ali, Hukum Islam
Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 40.
[33]
A.Djazuli, Edisi Revisi Ilmu Fiqh
Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma, Kencana, Jakarta, 2005,
hlm 77.
[35]
A.Djazuli, Edisi Revisi Ilmu Fiqh
Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma, Kencana, Jakarta, 2005,
hlm 78.
[36] Teungku Muhammad Hsbi Ash Shiddieqy,
Pengantar Ilmu Fiqh,Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999, hlm190.
[37]
A.Djazuli, Edisi Revisi Ilmu Fiqh
Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma, Kencana, Jakarta, 2005,
hlm 78-79.
[39] Ibid, hlm 333- 334.
[40] A.
Rahman, Penejelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah),RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2002, hlm 105-10.
[41]
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm
40.
[42] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, Rabbani Press, Jakarta,
2008, hlm 251.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar