Jumat, 01 Maret 2019

Sumber Hukum Islam Yang Disepakati (PAI A Semester Genap 2018/2019)



Sumber Hukum Islam Yang Disepakatai: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Dan Qiyas


Silqy Rosidah dan Amalia Dwi Cahyani
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “A” 2016 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
In this article, it describes the sources of Islamic law which are agreed upon both from, Al-quran, as-sunnah, ijma 'and qiyas. The source of Islamic law itself is used in seeking the law in an existing problem. In making this method using qualitative methods, in the form of analysis from several sources both from books, books or scientific journals. In his discussion, there will be shown a number of differences of opinion from the ulamas themselves, both from definitions, and judgments in every source of law that can be used by the Muslims themselves with the arguments that are explained or proven by the existence of the sources of Islamic law. In this article we will also discuss types, harmonize in every Islamic law or the conditions needed, and also examples that make it easier for readers to understand Islamic law itself.
Keywords: Islamic law, Qur'an, sunnah, ijma 'and qiyas.
Abstrak
Dalam artikel ini menjelaskan tentang sumber hukum islam yang disepakatai baik itu dari, Al-qur’an, as-sunnah, ijma’ dan qiyas. Sumber hukum islam itu sendiri digunakan dalam mencari hukum didalam suatu permasalahan yang ada. Dalam pembuatannya ini menggunakan metode kualitatif, berupa analisi dari beberapa sumber baik dari buku-buku, kitab ataupun jurnal ilmiah. Dalam pembahasannya akan ditunjukkan beberapa perbedaan pendapat dari para ulama itu sendiri baik itu dari definisi, serta kehujjahan dalam setiap sumber hukum yang bisa dipakai umat islam itu sendiri dengan dalil- dalil yang dipaparkan atau pembukti  kehujjahan sumber hukum islam. Didalam artikel ini juga akan dibahas mengenai macam- macamr, rukun dalam setiap hukum islam ataupun syarat- syarat yang diperlukannya, dan juga contoh- contoh yang memudahkan para pembaca dalam memahami hukum islam itu sendiri.
Kata kunci : Hukum Islam, Al-Qur’am, Sunnah, Ijma’ Dan Qiyas.
A.    Pendahuluan
Sumber hukum islam adalah suatu hal yang sangat penting dan sangat dibutuhkan didalam kehidupan, khususnya bagi umat islam sendiri. Dikarenakan sumber hukum islam merupakan dasar hukum yang dipakai didalam menguhukumi suatu permasalahan yang ada baik itu yang sudah ada hukumnya taupun masalah baru yang timbul dan belum ada hukum. Islam sebagai agama penutup dan yang sempurna pastilah menyediakan pokok-pokok yang dapat diterapkan didalam kehidupan kita.
Oleh kareana itu, sebagai muslim pentingnya mempelajari dan memahami sumber hukum islam, seperti halnya dalam firman Allah dalam surat an-nisaa  ayat 59 yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”[1].
Dalam ayat itu dijelaskan bahwasanya didalam persoalan, serta perbedaan pendapat hendaklah kembali kepada dua sumber hukum islam yang utama yakni al-qur’an dan as-sunnah, tetapi dengan berkembangnya zaman muncul persolan-persoalan yang dimana pengambilan hukumnya kita tidak bisa ditemukan didalam al-qur’an dan as-sunnah, maka dari itu lahirlah beberapa sumber hukum yang bersumber dari akal  atau ra’yu (penalaran) yang dilakukan oleh para mujtahid atau para ulama didalam memecahkan sebuah masalah yang baru. Tetapi dalam pemecahan masalah tersebut para mujtahid atau ulama didalam penalarannya berlandasan kepada sumber hukum yang utama yakni al-qur’an.
Metode atau cara yang digunakan mujtahid didalam menetapkan hukum banyak sekali macamnya karena itu didalam sumber hukum islam dibagai dua macam yakni sumber hukum islam yang disepakati dan yang tidak disepakati dan kali ini yang akan dibahas dalam artikel ini adalah sumber hukum islam yang disepakati yakni al-qur’an as-sunnah, ijma’ dan qiyas.
B.                 Pengertian Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam yang sudah ditetapkan atau ditentukan. Sumber hukum Islam disebut juga dengan istilah dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam. Kata sumber yang juga dapat diartikan suatu tempat yang dari tempat itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Dalam artian ini kata “sumber” hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, karena memang keduanya merupakan tempat yang dapat ditimba hukum syara’ tetapi kata ini tidak mungkin digunakan untuk ‘ijma dan qiyas karena keduanya bukanlah tempat yang dapat ditimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas keduanya itu adalah cara dalam menemukan hukum. Kata ‘dalil’dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, dapat juga digunakan untuk ijma dan qiyas, karena semuanya memang mengarah kepada penemuan hukum Allah.
1.         Al-Qur’an
a.      Pengertian
Alqur'an secara istilah  adalah Kalamullah yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad, dengan secara tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, apabila membacanya maka mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. “Al-Jurjani mendefinisikan Al-Qur'an: Al-Qur'an adalah (Kalamullah) yang diturunkan kepada Rasulullah tertulis dalam mushhaf, ditukil dari Rasulullah secara mutawatir dengan tidak diragukan.”[2]
b.      Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Dari segi penjelasan terhadap hukum, yang digunakan dalam Al-Qur’an ada beberapa cara, yaitu:
1.      Secara Juz’i (terperinci). Dalam Al-Qur’an Allah telah memberikan penjelasan dengan secara lengkap, sehingga dapat dijalankan dengan apa adanya, meskipun tidak dijelaskan oleh Nabi dengan sunah-Nya. Seperti ayat-ayat tentang “kewarisan dalam surat an-Nisa’ (4): 11 dan 12. Tentang “sanksi terhadap kejahatan zina dalam surat an-Nur (24): 4”. Seperti yang telah dijelaskan dalam ayat diatas, maksudnya pun sudah jelas dan juga tidak memberikan celah dengan adanya kemungkinan pemahaman lain. Ayat tersebut termasuk ayat muhkamat, dapat dilihat dari segi penjelasan artinya.
2.      Secara Kulli (global). Secara garis besar Al-Qur’an terhadap hukum masih berlaku, sehingga dalam pelaksanaannya masih memerlukan penjelasan. Nabi Muhammad dan sunah-Nya itu lah yang paling berwenang dalam memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk dalam garis besar itu.
3.      Secara Isyarah. Al-Qur’an telah memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya secara ‘ibarat. Disamping itu juga dalam maksut lain telah memberi pengertian secara isyarat. Dengan demikian dalam satu ayat Al-Qur’an itu dapat menjelaskan beberapa maksut.
Seperti firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 23:
كَرِيمٗا قَوۡلٗا لَّهُمَا وَقُل تَنۡهَرۡهُمَا وَلَا أُفّٖ لَّهُمَآ تَقُل فَلَا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentuk mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Menurut yang tersurat (‘ibarat) ayat tersebut merupakan: haram hukumnya berkata kasar dan menghardik orang tua. Menurut dari yang tersirat di balik yang tersurat itu adalah haram hukumnya jika memukul dan menendang orang tua.
Firman Allah surat al-Baqarah ayat 233:
بِٱلْمَعْرُوفِ وَكِسْوَتُهُنَّ رِزْقُهُنَّ لَهُۥ ٱلْمَوْلُودِ وَعَلَى
“Dan kewajiban ayah memberi nafkah dan pakaian terhadap keluarganya secara patut.”
Ayat ini menurut yang tersurat (‘ibarat) mewajibkan kepada ayah untuk menanggung nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya. Dilain itu juga, ayat ini juga meng-isyarat-kan juga hubungan nasab anak adalah kepada ayahnya, bukan kepada ibunya.
Dalam ayat itu tidak mungkin ada maksut lain dan tidak mungkin juga ditanggapi dengan tanggapan yang berbeda. Hukum ini yang sudah ditunjuk secara pasti berlaku juga secara universal dan tidak akan pula mengalami perubahan walaupun waktu dan tempatnya sudah berubah.[3]
c.        Hukum Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum yang terkandung dalam Alqur'an, yaitu:
1.      Hukum I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah swt, Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul Allah, dan kepada hari akhir.
2.      Hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak. Manusia harus mempunyai akhlak yang baik dan menjauhi perilaku yang buruk.
3.      Hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Hukum amaliyah ini ada dua yaitu mengenai Ibadah dan mengenai muamalah dalam artian yang luas.[4]

d.      Cara Al-Qur’an Menjelaskan Hukum
Al-qur’an menjelaskan hukum ada tiga jenis:
1.      Penjelasan umum (kulli), yaitu yang menjadikan dasar untuk menentukan hukum-hukum furu’ dengan menyebutkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum, seperti:
1)      Perintah musyawarah, yang telah difirmankan oleh Allah:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Ali-Imran (3): 156)”
2)      Sanksi setimpal dengan pelanggaran:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. (asy-Syura (42): 40)”
3)      Memenuhi komitmen:
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji. (al-Ma’idah (5): 1)”
2.      Penjelasan global (ijmali), yaitu penyebutan hukum-hukum dengan secara global yang membutuhkan penjelasan dan perincian. Diantaranya hukum-hukum tersebut adalah:
1)      Kewajiban shalat dan zakat, sebagaimana Allah telah berfirman:
“Tegakkan shalat dan tunaikan zakat. (al-Baqarah(2): 110)”
Dalam Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan berapa jumlah rakaat shalat dan tata caranya. Maka, sunnah lah yang lebih menjelaskan hal tersebut secara rinci. “Rasulullah saw. bersabda: shalatlah sebagaimana kamu melihatku shalat.” Begitu juga dengan sunnah yang menjelaskan tentang hukum-hukum zakat, takarannya, dan nishabnya.
2)      Kewajiban haji, Allah berfirman:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (Ali-Imran (3): 97)”

Sunnah telah merincikan dan menjelaskan haji serta rukun-rukunnya. “Nabi bersabda: Ambillah dariku manasik-manasikmu.”
3)      Halalnya jual beli dan haramnya riba:
“Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (al-Baqarah(2): 275)
Sunnah telah menjelaskan jual-beli yang halal dan yang haram, serta maksut dari riba.
3.      Penjelasan rinci (tafshili), menyebutkan hukum-hukum dengan secara rinci. Misalnya, pembagian warisan, cara talak dan jumlahnya, cara li’an antara suami-istri, wanita-wanita yang haram dinikahi, sebagian hukuman yang disebut had, seperti had zina, pencurian, perampasan di jalan, qadzaf (tuduhan zina), dan hukum-hukum tafshil lain di dalam Al-Qur’an.
Jika seluruh hukum dijelaskan dengan secara detail maka hal ini justru tidak sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu member petunjuk dan hidayah. Sebagaimana awal adanya hukum dalam bentuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum yang fleksibel itu sangat relevan dengan universalitas dan keabadian syari’at, sehingga kita bisa membangun hukum-hukum di atasnya dengan menerapkannya pada suatu kejadian persial di masa yang berbeda-beda.[5]
2.         As-Sunnah

a.      Pengertian
As-Sunnah ialah segala sesutau perkataan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah saw. yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa adanya 3 bentuk sunnah, yaitu Qauliyah (berupa perkataan), fi’liyah (berupa perbuatan), dan taqririyah (berupa pengakuan/persetujuan terhadap perkataan atau perbuatan orang lain).
Sunnah qauliyah lebih sering disebut hadis adalah seperti Sabda Nabi saw.
“.نَوَى مَا امْرِئٍ لِكُلِّ وَإِنَّمَا بِالنِّيَّاتِ اْلأَعْمَالُ إِنَّمَا
“Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkan.”
Sunnah fi’liyah atau amaliyah seperti hadis-hadis yang diriwayatkan tentang perbuatan, misalnya wudhu’ Nabi saw., shalatnya, hajinya, setiap keputusan terhadap suatu perkara dengan seorang saksi dan sumpah yang terdakwa, dipotongnya tangan kanan seorang pencuri dan sebagainya.
Sunnah taqririyah ialah pengakuan/ pembenaran Nabi saw. terhadap perkataan atau perbuatan yang sumbernya berasal dari sahabatnya, baik dengan diamnya ataupun dengan tidak diingkarinya ataupun dengan menyatakan persetujuannya, baik perbuatan atau perkataan sahabat itu dilakukan didepan ataupun dibelakangnya. Pembenaran terhadap perbuatan/perkataan sahabat dipandang sebagai hadis beliau juga, karena sekiranya perbuatan/perkataan sahabat itu mungkar tentu beliau melarangnya, sebab Rasul sebagaimana difirmankan Allah:
“.الْخَبَائِثَ عَلَيْهِمُ وَيُحَرِّمُ الطَّيِّبَاتِ لَهُمُ وَيُحِلُّ الْمُنْكَرِ عَنِ وَيَنْهَاهُمْ بِالْمَعْرُوفِ يَأْمُرُهُمْ
“Menyuruh mereka berbuat ma’ruf, melarang mereka dari berbuat munkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan atas mereka segala yang buruk.”[6]
b.      Macam-Macam Sunnah
Menurut pengertian ahli ushul, sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Sunnah qauliyah, yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh para sahabat dan disampaikan kepada orang lain. Misalnya sahabat menyampaikan bahwa ia telah mendengar Nabi bersabda, “siapa yang tidak shalat karena tertidur atau karena ia lupa, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia telah ingat.”
2.      Sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikannya kepada orang lain dengan ucapannya. Misalnya sahabat berkata, “saya melihat Nabi Muhammad saw. melakukan shalat sunat dua rakaat sesudah shalat dzuhur.”
3.      Sunnah taqririyah, yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan dihadapan atau dengan sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dilarang oleh Nabi. Dengan diamnya Nabi itu disampaikanlah oleh sahabat yang menyaksikannya itu kepada orang lain dengan perkataannya.  Misalnya ada seorang sahabat tengah memakan daging dhab tersebut di depan Nabi. Nabi pun juga mengetahui apa yang tengah dimakan oleh sahabat itu, namun Nabi tidak melarang ataupun menyatakan keberatan atas perbuatan itu. Dengan kisah tersebut disampaikanlah oleh sahabat yang mengetahuinya dengan perkataannya, “Saya melihat seorang sahabat memakan daging dhab di dekat Nabi. Nabi mengetahui, tetapi Nabi tidak melarang perbuatan itu.”[7]
Macam-macam sunnah dari segi sanadnya, yang dimaksut dengan sanad adalah para perawinya. Dari segi ini sunnah dibagi menjadi tiga macam jika sanadnya bersambung.
1.      Sunnah mutawatirah, yaitu sunnah yang telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. oleh sekelompok orang yang secara akal tidak mungkin sekelompok orang itu berbohong terhadap sunnah tersebut. Kategori ini termasuk sunnah ‘amaliyah yang menjelaskan ketentuan zakat, tata cara haji, dan tata cara shalat serta rukun-rukunnya.
2.      Sunnah masyhurah, yaitu yang diriwayatkan dari Nabi oleh banyak orang namun jumlah mereka tidak sampai pada batas mutawatir, kemudian menjadi sangat dikenal dengan (masyhur) kemudian diriwayatkan oleh sebanyak orang yang ada di dalam riwayat mutawatir di masa tabi’in dan tabi’ut-tabi’in.
3.      Sunnah ahad, yaitu yang telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. oleh sejumlah orang yang tidak sampai pada batas mutawatir dan tidak masyhur setelah itu, yakni bukan sunnah mutawatir dan masyhur.[8]

c.       Fungsi Sunnah
Sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an yaitu as-sunnah. Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang masih mujmal (umum), maksudnya maka ayat-ayat yang seperti ini masih memerlukan penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulullah dengan melalui sunnahnya. Karena fungsi sunnah/hadis terhadap Al-Qur’an sendiri adalah memberi penjelasan/menguatkan hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an. Fungsi as-sunnah sendiri terhadap Al-Qur’an secara umum, yaitu:
1.      As-sunnah menjelaskan pernyataan Al-Qur’an yang bersifat umum, misalnya dalam surah Al-Baqarah ayat 110 yang menjelaskan tentang perintah shalat, dalam aya tersebut kata shalat masih bersifat umum, maka as-sunnah menjelaskan secara operasional, baik dari kaifiyatnya/tata cara shalat (bacaan dan gerakannya). “Nabi bersabda: shalat kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat (Al-Hadis)”. Dengan demikian pula shalat tersebut memiliki status hukumnya wajib atau sunnah, misalnya mana shalat yang wajib dan shalat mana yang sunnah. “Ketika ada seorang arab Badui bertanya kepada Rasulullah: wahai Rasulullah beritahukan kepadaku shalat yang difardhukan untukku? Rasulullah berkata: shalat lima waktu, yang lainnya adalah sunnah. (HR. Bukhari dan Muslim)”
2.      As-sunnah memberikan batasan maksimal terhadap apa-apa yang telah dinyatakan oleh Al-Qur’an, misalnya tentang wasiat, mengenai hal ini as-sunnah telah memberikan batasan mengenai banyaknya wasiat agar tidak melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Hal ini juga telah disampaikan oleh Rasululah saw. “dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqash ra. Yang menanyakan kepada Rasulullah saw. tentang jumlah wasiatnya, Rasulullah memberikan wasiat seluruhnya, tetapi hanya menyetujui sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.”
3.      As-sunnah sebagai penguat hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an seperti menetapkan hukum, sebagaimana yang telah Allah firmankan di dalam surah Al-Baqarah ayat 183:
لَعَلَّكُمْ قَبْلِكُمْ مِنْ الَّذِينَ عَلَى كُتِبَ كَمَا الصِّيَامُ عَلَيْكُمُ كُتِبَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يَاأَيُّهَا
تَتَّقُون
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkannya atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Dalam ayat tersebut memiliki kandungan atas kewajiban puasa, yang telah dikuatkan oleh as-sunnah “dengan sabda Rasul: Islam didirikan di atas lima perkara; persaksian tiada Tuhan melainkan Allah, Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa pada bulan Ramadhan, dan pergi haji ke Baitullah. (HR. Bukhari dan Muslim)”[9]

d.      Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Sunnah merupakan sumber pertama setelah Al-Qur’an. Karena sunnah merupakan penjelas dari Al-Qur’an, maka yang dijelaskan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada yang menjelaskan. Namun, kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an  sekurang-kurangnya ada tigal berikut ini:
1.      Sunnah sebagai ta’kid (penguat) Al-Qur’an
Hukum islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Jadi tidak heran jika banyak sekali sunnah yang menjelaskan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
2.      Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an
Sunnah sebagai penjelas (bayanu tasyri’) yang sesuai dengan firman Allah surat An-Nahl ayat 44:
“.يَتَفَكَّرُونَ وَلَعَلَّهُمْ إِلَيْهِمْ نُزِّلَ مَا لِلنَّاسِ لِتُبَيِّنَ ٱلذِّكْرَ إِلَيْكَ وَأَنزَلْنَآ
“Telah Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa yang diharamkan kepada mereka, supaya mereka berfikir.”
Maka sudah jelas bahwa sunnah itu sangat berperan penting dalam menjelaskan maksut-maksut yang terkandungn dalam Al-Qur’an, sehingga dalam memahami Al-Qur’an dapat menghilangkan kekeliruan.
Bahwasannya penjelasan sunnah terhadap Al-Qur’an dapat dikategorikan dalam tiga bagian:
1)      Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat namun dalam Al-Qur’an sendiri tidak diiringi dengan penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Dalam hal itu telah dijelaskan oleh sunnah sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“.أُصَلِّي رَأَيْتُمُونِي كَمَا صَلُّوا
“Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat saya shalat.”
2)      Penguat secara mutlaq, sunnah merupakan sebagai penguat terhadap dalil-dalil umum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
3)      Sunnah sebagai takhsis, dalil-dalil Al-Qur’an yang masih umum.
3.      Sebagai Musyar’I (Pembuat Syari’at)
Sunnah sudah tidak diragukan lagi yang merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam Al-Qur’an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunnahkannya aqiqah, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:
1)      Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Qur’an.
2)      Sunnah yang tidak memuat hal-hal baru yang tidak ada dalam Al-Qur’an, tetapi hanya saja memuat hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Qur’an.[10]

1.      Ijma’

a.    Pengertian
Ijma’ menurut  bahasa , yaitu  إمجما ع bermakna dua pengertian ;
a)      Ijma’ yang bermakna م عل الشئي المز “keputusan berbuat sesuatu atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu”. Seperti halnya firman Allah pada surat yunus ayat 71 :
فَأَجْمِعُوٓا۟ أَمْرَكُمْ وَشُرَكَآءَكُمْ
Artinya : “....karema itu bulatkan keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu - sekutumu (untuk membinasakanku)”.
Demikian pula dalam hadist Nabi SAW yang berbuyi;
لاَ صيَامَ لمَن لَم يَجمَعَ الصيَامَ من اللَيل
Artinya: “tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa sejak malam”.    
b)      Ijma’yang bermakna “sepakat”, seperti halnya pengertian ijma’ ini sejalan dengan firman Alllah yakni surat Yusuf ayat 15:
فَلَمَّا ذَہَبُوۡا بِہٖ وَ اَجۡمَعُوۡۤا اَنۡ یَّجۡعَلُوۡہُ فِیۡ غَیٰبَتِ الۡجُبِّ
Artinya: “ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur”.[11]
Sedangkan menurut syara’ (menurut jumhur) adalah kesepakatan mujtahid (seluruhnya) umat islam dicocokkan masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW tentang hukum syara’ yang amali.[12]
Atau definisi lainnya adalah sebuah pandangan para sahabat Nabi dan pencapaian persetujuan dalam berbagai keputusan dan dilakukan oleh para ulama,fuqoha atau mufti yang ahli didalam banyaknya persoalan dinul islam.[13] sejalan dengan itu juga terdapat pada firman Allah surah Ali-Imron ayat 159 :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
[246] “Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya”.
Adapun dalam istilah syari’nya memiliki beberapa perbedaan definisi dari para ulama, pendapat mereka mengenai deinisi ijma’ sebagai berikt:
1)      Menurut Al-Ghozali ijma’ adalah “ kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu agama”.
2)      Menurut Al-Amidi , ijma’ adalah : “ kesepakatan sejumlah ahlul halli wal’aqd (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus”.
3)      Definisi yang berbeda dikemukakan oleh ulama syi’ah secara substantial, yakni dalam kata “ semua” tetapi xukup dalam kata “ kelompok atau beberapa orang ‘ asalkan kelompok tersbeut memiliki wewenang dalam menetapkan hukum. Yang berbunyi; “ kesepakatan suatu komunitas yang kesepakatan mereka memiliki kekuatan dalam menetapkan hukum syara’”.
4)      Menurut Ibnu Hazmi, ijma’ adalah “ kesepakatan ulama islam tentang nash, baik dari al-qur’an maupun sunnah”.
5)      Menurut Al-Nazham, ijma’ adalah “setiap perkataan yang hujahnya tidak dapat dibantah” dll.[14]
6)      Menurut pengarang kitab Fushulul Bada’i, ijma’ adalah “sebuah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW, dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara”.

b.   Kedudukan ijma’
Menurut jumhur ulama kedudukan ijma sebagai dalil hukum sesudah al-qur’an dan sunnah. ijma juga menetapkan hukum wajib dan mengikat yang harus dipatuhi oleh umat islam setelah kedua hukum yang utama (al-qur’an dan  sunnah)[15]. pernyataan ini dikuat dengan beberapa ayat al-qur’an dan hadist nabi sebagai berikut;
1)      Surah an- Nisa ayat 115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya:”dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
[348] Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
2)      Surah al- Baqarah ayat 143
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ
Artinya :” dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.
[95] “Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat”.
3)      Surah Ali Imran ayat 110
4)      Sirah Ali Imron ayat 103
5)      Surah an-Nisa ayat 59
Adapun hadist nabi sebagai berikut: “umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan[16]

c.    Pendapat para ulama tentang batasan ijma’
Menurut Ahl al-Sunnah memposisikan ijma’ sebagai dalil yang dapat berdiri sendiri setelah dua sumber hukum sebelumnya (al-qur’an dan sunnah) akan tetapi didalam ijma juga terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan adanya pembatasan dan persyaratan, baik dari batasan dalam pendefinisiannya dan lain sebagainnya.
1)      Keikutsertaan kalangan awam dalam ijma’
Banyak pendapat mengenai hal ini, yakni ada diperhitungkan atau tidaknya, tetapi  menurut jumhur ulama suara kalangan awam tidak diikutkan (diperhitungkan) dalam melakukan ijma’. Kemudian sebagian kecil ulama berpendapat bahwa suara kalangan awam dapat diikutsertakan dalam melakukan ijma’ beberapa ulama yang sejalan dengan ini adalah Qadhi Abu Bakar dan juga Amidi.[17]
2)      Ijma’ sesudah masa sahabat
Dalam hal ini juga banyak perbedaan pendapat, banyak ulama berpendapat bahwa ijma’ memiliki kekuatan hujjah dan pemakaiannya tidak terbatas pada masa sahabat saja tetapi dapat digunakan pada setiap masa dengan ketentuan hujjah tersendiri pendpat ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama dan menurut pendapat lainnya yang berbeda, salah satunya adalah Daud al-Zhahiri serta pengikutnya dan imam Ahmad ijma yang memiliki daya hujjah adalah ketika masa sahabat.[18]
3)      Kesepakatan mayoritas
Menurut jumhur ulama berpendapat, ijma’ tidak sah bila hanya mayoritas menyetujui dan sebgian lagi ada yang tidak setuju atau menentangnya. Pendapat lainnya yakni jika jumlah minoritas mencapai mutawatir maka ketidak setujuan mereka menyebabkan ijma tidak dilaksanakan, tetapi jika tidak sampai mutawatir makaketidak setujuan mereka tidak berpengaruh dan masih banyak lagi pendapat lainnya.[19]
4)      Kesepakatan ulama madinah
Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan ini bukanlah ijma’ dan tidak memiliki kekuatan hujjah. Karena dalil- dalil kehujjahan tersebut itu mencangkup ulama diluar madinah juga. Sedangkan ulama malikiyah kesepakatan ini merupakan ijma dan memiliki kekuatan hujjah terhadap ulama yang menyalahhkannya.[20]
5)      kesepakatn ahlu al-bait
menurut ulama syi’ah ahlu al-bait yaitu keturunan Nabi Muhammad dari putrinya Fatimah dan Ali. Dan mereka berpendapat kesepakatn ahlu al-bait dalam ijma’ memiliki kehujjahan (memiliki kekuatan hukum), mereka berlandasan pada ayat al- ahzab ayat 33 serta hadist nabi yang berbunyi, “perkenankan aku meninggalkan pada kalian dua pedoman. Apabila kalian berpegang teguh pada keduannya,niscaya kalian tidak akan sesat, yaitu kitabulloh dan keluargaku”. Namun pendapat ini  ditolak oleh seluruh ulama Ahl al-sunnah karena yang dimaksud mahsum disini bukanlah ahlu al –bait saja melainkan umat secara keseluruhan.[21]
6)      Kesepakatan Khulafaur Rasyidin
Menurut Ahmad ibn Hambal kesepakatan ini tidak bisa dikatakan ijma’ tetapi bisa gunakan sebagai hujjah. Imam Ahmad dalam periwayatannya mengatakan bahwa kesepakatan ini termasuk ijma’ yang mengikat, akan tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa kesepakatan ini bukanlah ijma’ dan tidak termasuk hujjah. Sedangkan yang mengatakan bahwa kesepakatan khulafaur rasyidin sebagai ijma’berdasarkan hadist nabi yakni “ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin sesudahku” dan masih banyak lagi perbedaan pendapat lainnya.[22]

d.   Macam- macam ijma’
Dilihat dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma,maka dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
1)      Ijma’ al-Ummat (إجماع الأمة ) ijma’inilah yang dimaksudkan dengan dermisi pada awal pembahasan ini.
2)      Ijma’ Ash- Sahabat (إجماع الصحابة) adalah persesuaian paham segala ulama sahabat terhadap suatu urusan
3)      Ijma’ Ahl al-Madinah (إجماع اهل المدينة) adalah persesuaian paham ulama- ulama ahli madinah terhadap sesuatu kasus, dan ijma ini menurut imam Maliki adalah sebuah hujjah.
4)      Ijma’ Ahl al-Kuah (إجماع اهل الكوفة) yakni dianggap sebagai hujjah oleh imam Hanifah.
5)      Ijma’ Al-Khulafa’ al-Arba’ah (إجماع الخلفاءالاربعة) yakni dianggap hu jjah oleh beberapa ulama didasari oleh hadist, “kamu wajib mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku” (hadist ini diriwayatkan oleh Ahmad,Abu Daud dan At-Turmudzi).
6)      Ijma’ Al-Syayhayni (إجماع الشيخين) adalah sebuah persesuaian dari paham Abu Bakar dan Umar dalam suatu hukum, dan Iijma’ ini dianggap hujjah oleh sebagian ulama atas dasar hadis, “ ikutlah atau teladanilah kedua orang ini sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar”.
7)      Ijma’Al-Itrah ( إجماع العترة) adalah sebuah persesuaian paham ulama-ulama Ahli Bait.[23]
Dan jika dilihat dari segi terjadinya dan kedudukan ijma’ ada dua macam ijma’ yaitu:
a)      Ijma’ Al-Sharih (جماع الصاريحإ )
Adalah ijma’ persetujuan ketegasannya bisa melewati ucapan maupun dengan perbuatan.[24] Yang dilakukan oleh semua mujtahid menyampaikan pendapat- pendapat mereka kemudian memilih salah satu untuk disepakati. Hal ini bisa dilakukan ketika para mujtahid berkumpul dan mengemukakan pendapat mereka dan juga apabila muncul suatu peristiwa yang perlu di ijma’kan.[25]
Dalam kehujjahan ijma’ ini jumhur ulama bersepakat bahwa hujjah jima ini wajib diamalkan dan haram untuk menolaknya atau disebut qath’i. sedangkan dalil yang menjadi sandaran adalah surat an-nisa ayat 115.[26]
b)      Ijma’ sukuti (إجماع السكوتى)
Adalah ijma’ persetujuan ketegasannya dinyatakan oleh mujtahid,dan sebagian diam, serta tidak jelas apakah apakah mereka menyetujui atau malah menentangnya.[27] dan di dalam ijma’ ini memiliki kriteria yang harus dipenuhi yakni, 1) mujtahid diam karena menunjukkan persetujuannya ataupun penolakannya, 2) keterdiaman mereka memakan waktu  cukup lama, yang dikira untuk berpikir didalam permasalahan tersebut, 3) permasalahan yang dibahas haruslah permasalahan ijtihad dan bersumber dari dalil zhanni.[28]

e.    Naskh ( pembatalan) ijma’
Kemunculan naskh ijma’ ini dikarenakan ijma’ yang sebelumnya sudah tidak berlaku lagi atau muncul suatu hukum baru (berbeda) dialam menghukumi suatu permasalahan dari ijma’. Sejatinya naskh ini tidak berlaku keculai dalam penetapan hukum yang ditetapkan dengan nash (al-qur’an dan hadist), dikarenakan naskh ini berlaku pada masa nabi ketika hidup saja karena tidak akan terjadi naskh karena pembatalan ijma ini berdasarkan hukum yang ra’yu yang merujuk pada nash. Sedangkan menurut para ulama tentang naskh sebagai berikut:
1)      Jumhur ulama menyatakan bahwa naskh tidak berlaku pada ijma’.
2)      Sebagian ilama diantaranya Mu’tazilah dan Fakhrur Razi berpendapat bahwa ijma’ dapat di naskhkan.[29]

f.     Contoh –contoh ijma’
Beberapa contoh berikut merupakan hasil yang didasarkan pada proses ijma:
1)      seperti halnya pada keabsahan kontrak dalam pemebelian barang yang A’dul Istitsna ( diolah) berdasarkan pada ijma’
2)      Biasanya  pada hukum jual beli yang barangnya yang belum ada adalah tidak sah kerena barang tersebut belum pasti. Dan para ulama menyepakati untuk memperbolehkan hal tersebut karena bertujuan utuk memperoleh jalan keluar yang mudah.
3)      dalam aspek  warisan, juga sudah disepakati jika seseorang ditinggal mati oleh  ayahnya, maka kakeknya juga memperoleh hak warisan bersamaan dengan anak laki-laki yang bagianya itu diambil dari bagian dari ayahnya.
4)       serta dalam masalah hukum keluarga juga sudah disepakati bahwa dilarangannya menikah dengan nenek dan cucu perempuan ( sekalipun jaraknya jauh) , dikarenakan dalam Al-qur’an menjelaskan tentang larangan menikah dengan ibu dan anak perempuan, kerana hukum pelarangan tersebut diberlakukan sama.[30]

2.      Qiyas

a.      Pengertian
 Menurut bahasa qiyas berarti menyamakan (musawah) dan mengukur (taqdir).[31] Sedangkan kan menurut ulama fiqih qiyas menurut istilah adalah  menyamakan suatu masalah baru yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-qur’an dan Sunnah nabi dengan masalah yang memang sudah ada hukumnya didalam Al-qur’an dan Sunnah yang berdasarkan dengan adanya persamaan illat hukumnya.[32]

b.        Rukun qiyas
Dalam qiyas memiliki 4 rukun nyaitu:
1)      Maqis ‘alaihi (ashal= pokok (tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya))
Adalah suatu hukum yang di-nash-kan untuk di qiyaskan, dan dalam ushul fiqh disebut Al-maqis alih, Al-Ashlu dan Al-Musyabah bihi. Dalam ashla ini haruslah berupa nash yakni al-qur’an,sunnah atau ijma, serta dalam kandungannya harus terdapat illat hukumnya.[33]
Syarat- syaratnya antara lain:
·         Terdapat dalil atau petunjuk diperbolehkannya pengqiyasan tersebut, baik dalam nau’I atau lingkungan yang sempit atau terbatas (syakhi) menurut Utsman ibn Muslim.
·         Didalam adanya illat harus ada kesepakatan ulama didalam ashal maqis ‘alaih menurut Basyri al-Marisi.[34]
2)      Maqis (furu’= cabang (sesuatu yang kan disamakan hukumnya dengan ashal))
Adalah suatu hukum yang tidak dinashkan , dalam istilahkan ushul fiqh yakni Al-Fa’ru, Al-Musyabah dan Al-Maqis adapun syarat- syarat yang harus dipenuhi adalah:
·         Cabang tidak memiliki hukum sendiri.
·         Dalam cabang dan ashal harus memiliki illat hukum yang sama.
·         Cabang tidak boleh mendahului ashal.
·         Hukum yang ada dalam cabang dan ashal sama.[35]
3)      Illat
Adalah “ washaf yang nyata lagi tetap yang melengkapi pengertian yang munasabah dengan hukum. (seperti mabuk, illat haram meminum minuman keras)”.[36]
 Syarat- syaratnya yaitu:
·         Sifatnya nyata (jelas) dan dapat diindrai, walaupun tanpa tahu dengan jelas illatnya.
·         Bersifat tegas dan tertentu yakni dapat dipatkan dalam wujud cabang.
·          Keterkaitan illat hukum dengan hukum illat karena ilat merupakan penerapan hukum unutuk mencapai maqasidu syari’ah.
·         Illat sejalan dengan nash, dan jika berlawanan maka nashnya didahulukan.
·         Illat bukan termasuk sifat yang adapada ashal, karena sifat tersebut hanya ashal saja dan tidak bisa dianalogikan.[37]
Adapun macamnya illat ada 4 macam yaitu:
o   Munasib muatssir
o   Al- munasib al-mula’im
o   Munasib mulgha
o   Al- munasib al-mursal atau al-mursal al-muthlak
4)      Hukum pokok (hukum ashal)
Adalah hukum syara yang dinashkan pada ashal dan akan dijadikan hukum pada furu’.dan syarat- syarat yang harus dipenuhi adalah:
·         Haruslah hukum amaliah.
·         Dalam hal persyariatannya harus rasional atau ma’qul al-ma’na.
·         bukan termasuk hukum khusus.
·         Hukum ashal adalah hukum yang berlaku (bukan termasuk hukum yang sudah dimansukhkan)

c.       Qiyas sebagai dalil hukum syara’
Menurut Muhammad Abu Zahra membagi 3 kelompok dalam hal penerimaan ulama terhadap qias sebagai berikut:
1)      Golongan Jumhur Ulama menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Penggunaan qiyas ini dilakukan untuk mencari hukum yang tidak ada pada sumber hukum tiga (al-qur’an , sunnah dan ijma’), tetapi dalam prakteknya qiyas digunkan secara tidak berlebihan.
2)      Golongan ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah, mereka dengan mutlak menolak pemakaian qiyas, Zhahariyah juga menolak penggunaan illat dalam suatu hukum serta berpendapat tidak perlu mengetahui tujuan suatu hukum syara’.
3)      Dan kelompok ini menggunakan qiyas secara mudah dan luas.kelompok ini menyatukan dua hal yang tidak jelas (terlihat) kesamaan illat keduanya, terkadang memberikan kekuatan yang tinggi terhadap qiyas dan karena itu berakibat membatasi keumuman beberapa dalil al-qur’an dan sunnah.
Beberapa dalil yang digunakan jumhur ulama dalam penerimaan qiyas sebagai hukum syara’ :
a)      Dalil al-qur’an
Yakni dalam surat Yasin ayat 78-79 yakni Allah memberika petunjuk penggunaan qiyas, kemudian juga pada surat Al-Hasyr ayat 2 tentang Allah memerintah digunakannya qiyas., lalu dalam sura Ali Imron ayat 13 dan juga dalam surat An-Nisa ayat 59.
b)      Dalil sunnah
Diantara dalil sunnah yang digunakan jumhur ulama sebagai penggunaan qiyas adalah hadist dialog Nabi Muhammad dengan Muaz ibn Jabal ketika ia ditugaskan ke Yaman untuk menjad i penguasa, dan juga petunjuk yang diberika Nabi kepada sahabat tentang penggunaan qiyas didalam keputusan didalam membandingkan hal tersebut.
c)      Atsar Shahabi
Menurut pendapat jumhur ulama adalah dalam surat Umar Ibn Khatab untuk Abu Musa Al-Asy’ari ketika dia ditugaskan ke Yaman untuk menjadi qodhi, para sahabat seringkali perpendapat dengan didasari dengan qiyas.[38]
Dari banyaknya para ulama menerima penggunaan qiyas didalam hukum syara’ ada juga yang menolak pqnggunaan qiyas dalam hukum syara’contohnya saja yakni, Syi’ah Imamiyah, Al-Nazham, ahlu Zhahiri dan masih banyak lagi diantaranya.[39]

d.      Macam- macam qiyas
Terbagi menjadi dua macam yaitu:
1)      Al-qiyas al-jali ( qiyas yang nyata)
Dalam qiyas ini dicontohkan tentang minuman beralkhol yang diharamkan karean menyebabkan mabuk dan hal itu dilarang dalam agama.
2)      Al-qiyas al-khafi ( qiyas tersembuyi)
Sedangkan dalam contoh ini adalah Allah sudah memerintahkan kepada hambanya untuk membayar zakat. Kemudian Nabi menjelaskan tentang cara untuk membayar zakat tersebut. Serta mewajibkan didalam sabdahnya tentang pemeliharaan hewan kambing harus dizakati yakni jika sudah mencapai 40 ekor kambimg, dan karena hal itu jika kita memberikan hewan kamibing kepada orang miskin dikhawatirkan kurang bermanfaat untuk orang tersebut. Dan sebab tersebut diperbolehkan memberikan uang dari hasil penjualan kambing tersebut yang diharap lebih bermanfaat ketimbang kita memberikan seekor kambing.[40]

e.       Contoh- contoh qiyas
1)      Hukum minum khamer yaitu “haram” karena sudah ditegaskan didalam nash. Dan illah hukum haram ini adalah “ memabukkan”, maka karena itu dapat disimpulkan bahawa dalam minuman perasan ( nabidz) yang terdapat efek memabukkan maka hukumnya  haram dengan meng-qiyas- kan kepada hukum meminum khamer tersebut.
2)      Didalam hadist nabi diterangkan bahwa adanya larangan jika tiga orang yang berada dalam suatu majelis, janganlah diantara dua orang tersebut berbicara berbisik-bisik, dan orang ketiga tidak dilibatkan didalam pembicaraan tersebut. Karena adanya larangan tersebut mencegah rasa kecemburuan orang ketiga, atau ia merasa dibicarakan diantara keduanya atau lain sebagainnya, kemudian muncul masalah baru yakni jika kedua orang tersebut dari ketigannya itu berbicara dengan suara keras, bagaimana hukumnya?. Sebagai contoh, dari tiga orang tersebut dua diantaranya dari suku Bugis dan yang ketiga berasal dari suku jawa yang tidak paham bahasa Bugis. Maka ketika dua orang dari suku Bugis berbicara dengan bahasa Bugis  walaupun dengan suara yang cukup keras dan dapat didengarkan oleh orang jawa tersebut, pastinya orang ketiga tersebut juga merasa kurang senang karena hal tersebut. Maka dari itu masalah ini dapat diqiyaskan yakni berbicara cukup keras tetapi tidak dapat diketahui atau dipahami orang ketiga, maka hukumnya disamakan dengan hukum dilarannya berbisik- bisik, hal ini disebabkan illat hukum larangan ini juga ada didalam berbicara keras yakni tidak dipahami oleh orang ketiga.[41]
3)      Ahli waris (warits) yang membunuh orang yang mewariskan (muwarrits) merupakan suatu masalah yang sudah ditegaskan hukumnya didalam nash, yakni pembunuh tersebut terhalang atau tidak bisa mendapatkan warisan tersebut. Dan illat hukumnnya yaitu ketergesa-gesaan warits ( ahli waris) didalam mendapatkan warisan sebelum waktunya, maka hukumannya adalah ahli waris tidak mendapat warisan tersebut. Dan permasalahan baru yang muncul yakni pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang mendapat wasiat ( musha lahu) kepada mushil ( pemberi wasiat) yang merupakan sebuah kasus yang belum ada hukumnya didalam nash, namun karena illatnya sama dengan masalah yang diatas ( warist membunuh muwarrits) yakni ketergesa- gesa untuk memiliki sesuatu sebelum waktunya tiba, maka pengambilan hukumnya sama,yaitu terhalangnya penerima wasiat untuk mendapatkan haknya dalam wasiat tersebut.[42]

C.                Penutup
Dari hasil penjabaran diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwasannya dalam ushul fiqh bertemakan sumber hukum islam yang disepakati ada beberapa macam pembahasan yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas, merupakan sumber hukum islam itu sendiri digunakan dalam mencari hukum didalam suatu permasalahan yang ada. Al-Qur’an sendiri yaitu Kalamullah yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad, dengan secara tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir.  Bahwasannya setiap orang yang membacanya maka akan bernilai ibadah, namun dalam Al-Qur’an sendiri terdapat banyak pembahasan diantaranya yaitu penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum, hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, dan cara Al-Qur’an menjelaskan hukum. Sedangkan Sunnah yaitu sesutau perkataan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah saw. yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’. Oleh sebab itu, sunnah terhadap Al-Qur’an sendiri adalah memberi penjelasan/menguatkan hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Ijma’ memiliki arti pandangan para sahabat Nabi dan pencapaian persetujuan dalam berbagai keputusan dan dilakukan oleh para ulama, fuqoha atau mufti yang ahli didalam banyaknya persoalan dinul islam. Dalam ijma’ sendiri terdapat pendapat ulama’, diambil menurut Ahl al-Sunnah bahwasannya ijma’ memposisikan sebagai dalil yang dapat berdiri sendiri setelah dua sumber hukum sebelumnya (al-qur’an dan sunnah) akan tetapi didalam ijma juga terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan adanya pembatasan dan persyaratan, baik dari batasan dalam pendefinisiannya dan lain sebagainnya. Yang terakhir yaitu Qiyas yang memiliki arti menyamakan suatu masalah baru yang tidak memiliki ketentuan hukumnya dalam Al-qur’an dan Sunnah Nabi dengan masalah yang memang sudah ada hukumnya didalam Al-qur’an dan Sunnah yang berdasarkan dengan adanya persamaan illat hukumnya.


DAFTAR PUSTAKA
Rahman ,A. 2002. Penejelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah).RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Ali,Zainuddin. 2006.Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.
Djazuli,A. 2005.  Edisi Revisi  Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma. Kencana. Jakarta.
Zaidan, Abdul Karim. 2008. Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam. Rabbani Press.  Jakarta.
Rahman , Abdur.1993. Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam., Rineka Cipta.Jakarta.
Syarifuddin,Amir.2008. Ushul Riqih jilid 1.Kencana. Jakarta.
Abdullah, Sulaiman. 1995.Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Sinar  Grafika. Jakarta.
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hsbi Ash.1999. Pengantar Ilmu Fiqh. Pustaka Rizki Putra.  Semarang.
Syafe’i, Rachmat.2007. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN,PTS. Pustaka Setia. Bandung.
Sulistiani,Siska Lis. Maret, 2018. Perbandingan Sumber Hukum Islam. Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1 No.1.
Abdullah,Sulaiman. Oktober 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Pertama,.

Catatan:
1.      Similarity 11%.
2.      Membuat makalah harus jelis. Jika ada beberapa referensi membahas persoalan yang sama, yang harus dilakukan adalah menggabungkan menjadi satu, bukan dengan menuliskannya masing-masing. Makalah ini banyak yang mengulang pembahasan karena tidak paham prinsip itu.
3.      Penulisa gelar (Prof., Dr., Ustadz, dll) dalam tulisan ilmiah hendaknya dihilangkan, terlebih lagi dalam footnote.
4.      Macam-macam qiyas perlu disebutkan variannya yang lain.


[1] Al-qur’an terjemah.
[2]Siska Lis Sulistiani, Perbandingan Sumber Hukum Islam, Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1 No.1 (Maret, 2018), hlm. 105.
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, Jilid 1, 2008), hlm. 220-222.
[4] A. Dzajuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, edisi revisi, 2005), hlm. 63.
[5] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah : Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, (Jakarta: Robbani Press, Cet. 1, 2008), hlm. 233-236.
[6]Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Pertama, Oktober 1995), hlm. 20-21.
[7] Amir Syarifuddin,  op. cit., hlm 229-230.
[8]  Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, op.cit.,  hlm. 241-242.
[9] Zainuddin Ali, M.A., Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet.1, Oktober 2006), hlm. 33-34.
[10] Rachmat Syafe’I, M. A., Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 65-67.
[11] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm 276.
[12] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Sinar  Grafika, Jakarta, 1995,hlm 42.
[13] Abdur Rahman, Shari’ah Kondifikasi Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta,1993, hlm 98-99.
[14] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm 276-279.
[15] Amir Syarifuddin ,Ibid, hlm 283.
[16]Amir Syarifuddin, Ibid,hlm 185.
[17]Amir Syarifuddin, Ibid, hlm 286- 287.
[18] Amir Syarifuddin ,Ibid, hllm 287-288.
[19] Amir Syarifuddin,bid, hlm 288.
[20] Amir Syarifuddin ,Ibid, hlm 289-291.
[21] Amir Syarifuddin ,Ibid, hlm 291-292.
[22] Amir Syarifuddin ,Ibid, hlm 293-n295,
[23] A.Djazuli, Edisi Revisi  Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma, Kencana, Jakarta, 2005, hlm 75-76.
[24]A.Djazuli,  Ibid, hlm 76.
[25] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN,PTS, Pustaka Setia, Bandung,2007, hlm 72.
[26] Rachmat Syafe’i , Ibid, hlm 73-74.
[27]A.Djazuli,  Op.cit, hlm 77.
[28] Rachmat Syafe’i , Op.cit, hlm 72-73.
[29]Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm 310-312.
[30] Abdur Rahman , Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, Rineka Cipta,Jakarta, 1993, hlm 101-102.
[31] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, Rabbani Press, Jakarta, 2008, hlm 250.
[32] Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,  Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 40.
[33] A.Djazuli, Edisi Revisi  Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma, Kencana, Jakarta, 2005, hlm 77.
[34] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm  342-343.
[35] A.Djazuli, Edisi Revisi  Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma, Kencana, Jakarta, 2005, hlm 78.
[36] Teungku Muhammad Hsbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999, hlm190.
[37] A.Djazuli, Edisi Revisi  Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma, Kencana, Jakarta, 2005, hlm 78-79.
[38] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm  324-334.
[39] Ibid, hlm 333- 334.
[40] A. Rahman, Penejelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah),RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 105-10.
[41] Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm  40.  
[42] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, Rabbani Press, Jakarta, 2008, hlm 251.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar