Taqlid, Talfiq,
Ittiba, dan Ijtihad dalam Ushul Fiqh
Rofiatul ilmi
dan Mohammad Roofi’i
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: 22rofiatulilmi@gmail.com
Abstract
Taqlid is charity based on the
sayings of others who are not shari'ah values or also the arguments of the
opinions they follow. It is a criterion that is bertaklid and can be linked to
the mujtahid as the implementation of shara'a law there are several layers or
there are several levels, namely: Mujtahid, Muttabi ', Muqallid. Human ability
itself is different in using its reason, partly in certain conditions, in the
law it can change, even in the law it becomes permissible or becomes corrupt
and has been explained in the letter Al Baqarah verse 170. Ittiba 'comes from
the word ittaba 'a which means Following, as for the term is to follow
someone's opinion whether it is the ulama' or the other, with the basis of the
knowledge or theorem used by the ulama ', there are many words of Ittiba' in
the Al-Qur'an including Qs. Al-Baqarah Ayat 38. Ittiba 'comes from the word
ittaba'a which means Following, as for the term is to follow someone's opinion
whether it is ulama' or another, with the basis of the knowledge or theorem
used by the cleric, there are many words Ittiba 'in the Qur'an including in
Qs.Al-Baqarah Verse 38. Ittiba' itself gets the highest position in Islam,
Because Ittiba 'merup will be proof of the truth of love for Allah Almighty and
His Messenger, Ittiba; to the Apostle is one of the conditions accepted by
Amal, and is the main characteristic of the Guardians of God. Talfiq is an act
that the person has followed a school then he uses the opinion of other schools
one or more by reason of benefit. This act was permitted by the scholars
because the scholars did not tie a circle or individual to take part in a
single school. But this action is not permissible if the school moves only to
find peace without thinking about the benefit of the people. Ijtihad is related
to the source of Islamic law, and to clarify the facts, which comes from the
word "jahda" which can be interpreted as "al-masyaqqah"
which means difficult / difficult, difficult or can be interpreted difficult.
In the Qur'anic letter An Nahl verse 38 Allah has explained that "they
swear by Allah's name will not raise those who have died.
Abstrak
Taqlid adalah
beramal yang berdasarkan ucapan orang lain yang bukan bernilai syari’ah atau
juga dalil dari pendapat yang diikutinya. Hakikat merupakan kriteria yang
bertaklid dan dapat dihubungkan dengan mujtahid sebagai pelaksanaan hukum
syara’ terdapat beberapa lapis atau terdapat dalam beberapa tingkatan yaitu: Mujtahid, Muttabi’, Muqallid. Kemampuan
manusia itu sendiri berbeda-beda di dalam menggunakan akalnya, sebagian di
dalam kondisi tertentu, di dalam hukum dapat saja berubah, bahkan didalam
hukumnya menjadi boleh atau menjadi mubah dan sudah dijelaskan di dalam surat
Al Baqarah ayat 170. Ittiba’ berasal dari kata ittaba’a yang berarti mengikuti,
adapun secara istilah adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama’ atau
yang lain, dengan di dasar ilmu pengetahuan atau dalil yang dipakai ulama’
tersebut, terdapat banyak sekali kata Ittiba’ dalam Al-Qur’an diantaranya di dalam Qs Al-Baqarah Ayat 38.
Ittiba’ berasal dari kata ittaba’a yang berarti Mengikuti, adapun secara
istilah adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama’ atau yang lain,
dengan di dasar ilmu pengetahuan atau dalil yang dipakai ulama’ tersebut,
terdapat banyak sekali kata Ittiba’ dalam Al-Qur’an diantaranya dalam Qs.Al-Baqarah Ayat 38. Ittiba’
sendiri mendapat kedudukan tertinggi di dalam islam, Karena Ittiba’ merupakan
bukti kebenaran cinta pada Allah swt dan Rasulnya, Ittiba; pada Rasul merupakan
salah satu syarat diterima Amal, dan merupakan sifat Utama Wali-wali Allah. Talfiq
adalah suatu perbuatan yang orang
tersebut telah mengikuti suatu madzhab kemudian ia menggunakan pendapat dari
madzhab yang lain satu atau lebih dengan alasan kemaslahatan. Perbuatan ini
diperbolehkan oleh para ulama sebab para ulama tidak mengikat suatu kalangan
atau individu untuk mengikuti satu madzhab saja. Tetapi perbuatan ini tidak
diperbolehkan jika berpindah nya madzhab hanya untuk mencari keringan tanpa
memikirkan kemaslahatan umat. Ijtihad berkaitan dengan sumber hukum Islam, dan
untuk memperjelas urainnya yaitu berasal dari kata “jahda” yang bisa diartikan
“al-masyaqqah” yang artinya sulit/berat, susah ataupun bisa diartikan sukar. Di
dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 38 Allah telah menerangkan bahwa “mereka
bersumpah dengan nama Allah tidak akan membangkitkan orang yang yang telah
meninggal.
Keywords: Taqlid, Ittiba’, Talfiq, Ijtihad.
A. Pendahuluan
Manusia telah diperbolehkan untuk tinggal
di bumi ini mulai dari zaman Nabi Adam sanpai zaman yang telah modern ini. Manusia
diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang mampu menggunakan akal
pikirannya untuk menyikapi suatu permasalahan sebagaimana yang telah dijelaskan
secara jelas dalam firmannya surah Ar-Rahman ayat 3-4. Sebagai makhluk yang
mampu berfikir, manusia diperintahkan oleh Allah untuk selalu mengambil hikmah
pengajaran dibalik penciptaan alam semesta ini. Manusia juga diperintahkan
untuk selalu ta’at akan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT yang
disampaikan oleh Rasulullah melalui perantara malaikat jibril.
Perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut termaktub dalam kitab Al-qur’anul karim. Adanya aturan
tersebut tidak lain hanya untuk menjadikan hidup manusia lebih teratur dan agar
tidak terjadi perbuatan yang tidak diharapkan. Semua itu diharapkan untuk
selalu taat dengan syariat yang telah menjadi hukum qath’i tersebut.
Pada zaman dahulu para sahabat jika tidak
faham tentang suatu dalil maka langsung bertanya kepada Rasulullah saw. sebab sering
terjadi perbedaan pemahaman di kalangan sahabat sendiri.Kemudian sahabat
menyampaikan hal tersebut kepada umat agar menadi ilmu yang dapat diteruskan ke
generasi selanjutnya. Namun dalam perjalanannya terjadi perbedaan pemahaman
juga didalam menafsirkan ajaran sahabat. Sehingga muncullah imam madzhab yang
termasyhur di dunia Islam yang menjadi kiblat untuk menentukan hukum suatu
permasalahan syariah. Hal ini menjadikan kontradiksi didalam penetapan hukum
dalam islam karena tidak semua imam memiliki pendapat yang sama meskipun dasar
yang dipakai sama kuatnya.
Penetapan hukum yang dilakukan oleh
para mujtahid yang bersifat dhanny adalah usaha untuk menerjemahkan
persoalan yang belum ditetapkan hukumnya dengan berpegang pada Al Quran dan
Hadits. Para mujtahid ini mulai ada ketika zaman tabi’it tabi’in yaitu pada
masa kejayaannya Bani Abbasiyah, yang pada saat itu ilmu pengetahuan berada
pada puncaknya. Ketika runtuhnya Islam di Baghdad banyak kalangan muslim yang
menyatakan bahwasannya ijtihad telah ditutup dan menetapkan ijtihad termasyhur
yakni madzhab Maliki, Hambali, Syafi’i dan Hanafi sebagai tempat hujjah tentang
berbagai persoalan yang ada. Tetapi perkembangan zaman yang terus menerus lama
kelamaan akan selalu memunculkan masalah baru yang bisa jadi belum secara jelas
telah ditetapkan hukumnya. Karena semakin maju kehidupan manusia akan semakin
kompleks pula permasalahan yang ada. Maka kita harus melakukan upaya untuk
menyelesaikan permasalahan ini agar terciptanya kemaslahatan bersama.
Dari hal tersebut dalam menetapkan
suatu hukum dengan permasalahan yang baru kita tidak boleh serta merta langsung
mengambil kesimpulan dari pemikiran subjektif belaka, kita juga perlu mengikuti
imam mujtahid yang telah dulu mencari sumber penetapannya sesuai dengan Al
Quran dan Hadits, serta jarak masa mereka dengan Rasulullah jauh lebih dekat
dari pada kita. Sehingga lebih mengetahui apa yang disampaikan oleh Rasulullah
SAW daripada kita. Oleh karena itu, dengan hal ini ijtihad sebenarnya tidak sepenuhnya
tertutup sebab kehidupan ini dinamis dan pastilah permasalahan juga akan terus
ada. Tetapi ijtihad pun tidak serta merta kita langsung menentukan, karena
terdapat ulama salaf yang lebih dulu melakukan pencarian hukum dan masa mereka
lebih dekat. Maka kita sebagai manusia yang hidup di era modern ini tetap boleh
mengikuti ulama yang lain serta tetap mencari dalil hukum mengapa hukum itu
ditetapkan.
Maka di dalam artikel ini penulis
akan mencoba menjelaskan tentang ijtihad, taqlid, talfiq dan ittiba’, yakni
berbagai istilah yang ada dalam ushul fiqh. Sehingga dalam menjalankan
kehidupan yang ada kita tidak asal untuk melakukan sesuatu dalam ibadah syariah
yang telah ditetapkan oleh Allah saw dan hadits Nabi Muhammad saw. untuk
mencari keridhoannya, serta hukum melakukan hal-hal tersebut bagi umat Islam
sebagai penerus risalah Rasulullah saw.
B. Taqlid
a.
Pengertian Taqlid
Taqlid yaitu
mengikuti beberapa pendapat dari sumber mana saja tanpa mengetahui sumber serta
alasannya. Taqlid juga berasal dari kata qalada,
yuqalidu, taqlidan yang berarti menirukan, menyerahkan, menghiasi, serta
menyimpangkan. Dari arti kata secara etimologi taklid juga memiliki arti yaitu
“mengalungi” yang berarti yaitu mengikuti seseorang secara patuh dan taat
(menerima dengan lapang dada ucapan orang lain tanpa hujatan). Ibnu Al Humam berpendapat bahwa Taklid adalah
seseorang yang beramal dengan pendapat seseorang yang tidak berkedudukan
sebagai hujah, tanpa mengetahui hujahnya.” Taklid juga dapat diartikan sebagai
beramal yang berdasarkan ucapan orang lain yang bukan bernilai syari’ah atau
juga dalil dari pendapat yang diikutinya. Hakikat merupakan kriteria yang
bertaklid dan dapat dihubungkan dengan mujtahid sebagai pelaksanaan hukum
syara’ terdapat beberapa lapis atau terdapat dalam beberapa tingkatan yaitu:
1.
Mujtahid yang
mengartikan bahwa hal tersebut berhubungan dengan hukum syara’ yang dilalui dan
ditemukan melalui ijtihadnya sendiri dan
beramal di dalam agama dengan hasil ijtihadnya tersebut.
2.
Muttabi’
mengartikan
bahwa orang yang bertaqlid adalah orang yang tidak mampu menghasilkan
pendapatnya sendiri mengenai hukum, padahal ia mengetahui alasan dan juga
dalil.
3.
Muqallid
mengartikan
bahwa orang yang tidak mampu menghasilkan pendapat dari dirinya sendiri tentang
bagaimana hukum, dan hal tersebut merupakan sebagian dari orang-orang yang
hanya mengikuti saja tanpa mengetahui dalil serta alasan dari pendapatnya.[1]
b.
Hukum Bertaqlid
Asal hukum
bertaqlid menurut ulama adalah haram, karena Allah SWT
menciptakan manusia semesta alam sesuai dengan akalnya. Akan tetapi, kemampuan
manusia itu sendiri berbeda-beda di dalam menggunakan akalnya, sebagian di
dalam kondisi tertentu, di dalam hukum dapat saja berubah, bahkan didalam hukumnya
menjadi boleh atau menjadi mubah. Asal-usul dari mengharamkannya hukumbertaqlid
terdapat ayah Al Qur’an di surat Al Baqarah ayat 170:
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا
أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
yang
artinya: “Apabila engkau dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang telah
diturunkan oleh Allah SWT, dan merka pun menjawabnya, “Tidak” tetapi kami
hanyalah mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami.
”Dan apakah mereka akan mengikutimu juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui dari suatu apapun, dan juga tidak mendapat petunjuk?”
Menurut
pendapat sebagian ulama bahwa Taqlid berhukum haram karena taqlid dilakukan
jika yang diikuti adalah orang-orang yang menyesatkan, sebagaimana orang-orang
jahiliah yang memegang pendapat dan perilaku dari seorang nenek moyang, kalau
di kaji ulang kembali nenek moyang mereka adalah orang-orang tidak mengetahui
dan bahkan mereka juga tidak memperoleh petunjuk dari siapapun.
Surat
Al Baqarah Ayat 170 yang sudah dijelaskan di atas jika dapatdikaji ulang dan
difahami dengan Mafhum mukhalafah
dapat dikeluarkan kandungan di dalam hukumnya, dan bahwa bertaqlid kepada orang-orang
yang telah memiliki pengetahuan yang sangat luas dan telah mendapat petunjuk
itu sangat diperbolehkan, karena orangyang alim jika ditaqlidi, maka tidak akan
membawa pada kesesatan.[2]
Untuk
menentukan hukum dari bertaklid tidak dapat diambil secara sepihak saja, harus
bisa melihat dari berbagai sisi dan segi:
a.
Sebagian Ulama melakukan Taklid
oleh mujtahid kepada mujtahid lain ada beberapa pendapat diantaranya:
kebanyakan Ulama mengatakan bahwa haram seorang mujtahid melakukan taklid
tersebut secara mutlak karena semua itu
hanya mampu melakukan ijtihad dengan sendirinya. Ulama Ahmad bin Hanbal, Abu
Ishaqk bin Al Rahawaih dan juga Sofyan al-Tsauri menyebutkan bahwa boleh nya mujtahid
melakukan taklid kepada mujtahid lain secara mutlak. Imam Syafi’i di dalam qaul
qadimnya bertaqlid terhadap mujtahid lain yang terdapat di dalam level termasuk
sahabat nabi dan juga tidak boleh kepada mujtahid yang lain. Ibnu sureij boleh
atau tidaknya mujtahid bertaklid bila seseorang tersebut sedang melaksanakan
tugas sebagai qadhi.
b.
Hukum taqlid yang pernah
dilakukan seseorang oleh al-muttabi’. Berikut pendapat yang dikemukakan oleh
beberapa ulama bahwa tidak boleh seorang muttabi’ bertaklid kepada mujtahid
yang beberapa seseorang tersebut mempunyai kemampuan mendapatkan hukum secara
sendirinya belum mencapai kemampuan seorang mujtahid dan juga harus mempunyai
beberapa syarat yang harus mengetahui kekuatan dalil yang telah digunakan oleh
mujtahid yang dianutnya.[3]
c.
Alasan-alasan diperbolehkannya Taqlid
Sebagian para
ulama mengartikan tentang ilmu agama. Kemalasan dan ketidakmampuan untuk
mencari ilmu agama maka taqlid nya adalah haram, lain lagi jika orang tersebut
jauh dari peradaban dan tidak tersentuh oleh ulama maupun da’i-da’i, dan orang
tersebut di dalam keadaan bodoh, maka orang tersebut diperbolehkan untuk
bertaqlid kepada siapapun yang akan dipandang dan mengerti agama. Di dalam Al
Qur’an sudah dijelaskan di dalam surat An Nahl ayat 43
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “dan
kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu
kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.” Dan juga terdapat di surat Al-Isra’ ayat 36:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya: “Dan
janganlah kamu mengikuti apayang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Dan sesungguhnya panca indera sampai ke hati semuanya akan diminta pertanggung
jawabannya.” Ayat tersebut melarang untuk taqlid dan juga memerintahkan manusia
untuk bertanya, jangan berdiam diri jika tidak mengetahui tentang sesuatu. Dan
demikian beberapa alasan untuk memerintahkan manusia untuk bertanya. Dan jangan
berdiam diri jika tidak mengetahui ilmu tentang taqlid tersebut. Syarat-syarat
taqlid dibagi menjadi dua, yaitu syarat terhadap soal-soal yang ditaqlidi.
Dengan demikian, alasan orang boleh ditaqlidi yaitu:[4]
1.
Orang biasa atau orang awam
2.
Orang tunarungu, orang
tunawicara, orang buta
Taqlid yang
diharamkan yaitu Taqlid yang tidak memperdulikan atau mengabaikan Al Qur’an dan
Hadits.
C. Ittiba’
a.
Definisi Ittiba’
Ittiba’ secara Bahasa yaitu berasal dari
mazdar dari fi’il “ittaba’a – yattabi’u – ittiba’an” yang memiliki arti
“mengikuti” atau “menurut”. Sedangkan apabila di artikan secara istilah,
ittiba’ berarti mengikuti pendapat orang lain, dalam halini adalah mujtahid
atau mufti dengan mengetahui dasar serta sumber dari pendapat itu. Sedangkan
dikalangan ulama’ ushul ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang
diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Orang yang
melakukan ittiba’ disebut dengan Muttabi’.[5]
Berdasarkan
penjelasan diatas dapat kita ambil bahwa pengambilan pendapat melalui jalan
ittiba’ tidak semata langsung dilakukan tanpa adanya proses pemikiran yang
mendalam. Terutama pendapat dari kaum mujtahid. Hal ini juga disampaikan oleh
Dr. Hasbuyallah M.Ag di dalam buku “Fiqh dan Ushul Fiqh” bahwa para imam
mujtahid berpesan agar tidak secara langsung menggunakan hasil dari ijtihad
mereka, namun harus melalui pemikiran yang mendalam dan sangat teliti serta
harus mengetahui sumber yang melandasi pemikiran para ulama’ mujtahid tersebut
agar tidak terjadi kebutaan dalam mengambil hokum atas sebuah perkara. Berbeda
dengan mujtahid, seorang muttabi’ tidak memiliki syarat-sarat yang dikhususkan,
namun apabila seseorang menemui permasalahan dan dia tak sanggup memecahkan nya
memakai wajib bertanya kepada mujtahid atau kepada orang yang benar-benar
mengetahui dan paham ilmunya.[6]
b.
Hukum
Hukum dari ittiba’ sendiri yaitu wajib
dan sangat diperintahkan oleh Allah SWT sebagaimana tertulis di dalam QS. An.
Nahl : 43.[7]
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ
فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.
Ayat lain dalam
Qs Al-Baqarah 15 kali, Diantaranya pada Ayat 38:
قُلْنَا
اهْبِطُواْ مِنْهَا جَمِيعاً فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ
هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya
: “Kami
berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surge itu! Kemudian jika dating
petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya
tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati".
Berdasarkan
dari ayat diatas kita dapat menyimpulkan bahwa ittiba’ sangat diperintahkan dan
ittiba’ tidak hanya dilakukan kepada perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
c.
Jenis-jenisIttiba’
Secara
garis besar ittiba’ dibagi kedalam dua hal yaitu:
1.
Ittiba’ kepada Allah dan
Rasul-Nya
Dalam hal ini
dikarenakan kita sebagai umat muslim harus lah mengikuti apa yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT melalui perantara Rasulullah SAW. Kita tidak boleh
melakakukan apa yang tidak diperintahkan dan juga tidak boleh melakukan apa
yang menjadi larangan-Nya.
2.
Ittiba’ kepada ahlul ‘ilmiatau
orang yang memilikiilmu
Ittiba’ dalam jenis ini wajib dilakukan
pada saat kita menjupai permasalahan yangmana kita tidak tau cara
menyelesaikannya dikarenakan kita tidak mengetahui ilmunya. Maka kita wajib
untuk mengikuti pendapat ulama’ yang lebih paham dan menguasai ilmu tersebut.[8]
3.
Urgensi ittiba’ dalam Islam
Ittiba’ sesuai dengan penjelasan diatas adalah sangat
dianjurkan, adapun hal yang menjadikan pentingnya kita melakukan ittiba’ adalah
sebagai berikut:
a.
Ittibā’ adalahsyaratditerimanyaibadah.
b.
Ittibā’ termasuk perwujudan
ikhlas kepada Allah dan Rasulullah
c.
Ittibā’ adalah salah satu
kunci untuk masuk surga.
d.
Ittibā’ adalah manifestasi
kecintaan kepadaAllah .
e.
Ittibā’ adalah sarana paling
efektif untuk dapat menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah.
f.
Ittibā’ adalah media paling
akurat untuk dapat merealisasikan ketaatan kepadaRasulullah dan upaya optimal
untuk menghindarkan diri dari ancaman akibat melalaikan ketaatan tersebut.[9]
D. Talfiq
a.
Definisi Talfiq
Kata Talfiq berasal dari bahasa Arab
(At-talfiqu) yang berasal dari kata (lafaqqa-yulaffiqu-talfiiqan) yang memiliki
beberapa arti yaitu menyamakan atau menggabungkan dua sisi yang berbeda seperti
ungkapan (laffaqtussaub) yang atinya, saya menggabungkan antara kedua ujung
baju, satu dengan yang lain. Namun, kata “talfiq” yang akan kita bahas disini
adalah talfiq dalam istilah Ushul Fiqh, talfiq yang dimaksudkan adalah nama
dari salah satu sikap beragama yang mengambil atau mengikuti hukum dari suatu
peristiwa berdasarkan pendapat lebih dari satu madzhab.[10]
Contohnya
sebagai berikut :
a.
Seorang laki-laki dan perempuan
melaksanakan akad nikah tanpa wali dan saksi, dikarenakan, pertama, mengikuti
pendapat madzhab Hanafiyah yang tidak mensyaratkan wali dalam pernikahan
tersebut. Kedua, mengikuti pendapat madzhab Malikiyah yang tidak mewajibkan
adanya saksi dalam pernikahan tersebut.
b.
Seoranglaki-laki berwudhu dengan
mengusap kurang dari seperempat kepala kemudian dia menyentuh kulit wanita
ajnabiyah (bukan mahram), dan seketika itu langsung mengerjakan sholat.
Dikarenakan, pertama mengikuti pendapat madzhab Syafi;iyah yang hanya
mewajibkan untuk mengusap sebagian kepala. Kedua, mengikuti pendapat madzhab
Hanafiyah yang menyatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyah tidak membatalkan
wudhu.
Berdasarkan
apa yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pemaknaan
talfiq dibagi menjadi dua perkara yaitu :
1.
Menggabungkan dua pendapat
mujtahid dalam perkara mu’amalah yang sama.
Misalnya,
membaca basmalah pada saat membaca Al-fatihah dalam sholat karena dasar madzhab
syafi’i, sedang diwaktu lain tidak membacanya karena mengikuti madzhab hanafi.
2.
Menggabungkan dua pendapat
mujtahid dalam perkara mu’amalah yang berbeda.
Misalnya,
berwudhu dengan menggunakan air yang musta’mal mengikuti madzhab maliki, dan
shalat tidak membaca fatihah dan diganti dengan potongan ayat mengikuti madzhab
hanafi.[11]
b.
Hukum Talfiq
Penetapan hukum talfiq sendiri secara
garis besar dibagi kedalam dua golongan. Pertama yaitu bagi kalangan yang
mewajibkan untuk mengikuti salah satu madzhab. Bagi golongan ini talfiq
hukumnya adalah tidak diperbolehkan atau haram. Karena pada golongan ini talfiq
sama halnya dengan pindah madzhab. Kedua yaitu golongan yang tidak mewajibkan
untuk menjadi pengikut salah satu madzhab. Dalam golongan ini talfiq dibagi
menjadi dua kategori, yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.[12]
Dalam
penetapan dari diperbolehkan atau tidaknya talfiq bagi golongan kedua akan
dijelaskan sebagai berikut :
a.
Talfiq yang dihukumi
boleh, yaitu mengambil hal yang paling ringan diantara pendapat para mujtahid
dalam masalah yang berbeda-beda. Seperti, melaksanakan wudhu menggunakan
madzhab syafi’i dan melaksanakan ibadah thawaf mengikuti madzhab hanafi.
b.
Talfiq yang dihukumi
tidak boleh, yaitu mengambil yang paling ringan diantara pendapat para mujtahid
dalam permasalahan yang sama. Seperti melakukan sebuah akad nikah dan mencari
yang paling gampang dengan menggabungkan madzhab hanafi dan maliki dalam hal
syarat akad.[13]
E. Ijtihad
a.
Pengertian Ijtihad
Kata jahda
artinya dengan sekuat-kuatnya atau sungguh-sungguh, alwus’i wa al-thaqah pengerahan dari segala kesanggupan dan juga al-mubalaghah fi al yamin artinya
berlebih lebihan dalam bersumpah. Ijtihad berkaitan dengan sumber hukum Islam,
dan untuk memperjelas urainnya yaitu berasal dari kata “jahda” yang bisa
diartikan “al-masyaqqah” yang artinya sulit/berat, susah ataupun bisa diartikan
sukar. Di dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 38 Allah telah menerangkan bahwa
“mereka bersumpah dengan nama Allah tidak akan membangkitkan oyang yang telah
meninggal. Tidak juga demikian bahkan Allah pun akan membangkitkannya sebagai
janji dari Allah, dan kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” Berikut
merupakan pendapat dari beberapa ahli:
1.
At-Taftazani menyebutkan bahwa
ijtihad adalah pengarahan dari semua kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh
segala yang dituju hingga sampai kepada tujuan.
2.
Rahmat Syafi’i menyebutkan bahwa ijtihad
diartikan juga sebagai kesulitan dan juga sebuah kesusahan, dan juga diartikan
sebagai kemampuan dan juga kesanggupan.
3.
Abu Zahrah menyebutkan bahwa
ijtihad suatu bentuk yang dapat megarahkan segala kemampuan yang dihukumi
secara Islam keseluruhan dan besifat praktis yang berasal dari dalil-dalil yang
terperinci.
Dari beberapa
definisi pengertian Ijtihad dari beberapa ahli bisa disimpulkan bahwa:
1.
Ijtihad adalah sebuah pengarahan
akal pikiran terhadap fuqaha.
2.
Ijtihad juga bisa dalam
penggunaan akal karena adanya dalil-dalil yang zhanni dari Al Qur’an dan Hadits.
3.
Ijtihad berkaitan dengan hukum
Syar’i yang amaliah.
4.
Ijtihad yaitu penggalian
kandungan hukum Syar’i dari usaha dan pendekatan.
5.
Ijtihad juga terdapat dalili-dalil
secara terperinci sehingga hilang dari kezhaniyannya.
6.
Hasil-hasil dari Ijtihad itu
sendiri berbentuk Fiqih yang mudah dipelajari dan diamalkan.[14]
b.
Hukum Ijtihad
Hukum Ijtihad
menurut Syaikh Muhammad Al-Khudari di dalam bukunya menyebutkan bahwa ada
beberapa hukum yang melekat di dalam praktek Ijtihad, yaitu:
1.
Wajib ‘ain
Orang-orang yang bertanggung jawab atas
suatu kasus hukum dan kekhawatiran kehilangan moment-moment yang berharga, ada
sebagian kasus yang tertentu yang terjadi pada seseorang tersebut secara
pribadi dan seseorang tersebut tidak lain hanya ingin mengetahui hukumnya.
2.
Wajib Kifayah
Orang yang memiliki tanggung jawab
terhadap suatu kasus hukum yang tidak dapat menawar dan juga tidak dapat
menghilangkan kekhawatiran kehilangan atas moment-moment kasus dan bagi
mujtahid lainnya. Mujtahid tidak merumuskan suatu hukum, maka hal tersebut
adalah perbuatan yang berdosa dan jika salah seorang diantara mereka telah
berfatwa tantang beberapa kejelasan hukum tentang kasus tersebut, gugurlah suatu
tuntunan berijtihad.
3.
Nadab (sunnah)
Ijtihad adalah sebuah perbuatan yang
dilakukan agar dapat merumuskan suatu atas beberapa hukum yang belum terjadi,
baik kasus di dalam hukum yang jelas diminta pertanggung jawaban atau tidak
nya.
Menurut Isa
Manun di dalam buku Usul al-Tsari al-islami menyebutkan bahwa hukum syariat
terbagi menjadi tiga macam, diantaranya:
1.
Hukum mutlak yang diyakini atas
kebenarannya (al ahkam al yaqiniyyah)
Hukum yang mutlak atas kebenarannya
dilakukan secara turun temurun dan hukum ini memiliki karakteristik yang
berbeda di antara hukum yang lainnya diantara orang-orang yang telah
mengingkarinya disebut orang kafir dan menemukan hukum syar’iy. Hukum Syar’iy
adalah hukum yang masih tidak diketahui serta pada dasarnya dapat mencurahkan
beberapa kemampuan untuk menemukan sebuah kebenaran suatu hukum.
2.
Hukum orang muslim yang telah
disetujui dan tidak ada orang satupun yang dapat melanggarnya. Pengetahuan
tentang hukum ini banyak diketahui hanya beberapa orang ahli ilmu saja, bukan
lagi orang awam. Mujtahid tidak boleh menyalahi atau menyalahkannya karena hal
menyalahi tersebut merupakan suatu yang dihukumi kafir dan bersifat haram. Para
imam tidak setuju akan hal tersebut dan mereka berpendapat bahwa pengingkarnya
tidak kafir tetapi berdosa dan berbuat fasiq.
3.
Hukum syariat yang dalil nya
masih belum jelas atau masih samar. Mujtahid dapat menginstalbatkan secara
berbeda-beda. Perbedaan di dalam hukum-hukum semacam inilahtidak menjadi masalah,
karena hal tersebut yang terjadi pada masa nabi dan sahabatnya.
Menurut Abd
Al-Wahdah Khallaf berpendapat bahwa hukum-hukum syari’at yang bersifat praktis
dan terbagi menjadi tiga macamyaitu:
1.
Hukum syari’at yang bersifat
praktis ditunjukkan oleh beberapa ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang
ditunjukkan secara eksplisit dan tentunya sudah pasti.
2.
Hukum syari’at yang bersifat
praktis dan mengandung makna kepastian dalil.
3.
Hukum syari’at yang bersifat
praktis ditunjukkan oleh beberapa ayat Al Qur’an dan hadits, serta dalil-dalil
ditunjukkan oleh pembuat hukum.[15]
Hukum ijtihad
dilihat dari sisi benar dan salah nya melihat dari beberapa teori yang sudah
dikembangkan yaitu qath’i dan zhanni. Bagian qath’i berupa kalamiyah ,
ushuliyah dan fiqhiyah. Kalamiyah adalah sesuatu yang bersifat murni dan berupa
akal dan suatu kebenaran. Ushuliyah adalah sama hal nya dengan keberadaan ijma’,
qiyas, dan khabbar ahaad, dan juga sebagai hujjah, di dalam masalah-masalah
dalil nya adalah qath’iyah dan juga untuk orang yang berbeda dengannya. Fiqhiyah
adalah amalan-amalan wajib yaitu shalat lima waktu, zakat, puasa, keharaman
zina, pembunuhan, pencurian, minum khamr atau arak.
Di antara mereka
yang telah mengatakan dan berada di dalam kasus hukum yang tidak bernash kan
yaitu mujtahid tidak dibebani untuk meneruskan suatu hukum yang berbeda dan juga hukum yang tepat. Pendapat yang
diutamakan oleh beberapa ulama adalah bahwa Allah mempunyai hukum-hukum
tertentu di dalam setiap kasus yang telah dihadapi oleh umatnya dan juga telah
turun dalil-dalil nya baik di dalam ayat Al Qur’an maupun di dalam
hadits-hadits shahih.
Adapun sebagian
dari mereka yang mengatakan bahwa semua mujtahid itu benar, hal tersebut dimaksudkan bahwa masing-masing
tidak ada yang membebani kecuali sesuatu yang telah dihasilkan oleh ijtihadnya,
dan yang dimaksudkan adalah apa yang telah ditunjukkan oleh makna eksplisit
(terus terang). Perbedaan tersebut merupakan perbedaan yang teoritis
semata-mata karena jumhur fuqaha sepakat bahwa manusia diharuskan meneggakan
hukum dengan segala tenaganya, dan sesuatu yang benar di dalam masalah-masalah
yang terjadi di dalam ranah ijtihad.[16]
c.
Syarat-syarat Berijtihad
Menurut Syeikh
Muhammad al Khudari di dalam bukunya yaitu Ushul Fikih seorang mujtahid
diisyaratkan dua hal yaitu:
1.
Harus adil
2.
Mengusai sumber-sumber Syara’
serta mengusai sumber-sumber hukum yaitu: Al-Qur’an, Al Sunnah, Ijma’, Qiyas.
Upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk menghasilkan hukum Al-Qur’an, Al Sunnah, Ijma’, Qiyas
yaitu: mengetahui penetapan dalil-dalil serta syarat-syaratnya yang bisa
menjadi bukti-bukti dan dalil tersebut menjadi kesimpulan di dalam sebuah
pengetahuan yang mengenai klasifikasinya, dan kemudian diketahui terhadap
dalil-dalil yang kemudian terbagi menjadi tiga macam yaitu: dalil Aqliyah,
dalil syar’iyah, dan dalil wadh’iyah.
Mengetahui
bahasa dan tata bahasanya terdapat pada aspek-aspek yang memungkinkan di dalam
memahami khitbah, membedakan kalam yang sudah jelas maksudnya, jelas lafalnya,
global, harfiyah, metafora, umum dan dibatasi, tekstual, umum dan dibatasi,
tekstual dan beberapa makna yang dikandungnya.Mengetahui nasikh dan mansukh nya
yang ada di dalam Al Qur’an terdapat di beberapa ayat, bagi seorang mujtahid
yang ingin berfatwa dengan ayat dan hadits mengenai sesuatu yang menjadi
perkara, dan cukup menjadi hadits dan ayat tersebut muhkam. Mengetahui
bagaimana riwayat dan juga dapat membedakan dari kebenaran dan keshahihan
Al-Sunnah dari kefasidan, kemaqbulan, dan kemardudannya.
Allah telah
meriwayatkan tentang dasar-dasar ilmu Faraidl. Salah satu syarat untuk menjadi
seorang mufti yaitu mampu untuk menjawab semua masalah. Sesungguhnya ushul yang
tidak sama sekali mengetahui komponen-komponen legislasi dan bisa
merumuskannya. Dari pemahaman tersebut maka terbentuklah dasar-dasar umum
(al-ushul al-ammah) yang dipandang sesuatu yang wajib bagi seseorang dan sampai
di dalam kategori istinbath dan fatwa.[17]
d.
Objek Ijtihad
Objek Ijtihad
ialah dari semua hukum syar’i yang tidak memiliki dalil qath’i. Dan juga apa
saja yang termasuk di dalam kategori tidak bisa disebut ijtihad adalah apa-apa
yang sudah disepakati ummat yaitu adanya hukum-hukum syara’ yang telah jelas
seperti terhadap beberapahal yang menjadi kewajiban yaitu shalat lima waktu,
zakat, dan amalan-amalan lainnya. Objek Ijtihad disini ditunjukkan kepada
diperbolehkannya Ijtihad bagi Nabi SAW, diperbolehkannya Ijtihad bagi selain
Rasulullah pada masa beliau.[18]
F. Penutup
Dari penjabaran
di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam ilmu ushul Fiqh beberapa
istilah-istilah seperti Taqlid, Ittiba’,
Talfiq, dan juga Ijtihad dapat disimpulkan bahwa dibuat hanya untuk menjadikan seseorang yang
melakukan hal tersebut di dalam melakukan di dalam hal yang melakukan upaya
pemahaman tentang beberapa dari dalil naqli dan bersifat qath’i. Taqlid yaitu
mengikuti beberapa pendapat dari sumber mana saja tanpa mengetahui sumber serta
alasannya.Ittiba’ secara Bahasa yaitu berasal dari mazdar dari fi’il “ittaba’a
– yattabi’u – ittiba’an” yang memiliki arti “mengikuti” atau “menurut”.
Sedangkan apabila di artikan secara istilah, ittiba’ berarti mengikuti pendapat
orang lain, dalam halini adalah mujtahid atau mufti dengan mengetahui dasar
serta sumber dari pendapat itu. Sedangkan dikalangan ulama’ ushul ittiba’
adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau
dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Orang yang melakukan ittiba’ disebut dengan
Muttabi’. Kata Talfiq berasal dari bahasa Arab (At-talfiqu) yang berasal dari
kata (lafaqqa-yulaffiqu-talfiiqan) yang memiliki beberapa arti yaitu menyamakan
atau menggabungkan dua sisi yang berbeda seperti ungkapan (laffaqtussaub) yang
atinya, saya menggabungkan antara kedua ujung baju, satu dengan yang lain.
Namun, kata “talfiq” yang akan kita bahas disini adalah talfiq dalam istilah
Ushul Fiqh, talfiq yang dimaksudkan adalah nama dari salah satu sikap beragama
yang mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa berdasarkan pendapat
lebih dari satu madzhab. Kata jahda artinya
dengan sekuat-kuatnya atau sungguh-sungguh, alwus’i
wa al-thaqah pengerahan dari segala kesanggupan dan juga al-mubalaghah fi al yamin artinya
berlebih lebihan dalam bersumpah. Ijtihad berkaitan dengan sumber hukum Islam,
dan untuk memperjelas urainnya yaitu berasal dari kata “jahda” yang bisa
diartikan “al-masyaqqah” yang artinya sulit/berat, susah ataupun bisa diartikan
sukar.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir Syaifuddin,
Garis-garis besar Ushul Fiqih (Jakarta:Kencana
Pranada Media Group,2012).
Beni Ahmad Saebani dan
Januri, Ushul Fiqih (Bandung:Pustaka
Setia,2009).
Suyatno,
Dasar-dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Jogjakarta:Ar-Ruzz
Media,2011).
Sudarsono,
Pokok-pokok Hukum Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 2001).
Koto,
Alaidin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2004).
Hasbiyallah,
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung : PT> Remaja Rosdakarya, 2014).
Maya,
Rahendra,KONSEP AL-ITTIBĀ’ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR‘AN DAN HADITS, dalam
jurnal At-tadabbur : Jurnal Ilmu Al-qur’an dan tafsir.
.
Yusuf, Nasrudin,
Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang : UM PRESS, 2012) hlm. 166.
Muhammad Sayyid Tantawi, Ijtihad dalam teologi keselarasan
(Surabaya:JP Books,2005), hlm 8-10.
Syaikh Muhammad Al Khudhari Biek,
Ushul Fiqih (Jakarta: Pustaka Amani,
2007).
Catatan:
1.
Similarity 10%.
2.
Tidak perlu dicantumkan gelar (Prof.,
Dr., Ustadz, dll) dalam tulisan ilmiah.
3.
Jika mengambil dari jurnal harus
ada pula volume dan nomor serta halaman.
4.
Abstrak terlalu overload.
5.
Penulisan daftar pustaka berbeda
dengan penulisan footnote.
[1] Amir
Syaifuddin, Garis-garis besar Ushul Fiqih
(Jakarta:Kencana Pranada Media Group,2012), hlm163-164
[2] Beni
Ahmad Saebani dan Januri, Ushul Fiqih (Bandung:Pustaka
Setia,2009), hlm 293-295
[3] Amir
Syaifuddin, op.cit, hlm164-166
[4] Suyatno,
Dasar-dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Jogjakarta:Ar-Ruzz
Media,2011), hlm 171-185
[5]Koto,
Alaidin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2004) Hlm
129
[6]Hasbiyallah,
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung : PT> Remaja Rosdakarya, 2014) Hlm. 123
[7]Sudarsono,
Pokok-pokok Hukum Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 2001) hlm. 64
[8]Koto,
Op.Cit. Hlm 129
[9]Maya, Rahendra,
KONSEP AL-ITTIBĀ’ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR‘AN DAN HADITS, dalam jurnal
At-tadabbur : Jurnal Ilmu Al-qur’an dan tafsir. Hlm. 28-30
[10]Koto, Op.Cit
hlm. 131
[11] Yusuf,
Nasrudin, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang : UM PRESS, 2012) hlm. 166
[12]Hasbiyallah,
Op.Cit. Hlm. 124
[13]Yusuf,
Nasrudin, Op. Cit. Hlm 166-167
[14] Beni
Ahmad Saebani dan Januri, op.cit, hlm289-291
[15]
Muhammad Sayyid Tantawi, Ijtihad dalam
teologi keselarasan (Surabaya:JP Books,2005), hlm 8-10
[16] Syaikh
Muhammad Al Khudhari Biek, Ushul Fiqih
(Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm 824-830
[17] Ibid.,
hlm. 810-815
[18] Ibid.,
hlm 815-818
Tidak ada komentar:
Posting Komentar