TAQLID,TALFIQ DAN ITTIBA’ DALAM
USHUL FIQH
Heppy Siscanty R.N (16110043) dan
Himmatul Millah (16110015)
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail : Heppy.siscanty567@gmail.com
Abstract
This article discusses the notions of Tadlid, Taqlif, dan
Ittiba’ dalam Ushul Fiqh. Other than as a knowlwdge of the pocess of the form
in taking a law, that is also a guideline in taking law. The phenomenon in
taking this law is very diverse, so in the case, we as muslims who are obedient
and obedient to religious rules, must always know how to follow up the law
through ushul fiqh and then apply it to worship and media lerning. So that to
know everything that must be understood is the Qur’an and the Sunnah, besides
Ijma’ and Qiyas also need to be known. The emergence of Ijma’ and Qiyas needed
Ra’yi. So that with this we can know the
right (not original) law that can be used as a guideline for taking law.
Related to this, the author will discuss and explain this article.
Abstrack
Artikel ini membahas tentang
pengertian Talqid, Talfiq, dan Ittiba’ dalam Ushul Fiqh. Selain sebagai
pengetahuan tentang proses jalannya bentuk dalam mengambil suatu hokum, hal ini
juga sebagai pedoman dalam mengambil hukum. Fenomenanya dalam pengambilan hukum
ini sangatlah beragam, sehingga dalam hal itu, kita sebagai orang muslim yang
patuh dan taat terhadap aturan-aturan agama, harus senantiasa mengetahui bagaimana tindak lanjut hukum
melalui ushul fiqh dan kemudian diterapkan dalam beribadah dan media belajar.
Sehingga untuk mengetahui semuanya yang harus di pahami adalah Al-Qur’an dan
As-Sunnah, selain itu ijma’ dan qiyas pun juga perlu diketahui. Munculnya Ijma’
dan Qiyas di butuhkan Ra’yi. Sehingga dengan adanya hal itu kita bisa
mengetahui hukum yang benar (tidak asal) yang bisa dijadikan pedoman hidup
dalam pengambilan hukum. Terkait dengan hal itu penulis akan membahas dan
menjelaskan diartikel ini.
Keywords: Taqlid, Taqlif, Ittiba’ dalam Ushul
Fiqh
A. Pendahuluan
Ilmu ushul fiqh untuk menetapkan
hukum, dengan demikian ilmu ushul fiqh ini sangatlah penting bagi para pelajar
untuk menambah wawasan tentang hukum islam. Rasulullah memberikan pengarahan
kepada umat muskim sebagai jembatan untuk keteraturan dalam menjalakan hidup
sesuai syariat. Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat tentang Al-Qu’an dan
hadist untuk menjalankan ketetapan yang ada, jika seandainya para sahabat belum
faham tentang suatu dalil maka para sahabat bertanya kepada Rasulullah. Karena
pemahaman para sahabat tentang dalil yang ada itu setiap sahabat berbeda-beda
pemikiran. Kemudian para sahabat rasulullah meneruskan dakwah islam dengan
mengajarkan kepada generasi selanjutnya dan kemudian terus menerus sampai saat
ini.
Dalam ushul fiqh juga membahas
masalah talfiq,taklid dan ittiba’. Ketiganya ini memiliki arti yang berbeda dan
maksudnya pun berbeda. Tetapi
ketiga-tiganya sangat jelas diatur dalam islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam
Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 43 yang artinya : “Dan kami tidak mengutus sebelum
kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Disini dalam penulisan ini kami akan menjelaskan tentang taqlid,talfiq
dan ittiba’ , yakni dengan berbagai istilah yang ada dalam ushul fiqh. Sehingga
dalam menhalakan kehidupan yang ada kita tidak asal melakukan sesuatu dalam
bribadah yang telah ditetapkan oleh Allah.
B. Pengertian Taqlid
Sama halnya dengan istilah yang
terdapat dalam ilmu ushul fiqh dan iu fiqih, Istilah Taqlid berasal dariahasa
Arab yang artinya “mengikuti, mengulangi, meniru.” Menurut Para Ulama’ Ushul
Fiqh mendefiisikan Taqlid dengan “mengikuti pendapat ulama’ tertentu atau
seorang mujtahid tanpa mengetahui cara pengambilan dan sumber pendapat
tersebut.” Sedangkan orang yang bertaqlid adseut mukallid. Terdapat dua unsur
yang pelu dperhatikan dari definisi tersebutdalam pembicaraan taqlid, yaitu:
a.
Mengikuti atau menerima perkataan
seseorang.
b.
Perkataan tersebut tiakdiketahui
dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan Hadits tersebut.[1]
Muhammad Rasyid Radha merumuskan
definisi Taqlid dengan kenyataan-kenyataan yng ada dalam masyarakat islam.
Taqlid menurut pandangan beliau adalah mengikuti pendapat orang yang dipercaya
dalan hukum islam dan mengikuti pendapat orang yang dianggap terhormat pada
masyarakat tanpa memperhatikan baik buruknya, benar atau salahnya, serta
manfaat mudharatnya pendapat tersebut.
Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H)
mendefinisikan taqlid yaitu menerima perkataan orang lain tanda ada dalil.Hal
yang senada juga dikatakan oleh Imam Az-Zarkasyi (w.794 H) taqlid yaitu
mengambil perkataan orang lain tanpa tau dalilnya. Sedangkan menurut Ibnu Ruyd al-Qurtuby (w.595 H) mendefinisikan
taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang dianggap kejujurannya karena
kepercayaan yang baik terhadap orang lain tersebut.
Abu Abdillah bin Khawaj berkata “
pengertian taqlid menurut syara’ adalah mengikuti pendapat tanpa mengetahui
hujjah yang dijadikan dasar bagi pen,dapat tersebut. Taqlid tersebut dilarang
oleh syariat.
Empat imam madzab ( Imam Maliki,
Imam Hanafi, Imam Ahmad Ibnu Hambal, dan Imam Syafi’i) tealah melarang
pengikutnya untuk bertaqlid kepada beliau, dan mengecam orang yang mengambil
pendapat mereka tanpa berdasarkan dalil (hujjah) yang nyata. Imam Syafi’I
berkata,” Perumpamaan orang yang menuntut ilmu pengetahuan tanpa hujjah laksana
orang yang mencari kayi bakar dimalam hari, dimana ia membawa ikatan kayu bakar
yang didalamnya ada ular berbisa yang akan mematuknya, dan dia tidak
mengetahuinya. “ Pendapat ini diriwayatkan oleh Baihaqi.”[2]
Para Ulama’ Ushul Fiqh sepakat
melarang taqlid dalam 3 hal. Yaitu:
1. Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertantangan
dengan Al-Qur’an dan Hadits. Contohnya, tradisi nenek moyang dimana kalau kita
menjalankan tujuh hari tujuh malam tidak tidur dan berada di makam dengan
keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan seluruh hajatnya, padahal perbuatan
tersebut tidak sesuai dengan firman Allah yang ada di Surah Al-Ahzab (33): 64
2.
Mengikuti orang atau sesuatu yang
tidak diketahui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnya itu
melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal ini terdapat dalam Surah
Al-Baqarah (2): 165-166.
3.
Mengikuti pendapat seseorang,
padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah dalam surah
At-Taubah (9): 31.
C.
Hukum Taqlid
Taqlid hukumnya dicela atau
dilarang, firman Allah surat Al-Baqarah ayat 170 :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟
مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ
ءَابَآءَنَآ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا
يَهْتَدُو
Yang artinya : “Dan apabila
dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka
menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk.
Dalam ayat tersebut firman Allah
diatas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid, yakni orang yang
menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli,[3]
selain ayat duatas juga imam yang kenamaan seperti syafi’i,maliki, ahmad bin
hambali, dan hanafi yang bisa di jadikan ikutan, melarang pengikut mereka
bertaqlid kepada mereka diantara ucapan mereka yaitu :
a. Imam syafi’i
“ contohnya orang yang mencari
suatu ilmu tanpa alasan seperti orang mencari kayu api diwaktu malam yang
membawa dia satu ikatan kayu, sedang didalamnya seekor ular yang akan
mematuknya pada hal dia sendiri tidak tahu”.
b. Imam Malik
“ masing-masing kita menolak dan
tertolak, kecuali orang yang menghuni kubur ini yaitu nabi SAW”.
c. Imam Hambali
“ jangan engkau bertaqlid kepadaku
dan jangan bertaqlid kepada imam malik, jangan kepada Tsauriy dan jangan [ula
terhadap Auz’iy, ambilah daripada yang mereka ambil”.
d. Imam Hanafi
“bila perkataanku menyalahi kitab
Allh (al-Qur’an) dan Hadits Rasul-Nya, maka tinggalkanlah olehmu perkataanku”.
Jumruh ulama berpendapat, taqlid
dalam bidang syar’i tidak dibenarkan secara mutlak, alasan ulama yang melarang
taqlid adalah, firman Allah yang berbunyi :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ
وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولً
Artinya : “Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya”.(al-isra’ : 36)
Ayat tersebut melarang mengikuti
pendapat tanpa mengetahui alasannya, sedangkan tiap-tiap larangan adalah haram,
sebagaimana yang kita ketaui pada bab yang terdahulu yakni bab “An Nahyu” oleh
karena itu kesimpulannya berarti haram bertaqlid.[4]
D.
Macam-macam taqlid
a.
Taklid yang haram
Taklid akan menjadi haram hukunya
jika terjadi hal-hal yang membuat menjadi haram.
b. Taklid yang boleh
Taqlid yang hukumnya boleh yakni
taklid yang tidak mengapa untuk dilakukan , tidak merupan kewajiban , juga
bukan merupakan keharaman. Dan bagi para mujtahid yang tidak sampai batas
sebagai mujtahid mutlak. Dan mereka mempunyai kapasitas,syarat untuk berijtihad
sendiri.
c. Taklid yang wajib
Taklidnya kita semua sebagai orang
awam kepada para mujtahid yang memenuhi syarat ijtihad.dengan keadaan sebagai
orang awam seperti kita maka haramlah atas kita untuk melakukan ijtihad fiqih,
yakni melakukan istimbath hukum dari sumber-sumber syariah islam secara
seenaknya sendiri.
Kalau kita melakukan ijtihad hukum
, al hasil tidak boleh dipakai mujtahid ataupun untuk orang awam yang lainnya.[5]
E.
Periode Taqlid
Sebab-sebab terhentinya Ijtihad, Di
antara sebab-sebab yang menghentikan ijtihad dan menganjurkan taqlid, ialah:
1. Timbulnya pertempuran satu sama lain yang disebabkan karena
pecahnya umat islam kepada beberpa
pemerintahan.
2.
Pecahnya imam-imam mujtahidin
kepada beberapa madzab yang masing-masing mempunyai corak sendiri, mempunyai
kecenderungan sendiri dan mempunyai khittah sendiri. Murid- murid dan
pengikut-pengikut mereka terus berusaha membela pendiri imamnya dengan berbagai
alas an. Hal ini semuanya memalingkan mereka dari dasar-dasar tasyrf yang
asasi, yaitu Qur’an dan Hadist. Mereka kembali pada Qur’an dan Hadist hanyalah
sekedar untuk memperkuat pendapat imamnya, ruh istiqlal telah lenyap dari
kepribadian para pengikut madzab itu.
3.
Tidak terdapat undang-undang fatwa
yang teratur yang harus diikuti oleh para mufti. Oleh karena itu taka da
undang-undang fatwa, dapatlah orang-orang memberi fatwanya. Karena itu
terwujudlah berbagai fatwa dalam satu kejadian. Karena terjadi berbagai fatwa
dalam suatu kejadian. Karena terjadiberbagai fatwa itu para ulama’ diakhir abad
ke-empat mengumumkan penutupan pintu ijtihad dan mengharuskan para hakim untuk
bermadzab dengan salah satu madzab yang telah ada.[6]
F.
Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa adalah
menutup, menambal, tak dapat menacapai dan lain sebagainya. Adapun talfiq yang
di maksudkan di ushul fiqh : “mengamalkan satu hukum yang bediri dari dua
mazhab atau lebih”.[7] Yang
dimaksud adalah, masalah berwudhu seorang tidak melafazkan niat , karena
mengikuti mazhab hanafi. Tapi dalam mengusap kepala ketika berwudhu cukup
sebagian kepala saja , karena menikuti mazhab maliki. Bertafiq ada satu
masalah, para ulama berbeda pendapat tentang mana yang dibolehkan dan mana yang
tidak dibolehkan.[8]
Dalam kitab al-mausu’ah al-fiqhiyah
mengartikan talfiq dengan mengambil amalan yang benar dari pendapat dua madzab
yang berbeda secara bersamaan sekaligus, dan ini dihukumi sebagai amalan batil
pada keduanya, dalam satu kasus hokum yang menurut madzab pertama dan madzab kedua sesame memandang
batal (tidak sah).[9]
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili, taqlifi
dengan melakukan satu amalan yang tidak dikatakan mujtahd, dan beramal dengan
mengambil dua pendapat madzab atau lebih dari satu amalan (qadhiyah) yang
memiliki rukun-rukun dan bagian-bagiannya, sehingga sampai pada suatu hakikat
amalan yang tidak dikenal oleh siapapun dari para imam madzab, tidak oleh imam yang
dulu dia ikuti madzabnya maupun imam’barunya’ yang dia telah berpindah padanya.
Justru masing-masing imam madzabnya ersebut menetapkan batilnya penggabungan
dalam amalan ibadah tersebut.
G.
TalfIq Dalam Sejarah Fiqih Islam
Konon istilah talfiq muncul setelah
abad pertama islam. Para sahabat Nabi tidak pernah mengatakannya. Mengingat
sumber tasyri’ dan fiqh pada masa itu hanya sebatas Al-Qur’an dan As-Sunnah
saja. Karena Setiap permasalahan yang terjadi diantara mereka dikembalikan
kepada Al-Qur’an. Jika tidak ada dalam Al-Qur’an maka diserahkan kepada
Rasulullah SAW dan beliau akan segera menyelesaikan permasalahan tersebut.
Begitu juga pada masa sahabat,
tabi’in dan kibar ulama’ istilah talfiq belum ada. Para ulama’ mufti dan hakim
pada masa tersebut menyandarkan semua permasalahan mereka pada nash-nash
syar’I, jika tidak didapati dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka menggunakan
ra’yi mereka dalam mengeluarkan pendapat
selagi dalam lingkup ijtihad.
Sehingga, sampai hari ini tidak
kita dapati para kibar ulama’ membicarakan dan membahas persoalan talfiq,
padahal mereka memiliki karanganushul figh dan
fikih. Istilah talfiq muncul dan menyebar ketika berada pada masa madzab
dalam fikih. Ini terjadi pada abad ke empat hingga permulaan abad ke lima
hijriyah.
Kemudian, ulama’ dari setiap madzab
membahas dan menjelaskan hakikat talfiq. Sebagian mereka menolak secara mutlak
dan sebagaiannya menerimanya secara mutlak dan sebagian yang lain menerima
dengan syarat.[10]
H.
Ruang Lingkup Talfiq
Para ulama’ fiqh bersepakat bahwa
ruang lingkup talfiq ini terbatas hanya pada masalah-masalah furu’iyah
ijtihadiyah dzanniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yang sifatnya masih
perkiraan).
Adapun masalah ushulliyah
(pokok-pokok dasar agama) yang sifatnya I’tiqadi (keyakinan) seperti masalah
aqidah atau iman itu bukanlah ruang lingkup talfiq. Dikarnakan para jumhur
ulama’ telah mengatakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan
apalagi bertalfiq. Serta tidak diperbolehkan bertalfiq lagi ketika hasilnya
akan menghalalkan sesuatau yang jelas
keharamannya dengan adanya nash qoth’I seperti haramnya mencuri, zina, dan
minum minuman keras.[11]
I.
Hukum Talfiq
Pembagian Hukum Talfiq
a. Wajib
b.
Sunnah
c.
Haram
d.
Makruh
e.
Mubah[12]
Dikatakan wajib apabila diperlukan
berupa kepastian, Peristiwanya itu wajib jika menjlankannya itu berbentuk
pasaan, tidak pasti, dan diminta untuk memperbuatnya. Jika perlakuannya tidak
berbentuk paksan dan kepastia, maka dinamakan sunnah. Apabila tujuannya
memperhentikan berbuat, yang merupakan kepastian, maka ini dinamakan haram.
Peristiwa itdikatakan haram Jika jalannya itu tidak berbentukpakan an
kepastian, maka ini dinamakan makhruh. Peristiwannya itu makhruh, apabila
jalannya itu menyuruh pilih bagi mukallaf, antara meninggalkan dan memperbuat,
maka ini dinamakan mubah. Peristiwa itu mubah, perbuatan yang dsuruhnya itu
mubah.
a. Wajib
Ahli Uslul Fiqh mendefinisikan
wajib sebagai suatu perbuatan yang dituntut oleh Allah untu dilakukan secara
pasti ang diberi ganjaran dngan pahala orang yan meakukannya, karena perbuatan
itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan dianca dosa oranyang
meninggalkannya, karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut. Secara
sederhana wajib berarti tuntutan secara syar’I dan pasti untuk dilaksanakan dan
tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai
hukuman.
Wajib itu dibagi menjadi empat
bagian dengan I’tibar yang berbeda-beda:
1.
Wajib ditinjau dari waktu
melakukannya.
2. Wajib itu dibagi dari pihak orang yang meminta untuk membayarkan
yang wajib a’inni dan kifa-i
3. Wajib itu ditinjau dari pihak banyaknya permintaan.
4.
Wajib itu dibagi kepada wajib
mu’ayan dan wajib mukhayar.[13]
b. Sunnah
Mandub atau Sunnah adalah sesuatu
yang dituntut syari’ (pembuat hokum) unuk melakukannya secara hokum syar’I
tanpa ada celaan terhadap orang ang meninggalkan secara mutlak. Tidak adanya
celaan bagi orang yang meninggalkan
tuntutan itu karena tuntutan itu tidak secara pasti. Bagi yang
meninggalkan tidak ada sanksi. Definisi sunnah yang banyak dikemukakan ulama’
adalah sesuatu yang diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak disiksa
orang yang meninggalkannya.Istilah ini identic dengan mandub adalah as-sunnah,
al-nafl, al-mustahab, dan al-mustahsan.
c. Haram
Haram berarti sesuatu yan dituntut
syar’I (pembuat hukun) untuk tidak melakukannya secara pasti. Definisi yang
umumnya dikemukakan ulama’ untuk haram adalah sesuatu yang diberi pahala orang
yang meninggalkannya dan dikenai dosa dan ancaman orang yang melakukannya.
Contoh perbuatan mencuri, berzina, membunuh dan sebagainya.
Para Ulama’ berbeda pendapat
mengenai bentuk-bentuk haram. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa semua tuntutan
yang pasti adalah haram. Dalil yang digunakan pembuat hukum untuk melarang itu
ada yang bersifat zhanni da nada yang bersifat qoth;iy. Ulama’ Hanafiyah memisahkan antara larangan yang
ditetapkan dengan dalil qath’iy dan yang
ditetapkan dengan dalil zhanni.
d. Karahah/Makhruh
Karahah adalah sesuatu yang
diauto;eh syar’I (pembuat hokum) untuk ditinggalan dalam bentuk tntutan yang
tidak pasti. Pengaruh tuntutan ini
terhadap perbuatan perbuatan yang dilarng disebut karahah, dan perbuatan yang
dilarang disebut makhruh. Pada prinsipnya makhruh adalah sesuatu yang dilarang, tetapi larangan itu
bukanlah haran. Definisi yang umum untuk maktuh
adalah sesuatu yang diberi pahala
orang yang meninggalkannya dan tidak diberi dosa orang yang
melakukannya.
e. Mubah
Mubah berarti sesuatu yang diberi
kemunginan oleh pembat ukum bagi mukalaf untuk memilih antara melakukan dan
mninggalkan. Ia boleh melakukan aatau tidak . Pada hokum mubah ini tidak terlihat adanya tuntutan baik
untuk melakukan ataupun meninggalkan. Karena itu, para ulama’ berbeda
pendapat dalam memasukkan mubah ke dalam hokum taklifi.
Ulama’ ahlusunnah memasukkan mubah
kedalam hokum taklifi, sementara ulama’ mu’tazila tidak.[14]
J. Pengertian Ittiba’
Kata “Ittiba’” dari bahasa Arab,
yaitu dari kata kerja atau fi’il “ Ittiba’a”,” Ittiba’an”, yang berarti
mengikuti atau menurut. Sedangakan menurut istilah agama menerima suatu ucapan
atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil) baik dalil itu
Qur’an maupun Hadits yang dapat dijadikan hujjah. Ittiba’ dalam agama disuruh,
sedangkan orang yang mengikuti dengan adanya dalil dinamakan muttabi’.[15]
Kalangan usuliyyin mengemukakan
bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau
dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan
mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang
diikuti[16].
Firman Allah dalam surat An-Nahl
ayat 43 :
فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Yang artinya : maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Di dalam ayat pertama terdapat
kalimat “ tanyakanlah”, yakni suatu perintah yang memfaedahkan wajib untuk
melakukan . maksudnya disini kewajiban kamu bertanya lepada orang yang tau dari
kitab dan sunnah tidak dari yang lain-lain. Dengan pengertian ahli Alqur’an dan
sunnah, adapun sabda Rasulullah SAW :
“wajib kamu turut sunnahku (cara)
dan sunnah khulafau Rasyidin sesudahku”.( HR. Daud dan lainnya).
Dari hadits ini menunjukkan wajin
menurut (ittiba’). Selain itu keterangan-keterangan di atas masih banyak lagi
ayat-ayat Alqur’an dan hadist nabi serta ucapan imam-imam, ulama yang
mewajibkan setiap orang islam mengikuti jejak dan perjalanan mereka.[17]
K.
Hukum Ittiba’
Hukum ittiba’ adalah wajib bagi
setiap muslim, karena ittiba’ yakni diperintah oleh Allah, sebagaimana
firman-Nya :
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا
تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَۗ
Artinya : Ikutilah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya. (al-a’raf: 3).
Di dalam ayat ini kita
diperintahkan mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap
perintah iyalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Dan disamping
juga ada sabda Nabi yang berbunyi :
“ Wajib atas kamu mengikuti
sunnahku dan perjalanan /sunah khulafaur Rasyiddin sesudahku”.(HR.Abu Daud).[18]
L.
Penutup
Dari
hasil penjabaran diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam ushul fiqih
iatilah taqlid,talfiq,dan ittiba’
merupakan istilah yang dibuat untuk melakukan seseorang upaya melakukan
pemahan. Taqlid ialah seseorang yang mengikuti pendapatan ulama-ulama yang
sudah tahu dasar hukum islam, dan orang itu angat percaya dengan ulama tersebut
oleh karena itu ia merasa tidak mampu memahami hukum syariat. Hukumnya
bertaqlid yaitu jumruh ulama berpendapat tidak di benarkan secara mutlak.
Akan tetapi sebagian ulama menyatakan kalau
bertaqlid itu diperbolehkan. Sedangkan Talfiq ialah suatu perbuatan yang orang
tersebut suatu madzabkemudian ia menggunakan madzab yang lain. Hukum Talfiq itu
sendiri terdiri dari wajib, haram, sunnahmubah,makruh.Ittiba’ ialah menurut
atau menikuti ulama atau yang lainnya, dengan didasari pengetahuan dalil-dalil
yang dipakai.hukum dari ittiba’ itu wajib didalam surat Al-Arf ayat 3
menjelaskan untuk mengikuti perintah-perintah Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Djalil, Basiq. 2014. Ilmu ushul fiqih. Jakarta : Kencana
Prenadamedia Grup
Amir, syarifuddin. 2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta :
Kencana Prenadamedia Grup
Bakry , SN. 2003. Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Koto, alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih. Jakarta :
Raja Grafindo Persada
Hanif Lutfi, Bahagiakan Taqlid Dalam Beragama, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing,
2018)
Ibnu Qoyyim, Panduan Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2007)
Mardani, Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Vivi Kurniati, Talfiq Antar Madzab, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2008)
Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, ( Jakarta: PT. Ranik Cipta, 2005)
Marzuki, Hukum Islam, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013)
Catatan:
Similarity 24%. Saya melihat
makalah ini sangat jauh dari bagus (untuk tidak mengatakan jelek). Pemakalah
tidak paham apa yang dibahas, mengapa ada pembahasan wajib, sunnah, mubah,
makruh, dan haram dalam talfiq? Ini TALFIQ bukan TAKLIFI. Ijtihad juga tidak
ada. Makalah ini kacau, sangat tidak layak ada dalam mata kuliah saya. Maaf saya
harus berkata jujur. Revisi total atau nama Anda saya coret dari daftar hadir
saya.
[1]Koto Aaiddin, Ilmu Fiqh
Dan Ushul Fiqih, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm132
[2]Al Jauziyah Ibnu Qayyim, Panduan
Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Azzam,2007), hlm. 313
[3]Nazar Bakry, fiqh dan
ushul fiqh,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003), hlm.60
[4]Nazar Bakry, op. cit,(Jakarta:
Raja Grafindo Persada,2003), hlm.62
[5][5]Hanafi
Lutfi,bahayakah taqlid dalam beragama(jakarta, Rumah Fiqih
publishing,2018) hlm 26-29
[6]Mardani, Hukum Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm 75.
[7]Basiq Djahil, ilmu ushul
fiqih(jakarta,Kencana Prenadamedia Gruop,2014), hlm210
[8]Basiq Djahil, op. Cit,(jakarta,Kencana
Prenadamedia Gruop,2014), hlm211
[9]Kuniati Vivi, Talfiq
Antar Mazhab, (Jkarta: Rumah FiqihPublishing,2018), hlm 7
[10]Vivi kurniawati,talfiq
antar madzhab,( jakarta, Rumah Fiqih Publising,2018) hlm 10
[11]Vivi kurniawati,op. cit
,( jakarta, Rumah Fiqih Publising,2018) hlm 20
[12]Wahab Abdul, Ilmu Usul
Fikih, (Jakarta: PT. Renika Cipta, 2005), hlm 125
[13]Wahab Abdul, op. cit,
(Jakarta: PT. Renika Cipta, 2005), hlm 126.
[14]Marzuki, Hukum Islam,
(Yogyakarta:Penerbit Ombak, 2013), hlm 219.
[15][15]Alaiddin
Koto, ilmu fiqih dan ushul fiqih,(jakarta, RajaGrafindo
Persada,2004) hlm
[16]Alaiddin Koto, op. cit,(jakarta,
RajaGrafindo Persada,2004) hlm
[17]Nazar Bakry, fiqh dan ushul
fiqh,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003), hlm.60-61
[18]Basiq Djahil, ilmu
ushul fiqih(jakarta,Kencana Prenadamedia Gruop,2014), hlm200
Tidak ada komentar:
Posting Komentar