Adi
Yusuf Salsabilah & Ibda Wahyu Setiana
PAI E Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
Email : ibdaaldi@gmail.com
Abstrac
The beginning of the
science of Fiqih stopped growing occurred in the 14 H century in the dynasty
abbasiyah, among the causes of this decline is a taklid among scholars and
experts jurisprudence. this period of decline lasts very long. at the end of
the 13 H century the attitude of taklid
began to be eliminated, and at this time Islamic law began to rise again which
marked the movement of thinking renewal on the teachings of Islam.
Abstrak
Awal ilmu Fiqih berhenti tumbuh terjadi pada abad ke 14 H dalam dinasti
abbasiyah, di antara penyebab kemunduran ini adalah taklid antara pakar dan
ahli yurisprudensi. Periode penurunan ini berlangsung sangat lama. Pada akhir
abad ke 13 H sikap taklid mulai dieliminasi, dan saat ini hukum Islam mulai
bangkit lagi yang menandai perpindahan pembaharuan pemikiran ajaran Islam.
Keyword : Setbacks, factors & causes, resurrection.
A.
Pendahuluan
Dalam
setiap kehidupan umat manusia di dunia ini segalanya memliki dasar hukum, baik
hukum yang bersumber dari Allah AWT maupun sumber hukum yang dibuat oleh
manusia berupa hukum adat, hukum Negara dll. Hukum ini sebagai pedoman dan
tumpuan dalam melakukan dan mengambil tindakan sesuai dengan hukum yang telah
ditetapkan.
Ulama
sependapat bahwa di dalam syariat islam telah terdapat segala hukum yang
mengatur semua tindak-tanduk manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Untuk
memahami hukum islam yang telah disebutkan secara jelas tidak diperlukan
ijtihad, tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya, karena
memang sudah jelas dan tegas disebut oleh Allah. Adapun untuk mengetahui hukum
islam dalam bentuk dalil diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para
mujtahid untuk menggali hukum yang terdapat didalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Dan ketetapan
hukum yang telah disebutkan diatas disebut fiqih.
Dilihat dari bahasa, fiqih berasal
dari kata faqaha yang berarti
memahami dan mengerti. Dalam peristilahan syar’i, ilmu fiqih yang dimaksudkan
sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dali-dalilnya yang
terperinci dalam Nash.[1]
Sebelum
jauh membahas mengenai Hukum Islam ( fiqih
) dan ruang lingkup pembahasannya, ada baiknya kita mengetahui mengenai sejarah
ilmu fiqih. Yang mana dalam sejaranya terbagi menjadi dua periode, yaitu
periode masa kemunduran dan periode masa kebangkitan kembali.
Oleh
karena itu, dalam pembahasan ini akan diulas beberapa sejarah fiqih pada masa kemunduran dan pada masa
kebangkitan kembali, penulis akan mencoba untuk mengemukakan dua masa tersebut
yang mana dalam bahasan ini akan diambil beberapa poin penting, yaitu : sejarah
fiqih pada masa kemunduran, faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan
sejarah fiqih pada masa kebangkitan kembali. Dalam hal ini, penulis akan
mencoba mengungkapkan sejarah tersebut dari beberapa referensi buku sejarah
Ilmu fiqih sebagai penunjang materi.
B.
Sejarah
fiqih pada masa kemunduran
1.
Periode
Kemunduran
Periode kemunduran ini memakan waktu
yang cukup panjang, yaitu sekitar Sembilan setengah abad. Periode ini dimulai dari pertengahan abad keempat
Hijriyah sampai kurang lebih akhir abad ketiga belas Hijriyah yaitu waktu
pemerintahan Turki Usmani memakai kitab undang-undang yang dinamai Majalah
Al-Ahkam Al-Adliyah. Dalam undang-undang tersebut materi-materi fiqh disusun
dengan sistematis dalam satu Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dan pada
periode tersebut kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol.
Pada periode ini, pemerintah Bani
Abbasiyah akibat berbagai konflik dan beberapa faktor sosiologis dalam keadaan
lemah. Banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaanya dan mendirikan
kerajaan-kerajaan sendiri-sendiri, seperti kerajaan Bani Samani di Turkistan
(874M-999M), Bani Ikhsydi di Mesir (935M-1055M) dan beberapa kerajaan kecil
lainnya yang antara satu dengan lain saling berebut pengaruh dan banyak
terlibat dalam situasi konflik. [2]
Pada umumnya ulama yang berada di
masa itu sudah lemah kamauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak
sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode kejayaan seperti
disebut di atas. Situasi kenegaraan yang berada dalam konflik, tegang dan lain
sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang
mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan Hadis. Mereka
merasa puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan
meningkatkan diri kepada pendapat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah.
Sikap inilah kemudian yang mengantarkan Dunia Islam kea lam taklid, kaum
Muslimin terperangkap kea lam pikiran yang jumud dan statis. [3]
C. Faktor Kemunduran
Pada periode ini umat Islam
mengalami kemunduran di bidang politik, pemikiran, mental, dan kemasyarakatan
yang mengakibatkan pula kemunduran dalam bidang fiqh:
1.
Timbulnya Taklid
Pada
era kondisi ini perjalanan fiqh Islam sangat buruk sekali. Padahal periode ini
adalah fase terpanjang dalam sejarah fiqh Islam, mengalami kemunduran dan
jumud. Jika di zaman generasi pertama kita bisa melihat para fuqaha’
yang sibuk menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode ini
para ulamanya sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka
memiliki kemampuan untuk menempuh jalan pendahulunya. Mereka tidak hanya
melakukan taqlid mutlak, semangat untuk menulis buku juga menurun sehingga
hasil karya ilmiah para fuqaha’ juga sangat minim, dan hanya terbatas pada apa
yang sudah mereka temukan dalam kitab pendahulu lalu dihafal dan dikaji, jauh
dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan singkat. [4]
Kegiatan
Ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan, pensyarahan dan
perincian kitab fiqih dari imam mujtahid yang ada (terdahulu), dan tidak muncul
lagi pendapat atau pemikiran baru. [5]
2. Kemunduran
di Bidang Politik
Misalnya
terpecahnya dunia Islam menjadi beberapa wilayah kecil yang masing-masing
keamiran hanya sibuk saling berebut kekuasaan, saling memfitnah, dan berperang
sesama muslim yang mengakibatkan ketidaktentraman masyarakat muslim. Kondisi
yang semacam ini pada gilirannya menyebabkan kurangnya perhatian terhadap ilmu
dan pemikiran tentang fiqh. Dan pada akhir kekuasaan Abbasiyah khalifah
dijadikan boneka, daerah-daerah yang dikuasainya berdiri sendiri dan saling
bermusuhan
3.
Dengan dianutnya
pendapat madzhab tanpa pikiran yang kritis serta dianggapnya sebagai sesuatu
yang mutlak benar,
Hal ini menyebabkan
orang tidak mau meneliti kembali pendapat-pendapat tersebut. Orang merasa cukup
mengikuti madzab tersebut bahkan mempertahankannya dan membelanya tanpa
mengembalikan kepada sumber pokok Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Hal ini diperkuat
lagi oleh penerapan satu mazhab tertentu bagi suatu wilayah kekuasaan tertentu.
Misalnya Pemerintahan Turki termasuk para Hakim-nya menganut dan membantu
mazhab Hanafi. Kekuasaan di sebelah barat mengokohkan madzhab Maliki dan di
sebelah timur madzhab al-Syafi’i.[6]
4.
Dengan banyaknya
kitab-kitab fiqh
Para
ulama dengan mudah bisa menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang
dihadapi. Hal ini sudah tentu bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya tanpa
kritis dan tanpa membandingkan dengan pendapat madzhab-madzhab lain serta tanpa
memerhatikan kembali Al-Qur’an dan Sunnah, membawa akibat kehilangan
kepercayaan terhadap potensi yang besar yang ada pada dirinya. Tidak menghargai
hasil ijtihad ulama-ulama lain dan merasa pendapat sendiri yang mutlak benar
dalam masalah-masalah ijtihadiyah, sudah tentu akan mengarah kepada sikap yang
tertutup dengan segala akibat-akibatnya. Yang di khawatirkan setelah munculnya
kitab-kitab fikih adalah disubukkanya ulama dengan kegiatan yang berkutat pada
kitab fikih melalui upaya pembuatan ringkasan (al-mukhtashar),
penjelasan (syarh), dan penjelasan atas penjelasan (hasyisah).
Dalam kitab Muqiddimah, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa melakukan kegiatan
yang berkutat pada kitab fikih adalah kegiatan yang menyulitkan karena yang
belajar diaharuskan menguasai, menghafal dan menjaga seluruh (isi) dan
cara-cara yang ditempuhnya. [7]
5. Berkembangnya
Tasawuf
Dengan
berkembagnya tasawuf yang begitu pesat, kerja ulama fikih menjadi sangat
terbatas. Bersamaan dengan itu, muncullah problema kesenjangan dalam fikih,
yaitu bagaimana fikih yang difahami secara tekstual dan kaku itu menjawab
berbagai peersoalan yang terus berkembang. Ada beberapa faktor lain yang
menyebabkan adanya jarak (kesenjangan) antara fikih secara teoretis dengan
kenyataan sosial secara praktis. Pertama, kakaguman yang berlebihan dari para
ulama terhadap para imam dan guru membuat mereka membatasi kerja hanya untuk
membela dan menyebarkan pemikiran-pemikiran fikih para imam dengan cara
kodifikasi atau pengajaran. Pola kerja seperti ini otomatis akan memunculkan
fanatisme yang tinggi terhadap hasil pemikiran para imam. Kedua, munculnya
gerakan kodifikasi fikih para imam. Para pengikut imam yang setia menghimpun
dan menuliskan pemikiran-pemikiran fikih yang belum ditulis sebelumnya. Ketiga,
penggunaan madzhab tertentu dalam pengadilan. Pada zaman sahabat, tabiin, dan
para imam madzhab, pelaksanaan pengadilan tidak menggunakan ketentuan madzhab
tertentu. Saat itu semua orang yang memenuhi syarat-syarat ijtihad boleh
memutuskan hukum suatu kaus, bahkan kemampuan berijtihad menjadi syarat utama
bagi yang hendak memangku jabatan hakim. Keadaan seperti itu menyebabkan para
ulama dan fuqaha Islam sudah merasa puas dengan usaha membuat ikhtisar
karya-karya ulama masa lalu.[8]
6. Kerja
Para Ulama (keterpakuan tekstual)
Para
ulama pada periode ini betul-betul berada dalam keterpakuan tekstual yang
sangat mencekam, mereka juga berjasa dalam menghimpun pemikiran-pemikiran fikih
para imam sebagai suatu kekayaan khazanah fikih Islam. Mereka menghimpun
pemikiran-pemikiran fikih, mentarjih berbagai riwayat, mencari kekuatan
hukumnya, kemudian merumuskan dasar-dasar pijakan dan kaidah-kaidah ushuliyyah
yang menjadi landasan ijtihad dan fatwa para imam. Jadi kerja para ulama pada
periode ini adalah, (1) mentarjih berbagai pendapat para madzhab, (2) membela madzhab,
(3) merumuskan dasar-dasar dan kaidah-kaidah ushul fikih (Mun’im A. Sirry,
1995: 134). [9]
Sebab keterpakuan tekstual, menurut Mun’im A. Sirry terjadi karena
keterbelengguan akal pikiran sebagai akibat hilangnya kebebasan berfikir.
Farouk Abu Zaid berpendapat bahwa kebebasan berfikir hilang, antara lain
disebabkan oleh pemaksaan penggunaan aliran atau madzhab tertentu oleh pihak
penguasa, seperti Khalifah al-Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq memaksakan
Muktazilah kepada ulama. (Mun’im A. Sirry, 1995: 128).[10]
7. Dengan
jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan Islam di Barat
Tahun
1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan Islam di Timur
tahun 1258 M, maka berhentilah denyut jantung
kebudayaan Islam baik di Barat maupun di Timur. Ditambah lagi dengan
kehancuran masyarakat Islam masa itu. Ulama-ulama di bagian Timur berusaha
mencoba untuk menyelamatkan masyarakat yang sudah hancur itu dengan melarang
berijtihad untuk menyeragamkan kehidupan sosial bagi semua rakyat, dengan
demikian diharapkan timbulnya ketertiban sosial. Rupanya usaha ini tidak hanya
tergantung kepada keseragaman kehidupan sosial tetapi juga kepada hasil
kekuatan dan kreativitas perorangan.
D. Sejarah fiqih
pada masa kebangkitan kembali
1.
Masa
Kebangkitan
Setelah
mengalami masa kemunduran, timbulah kebangkitan kembali sebagai reaksi
terhadap sikap taqlid yang membawa pada
kemunduran selama beberapa abad, sehingga para pemikir islam memulai
gerakan-gerakan baru sebagai usaha untuk membangkitkan islam kembali. Termasuk
didalamnya hal pemikiran hukum islam. Fenomena ini merupakan suatu wujud
kesadaran dari kebangkitan hukum islam.
Periode
ini dimulai dari awal-awal abad kedua Hijriah hingga pertengahan abad keempat
Hijriah. Dalam kemajuannya yang sangat pesat, fiqih menghasilkan hukum perundang-undangan untuk mengatur berbagai
urusan sehingga umat islam merasakan ketentraman dan kedamain dari hukum-hukum
tersebut. Pada periode ini muncul ulama fiqih.
Para mujtahid mendirikan madzhab fiqih yang masih bertahan hingga saat
ini.[11]
Ahli
sejarah mencatat bahwa kesadaran itu muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki
Mesir pada tahun 1798 M. kejatuhan Mesir ini menginsafkan umat islam betapa
lemahnya mereka dan betapa di Dunia barat telah timbul peradaban baru yang
lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Gerakan pembaharuan ini
cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak diantara pembaharu
merupakan ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Sebenarnya,
usaha kearah pembaharuan ini telah diawali oleh Ibn Taimiyah pada awal abad VII
H. Tokoh yang terlahir di Harran, Syiria, 12 januari 1236 M ( 10 robiul Awwal
661 H ) dan terkenal sebagai tokoh yang sangat keras menentang ketidakbenaran
dalam praktik keagamaan umat islam ini, telah meresmikan perang terhadap taklid
di peralihan abad ketiga belas dan keempat belas Masehi.[12]
2.
Sebab
Kebangkitan Fiqih
Kebangkitan
fiqih pada masa ini disebabkan oleh
beberapa sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, adapun diantaranya[13] :
Pertama , perhatian para khalifa Abbasiyah
terhadap fiqih dan fuqaha. Perhatian ini
tampak pada sikap mereka mendekati para fuqaha
dan merujuk pendapat-pendapat mereka. Perhatian khalifah terhadap fuqaha dan
pemberian kebebasan yang cukup kepada mereka untuk mengadakan kajian ilmiah
telah mendorong semangat para fuqaha
dalam menghasilkan produk fiqih dan
kajian ilmiah. Sehingga setiap fiqih
berijtihad secara leluasa dan memunculkan hasil ijtihadnya dalam
masalah-masalah fiqih.
Kedua, meluasnya
Negara islam. Dinegara yang luas ini terdapat beraneka ragam
tradisi yang berbeda-beda sehingga ijtihad pun menjadi berbeda-beda pula
menyesuaikan perbedaan adat dan tradisi. Disisi lain, umat islam sangat
antusias untuk mengetahui hukum syariat. Mereka selalu merujuk dan meminta
fatwa kepada para fuqaha dan para fuqaha menjawab dan mengistinbathkan
hukum-hukum permasalahan mereka.
Ketiga, lahirnya
mujtahi-mujtahid besar yang memiliki kemampuan fiqih yang mendalam. Guna memenuhi kebutuhan sekaligus
mengembangkan fiqih dalam kebutuhan
umat islam maupun Negara, mereka memdirikan madrasah-madrasah fiqih yang
melibatkan para tokoh fiqih.
Keempat, Kodifikasi Sunnah. Sunnah telah
dibukukan dan diidentifikasi antara yang shahih dan dha’if. Hal ini memudahkan
fuqaha dan membantu merekatanpa perlu susah payah. Sunnah merupakan materi dan
sumber kedua bagi fiqih.
Dari
keempat sebab yang telah dijabarkan, dapat dideskripsikan bahwa pada zaman ini,
para khalifah dan ulama sangat memperhatikan dalam bidang perkembngan ilmu
khususnya ilmu hukum islam ( fiqih ).
Perkembangan hukum islam ini sebagai sarana yang digunakan para khalifah dan
ulama sebagai pengambilan keputusan terhadap suatu hal menurut hukum-hukum yang
telah dirumuskan sebagai rujukan dan pegangan untuk menghilangkan keluhan dan
kebimbangan di kalangan umat islam.
3.
Perkembangan
fiqih pada masa Mujtahidin ( fiqih madzhab ) & masa Utsmani
a.
Perkembangan
fiqih pada masa Mujtahidin ( fiqih madzhab )
Akhir
abad pertama muncul mujtahi-mujtahid dalam furu’.
Yang termasyhur antara lain[14] :
1) Madzhab
Aby Hanifah
Madzhab
ini yang pertama muncul dan di kalangan madzhab sunni terkenal dengan madzhab
yang sangat banyak menggunkan ra’yu.
Dalam ijtihadnya selain berpegang kepada Al-Qur’an, Al-hadist, Ijma’ dan Qiyas
beliau memakai dalil istihsan sebagai dalil yang khusus. Madzhab hanafi
merupakan amdzhab yang banyak diikuti terutama di zaman Abbasiyah dan menjadi
madzhab resmi pemerintah Utsmaniyah.
2) Madzhab
Maliki
Madzhab
ini lahir di Hijaz, dengan tokoh yang menjadi imam madzhabnya bernama Malik Ibn
Anas ( 95-179 H/713 – 795 M ). Madzhab ini terkenal sebagai madrasah
Ahlul-Hadist. Pegangan dalam beristinbath hukum selain Al-Qur’an dan Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas juka dipakai.
3) Madzhab
Asy-Syafi’i
Tokoh
yang menjadi imam madzhab ini Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’I ( 150-204 H / 767
– 819 M). madzhab ini merupakan madzhab pertengahan antara madzhab hanafi dan
madzhab Maliki dalam mempergunakan qiyas dan hadist. Asy-Syafi’I dalam
beristinbath hukumnya berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, kepada Ijma’ dan
Qiyas, beliau menolak al-Istihsan dari hanafi dan menolak Al-Mashlahatul – Mursalah dari Maliki. Di Indonesia kita banyak
menjumpai kitab-kitab fiqih
Syafi’iyah dari pada fiqh madzhab
lainnya.
4) Madzhab
Ahmad Ibn Hanbal
Madzhab
ini sebagai madzhab terakhir diantara madzhab ahli sunni yang masih banyak
pengikutnya. Tokoh yang menjadi imamnya adalah Abu Abdillah / Ahmad Ibn Hanbal
( 164-241 H / 780 – 855 M ). Ahmad Ibn Hanbal adalah murid Asy-Syafi’I yang
berdiri sendiri mempunyai madzhab tersendiri.
b.
Perkembangan
fikih pada masa Utsmani
Pemerintah
Utsmaniyah berdiri pada awal abad ke-14 di Anatoli ( Turki ) dan berlangsung
kurang lebih selama empat abad. Negara Utsmani pada mulanya tidak menganut
suatu madzhab tertentu, tetapi kemudian mengikuti madzhab Hanafi secara resmi
untuk fatwa dan pengadilan. Dalam pengkodifikasian hukum pada masa Utsmani,
terdapat beberapa kendala yang sedikit menghambat proses pengkodisikasian
tersebut, yakni : Sumber tasyri’ Islami
yang dikhawatirkan mereka membuat kekeliruan karena sumber ini adalah hal yang
suci, kemerdekaan berijtihad yang
mana dalam hal ini jika hasil ijtihad telah dikodifikasikan maka tidak lagi
menerima ijtihad lain, dan kemerdekaan
aqidah yang mana jika fiqih telah
dikodifikasikan berarti membatasi kemerdekaan aqidah bagi lainnya.[15]
1. Menetapkan
yang resmi bagi Negara
Kegagalan
Abu Ja’far al-Mansur dalam menetapkan madzhab maliki dengan al-Muwaththa
sebagai madzhab yang resmi, maka Sultan Salim I ( 1512-1520, sultan Utsman
kesembilan ) memandang perlu menetapkan madzhab yang resmi, maka dikeluarkan
ketetapan sultan ( Qararan Sultaniyyan / Firman ) yang mengumumkan bahwa
madzhab Hanafi merupakan madzhab resmi Negara yang harus diikuti dalam hal “
peradilan dan fatwa “.
2. Penyusunan
satu pendapat ( madzhab )
Penyusunan
suatu madzhab dengan menyusun undang-undang perdata Utsmani ( al-qanun al-madani al-Utsmani ) yang
terkenal dengan Majallatul-Ahkam
al-Adlliyah yang mengandung 1851 pasal yang terbagi ke dalam mukadimah dan
16 kitab. Yang mana mukadimah terdiri atas 100 pasal, yang pertama dengan
definisi fiqih dan yang lainnya
tentang prinsip-prinsip umum yang disebut dengan al-qawaid al-kulliyah, dan undang-undang lainnya yang diambil dari
madzhab Hanafi.
3. Membuat
kompilasi dari madzhab yang berbeda-beda
Penyusunan
undang-undang yang dilakukan di seluruh wilayah Utsmani dan diikuti di Mesir,
Suriyah, Irak, Tunisia, dll juga mengambil dari madzhab lain apabila madzhab
tersebut sesuai untuk kemaslahatan manusia selain berdasarkan madzhab Hanafi
sebagai madzhab yang resmi. Misalnya dalam perundang-undangan tentang al-ahwalusy – syakhsyiyyah wakaf, waris
dan wasiat yang disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan perubahan kondisi
dan situasi.
4. Mengambil
perundang-undangan modern
Pengambilan
perundang-undangan yang sesuai dengan syari’ah
islamiyah dari perundang-undangan modern seperti hukum perdata ( madani ),
hukum perdagangan ( tijari ), dan hukum pidana baru ( jina’i ).
Masuknya campur tangan asing ke dalam
undang-undang Utsmani
Percepatan
meluasnya pengaruh kerajaan Utsmaniyah hingga ke Asia, Afrika, dan Eropa
menyebabkan campur tangan asing dalam urusan peraturan perundang-undangan. Hal
ini berawal dari golongan minoritas non-muslim yang menikmati peraturan
perundang-undangan islami daulah islamiyah dalam masalah-masalah al-ahwal al-syahshyiyyah. Orang-orang
asing mendapat hak istimewa yang telah dikeluarkan oleh Sultan Muhammad
al-Fatih. Perjanjian-perjanjian tersebut disebut capitulation yang mengenai pajak dan perlindungan dari kekuasaan
peerinah Utsmaniyah, bahkan dalam semua masalah perdagangan dan lain-lain,
terutama perjanjian dengan Prancis tahun 1673 dan perjanjian denga Inggris
tahun 1675 yang memberikan hak kepada negala lain ( asing ) untuk melindungi
rakyat Negara lain. Campur tangan ini meningkat pada awal abad ke-19 ketika
pemerintahan Utsmaniyah mulai lemah, khusunya pada pemerintahan Abul Aziz (
memerintah 1861-1876 M), ketika Negara jatuh ke dalam hutang luar negeri karena
pemborosan dan keroyalan.[17]
Peraturan perundang-undangan kerajaan
Utsmani
Pemerintah
Utsmaniyah terpengaruh oleh perundang-undangan modern Eropa, antara lain dalam
hal-hal berikut :
1.
Undang-undang
perdagangan.
2.
Undang – undang
pemerintahan.
3.
Undang – undang
tentang hukum pidana.
4.
Undang-undang
perdagangan laut.
5.
Undang-undang
hukum acara.
Dalam
periode kebangkitan kembali ilmu fiqih, terdapat beberapa tanda-tanda kemajuan
yang terdapat dalam tiga bidang, diantaranya ;
1. Di
Bidang perundang-undangan
Periode
ini dimulai dengan masa berlakunya Majalah
al-Ahkam al-Adliyah yaitu kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam
pemerintah Turki Utsmani pada tahun 1292 H atau tahun 1876 M. baik bentuk
maupun isi dari kitab Undang-undang tersebut berbeda dengan bentuk dan isi
kitab fiqih dari satu madzhab
tertentu. Di Mesir dengan keluarnya undang-undang no. 25 tahun 1920 M., dalam
sebagian pasal-pasalnya dalam hukum keluarga tidak menganut madzhab Hanafi,
tetapi mengambil pendapat lain dari madzhab al-‘Arba’ah. Kemudian dalam
undang-undang 1929 M. juga tentang hukum keluarga maju selangkah yaitu tidak
mengambil dari madzhab al-‘Arba’ah,
tetapi juga dari madzhab yang lain.[18]
Dari
penjabaran diatas beserta contoh yang telah di jabarkan pula, dapat dilihat
bahwa perkembangan hukum fiqih yang
digunakan sebagai dasar pengambilan tindakan atas masalah umat islam yang
dihadapi semakin kompleks seiring
berkembangan zaman dan perluasan wilayah, oleh karena itu masa Turki
Utsmani sebagai penerus kepemimpinan umat islam melakukan legislasi besar-besaran
dengan menyusun al-Ahkam al-Adliyah
yang berasaskan madzhab Hanafi dengan memilih pendapat yang paling sesuai dengan prkembangan zaman.
2. Di
Bidang Pendidikan
Di
perguruan tinggi Agama di Mesir, Pakistan maupun Indonesia dalam cara
mempelajari fiqih tidak hanya
dipelajari satu madzhab tertentu, tetapi juga dipelajari madzhab-madzha yang
lain secara muqaranah atau
perbandingan, bahkan juga dipelajari sistem Hukum Adat dan sistem Hukum Romawi.[19]
Dari
hal ini dapat dikatakan bahwa, pembelajaran fiqih
secara muqaranah dapat menjadi model pembelajaran dengan mempertimbangan
dan melihat dari berbagai sudut pandang, sehingga pengambilan kesimpulan
mengenai suatu hal diambil secara objektif dan sesuai dengan kaidah yang sudah
ada sebagai penguat dan sandaran pengambilan hukum yang disesuaikan dengan
kebutuhan. Sehingga terjadi perpaduan yang seimbang sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan zaman, terlebih di Indonesia.
Sekitar
tahun 1966 di Indonesia diperkenalkan pula Fiqih
Siyasah pada Fakultas Syariah yang banyak berorientasi kepada kemaslahatan
dalam penerapan hukum, serta menekankan prinsip-prinsip hukum dan semangat
ajaran dalam Fiqih Islam.[20]
Dalam
mempelajari Ilmu Fiqih haruslah protektif dan lebih memperhatikan guna
memperoleh ilmu dan hukum yang tepat dan terarah, yang mana dalam hal ini
sesuai dengan kaidah fiqih sesungguhnya.
3. Di
Bidang penulisan buku-buku dalam Bahasa Indonesia dan penerjemahan
Seperti
kita ketahui ajarn islam pada umumnya dan fiqih
pada khususnya tertulis dala puluhan ribu kitab yang berbahasa Arab. Sudah
tentu ilmu-ilmu tertulis dalam bahasa Arab itu hanya diketahui oleh sedikit
orang yang mampu membaca dan memahami bahasa Arab.[21]
Dari
hal ini, muncullah satu kegiatan penulisan hukum islam/fiqih dalam bahasa
Indonesia, baik yang sudah dicetak maupun masih berupa diktat. Selain penulisan
dalam bahasa Indonesia, pula terdapat kegiatan menerjemah kitab – kitab dalam
bahasa Arab meskipun masih sedikit kitab yang diterjemahkan. Namun, hal ini
sangat bermanfaat guna memperkenalkan dan memberikan pemahaman
pemikiran-pemikiran di bidang hukum islam/fiqih yang lebih luas.
E.
Kesimpulan
Periode
kemunduran Fiqih memakan waktu yang
cukup panjang, yaitu sekitar Sembilan setengah abad. Periode ini dimulai dari pertengahan abad keempat
Hijriyah sampai kurang lebih akhir abad
ketiga belas Hijriyah yaitu waktu pemerintahan Turki Usmani. Keruntuhan
Baghdad menjadi awal mula runtuhnya keilmuan Islam termasuk Fiqih. Beberapa faktor yang menjadi
runtuhnya Fiqih antara lain, muncul dan berkembangnya taklid di kalangan fuqaha
serta yang paling menjadi penyebab utama runtuhnya keilmuan Islam adalah
jatuhnya cordoba dan Baghdad ke tangan tentara Mongol. Setelah mengalami masa kemunduran, timbulah
kebangkitan kembali sebagai reaksi terhadap
sikap taqlid yang membawa pada kemunduran selama beberapa abad, sehingga
para pemikir islam memulai gerakan-gerakan baru sebagai usaha untuk
membangkitkan islam kembali. Kebangkitan Fiqih ditantadi dengan munculnya para
imam-imam Fiqih seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Maliki dan
sebagainya. Termasuk meluasnya ajaran Islam ke penjuru dunia sebagai tanda
bangkitnya kembali fikih dari keterpurukan sampai pula fikih imam
madzhab berkembang pesat di Negara Indonesia yang di tandai dengan
terjemah-terjemah fikih yang berbahasa Indonesia.
Catatan:
1. Similarity 41 %.
2. Tolong footnote diperbaiki.
3. Tidak usah mencantumkan fiqih pada zaman mujtahid (Abu Hanifah,
Malik, al-Syafi’i, Ahmad) sebab sudah dibahas pada pertemuan lalu. Kemajuan fiqih
setelah kemunduran juga tidak ditandai dengan munculnya imam-imam madzhab tersebut.
Pahami lagi materinya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Rachmat
Djatmika, dkk. 1986. Perkembangan Ilmu
fiqh di dunia Islam. Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama RI
______________,
dkk. 1991. Hukum Islam di Indonesia : perkembangan dan pembentikan. Bandung :
PT remaja Rosdakarya
Dzajuli. 2005. Ilmu Fiqih. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Khalil,
Rasyad Hasan. 2009. Tarikh Tasyri’. Jakarta : AMZAH
Koto, Alaiddin.
2006. Ilmu Fiqih dan Ushul fiqih. Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada
Marzuki. 2013. Pengantar
Studi Hukum Islam. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Mubarak, Jaih. 2000. Sejarah dan perkembangan Hukum Islam. Bandung
: PT Remaja Kosdakarya
Syarifudin,
Amir. 1997. Ushul Fiqih. Ciputat : PT LOGOS Wacana Ilmu
Zaidan, Abdul Karim.
2008. Pengantar Studi Syariah. Jakarta : Robbani Press
[1] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul fiqih, ( Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, 2006 ), hal 1-2
[3] Ibid, hal 21
[4] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Jakarta, AMZAH, 2009, hal
126
[5] Amir Syarifudin, Ushul
Fiqih, Ciputat, PT LOGOS Wacana Ilmu,
1997, hal 32
[6] Dzajuli, Ilmu
Fiqih, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005, hal 156
[7] Ibid, hal 156-157
[8] Marzuki, Pengantar
Studi Hukum Islam, (Yogyakarta : Penerbit Ombak 2013), hal 277-278
[9] Ibid, hal 278-279
[10] Jaih Mubarak, Sejarah
dan perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT Remaja Kosdakarya, 2000) , hal
137
[11] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariah, ( Jakarta :
Robbani Press, 2008), hal 181
[12] Alaiddin Koto,Opcit, hal 23-24
[13] Abdul Karim Zaidan, Opcit, hal 182-184
[14] Rachmat Djatmika,
dkk, Perkembangan Ilmu fiqh di dunia
Islam, ( Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI, 1986 ) hal 15- 20
[15] Rachmat Djatmika,
dkk, Hukum Islam di Indonesia :
perkembangan dan pembentikan, ( Bandung : PT remaja Rosdakarya, 1991 ), hal
15
[16] Ibid, hal 15-16
[17] Ibid, hal 17
[18] Djazuli, Ilmu Fiqih : penggalian, perkembangan, dan
penerapan hukum islam, ( Jakarta : Kencana, 2006 ), hal 159
[20] Ibid, hal 160
[21] Ibid, hal 160
Maksaih ya pencerahannya Jasa Pembuatan Website Toko Online serta layanan Jasa Pembuatan Website Penjualan Online dan
BalasHapusJasa Pembuatan Online Shop
Grosir Jilbab Murah - Jilbab Segi Empat Terbaru dan Jilbab Instan Terbaru serta Jasa Pembuatan Website Murah serta Buat Toko Online Murah