Zuhrotun Nisa’, Ahmad Choirul Anwar, dan Fadhlan Haqqan
Sileuw
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
PAI B 2016
e-mail: zuhrotunnisa1@gmail.com
ABSTRAK
The process of descending al-qur’an is an
absolute requiment in explaining asbabun nuzul mikro. And the consequence of
the word means there are verses that even most verses of the al-Qur’an do not
have asbabun nuzul. Therefore many verses of the al-Qur’an can not be correctly
understood. For it must be supported by asbabun nuzul macro, ie the historical
background of Arab society when al-Qur’an is revealed.
Keywords : asbabun nuzul, ilmu al-quran, mikro dan mikro.
Proses turunnya Al-Quran merupakan syarat
mutlak dalam menjelaskan asbab nuzul yang menurut ulama dalam tradisi kajian
Ulumul Qur’an dinamakan dengan Asbabun Nuzul mikro. Dan konsekuensinya dari
kata tersebut berarti ada ayat-ayat yang bahkan sebagian besar ayat Al-Qur’an
tidak mempunyai asbab nuzul. Oleh karena itu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang
tidak dapat difahami maksudnya dengan benar. Untuk itu harus didukung oleh
asbab nuzul makro, yaitu latar belakang historis masyarakat Arab ketika
Al-qur’an diturunkan.
Kata Kunci :asbab an Nuzul, ilmu al-quran, mikro dan makro.
A. Pendahuluan
Al-Qur’an
merupakan sumber hukum islam yang menempati posisi pertama. Dalam konteks ini,
maka kapasitas al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum. Artinya bahwa
semua hukum dalam Islam mereferensi dan berdalil pada al-Qur’an. Oleh karena
posisinya yang sangat sentral, maka kajian terhadapnya tidak pernah menemukan
titik penghabisan. Mengkajinya selalu menghadirkan kemenarikan, karena
berkaitan dengan cabang-cabang ilmunya yang rumit. Sejumlah cabang ilmu
al-Qur’an menjadi urgen untuk dikaji, mulai dari konsep dasar tentang tentang
al-Qur’an, sejarah penyebaran dan kondifikasi yang agak rumit, ayat-ayat dengan
karakteristik makkiyah dan madaniyyah yang menjadi salah satu dasar bagi
interpretasi dan tafsir al-Qur’an, serta asbab al-nuzul dengan segala
problematikanya, baik sebab-sebab yang bersifat mikro (al-asbab al-khashah)
maupun sebab-sebab yang makro (al-asbab al-‘ammah).
Posisi
al-Qur’an sebagai sumber utama dalam islam, telah menjadi kesepakatan para
ulama. Namun hal yang sama tidak terjadi dalam hadis, karena ada sejumlah umat
islam yang tidak mengakui posisinya sebagai sumber hukum islam yang kedua,
yakni kelompok munkir al-sunnah. Mengingat posisi hadis yang demikian strategis
sebagai salah satu sumber pokok ajaran islam, maka kajian-kajian terhadapnya
menjadi sangat urgen dilakukan. Kajian tersebut tidak saja menyangkut matannya,
tetapi yang lebih penting dilakukan pertama adalah justru pada sanadnya.
Kata
al-Qur’an atau Quran tidak lain yang dimaksud adalah kitabulloh atau kalamulloh
subhanahu wa ta’ala yang diturunkan kepada kepada Nabi Muhammad Saw. Secara
makna dan lafadh, yang membacanya merupakan suatu ibadah, susunan kata dan
isinya merupakan, termaktub di dalam mushaf dan dinukil secara mutawatir.
Sebutan kalam Allah untuk al-Qur’an ini tidak diberikan oleh Nabi maupun
sahabat, namun ini murni dari Allah. Dialah yang memberikan nama kitab ini
al-Qur’an.
Menjawab
persoalan mengapa kitab suci ini diberi nama al-Qur’an, imam syafi’I menanggapi
bahwa tidak perlu kita mengupas asal-usul pemberian nama tersebut, karena Allah
memang memberi nama demikian. Al-Qur’an adalah nama bagi keseluruhan ayat yang
terhimpun dalam mushaf. Karena itu para ulama Ushul Fiqih menegaskan bahwa
al-Qur’an itu adalah nama bagi keseluruhan ayat dan juga nama bagi
bagian-bagiannya. Ulama Ushul Fiqih tersebut menunjuk kepada pengertian
al-Qur’an secara hakikat, yaitu dalam kedudukannya sebagai sumber pokok hukum
islam. Sementara itu, ulama ahli kalam memberi nama al-Qur’an pada
kalimat-kalimat yang ghaib dan azali dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas,
yaitu lafadh-lafadh yang terbebas dari sifat kebendaan, baik yang dipikirkan
manusia maupun yang dikhayalkan oleh manusia.
Istilah
yang digunakan dalam pembahasan tentang turunnya al-Qur’an adalah Nuzul
al-Qur’an atau biasa ditulis dengan Nuzulul Qur’an. Di dalam hubungannya dengan
pembahasan Nuzul al-Qur’an, kata syekh Abd Al-Wahab Abd Al-Majid Ghazlan, yang
dimaksud dengan nuzul adalah turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat
yang lebih rendah dan sesuatu itu tidak lain adalah al-Qur’an. Karena al-Qur’an
berfungsi sebagai petunjuk dalam menghadapi berbagai masalah, maka ayat-ayat
tersebut diturunkan dalam keadaan dan waktu yang berbeda-beda. Ayat-ayat dalam
al-Qur’an dapat dikelompokkan pada dua bagian jika dilihat dari segi sebab
diturunkannya. Sekelompok ayat diturunkan tanpa dihubungkan dengan suatu
sebab-sebab secara khusus. Kelompok yang terakhir ini tidak banyak jumlahnya,
tetapi mempunyai pembahasan khusus di dalam ulum al-Qur’an.
Asbab
al-nuzul mempunyai arti penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Seseorang tidak
akan mencapai pengertian yang baik jika tidak memahami riwayat asbab al-nuzul
suatu ayat. Al-Wahidi, seorang ulama klasik dalam bidang ini mengemukakan bahwa
pengetahuan tentang tafsir dan ayat-ayat tidak mungkin jika tidak dilengkapi
dengan pengetahuan tentang peristiwa dan penjelasan yang berkaitan dengan
diturunkannya suatu ayat. Pemahaman asbab al-nuzul akan sangat membantu dalam
memahami konteks turunnya ayat. Ini sangat penting untuk menerapkan ayat-ayat
pada kasus dan kesempatan yang berbeda. Peluang terjadinya kekeliruan akan
sangat besar jika riwayat asbab al-nuzul diabaikan.
Unsur-unsur
yang penting diketahui perihal asbab al-nuzul ialah adanya satu atau beberapa
kasus yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, dan ayat-ayat tersebut
dimaksudkan untuk memberikan penjelasan terhadap kasus itu. Jadi ada beberapa
unsur yang tidak boleh diabaikan dalam analisa asbab al-nuzul, yaitu adanya
suatu kasus atau peristiwa, adanya pelaku peristiwa, adanya tempat peristiwa
dan adanya waktu peristiwa. Kualitas peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu perlu
diidentifikasikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu pada kasus lain
dan di tempat dan waktu yang berbeda.
B. Pengertian Asbabun Nuzul
Al-Quran berfungsi sebagai petunjuk dalam menghadapi berbagai situasi.
Ayat-ayat tersebut diturunkan dalam keadaan dan waktu yang berbeda-beda. Kata
asbab (tunggal: sabab) berarti alasan atau sebab. Asbab al-nuzul berarti
pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya alquran.[1]
Secara etimologi, asbab an-nuzul
ayat itu berarti sebab-sebab turun ayat. Dalam pengertian sederhana, turunnya
suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga tanpa adanya peristiwa
itu, ayat tersebut tidak turun. Jika memang seperti itu pengertiannya, tidaklah
sesuai dengan hakikat Al-Quran itu sendiri, sebab ayat itu sudah ada dan
lengkap di Lauh Mahfuzh diciptakan oleh Allah, dibawa oleh Malaikat Jibril, dan
disampaikan kepada Nabi. Maksud Allah menurunkan ajaran itu dalam bentuk wahyu
(ayat), tentu tidak diikat atau dihukum oleh alam yang berbentuk peristiwa itu,
sehingga tanpa sebab peristiwa alam ini, suatu ayat Al-Quran itu tidak turun.
Hal itu tidak sesuai dengan sifat Allah yang Mahakuasa. Allah tidak terikat
dengan alam atau makhluk dalam menyampaikan rencana dan kehendak-Nya. [2]
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa turunnya ayat-ayat Al-Quran itu ada dua
bagian, yaitu:
1. Turunnya diawali oleh suatu sebab
Dalam
hal ini ayat-ayat tasyri’iyyah (ayat-ayat hukum) yang pada umumnya mempunyai
sebab dalam turunnya ayat dan sebab turunnya ayat ini dengan berupa peristiwa
yang terjadi dalam masyarakat Islam dan ada juga berupa pertanyaan dari
kalangan Islam dan dari kalangan lainnya yang ditunjukan kepada Nabi Muhammad
SAW. Contohnya dalam Surah al-Baqarah ayat 221: “ janganlah kamu kawini
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu mengawinkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
yang musyrik walaupun menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat –Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia agar mereka mengambil
pelajaran”.
2. Ayat-ayat yang turunnya tidak diawali oleh
sebab
Ayat-ayat
semacam ini banyak terdapat di dalam Al-Qur’an dan jumlahnya lebih banyak
daripada ayat-ayat hukum yang mempunyai asbab al-Nuzul. Seperti ayat-ayat yang
menceritakan tentang umat terdahulu beserta para Nabinya, menceritakan hal-hal
yang gaib yang akan terjadi dan menggambarkan keadaan hari Kiamat beserta
nikmat surga dan siksaan neraka. Ayat-ayat yang demikian itu diturunkan oleh
Allah bukan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu pertanyaan dari suatu
peristiwa yang terjadi pada waktu itu, melainkan semata-mata untuk memberi
petunjuk kepada manusia agar menempuh jalan yang lurus. Dan Allah menjadikan
ayat-ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan kontek Al-Qur’an dengan
ayat-ayat sebelumnya dan ayat-ayat sesudahnya
Para ulama ahli Ulum Alquran, misalnya Syekh Abdu al-adhim al-Zarqani,
dalam Manahil al-Irfannya mendefinisikan asbab nuzul atau sabab nuzul sebagai
kasus atau sesuatu yang terjadi yang ada hubungannya dengan turunnya ayat, atau
ayat-ayat Alquran sebagai penjelas hukum pada saat terjadinya kasus.
Kasus yang dimaksud dalam definisi diatas, tentu saja terjadi pada jaman
Rasulullah Saw. Demikian juga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan setelah
terjadinya kasus tertentu atau pertanyaan tertentu yang diajukan kepada
Rasulullah Saw. Menjelaskan hukum kasus tersebut atau menjawab pertanyaan yang
diajukan kepada Rasulullah Saw. Hakikatnya Rasulullah hanya pembawa risalah,
beliau tidak memegang otoritas untuk menetapkan suatu hukum syariat. Hukum itu
sendiri datang dari Allah Swt. Melalui wahyu yang dibawa oleh malaikat Jibril.[3]
Cara mengetahui Asbabun Nuzul
Bentuk
redaksi ang menerangkan asbabun nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas
mengenai sebab, terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung
kemungkinan mengenainya.[4]
Sudah jelas, bahwa “asbabun nuzul” tidak mungkin diketahui berdasarkan
pendapat, melainkan dari sumber riwayat yang sahih dan mendengarkan dari
orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat atau dengan cara membahasnya dari
para sahabat, tabiin dan ulama-ulama terpercaya.
Ibnu
Sirrin berkata, “Aku bertanya kepda Abidah tentang suatu ayat”. Kemudian ia
berkata, “Bertakwalah kepada Allah Swt. dan berkatalah dengan benar.
Ketahuilah, bahwa orang-orang yang mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat
Al-Quran sangat langka”.
Dalam
soal “asbabun nuzul” harus berpegang kepada riwayat yang sahih. Jadi, jika rawi
mengatakan lafal sebab, maka itu merupakan nash yang sharih.
Misalnya, rawi mengatakan, ‘sebab turunnya ayat ini adalah demikian,
demikian...!’ atau rawi mengatakan, ‘Peristiwaya tentang demikian lantas turun
ayat demikian..,’ semua itu merupakan nash yang sharih
(jelas)dalam ‘asbabun nuzul’.
Kadang
ada nash dalam “asbabun nuzul” tidak berupa sighat. Seperti kata
mereka: “Ayat itu diturunkan demikian...” Mungkin hal yang dimaksud adalah
“asbabun nuzul”, mungkin pula hukum yang terkandung dalam ayat. Seperti kata
seorang rawi “Yang dimaksud ayat ini adalah demikian..”
Imam
Zarkasi dalam kitabnya, Al-Burhan, mengatakan “Telah diketahui bahwa kebiasaan
para sahabat atau tabiin jika salah seorang diantara mereka mengatakan, ‘Ayat
ini diturunkan demikian..’, maka yang dimaksud adalah bahwa ayat ini memuat
hukum demikian, bukan merupakan sebagai sebab turunnya.’ ” Ibnu Taimiyah
berkata: “Ucapan mereka bahwa ‘Ayat ini diturunkan demikian...’, maka yang
dimaksud mungkin ‘sababun nuzul’, mungkin juga bukan”.[5]
C. Faedah mengetahui Asbabun nuzul
Ilmu Asbabun Nuzul itu besar sekali manfaatnya bagi setiap orang yang
hendak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, karena ilmu ini dapat membantu
seseorang agar dapat memahami ayat al-Qur’an secara tepat dan sekaligus dapat
menghindari dia dari salah pengertian.[6]Di
antara al-Qur’an ada ayat yang turun karena suatu sebab dan ada yang turun dari
permulaan (langsung menjelaskan) akidah-akidah keimanan dan kewajiban-kewajiban
Islam dan hukum-hukum syari’at yang lain.[7]
Berikut faedah mengetahui sebab-sebab turunnya
ayat , diantaranya ialah:
Pertama,
menerangkan hikmah yang dikaitkan kepada tasyri hukum dari hukum-hukum.
Memikirkan pemeliharaan syari bagi kemaslahatan umum dalam menanggulangi
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Kedua,
mentakhsiskan hukum, sekalipun dengan sighat umum. Ada orang yang
memperhatikan bahwa pengajaran yang diambil itu dengan mengkhususkan sebab,
bukan dengan umurnya lafadz. Ini masih merupakan masalah khilafiyah. Nanti akan
dijelaskan lebih lanjut. Orang mencontohkan ini dengan firman Tuhan yang
berbunyi.
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ
يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَوا۟ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا۟ بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا۟
فَلَا تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah
sekali-sekali kamu menyangka orang-orang yang gembira dengan apa yang telah
mereka kerjakan, dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum
mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan
bagi mereka siksaan yang pedih. (Q.S Al-Imran 188)[8]
Menurut suatu riwayat, Marwan pernah berkata kepada penjaga pintunya. Ya
Rafi', pergilah kepada Ibnu Abbas, tanyakan kepadanya, -jika sekiranya tiap-tiap
orang dari kami ini gembira dengan apa yang di datangkan dan suka dengan apa
yang tidak diperbuat, maka sudah barang tentu kami ini diazab semuanya ? Kata
Ibnu Abbbas, -bukannya kamu yang dimaksud oleh ayat ini ayat ini ditunjukan
kepada ahli kitab. Sudah itu dia membacakan ayat yang berbunyi.
وَإِذْ أَخَذَ اللَّـهُ مِيثٰقَ
الَّذِينَ أُوتُوا۟ الْكِتٰبَ
Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari
orang-orang yang telah diberi kitab. (Q.S Al-Imran 187).
Ayat ini kata Ibnu Abbas RA.
Rasul pernah menanyakan kepada orang tentang sesuatu. Orang yang ditanya ini
diam saja. Setelah orang-orang yang berada disini itu keluar, mereka memberi
tahukan tentang apa yang di tanyakan Rasul itu. Dengan demikian maka mereka itu
mengucapkan alhamdulillah tanda gembira, karena tadinya mereka itu hanya
berdiam diri saja tentang apa yang ditanyakan Rasul itu.
Ketiga,
apabila ada lafadz yang diturunkan itu berbentuk a'm (umum) dan ada
dalil yang mentakhsiskannya, maka dalam hal ini orang cukup mentakhsiskan,
terhadap apa yang selain dari yang digambarkan itu, dan tidak sah
mengeluarkannya, karena memasukkan sebab pada lafadz a'm itu adalah qathi', (pasti). Tidak boleh
mengeluarkannya dengan ijtihad, karena ijtihad ini dzanniy. Ini pendapat jumhur
(sejumlah ulama-ulama yang masyhur). Untuk ini orang mencontohkan firman tuhan
yan berbunyi.
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوا۟ فِى الدُّنْيَا وَالْءَاخِرَةِ
وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ
أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ
اللَّـهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّـهَ هُوَ الْحَقُّ
الْمُبِينُ
Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik berzina yang lenggang
lagi beriman (berzina) mereka kena la'nat dunia dan akhirat, dan bagi mereka
azab yang besar. Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi
atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu Allah akan
memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya. Dan tahulah mereka
bahwa Allah lah yang benar, lagi maha menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang
sebenarnya). (Q.S An-Nur 23-25).[9]
Ayat ini turun khusus pada Aisyah. Atau pada salah seorang istri Nabi
SAW. Menurut Abbas RA ayat ini berbunyi,
-orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik diturunkan khusus
pada Aisyah. Dari hal ayat ini juga Ibnu Abbas mengatakan, -ayat ini pada
Aisyah dan Istri-istri Nabi lainnya. Allah tidak akan menerima taubat
orang-orang yang memperbuat demikian itu. Sedangkan orang-orang yang menuduh
selain istri Nabi berzina, maka dalam hal ini Allah masih menerima taubat
mereka itu. Sudah itu dia membacakan ayat yang berbunyi, -orang-orang yang
menuduh perempuan-perempuan baik berzina.....sampai pada.....kecuali
orang-orang yang bertaubat (Q.S An-Nur 4-5)
Dalam hal ini Allah masih menerima taubat orang-orang yang mengkazaf
sekalipun kalimat ini mengkhususkan yang umum, yaitu firman Allah yang
berbunyi, -bahwa orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik
yang lengah dari beriman. Tidak akan diperoleh dengan mentakhsiskan orang-orang
yang mengkazaf Aisyah. Atau mengkazaf seluruh Istri-istri Nabi SAW. Disini
Allah tidak akan menerima taubat. Masuk gambaran sebab pada lafadz a'm qathi.
Keempat, mengetahui sebab turun itu merupakan jalan yang terbalik untuk memahami
arti-arti Al-Quran. Menyingkapkan hal-hal yang masih diragukan, yang mencakup
beberapa ayat dalam menafsirkan tentang apa yang tidak diketahui sebab
turunnya. Kata Al-Wahidiy, - tidak mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa wukuf
(memperhatikan) kisahnya dan menerangkan sebab-sebab turunnya. Kata Ibnu
Daqidil Aidi, -menerangkan sebab turunnya itu merupakan jalan yang kuat untuk
memahami arti Al-Quran. Kata Ibnu Taimiah. Mengetahui sebab turunnya itu
memantapkan pemahaman untuk memahami ayat, karena ilmu dengan sebab itu
mewarisi ilmu Musabab. Diantara contoh yang dikemukakannya oleh Marwan bin
Hakam dalam memahami ayat yang tersembunyi diatas.
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ
بِمَآ أَتَوا۟ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا۟ بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا۟ فَلَا
تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ[10]
Janganlah
sekali-sekali kamu menyangka orang-orang yang gembira dengan apa yang telah
mereka kerjakan, dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum
mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan
bagi mereka siksaan yang pedih. (Q.S Al-Imran 188)[11]
Inilah pendapat Ibnu Abbas
tentang sebab turunnya itu. Contoh lain adalah ayat yang berbunyi:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ
مِن شَعَآئِرِ اللَّـهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّـهَ
شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Sesungguhnya
Saffa dan Marwa itu adalah sebagian dari syiar Allah. Barangsiapa yang
beribadat haji ke baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sai antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan sesuatu
kebaikan demgan kerelaan hati , maka sesungguhnya Allah mengsyukuri kebaikan
lagi mengetahui. (Q.S Al-Baqarah 158).
Pada zahirnya lafaz ayat
ini sai itu tidak perlu diwajibkan.
Karena membuang dosa itu dipakai yang mubah, bukan yang wajib. Sebagian orang
hanya berpedoman kepada zahirnya ayat tersebut. Aisyah pernah mengatakan kepada
Urwah bin Zubir dalam memahami yang demikian itu, mengenai sebab turunnya ayat
itu. Sahabat menganggap berdosa mengerjakan sai diantara dua bukit itu (saffa
dan marwa) karena ini adalah perbuatan jahiliah, sebab diatas saffa itu
terdapat isaf, dan diatas marwa terdapat nailaha keduanya itu adalah berhala.
Orang jahiliyah mengerjakan sai dengan menyentuh kedua berhala tersebut.
Kata Aisyah, bahwa urwah
mengatakan kepadanya, -bagaimana pendapat engkau tentang firman tuhan yang
berbunyi, -bahwa Saffa dan Marwah itu adalah sebagian dari syiar Allah. Barang
siapa yang mengerjakan haji di baitullah, atau bermurah, maka tidak ada dosa
baginya mengerjakan sai, antara keduanya itu. Apakah seseorang itu akan berdosa
jika tidak mengerjakan sai antara keduanya itu. Kata Aisyah menjawab, yang
seburuk-buruk kata ialah apa yang engkau katakan itu hai anak saudara
perempuanku. Karena tanyaku, -kalau sekiranya sudah sejak semulanya, maka sudah
barang tentu dia tidak berdosa bila dia tidak mengerjakan sai antara keduanya
itu (Saffa dan Marwah). Tapi Ayat yang mengatakan itu sudah turun. Sebelumnya
orang Anshar juga mengucapkan salam dan bertahlil kepada berhala Munah yang
mereka sembah.[12]
Orang-orang pintar juga tidak mau bersai, antara Saffa dan Marwah di zaman
jahiliah. Kata aisyah, maka turunlah ayat yang berbunyi.
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ
مِن شَعَآئِرِ اللَّـهِ ۖ
Bahwa
Saffa dan Marwah itu sebagai dari syiar syiar Allah.
Sesudah itu Rasulullah SAW
menerangkan tentang mengerjakan tawaf antarakeduanya itu. Tidak seorang pun yang
tidak mengerjakan tawaf tersebut.
Kelima,
menjelaskan sebab turun. Dalam hal ini tidak
dipikulkan kepada lainnya dengan membuang permusuhan dan penganiayaan. Seperti
yang tersebut dalam firman Tuhan yang berbunyi :
وَالَّذِى قَالَ لِوٰلِدَيْهِ
أُفٍّ لَّكُمَآ أَتَعِدَانِنِىٓ أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِن
قَبْلِى وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّـهَ وَيْلَكَ ءَامِنْ إِنَّ وَعْدَ اللَّـهِ
حَقٌّ فَيَقُولُ مَا هٰذَآ إِلَّآ أَسٰطِيرُ الْأَوَّلِينَ
Dua
orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya Cis, bagi kamu keduanya, apakah
kamu keduanya memperingati kepadaku bahwa aku akan bangkitkan padahal sungguh
telah berlalu beberapa umat sebelum aku. Lalu kedua ibu bapaknya itu memohon
pertolongan kepada Allah, seraya mengatakan, -celaka kamu, berimanlah, sesungguhnya
janji Allah itu adalah benar. Lalu dia berkata, -ini tidak lain hanyalah
dongeng-dongeng orang-orang dahulu kala (Q.S Al-Ahqaf 17)
Ketika muawiyah bermsksud
mengangkat anaknya Walid Yazid menjadi khalifah naka dia menulis sepucuk surat
kepada Marwan, Gubernurnya di Madinah tentang maksudnya itu. Oleh Marwan maka
dikumpulkannya orang, lalu dia berpidato dihadapan orang banyak, mengajak
mereka itu untuk membaiahkan Yazid. Dalam haal ini Abdurrahman bin Abubakar
merasa benarkeberatan untuk membaiahkannya itu. Maksud Marwan itu buruk,
sekalipun dia tidak sampai memasuki memasuki rumah Aisyah. Kata Marwan,
disinilah ayat yang diturunkan Allah, yaitu ayat yang berbunyi.
وَالَّذِى قَالَ لِوٰلِدَيْهِ
أُفٍّ لَّكُمَآ أَتَعِدَانِنِىٓ أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِن
قَبْلِى[13]
Dan
orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya, cis, bagi kamu keduanya, apakah
kamu keduanya memperingati kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal
sungguh telah berlalu beberapa umat sebelum aku (Q.S Al-Ahqaf 17)
Aisyah menolak dan dia
mengatakan kepada Marwan, sebab turunnya ayat tersebut. Dari Yusug bin Mahid
katanya, -ketika Marwan berada di Hijaz, Muawiyah bin Abi Sufyan mengatakan
menjadi gubernur. Muawiyah memerintah untuk menyampaikan kepada orang banyak, supaya
Yazid bin Muawiyah dibaiahkan, yaitu yang akan menggantikan ayahnya. Ketika itu
Abdurrahman bin Abubakar berkata, -ambil dia Marwan itu dan masukan ke dalam
rumah Aisyah. Tapi orang banyak tidak membolehkan. Kata Marwan, -ini ayat yang
diturunkan, bunyinya, -dan orang-orang yang berkata, -cis kepada ibu bapaknya.
Kata Aisyah, tidak satupun Al-Quran yang diturunkan Allah kepada kami, kecuali
yang diturunkan itu mengenai cacat dan dosaku.
Pada riwayat lain dikatakan,
-ketika Marwan meminta orang supaya membaiahkan Yazid, katanya, -sunah Abubakar
dan Umar. Kata Abdurrahman, -sunah Hyraclius dan Kaisar. Kata Marwan, -inilah
firman Allah yang berbunyi, -dan orang-orang yang berkata, -cis kepada kedua,
ibu bapaknya. Hal ini disampaikan kepada Aisyah. Kata Aisyah. Bohong Marwan.
Demi Allah bukan begitu, dan kalau aku mau maka namaku diturunkan kepadanya itu
supaya menanamkannya.[14]
D. Asbabul Nuzul mikro dan makro
Pengertian
harfiah diatas dapat menimbulkan paham bahwa Al-Quran itu turun jika ada
sebabnya, maka kalau tidak ada sebabnya maka Al-Quran tidak turun. Kesan
pertama itu diangkat oleh ulama ulumul Quran dengan memberi definisi secara
terminologi sebagai berikut “asbab an-zil adalah suatu peristiwa yang melatar
belakangi pada waktu proses turunnya Al-Quran, lalu turun satu atau beberapa
ayat yang menjelaskan hukum pada peristiwa tersebut atau berupa pertanyaan yang
disampaikan kepada nabi, lalu turun Al-Quran yang menjelaskan tentang jawaban
dari pertanyaan tersebut (Arrumi, 1999: 181).
Kata
pada waktu proses turunnya Al-Quran (ayyama wuku’ihi) menjadi syarat mutlak
dalam menjelaskan asbab an nuzul. Konsekuensi dari kata tersebut berarti ada
ayat-ayat yang mempunyai asbab an-nuzul dan ada pula ayat-ayat yang tidak
memiliki asbab an nuzulnya. Berita atau peristiwa masa lalu bisa dijadikan
asbab an nuzul para ulama mengkritik pendapat Al Wahidi yang menyatakan bahwa
sebab turunnya surat Al Fil adalah karena kisah penyerangan Abraha dengan
pasukan gajahnya terhadap Ka’ba. Padahal peristiwa pasukan gajah terjadi jauh
sebelum proses penurunan Al-Quran (Itir, 1996: 46).
Yang
perlu ditegaskan bahwa tidak semua ayat Al-Quran memiliki An Nuzul akan tetapi
sebagian besarnya justru diturunkan tanpa asbab nuzulnya. Di antaranya
ayat-ayat tentang kisah para nabi terdahulu, cerita umat atau peristiwa umat
yang terdahulu, berita tentang hal-hal ghaib tentang peristiwa yang akan
datang, tentang hari kiamat, surga dan neraka, cerita tentang anak Adam, Habil
dan Qabil anak Adam dan lain sebagainya.
Dengan
demikian asbab an nuzul harus tergambar dalam ayat Al Quran.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman nabi, tetapi tidak disinggung dalam
Al-Quran tidak bis disebut asbab an nuzul dalam Al-Quran.
Konsekuensi
dari keterangan di atas, berarti banyak ayat-ayat Al Quran yang tidak bisa
dipahami maksudnya karena tidak ada asbab an-nuzulnya, yang bisa membantu untuk
memahaminya. Fadzlurahman menyatakan menyatakan bahwa pengertian di atas
hanyalah merupakan asbab an-nuzul mikro, yang menurutnya harus dibantu dengan
asbab an-nuzul makro yakni latar belakang historis masyarakat arab ketika Al
Quran diturunkan (Fadlurrahman, 1984: 384).
Asbab An-nuzul makro ini sudah diperkenalkan
oleh As-Syatibi (w.1388 M). Ia menyatakan: “maksud mengetahui asbab an-nuzul
adalah mengetahui situasi dan kondisi yang meliputi orang-orang yang mengajak
bicara, orang-orang yang diajak bicara , dan pembicaranya sendiri”.
Syah
Waliyullah Ad-Dahlawi melontarkan ide asbabun nuzul makro secara lebih tegas
dan jelas. Ia menyinggung bahwa usaha yang dilakukan oleh umat untuk
mengumpulkan riwayat-riwayat asba an-nuzul yang merupakan peristiwa perorangan
hanya merupakan usaha yang mengada-ada. Lalu ia mengatakan bahwa pembicaraan
ayat-ayat al-Quran tidak bisa lepas dari lima pengetahuan yaitu:
1.
Pengetahuan mengenai hukum-hukum muamalah dan lain-lain.
2.
Pengetahuan tentang bantahan terhadap Yahudi, Nasrani serta Musyrik
3.
Pengetahuan tentang nikmat Allah
4.
Pengetahuan mengenai peringatan tentang nikmat Allah
5.
Pengetahuan mengenai peringatan kematian dan masa sesudahnya.
Menurutnya, tujuan pokok diturunkannya Al Quran adalah untuk mendidik jiwa
manusia, serta memberantas kepercayaan yang keliru dan perbuatan-perbuatan yang
jahat. Kemudian ia menyatakan bahwa ada kepercayaan-kepercayaan yang keliru di
kalangan mukallaf yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat muhkamat. Menyebar
luasnya kejahatan-kejahatan dan kezaliman yang merupakan sebab turunnya
ayat-ayat hukum. Ketiadaan mereka mengingat nikmat-nikmat Allah, hari
pembalasan, dan kehidupan sesudah kematian merupakan sebab diturunkannya
ayat-ayat tadzkir (Addhlawi, tt: 64). [15]
E. kesimpulan
Asbabun Nuzul ialah suatu pengetahuan yang
memuat dan membicarakan peristiwa yang berkaitan langsung dengan turunnya ayat
Al-Qur’an yang dapat digunakan sebagai suatu keterangan tentang ayat yang
diturunkan itu. Bentuk redaksi yang menerangkan asbabun nuzul itu terkadang
berupa pernyataan tegas mengenai sebab, terkadang pula berupa pernyataan yang
hanya mengandung kemungkinan mengenainya. Sudah jelas, bahwa “asbabun nuzul”
tidak mungkin diketahui berdasarkan pendapat, melainkan dari sumber riwayat
yang sahih dan mendengarkan dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat
atau dengan cara membahasnya dari para sahabat, tabiin dan ulama-ulama
terpercaya.
Banyak sekali manfaat yang bisa didapat dalam mengetahui asbabun nuzul Pertama, menerangkan
hikmah yang dikaitkan kepada tasyri hukum dari hukum-hukum. Memikirkan
pemeliharaan syari bagi kemaslahatan umum dalam menanggulangi
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Kedua, mentakhsiskan
hukum, sekalipun dengan sighat umum. Ada orang yang memperhatikan bahwa
pengajaran yang diambil itu dengan mengkhususkan sebab, bukan dengan umurnya
lafadz. Ketiga, apabila ada lafadz
yang diturunkan itu berbentuk a'm (umum) dan ada dalil yang mentakhsiskannya,
maka dalam hal ini orang cukup mentakhsiskan, terhadap apa yang selain dari
yang digambarkan itu, dan tidak sah mengeluarkannya, karena memasukkan sebab
pada lafadz a'm itu adalah qathi',
(pasti). Keempat, mengetahui sebab turun itu merupakan jalan yang
terbalik untuk memahami arti-arti Al-Quran. Menyingkapkan hal-hal yang masih
diragukan, yang mencakup beberapa ayat dalam menafsirkan tentang apa yang tidak
diketahui sebab turunnya.Kelima, menjelaskan
sebab turun. Dalam hal ini tidak dipikulkan kepada lainnya dengan membuang
permusuhan dan penganiayaan.
Ada
dua sebab turunnya al-qur’an yaitu asbabun nuzul mikro dan makro. Asbabun nuzul
mikro yaitu sebab turun al-quran karena hal khusus (terjadinya suatu kejadian
tertentu), sedangkan asbabul nuzul makro yaitu sebab turun al-quran karena hal
yang bersifat umum, contohnya tentang keadaan surga.
DAFTAR PUSTAKA
Rachmat, Syafe’i. 2006. Pengantar Ilmu
Tafsir. Pustaka Setia: Bandung
Umi Sumbulah dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan
Hadis. UIN-Maliki Press: Malang
Muhammad Ali Ash-Shabuni. 2001. Ikhtisari Ulumul Qur’an Praktis.
Pustaka Amani:Jakarta
T.H. Thalhas. 2008. Fokus Isi & Makna
Al-Qur’an. Galura Pase: Jakarta
Mana’ul Quthan. 1993. Pembahasan Ilmu
Al-Qur’an. Terjemah, Halimuddin. Rineka Cipta: Jakarta
Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. 1994. Shohih
Asbabun Nuzul. Terjemah, Agung Wahyu.
Meccah: Jawa Barat
M. Quraish Shihab dkk. 1999. Sejarah Ulum
Al-Qur’an. Pustaka Firdaus: Jakarta
Syarafuddin, “Ilmu Asbab An Nuzul Dalam
Studi Ilmu Al-Quran” Jurnal Suhuf, Vol.28, No.1,
Mei 2016.
Masjfuk Zuhdi. 1997. Pengantar Ulumul
Qur’an. Karya Abditama: Surabaya
Manna Khalil al-Qattan. 2015. Studi
Ilmu-ilmu Qur’an. Terjemah, Mudzakir. Litera AntarNusa: Bogor
Catatan:
1.
Makalah ini kurang referensial.
2.
Ketika membuat makalah, jangan hanya copy-paste data. Tidak mungkin ada dua
note dalam satu tulisan (footnote dan innote).
[1]M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulum al-Qur’an
(Jakarta: Pustaka Firdaus),77.
[2]Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung:
Pustaka Setia),24.
[3]Umi Sumbullah dkk, Studi Al-qur’an dan Hadis (UIN
Maliki Press, 2014),164.
[4]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,
terj. Mudzakir (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,2015),119.
[5]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an
Praktis (Pusaka Amani,2001),31.
[6]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an
(Karya Abditama,1997)41.
[7]Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, Shohih
Asbabun Nuzul, terj. Agung Wahyu, (Jawa Barat: Meccah,1994),18.
[8]Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an,
terj. Halimuddin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993),87.
[15]Syarafuddin, “Ilmu Asbab An Nuzul Dalam Studi Ilmu
Al-Quran”, Jurnal Suhuf, Vol.28, No.1, Mei 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar