Muhammad Arafat Arroisi, Nurun Nadzifah
Mahasiswa PAI-B
e-mail: arafatarroisi@gmail.com
Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai metode-metode penafsiran yang
digunakan oleh para mufassir untuk menafsirkan al-Qur’an. Metode yang digunakan
merupakan klasifikasi kontemporer yang dikemukakan oleh ulama kontemporer yang
terbagi atas empat metode, yakni metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, danMaudhui,
dan ke-empat metode yang disebutkan diatas mempunyai karakteristik
masing-masing.Di dalam artikel ini juga menguraikan penjelasan tentang
masing-masing metode-metode tersebut, serta memberikan contoh masing-masing
metode yang di kemukakan oleh para mufassir dalam melakukan penafsiran
al-Qur’an. Metode inilah yang saat ini digunakan sebagian para mufassir dalam
menafsirkan al-Qur’an. Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan, hal
ini membuat kita lebih flexible dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. kelebihan
yang dimiliki metode tersebut dapat menimbulkan ketertarikan para mufassir
untuk mrnggunakannya, sebaliknya jika kekurangan yang dipunyai oleh
metode-metode tafsir tersebut tidak serta merta mengurangi daya ketertarikan
para mufassir untuk menggunakannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Masing-masing
mufassir memiliki pilihan untuk menggunakan metode manapun. Mereka punya
pandangan masing-masing dari beberapa metode tersebut.
Keywoard:Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhui
A. Pendahuluan
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa
petunjuk al-Qur’an yang dapat menyempurnakan agama islam dan akhlak-akhlak
mulia. Serta dijadikan sebagai pedoman hidup umat islam. Di dalamnya menjelaskan
perintah dan larangan, memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin dan
mengancam orang-orang kafir. al-Qur’an menjadi penyejuk jiwa bagi umat islam,
ayat al-Qur’an yang mengandung banyak makna membuat siapapun ketika membaca
menangis. Begitupun dengan penafsiran al-qur’an, jika kita bisa memahami
penafsiran itu alangkah indahnya bisa memahami isi al-Qur’an.
Tafsir dalam
etimologis berarati menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, tafsir
ialah ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafadh-lafadh al-Qur’an,
makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri
atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.[1]
Secara harfiyah, kata tafsir berasal dari bahasa arab dan merupakan
bentuk masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf fa, sin, dan ra
itu berarti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelasan. Banyak
ulama menggemukakan pengertian tafsir yang pada intinya bermakna menjelaskan
hal-hal yang masih samar yang dikandung dalam ayat al-Qur’an sehingga dengan
mudah dapat di mengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung di dalamnya untuk
diterapkan dalam kehidupan sebagai ketentuan hukum.[2]
Jadi, tafsir merupakan sebuah penjelas dari makna yang ada di dalam al-Qur’an
dengan menggunakan metode yang bermacam-macam. Di dalam al-Qur’an juga di
jelaskan ayat sebagai berikut
ولا
يأتونك بمثل الا جئنك بالحق وأحسن تفسيرا
Artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu tidak datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang
benar dan yang paling baik penjelasnnya.[3]
Dari ayat diatas dapat dikatakan bahwa pengertian tafsir ialah
upaya untuk mengungkap makna yang musykil dari suatu kosakata.
Begitu pula dengan metode, pengertian metode yang umum dapat
digunakan pada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran maupun
penalaran akal, atau menyangkut keadaan fisik, hal ini berkaitan dengan studi
ilmu tafsir yang dimana tidak terlepas dengan sebuah metode, yakni suatu cara
yang teratur dan terpikir baik-baik untuk menacapai pemahaman yang benar
tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw.[4]
Menurut H.M. Quraish Shihab, ada perubahan-perubahan sosial yang
melatarbelakangi munculnya corak
penafsiran diantaranya:
a.
Percaturan
politik;
b.
Keislaman
semakin banyak penganut agama dari berbagai bangsa dan aliran;
c.
Kelemahan
menghayati keindahan bahasa Arab atau menggunakannya secara baik.
d.
Penerjemah
kitab-kitab filasafat Yunani ke dalam bahasa Arab;
e.
Berkembangnya
aliran tasawuf, baik sebagai jawaban terhadap penggunaan logika secara bebas,
dari pengagum-pengagum filsafat atau
akibat kejenuhan kepada materialisme atau kompensasi atas keterbelakangan umat;
f.
Kemajuan-kemajuan
ilmu pengetahuan dengan segala akibatnya baik fisik maupun psikis;
g.
Kebutuhan
alternatif-alternatif baru dalam mengahdapi problema kemanusiaan.
Semua itu telah memberikan dampak yang sangat besar dalam
perkembangan tafsir dan menimbulkan corak yang kemudian berkembang menjadi aliran
tafsir yang bermacam-macam.[5]
Para ulama’ memiliki istilah yang beragam dalam mengklasifikasikan
tafsir, salah satunya adalah klasifikasi kontemporer, yaitu klasifikasi yang
dikemukakan oleh sebagian ulama kontemporer, yang didasarkan pada penguraian ayat,
penghimpunan makna-maknanya, menjelaskan kandungan hukum, hikmah dan lain-lain.[6]
B.
Metode-Metode
Tafsir
Metode penafsiran yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an ada 4
antara lain:
1.
Metode Tahlili
Metode ini adalah salah satu dari beberapa metode yang ada, dimana
fungsinya adalah untuk menafsirkan Al-Qur’an yang dalam beberapa definisi
menyebutkan bahwa metode ini adalah metode tafsir ayat per ayat dan surat per
surat. Para mufassir pun memiliki kecenderungannya masing-masing dalam
menafsirkan ayatNya, ada yang menguraikan secara detail atau terperinci dan ada
pula yang menguraikannya secara ringkas
Sedangkan definisinya sendiri yang terdapat
dalam buku Pengantar Ulumul Qur’an karya Dr. Rosihon Anwar, medote tahlili
adalah sebuah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh makssudnya,
mulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan
antara pemisah(munasabat) sampai sisi-sisi keterkaitan antara pemisah
itu (wajh al-munasabat) dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat
yang berasal dari Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in.[7]
Contoh dari penafsiran ini terdapat dalam
karya-karya mufassir klasik seperti tafsir "Jami' al Bayan fa Tafsir
Al-Qur'an", karya Ibn Jarir al-Thabari, tafsir Mafatih al Ghaib karya
Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat dari coraknya
termasuk tafsir bi al-ma 'tsur, yang menggunakan metode tahliliy, demikian pula
dengan tafsir al-Razi.[8]
Melihat dari definisi yang sudah dipaparkan
diatas, maka dapat dijelaskan mengenai cara kerja dari metode ini, dimana ada
empat langkah yang harus dilalui menurut kitab al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudlu'i karangan Abdul Hay Al-Farmawy:
- Mufassir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf,
- Diuraikan dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat,
- Mengemukakan munasabah (koralasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain,
- Mufassir membahas asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat dan tabi'in[9]
Kelebihan
Ruang lingkup yang luas, disebut memiliki ruang lingkup yang sangat luas,
karena metode ini dapat mencakup dua bentuk, yakni: ma’tsur dan ra’y.
Bahkan dengan adanya ciri khas atau corak penafsiran yang ada dari
masing-masing mufasir bentuk al-ra’y dapat dikembangkan lebih luas lagi.
Ahli Bahasa misalnya, mendapat peluang yang luas untuk menafsirkan Al-Qur’an
dari pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir al-Nasafi karangan Abu
al-Su’ud, Ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik tolak
dalam penafsirannya. Demikian pula dengan kitab tafsir yang dikarang oleh
seorang ahli filsafat, dalam kitab
tafsirnya didominasi oleh pemikiran-pemikiran falasofis seperti Kitab Tafsir
al-Fakhr al-Razi. Lain lagi dengan mereka yang suka terhadap sains dan
teknologi, mereka menafsirkan Al-Qur’an dari sudut teori-teori ilmiah atau
sains seperti Kitab Tafsir Al-Jawaahir karangan al-Thanthawi
al-Jauhari.[10] Begitulah seterusnya, sehingga lahir berbagai corak
penafsiran sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pemaparan diatas, Seperti
itulah kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh metode ini yang tak dijumpai
dalam metode yang lain. Dengan
demikian, metode ini dapat dikatakan dapat menampung berbagai ide dan gagasan
dalam upaya menafsirkan Al-Qu’an,
Memuat berbagai ide
Telah dijelaskan diatas, bahwasannya
penafsiran dengan metode tahlili ini relatif memberikan kesempatan yang luas
kepada mufasir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan
Al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai
ide yang terpendam di dalam benak mufasir, bahkan ide-ide jahat dan ekstrim pun
dapat ditampungnya. Dengan dibukanya pintu bagi mufasir untuk mengemukakan
pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan Al-Qur’an, maka lahirlah berbagai
kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti Kitab Tafsir al-Thabari (15
jilid), Tafsir Ruh al-Ma’ani (16 jilid), Tafsir al-Fakhr al-Razi (17
jilid) Tafsir al-Maraghi (10 jilid), dan lain-lain.[11]
Maka dapat kita ketahui bersama, bahwa di
dalam tafsir tahlili ini, mufasir relatif mempunyai kebebasan dalam memajukan
ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran Al-Qur’an dimana kondisi
inilah yang membuat tafsir tahlili berkembang lebiih pesat ketimbang tafsir
ijmali.
Kekurangan
Menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial, Seperti halnya metode global, metode
tahlili juga dapat membuat petunjuk Al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah,
sehingga terasa seakan-akan Al-Qur’an memberikan pedoman secara tidak utuh dan
tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari
penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. terjadinya
perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh kurang diperhatikannya ayat-ayat
lain yang mirip atau sama dengannya.[12]
Melahirkan
penafsiran subjektif
Metode tahlili, sebagaimana telah disebutkan di muka, memberikan
peluang yang luas sekali kepada mufasir untuk mengemukakan ide-ide dan
pemikirannya. Sehingga, kadang-kadang mufasir tidak sadar bahwa dia telah
menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan
kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku. Hal itu dimungkinkan karena metode
tahlili membuka pintu untuk yang demikian.[13]
Masuk pemikiran israiliat
Dikarenakan metode tahlili tidak
membatasi mufasir dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka
berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak terkecuali pemikiran
israiliat. Sepintas lalu, sebenarnya kisah-kisah israiliat tidak ada persoalan,
selama tidak dikaitkan dengan pemahaman Al-Qur’an. Tapi bila dihubungkan dengan
pemahaman kitab suci, timbul problema karena akan terbentuk opini bahwa apa
yang dikisahkan di dalam cerita itu merupakan maksud dari firman Allah,atau
lebih tegas lagi, itu adalah petunjuk Allah, padahal belum tentu cocok dengan
yang dimaksudkan Allah di dalam firmanNya tersebut. Disinilah terletak
negatifnya kisah-kisah israiliat tersebut. Kisah-kisah itu bisa masuk ke dalam
tafsir tahlili karena metodenya memang membuka pintu untuk itu.[14]
Contoh metode tahlili dalam bentuk al-Ma’tsur
ولله المشرق
والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله إن الله واسع عليم. (البقرة: ١١٥)
Artinya:
“Milik Allah timur
dan barat, maka ke arah mana saja kamu menghadap, di sana ada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Lapang [memberikan toleransi untuk menghadap kepadaNya dimana saja]
lagi Maha Tahu”.
Yang dimaksud oleh Allah
dengan firmanNya (ولله المشرق
والمغرب) ialah, Allah berwenang penuh atas pemilikan
dan pengaturan keduanya seperti dikatakan: “rumah ini kepunyaan si fulan”.
Artinya, dia berwenang penuh atas pemilikan rumah itu. Dengan demikian,
firmanNya (ولله المشرق
والمغرب) bermakna bahwa keduanya adalah milik dan
makhlukNya. Kata (المشرق) sama
artinya dengan (مطلق) yang kasrah lam, yakni menunjuk kepada “tempat terbit
matahari”.[15]
Contoh metode tahlili dalam bentuk al-Ma’tsur
ولله المشرق والمغرب فاينما تولوافثم وجه الله
ان الله واسع عليم (البقرة:١١٥)[16]
(ولله المشرق والمغرب) Maksudnya timur dan barat, dan
seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan Allah, Dia yang memilikinya dan
menguasainya;( فاينما تولوا ), maka ke arah maupun kamu menghadap yakni memalingkan wajahmu
menghadap kiblat, sesuai dengan maksud firman Allah SWT:
فول وجهك شطرالمسجدالحرام حيثما كنتم فولوا
وجوهكم شطرة.
Niscaya (di sana ada Allah), artinya di tempat
itu ada Allah, yaitu tempat yang di senangi-Nya dan diperintahkan-Nya [kamu]
untuk menghadap-Nya [di situ].[17]
2.
Metode
Ijmali
Metode tafsir ijmaliy adalah suatu
metode penafsiran Al-Qur'an yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara
mengemukakan makna global, dalam sistematika uraiannya mufassir membahas ayat
demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf, kemudian mengemukakan
makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.[18]Makna
dari metode global diatas yakni mufassirnya lansung menafsirkan al-Qur’an mulai
awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, akan tetapi di dalam
metode global tidak ada ruangan untuk mengemukakan pendapat seperti pada metode
tahlili.[19]Mufassir
dengan metode ini berbicara kepada pembaca dengan cara yang termudah dan
menjelaskan arti ayat, yang bertujuan agar pembaca mudah untuk mengetahui
kandungan al-Qur’an.[20]
Contoh metode
tafsir Ijmali
Sebagai contoh, perhatikan firman Allah dalam ayat 11 surah
ar-Ra’du dan ayat 53 surah al-Anfal sebagai berikut:
إن الله لا يغير ما بقيم حتى يغيروا ما بأنفسهم. . .(الرعد: ١١)
ذلك بأن الله لم يك مغيرا نعمة أنعمها على قوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
. . . (الانفال: ٣٥).
Kedua ayat itu ditafsirkan
olehAl-Jalalain sebagai berikut:
(إن الله لا يغير ما بقوم، لا يسلبهم نعمته(حتى يغيروا ما بأنفسهم) من
الحالة الجميلة بالمعصية.
(Sesungguhnya
Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum) tidak mencabut dari mereka
nikmatnya(kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka), dari
sifat-sifat yang bagus dan terpuji menjadi perbuatan maksiat.
(ذلك) أى تعليب الكفرة (بأن) أى بسبب أن ( الله لم يك مغيرا نعمة أنعمها على قوم) مبدلا لها بنقمة ( حتى يغيروا ما بأنفسهم)
يبدلون نعمتهم كفرا كتبديل كفار مكة إطعا مهم من جوع وأمنهم من خوف وبعث النبي صلى
الله عليه وسلم إليهم بالكفر والصد عن سبيل الله وقتال المؤمنين.
(Yang
demikian itu) yakni menyiksa orang-orang kafir (dikarenakan) sesungguhnya
(Allah selamanya tidak pernah mengubah nikmat yang telah dianugerahkanNya
kepada suatu kaum) dengan menggantinya dengan kutukan (kecuali mereka mengubah
apa yang ada pada diri mereka sendiri), yakni mereka mengganti nikmat itu
dengan kufur seperti perbuatan para kafir Mekkah yang menukar anugerah makanan,
keamanan dan kebangkitan Nabi dengan bersikap ingkar, menghalang-halangi agama
Allah, dan memerangi umat Islam.
Kelebihan
Ruang
lingkup yang luas, metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua
bentuknya, ma’tsur dan ra’y;
Memuat
berbagai ide, tafsir metode analitis ini relatif memberikan kesempatan yang
luas kepada mufassir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan
al-Qur’an.[21]
Kelemahan
Menjadikan
petunjuk al-Qur’an parsial, maksudnya adalah metode analitis juga dapat membuat
petunjuk al-Qur’an bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa
seakan-akan al- Qur’an memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten
karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang
diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya.
Melahirkan
penafsir subyektif, metode analitis ini memberi peluang yang luas kepada
mufassir untuk mengumukakan ide-ide dan pemikirannya Sehingga, kadang- kadang
mufassir tidak sadar bahwa dia tidak menafsirkan al-Qur’an secara subyektif,
dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang menafsirkan al-Qur’an sesuai
dengan kemauan bahwa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma
yang berlaku.
Masuk
pemikiran Israiliat, metode tahlili tidak membatasi mufassir dalam mengemukakan
pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya,
tidak tercuali pemikiran Israiliat. Sepintas lalu, kisah-kisah Israiliat tidak
ada persoalan, selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur’an.[22]
3.
Metode
Muqaran (Komperatif)
Metode muqaran adalah menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk kepada penjelasan-penjelasan para mufassir.[23]mengemukakan
pendapat mereka dan membandingkan antara yang satu dengan yang lain, menggali
kandungan hukumnya, menyimpulkan hasil dari ragam pendapat, persamaan dan
perbedaannya.[24]
Metode ini ditempuh seorang musafir dengan cara mengambil sejumlah ayat
al-Qur’an, kemudian mengemukakan
penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu, baik mereka
termasuk ulama salaf atau ulama hadits yang metode dan kecenderungan
mereka berbeda-beda, baik penafsiran mereka berdasarkan riwayat yang bersumber
dari Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi’in (tafsir bi al-Ma’tsur)
atau berdasarkan ratio (ijtihad,tafsir bi al-Ra’yi), dan mengungkapkan pendapat
mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan-kecenderungan
masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an, kemudian menjelaskan
siapa diantara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh perbedaan madzhab,
siapa di antara mereka yang penafsirannya ditujukan untuk melegistimasi suatu
golongan tertentu untuk mendukung aliran tertentu dalam islam.[25]
Langkah penafsiran dengan
menggunakan metode ini tampaknya tidak jauh berbeda dengan metode lainnya,
yakni bermuara pada prinsip umum penafsiran al-Qur’an, antara lain orang yang
akan menafsirkan al-Qur’an baik melalui perkataan ra’yu maupun lainnya. Terlebih
dahulu memebekali dirinya dengan objek yang akan dilakukannya sehingga mampu
mengungkap pengertian al-Qur’an dan rahsia-rahasia yang terkandung didalamnya.[26]
Contoh ayat al-Qur’an metode tafsir
muqaran
لاتدركه
الابصاروهواللطيف الخبير. (الانعام: ١٠٣)
(Dia tak dapat dicapai oleh penglihatan, [dan
sebaliknya] dia mencapai penglihatan; dan dia maha halus lagi maha mengetahui).[27]
Penafsiran para ulama
a.
Al-Suyuthi
Yang menjadikan ada sejumlah pendapat yang
dikemukakan oleh para ulama salaf adalah mengenai ayat (لاتدركه الابصار) antara lain sebagai berikut:
Al-Suyuthi mengartikan ayat diatas bahwa mata
tidak dapat melihat-Nya. Ayat ini khusus berbicara dalam konteks orang-orang
mukmin melihat Allah di akhirat, sesuai dengan firman-Nya: “Pada hari itu wajah
orang-orang beriman berseri-seri sambil memandang Tuhan mereka,” Hadis
[riwayat] dari al-Syaikhaini (Bukhari Muslim) menyebutkan: “Sesungguhnya kamu
akan melihat Tuhanmu sebagaimana kamu melihat bulan di malam purnama, “Ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat itu ialah Allah Tidak dapat diketahui
secara menyeluruh,
(وهواللطيف
الخبير
) artinya, Dia melihat pengelihatan, tapi
pengelihatan itu tidak dapat melihat Nya; tidak mungkin makhluk bisa mengamati
penglihatannya. Sebaliknya, Dia bisa mengamati penglihatan atau mengetahuinya
secara komprehensif. (Dan Dia Maha Latif lagi Maha Mengetahui) para wali-Nya.[28]
b.
Ibn Taimiyah
“Menurut Ibn Taimiyah, para sahabat, tabi’in,
tokoh-tokoh ulama’ yang terkenal sebagai Imam dalam agama seperti Malik,
al-Tsauri, al-Auzu’i, al-Laits ibn Sa’ad, al-Syafi’i, Ahmad, Ishak, Abu Hanifa,
abu Yusuf, dan lain-lain yang setingkat dengan mereka, serta semua ahlu sunnah
dan ahli hadits, para kelompok yang tergabung dalam sekte ahlu sunnah wal
jama’ah seperti kullabiyah, kurramiyah, Asy’ariyah, Salamiyah, dan lain-lain
yang semuanya sepakat menetapkan bahwasannya dapat melihat Allah ta’ala:
hadis-hadis tentang itu mutawatir dari Nabi saw sesuai dengan penilaian para
ahli hadis sendiri”.
Kelebihan:
Pertama, memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para
pembaca,di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dengan metode ini dapat ditinjau
dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya;
Kedua,membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat
orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan pasti
terdapat pro kontra, hal ini dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada
suatu mazhab atau aliran tertentu;
ketigatafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin
mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat, dengan menggunakan metode ini,
mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat
para mufassir yang lain;
Kelemahan:
Pertama, penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada
pemula yang baru mempelajari tafsir, karena pembahasan yang dikemukakan di
dalamnya terlalu luas dan kadang- kadang ekstrim;
Kedua, metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan
sosial yang tumbuh di tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan
perbandingan dari pada pemecahan masalah,
Ketiga, metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran
yang pernah dilakukan oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-
penafsiran baru.[29]
4.
Metode Maudhu’I (Tematik)
Metode tafsir maudhu’i juga disebut dengan
metode tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-tema
tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an. Ada dua cara dalam tata kerja metode
tafsir mawdhu’i: pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat
al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah tertentu serta mengarah kepada
satu tujuan yang sama, sekalipun turunnya berbeda dan tersebar dalam berbagai
surah dalam al-Qur’an.[30]Pada
hakekatnya metode ini dimulai dari topik, kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang
berkenaan dengan topik tersebut, setelah itu disusun dan dirangkai, sehingga.
Dihasilkan kesatuan pandangan yang lengkap serta kesatuan pemikiran yang
meliputi seluruh ayat tersebut.[31]
Dari pengumpulan ayat yang berkaitan
dengan topik tertentu dapat diperoleh manfaat; yaitu yang pertama kandungan
yang utuh sebagaimana dikehendaki Alqur'an tentang topik yang dimaksud,
mengalami kesulitan untuk memahami ayat atau mengetahui tujuannya hal ini disebabkan
oleh perbedaan zaman yang jauh dengan zaman turunnya wahyu, karena kita tidak
mengetahui kontek turunnya ayat atau petunjuk situasional yang berlaku pada
masyarakat Islam pada saat itu, yang kedua ayat-ayat kelihatan
bertentangan dapat dipertemukan dan dikompromikan dalam satu pemahaman.[32]
Contoh ayat al-Qur’an metode
Maudhu’i
Ayat al-Qur’an ini berbicara tentang
penciptaan manusia,
(Maka tanyakanlah kepada mereka [musyrik Mekah],
apakah penciptaan mereka yang lebih sukar ataukah apa [malaikat, bumi, langit
dan lain-lain] yang telah kami cipatakan? Sesungguhnya kami telah meciptakan
mereka [manusia termasuk kaum musyrik Mekah] dari tanah liat)
يا ايهاالناس ان كنتم في ريب من البعث فاناخلقناكم منت تراب
ثم من نطفةثم من علقة ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة لنبين لكم ونقر فى الارحامم
ماشاء الى اجل مسمى ثم نخرجكم طفلا....(الحج:٥)
(Hai manusia! Jika kalian masih ragu
tentang kebangkitan [kelak di akhirat], maka sesungguhnya kami telah
menciptakan kalian [berasal] dari tanah: [Prof. A. Baiquni mengartikannya
dengan ‘zat renik’] kemudian berkembang menjadi nuthfah, terus menjadi segumpal
daging yang sempurna kejadiannya, dan ada pula yang tidak sempurna, supaya kami
menjelaskan bagi kalian [tentang penciptaan tersebut] dan kami tetapkan di
dalam rahim apa yang kami kehendaki sampai waktu yang ditentukan. Setelah itu
kalian kami keluarkan (kami lahirkan) ke dunia sebagai bayi.[33]
Dalam ayat-ayat diatas jelas terlihat bahwa
Allah menciptakan manusia tidak sekaligus, melainkan secara berevolusi (bertahap),
mulai dari sari pati tanah, nuthfah, darah, daging,akhirnya mrnjadi manusia
utuh secara fisik.[34]
Allah menciptakan manusi dengan bertahap dan sempurna memerlukan proses yang
cukup panjang, dan semua hal tersebut sudah ada di dalam al-Qur’an.
Kelebihan:
Pertama, Menjawab tantangan zaman, permasalahan dalam
kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu
sendiri.
KeduaPraktis dan sistematis, tafsir dengan metode
maudhu’i (tematik) disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan
permasalahan yang timbul;
Ketiga Dinamis, metode tematik membuat tafsir al-
Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga di dalam pikiran
pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing
kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial;
Keempat, Membuat pemahaman menjadi utuh, dengan ditetapkannya
judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap
secara utuh;
Kelemahan:
Pertama, memenggal ayat al-Qur’an yang dimaksud disini
adalah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung
banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat.
Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin
membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat
harus di tinggalkan ketika menukilkannya darimushaf agar tidak mengganggu pada
waktu melakukan analisis;
Kedua, membatasi pemahaman ayat, dengan diterapkannya
judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas padapermasalahan
yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. [35]
Sisi kelemahan metode ini, yaitu tidak begitu mudah bagi mufassir untuk
menerapkannya. Karena metode ini menuntut mufassir untuk memahami ayat demi
ayat yang berkaitan dengan topik yang dituju. Dengan demikian ia harus menguasai
korelasi antar ayat. Pemahaman dan penguasaan kosa kata yang cukupdan
sebagainya.[36]
Penutup
Secara umum terdapat empat jenis metode penafsiran, yakni metode
Tahlili, Ijmali, Muqaran dan Maudhu’i. Masing-masing metode ini memepunyai cara
penafsiran masing-masing, hal ini diharapkan agar dapat memepermudah para
mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini berdampak pula pada penilaian
pada setiap metode-metode tafsir tidak dapat dilakukan dengan cara mengklaim
salah satu atau sebagiannya sebagai metode yang terbaik, karena masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta
kebutuhan mufassir sendiri.
Umumnya metode yang dapat diterapkan pada era saat ini adalah
metode tafsir maudhui yang dimana metode ini merupakan suatu metode yang
membahas tentang penafsiran yang dapat diterapkan pada masalah yang timbul
dalam kehidupan masyarakat kontemporer dengan lugas dan cepat, maka dari itu
metode ini sangat relevan untuk digunakan.
Daftar Pustaka
Al-Aridl, Ali Hasan. 1992.Sejarah
dan Metodology Tafsir, terjemah dari Tarikh ilmu at Tafsir wa Manahi
al-Mufasirin oleh Ahmad akrom.Jakarta:Raja
Grafindo Persada.
Abidu, Yunus Hasan.2007. Tafsir
Al-Qur’an, sejarah tafsir dan metode tafsir. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Anwar, Rosihon.
2000.Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia
Anwar, Rosihon. 2009. Pengantar Ulumul
Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Salim, Abd.
Muin.2005.Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras.
Baidan, Nashruddin.1998.Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: pustaka pelajar.
SanakyHujair A. H.Metode Tafsir
[Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin].Jurnal Al-Mawarid,Edisi XVIII, 2008.
Khaeruman, Badri.2004.Sejarah
Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Husin Muhammad. Metodologi
Penafsiran Alqur'an. Jurnal DarussalamVol.7,No.2, 2008.
Sudirman. Corak dan Metode Penafsiran dalam
Al-Qur’an. Jurnal El-Qudwah,2012.
Catatan:
1. Similarity 53 %.
2. Abstrak bahasa Inggrisnya mana?
3. Dalam tulisan ilmiah, tidak usah mencantumkan gelar
(Prof. Dr., Ustadz, dll)
4. Perbaiki lagi footnotenya.
[1]Ali
Hasan Al-‘Aridl, Sejarah Dan Metodologi Tafsir (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,1992), hlm.3
[2] Abd.
Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: TERAS, 2005), hlm. 27
[3] QS.
Al-Furqan (25):3
[4]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), hlm.1-2
[5]
Badri Khaeruman, Sejarah Prkembangan Tafsir Al-Qur’an (Bandung: Pustaka
Setia, 2004), hlm.13
[6]
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007),
hlm.3
[10]Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an, Cet. IV (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 54
[16]Nashruddin baidan, Op.Cit., hlm. 46
[17]Nashruddin baidan, Op.Cit., hlm.48
[18]
Sudirman, Corak Dan Metode Penafsiran Al-Qur’an, hlm.8
[20] Ali
hasan Al-‘Aridl, Op.Cit.,hlm.73
[21]
Nashruddin Baidan,Op.cit, hlm. 53-54
[22]
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna atau Corak Mufassirin]”. Al-Mawarid.Edisi XVIII. 2008, hlm. 277
[23]
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm.160
[24]
Yunus Hasan Abidu, Op.Cit., hlm.3-4
[25] Ali
hasan al-aridl, Op.Cit., hlm.75
[26]
Badri khaeruman, Op.Cit., hlm.100
[27] QS
Al-an’am (6) :103
[29]
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna atau Corak Mufassirin]”. Al-Mawarid.Edisi XVIII. 2008, hlm. 279
[30] Abd
Muin Salim, Op.Cit., hlm.47
[31]
Muhammad Husin, “Metodologi Penafsiran Alqur'an”. Jurnal Darussalam.
Vol. 7 No. 2, 2008, hlm.108
[35]
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna atau Corak Mufassirin]”. Al-Mawarid.Edisi XVIII. 2008, hlm.280-281
[36]
Muhammad Husin, “Metodologi Penafsiran Alqur'an”. Jurnal Darussalam.
Vol. 7 No. 2, 2008, hlm.104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar