SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI
(AL-QUR’AN, SUNNAH, IJMA’, DAN QIYAS)
Oleh: Mella Zita A’yuni (16110074)
Mahasiswa PAI-B
Semester 6 UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
Islam is a religion that is so beautiful and perfect, and
certainly a must have rules we follow and the prohibition should be avoided. In
Islam there are sources of law used to when a problem. Sources of Islamic law
are agreed there are four is: Qur'an, Sunnah, Ijma’ and Qiyas. The Qur'an is
Allah who serve as the primary source in upon a problem. And the Sunnah
constitute all the words, deeds and the approval of the Prophet Muhammad and a
source of a second after the Qur'an. Both of these sources is the main source
of law in any existing problems. Whereas in the Qur'an and the Sunnah cannot be
found then continued with a legal basis to use legal sources next Ijma’ and Qiyas. Ijma’ is the agreement of the
mujtahid and Qiyas is compare and equate a law with the laws of the other.
Ijma’ and this is nothing to source the next Islamic law which is then agreed
by the priest of the sect, so 4 than it is then inferred that the source above
is a source of Islamic law that has been agreed upon and not disputed again in
set the law against a problem
Keywords: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ and Qiyas
Abstrak
Islam merupakan agama yang begitu indah dan
sempurna, dan pastinya mempunyai aturan yang wajib kita patuhi dan larangan
yang harus dihindari. Dalam Islam terdapat sumber-sumber hukum yang digunakan
untuk menghukumi suatu permasalahan. Sumber-sumber hukum Islam yang disepakati
tersebut ada 4 yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Al-Qur’an merupakan
kalam Allah yang dijadikan sebagai sumber utama dalam menghukumi suatu masalah.
Dan Sunnah merupakan segala perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi Muhammad
dan menjadi sumber kedua setelah Al-Qur’an. Kedua sumber ini merupakan sumber
hukum utama dalam setiap permasalahan yang ada. Sedangkan apabila dalam
al-Qur’an dan Sunnah tidak dapat ditemukan landasan hukum maka dilanjutkan
dengan mengunakan sumber hukum selanjutnya yaitu Ijma’ dan Qiyas. Ijma’ adalah kesepakatan
para mujtahid dan Qiyas adalah membandingkan dan menyamakan suatu hukum dengan
hukum yang lain. Ijma’ dan qiyas ini merupakan sumber hukum Islam selanjutnya
yang kemudian disepakati oleh para 4 imam mazhab, sehingga dari hal tersebut
maka disimpulkan bahwa sumber hukum Islam diatas merupakan sumber yang telah
disepakati dan tidak dipertentangkan lagi dalam menetapkan hukum terhadap suatu
permasalahan.
Kata Kunci: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas
A.
Pendahuluan
Islam merupakan agama yang begitu indah dan
sempurna, dan pastinya mempunyai aturan yang wajib kita patuhi dan larangan
yang harus dihindari. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari kita tidak dapat
terlepas dari mashadir al-syari’ah atau ushul al-ahkam atau bisa
kita dengar sebagai sumber dalam pengambilan hukum. Sumber disini berarti
menjadi dasar lahirnya sesuatu. Dengan ini maka telah ditetapkan tentang dalil
syar’i atau sumber hukum yang digunakan umat Islam dalam pengambilan hukum. Dan
dalil disini berarti sebagai petunjuk dan mengantarkan umat Islam untuk
menemukan sesuatu. Dengan demikian, yang termasuk dalam sumber hukum ada dua
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah/Hadis. Karena Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dasar
sebagai lahirnya ketentuan yang ada dalam hukum Islam dan merupakan teks-teks
nashs yang dijadikan rujukan dalam menentukan hukum Islam itu sendiri.
Sedangkan ijma’ dan qiyas itu bukan tergolong dari sumber hukum Islam, akan
tetapi termasuk dalam dalil hukum. Karena ijma’ dan qiyas merupakan bukan dasar
lahirnya hukum Islam melainkan sebagai penunjuk dalam menemukan suatu hukum
Islam yang terdapat pada Al-Qur’an atau dengan Sunnah yang dilakukan dengan
cara ijtihad.[1]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan
sebuah hukum pertama harus melihat dari Al-Qur’an. Ketika di dalam Al-Qur’an
tidak ada maka bisa mengambil pada Sunnah. Begitupun jika tidak ada di Sunnah
maka bisa mengambil di Ijma’, yang merupakan kesepakatan para mujtahid. Dan
jika ketiga-tiganya tersebut tidak ada hukumnya maka dapat menggunakan ijtihad
sendiri dengan qiyas (membandingkan) kepada keputusan yang berdasarkan dengan
nash-nash.[2]
B.
Al-Qur’an
1.
Pengertian
Al-Qur’an jika dilihat dari segi bahasa
berasal dari mashdar yaituقرأ)) , yang dapat dilihat pada kata fu’lan
(فعلان)
yang memiliki arti “bacaan” atau maqru’ (مقروء) yang artinya “apa yang tertulis padanya”.[3] Sedangkan jika dilihat
dari segi istilah, banyak sekali pengertian yang dikemukakan oleh para ulama’. Dan
para ulama’ ushul fiqh mengartikan Al-Qur’an dengan:[4]
القران هو كلام الله تعالى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم باللفظ العربي
المنقول اءلينا باتواتر المكتوب في المصاحف المتعبد بتلاوته المبدوء بسورة الفاتحة
المختوم بسورة الناس
Artinya:
Al-Qur’an ialah firman Allah SWT yang diturunkan kepada
Muhammad SAW, berbahasa Arab, diriwayatkan kepada kita secara mutawattir,
termaktub di dalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari
al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Menurut Asy-Syaukani, melihat pengertian dari
para ulama’ ushul fiqh diatas, dapat disimpulkan bahwasanya ciri khas dari
Al-Qur’an adalah:[5]
Ø Al-Qur’an ialah firman Allah yang diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Jika tidak diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW, dan bukan termasuk kalam Allah,maka tidak dapat disebut
sebagai Al-Qur’an melainkan Zabur, Taurat dan Injil. Dari kitab yang disebutkan
selain Al-qur’an tadi, juga termasuk kalam Allah akan tetapi tidak diturunkan
kepada nabi Muhammad.
Ø Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab Quraisy.
Dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an yaitu:QS. Yusuf ayat 12; QS.
An-Nahl ayat 103; QS. Asy-Syu’ara ayat 192-195; QS. Az-Zumar
ayat 28; dan QS. Ibrahim ayat 4. Dengan demikian, para ulama’
menyepakati bahwasanya penafsiran dan terjemahan dari Al-Qur’an tidak dapat
disebut Al-Qur’an, dan orang yang membacanyapun tidak mendapat nilai ibadah.
Orang yang sholat jika menggunakan bacaan dari tafsiran atau terjemahan, maka
sholatnya juga tidak sah, meskipun ulama’ Hanifiyah telah membolehkan dengan
bahasa Parsi akan tetapi kebolehan tersbut bersifat rukhshah (keringanan
hukum).
Ø Menurut hadis Al-Bukhori bahwasanya Al-Qur’an
itu diberikan kepada beberapa generasi setelah nabi Muhammad secara mutawattir.
Maksudnya dituturkan dari orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Dan
orang yang menuturkan tersebut tidak mungkin berdusta dalam menyampaikan. Sehingga
Al-Qur’an disampaikan tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun.
Ø Ketika membaca Al-Qur’an dalam setiap katanya
akan dinilai ibadah dan medapatan pahala dari Allah. Meskipun bacaannya
tersebut tidak berasal dari hafalan sendiri melainkan dibaca langsung dari
mushhaf Al-Qur’an, tetap dinilai ibadah.
Ø Diawali dengan surat Al-Fatihah dan dan
diakhiri dengan surat An-Nas. Dalam Al-Qur’an susunan surat yang ada
didalamnya, telah disusun sesuai dengan petunjuk Allah, yang diturunkan kepada
nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, dan letaknya tidak boleh diubah maupun
diganti.
Didalam Al-Qur’an terdapat 30 juz, 114 surat,
dan 6666 ayat. Sedangkan menurut ketetapan Menteri dalam Negeri Mesir bilangan
ayat yang ada pada Mushhaf Usmaniy yaitu 6236 ayat dengan bilangan kalimatnya
77.934 kalimat, sedangkan menurut pendapat ulama’ lain ada 77.437 kalimat. Dan
menurut Ibnu Abbas banyak huruf di Al-Qur’an ada 323.671 huruf, hal itu ada
pada sabda nabi sebagai berikut:[6]
عن ابن مسعود قال النبي ص.م من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة والحسنة
بعشر أمثا لها لا اقول الم ولكن الف حرف ولام حرف وميم حرفز. (رواه الترمذى)
Artinnya:
Dari Ibnu Mas’ud, Nabi bersabda: Barangsiapa yang membaca
satu huruf dari kitab Allah (Al-Qur’an), maka dia mendapat kebaikan, yang
kebaikan itu sepuluh kali lipat, jangan kamu sangka bahwa alif, lam, dan mim
satu huruf tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf
Penurunan Al-Qur’an oleh Allah terjadi dalam dua periode,
yaitu periode sebelum hijrah dan sesudah hijrah. Surat-surat Al-Qur’an yang
diturunkan oleh Allah sebelum melakukan hijrah disebut dengan Makiyyah, dengan
jumlah suratnya ada 86 surat. Sedangkan surat yang diturunkan oleh Allah
sesudah melaksanakan hijrah dinamakan Madaniyyah dengan jumlah suratnya
sebanyak 28 surat.[7]
Ayat-ayat Makiyyah pada umumnya suratnya berisi tentang masalah-masalah akidah
(keyakinan), sehingga pada waktu itu (zaman jahiliyyah) ditanamkan ajaran
tauhid untuk meluruskan keyakinan pada ummat. Alasan mengapa masalah akidah
dulu yang harus ditanamkan, karena tanpa adanya akidah maka syariat Islam tidak
dapat diterima oleh ummat Muslim. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah pada umumnya
berisi mendorong ummat manusia untuk menggunakan akalnya yang sehat untuk
memikirkan kenyataan yang ada (alam nyata) disekitarnya sebagai bukti atas
wujud dan kekuasaanNya.[8]
2.
Kehujjahan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah terhadap setiap
Muslim dan hukum-hukum yang ada didalamnya itu merupakan undang-undang yang
wajib digunakan bagi orang Muslim.[9] Menurut para ulama’ ushul
fiqh juga sepakat bahwasanya Al-Qur’an dijadikan sumber utama dalam hukum Islam
yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad melalui malaikat Jibril dan yang ada
didalamnya wajib diamalkan. Seorang mujtahid pun juga tidak dibolehkan jika
menggunakan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti
ayat-ayat yang ada didalam Al-Qur’an. Tetapi jika hukum permasalahannya tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an maka mujtahid diperbolehkan menggunakan dalil lain
dalam menentukan hukum Islam. Para ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwasanya
ada beberapa alasan dalam kewajiban berhujjah dengan Al-Qur’an, antara lain:[10]
a)
Al-Qur’an diturunkan secara mutawattir kepada nabi Muhammad, dengan
demikian dapat memberi keyakinan bahwasanya Al-Qur’an benar-benar diturunkan
oleh Allah kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Dan nabi Muhammad
merupakan orang yang paling dipercaya oleh orang-orang Muslim. Sehingga membuat
tidak ada keraguan bagi orang Muslim dalam berhujjah dengan Al-Qur’an.
b)
Dalam beberapa ayat di Al-Qur’an banyak yang menyatakan bahwa Al-Qur’an
datangnya dari Allah. Ayat-ayat tersebut antara lain: QS. Ali Imran ayat
3; QS. An Nisa ayat 105; QS. Al-Nahl ayat 89.
c)
Mukjizat Al-Qur’an merupakan bukti yang pasti akan kebenarannya tentang
Al-Qur’an itu datangnya dari Allah SWT. Tujuan dari mukjizan Al-Qur’an ini
untuk memberi penjelasan tentang kebenaran nabi Muhammad SAW yang telah membawa
risalah Illahi dengan suatu perbuatan yang diluar kebiasaan manusia. Menurut
para ulama’ ushul fiqh, mukjizat Al-Qur’an dapat dilihat ketika ada tantangan
dari pihak lain yang ingin menandingi isi Al-Qur’an. Para ahli sastra Arab pun
tidak bisa menandingi kebahasaan atau isi Al-Qur’an.
Unsur-unsur yang dapat membuat Al-Qur’an itu
menjadi mukjizat yang tidak dapat ditandingi oleh akal manusia, yaitu:[11]
a)
Jika dilihat dari sisi keindahan dan ketelitian redaksinya, banyaknya
bilangan kata dengan lawan katanya memiliki keseimbangan, contohnya seperti: al-hayah
(hidup) dan al-maut (mati), dalam bentuk yang pasti (difinite) memiliki
jumlah yang sama yaitu 145 kali; al-kufr (kekufuran) dan al-iman
(iman) memiliki jumlah yang sama-sama terulang sebanyak 17 kali didalam
Al-Qur’an.
b)
Dilihat dari sisi pemberitaan-pemberitaan gaib yang ada dalam Al-Qur’an,
terdapat pada surat Yunus ayat 92 yang berisi tentang “ badan Fir’aun
akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi-generasi berikutnya,”
dan menurut badan arkeolog pada tahun 1896 telah menemukan sebuah mummi yang
dikabarkan bahwa mummi tersebut merupakan Fir’aun yang dulu mengejar-ngejar
nabi Musa.
c)
Dilihat dari segi isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung dalam Al-Qur’an,
contohnya terdapat pada surat Yunus ayat 5 yang berisi “ cahaya matahari
bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari
cahaya matahari).
3.
Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber dan dalil pertama
dalam hukum syara’ yang memiliki arti pada penetapan hukum, hal ini berdasarkan
kesepakatan ahli ushul fiqh. Dengan demikian, dalam penetapan hukum langkah
pertama yaitu mencari jawaban dalam Al-Qur’an, setelah mencarinya tetapi tidak
ditemukan di dalam Al-Qur’an maka diperbolehkan mencari dari sumber dan dalil
yang lain. Dalam kedudukannya sebagai sumber utama, Al-Qur’an merupakan sumber
dari segala sumber hukum, maka hukum-hukum yang telah ditetapkan melalui dalil
atau sumber yang lain tidak boleh bertentangan. Dengan demikian, jika manusia
mau menyelesaikan masalah yang dihadapi atau menyelesaikan hukum-hukum yang
terjadi maka Al-Qur’an lah yang dijadikan sebagai pedoman hidup yang pertama
dalam menyelesaikannya.[12]
4.
Hukum atau Isi dalam Al-Qur’an
Dapat kita lihat bahwasanya Al-Qur’an bukanlah
kitab hukum, karena menurut sebagian ulama’ ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
dengan hukum hanya ada sekitar 500 ayat. Bahkan ada ulama’ lainnya yang
berpendapat bahwa hanya ada 150 ayat yang mengandung hukum. Ayat-ayat Al-Qur’an
yang berhubungan dengan hukum tersebut, secara garis besar berisi tentang
hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan antar sesama manusia, dan hubungan
manusia dengan alam sekitarnya.[13] Lebih jelasnya dapat kita
lihat pembagian hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, sebagai berikut:[14]
1)
Hukum-hukum I’tiqadiyah merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan
rukun iman yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, para
Rasulullah, dan hari akhir.
2)
Hukum-hukum Khuluqiyah, merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan
akhlak. Manusia dalam kehidupannya harus memiliki akhlak yang baik dengan
menjalankan perintah Allah SWT, dan menjahui akhlak yang tidak baik (amar
ma’ruf nahi munkar).
3)
Hukum-hukum ‘Amaliah, merupakan hukum-hukum yang berhubungan dengan
perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-seharinya. Perbuatan manusia tersebut
berkaitan dengan perbuatan, perkataan, akad-akad, dan tindakan-tindakan
lainnya.
Dalam hukum ‘amaliah ini memiliki pembagian lagi antara
lain sebagai berikut:[15]
a)
Hukum-hukum ibadah (أحكام العبادات), merupakan hukum-hukum yang ada dalam
al-Qur’an yang berhubungan dengan ibadah atau dapat diartikan mengatur dalam
kehidupan ummat Muslim yang berhubungan dengan Allah, contohnya seperti puasa,
haji, zakat, nazar, sumpah, dan ibadah-ibadah lainnya. Hukum-hukum seperti
diatas kebanyakan bermaksud pada hukum-hukum ta’abbudiy atau hukum-hukum
yang tidak boleh dimasuki logika dan tidak boleh berubah dengan perubahan masa.
b)
Hukum-hukum Muamalah (أحكام المعاملات ), merupakan hukum-hukum yang berhubungan
dengan muamalah maksudnya yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia,
baik itu dalam hal individu maupun kelompok. Contohnya seperti: penjualan,
akad-akad atau berbagai transaksi, jinayat, hukuman, dan lain sebagainya
kecuali dalam hal ibadah. Dalam hukum modern, hukum-hukum muamalah ini memiliki
cabang lagi, yaitu sebagai berikut:
1)
Hukum-hukum perseorangan (أحكام الاحوال الشخصية) adalah hukum yang mengatur dalam hal
kekeluargaan seperti tentang perkawinan, waris, talak, wakaf, wasiat dan
lain-lain. Ayat yang berisi tentang hukum ini ada sekitar 70 ayat.
2)
Hukum-hukum perdata (ألاحكام المدنية), adalah hukum yang isinya mengatur
tentang hubungan perseorangan dengan perseorangan dan masyarakat. contohnya
sebagai berikut: sewa-menyewa, jual-beli, gadai dan lain sebagainya yang
intinya masih berkaitan tentang harga kekayaan. Ayat yag menjelaskan hukum ini
dalam Al-Qur’an ada sekitar 70 ayat.
3)
Hukum-hukum pidana (ألاحكام الجنانية), merupakan hukum-hukum dalam Al-Qur’an
yang mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh mukallaf dan yang
mengatur pula hukuman yang akan dikenakan kepadanya. Ayat yang membicarakan
tentang hukum ini ada sekitar 30 ayat.
4)
Hukum-hukum acara (أحكام المرافعات), merupakan hukum-hukum yang membicarakan
tentang masalah-masalah peradilan, baik itu bersifat perdata maupun pidana.
Contohnya yaitu: kesaksian dan sumpah. Ayat yang berhubungan dengan hukum ini
ada sekitar 13 ayat.
5)
Hukum perundang-undangan (الاحكام الدستورية), merupakan hukum yang adaa dalam
Al-Qur’an yang berisi tentang hubungan antar negara, tata cara pergaulan dengan
non Muslim di dalam negara Islam, baik ketika terjadi perang maupun dalam
keadaan damai. Ayat yang membahas tentang hukum ini ada sekitar 25 ayat.
6)
Hukum tentang ekonomi dan keuangan (ألاحكام
الاقتصا دية والمالية),
merupakan hukum yang membicarakan seperti hak seorang miskin kepada harta orang
kaya, bank, sumber air, juga hubungan antara fakir dan orang-orang kaya, antara
negara dan perorangan. Ayat-ayat ini dalam Al-Qur’an terdapat sekitar 10 ayat
yang membicarakan tentang hukum ini.
5.
Karakteristik dan Bentuk-bentuk Penjelasan Hukum
Al-Qur’an
Perlu diingat-ingat bahwasanya Al-Qur’an
bukanlah kitab hukum, maupun kitab undang-undang yang isinya berisi kumpulan
peraturan yang memiliki sifat terperinci, sistematis, dan spesifik. Akan tetapi
Al-Qur’an merupakan kitab wahyu yang memiliki beberapa fungsi, antara lain:[16]
a)
Al-Qur’an dijadikan sebagai al-huda (petunjuk) bagi setiap umat
manusia yang taat dalam melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-Nya
(bertaqwa) dalam keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan di akhirat.
b)
Al-Qur’an dijadikan sebagai rahmat yang dapat mengantarkan ummat manusia
dalam kehidupannya yang penuh kasih sayang, dan dapat juga dijadikan bukti
bahwasanya Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang.
c)
Al-Qur’an dijadikan sebagai maw’izhah (bimbingan dan pengajaran)
bagi setiap umat manusia dalam pencapaian keluhuran dan kesucian fitrahnya;
selain itu juga Al-Qur’an dijadikan sebagai tibyan (penjelasan) dan tafshil
(pemerinci) bagi segala sesuatu, yang mana manusia harus mengetahui untuk
kepentingan keselamatannya di dunia dan akhirat.
d)
Al-Qur’an dijadikan sebagai Furqan (pembeda antara yang baik dan
yang buruk, yang benar dan yang salah, yang berada dalam jalan yang benar dan
yang sesat).
e)
Al-Qur’an dijadikan sebagai nur (cahaya) bagi setiap manusia untuk
menerangi hati manusia dalam melihat kebenaran dan menjadi benar dalam
kehidupannya.
Meskipun, Al-Qur’an disini tidak disebut
sebagai kitab undang-undang, tetapi mempunyai fungsi sebagai furqan,
tafshil, dan tibyan. Di dalam Al-Qur’an ayat-ayatnya berkaitan
dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam. Jika dilihat dari kedudukan Al-Qur’an
yaitu sebagai sumber hukum yang pokok dan pertama dari hukum Islam, seperti
halnya dengan UUD yang ada pada negara, aturan dan ketentuan hukum yang ada
didalamnya membahas tentang pengaturan hal-hal yang bersifat umum dan pokok.
Dalam Al-Qur’an ketentuan hukum-hukum Islam ada yang bersifat perintah,
larangan, dan ada juga yang bersifat pilihan untuk berbuat maupun tidak
berbuat.[17]
C.
Sunnah
1.
Pengertian
Sunnah (سنة) jika dilihat dari segi bahasa
(etimologis) memiliki arti perjalanan, kelakukan, dan pekerjaan.[18] Sedangkan jika dilihat
dari segi istilah(terminologi) dapat ditemukan dalam sabda nabi Muhammad SAW
pada HR. Muslim, yaitu:[19]
من سن في لاسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من بعده
Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam
Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang
mengamalkannya.
Selain itu, banyak yang mengartikan sunnah yang dilihat
dari tiga disiplin ilmu yaitu:[20]
a.
Jika dilihat dari IlmuHadis, para ahlinya mengidentikkan sunnah dengan
hadis, yang memiliki pengertian segala sesuatu yang telah disandarkan terhadap
Nabi Muhammad SAW, baik itu berupa perkataan, perbuatan, ataupun ketetapannya.
b.
Jika dilihat dari Ilmu Ushul Fiqh, menurut para ahlinya, sunnah merupakan
segala sesuatu yang telah diriwayatkan dari Muhammad baik itu berbentuk
perbuatan, perkataan, dan ketepan yang sudah berkaitan dengan hukum.
c.
Jika dilihat dari Ilmu Fiqh, menurut ahlinya pengertian sunnah disini tidak
jauh beda dengan pengertian yang ada di ushul fiqh. Tetapi, pengertian sunnah
dalam fiqh juga memiliki maksud sebagai salah satu hukum taklifi yang berarti
segala suatu perbuatan yang jika dilakukan akan mendapatkan pahala dan jika
ditinggalkan juga tidak akan berdosa.
Dalam hal ini juga diketahui bahwasanya antara
para ulama’ memiliki perbedaan pendapat yaitu ada yang berpendapat kalau hadis
itu sama dengan sunnah. Dan selain pendapat itu, para ulama’ ada yang
mengatakan bahwa hadis dan sunnah itu sama. Ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa
kata hadis itu harus dibatasi pada bentuk sabda, perbuatan dan persetujuan nabi
Muhammad yang hanya berkaitan dengan hukum saja. Sedangkan ulama’ Hadis
kebanyakan berpendapat jika pengertian sunnah dan hadis itu sama dan tidak ada
batasan seperti yang dikemukakan oleh ulama’ ushul fiqh yaitu tidak membatasi
dengan hukum saja dengan alasan mereka menempatkan diri Nabi sebagai panutan
utama (ushwah hasanah). Ulama’ ushul fiqh membatasi hanya dengan hukum saja
karena mereka memiliki alasan tersendiri yaitu dapat dipahami bahwa yang
menjadi pokok kajian ilmu ushul fiqh
adalah perbuatan mukallaf yang memiliki konsekuensi hukum.[21]
2.
Pembagian Sunnah
Pembagian sunnah dapat dilihat dari dua segi
yaitu dari bentuknya dan kualitasnya. Pertama pembagian sunnah dari segi
bentuknya dapat dibagi lagi dalam beberapa poin, yaitu:[22]
a.
Sunnah Qauliyyah
Sunnah qauliyah merupakan semua ucapan dari nabi Muhammad SAW, yang
diucapkan melalui lisannya dan dapat didengar dan dipahami oleh sahabat nabi,
setelah itu diberitakan dan diriwayatkan kepada sahabat yang lainnya sampai
periwayatan tersebut berlanjut dari satu generasi kepada generasi lainnya. Menurut
Shahih al- Bukhari yang dikutip oleh Rahman Dahlan dalam buku Ushul Fiqh, contoh
dari sunnah qauliyyah itu sendiri yaitu:
عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يؤمن
أحدكم حتى يحب لاخيه ما يحب لنفسه
Dari Anas,
dari Nabi, beliau bersabda: “Belum beriman salah seorang dari kamu, sebelum ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.
Periwayatan yang ada dalam sunnah qauliyah dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
riwayah bi al-lafz (periwayatan hadis yang redaksinya persis sesuai
dengan yang diucapkan Nabi Muhammad SAW), maksudnya para sahabat dalam mengutip,
menyampaikan dan meriwayatkannya terhadap orang lain sama persis sebagaimana
yang telah diucapkan oleh Rasulullah SAW; dan riwayah bi al-ma’na
(periwayatan hadis yang redaksinya berasal dari perawi, tetapi maknanya sama),
maksudnya para perawi dalam menyampaikan dan meriwayatkan sabda Rasulullah
terhadap orang lain hanya dari segi maknanya saja, meskipun lafalnya tidak sama
tetapi maksudnya sama.
b.
Sunnah fi’liyah
Sunnah fi’liyah merupakan segala sesuatu baik itu berupa gerak-gerik,
perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah yang dapat dilihat dan diperhatikan oleh
para sahabatnya, setelah itu diberitakan dan diriwayatkan kepada
sahabat-sahabat yang lain secara berkesinambungan dari satu generasi ke
generasi lainnya. Menurut Shahih al- Bukhari yang dikutip oleh Rahman Dahlan
dalam buku Ushul Fiqh, contoh dari sunnah fi’liyah itu sendiri yaitu:
عن عباد بن تميم عن عمه قال رأيت النبي صلى الله
عليه وسلم يوم خرج يستسقي قال فحول الى الناس ظهره واستقبل القبلة يدعو ثم حول
رداءه ثم صلى لنا ركعتين جهر فيهما بالقراءة
Dari Ubbad bin Tamim, dari pamannya, ia berkata: “saya melihat Rasulullah
SAW pada hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari,
katanya: “Maka beliau membalikkan tubuhnya membelakangi jamaah dan menghadap
kiblat dan berdoa, kemudian beliau membalikkan selendangnya, kemudian beliau
shalat bersama kami dua rakaat dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rakaat
itu”.
Para ulama’ banyak yang berbeda pendapat tentang kedudukan dan tingkah laku
Rasulullah SAW sebagai manusia biasa di atas sebagai bagian daari ajaran Islam
yang perlu diikuti atau tidak. Ada ulama’ berpendapat, perbuatan tersebut
merupakan bagian dari sunnah Rasulullah SAW, hanya saja hukum mengikutinya
tidak wajib, tetapi hanya sunnah saja. Sebagian ulama’ lainnya berpendapat, perbuatan
tersebut tidak merupakan bagian dari sunnah, karena merupakan adat kebiasaan
dari kedudukan Rasulullah sebagai manusia biasa.
c.
Sunnah Taqririyyah
Sunnah taqririyyah merupakan sikap persetujuan Rasulullah SAW yang
berkaitan dengan suatu peristiwa yang telah terjadi baik yang dilakukan oleh
sahabat beliau maupun yang lainnya, di mana terdapat petunjuk bahwa Rasulullah
memberi persetujuan atas perbuatan yang dilakukan. Menurut Shahih al- Bukhari
yang dikutip oleh Rahman Dahlan dalam buku Ushul Fiqh, contoh dari sunnah
taqririyyah itu sendiri yaitu:
عن خالد بن الوليد قال أتي النبي صلى الله عليه
وسلم بضب مشوي فأهوى اليه ليأكل فقيل له اءنه ضب فأمسك يده فقال خالد أحرام هو قال
لا ولكنه لا يكون بأرض قومي فأجدني أعافه فأكل خالد ورسول الله صلى الله عليه وسلم
ينظر
Dari Khalid
bin Walid katanya: “Kepada Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak)
yang dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada beliau:
“Itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka Khalid berkata: “Apakah
haram memakannya,?”Beliau menjawab: “Tidak, tetapi binatang jenis itu tidak
biasa ditemukan di daerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya”. Maka
Khalid memakannya, sedang Rasulullah SAW memandanginya”.
Adapun sunnah-sunnah yang ada diatas dinisbahkan kepada
nabi Muhammad SAW, akan tetapi tidak semua periwayatan sunnah/ hadis/ khabar
mempunyai tingkat yang kualitasnya sama, melainkan berbeda-beda. Faktor yang menyebabkan
hal tersebut terjadi yaitu jumlah orang yang meriwayatkan suatu sunnah,
kepercayaan pada masing-masing perawi, baik dari segi kekuatan ingatan,
kejujuran dan keadilannya, dan segi ketersambungannya periwayatan suatu sunnah/
hadis mulai dari Rasulullah SAW samapai kepada orang yang meriwayatkannya. Maka
dari itu, macam-macam sunnah dilihat dari segi kualitasnya ada 3 tingkatan,
yaitu:[23]
1)
Mutawatirah, merupakan periwayatan yang dilakukan oleh
para perawi dengan cara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi
lainnya, yang mana hal ini berdasarkan pada logika dan kebiasaan. Dari
banyaknya jumlah tersebut juga tidak memungkinkan perawi-perawi berdusta dan
merekayasa dalam meriwayatkan sunnah.
2)
Masyhurah, merupakan periwayatan yang dilakukan oleh
para perawi dari satu generasi sampai generasi lainnya secara berkesinambungan,
yang mana pada generasi awalnya, jumlah perawinya hanya beberapa orang saja
yang tidak mencapai tingkat mutawatirah, sedangkan pada generasi setelahnya,
jumlah perawinya sedemikian banyak sehingga mencapai tingkat perawi
mutawatirah.
3)
Ahad, merupakan periwayatan yang dilakukan para
perawi dengan berkesinambungan dari satu generasi terhadap generasi lainnya,
sejak dari generasi yang awal, jumlah dari perawinya hanya beberapa orang saja,
sehingga tidak mencapai tingkat masyhurah, apalagi mutawatirah.
Melihat pembagian sunnah yang ada diatas,
perlu diperjelas lagi bahwasanya masa penilaiaan kualitas dari suatu hadis itu
dilihat dari segi jumlah perawinya di atas adalah sampai periode pengumpulan
dan pembukuan hadis.
3.
Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Dapat dilihat bahwa sunnah menjadi sumber
kedua setelah Al-Qur’an. Karena sunnah merupakan penjelas dari Al-Qur’an. Jadi,
dapat dimengerti kalau yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi dari pada yang
menjelaskan. Akan tetapi, kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an
sekurang-kurangnya ada tiga hal, antara lain:[24]
a)
Sunnah sebagai ta’kid (penguat) Al-Qur’an
Sudah diketahui bahwa hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi sudah tidak heran lagi kalau banyak sekali sunnah
yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan musyrik, dan
lain-lain.
b)
Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an
Sunnah selain menjadi penguat juga dijadikan sebagai penjelas (bayanu
tasyri’), hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat An-Nahl ayat 44:
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ
وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
44. keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Sebagian ummat Islam harus mengakui dengan adanya sunnah, jika tidak mau menerima
adanya sunnah, dari mana ummat Islam mengetahui tentang shalat dzuhur ada 4
rokaat, magrib 3 rakaat dan lain sebagainyakalau semua itu tidak dilihat dari
sunnah. Maka sudah jelas bahwasanya sunnah itu mempuyai peran yang penting
dalam menjelaskan maksud-maksud yang ada pada Al-Qur’an, sehingga dapat
menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Qur’an.[25] jika dilihat secara
terperinci maka disebutkan, fungsi sunnah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an
dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:[26]
a.
Menjelaskan maksud ayat-ayat hukum Al-Qur’an
Penjelasan pada ayat-ayat hukum Al-Qur’an ini dapat
dibagi lagi menjaadi dua, yaitu sebagai berikut:
Ø Secara garis besar dapat memerinci
ketentuan-ketentuan hukum Al-Qur’an. Contohnya saja pada sunnah fi’liyyah yang menjelaskan
tatacara dalam shalat yang diperintahkan Al-Qur’an secara garis besar ada dalam
firman Allah yaitu surat Al-Baqarah ayat 110:
وَأَقِيمُواْٱلصَّلَوٰةَ
وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ.... ١١٠
110. Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Selain itu juga, contohnya ada pada surat an-Nisa’ ayat 103, yang
diperjelas oleh sunnah yang isinya perincian waktu-waktu shalat, yang
disebutkan secara umum yaitu:
......إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ
عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا ١٠٣
103. Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu
telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman
Ø Menerangkan kata-kata yang maknanya belum
spisifik dalam Al-Qur’an. contohya saja Al-Qur’an menggunakan kata shalah.
Kata ini dalam bahasa arab mengandung arti doa sebagaimana yang dipahami oleh
masyarakat umum pada waktu turunnya ayat. Setelah itu sunnah berperan sebagai
penerang makna kata shalah dalam bentuk perbuatan dan ucapan dan
perbuatan tertentu yang kemudian dikinal oleh sunnah.
b.
Men-takhshish ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
Hal ini dapat di contohkan pada ayat Al-Qur’an yang
menyebutkan secara umum bahwasanya warisan anak laki-laki dan perempuan adalah
1 banding 2, sebagaimana terdapat pada surat an-Nisa ayat 11:
يُوصِيكُمُٱللَّهُ
فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ.... ١١
11. Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan;....
Sifat umum dari ketentuan warisan di atas kemudian
dibatasi oleh sunnah yang menjelaskan bahwa ketentuan tersebut hanyalah berlaku
bagi anak yang tidak melakukan pembunuhan terhadap orang tuanya, dengan
menegaskan bahwa pembunuh tidak mendapat harta warisan sedikitpun.
c.
Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Al-Qur’an
Ulama’-ulama’ menyebutkan fungsi ini dengan istilah ta’qid
wa taqrir. Contohnya seperti al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk
berpuasa dan menunaikan zakat, maka Menurut Shahih al- Bukhari yang dikutip
oleh Rahman Dahlan dalam buku Ushul Fiqh, sunnah mengukuhkannya dengan
penegasan Rasulullah SAW sebagai berikut:
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم بني الاءسلام على خمس شهادة أن لا اءله اءلا وأن محمد رسول
الله واءقام الصلاة واءيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان.
Dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Islam dibangun di atas
lima landasan; kesaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa di
bulan ramadhan.
c)
Sebagai Musyar’i (pembuat syari’at)
Sunnah disini tidak perlu diragukan lagi karena sunnah juga merupakan
pembuat syariat yang awalnya tidak terdapat dalam Al-Qur’an, contohnya saja
diwajibkannya zakat fitrah, disunnahkan aqiqah, dan lain-lain. Melihat hal
tersebut, ada perbedaan pendapat yang dikemukakan para ulama’:
Ø Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada
didalam Al-Qur’an
Ø Dalam sunnah tidak ada hal-hal yang tidak ada
di dalam Al-Qur’an, sehingga yang dicantumkan selalu berlandasan pada
Al-Qur’an.
D.
Ijma’
1.
Pengertian
Ijma’ (الاءجماع) menurut bahasa yaitu “kesepakatan” atau
konsensus. Hal ini dapat kita lihat dari firman Allah pada surat Yusuf ayat 15,
yaitu:[27]
فَلَمَّا
ذَهَبُواْ بِهِۦ وَأَجۡمَعُوٓاْ أَن يَجۡعَلُوهُ فِي غَيَٰبَتِ ٱلۡجُبِّۚ..... ١٥
15. Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur
(lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur)..
Sedangkan jika dilihat dari istilah, para ulama’ Ushul memiliki perbedaan
dalam mengartikan ijma’, yaitu:[28]
a.
Dalam kitab Fushulul Bada’i, ijma’ merupakan suatu kesepakatan para
mujtahid dalam memecahkan suatu masalah pada masa setelah Rasulullah wafat
terhadap hukum syara’.
b.
Dalam kitab Tahrir yang dikarang oleh Al-Kamal bin Hamam, ijma’
merupakan suatu kesepakatan para mujtahid dalam memecahkan masalah pada masa
ijma’ Rasulullah terhadap hukum syara’.
Dan pengertian ijma’ dalam ilmu ushul fiqh secara umum
yaitu:[29]
اءتفاق مجتهدى أمةمحمد صلى الله عليه وسلم بعد وفاته في عصر منلاعصارعلى أمر
من الامور.
Kesepakatan atau persetujuan mujtahid umat Muhammad SAW,
setelah wafatnya pada suatu masa dari beberapa masa terhadap satu perkara (atau
masalah) dari beberapa perkara,”
2.
Rukun dan Syarat Ijma’
Para ulama’ ushul fiqh menyebutkan ada
beberapa rukun dalam ijma’, antara lain:[30]
a.
Harus terdiri banyak mujtahid. Jika memutuskan suatu masalah hanya ada satu
mujtahid, maka hal tersebut tidak dapat disebut dengan ijma’ karena tidak ada
kesepekatan bersama.
b.
Dalam memutuskan dan menyepakati suatu masalah harus dilakukan oleh banyak
mujtahid yang ada diseluruh dunia Islam dan tidak membedakan tentang suku, ras
dan golongan. Jika ijma’ dilakukan dalam satu negara dan hanya satu suku atau
golongan maka ijma’ tersebut tidak sah. Dan hal tersebut tidak bisa dikatakan
suatu ijma’.
c.
Menyepakati suatu masalah hukum harus didahului dengan pandangan pada
masing-masing mujtahid, setelah itu barulah kesepakatan terjadi.
d.
Para mujtahid dalam menyepakati hukum syara’ harus bersifat terpercaya dan
dalam Al-Qur’an memang benar-benar tidak ada hukumnya.
e.
Dalam ijma’ yang digunakan sebagai sandaran atau landasan adalah Al-Qur’an
dan Hadis.
Selain rukun-rukun ijma’, juga memiliki
syarat-syarat dalam berijma’, antara lain:
1)
Orang yang melakukan ijma’ harus orang-orang yang sudah memenuhi syarat
sebagai mujtahid.
2)
Para mujtahid harus bersifat adil (berpendirian yang kuat pada agamanya)
dalam memutuskan suatu kesepakatan.
3)
Para mujtahid harus bisa menghindari dari perkataan maupun perbuatan yang
berhubungan dengan bid’ah.
3.
Pembagian Ijma’
Ijma’ menurut cara terjadinya dibagi menjadi
dua bagian yaitu:[31]
1)
Ijma’ Sharih, adalah para mujtahid memberikan pendapatnya masing-masing,
setelah itu diambil salah satu pendapat yang sudah disepakati bersama. Dan
dalam mengambil keputusannya tersebut dilakukan secara tegas dan jelas, baik
berupa ucapan maupun perbuatan. Ijma’ ini juga bisa disebut dengan ijma’ hakiki
dan pantas untuk dijadikan sumber hukum menurut para ulama’.
2)
Ijma’ Sakuti, merupakan pendapat yang hanya dilakukan oleh satu mujtahid
saja, dan yang lainnya hanya diam dan tidak mengatakan apakah menyetujui atau
tidak dengan pendapat tersebut. Jadi, mujtahid disini bersifat tidak tegasdan
tidak jelas.
Sedangkan jika dilihat dari segi yakin atau
tidaknya terjadi ijma’, maka dibagi menjadi dua, yaitu:[32]
1)
Ijma’ Qath’i, merupakan hukum ijma’ yang dihasilkan oleh para mujtahid
dengan meyakini dan menganggap benar terjadinya. Dan hukum dalam suatu
peristiwa tersebut juga tidak ada kemungkinan lain berbeda dengan hasil ijma’
pada waktu lain.
2)
Ijma’ Dzanny, merupakan hukum ijma’ yang dihasilkan oleh para mujtahid yang
bisa dikatakan bersifat keras terjadinya ijma’ tersebut. Dan hukum dalam suatu
peristiwa tersebut memungkinkan berbeda dengan hasil ijma’ pada waktu lain.
Di Indonesia contoh ijma’ adalah masalah
katak, disini MUI menyepakati bahwa ummat Islam boleh memelihara, tetapi tidak
boleh mengkonsumsi.
4.
Kedudukan Ijma’ sebagai Hujjah
Para ulama’ berpendapat, bahwasanya ijma’
adalah hujjah yang memiliki sifat pasti (qath’i). Maksudnya, ijma’ disini dapat
berarti sebagai dasar penetapan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi dan
diamalkan. Karena itulah para ulama’ menganggap ijma’ sebagai sumber dan dalil
hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Kedudukan ijma’ sebagai hujjah
ini, menurut para ulama’ berlandaskan pada firman-firman Allah, antara lain:[33]
a.
QS. An-Nisa’ ayat 115
وَمَن
يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ
غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ
وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥
115. Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali
Menurut para ulama’ pada ayat diatas dapat diketahui tentang ancaman siksa
yang diberikan kepada orang-orang yang telah menentang Rasulullah dan tidak
mengikuti orang-orang yang mukmin. Dan ijma’ itu sendiri yaitu mengikuti jalan
orang-orang mukmin. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa ijma’ adalah wajib.
b.
QS. Al-Baqarah: 143
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ
ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ.... ١٤٣
143. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Kata al-wast (pertengahan) yang ada dalam ayat diatas mengandung
pengertian adil dan terpilih. Dan sebuah kesepakatan yang berasal dari ummat
yang terpilih dan adil merupakan al-haqq (kebenaran). Dengan demikian,
maka sesuatu yang dihasilkan dari ijma’ itu merupakan kebenaran.
E.
Qiyas
1.
Pengertian
Pengertian qiyas (قياس) dilihat dari sisi bahasanya berarti
ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan
yang lainnya. Contohnya saja, قست الثوب بالذراعyang
memiliki maksud “saya mengukur baju dengan hasta.”[34] Sedangkan dari sisi
istilah qiyas menurut ahli ushul yaitu:[35]
اءلحاق واقعة لا نص في حكمها بواقعة فيها النص في ثبوت الحكم لها لاءستواء
الواقعتين في العلة
“Menghubungkan suatu kejadian yang
tidak ada nash hukumnya dengan kejadian lain yang telah ada nash hukumnya,
untuk menetapkan hukum padanya karena samanya kedua kejadian itu dalam
illatnya.”
Suatu masalah jika dalam menghukuminya tidak
menemukan ketentuan hukumnya, maka harus segera mencari ketetapan hukumnya
dengan cara: Pertama, dengan melakukan penelitian dalam suatu kejadian,
yang mana harus mencari ada atau tidaknya illat dan cara pencariannya dengan
menggunakan metode pencarian illat. Kemudian jika illat tersebut sudah
diketahui, selanjutnya mencari illat yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Lalu dari kedua illat tersebut dicari persamaan. Jika tidak ada kesamaan
maka tidak ada yang namanya qiyas, qiyas hanya ada apabila antara illat yang
ada peristiwa pertama (yang belum ada ketentuan hukumnya) berhubungan dengan
illat peristiwa kedua (yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash.
Misal dari qiyas itu sendiri yaitu:[36]
Ø Hukum yang sudah ditetapkan yaitu meminum
khamr dan hukumnya haram.
Ø Illatnya adalah memabukkan
Ø Terdapat pada dasar hukum yang ada dalam
firman Allah, yaitu QS. Al-Maidah ayat 90:
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ
رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
٩٠
90. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan
Dalam suatu kejadian yang belum ada ketentuan
hukumnya, seperti meminum narkotika. Maka kita harus mencari illatnya. Dari
meminum narkotika tesebut sudah ditemukan illatnya yaitu memabukkan. Maka dari
itu terjadi penetapan hukum yang berdasarkan qiyas yaitu ada persamaan illat
dengan minum khamr, yang hukumnya haram.
2.
Rukun dan Syarat Qiyas
Setelah melihat pengertian yang ada di atas,
dapat disimpulkan ada empat unsur yang bisa dijadikan patokan dalam menentukan
keberadaan suatu qiyas. Dan dalam
istilah ahli Ushul Fiqh hal tersebut disebut dengan rukun, antara lain:[37]
a.
Ashal(pokok),adalah kejadian atau peristiwa awal
yang telah ada dan ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Ada dua sebutan dari
rukun ashal ini yaitu musyabbah bih (sesuatu yang disamakan dengannya
sesuatu yang lain) dan maqis ‘alaih (yang dijadikan tempat
mengqiyaskan). Contoh dari ashal ini yaitu khamr yang merupakan minuman keras
yang sudah ditetapkan hukumnya haram di dalam Al-Qur’an.
b.
Furu’ (cabang), merupakan kejadian atau peristiwa
kedua yang ketetapan hukumnya masih belum ada. Alasan dari hukumnya masih belum
ada ini karena masih tidak ada nas yang dapat dijadikan sebagai dasar penetapan
hukum. Furu’ disini juga bisa dinamakan dengan musyabbah yang berarti
sesuatu yang disamakan hukumnya kepada yang lain). Selain itu juga furu’ bisa
disebut maqis, yang memiliki pengertian sesuatu yang diqiyaskan kepada
yang lain). Contoh dari furu’ ini adalah minuman keras yang bernama wiski yang
tidak disebut hukumnya dalam nash syara’ yang akan ditetapkan hukumnya melalui
qiyas.
c.
Hukum, merupakan suatu hukum yang berlaku dalam
ashal yang sudah pasti ditetapkan pula pada furu’ dengan jalur qiyas. Contohnya
seperti dalam hal ini adalah hukum haram.
d.
Ilat hukum, merupakan suatu ashal yang mana memiliki sifat
yang jelas terhadap ashal, selain itu terdapat pula sifat furu’ yang mana
hukumnya disamakan dengan ashal. Contoh nya yaitu pada sifat memabuukan.
Selain rukun-rukun diatas, maka terdapat
syaratyang ada pada qiyas. Syarat-syarat tersebut antara lain:[38]
1)
Tidak merubah hukum asalnya, atau belum dinashkan (dibenarkan), maksudnya
masih pada hukum yang tetap berlaku.
2)
Dalam mengabil asal dan hukumnya harus sesuai dengan ketentuan agama,
maksudnya sesuai dengan ketegasan yang ada di Al-Qur’an dan Hadis.
3)
Hukum pada asal yang sudah berlaku juga harus berlaku pada qias, maksudnya
hukum asal itu dapat diperlakukan pada qias.
4)
Pada hukum asal dilarang untuk hukum furu’ (cabang) terdahulu, dikarenakan untuk
menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya (sebab).
5)
Sebaiknya illat yang ada pada furu’ sama dengan illat yang ada pada asal.
6)
Sebaiknya hukum yang ada pada furu’ juga sama dengan hukum yang ada pada
asal. Maksudnya tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal.
7)
Setiap illat itu harus selalu ada hukumnya dan jika tidak ada illat berarti
tidak ada hukumnya. Maksudnya, illat selaalu ada.
8)
Tidak dibolehkan suatu illat bertentangan menurut ketentuan-ketentuan
agama, maksudnya illat itu selalu ada.
3.
Macam –macam Qiyas
Dapat diketahui bahwasanya pembagian qiyas
disini ada tiga bagian, antara lain:[39]
a.
Qiyas Al-Aulaa, merupakan qiyas yang hukum far’unya ditetapkan
terlebih dahulu dari pada hukum pada asalnya. Contohnya seperti berikut ini, pada
surat Al-Isra’ ayat 23, yang berbunyi:
....فَلَا
تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ..... ٢٣
23. ...maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah"...
Pada ayat diatas telah ditetapkan bahwasanya hukum mengatakan “ah” kepada
orang tua yaitu haram. Begitupun memukul orang tua juga haram, karena kedua hal
tersebut mempunyai persaman dalam illatnya yaitu dapat pmenyakiti hati orang
tua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa memukul disini lebih menyakitkan dari
pada mengatakan “ah” kepada orang tua. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa
hukum furu’ lebih awal dari pada hukum ashal.
b.
Qiyas Musawi, merupakan qiyas yang hukumnya pada fur’u tingkatannya sebanding atau
sederajat dengan hukum pada ashal. Contoh qiyas ini yaitu, pada QS. An-Nisa’
ayat 10:
إِنَّٱلَّذِينَ
يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ
نَارٗاۖ... ١٠
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Pada ayat diatas dapat diketahui bahwasanya hukum ashalnya yaitu memakan
harta anak yatim. Dan hukum far’u nya yaitu menjual harta anak yatim. Jadi pada
hukum ashal dan far’u memiliki illat yang sama atau sebanding yaitu dapat menghabiskan/
mengurangi harta anak yatim.
c.
Qiyas Dilalah, merupakan qiyas yang illatnya tidak disebut
tetapi ada petunjuk yang memberi keterangan adanya illat untuk menetapkan suatu
hukum. Contoh dari qiyas dilalah ini adalah: apakah harta dari anak kecil wajib
dikeluarkan zakatnya atau tidak? Dan hal ini para ulama’ menyatakan bahwa
hartanya wajib dikeluarkan zakatnya, dengan alasan diqiyaskan dengan harta
orang dewasa. Disini dapat diketahui illatnya yaitu sama-sama bisa berkurang
ataupun bertambah. Menurut madzhab Hanafi, yang dimaksud dengan harta anak-anak
tersebut tidak bisa diqiyaskan dengan harta orang yang sudah baligh, akan
tetapi yang dimaksud disini yaitu kepada ibadah, misalnya, shalat, puasa, haji
dan lain sebagainya. Dapat dimengerti bahwa ibadah dilakukan oleh orang-orang
mukallaf, maksudnya hal tersebut hanya diwajibkan kepada orang yang sudah
dewasa/baligh sedangkan bagi yang belum baligh tidak wajib. Oleh karena itu,
anak yang belum baligh tidak diwajibkan melaksanakan zakat karena ,asih belum memenuhi
syarat yang ada. Perbedaan ini terletak pada ukuran yang dijadikan untuk
mencari illat. Menurut para ulama’, sifat dari anak kecil inilah yang dijadikan
sebagai ukuran.
d.
Qiyas Syabh,merupakan qiyas yang hukum far’unya dapat
dikiaskan atau dipergunakan dalam dua hukum ashal atau lebih. Tetapi hal ini
memiliki syarat yaitu diambil ashal yang banyak persamaannya dengan far’u.
Contohnya saja seperti membuat cacat atau merusak budak yang dapat diqiyaskan
dengan orang yang merdeka, karena mereka sama-sama manusia, tetapi selain
diqiyaskan dengan orang merdekaa bisa juga diqiyaskan dengan merusak harta
benda, karena sama-sama sebagai hak milik, dapat dihadiahkan, dapat diwaqafkan
dan lain-lain. Melihat semua itu dapat disimpulkan bahwa lebih banyak
persamaannya adalah diqiyaskan dengan harta benda.
4.
Kedudukan Qiyas
Setelah mengetahui pengertian qiyas, maka
qiyas dapat dijadikan sebagai hujjah dalam agama. Para ulama’ pun juga
berpendapat bahwa qiyas adalah hukum syara’ yang bisa dijadikan sebagai hujjah
dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan-alasan:
Ø QS. Al-Hasyr ayat 2
....فَٱعۡتَبِرُواْ
يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ ٢
2. ...... Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai wawasan
Pada ayat diatas terdapat kalimat yang menunjukkan qiyas, yaitu “menjadi
pandangan”, maksudnya berarti membandingkan antara hukum yang belum ada dengan
hukum yang sudah ada ketentuannya.
Ø Sabda Rasulullah SAW, ketika Muaz diutus
beliau pergi ke Negeri Yaman untuk memungut zakat, Rasulullah berkata kepada
Muaz: “bagaimana cara kamu menghukum jika kamu ingin menghukum sesuatu?”, Muaz
pun menjawab, “Aku menghukum berdasarkan dengan kitab Allah yaitu Al-Qur’an”,
nabi pun bertanya lagi,” jika tidak ada dalam Al-Qur’an, kamu mau berlandasan
apa?”, Muaz menjawab, “jika tidak ada maka aku menggunakan Sunnah Rasulullah
(hadis).”, Nabi pun bertanya lagi, “ jika dari kedua-duanya tersebut tidak kamu
temukan, kamu mau mengambil dimana?”, Muaz menjawab, “ aku akan berijtihad
dengan pendapatku.”, Rasulullah pun menjawab, “Bagus”. Setelah itu Nabi
menepuk-nepuk dada Muaz sambil bersabda:
الحمد لله الذى وفق رسول الله لما يرضى رسول
الله (رواه احمد)
Yang menjadi qiyas dalam hadis ini yaitu “ berijtihad dengan pendapatku”.
F.
Penutup
Dari pembahasan yang sudah dibahas dapat
disimpulkan bahwa ummat Muslim dalam memecahkan suatu masalah memerlukan sumber
hukum untuk menghukuminya. Dan dalam Islam terdapat 4 sumber hukum yang
disepakati, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang
diturunkan kepada Muhammad SAW, berbahasa Arab, diriwayatkan kepada kita secara
mutawattir, termaktub di dalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai
dari al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas. Sedangkan Sunnah segala
sesuatu yang telah diriwayatkan dari Muhammad baik itu berbentuk perbuatan,
perkataan, dan ketepan yang sudah berkaitan dengan hukum. Kedua sumber ini
merupakan sumber utama dalam agama Islam. Jika dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak
ada hukumnya maka bisa menggunakan ijma’ yang merupakan suatu kesepakatan para
mujtahid dalam memecahkan suatu masalah pada masa setelah Rasulullah wafat
terhadap hukum syara’. Kemudian jika tetap tidak ada pada ijma’ bisa menggunakan
qiyas yang berarti membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. 2003. Fiqh & Ushul Fiqh. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada).
Dahlan, Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. (Jakarta: AMZAH).
Djalil,A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. (Jakarta:
Kencana).
Djazuli, A. 2015. Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kencana).
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. (Jakarta:
Prenada Media).
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. (Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu).
Khallaf, Abdul Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fikih.
(Jakarta: PT Rineka Cipta).
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih.
(Bandung: CV. Pustaka Setia).
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh.
(Jakarta: Kencana).
Tharaba, M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’.
(Malang: CV. Dream Litera Buana).
Yusuf, Nasruddin. 2012. Pengantar Ilmu Ushul Fikih.
(Malang: UM PRESS).
Catatan:
1.
Similarity sebesar 7%.
2.
Pendahuluan belum bisa mengantarkan pada materi.
Makalah ini bagus, dikerjakan dengan serius. Layak mendapatkan
apresiasi.
[1]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:
AMZAH, 2011), hlm. 113.
[2]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hlm. 15.
[3]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 19.
[4]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:
AMZAH, 2011), hlm. 115.
[5]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 50.
[6]Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 34-35.
[7]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,
(Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 35.
[8]Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta:
Prenada Media, 2005), hlm. 80-81.
[9]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hlm. 19.
[10]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 27.
[11]Ibid, hlm. 29.
[12]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,
(Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 38.
[13]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:
AMZAH, 2011), hlm. 129.
[14]A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2015), hlm. 63.
[15]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih,
(Malang: Universitas Negeri Malang (UM PRESS), 2012), hlm. 31.
[16]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:
AMZAH, 2011), hlm. 125.
[17]Ibid, hlm. 125-126.
[18]A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta:
Kencana, 2010), hlm. 146.
[19]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 38.
[20]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 60.
[21]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang:
UM Press, 2012), hlm. 37.
[22]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:
AMZAH, 2011), hlm. 132.
[23]Ibid, hlm. 136-137.
[24]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 65-67.
[25]Ibid, hlm 66.
[26]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:
AMZAH, 2011), hlm. 141-143.
[27]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 51.
[28]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 68.
[29]A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih,
(Jakarta: KENCANA, 2010), hlm. 152.
[30]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 53.
[31]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 72.
[32]M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’,
(Malang: CV. Dream Litera Buana, 2016), hlm. 116.
[33]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:
AMZAH, 2011), hlm. 148-149.
[34] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 62.
[35]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,
(Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 52.
[36]M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’,
(Malang: CV. Dream Litera Buana, 2016), hlm. 117-118.
[37]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 52-53.
[38]Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 50-51.
[39]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih,
(Malang: Universitas Negeri Malang (UM PRESS), 2012), hlm. 69-71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar