Senin, 25 Februari 2019

Sumber-Sumber Hukum Islam yang Disepakati (PAI B Semester Genap 2018/2019)


SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI
(AL-QUR’AN, SUNNAH, IJMA’, DAN QIYAS)
Oleh: Mella Zita A’yuni (16110074)
Mahasiswa PAI-B Semester 6 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
Islam is a religion that is so beautiful and perfect, and certainly a must have rules we follow and the prohibition should be avoided. In Islam there are sources of law used to when a problem. Sources of Islamic law are agreed there are four is: Qur'an, Sunnah, Ijma’ and Qiyas. The Qur'an is Allah who serve as the primary source in upon a problem. And the Sunnah constitute all the words, deeds and the approval of the Prophet Muhammad and a source of a second after the Qur'an. Both of these sources is the main source of law in any existing problems. Whereas in the Qur'an and the Sunnah cannot be found then continued with a legal basis to use legal sources next Ijma’  and Qiyas. Ijma’ is the agreement of the mujtahid and Qiyas is compare and equate a law with the laws of the other. Ijma’ and this is nothing to source the next Islamic law which is then agreed by the priest of the sect, so 4 than it is then inferred that the source above is a source of Islamic law that has been agreed upon and not disputed again in set the law against a problem
Keywords: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ and Qiyas
Abstrak
Islam merupakan agama yang begitu indah dan sempurna, dan pastinya mempunyai aturan yang wajib kita patuhi dan larangan yang harus dihindari. Dalam Islam terdapat sumber-sumber hukum yang digunakan untuk menghukumi suatu permasalahan. Sumber-sumber hukum Islam yang disepakati tersebut ada 4 yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang dijadikan sebagai sumber utama dalam menghukumi suatu masalah. Dan Sunnah merupakan segala perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi Muhammad dan menjadi sumber kedua setelah Al-Qur’an. Kedua sumber ini merupakan sumber hukum utama dalam setiap permasalahan yang ada. Sedangkan apabila dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak dapat ditemukan landasan hukum maka dilanjutkan dengan mengunakan sumber hukum selanjutnya yaitu Ijma’ dan Qiyas. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dan Qiyas adalah membandingkan dan menyamakan suatu hukum dengan hukum yang lain. Ijma’ dan qiyas ini merupakan sumber hukum Islam selanjutnya yang kemudian disepakati oleh para 4 imam mazhab, sehingga dari hal tersebut maka disimpulkan bahwa sumber hukum Islam diatas merupakan sumber yang telah disepakati dan tidak dipertentangkan lagi dalam menetapkan hukum terhadap suatu permasalahan.
Kata Kunci: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas

A.    Pendahuluan
Islam merupakan agama yang begitu indah dan sempurna, dan pastinya mempunyai aturan yang wajib kita patuhi dan larangan yang harus dihindari. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari kita tidak dapat terlepas dari mashadir al-syari’ah atau ushul al-ahkam atau bisa kita dengar sebagai sumber dalam pengambilan hukum. Sumber disini berarti menjadi dasar lahirnya sesuatu. Dengan ini maka telah ditetapkan tentang dalil syar’i atau sumber hukum yang digunakan umat Islam dalam pengambilan hukum. Dan dalil disini berarti sebagai petunjuk dan mengantarkan umat Islam untuk menemukan sesuatu. Dengan demikian, yang termasuk dalam sumber hukum ada dua yaitu Al-Qur’an dan Sunnah/Hadis. Karena Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dasar sebagai lahirnya ketentuan yang ada dalam hukum Islam dan merupakan teks-teks nashs yang dijadikan rujukan dalam menentukan hukum Islam itu sendiri. Sedangkan ijma’ dan qiyas itu bukan tergolong dari sumber hukum Islam, akan tetapi termasuk dalam dalil hukum. Karena ijma’ dan qiyas merupakan bukan dasar lahirnya hukum Islam melainkan sebagai penunjuk dalam menemukan suatu hukum Islam yang terdapat pada Al-Qur’an atau dengan Sunnah yang dilakukan dengan cara ijtihad.[1]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan sebuah hukum pertama harus melihat dari Al-Qur’an. Ketika di dalam Al-Qur’an tidak ada maka bisa mengambil pada Sunnah. Begitupun jika tidak ada di Sunnah maka bisa mengambil di Ijma’, yang merupakan kesepakatan para mujtahid. Dan jika ketiga-tiganya tersebut tidak ada hukumnya maka dapat menggunakan ijtihad sendiri dengan qiyas (membandingkan) kepada keputusan yang berdasarkan dengan nash-nash.[2]











B.     Al-Qur’an
1.      Pengertian
Al-Qur’an jika dilihat dari segi bahasa berasal dari mashdar yaituقرأ)) , yang dapat dilihat pada kata fu’lan (فعلان) yang memiliki arti “bacaan” atau maqru’ (مقروء) yang artinya “apa yang tertulis padanya”.[3] Sedangkan jika dilihat dari segi istilah, banyak sekali pengertian yang dikemukakan oleh para ulama’. Dan para ulama’ ushul fiqh mengartikan Al-Qur’an dengan:[4]
القران هو كلام الله تعالى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم باللفظ العربي المنقول اءلينا باتواتر المكتوب في المصاحف المتعبد بتلاوته المبدوء بسورة الفاتحة المختوم بسورة الناس
Artinya:
Al-Qur’an ialah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Muhammad SAW, berbahasa Arab, diriwayatkan kepada kita secara mutawattir, termaktub di dalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Menurut Asy-Syaukani, melihat pengertian dari para ulama’ ushul fiqh diatas, dapat disimpulkan bahwasanya ciri khas dari Al-Qur’an adalah:[5]
Ø  Al-Qur’an ialah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Jika tidak diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, dan bukan termasuk kalam Allah,maka tidak dapat disebut sebagai Al-Qur’an melainkan Zabur, Taurat dan Injil. Dari kitab yang disebutkan selain Al-qur’an tadi, juga termasuk kalam Allah akan tetapi tidak diturunkan kepada nabi Muhammad.
Ø  Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab Quraisy. Dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an yaitu:QS. Yusuf ayat 12; QS. An-Nahl ayat 103; QS. Asy-Syu’ara ayat 192-195; QS. Az-Zumar ayat 28; dan QS. Ibrahim ayat 4. Dengan demikian, para ulama’ menyepakati bahwasanya penafsiran dan terjemahan dari Al-Qur’an tidak dapat disebut Al-Qur’an, dan orang yang membacanyapun tidak mendapat nilai ibadah. Orang yang sholat jika menggunakan bacaan dari tafsiran atau terjemahan, maka sholatnya juga tidak sah, meskipun ulama’ Hanifiyah telah membolehkan dengan bahasa Parsi akan tetapi kebolehan tersbut bersifat rukhshah (keringanan hukum).
Ø  Menurut hadis Al-Bukhori bahwasanya Al-Qur’an itu diberikan kepada beberapa generasi setelah nabi Muhammad secara mutawattir. Maksudnya dituturkan dari orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Dan orang yang menuturkan tersebut tidak mungkin berdusta dalam menyampaikan. Sehingga Al-Qur’an disampaikan tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun.
Ø  Ketika membaca Al-Qur’an dalam setiap katanya akan dinilai ibadah dan medapatan pahala dari Allah. Meskipun bacaannya tersebut tidak berasal dari hafalan sendiri melainkan dibaca langsung dari mushhaf Al-Qur’an, tetap dinilai ibadah.
Ø  Diawali dengan surat Al-Fatihah dan dan diakhiri dengan surat An-Nas. Dalam Al-Qur’an susunan surat yang ada didalamnya, telah disusun sesuai dengan petunjuk Allah, yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, dan letaknya tidak boleh diubah maupun diganti.
Didalam Al-Qur’an terdapat 30 juz, 114 surat, dan 6666 ayat. Sedangkan menurut ketetapan Menteri dalam Negeri Mesir bilangan ayat yang ada pada Mushhaf Usmaniy yaitu 6236 ayat dengan bilangan kalimatnya 77.934 kalimat, sedangkan menurut pendapat ulama’ lain ada 77.437 kalimat. Dan menurut Ibnu Abbas banyak huruf di Al-Qur’an ada 323.671 huruf, hal itu ada pada sabda nabi sebagai berikut:[6]
عن ابن مسعود قال النبي ص.م من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة والحسنة بعشر أمثا لها لا اقول الم ولكن الف حرف ولام حرف وميم حرفز. (رواه الترمذى)
Artinnya:
Dari Ibnu Mas’ud, Nabi bersabda: Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah (Al-Qur’an), maka dia mendapat kebaikan, yang kebaikan itu sepuluh kali lipat, jangan kamu sangka bahwa alif, lam, dan mim satu huruf tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf
Penurunan Al-Qur’an oleh Allah terjadi dalam dua periode, yaitu periode sebelum hijrah dan sesudah hijrah. Surat-surat Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah sebelum melakukan hijrah disebut dengan Makiyyah, dengan jumlah suratnya ada 86 surat. Sedangkan surat yang diturunkan oleh Allah sesudah melaksanakan hijrah dinamakan Madaniyyah dengan jumlah suratnya sebanyak 28 surat.[7] Ayat-ayat Makiyyah pada umumnya suratnya berisi tentang masalah-masalah akidah (keyakinan), sehingga pada waktu itu (zaman jahiliyyah) ditanamkan ajaran tauhid untuk meluruskan keyakinan pada ummat. Alasan mengapa masalah akidah dulu yang harus ditanamkan, karena tanpa adanya akidah maka syariat Islam tidak dapat diterima oleh ummat Muslim. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah pada umumnya berisi mendorong ummat manusia untuk menggunakan akalnya yang sehat untuk memikirkan kenyataan yang ada (alam nyata) disekitarnya sebagai bukti atas wujud dan kekuasaanNya.[8]
2.      Kehujjahan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah terhadap setiap Muslim dan hukum-hukum yang ada didalamnya itu merupakan undang-undang yang wajib digunakan bagi orang Muslim.[9] Menurut para ulama’ ushul fiqh juga sepakat bahwasanya Al-Qur’an dijadikan sumber utama dalam hukum Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad melalui malaikat Jibril dan yang ada didalamnya wajib diamalkan. Seorang mujtahid pun juga tidak dibolehkan jika menggunakan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat yang ada didalam Al-Qur’an. Tetapi jika hukum permasalahannya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an maka mujtahid diperbolehkan menggunakan dalil lain dalam menentukan hukum Islam. Para ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwasanya ada beberapa alasan dalam kewajiban berhujjah dengan Al-Qur’an, antara lain:[10]
a)      Al-Qur’an diturunkan secara mutawattir kepada nabi Muhammad, dengan demikian dapat memberi keyakinan bahwasanya Al-Qur’an benar-benar diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Dan nabi Muhammad merupakan orang yang paling dipercaya oleh orang-orang Muslim. Sehingga membuat tidak ada keraguan bagi orang Muslim dalam berhujjah dengan Al-Qur’an.
b)      Dalam beberapa ayat di Al-Qur’an banyak yang menyatakan bahwa Al-Qur’an datangnya dari Allah. Ayat-ayat tersebut antara lain: QS. Ali Imran ayat 3; QS. An Nisa ayat 105; QS. Al-Nahl ayat 89.
c)      Mukjizat Al-Qur’an merupakan bukti yang pasti akan kebenarannya tentang Al-Qur’an itu datangnya dari Allah SWT. Tujuan dari mukjizan Al-Qur’an ini untuk memberi penjelasan tentang kebenaran nabi Muhammad SAW yang telah membawa risalah Illahi dengan suatu perbuatan yang diluar kebiasaan manusia. Menurut para ulama’ ushul fiqh, mukjizat Al-Qur’an dapat dilihat ketika ada tantangan dari pihak lain yang ingin menandingi isi Al-Qur’an. Para ahli sastra Arab pun tidak bisa menandingi kebahasaan atau isi Al-Qur’an.
Unsur-unsur yang dapat membuat Al-Qur’an itu menjadi mukjizat yang tidak dapat ditandingi oleh akal manusia, yaitu:[11]
a)      Jika dilihat dari sisi keindahan dan ketelitian redaksinya, banyaknya bilangan kata dengan lawan katanya memiliki keseimbangan, contohnya seperti: al-hayah (hidup) dan al-maut (mati), dalam bentuk yang pasti (difinite) memiliki jumlah yang sama yaitu 145 kali; al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) memiliki jumlah yang sama-sama terulang sebanyak 17 kali didalam Al-Qur’an.
b)      Dilihat dari sisi pemberitaan-pemberitaan gaib yang ada dalam Al-Qur’an, terdapat pada surat Yunus ayat 92 yang berisi tentang “ badan Fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi-generasi berikutnya,” dan menurut badan arkeolog pada tahun 1896 telah menemukan sebuah mummi yang dikabarkan bahwa mummi tersebut merupakan Fir’aun yang dulu mengejar-ngejar nabi Musa.
c)      Dilihat dari segi isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung dalam Al-Qur’an, contohnya terdapat pada surat Yunus ayat 5 yang berisi “ cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari).
3.      Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber dan dalil pertama dalam hukum syara’ yang memiliki arti pada penetapan hukum, hal ini berdasarkan kesepakatan ahli ushul fiqh. Dengan demikian, dalam penetapan hukum langkah pertama yaitu mencari jawaban dalam Al-Qur’an, setelah mencarinya tetapi tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an maka diperbolehkan mencari dari sumber dan dalil yang lain. Dalam kedudukannya sebagai sumber utama, Al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber hukum, maka hukum-hukum yang telah ditetapkan melalui dalil atau sumber yang lain tidak boleh bertentangan. Dengan demikian, jika manusia mau menyelesaikan masalah yang dihadapi atau menyelesaikan hukum-hukum yang terjadi maka  Al-Qur’an lah yang  dijadikan sebagai pedoman hidup yang pertama dalam menyelesaikannya.[12]
4.      Hukum atau Isi dalam Al-Qur’an
Dapat kita lihat bahwasanya Al-Qur’an bukanlah kitab hukum, karena menurut sebagian ulama’ ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum hanya ada sekitar 500 ayat. Bahkan ada ulama’ lainnya yang berpendapat bahwa hanya ada 150 ayat yang mengandung hukum. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum tersebut, secara garis besar berisi tentang hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan antar sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.[13] Lebih jelasnya dapat kita lihat pembagian hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, sebagai berikut:[14]
1)      Hukum-hukum I’tiqadiyah merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan rukun iman yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, para Rasulullah, dan hari akhir.
2)      Hukum-hukum Khuluqiyah, merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak. Manusia dalam kehidupannya harus memiliki akhlak yang baik dengan menjalankan perintah Allah SWT, dan menjahui akhlak yang tidak baik (amar ma’ruf nahi munkar).
3)      Hukum-hukum ‘Amaliah, merupakan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-seharinya. Perbuatan manusia tersebut berkaitan dengan perbuatan, perkataan, akad-akad, dan tindakan-tindakan lainnya. 
Dalam hukum ‘amaliah ini memiliki pembagian lagi antara lain sebagai berikut:[15]
a)      Hukum-hukum ibadah (أحكام العبادات), merupakan hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an yang berhubungan dengan ibadah atau dapat diartikan mengatur dalam kehidupan ummat Muslim yang berhubungan dengan Allah, contohnya seperti puasa, haji, zakat, nazar, sumpah, dan ibadah-ibadah lainnya. Hukum-hukum seperti diatas kebanyakan bermaksud pada hukum-hukum ta’abbudiy atau hukum-hukum yang tidak boleh dimasuki logika dan tidak boleh berubah dengan perubahan masa.
b)      Hukum-hukum Muamalah (أحكام المعاملات ), merupakan hukum-hukum yang berhubungan dengan muamalah maksudnya yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, baik itu dalam hal individu maupun kelompok. Contohnya seperti: penjualan, akad-akad atau berbagai transaksi, jinayat, hukuman, dan lain sebagainya kecuali dalam hal ibadah. Dalam hukum modern, hukum-hukum muamalah ini memiliki cabang lagi, yaitu sebagai berikut:
1)      Hukum-hukum perseorangan (أحكام الاحوال الشخصية) adalah hukum yang mengatur dalam hal kekeluargaan seperti tentang perkawinan, waris, talak, wakaf, wasiat dan lain-lain. Ayat yang berisi tentang hukum ini ada sekitar 70 ayat.
2)      Hukum-hukum perdata (ألاحكام المدنية), adalah hukum yang isinya mengatur tentang hubungan perseorangan dengan perseorangan dan masyarakat. contohnya sebagai berikut: sewa-menyewa, jual-beli, gadai dan lain sebagainya yang intinya masih berkaitan tentang harga kekayaan. Ayat yag menjelaskan hukum ini dalam Al-Qur’an ada sekitar 70 ayat.
3)      Hukum-hukum pidana (ألاحكام الجنانية), merupakan hukum-hukum dalam Al-Qur’an yang mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh mukallaf dan yang mengatur pula hukuman yang akan dikenakan kepadanya. Ayat yang membicarakan tentang hukum ini ada sekitar 30 ayat.
4)      Hukum-hukum acara (أحكام المرافعات), merupakan hukum-hukum yang membicarakan tentang masalah-masalah peradilan, baik itu bersifat perdata maupun pidana. Contohnya yaitu: kesaksian dan sumpah. Ayat yang berhubungan dengan hukum ini ada sekitar 13 ayat.
5)      Hukum perundang-undangan (الاحكام الدستورية), merupakan hukum yang adaa dalam Al-Qur’an yang berisi tentang hubungan antar negara, tata cara pergaulan dengan non Muslim di dalam negara Islam, baik ketika terjadi perang maupun dalam keadaan damai. Ayat yang membahas tentang hukum ini ada sekitar 25 ayat.
6)      Hukum tentang ekonomi dan keuangan (ألاحكام الاقتصا دية والمالية), merupakan hukum yang membicarakan seperti hak seorang miskin kepada harta orang kaya, bank, sumber air, juga hubungan antara fakir dan orang-orang kaya, antara negara dan perorangan. Ayat-ayat ini dalam Al-Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang membicarakan tentang hukum ini.
5.      Karakteristik dan Bentuk-bentuk Penjelasan Hukum Al-Qur’an
Perlu diingat-ingat bahwasanya Al-Qur’an bukanlah kitab hukum, maupun kitab undang-undang yang isinya berisi kumpulan peraturan yang memiliki sifat terperinci, sistematis, dan spesifik. Akan tetapi Al-Qur’an merupakan kitab wahyu yang memiliki beberapa fungsi, antara lain:[16]
a)      Al-Qur’an dijadikan sebagai al-huda (petunjuk) bagi setiap umat manusia yang taat dalam melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-Nya (bertaqwa) dalam keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan di akhirat.
b)      Al-Qur’an dijadikan sebagai rahmat yang dapat mengantarkan ummat manusia dalam kehidupannya yang penuh kasih sayang, dan dapat juga dijadikan bukti bahwasanya Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang.
c)      Al-Qur’an dijadikan sebagai maw’izhah (bimbingan dan pengajaran) bagi setiap umat manusia dalam pencapaian keluhuran dan kesucian fitrahnya; selain itu juga Al-Qur’an dijadikan sebagai tibyan (penjelasan) dan tafshil (pemerinci) bagi segala sesuatu, yang mana manusia harus mengetahui untuk kepentingan keselamatannya di dunia dan akhirat.
d)     Al-Qur’an dijadikan sebagai Furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang berada dalam jalan yang benar dan yang sesat).
e)      Al-Qur’an dijadikan sebagai nur (cahaya) bagi setiap manusia untuk menerangi hati manusia dalam melihat kebenaran dan menjadi benar dalam kehidupannya.
Meskipun, Al-Qur’an disini tidak disebut sebagai kitab undang-undang, tetapi mempunyai fungsi sebagai furqan, tafshil, dan tibyan. Di dalam Al-Qur’an ayat-ayatnya berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam. Jika dilihat dari kedudukan Al-Qur’an yaitu sebagai sumber hukum yang pokok dan pertama dari hukum Islam, seperti halnya dengan UUD yang ada pada negara, aturan dan ketentuan hukum yang ada didalamnya membahas tentang pengaturan hal-hal yang bersifat umum dan pokok. Dalam Al-Qur’an ketentuan hukum-hukum Islam ada yang bersifat perintah, larangan, dan ada juga yang bersifat pilihan untuk berbuat maupun tidak berbuat.[17]
C.    Sunnah
1.      Pengertian
Sunnah (سنة) jika dilihat dari segi bahasa (etimologis) memiliki arti perjalanan, kelakukan, dan pekerjaan.[18] Sedangkan jika dilihat dari segi istilah(terminologi) dapat ditemukan dalam sabda nabi Muhammad SAW pada HR. Muslim, yaitu:[19]
من سن في لاسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من بعده
Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya.
Selain itu, banyak yang mengartikan sunnah yang dilihat dari tiga disiplin ilmu yaitu:[20]
a.       Jika dilihat dari IlmuHadis, para ahlinya mengidentikkan sunnah dengan hadis, yang memiliki pengertian segala sesuatu yang telah disandarkan terhadap Nabi Muhammad SAW, baik itu berupa perkataan, perbuatan, ataupun ketetapannya.
b.      Jika dilihat dari Ilmu Ushul Fiqh, menurut para ahlinya, sunnah merupakan segala sesuatu yang telah diriwayatkan dari Muhammad baik itu berbentuk perbuatan, perkataan, dan ketepan yang sudah berkaitan dengan hukum.
c.       Jika dilihat dari Ilmu Fiqh, menurut ahlinya pengertian sunnah disini tidak jauh beda dengan pengertian yang ada di ushul fiqh. Tetapi, pengertian sunnah dalam fiqh juga memiliki maksud sebagai salah satu hukum taklifi yang berarti segala suatu perbuatan yang jika dilakukan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan juga tidak akan berdosa.
Dalam hal ini juga diketahui bahwasanya antara para ulama’ memiliki perbedaan pendapat yaitu ada yang berpendapat kalau hadis itu sama dengan sunnah. Dan selain pendapat itu, para ulama’ ada yang mengatakan bahwa hadis dan sunnah itu sama. Ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa kata hadis itu harus dibatasi pada bentuk sabda, perbuatan dan persetujuan nabi Muhammad yang hanya berkaitan dengan hukum saja. Sedangkan ulama’ Hadis kebanyakan berpendapat jika pengertian sunnah dan hadis itu sama dan tidak ada batasan seperti yang dikemukakan oleh ulama’ ushul fiqh yaitu tidak membatasi dengan hukum saja dengan alasan mereka menempatkan diri Nabi sebagai panutan utama (ushwah hasanah). Ulama’ ushul fiqh membatasi hanya dengan hukum saja karena mereka memiliki alasan tersendiri yaitu dapat dipahami bahwa yang menjadi pokok kajian ilmu ushul fiqh  adalah perbuatan mukallaf yang memiliki konsekuensi hukum.[21]
2.      Pembagian Sunnah
Pembagian sunnah dapat dilihat dari dua segi yaitu dari bentuknya dan kualitasnya. Pertama pembagian sunnah dari segi bentuknya dapat dibagi lagi dalam beberapa poin, yaitu:[22]
a.       Sunnah Qauliyyah
Sunnah qauliyah merupakan semua ucapan dari nabi Muhammad SAW, yang diucapkan melalui lisannya dan dapat didengar dan dipahami oleh sahabat nabi, setelah itu diberitakan dan diriwayatkan kepada sahabat yang lainnya sampai periwayatan tersebut berlanjut dari satu generasi kepada generasi lainnya. Menurut Shahih al- Bukhari yang dikutip oleh Rahman Dahlan dalam buku Ushul Fiqh, contoh dari sunnah qauliyyah itu sendiri yaitu:

عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يؤمن أحدكم حتى يحب لاخيه ما يحب لنفسه
     Dari Anas, dari Nabi, beliau bersabda: “Belum beriman salah seorang dari kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.

Periwayatan yang ada dalam sunnah qauliyah dapat dibagi menjadi dua, yaitu: riwayah bi al-lafz (periwayatan hadis yang redaksinya persis sesuai dengan yang diucapkan Nabi Muhammad SAW), maksudnya para sahabat dalam mengutip, menyampaikan dan meriwayatkannya terhadap orang lain sama persis sebagaimana yang telah diucapkan oleh Rasulullah SAW; dan riwayah bi al-ma’na (periwayatan hadis yang redaksinya berasal dari perawi, tetapi maknanya sama), maksudnya para perawi dalam menyampaikan dan meriwayatkan sabda Rasulullah terhadap orang lain hanya dari segi maknanya saja, meskipun lafalnya tidak sama tetapi maksudnya sama.
b.      Sunnah fi’liyah
Sunnah fi’liyah merupakan segala sesuatu baik itu berupa gerak-gerik, perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah yang dapat dilihat dan diperhatikan oleh para sahabatnya, setelah itu diberitakan dan diriwayatkan kepada sahabat-sahabat yang lain secara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi lainnya. Menurut Shahih al- Bukhari yang dikutip oleh Rahman Dahlan dalam buku Ushul Fiqh, contoh dari sunnah fi’liyah itu sendiri yaitu:

عن عباد بن تميم عن عمه قال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يوم خرج يستسقي قال فحول الى الناس ظهره واستقبل القبلة يدعو ثم حول رداءه ثم صلى لنا ركعتين جهر فيهما بالقراءة
Dari Ubbad bin Tamim, dari pamannya, ia berkata: “saya melihat Rasulullah SAW pada hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari, katanya: “Maka beliau membalikkan tubuhnya membelakangi jamaah dan menghadap kiblat dan berdoa, kemudian beliau membalikkan selendangnya, kemudian beliau shalat bersama kami dua rakaat dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rakaat itu”.
Para ulama’ banyak yang berbeda pendapat tentang kedudukan dan tingkah laku Rasulullah SAW sebagai manusia biasa di atas sebagai bagian daari ajaran Islam yang perlu diikuti atau tidak. Ada ulama’ berpendapat, perbuatan tersebut merupakan bagian dari sunnah Rasulullah SAW, hanya saja hukum mengikutinya tidak wajib, tetapi hanya sunnah saja. Sebagian ulama’ lainnya berpendapat, perbuatan tersebut tidak merupakan bagian dari sunnah, karena merupakan adat kebiasaan dari kedudukan Rasulullah sebagai manusia biasa.


c.       Sunnah Taqririyyah
Sunnah taqririyyah merupakan sikap persetujuan Rasulullah SAW yang berkaitan dengan suatu peristiwa yang telah terjadi baik yang dilakukan oleh sahabat beliau maupun yang lainnya, di mana terdapat petunjuk bahwa Rasulullah memberi persetujuan atas perbuatan yang dilakukan. Menurut Shahih al- Bukhari yang dikutip oleh Rahman Dahlan dalam buku Ushul Fiqh, contoh dari sunnah taqririyyah itu sendiri yaitu:

عن خالد بن الوليد قال أتي النبي صلى الله عليه وسلم بضب مشوي فأهوى اليه ليأكل فقيل له اءنه ضب فأمسك يده فقال خالد أحرام هو قال لا ولكنه لا يكون بأرض قومي فأجدني أعافه فأكل خالد ورسول الله صلى الله عليه وسلم ينظر
     Dari Khalid bin Walid katanya: “Kepada Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada beliau: “Itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka Khalid berkata: “Apakah haram memakannya,?”Beliau menjawab: “Tidak, tetapi binatang jenis itu tidak biasa ditemukan di daerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya”. Maka Khalid memakannya, sedang Rasulullah SAW memandanginya”.

Adapun sunnah-sunnah yang ada diatas dinisbahkan kepada nabi Muhammad SAW, akan tetapi tidak semua periwayatan sunnah/ hadis/ khabar mempunyai tingkat yang kualitasnya sama, melainkan berbeda-beda. Faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi yaitu jumlah orang yang meriwayatkan suatu sunnah, kepercayaan pada masing-masing perawi, baik dari segi kekuatan ingatan, kejujuran dan keadilannya, dan segi ketersambungannya periwayatan suatu sunnah/ hadis mulai dari Rasulullah SAW samapai kepada orang yang meriwayatkannya. Maka dari itu, macam-macam sunnah dilihat dari segi kualitasnya ada 3 tingkatan, yaitu:[23]
1)      Mutawatirah, merupakan periwayatan yang dilakukan oleh para perawi dengan cara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi lainnya, yang mana hal ini berdasarkan pada logika dan kebiasaan. Dari banyaknya jumlah tersebut juga tidak memungkinkan perawi-perawi berdusta dan merekayasa dalam meriwayatkan sunnah.
2)      Masyhurah, merupakan periwayatan yang dilakukan oleh para perawi dari satu generasi sampai generasi lainnya secara berkesinambungan, yang mana pada generasi awalnya, jumlah perawinya hanya beberapa orang saja yang tidak mencapai tingkat mutawatirah, sedangkan pada generasi setelahnya, jumlah perawinya sedemikian banyak sehingga mencapai tingkat perawi mutawatirah.
3)      Ahad, merupakan periwayatan yang dilakukan para perawi dengan berkesinambungan dari satu generasi terhadap generasi lainnya, sejak dari generasi yang awal, jumlah dari perawinya hanya beberapa orang saja, sehingga tidak mencapai tingkat masyhurah, apalagi mutawatirah.
Melihat pembagian sunnah yang ada diatas, perlu diperjelas lagi bahwasanya masa penilaiaan kualitas dari suatu hadis itu dilihat dari segi jumlah perawinya di atas adalah sampai periode pengumpulan dan pembukuan hadis.
3.      Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Dapat dilihat bahwa sunnah menjadi sumber kedua setelah Al-Qur’an. Karena sunnah merupakan penjelas dari Al-Qur’an. Jadi, dapat dimengerti kalau yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi dari pada yang menjelaskan. Akan tetapi, kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an sekurang-kurangnya ada tiga hal, antara lain:[24]
a)      Sunnah sebagai ta’kid (penguat) Al-Qur’an
Sudah diketahui bahwa hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi sudah tidak heran lagi kalau banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
b)      Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an
Sunnah selain menjadi penguat juga dijadikan sebagai penjelas (bayanu tasyri’), hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat An-Nahl ayat 44:
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
44. keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

Sebagian ummat Islam harus mengakui dengan adanya sunnah, jika tidak mau menerima adanya sunnah, dari mana ummat Islam mengetahui tentang shalat dzuhur ada 4 rokaat, magrib 3 rakaat dan lain sebagainyakalau semua itu tidak dilihat dari sunnah. Maka sudah jelas bahwasanya sunnah itu mempuyai peran yang penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang ada pada Al-Qur’an, sehingga dapat menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Qur’an.[25] jika dilihat secara terperinci maka disebutkan, fungsi sunnah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:[26]
a.       Menjelaskan maksud ayat-ayat hukum Al-Qur’an
Penjelasan pada ayat-ayat hukum Al-Qur’an ini dapat dibagi lagi menjaadi dua, yaitu sebagai berikut:
Ø  Secara garis besar dapat memerinci ketentuan-ketentuan hukum Al-Qur’an. Contohnya saja pada sunnah fi’liyyah yang menjelaskan tatacara dalam shalat yang diperintahkan Al-Qur’an secara garis besar ada dalam firman Allah yaitu surat Al-Baqarah ayat 110:
وَأَقِيمُواْٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ.... ١١٠
110. Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Selain itu juga, contohnya ada pada surat an-Nisa’ ayat 103, yang diperjelas oleh sunnah yang isinya perincian waktu-waktu shalat, yang disebutkan secara umum yaitu:
......إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا ١٠٣
103. Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman
Ø  Menerangkan kata-kata yang maknanya belum spisifik dalam Al-Qur’an. contohya saja Al-Qur’an menggunakan kata shalah. Kata ini dalam bahasa arab mengandung arti doa sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat umum pada waktu turunnya ayat. Setelah itu sunnah berperan sebagai penerang makna kata shalah dalam bentuk perbuatan dan ucapan dan perbuatan tertentu yang kemudian dikinal oleh sunnah.
b.      Men-takhshish ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
Hal ini dapat di contohkan pada ayat Al-Qur’an yang menyebutkan secara umum bahwasanya warisan anak laki-laki dan perempuan adalah 1 banding 2, sebagaimana terdapat pada surat an-Nisa ayat 11:


يُوصِيكُمُٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ.... ١١
11. Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;....
Sifat umum dari ketentuan warisan di atas kemudian dibatasi oleh sunnah yang menjelaskan bahwa ketentuan tersebut hanyalah berlaku bagi anak yang tidak melakukan pembunuhan terhadap orang tuanya, dengan menegaskan bahwa pembunuh tidak mendapat harta warisan sedikitpun.
c.       Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an
Ulama’-ulama’ menyebutkan fungsi ini dengan istilah ta’qid wa taqrir. Contohnya seperti al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa dan menunaikan zakat, maka Menurut Shahih al- Bukhari yang dikutip oleh Rahman Dahlan dalam buku Ushul Fiqh, sunnah mengukuhkannya dengan penegasan Rasulullah SAW sebagai berikut:

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بني الاءسلام على خمس شهادة أن لا اءله اءلا وأن محمد رسول الله واءقام الصلاة واءيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان.

Dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Islam dibangun di atas lima landasan; kesaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa di bulan ramadhan.
c)      Sebagai Musyar’i (pembuat syari’at)
Sunnah disini tidak perlu diragukan lagi karena sunnah juga merupakan pembuat syariat yang awalnya tidak terdapat dalam Al-Qur’an, contohnya saja diwajibkannya zakat fitrah, disunnahkan aqiqah, dan lain-lain. Melihat hal tersebut, ada perbedaan pendapat yang dikemukakan para ulama’:
Ø  Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada didalam Al-Qur’an
Ø  Dalam sunnah tidak ada hal-hal yang tidak ada di dalam Al-Qur’an, sehingga yang dicantumkan selalu berlandasan pada Al-Qur’an.
D.    Ijma’
1.      Pengertian
Ijma’ (الاءجماع) menurut bahasa yaitu “kesepakatan” atau konsensus. Hal ini dapat kita lihat dari firman Allah pada surat Yusuf ayat 15, yaitu:[27]
فَلَمَّا ذَهَبُواْ بِهِۦ وَأَجۡمَعُوٓاْ أَن يَجۡعَلُوهُ فِي غَيَٰبَتِ ٱلۡجُبِّۚ..... ١٥
15. Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur)..

Sedangkan jika dilihat dari istilah, para ulama’ Ushul memiliki perbedaan dalam mengartikan ijma’, yaitu:[28]
a.       Dalam kitab Fushulul Bada’i, ijma’ merupakan suatu kesepakatan para mujtahid dalam memecahkan suatu masalah pada masa setelah Rasulullah wafat terhadap hukum syara’.
b.      Dalam kitab Tahrir yang dikarang oleh Al-Kamal bin Hamam, ijma’ merupakan suatu kesepakatan para mujtahid dalam memecahkan masalah pada masa ijma’ Rasulullah terhadap hukum syara’.
Dan pengertian ijma’ dalam ilmu ushul fiqh secara umum yaitu:[29]
اءتفاق مجتهدى أمةمحمد صلى الله عليه وسلم بعد وفاته في عصر منلاعصارعلى أمر من الامور.
Kesepakatan atau persetujuan mujtahid umat Muhammad SAW, setelah wafatnya pada suatu masa dari beberapa masa terhadap satu perkara (atau masalah) dari beberapa perkara,”
2.      Rukun dan Syarat Ijma’
Para ulama’ ushul fiqh menyebutkan ada beberapa rukun dalam ijma’, antara lain:[30]
a.       Harus terdiri banyak mujtahid. Jika memutuskan suatu masalah hanya ada satu mujtahid, maka hal tersebut tidak dapat disebut dengan ijma’ karena tidak ada kesepekatan bersama.
b.      Dalam memutuskan dan menyepakati suatu masalah harus dilakukan oleh banyak mujtahid yang ada diseluruh dunia Islam dan tidak membedakan tentang suku, ras dan golongan. Jika ijma’ dilakukan dalam satu negara dan hanya satu suku atau golongan maka ijma’ tersebut tidak sah. Dan hal tersebut tidak bisa dikatakan suatu ijma’.
c.       Menyepakati suatu masalah hukum harus didahului dengan pandangan pada masing-masing mujtahid, setelah itu barulah kesepakatan terjadi.
d.      Para mujtahid dalam menyepakati hukum syara’ harus bersifat terpercaya dan dalam Al-Qur’an memang benar-benar tidak ada hukumnya.
e.       Dalam ijma’ yang digunakan sebagai sandaran atau landasan adalah Al-Qur’an dan Hadis.
Selain rukun-rukun ijma’, juga memiliki syarat-syarat dalam berijma’, antara lain:
1)      Orang yang melakukan ijma’ harus orang-orang yang sudah memenuhi syarat sebagai mujtahid.
2)      Para mujtahid harus bersifat adil (berpendirian yang kuat pada agamanya) dalam memutuskan suatu kesepakatan.
3)      Para mujtahid harus bisa menghindari dari perkataan maupun perbuatan yang berhubungan dengan bid’ah.
3.      Pembagian Ijma’
Ijma’ menurut cara terjadinya dibagi menjadi dua bagian yaitu:[31]
1)      Ijma’ Sharih, adalah para mujtahid memberikan pendapatnya masing-masing, setelah itu diambil salah satu pendapat yang sudah disepakati bersama. Dan dalam mengambil keputusannya tersebut dilakukan secara tegas dan jelas, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Ijma’ ini juga bisa disebut dengan ijma’ hakiki dan pantas untuk dijadikan sumber hukum menurut para ulama’.
2)      Ijma’ Sakuti, merupakan pendapat yang hanya dilakukan oleh satu mujtahid saja, dan yang lainnya hanya diam dan tidak mengatakan apakah menyetujui atau tidak dengan pendapat tersebut. Jadi, mujtahid disini bersifat tidak tegasdan tidak jelas.
Sedangkan jika dilihat dari segi yakin atau tidaknya terjadi ijma’, maka dibagi menjadi dua, yaitu:[32]
1)      Ijma’ Qath’i, merupakan hukum ijma’ yang dihasilkan oleh para mujtahid dengan meyakini dan menganggap benar terjadinya. Dan hukum dalam suatu peristiwa tersebut juga tidak ada kemungkinan lain berbeda dengan hasil ijma’ pada waktu lain.
2)      Ijma’ Dzanny, merupakan hukum ijma’ yang dihasilkan oleh para mujtahid yang bisa dikatakan bersifat keras terjadinya ijma’ tersebut. Dan hukum dalam suatu peristiwa tersebut memungkinkan berbeda dengan hasil ijma’ pada waktu lain.
Di Indonesia contoh ijma’ adalah masalah katak, disini MUI menyepakati bahwa ummat Islam boleh memelihara, tetapi tidak boleh mengkonsumsi.
4.      Kedudukan Ijma’ sebagai Hujjah
Para ulama’ berpendapat, bahwasanya ijma’ adalah hujjah yang memiliki sifat pasti (qath’i). Maksudnya, ijma’ disini dapat berarti sebagai dasar penetapan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi dan diamalkan. Karena itulah para ulama’ menganggap ijma’ sebagai sumber dan dalil hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Kedudukan ijma’ sebagai hujjah ini, menurut para ulama’ berlandaskan pada firman-firman Allah, antara lain:[33]
a.       QS. An-Nisa’ ayat 115
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥
115. Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali

Menurut para ulama’ pada ayat diatas dapat diketahui tentang ancaman siksa yang diberikan kepada orang-orang yang telah menentang Rasulullah dan tidak mengikuti orang-orang yang mukmin. Dan ijma’ itu sendiri yaitu mengikuti jalan orang-orang mukmin. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa ijma’ adalah wajib.

b.      QS. Al-Baqarah: 143
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ.... ١٤٣
143. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Kata al-wast (pertengahan) yang ada dalam ayat diatas mengandung pengertian adil dan terpilih. Dan sebuah kesepakatan yang berasal dari ummat yang terpilih dan adil merupakan al-haqq (kebenaran). Dengan demikian, maka sesuatu yang dihasilkan dari ijma’ itu merupakan kebenaran.
E.     Qiyas
1.      Pengertian
Pengertian qiyas (قياس) dilihat dari sisi bahasanya berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lainnya. Contohnya saja, قست الثوب بالذراعyang memiliki maksud “saya mengukur baju dengan hasta.”[34] Sedangkan dari sisi istilah qiyas menurut ahli ushul yaitu:[35]
اءلحاق واقعة لا نص في حكمها بواقعة فيها النص في ثبوت الحكم لها لاءستواء الواقعتين في العلة
“Menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nash hukumnya dengan kejadian lain yang telah ada nash hukumnya, untuk menetapkan hukum padanya karena samanya kedua kejadian itu dalam illatnya.”
Suatu masalah jika dalam menghukuminya tidak menemukan ketentuan hukumnya, maka harus segera mencari ketetapan hukumnya dengan cara: Pertama, dengan melakukan penelitian dalam suatu kejadian, yang mana harus mencari ada atau tidaknya illat dan cara pencariannya dengan menggunakan metode pencarian illat. Kemudian jika illat tersebut sudah diketahui, selanjutnya mencari illat yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Lalu dari kedua illat tersebut dicari persamaan. Jika tidak ada kesamaan maka tidak ada yang namanya qiyas, qiyas hanya ada apabila antara illat yang ada peristiwa pertama (yang belum ada ketentuan hukumnya) berhubungan dengan illat peristiwa kedua (yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash. Misal dari qiyas itu sendiri yaitu:[36]
Ø  Hukum yang sudah ditetapkan yaitu meminum khamr dan hukumnya haram.
Ø  Illatnya adalah memabukkan
Ø  Terdapat pada dasar hukum yang ada dalam firman Allah, yaitu QS. Al-Maidah ayat 90:
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٩٠
90. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan
Dalam suatu kejadian yang belum ada ketentuan hukumnya, seperti meminum narkotika. Maka kita harus mencari illatnya. Dari meminum narkotika tesebut sudah ditemukan illatnya yaitu memabukkan. Maka dari itu terjadi penetapan hukum yang berdasarkan qiyas yaitu ada persamaan illat dengan minum khamr, yang hukumnya haram.


2.      Rukun dan Syarat Qiyas
Setelah melihat pengertian yang ada di atas, dapat disimpulkan ada empat unsur yang bisa dijadikan patokan dalam menentukan keberadaan suatu qiyas. Dan  dalam istilah ahli Ushul Fiqh hal tersebut disebut dengan rukun, antara lain:[37]
a.       Ashal(pokok),adalah kejadian atau peristiwa awal yang telah ada dan ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Ada dua sebutan dari rukun ashal ini yaitu musyabbah bih (sesuatu yang disamakan dengannya sesuatu yang lain) dan maqis ‘alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan). Contoh dari ashal ini yaitu khamr yang merupakan minuman keras yang sudah ditetapkan hukumnya haram di dalam Al-Qur’an.
b.      Furu’ (cabang), merupakan kejadian atau peristiwa kedua yang ketetapan hukumnya masih belum ada. Alasan dari hukumnya masih belum ada ini karena masih tidak ada nas yang dapat dijadikan sebagai dasar penetapan hukum. Furu’ disini juga bisa dinamakan dengan musyabbah yang berarti sesuatu yang disamakan hukumnya kepada yang lain). Selain itu juga furu’ bisa disebut maqis, yang memiliki pengertian sesuatu yang diqiyaskan kepada yang lain). Contoh dari furu’ ini adalah minuman keras yang bernama wiski yang tidak disebut hukumnya dalam nash syara’ yang akan ditetapkan hukumnya melalui qiyas.
c.       Hukum, merupakan suatu hukum yang berlaku dalam ashal yang sudah pasti ditetapkan pula pada furu’ dengan jalur qiyas. Contohnya seperti dalam hal ini adalah hukum haram.
d.      Ilat hukum, merupakan suatu ashal yang mana memiliki sifat yang jelas terhadap ashal, selain itu terdapat pula sifat furu’ yang mana hukumnya disamakan dengan ashal. Contoh nya yaitu pada sifat memabuukan.
Selain rukun-rukun diatas, maka terdapat syaratyang ada pada qiyas. Syarat-syarat tersebut antara lain:[38]
1)      Tidak merubah hukum asalnya, atau belum dinashkan (dibenarkan), maksudnya masih pada hukum yang tetap berlaku.
2)      Dalam mengabil asal dan hukumnya harus sesuai dengan ketentuan agama, maksudnya sesuai dengan ketegasan yang ada di Al-Qur’an dan Hadis.
3)      Hukum pada asal yang sudah berlaku juga harus berlaku pada qias, maksudnya hukum asal itu dapat diperlakukan pada qias.
4)      Pada hukum asal dilarang untuk hukum furu’ (cabang) terdahulu, dikarenakan untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya (sebab).
5)      Sebaiknya illat yang ada pada furu’ sama dengan illat yang ada pada asal.
6)      Sebaiknya hukum yang ada pada furu’ juga sama dengan hukum yang ada pada asal. Maksudnya tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal.
7)      Setiap illat itu harus selalu ada hukumnya dan jika tidak ada illat berarti tidak ada hukumnya. Maksudnya, illat selaalu ada.
8)      Tidak dibolehkan suatu illat bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, maksudnya illat itu selalu ada.
3.      Macam –macam Qiyas
Dapat diketahui bahwasanya pembagian qiyas disini ada tiga bagian, antara lain:[39]
a.       Qiyas Al-Aulaa, merupakan qiyas yang hukum far’unya ditetapkan terlebih dahulu dari pada hukum pada asalnya. Contohnya seperti berikut ini, pada surat Al-Isra’ ayat 23, yang berbunyi:

....فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ..... ٢٣
23. ...maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"...

Pada ayat diatas telah ditetapkan bahwasanya hukum mengatakan “ah” kepada orang tua yaitu haram. Begitupun memukul orang tua juga haram, karena kedua hal tersebut mempunyai persaman dalam illatnya yaitu dapat pmenyakiti hati orang tua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa memukul disini lebih menyakitkan dari pada mengatakan “ah” kepada orang tua. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa hukum furu’ lebih awal dari pada hukum ashal.
b.      Qiyas Musawi, merupakan qiyas yang hukumnya pada fur’u tingkatannya sebanding atau sederajat dengan hukum pada ashal. Contoh qiyas ini yaitu, pada QS. An-Nisa’ ayat 10:
إِنَّٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ... ١٠
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Pada ayat diatas dapat diketahui bahwasanya hukum ashalnya yaitu memakan harta anak yatim. Dan hukum far’u nya yaitu menjual harta anak yatim. Jadi pada hukum ashal dan far’u memiliki illat yang sama atau sebanding yaitu dapat menghabiskan/ mengurangi harta anak yatim.
c.       Qiyas Dilalah, merupakan qiyas yang illatnya tidak disebut tetapi ada petunjuk yang memberi keterangan adanya illat untuk menetapkan suatu hukum. Contoh dari qiyas dilalah ini adalah: apakah harta dari anak kecil wajib dikeluarkan zakatnya atau tidak? Dan hal ini para ulama’ menyatakan bahwa hartanya wajib dikeluarkan zakatnya, dengan alasan diqiyaskan dengan harta orang dewasa. Disini dapat diketahui illatnya yaitu sama-sama bisa berkurang ataupun bertambah. Menurut madzhab Hanafi, yang dimaksud dengan harta anak-anak tersebut tidak bisa diqiyaskan dengan harta orang yang sudah baligh, akan tetapi yang dimaksud disini yaitu kepada ibadah, misalnya, shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Dapat dimengerti bahwa ibadah dilakukan oleh orang-orang mukallaf, maksudnya hal tersebut hanya diwajibkan kepada orang yang sudah dewasa/baligh sedangkan bagi yang belum baligh tidak wajib. Oleh karena itu, anak yang belum baligh tidak diwajibkan melaksanakan zakat karena ,asih belum memenuhi syarat yang ada. Perbedaan ini terletak pada ukuran yang dijadikan untuk mencari illat. Menurut para ulama’, sifat dari anak kecil inilah yang dijadikan sebagai ukuran.
d.      Qiyas Syabh,merupakan qiyas yang hukum far’unya dapat dikiaskan atau dipergunakan dalam dua hukum ashal atau lebih. Tetapi hal ini memiliki syarat yaitu diambil ashal yang banyak persamaannya dengan far’u. Contohnya saja seperti membuat cacat atau merusak budak yang dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka, karena mereka sama-sama manusia, tetapi selain diqiyaskan dengan orang merdekaa bisa juga diqiyaskan dengan merusak harta benda, karena sama-sama sebagai hak milik, dapat dihadiahkan, dapat diwaqafkan dan lain-lain. Melihat semua itu dapat disimpulkan bahwa lebih banyak persamaannya adalah diqiyaskan dengan harta benda.
4.      Kedudukan Qiyas
Setelah mengetahui pengertian qiyas, maka qiyas dapat dijadikan sebagai hujjah dalam agama. Para ulama’ pun juga berpendapat bahwa qiyas adalah hukum syara’ yang bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan-alasan:
Ø  QS. Al-Hasyr ayat 2
....فَٱعۡتَبِرُواْ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ ٢
2. ...... Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan

Pada ayat diatas terdapat kalimat yang menunjukkan qiyas, yaitu “menjadi pandangan”, maksudnya berarti membandingkan antara hukum yang belum ada dengan hukum yang sudah ada ketentuannya.
Ø  Sabda Rasulullah SAW, ketika Muaz diutus beliau pergi ke Negeri Yaman untuk memungut zakat, Rasulullah berkata kepada Muaz: “bagaimana cara kamu menghukum jika kamu ingin menghukum sesuatu?”, Muaz pun menjawab, “Aku menghukum berdasarkan dengan kitab Allah yaitu Al-Qur’an”, nabi pun bertanya lagi,” jika tidak ada dalam Al-Qur’an, kamu mau berlandasan apa?”, Muaz menjawab, “jika tidak ada maka aku menggunakan Sunnah Rasulullah (hadis).”, Nabi pun bertanya lagi, “ jika dari kedua-duanya tersebut tidak kamu temukan, kamu mau mengambil dimana?”, Muaz menjawab, “ aku akan berijtihad dengan pendapatku.”, Rasulullah pun menjawab, “Bagus”. Setelah itu Nabi menepuk-nepuk dada Muaz sambil bersabda:
الحمد لله الذى وفق رسول الله لما يرضى رسول الله (رواه احمد)

Yang menjadi qiyas dalam hadis ini yaitu “ berijtihad dengan pendapatku”.

F.     Penutup
Dari pembahasan yang sudah dibahas dapat disimpulkan bahwa ummat Muslim dalam memecahkan suatu masalah memerlukan sumber hukum untuk menghukuminya. Dan dalam Islam terdapat 4 sumber hukum yang disepakati, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang diturunkan kepada Muhammad SAW, berbahasa Arab, diriwayatkan kepada kita secara mutawattir, termaktub di dalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas. Sedangkan Sunnah segala sesuatu yang telah diriwayatkan dari Muhammad baik itu berbentuk perbuatan, perkataan, dan ketepan yang sudah berkaitan dengan hukum. Kedua sumber ini merupakan sumber utama dalam agama Islam. Jika dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak ada hukumnya maka bisa menggunakan ijma’ yang merupakan suatu kesepakatan para mujtahid dalam memecahkan suatu masalah pada masa setelah Rasulullah wafat terhadap hukum syara’. Kemudian jika tetap tidak ada pada ijma’ bisa menggunakan qiyas yang berarti membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lainnya.


















DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 2003. Fiqh & Ushul Fiqh. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada).
Dahlan, Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. (Jakarta: AMZAH).
Djalil,A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. (Jakarta: Kencana).
Djazuli, A. 2015. Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kencana).
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. (Jakarta: Prenada Media).
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu).
Khallaf, Abdul Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fikih. (Jakarta: PT Rineka Cipta).
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: CV. Pustaka Setia).
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana).
Tharaba, M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’. (Malang: CV. Dream Litera Buana).
Yusuf, Nasruddin. 2012. Pengantar Ilmu Ushul Fikih. (Malang: UM PRESS).

Catatan:
1.      Similarity sebesar 7%.
2.      Pendahuluan belum bisa mengantarkan pada materi.
Makalah ini bagus, dikerjakan dengan serius. Layak mendapatkan apresiasi.













[1]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 113.
[2]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hlm. 15.
[3]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 19.
[4]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 115.
[5]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 50.
[6]Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 34-35.
[7]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 35.
[8]Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 80-81.
[9]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hlm. 19.
[10]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 27.
[11]Ibid, hlm. 29.
[12]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 38.
[13]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 129.
[14]A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 63.
[15]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang: Universitas Negeri Malang (UM PRESS), 2012), hlm. 31.
[16]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 125.
[17]Ibid, hlm. 125-126.
[18]A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 146.
[19]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 38.
[20]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 60.
[21]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang: UM Press, 2012), hlm. 37.
[22]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 132.
[23]Ibid, hlm. 136-137.
[24]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 65-67.
[25]Ibid, hlm 66.
[26]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 141-143.
[27]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 51.
[28]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 68.
[29]A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: KENCANA, 2010), hlm. 152.
[30]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 53.
[31]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 72.
[32]M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’, (Malang: CV. Dream Litera Buana, 2016), hlm. 116.
[33]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 148-149.
[34] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 62.
[35]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 52.
[36]M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’, (Malang: CV. Dream Litera Buana, 2016), hlm. 117-118.
[37]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 52-53.
[38]Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 50-51.
[39]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang: Universitas Negeri Malang (UM PRESS), 2012), hlm. 69-71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar