Senin, 25 Februari 2019

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqih (PAI C Semester Genap 2018/2019)



SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
Ulfa Hidayatur Rohmah dan Zumrotul Laila
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “ C “
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This article explains the growth history and history of the development of usulfiqh. Where ushulfiqh itself is one branch of science that is quite important in Islam, because the science of ushulfiqh is a science that discusses the origin of the law of a matter set. The Islamic jurisprudence itself grows and develops on problems that occur among Muslims that make ulama 'ijtihad for problems that do not find solutions and cause disputes or differences of opinion among Muslims.

Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang sejarah pertumbuhan dan sejarah perkembangan ushul fiqih. Dimana ushul fiqih sendiri adalah salah satu cabang ilmu yang cukup penting dalam Islam, karena ilmu ushul fiqih merupakan ilmu yang membahas tentang asal muasal hukum suatu perkara ditetapkan. Ushul fiqih sendiri tumbuh dan berkembang atas masalah – masalah yang terjadi di kalangan umat Islam yang membuat para ulama’ ber ijtihad atas masalah yang tidak menemukan penyelesaian dan menimbulkan perselisihan atau perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
Kata kunci : Sejarah, Pertumbuhan, Perkembangan, Ushul Fiqih
A.      Pendahuluan
Dengan berkahirnya masa hidup rasulullah maka berakhir pula wahyu Allah,  sehingga  setelah meninggalnya beliau tidak ada tempat lagi untuk bertanya. Seiring berkembanngnya waktu, berbagai masalah baru muncul, tetapi dalam kenyataannya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan sunnah mengenai  jawaban yang eksplisit dari permasalahn yang muncul, Sehingga untuk menjawab permaslahan-permasalahan tersebut maka harus digunakan dasar terkait prinsip-prinsip hukum yang berkaitan yang disebut dengan ilmu ushul fiqh.
Ushul fiqh merupakan ilmu yang digunakan sebagai dasar dalam melakukan sebuah ijtihad ketika menetapkan hulum permasalahan, dimana permasalah tersebut selalu berganti sementara masalah itu tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits. Tanpa adanya sebuah ijtihad maka dapat dipastikan kita akan menemui berbagai kesulitan dalam memberikan bukti bahwa islam cocok dalam segala keadaan, baik waktu ataupun tempat.[1]Permasalahan-permasalahan baru itu timbul tidak lain adalah karena  setiap aktivitas serta perilaku manusia itu memiliki corak yang berbeda-beda. Walau bagaimanapun, untuk menyelesaikan hal itu maka dibutuhkan ketetapan landasan atau sebuah patokan sehingga sampai pada konklusi mengenai aturan ataupun kaidah-kaidah umum.
Sebenarnya ushul fiqh sendiri telah ada bibitnya pada masa sahabat sepeninggalan Rasulullah, karena dimasa ini sudah ada permasalahan-permasalah hukum dan sabahat pun juga menggunakan kaidah-kaidah tertentu dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. dari hal itu kaidah-kaidah dalam menetapkan hukum pun akhirnya berkembang hingga generasi selanjutnya. dan akhirnya timbullah berbagai  klaim anggapan mengenai pencetus dalam fiqh itu sendiri .sehingga  untuk mengetahui bagaimana ilmu ushul fiqh itu ada hingga sampai saat ini maka pembahasan mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh ini sangat penting untuk dikaji, karena dengan mengkaji mengenai hal ini kita akan mengetahui tentang asala-usl bagaimana suatu hukum itu ditetapkan, yang pada akhirnya bisa sampai kepada pada kita hingga zaman sekarang, dimana dalam hal ini tidak lain adalah menggunakan sebuah kaidah-kaidah tertentu yang disebut dengan ushul fiqh.  Oleh karena itu, melalui tulisan ini, akan diungkan mengenai bagaimana asal-usul sejarah dan perkembangan dari ilmu ushul fiqh.
B.       Sejarah Pertumbuhan Ushul Fiqih
Lahirnya serta berkembangnya  ilmu ushul fiqh tidak terlepas dengan lahir serta berkembangnya ilmu fiqh, dimana sebelum fiqh itu ada, ilmu ushul fiqh harus ada terlebih dahulu. fiqh merupakan hukum syara’ yang bersal dari dalil-dalil yang sudah ditetapkan dan dirumuskan dengan aturan-aturan tertentu.  Sehingga  dalam menghasilkan fiqh sendiri harus tedapat pedoman  ataupun kaidah-kaidahnya. Ushul fiqh merupakan pedoman atau kaidah-kidah yang  digunakanoleh seorag fakih  dalam merumuskan dan menetapkan hukum syara’ dari dalil yang terperinci.[2]
1.    Masa awal perkembangan islam
Sebenarnya, benih-benih dari ushul fiqh sudah ada pada masa awal perkembangan islam. Masa awal perkembangan islam merupakan masa ketika Rasulullah hidup. pada masa ini, rasulullah menggunakan Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar dalam menetapkan hukum atas segala peristiwa yang terjadi. Perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan agama islam sangat luar biasa, hingga pada akhirnya islam pun tersebuar keberbagai negara. Ketika islam berkembang dan tersebar ke berbagai Negara seperti mesir, yaman, irak, dan negaraa lainnya, sementara Raslulullah berada dikota-kota tersebut dan sahabat jauh dari beliau, sedangkan saat tidak adanya beliau terdapat berbagai peristiwa, dimana peristiwa tersebut tidak didapati dalam Al-Qur’an dan hadits, maka sahabat melakukan ijtihad yang bersifat sementara dalam menetepakan hukum terkait dengan peristiwa itu. Ketika mereka (sahabat) bertemu lagi dengan Rasulullah maka mereka menanyakan kembali tentang hal itu, dan rasulullah pun membenarkannya.[3]
Dalam keterangan hadits, yaitu Ketika Rasulullah mengutus Mu’adzz ibn Jabal menuju ke Yaman beliau bertanya mengenai cara mu’ad dalam memutuskan perkara, kemudian mu’adz memberi jawaban bahwasanya ia memutuskan perkara dengan kitab Allah. Kemudian Rasulullah melanjutkan pertanyaannya mengenai apa yang dilakukan ketika tidak didapatkan hal tersebut dari Al-Qur’an, mu’adz memberi jawaban bahwasanya ia menggunakan sunah Rasulullah, dan apabila tidak mendapatkannya lagi maka melakukan ijtihad berdasarkan pendapatnya . dari jawaban tersebut, rasulullah pun membenarkannya.[4]
Dari kejadian ini, maka nampak bahwa dasar-dasar ilmu fiqh sudah mulai terlihat, walaupun bukan disebut ilmu ushul fiqh. Hal ini tergambar ketika terjadi sebuah peristiwa dimana  peristiwa itu tidak ada ketentuan hukumnya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka dilakukan sebuah itihad oleh sahabat dan Rasulullah memperbolehkan mengenai ijtihad tersebut, walaupun keputusan terakhir dalam penetapan hukum itu berada itu berada pada Rasullulah.[5]
2.    Masa Sahabat
sesungguhnya perumusan fiqh itu sudah dimulai setelah meninggalnya Rasulullah SAW yaitu pada masa sahabat.. Diantara para sabaht, seperti umar bun Khattab, Ali bin Abi Thali, Ibnu Mas’ud ketika menyampaikan pendapat mengenai hukum mereka sesungguhnya sudah memakai pedoman atau aturan saat merumuskan, dimana mereka mengikuti secara langsung dari prakitk Raslullah dalam pembentukan hukum, sehingga mereka mengetahui betul mengenai cara dalam memahami sebuah ayat serta mampu menangkap tujuan dari pembentukan hukum tersebut.[6]
Dalam memberikan putusan hukum serta fatwa, para sahabat menyandarkan putusan itu berdasarkan pemahaman mereka terrhadap nash Al-Qur’an,  selain itu kemampua bahasa Arab yang dimiliki juga kuat yang merupakan bahasa Al-Qur’an. Dalam menetapkan hukum, mereka mendasarkan kepada apa yang dipahaminya selama bersama Rasullullah, sehingga mereka mengetahui tentang pemahaman terkait turunnya ayat  hingga dijadikan sebagai dasar penetapan hukum dan alasan tujuan hukum tersebut dibuat.[7]
Karena ketajaman berpikir serta kejerniha hati mereka, maka mereka  belum membutuhkan hal apapun seperti pengetahuan mengenai berbagai kaidah perubahan bentuk kata dalam memberi sebuah ketentuan hukum. Mereka merujuk langsung kepada sumber Al-Qur’an apabila didapati sebuah peristiwa, jika dalam Al-Qur’an sendiri tidak terdapat penjelasan mengenai perisitiwa tersebut maka mencari penjelasan hukum melalui As-Sunnah, dan apabila masih belum didapati kepastian dari hukum tersebut, maka melakukan ijtihad dengan menyamakan hal-hal yang mirip tentang suatu peristiwa itu atas apa yang ada dalam Al-Qur’an serta As-sunaha dengan berbaagai pertimbangan dan mempertahankan kemaslahatan bersama yang sesuai dengan syariat.[8]
ijtihad dalam penyelesaian hukum tersebut dengan menyandingkannya permasalah berdasarkan ilat yang sama, maksudnya adalah membandingkan persoalan yang  tidak terdapat didalam nash hukumnya, dengan persoalan yang ada dalam nash  hukumnya, tetapi terdapat persamaan mengenai seba-sebab (ilat) yang dinamakan dengan qiya. Sehingga qiyas dijadikan sebagai sumber ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits. dengan memperbandingkan hasil ijtihad tersebut pada sumber hukum Al-Qur’an dan hadits. Kemudian, apabila para sahabat sepakat mengenai hukum dengan pandangan akan terjaga dari sebuah kesalah maka muncullah hukum yang disebut ijma, yang merupakan sumber hukum keempat setelah Al-Qur’an, hadits, dan qiyas.[9]
Ijtihad mengenai hal-hal yang dilakukan oleh sahabat salah satunya yaitu Ali ibn Abi Thalib, dimana beliau dalam penetapan hukum kepada orang yang meminum khamr dengan memberikan hukum 80 kali cambuk dengan menggunakan kaidah saddudzariah yaitu dengan menghalangi akan terjadinya kejahatan lain yang akan timbul dari hal tersebut (meminum khamr). Dimana beliau memberikan pernyatan bahwa minum kham akan membuat seseorang menjadi mabuk, sehingga ketika seseorang mabuk otomatis akan terbukan pintu kejahatan seperti tuduhan berbuat zina kepada orang lain, sehingga Ali memberikan sanksi mengenai tuduhan zina.[10]
Abdullah ibn Mas’ud dalam menetapkan sebuah fatwa ia menggunakan pemahaman dengan takhsis.  Yaitu ketika ia menetapkan batas iddahnya wanita hamil atas kematian suaminya adalah ketika wanita itu melahirkan. Dalam menetapkan sebuah pendapat sebelumnya ia mendasarkan pada surat at-thalaq (4 dan 6). Walaupun terdapat surat lain yaitu surat Al-Baqarah ayat ke 228. Dalam menetapkan hal At-Thalaq sebgai dasar adalah atas alasan bahwa surat tersebut datang setelah surat Al-Baqarah. Sehingga ayat yang datang setelahnya menghapuskan dalil sebelumnya, dlam hal ini disebut dengan nasakh masukh. Dari hal tersebut dapat terlehat bahwa kaidah ushul fiqh sebenarnya telah digunakan pada masa itu,walaupun belum disebut dengan ushul fiqh.[11]
3.    Masa Tabi’in
Abad 2 Hijriyah merupakan abad permulaan masa tabi’in, dimana pada masa ini perkembangan islam menjadi lebih luas hal ini ditandai dengan banyaknya pemeluk islam yang bukan hanya dari bangsa arab tetapi juga orang-orang selain Arab. Pada masa ini berbagi permasalahan semakin berkembang dan lebih komplek. Berbagai persoalan-persoalan hukum mulai bermunculan.[12]pada pasa ini para tabi’in atas bimbingan Rasulullah tampil memberikan fatwa mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi diantaranya yaitu di Irak terdapat Ibrahim al-Nakha’i dan Al-Qamah ibn Qays, serta di Madinah terdapat Sa’id ibn al-Musayyab dalam menyampaikan fatwanya mereka merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah rasul sebagai dasar dalam penetapan hukum. Apabila tidak ditemukannya hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut maka mereka menetapkan hukum itu dengan merujuk kepada fatwa sahabat, qiyas, ijma’ serta maslahah mursalah.[13]
4.    Masa Imam Mujtahid (Al-Aimmat Al-Mujtahidin)
Pada masa ini yaitu masa setelah tabi’in sebelum imam As-Syafi’i berbagai variasi dalam pemahaman semakin jelas, sehingga semakin jelas pula metode istimbath yang digunakan. Sebagimana yang digunakna oleh Abu Hanifaah yang merupakan pendiri dari madzhab hanafi, bahwa beliau banyak dikenal dengan menggunakan metode istinbath dan qiyas. Dalam beristinbat, imam abu hanafi menggunakan dasar Al-Qur’an, apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an maka menggunakan hadits sebagai pedoman, dan apabila tidak ditemukan pula dari hadits maka beliau berpedoman pada pendapat para sahabat yang telah disepakati. Dan apabila terdapat penapat yang berbeda diantara para sahabat maka imam abu hanifah  memilih dari penapat-pendapat tersebut dan diambiny satu pendapat. Sehingga dalam berijtihad ia menggunakan qiyas dan istihsan. Beliau tidak menggunakan dasar pendapat tabi’in karena beliau sejajar dengan tabi’in.[14]
Begitu juga dengan Imam Malik ibn Anas yang merupakan pendiri daru madzhab Maliki, metode yang digunakan beliau pun juga jelas, yaitu dengan berpegangan berdasarkan amalan perbuatan masyarakat madinah, beliau lebih percaya terhadap amalan masyarakat madinah dari pada terhadap hadis ahad. [15]
Mulai dari masa rasullullah, hingga periode ini telah terjadi perkembangan filososfis. Sehingga menjadi ide dari lahirnya ilmu ushul fiqh, walaupun ushul fiqh sendiri belum dibukukan dan menjadi disiplin ilmu pada masa tersebut[16]
Pada masa ini, wilayah kekuasaan islam semakin luas hingga ke Romawi, hal ini menimbulkan semakin banyak pula berbagai persoalan hukum baru yang belum ditemui sebelumnya, sehingga dari persoalan-persoalan yang ada dibutuhkan jawaban. Sahabat-sahabt yang dijadikan landasan oleh para tabi’in dalam menemukan jawaban juga keberadaanya pun semakin berpencar, oleh karena itu dari sini terdapat ide atau gagasan dalam mengkaji ushul fiqh agar dalam mempelajari serta dalam penerapan terkait dengan pemecahan masalah lebih mudah dengan melalui pembukuan mengenai kaidah-kaidah dalam penetapan hukum.[17]
Berbagai gologan mengklaim bahwa mereka yang melakukan penyusunan pada ilmu ushul fiqh. Seperti golongan hanafiyah, malikiyah, syiah imamiyah, dan syafiiyah. Golongan hanafiyah mengklaim bahwa dari merekalah ilmu ushl fiqh it disusun, adapun yang menyusunnya ilmu ushul fiqh pertama kali yaitu Abu Hanifah, Muhammad Ibn Ali Al-Hasan, serta Abu Yusuf. Alasan Abu Hanifah sebagai orang pertama yang menyusunnya adalah karena berdasarkan buku karangan Abu Hanifah yaitu Ar-Ra’y bahwa metode istinbath merupakan metode yang yang disusun pertamakali oleh Abu Hanifah.  Demikian Abu Yusuf bahwa dalam madzhab syafi-i beliau adalah orang yang pertma menyusun fiqh, serta Muhammad Ibnu AL-Hasan bahwa beliau adalah yang terlebih dahulum menyusun Ushul Fiqh sebelum Imam Syafi’i, karena As-Syafi’i sendiri adalah murid dari Muhammad Ibnu Al-Hasalan. Tetapi musthafa Abdul ar raziq mengkritik pernyataan tersebut, dengan alasan bahwa jika memang benar bahwa Muhammad Ibnu Al-Hasan dan Abu Yusufyang menyusun kitab itu, hal tersebut bukan lain adalah mendasarkan kepada kitab hanfiyah berupa dukungan atas metode istihsan, tetpai para ahli hadits sangat menentang itu. jika yang diklaim sebagai orang yang pertama kali berbicara mengenai ushul fiqh adalah Muhammad Al-Hasan, maka tidak salah juga apabila Imam Syafi’i juga disebut sebagai penyusun pertama kali ushul fiqh yang memuat kaidah-kaidah sebagai disiplin ilmu yang digunakan untuk rujukan dalam mengistinbatkan hukum. dengan kaidah-kaidah.
Berdasarkan klaim dari golongan Malikiyah ia menyatakan bahawa memang bukan imam malik yang pertama kali menyusun kitab ushul fiqh, tetapi mereka mengklain bahwa orang yang pertama kali berbicara mengenai ilmu ushul fiqh adalah Imam Malik. Walau bagaimanapun, Abdul Wahab mengakui hal tersebut dan ia menerima atas pernyataan  bahwa yang menjadi perintis dari ushul fiqh adalah Imam Malik[18]
Golongan Syi’ah Imamiyah juga memberi klaim bahwaMuhammad Al-Bagir Ibn Ali, yang dilanjutkan oleh anaknya adalah penyususn kitab ushul fiqh pertama kali.  menurut As-ad Haidar menyatakan bahwa yang menjadi perintis sekaligus peletak dasar ushul fiqh adalah Imam Bagir, sedangkan yang menjadi penyusun ilmu ushul fiqh pertama kali adlaah Al-Hisyam Ibnu Al-Hakam, dimana dalam kitab yang ditulisnya yaitu Al-Ahfazh, terdapat pembahasan yang sangat penting didalamnya mengenai ilmu ushul. Kemudian Yunus Ibnu Ar-Rahman meperjelas didalam kitabnya Al-ikhtilaf al-hadis wa masailah  mengenai  masalah perpaduan serta, dua hadits yang bertentangan serta dalam pentarjihan. Yang kemudian ushul fiqh berkembang luas.
Golongan syafiiyah juga mengklaim bahwa yang menyusun kitab ushul fiqh adalah imam syafi’i. berdasarrka pernytaan Al-Allamah Jamal Ad-Din mengungkapkan bahwa toko besar yaitu Imam Syafii adalah orang yang pertama menyusun kitab mengenai ilmu ushul fiqh yang sampai sekarang ada kepada kita yaitu kitab Ar-Risalah.[19]
Dari kesemuanya, kemudian para ulama  mengenal bahwa Imam Syafi’i merupakan peletak dasar dalam ilmu ushul fiqh, karena beliau adalah orang yang membahas secara sistematis dan membukukan menenai kaidah ushul fiqh dengan dukungan berdasarkan keterangan-keterangan serta metode penelitian yang beliau tulis dalam ktab ar-Risalah yang hingga sampai sekarang ada pada kita[20]
C.  Tahapan – Tahapan Perkembangan Ushul Fiqih
Menurut Prof. Dr. Rachmat Syafe’i dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih, tahapan tahapan perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi menjadi tiga tahapan,[21] yakni:
1.    Tahap awal (terjadi pada abad ke 3 Hijriyah)
Pada abad ke 3 Hijriyah, kekuasaan Islam berada dibawah naungan pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yang pada saat itu dipimpin oleh khalifah – khalifah Abbasiyah yang terkenal dengan kepeduliannya terhadap perkembangan ilmu – ilmu keagamaan dan dunia pendidikan, yaitu : Al – Ma’mun (218 Hijriyah), Al – Mu’tashim (227 Hijriyah), Al – Wasiq (232 Hijriyah), Al – Mutawakkil (247 Hijriyah), dan Harun Al – Rasyid. Ilmu – ilmu keagamaan semakin meluas dan berkembang objek pembahasannya, hal ini dimulai dari banyaknya penerjemahan buku – buku filsafat Yunani ke dalam Bahasa Arab yang kemudian ditambahkan penjelasan – penjelasan (syarah). Dari sinilah mulai berkembang bidang fiqih yangmendukung juga perkembangan metode berfikir fiqih yang disebut dengan Ushul Fiqih.[22]
Salah satu ciri khas pada tahap awal ini adalah penggunaan kitab Ar-Risalah, karangan Asy-Syafi’i. Kitab ini membahas tentang pemikiran – pemikiran ushul fiqih secara utuh dan mencakup masalah – masalah ushuliyah yang menjadi focus perhatian para ahli fiqih pada abad itu. Ar – Risalah menjadi satu – satunya rujukan bagi para ulama’ untuk mendapatkan kaidah – kaidah umum ushul fiqih dan mengetahui tingkatan dalil – dalil syar’i mengenai ushul fiqih.[23]
Meskipun banyak kitab ilmu ushul fiqih yang tersusun pada tahap awal perkembangan ushul fiqh ini, para penulis kitab ilmu ushul fiqih tetap bergantung dan berpedoman dengan Ar – Risalah dan Asy – Syafi’i, karena Asy – Syafi’i adalah pengarang yang pertama kali membuka pemikiran ilmu ushul fiqih secara lengkap.
Namun, karena banyaknya pemikiran ushuliyah yang termuat dalam kitab – kitab fiqih, pengikut ulama’ – ulama’ tertentu malah mengklaim bahwa imam madzhab mereka sebagai pelopor pertama ilmu ushul fiqih. Seperti contoh golongan Malikiyah, mereka mengklaim bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ushul fiqih, karena Imam Malik telah membahas beberapa kaidah ushuliyah dalam kitabnya Al – Muwaththa. Imam Malik menolak dengan tegas tentang kemungkinan adanya dua hadist yang shahih yang berlawanan dari Rasulullah SAW pada saat yang sama, karena beliau berprinsip bahwa kebenaran hanya diperoleh dari dalam satu hadist saja.[24]
Catatan penting dalam abad ini adalah, pada abad ke 3 Hijriyah banyak ulama’ – ulama’ besar yang merintis dasar berdirinya madzhab – madzhab fiqih. Dengan berdirinya banyak madzhab – madzhab fiqih ini, otomatis menimbulkan banyak perbedaan – perbedaan pendapat, prinsip, dan pengungkapan pemikiran ushul fiqih dari para imamnya. Seperti contoh golongan Asy – Syafi’i yang tidak menyetujui metode penggunaan istihsan yang terkenal di kalangan Hanafiyah, begitupun sebaliknya Hanafiyah yang tidak menggunakan metode – metode penetapan hukum berdasarkan hadist – hadist yang dijadikan pedoman oleh Asy – Syafi’i.[25]
Dari perbedaan pendapat dan metode dari masing – masing madzhab yang diiringi dengan perbuatan saling mengkritik antara satu dengan yang lain adalah salah satu factor pendukung semangat penelitian ilmiah yang disertai dengan sikap antusiasme dari kalangan ahli fiqih pada abad ke 3 Hijriyah ini. Dan semangat penelitian dan telaah ilmiah ini terus berkembang hingga abad ke 4 Hijriyah.[26]
2.    Tahap perkembangan (terjadi pada abad ke 4 Hijriyah)
Berkurangnya kekuatan politik Dinasti Abbasiyah dalam bidang politik terjadi pada abad ke 4 Hijriyah. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat para pemimpin daulah Abbasiyah untuk terus mengembangkan dan memajukan negeri yang dipimpinnya dengan terus mendukung kaum intelektual untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di negerinya, meskipun Dinasti Abbasiyah telah terbagi menjadi daulah – daulah kecil yang dipimpin oleh seorang sultan. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan juga didukung dengan terjadinya desentralisasi ekonomi yang menyangga kesejahteraan perkembangan ilmu pengetahuan di daulah – daulah kecil itu.[27]
Ciri khas yang terdapat di bidang pemikiran fiqih Islam pada tahap perkembangan ushul fiqih ini adalah berhentinya pemikiran liberal Islam yang berlandaskan ijtihad muthlaq. Berbeda jauh dengan bidang ushul fiqih. Terhentinya ijtihad dalam fiqih dan inisiatif usaha – usaha untuk menelaah pemikiran – pemikiran para ulama’ terdahulu dan men tarjih kannya justru memberikan keuntungan yang sangat besar begi perkembangan ushul fiqih.[28]
Hal tersebut berpengaruh kepada ushul fiqih karena dalam menelaah dan men takhrij kan pemikiran para ulama’ terdahulu dibutuhkan penelitian hingga akar – akarnya dan evaluasi kaidah – kaidah ushul yang menjadi dasarnya. Karena hal itu, ilmu ushul semakin berkembang yang menjadi dasarnya dan lambat laun ushul fiqih semakin berkembang, di samping itu hal ini didukung karena masing – masing madzhab menyusun kitab ushul fiqih.[29]
Pendapat Muhammad Al-Khudari Beik mengenai perkembangan fiqih Islam pada abad ke 4 Hijriyah yakni “ Usaha mereka untuk menjelaskan illat – illat hukum yang di istinbath kan oleh para imam mereka tidak bisa direalisasikan apabila ternyata dari sekian banyak hukum yang didapatkan dari para imam mereka tidak memiliki illat, dan para ahli fiqih mempunyai perbedaan dalam memastikan atau men takhrij kan iilat tersebut. Keterangan illat membuka inisiatif untuk berpendapat dalam hal yang tidak ada nash-nya dari para imam yang terlibat. Jika illat yang menjadi pondasi nash-nya telah diketahui, mereka (penganut madzhab) dapat merealisasikan apa yang disebut dengan ushul yang dipilih sebagai dasar oleh para imam mereka dalam meng istinbath kan hukum. “[30]
Dari sini, para ahli fiqih mendapatkan lapangan baru untuk ber ijtihad di bidang ushul fiqih daripada ber ijtihad di dalam bidang fiqih. Para ahli fiqih mengeluarkan pendapat dan pemikiran mereka secara mandiri dan liberal, serta mempunyai keunikan dan keaslian yang belum pernah dimiliki oleh ulama’ terdahulu. Salah satu hal yang turut mendukung adalah kecenderungan para ahli fiqih pada ilmu aqliyah, yakni filsafat, sehingga ikut memberikan warna metode berpikir Islam saat itu.[31]
Jadi dapat dikatakan bahwa terhentinya ijtihaf muthlaq bagi para ulama’ saat itu tidak menyurutkan perkembangan ilmu ushul fiqih, bahkan muncul usaha untuk menelaah dan melakukan pembelajaran mendalam di bidang ilmu ushul fiqih. Walaupun tidak melakukan istinbath hukum yang tidak sejalan dengan madzhab-nya, mereka bisa menemukan pendapat – pendapat yang bisa memperkuat pendirian madzhab-nya itu dalam ushul fiqih. Dengan demikian, secara material dibutuhkan ukuran untuk membandingkan pendapat – pendapat yang berbeda – beda pada masa itu yang menjadi perselisihan, maka ushul fiqih lah sebagai alat tahkim dalam menyelesaikan perselisihan – perselisihan.
Salah satu tanda berkembangnya ilmu ushul fiqih ushul fiqih pada abad ke 4 Hijriyah ini adalah terbitnya kitab – kitab Ushul Fiqih karangan dari para ahli fiqih, dan beberapa kitab yang terkenal yakni :[32]
a.       Kitab Ushul Al – Kharkhi, penulisnya adalah Abu Al – Hasan Ubaidillah Ibnu Al – Husain Ibnu Dilal Dalaham Al – Kharkhi ( 340 Hijriyah ). Kitab ini berisi 39 kaidah – kaidah ushul fiqih dan bercorak Hanafiyah. Ada salah satu kaidah yang menunjukkan sikap fanatic penulis terhadap madzhab-nya menurut sebagian ulama’ adalah “ Pada dasarnya setiap ayat yang berselisih dengan perkataan sahabat – sahabat kami memiliki arti nasakh atau tarjih, sehingga wajib di takwil kan untuk menyelaraskannya”. Perkataan ini sangat jelas menunjukkan sikap lebih mengutamakan perkataan imam – imamnya daripada teks ayat dan sunnah
b.      Kitab Al – Fushul fi Al – Ushul, kitab karang Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar – Razim ini juga disebut dengan Al – Jashshash (305 – 370 Hijriyah). Kitab yang bercorak Hanafiyah ini banyak mengeritik isi kitab Ar – Risalah tentang masalah Al – Bayan dan istihsan.
c.       Kitab Bayan Kasf Al – Ahfazh, pengarangnya adalah Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al – Lamisy Al – Hanafi. Dr. Muhammad Hasan Musthafa Asy – Syalaby telah men tahqiq kitab ini, beliau berkata bahwa kitab ini adalah kamus yang menjelaskan arti lafazh dan makna pengertian – pengertian yang sangat diperlukan oleh para Qadi dan Mufti. Kitab ini berisi sekitar 128 lafazh/ta’rif dan tidak tersusun berdasarkan abjad, tnamun dengan cara menurut kaitan makna kata – katanya, seperti contoh kata Al – Kull, Al – Ba’d, dan Al – Juz’u
Dari keterangan sebelumnya, beberapa hal yang perlu di ingat sebagai ciri khas perkembangan ilmu ushul fiqih pada abad ke 4 Hijriyah adalah tersusunnya kitab – kitab Ushul Fiqih yang mengandung masalah ushul fiqih secara lengkap dan tidak sepotong – sepotong seperti yang ada pada abad ke 3 Hijriyah. Apabila ada yang membahas kitab – kitab tertentu, hal ini hanya untuk menyanggah atau menguatkan pendapat tertentu dalam masalah itu.
Di samping itu, kitab – kitab yang tersusun pada abad ke 4 Hijriyah ini tersusun ke dalam bentuk yang lebih sempurna dalam bidang materi berpikir dan materi penulisannya, seperti yang ada dalam kitab Al – Fushul fi Al – Ushul, karangan Abu Bakar Ar – Razi.
Pada masa ini pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat mulai tampak, terutama metode berpikir menurut ilmu Manthiq dalam ilmu Ushul Fiqih. Hal ini tampak dalam masalah mencari makna dan definisi seuatu yang dalam ilmu Ushul Fiqih Al – Hudud adalah suatu hal yang tidak pernah ditemui dalam perkembangan (kitab – kitab) sebelumnya. Dampak dari pengaruh filsafat ini setidaknya ada 2, yaitu:
a.       Kecanduan pengarang dalam bidang ushul fiqih pada pola acuan dan kriteria manthiq dalam menerangkan makna – makna perumpamaan ushuliyah. Hal ini membuka jalan untuk mereka melakukan persyaratan dan keabsahan berargumen, yang pada waktunya mendukung pertumbuhan ilmu Ushul Fiqih selanjutnya
b.      Timbulnya banyak karangan dalam banyak bentuk baru yang independent untuk memberikan makna dan pengertian pada perumpamaan – perumpamaan yang khusus digunakan dalam ilmu ushul fiqih.[33]
3. Tahap pernyempurnaan (terjadi pada abad ke 5 – 6 Hijriyah).
Terbentuknya daulah – daulah kecil didunia adalah salah satu tanda melemahnya kekuatan politik di Baghdad. Hal ini justru memberikan pengaruh positif bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Sejarah peradaban Islam tidak lagi tertulis dan terfokus di Baghdad, namun juga di kota – kota besar di dunia, seperti Cairo, Bukhara, Gahznah dan Markusy. Para sultan dan raja – raja yang berkuasa dala daulah – daulah kecil itu memberikan perhatian besar pada perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Dari perkembangan itu, kemajuan dalam bidang ilmu Ushul Fiqih yang menjadikan sebagian ulama’ memberikan perhatian yang lebih untuk memperdalam ilmu Ushul Fiqih, dan beberapa di antara para ulama’ itu adalah: Al Baqilani, Al – Qahdhi Abd. Al Jabar, Abd Al Wahab Al Baghdadi, Abu Zayd Ad – Dabusy, Abu Husain Al – Ghazali, dan lain – lain. Mereka adalah tokoh keilmuan Islam pada masa itu. Para peneliti ilmu keislaman selanjutnya mengikuti metode dan jejak mereka, untuk merealisasikan kegiatan ilmiah dalam bidang ilmu ushul fiqih yang tidak ada tandingannya dalam penulisan dan penelitian keislaman. Karena itulah, pada masa itu generasi Islam selanjutnya tetap menunjukkan ketertarikannya pada hasil – hasil ushul fiqih dan membuatnya sebagai sumber pemikiran.
Selain menunjukkan adanya kitab ushul fiqih bagi setiap madzhab, kitab – kitab yang disusun pada masa ini juga menunjukkan adanya dua aliran ushul fiqih, yakni aliran mutakallimin dan aliran fuqaha atau aliran Hanafiyah. Ulama yang terkenal dari aliran mutakallimin adalah; Imam Al – Haramain, penulis Al – Burhan, Al – Ghazali dan penulis Al – Mustasyfa yang berasal dari kalangan Asy’ariyah, serta penulis kitab Al – Ahd, Al – Qadhi Abd Al – Jabar, dan penulis kitab Al – Mu’tamad, Abu Al Hasan Al – Bishri keduanya berasal dari golongan Mu’tazilah.
Periode penulisan kitab Ushul Fiqih terpesat terjadi pada abad 5 dan 6 Hijriyah. Pada abad ini pula beberapa kitab yang tersusun pada abad 5 dan 6 Hijriyah menjadi kitab standar dalam penelitian atau telaah ilmu ushul fiqih selanjutnya.
Berikut adalah kitab – kitab ushul fiqih yang paling penting pada abad 5 dan 6 Hijriyah :
a.       Kitab Al – Mughni fi Al – Abwab Al – ‘Adl wa At – Tawhid, adalah kitab karya Al – Qadhi Abd. Al – Jabbar (415 Hijriyah/1024 Masehi). Al – Qadhi juga mengarang kitab Al – Ahd, salah satu dari empat standar kitab ushul fiqih menurut Ibnu Khaldun. Kitab Al – Mughni tidak hanya membahas tentang kaidah – kaidah fiqih saja, dalam kitab ini juga terdapat kaidah – kaidah ilmu kalam yang bercorak Mu’tazilah ( aliran yang berpikir secara rasional dan disertai dengan pendapat – pendapat yang logis ). Menurut Al – Qadhi, ilmu kalam dan ilmu Ushul Fiqih dapat saling menyempurnakan satu sama lain.
b.      Kitab Al – Mu’amad fi Al – Ushul Fiqih, kitab ini ditulis oleh Abu Al – Husain Al – Bashri (436 Hijriyah/1044 Masehi). Kitab ini adalah kitab sempurna yang dijadikan pedoman utama bagi para ulama Mu’tazilah, kitab ini juga merupakan salah satu dari empat kitab ushul fiqih yang dijadikan sumber rujukan umum oleh para peneliti ilmu ushul fiqih setelahnya. Sekalipun ia penganut aliran Mu’tazilah dan berguru kepada Abd Al – Jabbar, ia juga sering berselisih pendapat dengan gurunya. Ia berbeda pemikiran dengan gurunya dalam masalah Ijza’ Al – Ibadat (kesempurnaan ibadah), soal yang diikuti dengan qayd (sifat), dia juga mengkritik definisi Al – Bayan yang diberikan oleh Asy – Syafi’i.
c.       Kitab Al – Iddaf di Ushul Al – Fiqih, kitab ini adalah karya dari Abu Al – Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad Al – Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalf Al – Farra (458 Hijriyah/1065 Masehi). Beliau disebut sebagai ulama’ besar madzhab pada abad ke 5 Hijriyah. Abu Ya’la merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh di kalangan Hambali hingga generasi setelahnya melalui berbagai karangan tentang Al – Qur’an, Aqidah, Fiqih dan ushul fiqih. Meskipun Abu Ya’la termasuk dalam aliran mutakallimin di bidang ushul fiqih dan menggunakan metode mereka dalam menjelaskan ushuk fiqih berbagai masalah furu dalam fiqih, beliau juga terpengaruh kitb yang beraliran Mu’tazilah, yakni kitab Al – Fushul karangan Abu Bakar Al – Jashshash dalam masalah Al – Bayan dan macam – macamnya, serta kitab Al – Mu’tamad karangan Abu Al – Husain Al – Bashri. Beliau berargumen bahwa seorang yang mendalami ushul fiqih, harus mempelajari dahulu soal – soal furu’ sehingga bisa mantap dalam mengerti makna istidlal dari kaidah – kaidah ushul.
d.      Kitab Al – Burhan fi Ushul Al – Fiqih, kitab yang disusun oleh Abu Al – Ma’ali Abd. Al – Malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al – Juwaini Imam Al – Haramain (478 Hijriyah/1094 Masehi) merupakan salah satu kitab yang dinilai sebagai salah satu kitab standar ushul fiqih yang terbaik dari kalangan muatakallimin, di samping kitab Al – Mustasyfa karya Abu Hamid Al – Ghazali, kitab Al – ‘Ahd karya Al – Husein Al – Bashri. Al – Juwaini menunjukkan keaslian dan kebebasan cara berpendapat, sehingga dalam berbagai hal yang ia tulis berbeda pendapat dengan Asy – Syafi’i, Al – Ash’ari, dan Al – Baqilani. Walaupun kitab ini adalah kebanggaan aliran Asy – Syafi’i, para ulama terkenal dan madzhab Malikiyah memberikan perhatian dan membuat syarah untuknya, yakni : Abu Abdillah Al – Maziri (536 Hijriyah/1141 Masehi), Abu Al – Hasan, Ali Ibnu Ismail Al Ayyari (616 Hijriyah/1219 Masehi), dan Ash – Shaf Abu Yahya. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya kesamaan pemikiran Al – Juwaini dengan pendapat Imam Malik dalam masalah istihsan dan maslahah mursalah.
e.       Kitab Al – Mustashfa min Ilm Al – Ushul, karya Abu Hamid Al – Ghazali yang juga dikenal sebagai hujjah Al – Islam. Menurut Ibnu Khaldun kitab ini adalah kitab terakhir dari seluruh kitab standar ushul fiqih. Al – Ghazali berguru kepada Imam Al – Haramain, dan pernah memimpin madrasah nizhamiyah. Al – Ghazali terkenal sebagai ulama’ yang mendalami beberapa ilmu keagamaan sekaligus, yakni bidang fiqih, filsafat dan tasawuf.
D.      Periode Perkembangan Mutaakhirin (Abad 6-7 H)
Pada periode ini kitab ushul fiqh disusun dengan menggunakan dua metode yaitu metode dari golongan hanafiyah dan metode dari golongan syafiiyah. Berbagai   penelitian terkait peraturan ushul fiqh dilakukan hingga sampai ditemukannya bukti-bukti, demikian pula diadakan penelitian juga mengenai cabang ilmu fiqh. Adapun kitab ushul fiqh yang ada pada masa ini yaitu kitab yang dikarang oleh Muzaddaruddin Al-Baghdadi Al-Hanafi (w. 694 H) berupa kitab Badi’un Nizam Jami’ Bazdawi Wal-Ahkam, oleh Ubaidillah bin Mas’ud Al-Bukhar Al-Hanafi (w.747) berupa kitab Tanqihul Usyul yang merupakan sarah At-Taudhih, oleh Kamauddin Muhammad Abdul Wahib (861 H)  berupa Kitab At-Tahrir, oleh Tajuddin Wahhab bin Ali As-Subki As-Syafi’I (w. 711 H) berupa kitab Jamul Jawami.[34]
E.       Periode Kepakuman (Abad 8H -Awal Abad 12 H)
Pada masa ini, para ulama fiqh meggunakan kitah-kitab yang sudah ada yang kemudian menulis syarah dari kitab tersebut. mereka meninjau dari kringkasan kitab yang syarahnya sudah mereka tulis kemudian kemudian menguraikan susunan kalimat ang ada dan mengungkapkan kerumitannya. Hal ini merupakan akibat dari propaganda pintu ijtihad yang ditutup, selain didahakannya umat islam pada gejolak politiik baik dari dalam ataupun luar.[35]
F.       Periode kebangkitan (Abad 12 H)
Pada masa ini, ilmu ushul fiqh mulai dilakukan penysusunan baru oleh kalangan modern, dalam penyusunan itu, mereka tetap memperhatikan dua aliran yang berkembang (Syafi’iyah dan Hanafiyah) dengan memberi keterangan mengenai aliran tersebut. diantara tokoh dan karyanya yaitu: Imam Syaukani (w. 1250 H) dengan kitabnya Irsyadul Fukhu Ila Tahqiqil Hak Min Ilmi Ushul, Muhammad Khudari Biek (w. 1245 H) dengan kitabnya Ushul Fiqh, Syekh Muhammad Abdurrrahman Abdul Mahwali (w. 1920) dengan kitabnya Tasyilul Wushul Ila Ilmi Ushul, Syekh Abdul Wahab Khalaf) dengan kitabnya Ilmu Ushul Fiqh.[36]
Kitab—kitab tersebutlah yang pada masa sekarang oleh pelajar baanyakan dipelajari, karena isi yang ada pada kitab tersebut tersusun dengan sistematis serta relatif lengkap.  Selain itu ilmu ushul fiqh pun juga banyak ditulis oleh para ulama dinegeri kita ini, denganmenggunakan penyajian bahasa Indonesia, sehingga memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mempelajarinya. Diantara kitab-kitab mereka yaitu kitab yang dikarang oleh Hasbi Ash-Shidqiey berupa kitab pengantar hukum islam, A. Hanafi, M.A. berupa kitab Ushul Fiqh, Z. Abidin Ahad, berupa kitab Ushul Fiqh, dan lain sebagainya. [37]
Demikian itu merupakan garis besar dari sejaran pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh, yang hingga saat ini bayak hasil karya yang sampai pada kita, sehingga bisa dijadikan sebagai dasar dalam memahami syariat islam.[38]
G.      Penutup
Pertumbuhan dari ilmu fiqh sebenarnya bersamaan dengan sejarah dari ilmu ushul fiqh sendiri, dimana pada masa Nabi Muhammad dalam menyelesakan permasalah disini diserahkan kembali kepada Raslulllah, kemudian setelah meninggalnya beliau yaitu pada masa sahabat praktek ushul fiqh telah diterapkan wlaupun belum disebut dengan ilmu ushul fiqh, dimana dalam memberikan putusan hukum disini mulai mulai muncul qiyas dan ijma yang merupakan dasar hukum setelah Al-Qur’an da hadits. Kemudian pada masa tabi’in ijma sebagai metode dalam menggali hukum fiqh menjadi lebih maju. Pada masa imam mujtahid  disini berbagai golongan mengklaim bahwa dari masing-masing(golongan hanafiyah, syafi’iyah, malikiyah dan syiah imamiyahmerekalah yang menjadi pelopor dari munculnya ilmu fiqh.
Perkembangan dari ilmu ushul fiqh dimulai pada abad ke 3 H yang ditandai dengan adanya kitab ar-risalah dari imam syafi’I yang merupakan ciri khas pada masa ini, selanjutnya pada aba ke-4 H ilmu fiqh menjadi semakin berkemban, kitab ushul fiqh menjadi lebih lengkap dari pada masa sebelumnya. Selain itu pada masa ini, paara ahlin fiqh serta penganut mazhab fiqh semakin mantab terhadap aliran-aliran fiqh yang dianutnya. Pada abad ke 5-6 H merupakan abad penyempurnaam ilmu ushul fiqh. Pada abad ke 6-7 H dilakukan berbagai penelitian mengenai peraturan ilmu ushul fiqh dilakukan selain itu dilakukan pula penelitian mengenai cabang ilmu fiqh, kemudian pada abad 8-12 H muali dituis sarah dari kitab-kitab yang sudah ada sebelumnya. Hingga pada abad akhri ke 12 H. kemudian pada abad ke 12 H, ilmu ushul fiqh mulai dilakukan penyusunan kembali oleh ulama modern.







DAFTAR PUSTAKA
Biek, Muhammad Al-Khudari. 2007. Ushul al-Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh,. Jakarta: Kencana
Hayat, Abdul. 2016. Ushul Fiqh: Dasar-dasar untuk memahami Fiqh islam. Jakarta: Rajawali Press.
Hasbiyyallah. 2013. Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal. Bandung: Rosda

Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikh; Kaidah hukum Islam.Terj Faiz el Muttaqin Jakarta: Pustaka Amani.
Mutahhari, Murtadha. dan As-Shadr, M. Baqir. 1993. Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan. Terj. Satrio Pinandito dan Ahsin Muhammad. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Saebani, Beni Ahmad, dan januri. 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia
Syafe’i, Rachmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung; CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh; Jilid 1. Jakarta: Kencana
Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur. 2012. Bahan Ajar Fiqih Madrasah Aliyah Program Keagamaan. Surabaya; Tim Penyusun Buku Ajar MGPK Provinsi Jawa Timur.


Catatan:
1.      Similarity 13%.
2.      Abstrak tidak representatif, tidak berisi kesimpulan dari makalah ini.
3.      Mana ada penjelasan mengenai metode mutakallimin dan fuqaha?





[1]Murtadha Mutahhari, dan M. Baqir As-Shadr, Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan Terj. Satrio Pinandito dan Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993),.11.
[2]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2011),. Hal 42.
[3]Abdul Hayat, Ushul Fiqh: Dasar-dasar untuk memahami Fiqh islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2016).hal. 4.
[4]Muhammad Al-khudari Biek, Ushul Fikh, Terj. Faiz el Muttaqien, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hal. 3.
[5]Abdul Hayat, Op. Cit., hal. 4.
[6]Amir Syarifudin, Op. Cit., hal. 43.
[7]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikh; Kaidah hukum Islam, Terj. Faiz el Muttaqin, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal. 8
[8] Muhammad Al-khudari Biek, hal. 3.
[9]Abdul Hayat, Op. Cit., Hal. 6.
[10]Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 41.
[11]Ibid., Hal. 43
[12]Abdul Hayat, Op. Cit., Hal. 7
[13] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 17.
[14]Ibid.,  hal. 18
[15]Beni Ahmad Saebani,dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung; CV Pustaka Setia, 2009), hal.117.
[16]Ibid., hal. 117
[17]Ibid., Hal. 117
[18]Ibid.,hal. 118
[19]Ibid., hal. 119
[20]Wahab Khalaf, Op. CIt., hal. 9
[21] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung; CV Pustaka Setia, 2015),. Hal 30
[22]Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur, Bahan Ajar Fiqih Madrasah Aliyah Program Keagamaan, (Surabaya; Tim Penyusun Buku Ajar MGPK Provinsi Jawa Timur, 2012),. 51
[23]Rachmat Syafe’i, op.cit,. hal 31
[24]ibid,. hal. 31.
[25]Ibid,. hal 32.
[26]Ibid., hal.32.
[27]Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung; CV Pustaka Setia, 2009),. Hal 122 - 123
[28]Ibid,. hal 123.
[29]Rachmat Syafe’i, op.cit,. hal 34
[30]Ibid,. hal 34.
[31]Ibid., hal. 34
[32]Ibid,. hal 35
[33]Ibid, hal 36
[34]Abdul Hayat, Op. Cit., hal. 10-11
[35]Ibid., hal. 11.
[36]Ibid., hal. 12.
[37]Ibid., hal. 12.
[38]Ibid., hal. 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar