SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
Ulfa
Hidayatur Rohmah dan Zumrotul Laila
Mahasiswa
Pendidikan Agama Islam “ C “
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email
: zumrotul61@gmail.com
Abstract
This article explains the growth history and history of the development of
usulfiqh. Where ushulfiqh itself is one branch of science that is quite
important in Islam, because the science of ushulfiqh is a science that
discusses the origin of the law of a matter set. The Islamic jurisprudence
itself grows and develops on problems that occur among Muslims that make ulama
'ijtihad for problems that do not find solutions and cause disputes or
differences of opinion among Muslims.
Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang sejarah pertumbuhan dan sejarah
perkembangan ushul fiqih. Dimana ushul fiqih sendiri adalah salah satu cabang
ilmu yang cukup penting dalam Islam, karena ilmu ushul fiqih merupakan ilmu
yang membahas tentang asal muasal hukum suatu perkara ditetapkan. Ushul fiqih
sendiri tumbuh dan berkembang atas masalah – masalah yang terjadi di kalangan
umat Islam yang membuat para ulama’ ber ijtihad atas masalah yang tidak
menemukan penyelesaian dan menimbulkan perselisihan atau perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam.
Kata
kunci : Sejarah, Pertumbuhan, Perkembangan, Ushul Fiqih
A.
Pendahuluan
Dengan berkahirnya masa hidup rasulullah maka berakhir pula wahyu
Allah, sehingga setelah meninggalnya beliau tidak ada tempat
lagi untuk bertanya. Seiring berkembanngnya waktu, berbagai masalah baru
muncul, tetapi dalam kenyataannya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan sunnah
mengenai jawaban yang eksplisit dari
permasalahn yang muncul, Sehingga untuk menjawab permaslahan-permasalahan
tersebut maka harus digunakan dasar terkait prinsip-prinsip hukum yang
berkaitan yang disebut dengan ilmu ushul fiqh.
Ushul fiqh merupakan ilmu yang digunakan sebagai dasar dalam
melakukan sebuah ijtihad ketika menetapkan hulum permasalahan, dimana permasalah
tersebut selalu berganti sementara masalah itu tidak ditemukan dalam Al-Qur’an
dan hadits. Tanpa adanya sebuah ijtihad maka dapat dipastikan kita akan menemui
berbagai kesulitan dalam memberikan bukti bahwa islam cocok dalam segala
keadaan, baik waktu ataupun tempat.[1]Permasalahan-permasalahan
baru itu timbul tidak lain adalah karena
setiap aktivitas serta perilaku manusia itu memiliki corak yang
berbeda-beda. Walau bagaimanapun, untuk menyelesaikan hal itu maka dibutuhkan
ketetapan landasan atau sebuah patokan sehingga sampai pada konklusi mengenai
aturan ataupun kaidah-kaidah umum.
Sebenarnya ushul fiqh sendiri telah ada bibitnya pada masa sahabat
sepeninggalan Rasulullah, karena dimasa ini sudah ada permasalahan-permasalah
hukum dan sabahat pun juga menggunakan kaidah-kaidah tertentu dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut. dari hal itu kaidah-kaidah dalam
menetapkan hukum pun akhirnya berkembang hingga generasi selanjutnya. dan
akhirnya timbullah berbagai klaim
anggapan mengenai pencetus dalam fiqh itu sendiri .sehingga untuk mengetahui bagaimana ilmu ushul fiqh
itu ada hingga sampai saat ini maka pembahasan mengenai sejarah pertumbuhan dan
perkembangan ilmu ushul fiqh ini sangat penting untuk dikaji, karena dengan
mengkaji mengenai hal ini kita akan mengetahui tentang asala-usl bagaimana
suatu hukum itu ditetapkan, yang pada akhirnya bisa sampai kepada pada kita
hingga zaman sekarang, dimana dalam hal ini tidak lain adalah menggunakan
sebuah kaidah-kaidah tertentu yang disebut dengan ushul fiqh. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, akan
diungkan mengenai bagaimana asal-usul sejarah dan perkembangan dari ilmu ushul
fiqh.
B.
Sejarah
Pertumbuhan Ushul Fiqih
Lahirnya serta berkembangnya
ilmu ushul fiqh tidak terlepas dengan lahir serta berkembangnya ilmu
fiqh, dimana sebelum fiqh itu ada, ilmu ushul fiqh harus ada terlebih dahulu.
fiqh merupakan hukum syara’ yang bersal dari dalil-dalil yang sudah ditetapkan
dan dirumuskan dengan aturan-aturan tertentu.
Sehingga dalam menghasilkan fiqh
sendiri harus tedapat pedoman ataupun
kaidah-kaidahnya. Ushul fiqh merupakan pedoman atau kaidah-kidah yang digunakanoleh seorag fakih dalam merumuskan dan menetapkan hukum syara’
dari dalil yang terperinci.[2]
1.
Masa awal
perkembangan islam
Sebenarnya, benih-benih dari ushul fiqh sudah ada pada masa awal
perkembangan islam. Masa awal perkembangan islam merupakan masa ketika
Rasulullah hidup. pada masa ini, rasulullah menggunakan Al-Qur’an dan Hadits
sebagai dasar dalam menetapkan hukum atas segala peristiwa yang terjadi.
Perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan agama islam sangat luar biasa, hingga
pada akhirnya islam pun tersebuar keberbagai negara. Ketika islam berkembang
dan tersebar ke berbagai Negara seperti mesir, yaman, irak, dan negaraa
lainnya, sementara Raslulullah berada dikota-kota tersebut dan sahabat jauh
dari beliau, sedangkan saat tidak adanya beliau terdapat berbagai peristiwa,
dimana peristiwa tersebut tidak didapati dalam Al-Qur’an dan hadits, maka
sahabat melakukan ijtihad yang bersifat sementara dalam menetepakan hukum
terkait dengan peristiwa itu. Ketika mereka (sahabat) bertemu lagi dengan
Rasulullah maka mereka menanyakan kembali tentang hal itu, dan rasulullah pun
membenarkannya.[3]
Dalam keterangan hadits, yaitu Ketika Rasulullah mengutus Mu’adzz
ibn Jabal menuju ke Yaman beliau bertanya mengenai cara mu’ad dalam memutuskan
perkara, kemudian mu’adz memberi jawaban bahwasanya ia memutuskan perkara
dengan kitab Allah. Kemudian Rasulullah melanjutkan pertanyaannya mengenai apa
yang dilakukan ketika tidak didapatkan hal tersebut dari Al-Qur’an, mu’adz
memberi jawaban bahwasanya ia menggunakan sunah Rasulullah, dan apabila tidak
mendapatkannya lagi maka melakukan ijtihad berdasarkan pendapatnya . dari
jawaban tersebut, rasulullah pun membenarkannya.[4]
Dari kejadian ini, maka nampak bahwa dasar-dasar ilmu fiqh sudah
mulai terlihat, walaupun bukan disebut ilmu ushul fiqh. Hal ini tergambar
ketika terjadi sebuah peristiwa dimana
peristiwa itu tidak ada ketentuan hukumnya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah,
maka dilakukan sebuah itihad oleh sahabat dan Rasulullah memperbolehkan
mengenai ijtihad tersebut, walaupun keputusan terakhir dalam penetapan hukum
itu berada itu berada pada Rasullulah.[5]
2.
Masa
Sahabat
sesungguhnya perumusan fiqh itu sudah dimulai setelah meninggalnya
Rasulullah SAW yaitu pada masa sahabat.. Diantara
para sabaht, seperti umar bun Khattab, Ali bin Abi Thali, Ibnu Mas’ud ketika
menyampaikan pendapat mengenai hukum mereka sesungguhnya sudah memakai pedoman
atau aturan saat merumuskan, dimana mereka mengikuti secara langsung dari
prakitk Raslullah dalam
pembentukan hukum, sehingga mereka mengetahui betul mengenai cara dalam
memahami sebuah ayat serta mampu menangkap tujuan dari pembentukan hukum
tersebut.[6]
Dalam memberikan putusan hukum serta fatwa, para sahabat
menyandarkan putusan itu berdasarkan pemahaman mereka terrhadap nash
Al-Qur’an, selain itu kemampua bahasa
Arab yang dimiliki juga kuat yang merupakan bahasa Al-Qur’an. Dalam menetapkan
hukum, mereka mendasarkan kepada apa yang dipahaminya selama bersama
Rasullullah, sehingga mereka mengetahui tentang pemahaman terkait turunnya
ayat hingga dijadikan sebagai dasar
penetapan hukum dan alasan tujuan hukum tersebut dibuat.[7]
Karena ketajaman berpikir serta kejerniha hati mereka, maka
mereka belum membutuhkan hal apapun
seperti pengetahuan mengenai berbagai kaidah perubahan bentuk kata dalam
memberi sebuah ketentuan hukum. Mereka merujuk langsung kepada sumber Al-Qur’an
apabila didapati sebuah peristiwa, jika dalam Al-Qur’an sendiri tidak terdapat
penjelasan mengenai perisitiwa tersebut maka mencari penjelasan hukum melalui
As-Sunnah, dan apabila masih belum didapati kepastian dari hukum tersebut, maka
melakukan ijtihad dengan menyamakan hal-hal yang mirip tentang suatu peristiwa
itu atas apa yang ada dalam Al-Qur’an serta As-sunaha dengan berbaagai
pertimbangan dan mempertahankan kemaslahatan bersama yang sesuai dengan
syariat.[8]
ijtihad dalam penyelesaian hukum
tersebut dengan menyandingkannya permasalah berdasarkan ilat yang sama,
maksudnya adalah membandingkan persoalan yang
tidak terdapat didalam nash hukumnya, dengan persoalan yang ada dalam
nash hukumnya, tetapi terdapat persamaan
mengenai seba-sebab (ilat) yang dinamakan dengan qiya. Sehingga qiyas dijadikan
sebagai sumber ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits. dengan memperbandingkan
hasil ijtihad tersebut pada sumber hukum Al-Qur’an dan hadits. Kemudian,
apabila para sahabat sepakat mengenai hukum dengan pandangan akan terjaga dari
sebuah kesalah maka muncullah hukum yang disebut ijma, yang merupakan sumber
hukum keempat setelah Al-Qur’an, hadits, dan qiyas.[9]
Ijtihad mengenai hal-hal yang dilakukan oleh sahabat salah satunya
yaitu Ali ibn Abi Thalib, dimana beliau dalam penetapan hukum kepada orang yang
meminum khamr dengan memberikan hukum 80 kali cambuk dengan menggunakan kaidah
saddudzariah yaitu dengan menghalangi akan terjadinya kejahatan lain yang akan
timbul dari hal tersebut (meminum khamr). Dimana beliau memberikan pernyatan
bahwa minum kham akan membuat seseorang menjadi mabuk, sehingga ketika
seseorang mabuk otomatis akan terbukan pintu kejahatan seperti tuduhan berbuat
zina kepada orang lain, sehingga Ali memberikan sanksi mengenai tuduhan zina.[10]
Abdullah ibn Mas’ud dalam menetapkan sebuah fatwa ia menggunakan
pemahaman dengan takhsis. Yaitu ketika
ia menetapkan batas iddahnya wanita hamil atas kematian suaminya adalah ketika
wanita itu melahirkan. Dalam menetapkan sebuah pendapat sebelumnya ia
mendasarkan pada surat at-thalaq (4 dan 6). Walaupun terdapat surat lain yaitu
surat Al-Baqarah ayat ke 228. Dalam menetapkan hal At-Thalaq sebgai dasar
adalah atas alasan bahwa surat tersebut datang setelah surat Al-Baqarah.
Sehingga ayat yang datang setelahnya menghapuskan dalil sebelumnya, dlam hal
ini disebut dengan nasakh masukh. Dari hal tersebut dapat terlehat bahwa kaidah
ushul fiqh sebenarnya telah digunakan pada masa itu,walaupun belum disebut
dengan ushul fiqh.[11]
3.
Masa
Tabi’in
Abad 2 Hijriyah merupakan abad permulaan masa tabi’in, dimana pada
masa ini perkembangan islam menjadi lebih luas hal ini ditandai dengan
banyaknya pemeluk islam yang bukan hanya dari bangsa arab tetapi juga
orang-orang selain Arab. Pada masa ini berbagi permasalahan semakin berkembang
dan lebih komplek. Berbagai persoalan-persoalan hukum mulai bermunculan.[12]pada
pasa ini para tabi’in atas bimbingan Rasulullah tampil memberikan fatwa
mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi diantaranya yaitu di Irak terdapat
Ibrahim al-Nakha’i dan Al-Qamah ibn Qays, serta di Madinah terdapat Sa’id ibn
al-Musayyab dalam menyampaikan fatwanya mereka merujuk kepada Al-Qur’an dan
Sunah rasul sebagai dasar dalam penetapan hukum. Apabila tidak ditemukannya
hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut maka mereka menetapkan hukum
itu dengan merujuk kepada fatwa sahabat, qiyas, ijma’ serta maslahah mursalah.[13]
4. Masa Imam Mujtahid (Al-Aimmat
Al-Mujtahidin)
Pada masa ini yaitu masa setelah
tabi’in sebelum imam As-Syafi’i berbagai variasi dalam pemahaman semakin jelas,
sehingga semakin jelas pula metode istimbath yang digunakan. Sebagimana yang
digunakna oleh Abu Hanifaah yang merupakan pendiri dari madzhab hanafi, bahwa
beliau banyak dikenal dengan menggunakan metode istinbath dan qiyas. Dalam
beristinbat, imam abu hanafi menggunakan dasar Al-Qur’an, apabila tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an maka menggunakan hadits sebagai pedoman, dan apabila
tidak ditemukan pula dari hadits maka beliau berpedoman pada pendapat para
sahabat yang telah disepakati. Dan apabila terdapat penapat yang berbeda
diantara para sahabat maka imam abu hanifah
memilih dari penapat-pendapat tersebut dan diambiny satu pendapat.
Sehingga dalam berijtihad ia menggunakan qiyas dan istihsan. Beliau tidak
menggunakan dasar pendapat tabi’in karena beliau sejajar dengan tabi’in.[14]
Begitu juga dengan Imam Malik ibn
Anas yang merupakan pendiri daru madzhab Maliki, metode yang digunakan beliau
pun juga jelas, yaitu dengan berpegangan berdasarkan amalan perbuatan
masyarakat madinah, beliau lebih percaya terhadap amalan masyarakat madinah
dari pada terhadap hadis ahad. [15]
Mulai dari masa rasullullah,
hingga periode ini telah terjadi perkembangan filososfis. Sehingga menjadi ide
dari lahirnya ilmu ushul fiqh, walaupun ushul fiqh sendiri belum dibukukan dan
menjadi disiplin ilmu pada masa tersebut[16]
Pada masa ini, wilayah kekuasaan
islam semakin luas hingga ke Romawi, hal ini menimbulkan semakin banyak pula
berbagai persoalan hukum baru yang belum ditemui sebelumnya, sehingga dari
persoalan-persoalan yang ada dibutuhkan jawaban. Sahabat-sahabt yang dijadikan
landasan oleh para tabi’in dalam menemukan jawaban juga keberadaanya pun
semakin berpencar, oleh karena itu dari sini terdapat ide atau gagasan dalam
mengkaji ushul fiqh agar dalam mempelajari serta dalam penerapan terkait dengan
pemecahan masalah lebih mudah dengan melalui pembukuan mengenai kaidah-kaidah
dalam penetapan hukum.[17]
Berbagai gologan mengklaim bahwa
mereka yang melakukan penyusunan pada ilmu ushul fiqh. Seperti golongan
hanafiyah, malikiyah, syiah imamiyah, dan syafiiyah. Golongan hanafiyah
mengklaim bahwa dari merekalah ilmu ushl fiqh it disusun, adapun yang menyusunnya
ilmu ushul fiqh pertama kali yaitu Abu Hanifah, Muhammad Ibn Ali Al-Hasan,
serta Abu Yusuf. Alasan Abu Hanifah sebagai orang pertama yang menyusunnya
adalah karena berdasarkan buku karangan Abu Hanifah yaitu Ar-Ra’y bahwa metode
istinbath merupakan metode yang yang disusun pertamakali oleh Abu Hanifah. Demikian Abu Yusuf bahwa dalam madzhab
syafi-i beliau adalah orang yang pertma menyusun fiqh, serta Muhammad Ibnu
AL-Hasan bahwa beliau adalah yang terlebih dahulum menyusun Ushul Fiqh sebelum
Imam Syafi’i, karena As-Syafi’i sendiri adalah murid dari Muhammad Ibnu
Al-Hasalan. Tetapi musthafa Abdul ar raziq mengkritik pernyataan tersebut,
dengan alasan bahwa jika memang benar bahwa Muhammad Ibnu Al-Hasan dan Abu
Yusufyang menyusun kitab itu, hal tersebut bukan lain adalah mendasarkan kepada
kitab hanfiyah berupa dukungan atas metode istihsan, tetpai para ahli hadits
sangat menentang itu. jika yang diklaim sebagai orang yang pertama kali
berbicara mengenai ushul fiqh adalah Muhammad Al-Hasan, maka tidak salah juga
apabila Imam Syafi’i juga disebut sebagai penyusun pertama kali ushul fiqh yang
memuat kaidah-kaidah sebagai disiplin ilmu yang digunakan untuk rujukan dalam
mengistinbatkan hukum. dengan kaidah-kaidah.
Berdasarkan klaim dari golongan
Malikiyah ia menyatakan bahawa memang bukan imam malik yang pertama kali
menyusun kitab ushul fiqh, tetapi mereka mengklain bahwa orang yang pertama
kali berbicara mengenai ilmu ushul fiqh adalah Imam Malik. Walau bagaimanapun,
Abdul Wahab mengakui hal tersebut dan ia menerima atas pernyataan bahwa yang menjadi perintis dari ushul fiqh
adalah Imam Malik[18]
Golongan Syi’ah Imamiyah juga
memberi klaim bahwaMuhammad Al-Bagir Ibn Ali, yang dilanjutkan oleh anaknya
adalah penyususn kitab ushul fiqh pertama kali.
menurut As-ad Haidar menyatakan bahwa yang menjadi perintis sekaligus
peletak dasar ushul fiqh adalah Imam Bagir, sedangkan yang menjadi penyusun
ilmu ushul fiqh pertama kali adlaah Al-Hisyam Ibnu Al-Hakam, dimana dalam kitab
yang ditulisnya yaitu Al-Ahfazh, terdapat pembahasan yang sangat penting
didalamnya mengenai ilmu ushul. Kemudian Yunus Ibnu Ar-Rahman meperjelas
didalam kitabnya Al-ikhtilaf al-hadis wa masailah mengenai
masalah perpaduan serta, dua hadits yang bertentangan serta dalam
pentarjihan. Yang kemudian ushul fiqh berkembang luas.
Golongan syafiiyah juga mengklaim
bahwa yang menyusun kitab ushul fiqh adalah imam syafi’i. berdasarrka pernytaan
Al-Allamah Jamal Ad-Din mengungkapkan bahwa toko besar yaitu Imam Syafii adalah
orang yang pertama menyusun kitab mengenai ilmu ushul fiqh yang sampai sekarang
ada kepada kita yaitu kitab Ar-Risalah.[19]
Dari kesemuanya, kemudian para
ulama mengenal bahwa Imam Syafi’i
merupakan peletak dasar dalam ilmu ushul fiqh, karena beliau adalah orang yang
membahas secara sistematis dan membukukan menenai kaidah ushul fiqh dengan
dukungan berdasarkan keterangan-keterangan serta metode penelitian yang beliau
tulis dalam ktab ar-Risalah yang hingga sampai sekarang ada pada kita[20]
C. Tahapan – Tahapan Perkembangan Ushul Fiqih
Menurut Prof. Dr. Rachmat Syafe’i dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih,
tahapan tahapan perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi menjadi tiga tahapan,[21]
yakni:
1.
Tahap awal
(terjadi pada abad ke 3 Hijriyah)
Pada abad ke 3 Hijriyah, kekuasaan Islam berada dibawah naungan pemerintahan
Dinasti Abbasiyah, yang pada saat itu dipimpin oleh khalifah – khalifah
Abbasiyah yang terkenal dengan kepeduliannya terhadap perkembangan ilmu – ilmu
keagamaan dan dunia pendidikan, yaitu : Al – Ma’mun (218 Hijriyah), Al –
Mu’tashim (227 Hijriyah), Al – Wasiq (232 Hijriyah), Al – Mutawakkil (247
Hijriyah), dan Harun Al – Rasyid. Ilmu – ilmu keagamaan semakin meluas dan
berkembang objek pembahasannya, hal ini dimulai dari banyaknya penerjemahan
buku – buku filsafat Yunani ke dalam Bahasa Arab yang kemudian ditambahkan
penjelasan – penjelasan (syarah). Dari sinilah mulai berkembang bidang
fiqih yangmendukung juga perkembangan metode berfikir fiqih yang disebut dengan
Ushul Fiqih.[22]
Salah satu ciri khas pada tahap awal ini adalah penggunaan kitab Ar-Risalah,
karangan Asy-Syafi’i. Kitab ini membahas tentang pemikiran – pemikiran ushul
fiqih secara utuh dan mencakup masalah – masalah ushuliyah yang menjadi
focus perhatian para ahli fiqih pada abad itu. Ar – Risalah menjadi satu
– satunya rujukan bagi para ulama’ untuk mendapatkan kaidah – kaidah umum ushul
fiqih dan mengetahui tingkatan dalil – dalil syar’i mengenai ushul fiqih.[23]
Meskipun banyak kitab ilmu ushul fiqih yang tersusun pada
tahap awal perkembangan ushul fiqh ini, para penulis kitab ilmu ushul
fiqih tetap bergantung dan berpedoman dengan Ar – Risalah dan Asy –
Syafi’i, karena Asy – Syafi’i adalah pengarang yang pertama kali membuka
pemikiran ilmu ushul fiqih secara lengkap.
Namun, karena banyaknya pemikiran ushuliyah yang termuat
dalam kitab – kitab fiqih, pengikut ulama’ – ulama’ tertentu malah
mengklaim bahwa imam madzhab mereka sebagai pelopor pertama ilmu ushul
fiqih. Seperti contoh golongan Malikiyah, mereka mengklaim bahwa Imam
Madzhabnya sebagai perintis pertama ushul fiqih, karena Imam Malik telah
membahas beberapa kaidah ushuliyah dalam kitabnya Al – Muwaththa. Imam
Malik menolak dengan tegas tentang kemungkinan adanya dua hadist yang shahih
yang berlawanan dari Rasulullah SAW pada saat yang sama, karena beliau
berprinsip bahwa kebenaran hanya diperoleh dari dalam satu hadist saja.[24]
Catatan penting dalam abad ini adalah, pada abad ke 3 Hijriyah
banyak ulama’ – ulama’ besar yang merintis dasar berdirinya madzhab –
madzhab fiqih. Dengan berdirinya banyak madzhab – madzhab fiqih ini,
otomatis menimbulkan banyak perbedaan – perbedaan pendapat, prinsip, dan
pengungkapan pemikiran ushul fiqih dari para imamnya. Seperti contoh
golongan Asy – Syafi’i yang tidak menyetujui metode penggunaan istihsan yang
terkenal di kalangan Hanafiyah, begitupun sebaliknya Hanafiyah yang tidak
menggunakan metode – metode penetapan hukum berdasarkan hadist – hadist yang
dijadikan pedoman oleh Asy – Syafi’i.[25]
Dari perbedaan pendapat dan metode dari masing – masing madzhab yang
diiringi dengan perbuatan saling mengkritik antara satu dengan yang lain adalah
salah satu factor pendukung semangat penelitian ilmiah yang disertai dengan
sikap antusiasme dari kalangan ahli fiqih pada abad ke 3 Hijriyah ini. Dan
semangat penelitian dan telaah ilmiah ini terus berkembang hingga abad ke 4
Hijriyah.[26]
2.
Tahap
perkembangan (terjadi pada abad ke 4 Hijriyah)
Berkurangnya kekuatan politik Dinasti Abbasiyah dalam bidang
politik terjadi pada abad ke 4 Hijriyah. Namun, hal ini tidak menyurutkan
semangat para pemimpin daulah Abbasiyah untuk terus mengembangkan dan memajukan
negeri yang dipimpinnya dengan terus mendukung kaum intelektual untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan di negerinya, meskipun Dinasti Abbasiyah telah
terbagi menjadi daulah – daulah kecil yang dipimpin oleh seorang sultan.
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan juga didukung dengan terjadinya
desentralisasi ekonomi yang menyangga kesejahteraan perkembangan ilmu
pengetahuan di daulah – daulah kecil itu.[27]
Ciri khas yang terdapat di bidang pemikiran fiqih Islam pada
tahap perkembangan ushul fiqih ini adalah berhentinya pemikiran liberal
Islam yang berlandaskan ijtihad muthlaq. Berbeda jauh dengan bidang ushul
fiqih. Terhentinya ijtihad dalam fiqih dan inisiatif usaha – usaha
untuk menelaah pemikiran – pemikiran para ulama’ terdahulu dan men tarjih kannya
justru memberikan keuntungan yang sangat besar begi perkembangan ushul
fiqih.[28]
Hal tersebut berpengaruh kepada ushul fiqih karena dalam
menelaah dan men takhrij kan pemikiran para ulama’ terdahulu dibutuhkan
penelitian hingga akar – akarnya dan evaluasi kaidah – kaidah ushul yang
menjadi dasarnya. Karena hal itu, ilmu ushul semakin berkembang yang menjadi
dasarnya dan lambat laun ushul fiqih semakin berkembang, di samping itu
hal ini didukung karena masing – masing madzhab menyusun kitab ushul
fiqih.[29]
Pendapat Muhammad Al-Khudari Beik mengenai perkembangan fiqih Islam
pada abad ke 4 Hijriyah yakni “ Usaha mereka untuk menjelaskan illat – illat
hukum yang di istinbath kan oleh para imam mereka tidak bisa
direalisasikan apabila ternyata dari sekian banyak hukum yang didapatkan dari
para imam mereka tidak memiliki illat, dan para ahli fiqih mempunyai
perbedaan dalam memastikan atau men takhrij kan iilat tersebut.
Keterangan illat membuka inisiatif untuk berpendapat dalam hal yang
tidak ada nash-nya dari para imam yang terlibat. Jika illat yang
menjadi pondasi nash-nya telah diketahui, mereka (penganut madzhab)
dapat merealisasikan apa yang disebut dengan ushul yang dipilih sebagai
dasar oleh para imam mereka dalam meng istinbath kan hukum. “[30]
Dari sini, para ahli fiqih mendapatkan lapangan baru untuk ber ijtihad
di bidang ushul fiqih daripada ber ijtihad di dalam bidang
fiqih. Para ahli fiqih mengeluarkan pendapat dan pemikiran mereka secara
mandiri dan liberal, serta mempunyai keunikan dan keaslian yang belum pernah
dimiliki oleh ulama’ terdahulu. Salah satu hal yang turut mendukung adalah
kecenderungan para ahli fiqih pada ilmu aqliyah, yakni filsafat, sehingga ikut
memberikan warna metode berpikir Islam saat itu.[31]
Jadi dapat dikatakan bahwa terhentinya ijtihaf muthlaq bagi
para ulama’ saat itu tidak menyurutkan perkembangan ilmu ushul fiqih, bahkan
muncul usaha untuk menelaah dan melakukan pembelajaran mendalam di bidang ilmu ushul
fiqih. Walaupun tidak melakukan istinbath hukum yang tidak sejalan
dengan madzhab-nya, mereka bisa menemukan pendapat – pendapat yang bisa
memperkuat pendirian madzhab-nya itu dalam ushul fiqih. Dengan
demikian, secara material dibutuhkan ukuran untuk membandingkan pendapat –
pendapat yang berbeda – beda pada masa itu yang menjadi perselisihan, maka ushul
fiqih lah sebagai alat tahkim dalam menyelesaikan perselisihan –
perselisihan.
Salah satu tanda berkembangnya ilmu ushul fiqih ushul fiqih pada
abad ke 4 Hijriyah ini adalah terbitnya kitab – kitab Ushul Fiqih karangan dari
para ahli fiqih, dan beberapa kitab yang terkenal yakni :[32]
a.
Kitab Ushul
Al – Kharkhi, penulisnya adalah Abu Al – Hasan Ubaidillah Ibnu Al – Husain
Ibnu Dilal Dalaham Al – Kharkhi ( 340 Hijriyah ). Kitab ini berisi 39 kaidah –
kaidah ushul fiqih dan bercorak Hanafiyah. Ada salah satu kaidah yang
menunjukkan sikap fanatic penulis terhadap madzhab-nya menurut sebagian
ulama’ adalah “ Pada dasarnya setiap ayat yang berselisih dengan perkataan
sahabat – sahabat kami memiliki arti nasakh atau tarjih, sehingga
wajib di takwil kan untuk menyelaraskannya”. Perkataan ini sangat jelas
menunjukkan sikap lebih mengutamakan perkataan imam – imamnya daripada teks
ayat dan sunnah
b.
Kitab Al –
Fushul fi Al – Ushul, kitab karang Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar – Razim ini
juga disebut dengan Al – Jashshash (305 – 370 Hijriyah). Kitab yang
bercorak Hanafiyah ini banyak mengeritik isi kitab Ar – Risalah tentang
masalah Al – Bayan dan istihsan.
c.
Kitab Bayan
Kasf Al – Ahfazh, pengarangnya adalah Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu
Ziyad Al – Lamisy Al – Hanafi. Dr. Muhammad Hasan Musthafa Asy – Syalaby telah
men tahqiq kitab ini, beliau berkata bahwa kitab ini adalah kamus yang
menjelaskan arti lafazh dan makna pengertian – pengertian yang sangat
diperlukan oleh para Qadi dan Mufti. Kitab ini berisi sekitar 128 lafazh/ta’rif
dan tidak tersusun berdasarkan abjad, tnamun dengan cara menurut kaitan
makna kata – katanya, seperti contoh kata Al – Kull, Al – Ba’d, dan Al
– Juz’u
Dari keterangan sebelumnya, beberapa hal yang perlu di ingat
sebagai ciri khas perkembangan ilmu ushul fiqih pada abad ke 4 Hijriyah
adalah tersusunnya kitab – kitab Ushul Fiqih yang mengandung masalah ushul
fiqih secara lengkap dan tidak sepotong – sepotong seperti yang ada pada
abad ke 3 Hijriyah. Apabila ada yang membahas kitab – kitab tertentu, hal ini
hanya untuk menyanggah atau menguatkan pendapat tertentu dalam masalah itu.
Di samping itu, kitab – kitab yang tersusun pada abad ke 4 Hijriyah
ini tersusun ke dalam bentuk yang lebih sempurna dalam bidang materi berpikir
dan materi penulisannya, seperti yang ada dalam kitab Al – Fushul fi Al –
Ushul, karangan Abu Bakar Ar – Razi.
Pada masa ini pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat mulai
tampak, terutama metode berpikir menurut ilmu Manthiq dalam ilmu Ushul
Fiqih. Hal ini tampak dalam masalah mencari makna dan definisi seuatu yang
dalam ilmu Ushul Fiqih Al – Hudud adalah suatu hal yang tidak pernah
ditemui dalam perkembangan (kitab – kitab) sebelumnya. Dampak dari pengaruh
filsafat ini setidaknya ada 2, yaitu:
a.
Kecanduan
pengarang dalam bidang ushul fiqih pada pola acuan dan kriteria manthiq
dalam menerangkan makna – makna perumpamaan ushuliyah. Hal ini membuka
jalan untuk mereka melakukan persyaratan dan keabsahan berargumen, yang pada
waktunya mendukung pertumbuhan ilmu Ushul Fiqih selanjutnya
b.
Timbulnya
banyak karangan dalam banyak bentuk baru yang independent untuk memberikan
makna dan pengertian pada perumpamaan – perumpamaan yang khusus digunakan dalam
ilmu ushul fiqih.[33]
3. Tahap
pernyempurnaan (terjadi pada abad ke 5 – 6 Hijriyah).
Terbentuknya daulah – daulah kecil didunia adalah salah satu tanda
melemahnya kekuatan politik di Baghdad. Hal ini justru memberikan pengaruh
positif bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Sejarah peradaban Islam tidak
lagi tertulis dan terfokus di Baghdad, namun juga di kota – kota besar di
dunia, seperti Cairo, Bukhara, Gahznah dan Markusy. Para sultan dan raja – raja
yang berkuasa dala daulah – daulah kecil itu memberikan perhatian besar
pada perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Dari perkembangan itu, kemajuan dalam bidang ilmu Ushul Fiqih yang
menjadikan sebagian ulama’ memberikan perhatian yang lebih untuk memperdalam
ilmu Ushul Fiqih, dan beberapa di antara para ulama’ itu adalah: Al
Baqilani, Al – Qahdhi Abd. Al Jabar, Abd Al Wahab Al Baghdadi, Abu Zayd Ad –
Dabusy, Abu Husain Al – Ghazali, dan lain – lain. Mereka adalah tokoh keilmuan
Islam pada masa itu. Para peneliti ilmu keislaman selanjutnya mengikuti metode
dan jejak mereka, untuk merealisasikan kegiatan ilmiah dalam bidang ilmu ushul
fiqih yang tidak ada tandingannya dalam penulisan dan penelitian keislaman.
Karena itulah, pada masa itu generasi Islam selanjutnya tetap menunjukkan
ketertarikannya pada hasil – hasil ushul fiqih dan membuatnya sebagai
sumber pemikiran.
Selain menunjukkan adanya kitab ushul fiqih bagi setiap madzhab,
kitab – kitab yang disusun pada masa ini juga menunjukkan adanya dua aliran
ushul fiqih, yakni aliran mutakallimin dan aliran fuqaha atau aliran
Hanafiyah. Ulama yang terkenal dari aliran mutakallimin adalah; Imam Al –
Haramain, penulis Al – Burhan, Al – Ghazali dan penulis Al –
Mustasyfa yang berasal dari kalangan Asy’ariyah, serta penulis kitab Al
– Ahd, Al – Qadhi Abd Al – Jabar, dan penulis kitab Al – Mu’tamad, Abu
Al Hasan Al – Bishri keduanya berasal dari golongan Mu’tazilah.
Periode penulisan kitab Ushul Fiqih terpesat terjadi pada
abad 5 dan 6 Hijriyah. Pada abad ini pula beberapa kitab yang tersusun pada
abad 5 dan 6 Hijriyah menjadi kitab standar dalam penelitian atau telaah ilmu ushul
fiqih selanjutnya.
Berikut adalah kitab – kitab ushul fiqih yang paling penting
pada abad 5 dan 6 Hijriyah :
a.
Kitab Al –
Mughni fi Al – Abwab Al – ‘Adl wa At – Tawhid, adalah kitab karya Al –
Qadhi Abd. Al – Jabbar (415 Hijriyah/1024 Masehi). Al – Qadhi juga mengarang
kitab Al – Ahd, salah satu dari empat standar kitab ushul fiqih menurut
Ibnu Khaldun. Kitab Al – Mughni tidak hanya membahas tentang kaidah –
kaidah fiqih saja, dalam kitab ini juga terdapat kaidah – kaidah ilmu kalam
yang bercorak Mu’tazilah ( aliran yang berpikir secara rasional dan disertai
dengan pendapat – pendapat yang logis ). Menurut Al – Qadhi, ilmu kalam dan
ilmu Ushul Fiqih dapat saling menyempurnakan satu sama lain.
b.
Kitab Al –
Mu’amad fi Al – Ushul Fiqih, kitab ini ditulis oleh Abu Al – Husain Al –
Bashri (436 Hijriyah/1044 Masehi). Kitab ini adalah kitab sempurna yang
dijadikan pedoman utama bagi para ulama Mu’tazilah, kitab ini juga merupakan
salah satu dari empat kitab ushul fiqih yang dijadikan sumber rujukan
umum oleh para peneliti ilmu ushul fiqih setelahnya. Sekalipun ia
penganut aliran Mu’tazilah dan berguru kepada Abd Al – Jabbar, ia juga sering
berselisih pendapat dengan gurunya. Ia berbeda pemikiran dengan gurunya dalam
masalah Ijza’ Al – Ibadat (kesempurnaan ibadah), soal yang diikuti
dengan qayd (sifat), dia juga mengkritik definisi Al – Bayan yang
diberikan oleh Asy – Syafi’i.
c.
Kitab Al –
Iddaf di Ushul Al – Fiqih, kitab ini adalah karya dari Abu Al – Qadhi Abu
Muhammad Ya’la Muhammad Al – Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalf Al – Farra (458
Hijriyah/1065 Masehi). Beliau disebut sebagai ulama’ besar madzhab pada
abad ke 5 Hijriyah. Abu Ya’la merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh di
kalangan Hambali hingga generasi setelahnya melalui berbagai karangan tentang
Al – Qur’an, Aqidah, Fiqih dan ushul fiqih. Meskipun Abu Ya’la termasuk
dalam aliran mutakallimin di bidang ushul fiqih dan menggunakan metode
mereka dalam menjelaskan ushuk fiqih berbagai masalah furu dalam
fiqih, beliau juga terpengaruh kitb yang beraliran Mu’tazilah, yakni
kitab Al – Fushul karangan Abu Bakar Al – Jashshash dalam masalah Al –
Bayan dan macam – macamnya, serta kitab Al – Mu’tamad karangan Abu Al –
Husain Al – Bashri. Beliau berargumen bahwa seorang yang mendalami ushul
fiqih, harus mempelajari dahulu soal – soal furu’ sehingga bisa
mantap dalam mengerti makna istidlal dari kaidah – kaidah ushul.
d.
Kitab Al –
Burhan fi Ushul Al – Fiqih, kitab yang disusun oleh Abu Al – Ma’ali Abd. Al
– Malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al – Juwaini Imam Al – Haramain (478
Hijriyah/1094 Masehi) merupakan salah satu kitab yang dinilai sebagai salah
satu kitab standar ushul fiqih yang terbaik dari kalangan muatakallimin,
di samping kitab Al – Mustasyfa karya Abu Hamid Al – Ghazali, kitab Al
– ‘Ahd karya Al – Husein Al – Bashri. Al – Juwaini menunjukkan keaslian dan
kebebasan cara berpendapat, sehingga dalam berbagai hal yang ia tulis berbeda
pendapat dengan Asy – Syafi’i, Al – Ash’ari, dan Al – Baqilani. Walaupun kitab
ini adalah kebanggaan aliran Asy – Syafi’i, para ulama terkenal dan madzhab Malikiyah
memberikan perhatian dan membuat syarah untuknya, yakni : Abu Abdillah
Al – Maziri (536 Hijriyah/1141 Masehi), Abu Al – Hasan, Ali Ibnu Ismail Al
Ayyari (616 Hijriyah/1219 Masehi), dan Ash – Shaf Abu Yahya. Hal ini mungkin
disebabkan karena adanya kesamaan pemikiran Al – Juwaini dengan pendapat Imam
Malik dalam masalah istihsan dan maslahah mursalah.
e.
Kitab Al –
Mustashfa min Ilm Al – Ushul, karya Abu Hamid Al – Ghazali yang juga
dikenal sebagai hujjah Al – Islam. Menurut Ibnu Khaldun kitab ini adalah
kitab terakhir dari seluruh kitab standar ushul fiqih. Al – Ghazali
berguru kepada Imam Al – Haramain, dan pernah memimpin madrasah nizhamiyah. Al
– Ghazali terkenal sebagai ulama’ yang mendalami beberapa ilmu keagamaan
sekaligus, yakni bidang fiqih, filsafat dan tasawuf.
D.
Periode
Perkembangan Mutaakhirin (Abad 6-7 H)
Pada periode ini kitab ushul fiqh disusun dengan menggunakan dua
metode yaitu metode dari golongan hanafiyah dan metode dari golongan syafiiyah.
Berbagai penelitian terkait peraturan
ushul fiqh dilakukan hingga sampai ditemukannya bukti-bukti, demikian pula
diadakan penelitian juga mengenai cabang ilmu fiqh. Adapun kitab ushul fiqh
yang ada pada masa ini yaitu kitab yang dikarang oleh Muzaddaruddin Al-Baghdadi
Al-Hanafi (w. 694 H) berupa kitab Badi’un Nizam Jami’ Bazdawi Wal-Ahkam, oleh
Ubaidillah bin Mas’ud Al-Bukhar Al-Hanafi (w.747) berupa kitab Tanqihul Usyul
yang merupakan sarah At-Taudhih, oleh Kamauddin Muhammad Abdul Wahib (861
H) berupa Kitab At-Tahrir, oleh Tajuddin
Wahhab bin Ali As-Subki As-Syafi’I (w. 711 H) berupa kitab Jamul Jawami.[34]
E.
Periode Kepakuman (Abad 8H -Awal Abad 12 H)
Pada masa ini, para ulama fiqh meggunakan kitah-kitab yang sudah
ada yang kemudian menulis syarah dari kitab tersebut. mereka meninjau dari
kringkasan kitab yang syarahnya sudah mereka tulis kemudian kemudian
menguraikan susunan kalimat ang ada dan mengungkapkan kerumitannya. Hal ini
merupakan akibat dari propaganda pintu ijtihad yang ditutup, selain
didahakannya umat islam pada gejolak politiik baik dari dalam ataupun luar.[35]
F.
Periode kebangkitan (Abad 12 H)
Pada masa ini, ilmu ushul fiqh mulai dilakukan penysusunan baru oleh
kalangan modern, dalam penyusunan itu, mereka tetap memperhatikan dua aliran
yang berkembang (Syafi’iyah dan Hanafiyah) dengan memberi keterangan mengenai
aliran tersebut. diantara tokoh dan karyanya yaitu: Imam Syaukani (w. 1250 H)
dengan kitabnya Irsyadul Fukhu Ila Tahqiqil Hak Min Ilmi Ushul, Muhammad
Khudari Biek (w. 1245 H) dengan kitabnya Ushul Fiqh, Syekh Muhammad
Abdurrrahman Abdul Mahwali (w. 1920) dengan kitabnya Tasyilul Wushul Ila Ilmi
Ushul, Syekh Abdul Wahab Khalaf) dengan kitabnya Ilmu Ushul Fiqh.[36]
Kitab—kitab tersebutlah yang pada masa sekarang oleh pelajar
baanyakan dipelajari, karena isi yang ada pada kitab tersebut tersusun dengan
sistematis serta relatif lengkap. Selain
itu ilmu ushul fiqh pun juga banyak ditulis oleh para ulama dinegeri kita ini,
denganmenggunakan penyajian bahasa Indonesia, sehingga memberikan kemudahan
bagi masyarakat untuk mempelajarinya. Diantara kitab-kitab mereka yaitu kitab
yang dikarang oleh Hasbi Ash-Shidqiey berupa kitab pengantar hukum islam, A.
Hanafi, M.A. berupa kitab Ushul Fiqh, Z. Abidin Ahad, berupa kitab Ushul Fiqh,
dan lain sebagainya. [37]
Demikian itu merupakan garis besar dari sejaran pertumbuhan dan
perkembangan ilmu ushul fiqh, yang hingga saat ini bayak hasil karya yang
sampai pada kita, sehingga bisa dijadikan sebagai dasar dalam memahami syariat
islam.[38]
G.
Penutup
Pertumbuhan dari ilmu fiqh sebenarnya bersamaan dengan sejarah dari
ilmu ushul fiqh sendiri, dimana pada masa Nabi Muhammad dalam menyelesakan
permasalah disini diserahkan kembali kepada Raslulllah, kemudian setelah
meninggalnya beliau yaitu pada masa sahabat praktek ushul fiqh telah diterapkan
wlaupun belum disebut dengan ilmu ushul fiqh, dimana dalam memberikan putusan
hukum disini mulai mulai muncul qiyas dan ijma yang merupakan dasar hukum
setelah Al-Qur’an da hadits. Kemudian pada masa tabi’in ijma sebagai metode
dalam menggali hukum fiqh menjadi lebih maju. Pada masa imam mujtahid disini berbagai golongan mengklaim bahwa dari
masing-masing(golongan hanafiyah, syafi’iyah, malikiyah dan syiah
imamiyahmerekalah yang menjadi pelopor dari munculnya ilmu fiqh.
Perkembangan dari ilmu ushul fiqh dimulai pada abad ke 3 H yang
ditandai dengan adanya kitab ar-risalah dari imam syafi’I yang merupakan ciri
khas pada masa ini, selanjutnya pada aba ke-4 H ilmu fiqh menjadi semakin
berkemban, kitab ushul fiqh menjadi lebih lengkap dari pada masa sebelumnya.
Selain itu pada masa ini, paara ahlin fiqh serta penganut mazhab fiqh semakin
mantab terhadap aliran-aliran fiqh yang dianutnya. Pada abad ke 5-6 H merupakan
abad penyempurnaam ilmu ushul fiqh. Pada abad ke 6-7 H dilakukan berbagai
penelitian mengenai peraturan ilmu ushul fiqh dilakukan selain itu dilakukan
pula penelitian mengenai cabang ilmu fiqh, kemudian pada abad 8-12 H muali
dituis sarah dari kitab-kitab yang sudah ada sebelumnya. Hingga pada abad akhri
ke 12 H. kemudian pada abad ke 12 H, ilmu ushul fiqh mulai dilakukan penyusunan
kembali oleh ulama modern.
DAFTAR PUSTAKA
Biek, Muhammad Al-Khudari. 2007. Ushul al-Fiqh. Jakarta: Pustaka
Amani
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh,. Jakarta: Kencana
Hayat, Abdul. 2016. Ushul Fiqh: Dasar-dasar untuk
memahami Fiqh islam. Jakarta: Rajawali Press.
Hasbiyyallah. 2013. Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan
Istidlal. Bandung: Rosda
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikh; Kaidah hukum Islam.Terj
Faiz el Muttaqin Jakarta: Pustaka Amani.
Mutahhari, Murtadha. dan As-Shadr, M. Baqir. 1993. Pengantar
Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan. Terj. Satrio Pinandito dan Ahsin
Muhammad. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Saebani, Beni Ahmad, dan januri. 2009. Fiqh Ushul Fiqh.
Bandung: CV Pustaka Setia
Syafe’i, Rachmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung; CV
Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh; Jilid 1. Jakarta:
Kencana
Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur. 2012. Bahan Ajar Fiqih
Madrasah Aliyah Program Keagamaan. Surabaya; Tim Penyusun Buku Ajar MGPK
Provinsi Jawa Timur.
Catatan:
1.
Similarity 13%.
2.
Abstrak tidak
representatif, tidak berisi kesimpulan dari makalah ini.
3.
Mana ada
penjelasan mengenai metode mutakallimin dan fuqaha?
[1]Murtadha
Mutahhari, dan M. Baqir As-Shadr, Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh
Perbandingan Terj. Satrio Pinandito dan Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1993),.11.
[2]Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2011),. Hal 42.
[3]Abdul Hayat, Ushul
Fiqh: Dasar-dasar untuk memahami Fiqh islam, (Jakarta: Rajawali Press,
2016).hal. 4.
[4]Muhammad
Al-khudari Biek, Ushul Fikh, Terj. Faiz el Muttaqien, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007), hal. 3.
[5]Abdul Hayat, Op.
Cit., hal. 4.
[6]Amir
Syarifudin, Op. Cit., hal. 43.
[7]Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fikh; Kaidah hukum Islam, Terj. Faiz el Muttaqin,
(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal. 8
[8] Muhammad
Al-khudari Biek, hal. 3.
[9]Abdul Hayat, Op.
Cit., Hal. 6.
[10]Amir
Syarifuddin, Op. Cit., hal. 41.
[11]Ibid., Hal. 43
[12]Abdul Hayat, Op.
Cit., Hal. 7
[13] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 17.
[15]Beni Ahmad
Saebani,dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung; CV Pustaka Setia, 2009),
hal.117.
[20]Wahab Khalaf, Op.
CIt., hal. 9
[21] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung; CV Pustaka Setia, 2015),. Hal 30
[22]Tim Guru MGPK
Provinsi Jawa Timur, Bahan Ajar Fiqih Madrasah Aliyah Program Keagamaan, (Surabaya;
Tim Penyusun Buku Ajar MGPK Provinsi Jawa Timur, 2012),. 51
[23]Rachmat
Syafe’i, op.cit,. hal 31
[27]Beni Ahmad
Saebani, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung; CV Pustaka Setia, 2009),. Hal 122 -
123
[29]Rachmat
Syafe’i, op.cit,. hal 34
[34]Abdul Hayat, Op.
Cit., hal. 10-11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar