PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Rusdiana Oktavia
(16110055) dan Ahmad Faisal Afni (16110055)
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
E-mail : dianaok040@gmail.com
Abstract
Fiqh is a science that grows because of the
existence of ijtihad by the scholars, who then always develop in every era. By
using the Qur'an, Sunnah, ijma, qiyas, and companions' fatwas as the basis for
making laws and decisions. The taking of these laws also did not immediately
decide, but through stages and using methods that already existed among the
friends of Tabi'in and later the scholars.
Keywords: Fiqh, ijtihad, ijma ', qiyas
Abstrak
Fiqh adalah ilmu yang tumbuh karena adanya ijtihad para
ulama, yang kemudian selalu ada perkembangan di setiap jamannya. Dengan
menggunakan Al-Qur’an, Sunnah, ijma,
qiyas, dan fatwa-fatwa sahabat sebagai dasar pengambilan hukum-hukum dan
keputusan-keputusan. Pengambilan hukum-hukum tersebut juga tidak serta-merta
diputuskan begitu saja, tapi melalui tahap-tahap dan menggunakan metode-metode
yang sudah ada dikalangan para sahabat tabi’i
dan kemudian para ulama.
Kata kunci : Fiqh, ijtihad, ijma’,
qiyas
A.
Pendahuluan
Ushul Fiqh berarti sumber atau dasar. Dasar Fiqh adalah
Ushul Fiqh, jadi ushul fiqh itu dasar dalil yang diambil dari al-Qur’an dan
Sunnah. Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa “Mengenai ilmu ushul fiqh, ilmu
itu lahir sejak abad 2 H. Ilmu itu pada abad 1H memang tidak terlalu dibutuhkan
lantaran keberadaan Rasulullah ﷺ masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum
berdasarkan ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah yang diilhamkan kepada beliau.”[1]
Membahas mengenai sejarah Ushul Fiqh tentu tidak lepas dari
ilmu Fiqh. Ushul Fiqh merupakan ilmu kaidah dan bahasa yang menjadi sarana
dalam mengambil hukum syara’ mengenai dalil-dalilnya. Ketika Rasulullah masih
hidup, yang ada hanyalah ilmu fiqh yang langsung diajarkan oleh beliau dengan berlandaskan Wahyu yang didapatkannya.
MunculnyaUshul Fiqh ini karena setelah Rasulullah wafat itu tidak ada hikmah
lagi yang dapat dijadikan sebagai penuntun umatnya. Apalagi kalau menyangkut
Fiqh yang sifatnya dinamis, Fiqh lebih rentan terjadi perbedaan ditambah lagi
zaman yang semakin berkembang. Maka untuk menentukan hukum Islam dibutuhkan
sebuah ilmu yang berkaitan dengan hal itu. Salah satunya adalah Ushul Fiqh ini.
Oleh karena itu, Ushul Fiqh tidak dapat lepas dari ilmu Fiqh.[2]
Didalam agama Islam terdapat Syari’at atau hukum Islam yang
semuanya bersumber dari al-Qur’an dan Hadits/Sunnah yang telah disepakati oleh
semua ulama’. Namun seiring dengan perkembangan zaman, Islam akan menemui
persoalan-persoalan yang itu membutuhkan suatu ilmu untuk mambahasnya secara
Islam. Zaman dahulu orang Islam yang berselisih pendapat bisa bertanya kepada
Nabi secara langsung. Sehingga penentuan hukum secara langsung oleh Rasulullah ﷺ.
Namunsetelah wafatnya Nabi muncul lah para mujtahid, yaitu orang yang
berijtihad dalam menentukan hukum Islam. Mujtahid ini tentu bukan sembarang
orang, mereka yang mempunyai keunggulan dan pemahaman lebih dari pada yang
lainnya. Hal ini sebagai usaha dari para penerus Nabi dalam menjaga syariah
Islam sesuai dengan perkembangan zaman ini.
Maka dari itu, pembahasan dalam makalah ini sejarah
perkembangan dan pertumbuhan Ushul Fiqh. Sehingga kita akan mengetahui
bagaimana dan kapan Ushul Fiqh itu ada.
B. Ushul
Fiqh sebelum dibukukan
Ketika masih ada Rasulullah, umat Islam masih belum
kesulitan dalam penentuan hukum Islam. Sebab umat yang hidup dengan Nabi dulu
dapat mempertanyakannya secara langsung kepada Nabi mengenai suatu permasalahan
yang dihadapi umat zaman dahulu. Saat Rasulullah ditanyai mengenai suatu
permasalahan, beliau akan menjelaskan dengan kemampuannya sebagai utusan Allah.
Dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya melalui Ra’yinya saja, namun juga menggunakan wahyu yang telah didapatnya.
Jika terjadi suatu kesalahan, maka Allah akan menegurnya dengan menurunkan
wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad ﷺuntuk menjawab persoalan tersebut. Apabila wahyu
tidak turun, maka Nabi menetapkan sebuah problem dengan menggunakan sabdanya
yang kemudian dikenal dengan nama Hadits atau Sunnah.[3]Tapi
bagaimana ketika umat setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺmenentukan
suatu hukum Islam sesuai dengan perkembangan zaman ini? Maka akan kami jelaskan
beberapa periode sebagai berikut:
1.
Masa
Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah ﷺmaka
berakhirlah proses penurunan wahyu oleh Allah. Ketika Rasul masih hidup,
sahabat yang berusaha berijtihad belum tentu dibenarkan oleh Rasul, namun
ketika sepeninggal Nabi ada rambu-rambu bolehnya melakukan ijtihad dalam
menentukan sebuah hukum yang tidak ada ketentuannya dalam nash.Karena pada masa sahabat ini banyak menghadapi berbagai
persoalan yang berkembang dan belum pernah terjadi pada masa Rasulullah.
Akhirnya mereka menggunakan ijtihad mereka sesuai kemampuannya dan tidak perlu
lagi untuk bertanya dan menunggu pengesahan dari Rasulullah ﷺ . Sebagai contoh
ijtihad sahabat Umar bin Khatthab yang tidak menjatuhkan hukuman potong tangan
kepada pencuri karena kelaparan. Begitu juga Ali bin Abi Thalib yang menyatakan
“hukum istri yang ditinggal suami meninggal sebelum digauli dan belum
ditentukan maharnya maka bagi istri itu adalah mut’ah.”[4]
Dalam berijtihad, sahabat sesungguhnya telah menggunakan
cara-cara tertentu yang umumnya telah dikenal pada zaman itu, namun tidak
disusun kaidah-kaidahnya sebagaimana lazimnya dalam ilmu Ushul Fiqh. Hal ini
menunjukkan bahwa Ushul Fiqh memang belum dibutuhkan. Sebab dimasa sahabat ini
mereka banyak mengetahui sebagian besar turunnya ayat (Asbabun Nuzul) dan sebab adanya hadits (Asbabul Wurud).
2.
Masa
Tabi’in
Seiring dengan berkembangnya Islam dan semakin luasnya
kekuasaan Islam, maka permasalahan juga semakin meluas. Sebab setiap daerah
yang baru dimasuki oleh Islam mempunyai problem yang lebih berkembang daripada
masa sahabat. Sehingga hal ini membutuhkan ijtihad oleh masing-masing ulama
yang tersebar pada daerah-daerah itu. Disisi yang lain, masalah yang berkembang
adalah semakin banyaknya orang yang baru masuk Islam. Sehingga para ulama’
menjadikan akal mereka untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan penalaran
terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Ditambah pula dengan semakin majunya ilmu
pengetahuan dalam berbagai bidang dimasa itu, maka kegiatan ijtihad ini
mengalami kemajuan yang pesat dan semarak.
Hal itu menimbulkan banyak perbedaan pendapat dikalangan
ulama’ baik mengenai hasil ijtihad maupun dalil-dalil yang yang digunakan untuk
berijtihad. Namun dari problem tersebut dapat melahirkan ide baru bagi mereka
untuk merumuskan kaidah-kaidah syariat yang berkaitan dengan dasar dan tujuan
syara’ dalam penetapa hukum Islam.
Selain itu juga adanya pengaruh bahasa lain terhadap
struktur bahasa arab. Sebab semakin banyaknya bangsa non arab yang memeluk
Islam dan terjadilah pergaulan yang kesit antara mereka non arab dengan bangsa
arab. Hal inila yang menyebabkan terjadinya penyusupan bahasa-bahasa asing
kepada bahasa arab. Sehingga menimbulkan keraguan dalam memahami nash syara’. Tetapi dengan adanya hal
ini dapat memberikan ide lain kepada para ulama’ untuk menyusun kaidah-kaidah
yang berkaitan dengan kebahasaan (lughawiyah).[5]
Pada masa ini, para mujtahid terbagi menjadi dua aliran,
yaitu ahl hadits dan ahl ra’yi. Ahl hadits adlah mereka yang lebih mengutamakan sabda-sabda Nabi
baik itu perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi ﷺ. Sedangkan ahl ra’yi adalah mereka yang mengedepankan pemikiran dengan
berdasarkan pada landasan al-Qur’an Hadits.[6]
3.
Masa
Imam Mujtahid
Pada masa ini, mulai muncul kebutuhan akan suatu konsep
dalam hukum Islam. semakin luasnya kekuasaan Islam, maka semakin berkembang
juga pemikiran ulama’-ulama’, terutama dalam penetapan hukum Islam. Saat masa
ini, para ulama’ diberbagai wilayah kekuasaan Islam mulai menyusun sebuah
konsep untuk mengarsipkan pemikiran mereka dalam bentuk tulisan. Dari sinilah
awal kelaihran Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu syari’ah yang ditandai dengan
lahirnya karya yang amat besar yaitu “Kitab al-Risalah” yang dikaryakan oleh
salah satu ulama besar Islam yaitu Imam Syafi’i.[7]
Ketika pasca Imam Syafi’i memunculkan karyanya, maka turut serta diikuti oleh
ulama-ulama ahli Ushul Fiqh dengan pemikiran mereka yang sangat jenius. Hal itu
dapat dilihat dari berbagai karya mereka masing-masing.
Namun ada pendapat lainnya mengenai siapa yang pertama kali
menyusun kitab Ushul Fiqh. Adapun pendapat itu digagaskan oleh Ibn Nadhim dalam
kitab al-Fihrits. Beliau menyebutkan
bahwa yang pertama kali menyusun kitab ilmu Ushul Fiqh adalah Abu Yusuf murid
dari Abu Hanifah, namun kitab tersebut tidak sampai kepada kita. Sedangkan
menurut beliau Imam Syafi’i adalah yang pertama kali menyusun kaidah-kaidah dan
pembahasan ushul fiqh dengan menyertakan kaidah alasan dan arah pandangan yang
tersusun sistematis.[8]
Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu Ushul Fiqh yang
kita pelajari sekarang adalah mulai ada sejak zaman sahabat namun belum
berbentuk kitab, hanya metode cara penetapan hukum Islam yang digunakan oleh
sahabat. Dan pada masa Tabi’in mulai muncul pemikiran perkembangan hukum Islam
yaitu adanya dua konsep pemikiran ahl
Hadits dan ahl Ra’yi. Ketika masa
Imam Mujtahid ini;ah Ushul Fiqh dapat kita pelajari hingga sekarang berkat
karya terbesar Imam Syafi’i kitab al-Risalah.
C.
Pembukuan Ushul Fiqh
Usaha pembukuan Ushul Fiqh ini sejalan
dengan ilmu pengetahuan Islam yang sedang berkembang. Muhammad bin Idris
al-Syafi’i tahun 150 Hijriyah sampai dengan 204 Hijriyah, dia-lah yang mengatur
dan mengonsep pembukuan Ushul Fiqh. Berkembangnya ilmu dalam bidang keislaman
itu berkembang mulai masa Harun Al-Rasyid tahun 145 Hijriyah sampai dengan 193
Hijriyah. Kemudian dilanjutkan lagi oleh putranya yakni Al-Ma’mun tahun 198
Hijriyah sampai 218 Hijriyah dan perkembangan ilmu itu semakin pesat.
Masa pembukuan ushul fiqh ini ditandai
dengan perkembangan ilmu keislaman. Dan dengan dirintisnya sebuah lembaga “Baitul Hikmah”, yakni sebuah
perpustakaan yang juga memiliki fungsi tidak hanya tempat disimpan dan
dibacanya buku-buku pengetahuan, tetapi juga sebagai tempat penerjemah buku
dari Yunani kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab.
Dengan datangnya Imam Syafi’i sebagai
ulama yang tahu banyak perihal istinbat para
imam mujtahid dan para sahabat juga ia mengetahui seperti apa kelemahan atau
kelebihan masing-masing hasil istinbat-nya.
Kemudian Imam Syafi’i membuat sebuah
buku yang berisi tentang hasil pemikiran madzab yang baru ia baangun dan hasil ijtihad pada masa sebelumnya. Buku itu
berjudu Al-Kitab namun lebih dikenal
dengan Ar-risalah yang artinya
sepucuk surat. Mengapa demikian ? karena pada mulanya buku itu adalah sebuah
lembaran-lembaran surat untuk Abdurrahman al-Mahdi yang wafat pada 198
Hijriyah, beliau adalah ahli hadits pada masa itu. Buku yang berpedoman pada
Al-Qur’an, Hadits, ijma’, qiyas dan fatwa-fatwa sahabat tersebut adalah sebuah
tahapan awal dari perkembangan Ushul Fiqh
sebagai disiplin ilmu.
D. Ushul
Fiqh Pasca Syafi’i
Di abad yang sama yakni abad ketiga
muncullah karya-karya ilmiah di bidang keislaman, seperti, buku karangan ‘Isa
ibnu Aban ibn Shadaqah yang wafat pada 220 Hijriyah yang muncul dari golangan
Hanafiyah, lalu buku karangan Ahmad bin Hanbal tahun 164 Hijriyah sampai 241
Hijriyah dan buku kaarangan Daud Al-Zahiri tahun 200 Hijriyah sampai 270
Hijriyah.
Setelah itu dalam buku khulasat Tarkh al-Tasyri al-Islami karya
Abd al Wahhab Khallaf yang bersamaan tidak ada lagi orang yang membentuk mazhab
baru. Namun pada saat yang sama yakni Ushul Fikih malah berkembang pesat. Ushul
Fikih berkembang menjadi sebuah alat yang megukur kebenaran dari ijtihad-ijtihad sebelumnya.[9]
E. Aliran-aliran
dalam Ushul Fiqh
Berkaitan
dengan sejarah perkembangan ushul fiqh ada dua aliran yang berbeda dalam usaha
membangun teori ushul fiqh yang akan digunaka untuk menggali hukum Islam dari
sumbernya. Mengingat karena perkembangan zaman yang semakin pesat ini, maka
kalau hanya berpatokan pada akal pikir yang dangkal dalam memahami dasar hukum
Islam masih kurang dan akan menimbulkan perdebatan hebat. Maka aliran ini yang
pertama disebut aliran Mutakallimin
yang diikuti oleh kalangan madzhab Syafi’i, Maliky, dan Hambali. Sedangkan aliran yang kedua adalah aliran Fuqaha yang hanya diikuti oleh
ulama-ulama dari kalangan madzhab Hanafy sehingga bisa disebut juga aliran Hanafiyyah.
1.
Aliran
Mutakallimin / aliran Jumhur Ulama
Mengapa disebut dengan aliran mutakallimin? Karena sebagian
besar ulama yang tergabung dalam aliran ini metode pembahasannya menggunakan
cara yang juga biasa digunakan dalam ilmu kalam, yaitu dengan menetapkan
kaidah-kaidah yang kemudian didukung dengan alasan-alasan yang kuat, baik itu
menggunakan dalil naqli (nash-nash)
maupun menggunakan dalil aqli (akal
pikiran) tanpa terikat dengan dalil furu’.
[10]
Mereka telah mengawinkan antara ilmu kalam dan ushul fiqh sehingga pondas ushul
fiqh yang mereka bangun lebih berfariasi deduktif dan doktriner.
Aliran mutakallimin ini lebih berorientasi pada hal-hal
berikut: 1) analisis kasus-kasus. 2) formulasi kaidah-kaidah hukum. 3) analisis
qiyas yang disertai dengan dengan
penalaran rasional sejauh mungkin. 4) mengkonstruksi isu-isu fundamental pada
teori hukum tanpa terikat dengan hukum pada madzhab fiqh yang ada.[11]
Jadi dapat dikatakan bahwa aliran ini membangun ushul fiqh secara teoritis,
tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah keagamaan yang tidak pokok. Dengan kata
lain, aliran ini juga tidak berpegang pada suatu pendapat atau madzhab tertentu
dalam meletakkan kaidah yang membantu mujtahid dalam mengistinbatkan hukum dari
sumbernya. Sehingga akan diperoleh pemikiran secara murni.
Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan golongan
mu’tazilah, malikiyyah, hanabillah, dan syafi’iyyah. Mereka menggunakan kitab
induk karangan Imam Syafi’i yaitu al-Risalah. Adapun juga kitab-kitab ushul
fiqh yang ditulis dengan sistematik yagn terdapat dalam aliran ini adalah:
a.
Kitab
al Mu’tamad karangan Abd Husain
Muhammad ibn Ali ibn al-Bashriy al-Mu’taziliy al-Syafi’iy (w. 463H).
b.
Kitab
al-Burhan karangan Abd al-Ma’aliy
‘Abd Malik ibn Abdullah al-Juwainiy al-Naisaburiy al-Syafi’iy (w. 487 H).
Terkenal dengan sebuta Imam Haromain.
c.
Kitab
al-Mustashfa karangan Abu Hamid
Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali al-Syafi’i (w. 505 H).
Dari ketiga kitab itu, hanya al-Mustashfa yang dapat kita jumpai hingga
saat ini. Sedangkan kitab selain itu hanya dapat dijumpai nukilan-nukilannya
saja dalam kitab-kitab yang disusun oleh ulama generasi berikutnya.
2.
Aliran
Fuqaha atau Hanafiyyah
Aliran ini disebut aliran hanafiyyah karena penganut dari
aliran ini didominasi oleh pengikut madzhab Hanafi. Disebut juga aliran fuqaha
sebab dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqih.
Aliran ini menempuh jalan yang berbeda dari aliran Syafi’iyyah. Kalau aliran
syafi;iyyah dalam membangun teori ushul fiqhnya tidak terikat oleh hukum furu’
(cabang), sedangkan aliran hanafiyyah sebaliknya, yaitu terikat oleh hukum
furu’ yang diterima dari para imam madzhab mereka. Jika terdapat kaidah yang
bertentangan dengan hukum-hukum furu’ imam mereka, maka akan dirubah dan
disesuaikan dengan hukum dari fatwa imam mereka. Oleh karena itu,aliran ini
berusaha agar kaidah yang mereka susun sesuai dengan hukum-hukum furu’ dari
imam madzhab mereka.[12]
Aliran ini bisa dikatakan juga aliran praktis, yang
bertujuan untuk memberikan argumen terhadap hasil ijtihad pada masalah-masalah
furu’. Setiap ulama madzhab berijtihad untuk memberikan ketentuan hukum
terhadap masalah fiqh yang telah ditetapkan oleh ulama madzhab yang
mendahuluinya. Seperti ulama Hanafi menyebutkan bahwa lafadz ‘am itu
menunjukkan hukum qath’i. Dengan demikian mereka telah menunjukkan bahwa hadits
ahad menyalahi aturan qath’iyyah, karena hadis ahad itu sifatnya zhanni. Dari
contoh ini dapat disimpulkan bahwa metode aliran hanafiyyah dalam penulisan
ushul fiqh dengan mengeluarkan kaidah-kaidah dalam masalah furu’ lalu diambil
satu kesimpulan sebagai kaidah umum, dan kaidah yang diambil harus sesuai
dengan madzhab mereka.
Adapun kitab-kitab yang masyhur dalam aliran ini adalah
kitab Ushul karangan Abu Zaid Ubaidillah
ibn Umar al-Qadhiy al-Dabusyi (w. 430 H); kitab Ushul karangan Fakhr Islam Ali ibn Muhammad al-Bazdawiy (w. 430 H);
kitab al Manar karangan al-Hafidz
al-Nasafiy (w. 790 H).[13]
3.
Aliran
gabungan antara Aliran Mutakalimin dan Hanafiyyah
Dari gabungan antara dua aliran di atas tersusunlah buku
yang berjudul Bad’ al-Nizam oleh
Ahmad bin ‘Ali al-Sa’ati dari kalangan Hanafiyyah yang wafat pada 694 Hijriyah. Kemudian Ushul al-Bazdawi oleh Ali ibn al-Bazdawi
juga dari kalangan Hanafiyyah, dan al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi
yang wafat pada tahun 631 Hijriyah yang beraliran Syafi’iyah, Jam’u al-Jawami’ karya Ibnu al-Sibki
juga dari aliran Syafi’iyah dan at-Tahrir karya al-Kamal Ibnu al-Human
yang wafat pada 861 Hijriyah dari aliran Hanafiyyah. Kemudian diakhir abad ke
delapan dengan buku yang diberinya judul al-
Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Dari semua buku yang sudah berhasil
disusun, buku muwafaqatlah yang di
dalamnya banyak membahas tentang maqasidu
syari’ah yakni tentang tujuan hukum
yang berguna sebagai landasan terbentuknya sebuah hukum. Buku ini menjadi
perkembangan Ushul Fiqh terakhir dan buku-buku yang dibuat setelah itu dianggap
hasil penukilan dari buku-buku di atas. [14]
F. Karya
Bidang Ushul Fiqh
Berikut adalah karya-karya dari
Jumhur Ulama Ushul Fiqh, Hanafiyah, dan alirang yang menggabungkan keduanya.
1.
Al-risalah (Muhammad bin Idris al-Syafi’i) 150-204 H
2.
Al-Burhan fi Ushul Fiqh (Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdillah al-Juwaini) dengan
gelar al-Haramain. 419-478 H
3.
Al-Mughni fi Abwab al- Tawhid wa
al-Adl (al-Qadli Abdul Jabbar
4.
Al-Mu’tamad fi Ushul Fiqh (Abu Husein Al-Bashri) -Mu’tazillah
5.
Al-Musytashfa min ‘Ilm al-Ushul (Abu Hamid Al-Ghazali) – Syafi’iyah – Mu’tazillah
6.
Al Mahsul fi ‘Ilm al-Ushul (Fakhr ad-Dien
al-Razi) –Syafi’iyah
7.
Al-Ihkam al-Ushul al-Ahkam (Sa’if al-Dien al-Amidi) –Syafi’iyah
8.
Minhaj al-Wushul fi ilm Al-Ushul ( al-Qadi al-Baidawi)
9.
Al-Uddah fi Ushul al-Fiqh (Abu ya’la al-Farra’ al Hanbali) -Hanbaliyyah
10.
Raudah an-Nazir wa Jannah al-Munazir
(Muwaffaq al-Dien Ibnu Quddamah
al-Maqdisi) -Hanbaliyyah
11.
Al-Musawwadah fi Ushul Fiqh (Syeikh al-Islam Majd al-Dien Abu Abdul-Halim Abu al-Barakat
al-Harani, Syihab al-Dien Abu Abdul-Halim, Taqiy al-Dien Ibnu Taimiyah
-Hanbaliyyah
12.
A’lam al Muwaqqi’in an Rabb
al-‘Alamin (Imam Syams al-Dien Abu Bakar/ Ibnu
Qayyim al-Jawziyyah - Hanbaliyyah
13.
Mukhtashar Muntaha al-Sul wa al-Amal
(Jamal al-Dien Ibnu al-Hajib) –
Malikiyah .
Kitab yang disusun para ahli fiqh dari aliran hanafiyah.
1.
Taqwim
al-Adillah (Abu Zaid al-Dabbusi)
2.
Ushul al-Syarakhshi (Imam Muhammad ibn Ahmad Syams al-Aimmah
al-Sarakhsi)
3.
Kanz al-Wushul ila
Ma’rifat al-Ushul (al-Islam al-Bazdawi)
4.
Manar al-Anwar (Abu al-Barakat Abdullah Ibnu Muhammad
al-Nasafi)
Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun dengan menggabungkan
aliran Jumhur dengan aliran Hanafiyah antara lain :
1.
Jami’u al-Jawami’ (Taj al-Dien Ibnu al-Sibki)
2.
Al-Tahrir fi Ushul al-Fiqh (al-Dien Ibn al-Humam)
3.
Musallam al-Subut karya (Muhibbullah Ibn Abd al-Syukur)
Daftar Pustaka
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. 1 ed. Jakarta: Amzah, 2018.
Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. 1 ed. Jakarta:
Rajawali, 1993.
Effendi, Satria , dan Zein, M. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2005
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul
Fikih. Jakarta: Pustaka Amani, 2003
Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar). 1 ed. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2006.
Muthahhari, Murtadha, dan M.
Baqir Ash-Shadr. Pengantar Ushul Fiqh dan
Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Yusuf, Nasruddin. Pengantar Ilmu Ushul Fikih. Malang:
Universitas Negeri Malang (UM Press), 2012.
Catatan:
1. Similarity 15%.
2. Abstrak tidak representatif.
3. Referensi cuma tujuh?
4. Kesimpulannya mana?
[1]
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, 1
ed. (Jakarta: Rajawali, 1993), hal. 78.
[2]Murtadha
Muthahhari dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengantar
Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993),
hal. 69.
[3]Asmawi,
Perbandingan Ushul Fiqh, 1 ed.
(Jakarta: Amzah, 2018), hal. 6.
[4]Nasruddin
Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih (Malang:
Universitas Negeri Malang (UM Press), 2012), hal. 8.
[5]Alaiddin
Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah
Pengantar), 1 ed. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 33.
[6]
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, hal.
7.
[7]
Ibid., hal. 8.
[8]
Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih,
hal. 10.
[9]
Effendi Satria, Ushul Fiqh. (Jakarta:
Kencana, 2005) , hal. 16-21
[10]
Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih,
hal. 10.
[11]
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, hal.
8.
[12]
Ibid., hal. 9.
[13]
Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih,
hal. 12.
[14]
Effendi Satria, Ushul Fiqh, hal.
25-26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar