Senin, 25 Februari 2019

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqih (PAI F Semester Genap 2018/2019)


  
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH

Rusdiana Oktavia (16110055) dan Ahmad Faisal Afni (16110055)
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail : dianaok040@gmail.com

Abstract
Fiqh is a science that grows because of the existence of ijtihad by the scholars, who then always develop in every era. By using the Qur'an, Sunnah, ijma, qiyas, and companions' fatwas as the basis for making laws and decisions. The taking of these laws also did not immediately decide, but through stages and using methods that already existed among the friends of Tabi'in and later the scholars.

Keywords: Fiqh, ijtihad, ijma ', qiyas
Abstrak
Fiqh adalah ilmu yang tumbuh karena adanya ijtihad para ulama, yang kemudian selalu ada perkembangan di setiap jamannya. Dengan menggunakan Al-Qur’an, Sunnah, ijma, qiyas, dan fatwa-fatwa sahabat sebagai dasar pengambilan hukum-hukum dan keputusan-keputusan. Pengambilan hukum-hukum tersebut juga tidak serta-merta diputuskan begitu saja, tapi melalui tahap-tahap dan menggunakan metode-metode yang sudah ada dikalangan para sahabat tabi’i  dan kemudian para ulama.
Kata kunci : Fiqh, ijtihad, ijma’, qiyas


A.      Pendahuluan

Ushul Fiqh berarti sumber atau dasar. Dasar Fiqh adalah Ushul Fiqh, jadi ushul fiqh itu dasar dalil yang diambil dari al-Qur’an dan Sunnah. Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa “Mengenai ilmu ushul fiqh, ilmu itu lahir sejak abad 2 H. Ilmu itu pada abad 1H memang tidak terlalu dibutuhkan lantaran keberadaan Rasulullah masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah yang diilhamkan kepada beliau.”[1]
Membahas mengenai sejarah Ushul Fiqh tentu tidak lepas dari ilmu Fiqh. Ushul Fiqh merupakan ilmu kaidah dan bahasa yang menjadi sarana dalam mengambil hukum syara’ mengenai dalil-dalilnya. Ketika Rasulullah masih hidup, yang ada hanyalah ilmu fiqh yang langsung diajarkan oleh beliau dengan  berlandaskan Wahyu yang didapatkannya. MunculnyaUshul Fiqh ini karena setelah Rasulullah wafat itu tidak ada hikmah lagi yang dapat dijadikan sebagai penuntun umatnya. Apalagi kalau menyangkut Fiqh yang sifatnya dinamis, Fiqh lebih rentan terjadi perbedaan ditambah lagi zaman yang semakin berkembang. Maka untuk menentukan hukum Islam dibutuhkan sebuah ilmu yang berkaitan dengan hal itu. Salah satunya adalah Ushul Fiqh ini. Oleh karena itu, Ushul Fiqh tidak dapat lepas dari ilmu Fiqh.[2]
Didalam agama Islam terdapat Syari’at atau hukum Islam yang semuanya bersumber dari al-Qur’an dan Hadits/Sunnah yang telah disepakati oleh semua ulama’. Namun seiring dengan perkembangan zaman, Islam akan menemui persoalan-persoalan yang itu membutuhkan suatu ilmu untuk mambahasnya secara Islam. Zaman dahulu orang Islam yang berselisih pendapat bisa bertanya kepada Nabi secara langsung. Sehingga penentuan hukum secara langsung oleh Rasulullah . Namunsetelah wafatnya Nabi muncul lah para mujtahid, yaitu orang yang berijtihad dalam menentukan hukum Islam. Mujtahid ini tentu bukan sembarang orang, mereka yang mempunyai keunggulan dan pemahaman lebih dari pada yang lainnya. Hal ini sebagai usaha dari para penerus Nabi dalam menjaga syariah Islam sesuai dengan perkembangan zaman ini.
Maka dari itu, pembahasan dalam makalah ini sejarah perkembangan dan pertumbuhan Ushul Fiqh. Sehingga kita akan mengetahui bagaimana dan kapan Ushul Fiqh itu ada.

B.       Ushul Fiqh sebelum dibukukan

Ketika masih ada Rasulullah, umat Islam masih belum kesulitan dalam penentuan hukum Islam. Sebab umat yang hidup dengan Nabi dulu dapat mempertanyakannya secara langsung kepada Nabi mengenai suatu permasalahan yang dihadapi umat zaman dahulu. Saat Rasulullah ditanyai mengenai suatu permasalahan, beliau akan menjelaskan dengan kemampuannya sebagai utusan Allah. Dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya melalui Ra’yinya saja, namun juga menggunakan wahyu yang telah didapatnya. Jika terjadi suatu kesalahan, maka Allah akan menegurnya dengan menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad untuk  menjawab persoalan tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Nabi menetapkan sebuah problem dengan menggunakan sabdanya yang kemudian dikenal dengan nama Hadits atau Sunnah.[3]Tapi bagaimana ketika umat setelah wafatnya Nabi Muhammad menentukan suatu hukum Islam sesuai dengan perkembangan zaman ini? Maka akan kami jelaskan beberapa periode sebagai berikut:

1.         Masa Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah maka berakhirlah proses penurunan wahyu oleh Allah. Ketika Rasul masih hidup, sahabat yang berusaha berijtihad belum tentu dibenarkan oleh Rasul, namun ketika sepeninggal Nabi ada rambu-rambu bolehnya melakukan ijtihad dalam menentukan sebuah hukum yang tidak ada ketentuannya dalam nash.Karena pada masa sahabat ini banyak menghadapi berbagai persoalan yang berkembang dan belum pernah terjadi pada masa Rasulullah. Akhirnya mereka menggunakan ijtihad mereka sesuai kemampuannya dan tidak perlu lagi untuk bertanya dan menunggu pengesahan dari Rasulullah . Sebagai contoh ijtihad sahabat Umar bin Khatthab yang tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada pencuri karena kelaparan. Begitu juga Ali bin Abi Thalib yang menyatakan “hukum istri yang ditinggal suami meninggal sebelum digauli dan belum ditentukan maharnya maka bagi istri itu adalah mut’ah.”[4]
Dalam berijtihad, sahabat sesungguhnya telah menggunakan cara-cara tertentu yang umumnya telah dikenal pada zaman itu, namun tidak disusun kaidah-kaidahnya sebagaimana lazimnya dalam ilmu Ushul Fiqh. Hal ini menunjukkan bahwa Ushul Fiqh memang belum dibutuhkan. Sebab dimasa sahabat ini mereka banyak mengetahui sebagian besar turunnya ayat (Asbabun Nuzul) dan sebab adanya hadits (Asbabul Wurud).

2.         Masa Tabi’in
Seiring dengan berkembangnya Islam dan semakin luasnya kekuasaan Islam, maka permasalahan juga semakin meluas. Sebab setiap daerah yang baru dimasuki oleh Islam mempunyai problem yang lebih berkembang daripada masa sahabat. Sehingga hal ini membutuhkan ijtihad oleh masing-masing ulama yang tersebar pada daerah-daerah itu. Disisi yang lain, masalah yang berkembang adalah semakin banyaknya orang yang baru masuk Islam. Sehingga para ulama’ menjadikan akal mereka untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan penalaran terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Ditambah pula dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang dimasa itu, maka kegiatan ijtihad ini mengalami kemajuan yang pesat dan semarak.
Hal itu menimbulkan banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama’ baik mengenai hasil ijtihad maupun dalil-dalil yang yang digunakan untuk berijtihad. Namun dari problem tersebut dapat melahirkan ide baru bagi mereka untuk merumuskan kaidah-kaidah syariat yang berkaitan dengan dasar dan tujuan syara’ dalam penetapa hukum Islam.
Selain itu juga adanya pengaruh bahasa lain terhadap struktur bahasa arab. Sebab semakin banyaknya bangsa non arab yang memeluk Islam dan terjadilah pergaulan yang kesit antara mereka non arab dengan bangsa arab. Hal inila yang menyebabkan terjadinya penyusupan bahasa-bahasa asing kepada bahasa arab. Sehingga menimbulkan keraguan dalam memahami nash syara’. Tetapi dengan adanya hal ini dapat memberikan ide lain kepada para ulama’ untuk menyusun kaidah-kaidah yang berkaitan dengan kebahasaan (lughawiyah).[5]
Pada masa ini, para mujtahid terbagi menjadi dua aliran, yaitu ahl hadits dan ahl ra’yi. Ahl hadits adlah mereka yang lebih mengutamakan sabda-sabda Nabi baik itu perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi . Sedangkan ahl ra’yi adalah mereka yang mengedepankan pemikiran dengan berdasarkan pada landasan al-Qur’an Hadits.[6]

3.         Masa Imam Mujtahid
Pada masa ini, mulai muncul kebutuhan akan suatu konsep dalam hukum Islam. semakin luasnya kekuasaan Islam, maka semakin berkembang juga pemikiran ulama’-ulama’, terutama dalam penetapan hukum Islam. Saat masa ini, para ulama’ diberbagai wilayah kekuasaan Islam mulai menyusun sebuah konsep untuk mengarsipkan pemikiran mereka dalam bentuk tulisan. Dari sinilah awal kelaihran Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu syari’ah yang ditandai dengan lahirnya karya yang amat besar yaitu “Kitab al-Risalah” yang dikaryakan oleh salah satu ulama besar Islam yaitu Imam Syafi’i.[7] Ketika pasca Imam Syafi’i memunculkan karyanya, maka turut serta diikuti oleh ulama-ulama ahli Ushul Fiqh dengan pemikiran mereka yang sangat jenius. Hal itu dapat dilihat dari berbagai karya mereka masing-masing.
Namun ada pendapat lainnya mengenai siapa yang pertama kali menyusun kitab Ushul Fiqh. Adapun pendapat itu digagaskan oleh Ibn Nadhim dalam kitab al-Fihrits. Beliau menyebutkan bahwa yang pertama kali menyusun kitab ilmu Ushul Fiqh adalah Abu Yusuf murid dari Abu Hanifah, namun kitab tersebut tidak sampai kepada kita. Sedangkan menurut beliau Imam Syafi’i adalah yang pertama kali menyusun kaidah-kaidah dan pembahasan ushul fiqh dengan menyertakan kaidah alasan dan arah pandangan yang tersusun sistematis.[8]
Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu Ushul Fiqh yang kita pelajari sekarang adalah mulai ada sejak zaman sahabat namun belum berbentuk kitab, hanya metode cara penetapan hukum Islam yang digunakan oleh sahabat. Dan pada masa Tabi’in mulai muncul pemikiran perkembangan hukum Islam yaitu adanya dua konsep pemikiran ahl Hadits dan ahl Ra’yi. Ketika masa Imam Mujtahid ini;ah Ushul Fiqh dapat kita pelajari hingga sekarang berkat karya terbesar Imam Syafi’i kitab al-Risalah.
C.      Pembukuan Ushul Fiqh
Usaha pembukuan Ushul Fiqh ini sejalan dengan ilmu pengetahuan Islam yang sedang berkembang. Muhammad bin Idris al-Syafi’i tahun 150 Hijriyah sampai dengan 204 Hijriyah, dia-lah yang mengatur dan mengonsep pembukuan Ushul Fiqh. Berkembangnya ilmu dalam bidang keislaman itu berkembang mulai masa Harun Al-Rasyid tahun 145 Hijriyah sampai dengan 193 Hijriyah. Kemudian dilanjutkan lagi oleh putranya yakni Al-Ma’mun tahun 198 Hijriyah sampai 218 Hijriyah dan perkembangan ilmu itu semakin pesat.
Masa pembukuan ushul fiqh ini ditandai dengan perkembangan ilmu keislaman. Dan dengan dirintisnya sebuah lembaga “Baitul Hikmah”, yakni sebuah perpustakaan yang juga memiliki fungsi tidak hanya tempat disimpan dan dibacanya buku-buku pengetahuan, tetapi juga sebagai tempat penerjemah buku dari Yunani kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab.
Dengan datangnya Imam Syafi’i sebagai ulama yang tahu banyak perihal istinbat para imam mujtahid dan para sahabat juga ia mengetahui seperti apa kelemahan atau kelebihan masing-masing hasil istinbat-nya.
Kemudian Imam Syafi’i membuat sebuah buku yang berisi tentang hasil pemikiran madzab yang baru ia baangun dan hasil ijtihad pada masa sebelumnya. Buku itu berjudu Al-Kitab namun lebih dikenal dengan Ar-risalah yang artinya sepucuk surat. Mengapa demikian ? karena pada mulanya buku itu adalah sebuah lembaran-lembaran surat untuk Abdurrahman al-Mahdi yang wafat pada 198 Hijriyah, beliau adalah ahli hadits pada masa itu. Buku yang berpedoman pada Al-Qur’an, Hadits, ijma’, qiyas dan fatwa-fatwa sahabat tersebut adalah sebuah tahapan awal dari perkembangan Ushul Fiqh  sebagai disiplin ilmu.

D.      Ushul Fiqh Pasca Syafi’i
Di abad yang sama yakni abad ketiga muncullah karya-karya ilmiah di bidang keislaman, seperti, buku karangan ‘Isa ibnu Aban ibn Shadaqah yang wafat pada 220 Hijriyah yang muncul dari golangan Hanafiyah, lalu buku karangan Ahmad bin Hanbal tahun 164 Hijriyah sampai 241 Hijriyah dan buku kaarangan Daud Al-Zahiri tahun 200 Hijriyah sampai 270 Hijriyah.
Setelah itu dalam buku khulasat Tarkh al-Tasyri al-Islami karya Abd al Wahhab Khallaf yang bersamaan tidak ada lagi orang yang membentuk mazhab baru. Namun pada saat yang sama yakni Ushul Fikih malah berkembang pesat. Ushul Fikih berkembang menjadi sebuah alat yang megukur kebenaran dari ijtihad-ijtihad sebelumnya.[9]
E.       Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh

Berkaitan dengan sejarah perkembangan ushul fiqh ada dua aliran yang berbeda dalam usaha membangun teori ushul fiqh yang akan digunaka untuk menggali hukum Islam dari sumbernya. Mengingat karena perkembangan zaman yang semakin pesat ini, maka kalau hanya berpatokan pada akal pikir yang dangkal dalam memahami dasar hukum Islam masih kurang dan akan menimbulkan perdebatan hebat. Maka aliran ini yang pertama disebut aliran Mutakallimin yang diikuti oleh kalangan madzhab Syafi’i, Maliky, dan Hambali. Sedangkan aliran yang kedua adalah aliran Fuqaha yang hanya diikuti oleh ulama-ulama dari kalangan madzhab Hanafy sehingga bisa disebut juga aliran Hanafiyyah.

1.    Aliran Mutakallimin / aliran Jumhur Ulama
Mengapa disebut dengan aliran mutakallimin? Karena sebagian besar ulama yang tergabung dalam aliran ini metode pembahasannya menggunakan cara yang juga biasa digunakan dalam ilmu kalam, yaitu dengan menetapkan kaidah-kaidah yang kemudian didukung dengan alasan-alasan yang kuat, baik itu menggunakan dalil naqli (nash-nash) maupun menggunakan dalil aqli (akal pikiran) tanpa terikat dengan dalil furu’. [10] Mereka telah mengawinkan antara ilmu kalam dan ushul fiqh sehingga pondas ushul fiqh yang mereka bangun lebih berfariasi deduktif dan doktriner.
Aliran mutakallimin ini lebih berorientasi pada hal-hal berikut: 1) analisis kasus-kasus. 2) formulasi kaidah-kaidah hukum. 3) analisis qiyas yang disertai dengan dengan penalaran rasional sejauh mungkin. 4) mengkonstruksi isu-isu fundamental pada teori hukum tanpa terikat dengan hukum pada madzhab fiqh yang ada.[11] Jadi dapat dikatakan bahwa aliran ini membangun ushul fiqh secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah keagamaan yang tidak pokok. Dengan kata lain, aliran ini juga tidak berpegang pada suatu pendapat atau madzhab tertentu dalam meletakkan kaidah yang membantu mujtahid dalam mengistinbatkan hukum dari sumbernya. Sehingga akan diperoleh pemikiran secara murni.
Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan golongan mu’tazilah, malikiyyah, hanabillah, dan syafi’iyyah. Mereka menggunakan kitab induk karangan Imam Syafi’i yaitu al-Risalah. Adapun juga kitab-kitab ushul fiqh yang ditulis dengan sistematik yagn terdapat dalam aliran ini adalah:
a.    Kitab al Mu’tamad karangan Abd Husain Muhammad ibn Ali ibn al-Bashriy al-Mu’taziliy al-Syafi’iy (w. 463H).
b.    Kitab al-Burhan karangan Abd al-Ma’aliy ‘Abd Malik ibn Abdullah al-Juwainiy al-Naisaburiy al-Syafi’iy (w. 487 H). Terkenal dengan sebuta Imam Haromain.
c.    Kitab al-Mustashfa karangan Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali al-Syafi’i (w. 505 H).
     Dari ketiga kitab itu, hanya al-Mustashfa yang dapat kita jumpai hingga saat ini. Sedangkan kitab selain itu hanya dapat dijumpai nukilan-nukilannya saja dalam kitab-kitab yang disusun oleh ulama generasi berikutnya.
2.    Aliran Fuqaha atau Hanafiyyah
Aliran ini disebut aliran hanafiyyah karena penganut dari aliran ini didominasi oleh pengikut madzhab Hanafi. Disebut juga aliran fuqaha sebab dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqih. Aliran ini menempuh jalan yang berbeda dari aliran Syafi’iyyah. Kalau aliran syafi;iyyah dalam membangun teori ushul fiqhnya tidak terikat oleh hukum furu’ (cabang), sedangkan aliran hanafiyyah sebaliknya, yaitu terikat oleh hukum furu’ yang diterima dari para imam madzhab mereka. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu’ imam mereka, maka akan dirubah dan disesuaikan dengan hukum dari fatwa imam mereka. Oleh karena itu,aliran ini berusaha agar kaidah yang mereka susun sesuai dengan hukum-hukum furu’ dari imam madzhab mereka.[12]
Aliran ini bisa dikatakan juga aliran praktis, yang bertujuan untuk memberikan argumen terhadap hasil ijtihad pada masalah-masalah furu’. Setiap ulama madzhab berijtihad untuk memberikan ketentuan hukum terhadap masalah fiqh yang telah ditetapkan oleh ulama madzhab yang mendahuluinya. Seperti ulama Hanafi menyebutkan bahwa lafadz ‘am itu menunjukkan hukum qath’i. Dengan demikian mereka telah menunjukkan bahwa hadits ahad menyalahi aturan qath’iyyah, karena hadis ahad itu sifatnya zhanni. Dari contoh ini dapat disimpulkan bahwa metode aliran hanafiyyah dalam penulisan ushul fiqh dengan mengeluarkan kaidah-kaidah dalam masalah furu’ lalu diambil satu kesimpulan sebagai kaidah umum, dan kaidah yang diambil harus sesuai dengan madzhab mereka.
Adapun kitab-kitab yang masyhur dalam aliran ini adalah kitab Ushul karangan Abu Zaid Ubaidillah ibn Umar al-Qadhiy al-Dabusyi (w. 430 H); kitab Ushul karangan Fakhr Islam Ali ibn Muhammad al-Bazdawiy (w. 430 H); kitab al Manar karangan al-Hafidz al-Nasafiy (w. 790 H).[13]

3.      Aliran gabungan antara Aliran Mutakalimin dan Hanafiyyah
Dari gabungan antara dua aliran di atas tersusunlah buku yang berjudul Bad’ al-Nizam oleh Ahmad bin ‘Ali al-Sa’ati dari kalangan Hanafiyyah  yang wafat pada 694 Hijriyah. Kemudian Ushul al-Bazdawi oleh Ali ibn al-Bazdawi juga dari kalangan Hanafiyyah, dan al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam  karya al-Amidi yang wafat pada tahun 631 Hijriyah yang beraliran Syafi’iyah, Jam’u al-Jawami’ karya Ibnu al-Sibki juga dari aliran Syafi’iyah  dan at-Tahrir karya al-Kamal Ibnu al-Human yang wafat pada 861 Hijriyah dari aliran Hanafiyyah. Kemudian diakhir abad ke delapan dengan buku yang diberinya judul al- Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Dari semua buku yang sudah berhasil disusun, buku muwafaqatlah yang di dalamnya banyak membahas tentang maqasidu syari’ah yakni tentang tujuan  hukum yang berguna sebagai landasan terbentuknya sebuah hukum. Buku ini menjadi perkembangan Ushul Fiqh terakhir dan buku-buku yang dibuat setelah itu dianggap hasil penukilan dari buku-buku di atas. [14]

F.     Karya Bidang Ushul Fiqh
Berikut adalah karya-karya dari Jumhur Ulama Ushul Fiqh, Hanafiyah, dan alirang yang menggabungkan keduanya.
1.         Al-risalah (Muhammad bin Idris al-Syafi’i) 150-204      H
2.         Al-Burhan fi Ushul Fiqh (Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdillah al-Juwaini) dengan gelar al-Haramain. 419-478 H
3.         Al-Mughni fi Abwab al- Tawhid wa al-Adl (al-Qadli Abdul Jabbar
4.         Al-Mu’tamad fi Ushul Fiqh (Abu Husein Al-Bashri) -Mu’tazillah
5.         Al-Musytashfa min ‘Ilm al-Ushul (Abu Hamid Al-Ghazali) – Syafi’iyah – Mu’tazillah
6.         Al Mahsul fi ‘Ilm al-Ushul   (Fakhr ad-Dien al-Razi) –Syafi’iyah
7.         Al-Ihkam al-Ushul al-Ahkam (Sa’if al-Dien al-Amidi) –Syafi’iyah
8.         Minhaj al-Wushul fi ilm Al-Ushul ( al-Qadi al-Baidawi)
9.         Al-Uddah fi Ushul al-Fiqh (Abu ya’la al-Farra’ al Hanbali) -Hanbaliyyah
10.     Raudah an-Nazir wa Jannah al-Munazir (Muwaffaq al-Dien Ibnu Quddamah al-Maqdisi) -Hanbaliyyah
11.     Al-Musawwadah fi Ushul Fiqh (Syeikh al-Islam Majd al-Dien Abu Abdul-Halim Abu al-Barakat al-Harani, Syihab al-Dien Abu Abdul-Halim, Taqiy al-Dien Ibnu Taimiyah -Hanbaliyyah
12.     A’lam al Muwaqqi’in an Rabb al-‘Alamin (Imam Syams al-Dien Abu Bakar/ Ibnu Qayyim al-Jawziyyah - Hanbaliyyah
13.     Mukhtashar Muntaha al-Sul wa al-Amal (Jamal al-Dien Ibnu al-Hajib) – Malikiyah .

Kitab yang disusun para ahli fiqh dari aliran hanafiyah.
1.         Taqwim al-Adillah (Abu Zaid al-Dabbusi)
2.         Ushul al-Syarakhshi (Imam Muhammad ibn Ahmad Syams al-Aimmah al-Sarakhsi)
3.         Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul (al-Islam al-Bazdawi)
4.         Manar al-Anwar (Abu al-Barakat Abdullah Ibnu Muhammad al-Nasafi)
Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun dengan menggabungkan aliran Jumhur dengan aliran Hanafiyah antara lain :
1.         Jami’u al-Jawami’ (Taj al-Dien Ibnu al-Sibki)
2.         Al-Tahrir fi Ushul al-Fiqh (al-Dien Ibn al-Humam)
3.          Musallam al-Subut karya (Muhibbullah Ibn Abd al-Syukur)
4.         Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah (Abu Ishaq al-Syatibi)[15]


Daftar Pustaka
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. 1 ed. Jakarta: Amzah, 2018.
Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. 1 ed. Jakarta: Rajawali, 1993.
Effendi, Satria , dan Zein, M. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2005
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani, 2003
Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar). 1 ed. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Muthahhari, Murtadha, dan M. Baqir Ash-Shadr. Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Yusuf, Nasruddin. Pengantar Ilmu Ushul Fikih. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press), 2012.

Catatan:
1. Similarity 15%.
2. Abstrak tidak representatif.
3. Referensi cuma tujuh?
4. Kesimpulannya mana?




[1] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, 1 ed. (Jakarta: Rajawali, 1993), hal. 78.
[2]Murtadha Muthahhari dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hal. 69.
[3]Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, 1 ed. (Jakarta: Amzah, 2018), hal. 6.
[4]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih (Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press), 2012), hal. 8.
[5]Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar), 1 ed. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 33.
[6] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, hal. 7.
[7] Ibid., hal. 8.
[8] Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, hal. 10.
[9] Effendi Satria, Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005) , hal. 16-21
[10] Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, hal. 10.
[11] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, hal. 8.
[12] Ibid., hal. 9.
[13] Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, hal. 12.
[14] Effendi Satria, Ushul Fiqh, hal. 25-26
[15] Ibid, hal. 26-33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar