KLASIFIKASI HADIS DARI SEGI KUANTITAS
Oleh : Attika Manazila Qutrotun Nada dan Estu Kinanti
Mahasiswa Jurusan PAI, FITK, UIN Maulana Malik Ibrahin Malang
التجريد
الحديث
هوكل ما قول و فعل و تيقن يأتي من النبي محمد صلى الله عليه وسلم و يستخدام مصدر
أو نظرية لمجموعة القنون الثاني بعد القرآن الكريم. إفادة الحديث ليبين شيء الذي
لم يبين في القرآن. في زمان رسول الله الصحابة يرتبك بما شرعة في القرآن إذان
النبي يعطي التبيان ليبين تلك الشرعة. لا كل الحديث يستطيع أن يصبح مصدر قوي ولكن
الحديث مجمعة من كميةالخميرة يعني كانت كيفية و كمية. في كيفية الحديث ينقسم على
إثنان انواع يعني الحديث متوتر و الحديث احاد. الحديث متوتر يستطيع أن يصبح مصدر
خطع ولكن الحديث احاد ضن. الحديث متوتر ينقسم على اثنانانواع يعني متوتر معنوى،
متوتر عملى ومتوتر لفظى. الحديث احاد ينقسم على الحديث مشهر و عزيز و غريب.
Abstrak
Hadis adalah segala sesuatu baik
perkataan, perbuatan dan ketetapan dari Nabi Muhammad SAW dan digunakan sebagai
sumber hukum kedua setelah Alquran. Fungsi dari hadis adalah untuk menjelaskan
sesuatu yang belum dijelaskan dalam Alquran. Pada zaman Rasulullah banyak
sahabat yang masih bingung dengan syariat yang ada dalam Alquran kemudian
Rasulullah memberikan penjelasan diluar Alquran yang kemudian termaktub dalam
sebuah hadis. Tidak semua jenis hadis dapat dijadikan sebagai dasar hukun yang
kuat. Maka dari itu hadis dikelompokkan sesuai dengan kualitas dan
kuantitasnya. Dalam makalah ini dibahas pengelompokam hadis sesuai jumlah
perawinya (segi kuantitasnya) yaitu dibagi menjadi hadis mutawatir dan hadis
ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang sudah qath’i atau pasti sebab adanya
jumlah perawi yang banyak dan tidak terputus, terdiri dari hadis mutawatir
ma’nawi, mutawatir amali dan mutawatir lafdhi. Sedangkan hadis ahad adalah
hadis yang masih dzanni(ada keraguan) karena sedikit jumlah periwayatnya yang
meliputi hadis masyhur, hadis aziz dan hadis gharib.
Keyword:
Mutawatir, maknawi, lafdzi, ahad, masyhur, aziz dan gharib.
A.
Pendahuluan
Agama islam adalah agama yang benar
yang diturunkan Allah kepada nabi terakhir Nabi Muhammad SAW kepada umat
manusia di muka bumi. Setiap agama pasti memiliki kitab suci sebagai dalil dalam penetapan dasar hukum. Hal ini berlaku
dan pasti dimiliki oleh agama islam yang mena agama islam memiliki 2 kitab suci
atau kitab pediman hidup bagi manusia, yakni Alquran dan Hadis.
Hadis merupakan segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad yang dapat dijadikan sebagai sumber atau dalil
dalam penetapan hukum yang kedua setelah Alquran, baik sumber tersebut berasal
dari perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi selama hidupnya ketika menjabat
sebagai nabi terakhir. Keberadaan hadis nabi sangat mendukung sekali dalam
penetapan hukum islam karena memang fungsinya sebagai pelengkap kitab suci yang
pertama. Namun, tidak semua yang ada dalam hadis bisa dijadikan hujjah atau
dalil sebagai hukum dalam islam. Jika ayat-ayat Alquran bersifat qath’i atau
pasti, maka ini berbeda dengan hadis, karena tidak semua hadis nabi memenuhi
persyaratan yang ditetapkan para ulama untuk menetapkan hukum baik dari segi
kualitas maupun kuantitas.
Dari segi kuantitasnya hadis
digolongkan menjadi 2 macam yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis
mutawatir dibagi menjadi hadis mutawattir amali, ma’nawi dan lafdzi. Sedangkan
hadis ahad terbagi menjadi 3 bagian yaitu hadis masyhur, aziz dan gharib. Kedua
macam hadist tersebut bisa dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum islam jika
benar-benar telah memenuhi syarat yang ditetapkan, dan wajib untuk ditaati dan
dikerjakan dalam menjalankan ibadah.
Dalam kesempatan kali ini, kami
sebagai penulis akan mengklasifikasikan dan menjelaskan tentang pembagian hadis
sari segi kuantitasnya dan akan membandingkan kehujjahan dari kedua macam hadis
tersebut dalam penetapan dan pengamalan hukumnya bagi orang islam.
1.
Hadis Dari Segi Kuantitasnya
Nabi Muhammad dalam menyampaikan
hadisnya bertemu dengan jumlah orang yang berbeda, adakalanya beliau bertemu
dan menyampaikan hadisnya kepada banyak orang, beberapa orang bahkan hanya
1orang yang menerima hadis dari nabi tentang hukum suatu perkara. Jika dilihat
dari segi dapat dipercaya atau tidaknya suatu hadis berdasarkan jumlah orang
yang menerima hadis tersebut, maka sudah bisa dipastikan bahwa hadis nabi yang
diterima dan disampaikan oleh banyak orang bisa dijadikan hujjah karena
keshohihan dari sanad dan matan yang terpercaya serta menjamin tidak akan
terjadi persekongkolan antar perawi. Untuk mengklsifikasikan macam-macam hadis
dilihat dari segi uantitasnya, kami sebagai penulis mengikuti mengikuti
kesepakan pendapat jumhur ulama atas pembagian hadis, yaitu hadis mutawatir dan
hadis ahad.
1.
Hadis mutawatir
a.
Pengertian Hadis mutawatir
Kata mutawatir dari segi
bahasa berarti sesuatu yang datang lalu disampaikan dengan beriringan tanpa
putus atau diselangi dengan yang lainnya. Kata mutawatir berarti Muttabi’(مُتَّبِغْ)
yang berarti sesuatu yang
datang berturut-turut tanpa ada jarak.[1]
Sedangkan menurut istilah, hadis mutawatir adalah :
اَلْحَدِيْثُ
المُتَوَتِّرُ هُوُ الَّذِيْ رَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيْرٌ يُؤْمَنُ تَوَاطُؤُهُمْ
عَلَى الْكِذْبِ عَنْ مِثْلِهِمْ اِلَى انْتِهَاءِ السَّنَدِ وَ كَانَ
مُسْتَنَدُهُمُ الحِسُّ
Artinya :“Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang jumlahnya banyak sehingga tidak mungkin bersepakat untuk berdusta
karena banyaknya jumlah perawi dari awal sampai akhir sanad. Dan sanad mereka
adalah pancaindera.”[2]
Menurut Habieb Ashiddieqy bahwa hadis mutawatir adalah Hadis yang
diriwayatkan sejumlah orang yang tidak dapat dihitung jumlahnya dan tidak dapat
diperhitungkan bahwa mereka dengan sengaja bersepakat untuk dusta. Dan keadaan
ini berlangsung dari sanad petama hingga sanad yang terakhir. [3]
Pada intinya hadis
mutawatir yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang berjumlah banyak dari setiap
generasi atau sanad yakni sejak generasi sahabat (awal) sampai generasi akhir.
Sebuah hadis bisa dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir jika telah memenuhi
syarat-syarat di bawah ini:
(1)
Hadis yang diriwayatkan oleh perawi harus benar-benar berasal dari
Nabi Muhammad SAW yang dapat ditangkap dengan pancaindera mereka. Apabila hadis
tersebut berasal dari pemikiran seorang perawi yang meriwayatkannya tau hasil
dari istinbath-nya maka hadis tersebut bukanlah hadis mutawatir.[4]
(2)
Perawi yang meriwayatkan hadis mtawatir harus mencapai jumlah
perawi yang banyak yang menurut adat
mereka mustahil bersepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan jumlah banyaknya perawi pada hadis mutawatir, menurut Abu
At-Thayyib, Hymlah perawi 4 orang dan ulama lain ada yang berpendapat sepuluh
orang rawi, dua puluh, empat puluh bahkan ada yang menetapkan jumlah perawi
hadis mutawatir minimal harus tujuh puluh.[5]
(3)
Jumlah perawi hadis mutawatir harus sama dari thabaqah/sanad yang
pertama, selanjutnya hingga yang terakhir dengan bilangan mutawatir pada syarat
yang kedua.
Hadis yang dapat memenuhi tiga
syarat di atas, maka hadis tersebut bisa digolongkan sebagai hadis mutawatir.
Dalam hadis mutawatir yang menjadi ukuran adalah dari segi jumlah rawinya
(kuantitas) dan secara rasional mereka mustahil bersepakat untuk berdusta,
serta perawi pada hadis ini tidak diharuskan untuk memiliki kriteria seperti
hadis shahih dan hasan, yaitu adil dan dabit. Oleh karena itu, seandainya
sejumlah orang yang terbilang banyak dan mereka menyampaikan suatu hadis atau
kabar berita walaupun mereka tidak memiliki sifat adil dalam dirinya dan dabit
dalam hafalan dan tulisannya, maka apa yang disampaikan oleh mereka bernar dan
terpercaya.
Hadis mutawatir dibagi menjadi tiga
macam, yaitu mutawatir lafzhi, mutawatir maknawi dan mutawatir amali,
masing-masing hadis tersebut memiliki pengertian sebagai berikut :
1.
Hadis Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir
lafzhi yaitu mutawatir redaksinya.[6]
Secara istilah hadis mutawatir ialah hadis yang lafazh dan makna hadis tersebut
mamiliki kesesuaian antara yang satu dengan yang lainnya, yakni :
“ مَا اِتَّفَقَتْ اَلْفَاظُ الرُّوَاةِ
فِيْهِ وَلَوْ حُكْمًا وَ فِيْ مَعْنَاهُatauهُوَ
مَا تَوَاتَرَ لَفْظُهُ”
Hadis yang memiliki kesamaan pada makna, lafaz dan hukumnya. Contoh
hadis ini :
مَنْ
كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنِ النَّارِ (رواه
البخاري)
Artinya : “Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku,
hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka.”
Dalam jumlah
periwataran hadis diatas terjadi perbedaan antar ulama, menurut Abu Bakar
Al-Bazzar bahwa hadis tersebut jumlah perawinya 40 orang, namun ada sebagian
ulama yang mengatakan hadis tersebut disampaikan oleh 62 orang sahabat dengan
penyampaian lafaz dan maknanya sama.
2.
Hadis Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir
ma’nawi, yaitu hadis mutawatir yang yang disampaikan oleh banyakperawi dengan
lafazh dan maknanya berbeda tetapi sebenarnya memiliki makna yang sama jika
disimpulkan.[7]Sebagaimana
yang dijelaskan kaidah dalam ilmu hadis bahwa :
مَا
اِخْتِلَفُوْا فِيْ لَفْظِهِ وَ مَعْنَاهُ مَعَ رُجُوعِهِ لِمَعْنًى كُلِّيًّ
Artinya : “Hadis yang berlainan
bunyi (lafazh) dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umumnya.”[8]
Contoh hadis
mutawati maknawi ini yaitu hadis tentang tata cara Nabi Muhammad SAW berdoa
dengan mengangkat kedua tangannya :
قال أبو موسى الأشعري
: دعا النبي صلى الله عليه و سلم ثم رفع يديه و رأيت بياض إبتيه, قول أنس : كان
النبي صلى الله عليه و سلمو لا يرفع يديه في شيئ من دعائها إلا في الإستسقاء
Dalam hadis ini menceritkan Abu
Musya Al-Asy’ari bahwa Nabi Muhammad SAW ketika berdo beliau mengangkat kedua
tangannya hingga terlihat putih dari kedua ketiaknya, dan Anas berkata : Nabi
Muhammad SAW tidak mengangkat kedua tangannya, kecuali ketika Nabi melakukan
shalat istisqo’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis yang semakna dengan hadis di
atas banyak sekali (sebanyak 100 jumlah hadis), diantaranya :
قَلَ عُمَرُ اِبْنُ
الْخَطَّابِ : كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم : اِذَا
رَفَعَ يَدَيْهِ فِيْ الدُّعَاعِ لَمْ يَحُطّثهُمَا حَتَّى يَسْمَحَ بِهِمَا
وَجْهَهُ
Artinya :
“Umar bin Khattab berkata :” Rasulullah bila telah mengangkat kedua
tangannya ketika berdoa tidak akan menurunkan kedua tangannya sebelum
menyapukan kedua telapak tangannya ke mukanya.”
Kedua hadis
diatas, berbeda dalam penyampaian redaksinya (lafadz hadis) dengan maknanya,
tetapi memiliki pengertian umum (kulli) yang sama, yakni Rasulullah SAW
mengangkat kedua tangannya ketika berdia.
3.
Hadis Mutawatir Amali
Hadis mutawatir amali adalah hadis
mutawatir yang berhubungan dengan perbuatan Rasulullah SAW, yang dilihat dan
ditiru oleh para sahabat, tabi’in dan diikuti oleh banyak orang, dan dilakukan
tanpa ada perbedaan oleh banyak orang dari generasi pertama hingga akhir.[9]
Diantara contoh dari hadis mutawatir amali yaitu hadis-hadis yang berkenaan
dengan ibadah seperti pelaksanaan waktu shalat wajib, jumlah rakaat, shalat
jenazah , shalat id, kadar zakat harta, dan lain-lain.
صَلُّوْا كَمَا
رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّى (رواه البخارى و مسلم)
Artinya : “Shalatlah kamu seperti kalian melihat aku shalat” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Kitab-kitab yang secara khusu memuat tentang hadis mutawatir,
diantaranya :
a.
Al-Azhar Al-Mutanatsirah di Al-Mutawatirah, yang disusun oleh Imam
Sayuti. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadis.
b.
Nazhm Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawtirah, yang disusun oleh Muhammad
Ja’far Al-Kattani (1345 H).
b.
Kedudukan Hadis Mutawatir
Para ulama dan seluruh umat islam
sepakat bahwa hadis mutawatir memberi faedah ilmu dzaruri yaitu seatu kewajiban
dan keharusan bagi siapa saja yang menerima hadis mutawatir untuk menerimanya
secara bulat sehingga dapat membawa kepada keyakinan yang qath’I (pasti).[10]
Derajat hadis mutawtir sangat tinggi terutama hadis mutawatir lafzhi yang derajatnya
seimbang dengan Alquran.
Hadis mutawatir tidak pelu lagi
untuk diteliti tentang keadilan dan kekuatan hafalan (dhabit) perawinya, Karena
jumlah perawi hadis mutawatir sudah menjamin bahwa tidak mungkin para perawinya
akan bersepakat untuk berdusta, dalam arti lain hadis mutawatir tidak menjadi
objek dari pembahasan tentang pembagian ilmu hadis dari segi maqbul dan
mardudnya.[11]
Hadis mutawatir bersifat qath’iyyul
wurud, yaitu hadis ini dipastikan sumber asalnya dari Nabi Muhammad SAW.
Keyakinan atau ilmu yang diperoleh dari khabar atau hadis mutawatir sama dengan
kilmu (keyakinan) yang diperoleh dari melihat dengan mata kepala sendiri. Para ilama bersepakat bahwa harus diterima
sebagai hadis yang berasal dari Nabi SAW dan يجب العمل به
yaitumorang islam wajib mengamalkannya, maksudnya jika dalam hadis
mutawatir tersebut menyatakan bahwa Nabi menyebut suatu perintah mka harus
dilaksankan, begitu sebaliknya bila di sana ada larangan dari Nabi maka harus
dijauhi atau disingkiri.
- Hadis Ahad
a.
Pengertian Hadis Ahad
Dalam bahasa arab kata ahad (احاد) bentuk jamak dari kata ahad (احد) yang berarti satu[12].
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang
jumlah rawinya sedikit yaitu hanya satu, dua, tiga atau lebih yang tidak
mencapai tingkatan perawi hadis mutawatir[13].
Pengertian hadis ahad menurut para ahli:
- Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, hadis ahad adalah hadis yang sanadnya bersambung sampai Nabi Muhammad SAW (shahih) akan tetapi artinya zhanni dan tidak mencapai qath’i (yakin)[14]. Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan yang membedakan antara hadis ahad dengan hadis mutawattir, yaitu:
a.
Kuantitas rawinya masih tinngi hadis mutawattir.
b.
Hadis ahad zhanni, bukan qath’i sepertihalnya hadis mutawattir.
- Muhammad Ajjaj al-Khatib, hadis ahad adalah hadis yang jumlah rowinya satu, dua atau lebih tetapi tidak mencapai mutawatir, derajatnya dibawah tingkatan mutawatir[15].
b.
Pembagian Hadis Ahad
- Hadis Masyhur (Hadis Mustafidz[16])
Jumlah perawinya mencapai tiga orang
atau lebih yang tidak sampai mencapai mutawatir[17].Secara
bahasa masyhur berati terkenal[18].
Begitu pula mustafidz yang berarti tersebar atau tersiar[19].
Jika dilihat dari maknanya keduanya memiliki arti yang sama, namun sebagian ulama
membedakan antara kedua hadis tersebut. Masyhur merupakan isim maf’ul dari
syahara شهرت الامر
(aku memasyhurkan sesuatu)
Ada perbedaan antara masyhur dengan
mustafidz, mustafidz jumlah rawinya mencapai tiga mulai dari thabaqah pertama
sedangkan masyhur hanya terdapat salah satu thabaqah saja diantara
thabaqah-thabaqahnya. Misalnya pada thabaqah pertama dan kedua jumlah rawinya
hanya satu orang dan pada thabaqah tiga jumlah rawinya mencapai tiga atau
lebih. Maka hal ini disebut dengan hadis masyhur. Sedangkan hadis mustafidz
setiap thabaqahnya harus ada minimal tiga perawi. Selain pendapat tersebut ada
juga ulama yang berpendapat bahwa perbedaan hadis masyhur dengan mustafidz
terletak pada jumlah rawinya. Hadis masyhur diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
tanpa mencapai mutawatir sedangkan hadis mustafidz diriwayatkan oleh minimal
empat rawi dengan tidak mencapai derajat mutawatir[20].
Contoh hadis ahad :
من
أتى الجمعة فليغتسل ( رواه الجماعة )
Artinya : “ Barang siapa pergi sholat jumat, hendaklah ia mandi.”
(H.R. Al-Jama’ah)[21]
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده (رواه البخارى ومسلمو الترمذى)
Artinya : Rasulullah SAW bersabda, “ seseorang muslim adalah kaum
muslimin yang tidak terganggu oleh lidah dan tangannya.“ (HR. Bukhari, Muslim
dan Tirmidzi)[22].
Mansyhur istilah mensyaratkan jumlah
rawi tertentu pada setiap tingkatan sanad.
Hadis masyhur non istilah yaitu hadis masyhur yang meskipun tidak
ada sanadnya, meliputi :
a.
Masyhur dikalangan ulama hadis
ان رسول الله صلى
الله عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع
Artinya : “ Bahwasannya Rasulullah membaca kunut dalam satu bulan
setelah ruku” (HR. Bukhari Muslim)
b.
Masyhur dikalangan ahli hadis, para ulama dan masyarakat umum
المسلم من سلم
المسلمون من لسانه ويده
Artinya : “ Orang islam adalah orang yang menyebabkan orang-orang
islam selamat dari lisan dan tangannya” (Muttafaq ‘Alaih)
c.
Masyhur dikalangan ahli ushul fiqh
رفع عن امتى الخطاء
والنسيان ومااستكرهوا عليه
Artinya : “Diangkat (dimaafkan) dari umatku (sesuatu perbuatan yang
dilakukan karena) tersalah, lupa atau karena dipaksakan”
d.
Masyhur dikalangan ulama fiqh (fuqaha’)
نهى رسول الله صلى
الله عليه وسلم عن بيع الغرر
Artinya : ” Rasulullah melarang jual beli yang didalamnya
mengandung tipu daya ”
e.
Masyhur dikalangan ulama bahasa Arab
نعم العبد صهيب لولم
يخف الله لم يعصه
Artinya : “ Hamba Allah yang paling baik adalah Suhayb, meskipun
tidak takut kepada Allah, ia tidak maksiat kepada-Nya”
f.
Masyhur dikalangan masyarakat umum
العجلة من الشيطان
Artinya : “ Terburu-buru termasuk (perbuatan) setan” (HR.
al-Turmudzi dan dia menilainya sebagai hadis Hasan)
g.
Masyhur dikalangan ahli pendidikan
أدبنى ربى فأحسن
تأديبى
Artinya : “Tuhanku telah mendidikku maka ia menjadikan
pendidikannku menjadi baik[23].
Hadis Masyhur termuat dalam kitab-kitab berikut:
(1)
Kitab al-Maqashid al-Hasanah fi Ma Isytahara ‘ala al-Alsinah karya
al-Sakhawi
(2)
Kitab Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas fi Ma Isytahara min
al-Hadits ‘ala Alsinah al-Nas karya al-Aljubi
(3)
Kitab Tamyiz al-Thayyib min al-Khabits fi Ma Yadur ‘ala Alsinah
al-Nas min al-Hadits oleh Ibn al-Dhabya’ al-Syaybani[24]
Menurut istilah hadis aziz adalah hadis yang jumlah perawinya dua
orang[26].
Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, pengertian hadis aziz sebagai berikut
وهو ما انفرد برواته
عن راويه اثنان فلا يرويه اقل من اثنين عناثنين
Artinya : “hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi dan tidak
boleh kurang dari dua periwayat tersebut[27]”
Contoh hadis aziz:
أ.
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : نحن الاخرون فى الدنيا السّابقون يوم القيامة (عن
حذيفة وأبو هريرة)
Artinya :” Rasullah SAW bersabda,” Kita adalah orang-orang yang
paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di akhirat[28].
ب.
لايؤمنون
أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه ووالده وولده والناس أجمعين (متفق عليه)
Artinya : “ Tidak sempurna iman
seseorang darimu sehingga aku lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya
sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya (Mutafaq ‘alaih)[29]
Meskipun dalam setiap thabaqahnya
ada yang meriwayatkan lebih dari dua perawi namun disalah satu thabaqah hanya
ada dua perawinya maka hadis tersebut diberi nama hadis aziz.
(1)
Hadis aziz pada thabaqah pertama
نحن الاخرون السابقون
يوم القيامة ( رواه أحمد والنسائى)
Artinya : “ Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang
terdahulu pada hari kiamat” (HR. Ahmad dan N-Nasa’i)
(2)
Hadis aziz pada thabaqah kedua
لايؤمن أحد كم حتى
أكون أحب إليه من نفسه ووالده وولده والناس أجمعين (متفق عليه)
Artinya : “ Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga aku lebih
dicintainya daripada ia mencintai dirinya sendiri,orang tuanya, anak-anaknya
dan manusia seluruhnya”.
- Hadis Gharib
Jumlah perawinya hanya 1 orang
(sendiri)[30].
Hadis gharib dibagi menjadi dua,
yaitu :
a.
Hadis gharib muthlaq, terdapat penyendirian dalam hadis tersebut.
الإيمان
بضع وسبعون شبعة والحياء شبعة من الإيمان
Artinya : “Iman itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang. Malu
salah satu cabang dari iman.”(Mutafaq ‘alaih)[31]
b.
Hadis gharib nisbi, terdapat penyendirian yang yang meliputi sifat
dan keadaan para perawinya.
1.
Penyendirian sifat (keadilan, kedhabitan, ketsiqatan perawi).
كان رسول الله ص.م يقرأ في الأضحى والفطر بق
والقران المجيد وقتربت الساعة وانشق القمر (أخرجه مسلم)
Artinya :Rasulullah SAW pada hari raya qurban dan hari taya
fitri membaca surat Qaaf dan surat Al-Qomar.” (HR. Muslim)
2.
Penyendirian kota atau tempat tinggal.
أمرنا
رسول الله ص.م أن نقرأ بفاتحة الكتاب وما تيسرمنه (رواه أبو داود)
Artinya : “ Rasulullah memerintah kepada kita agar membaca
Al-Fatihah dan surat mudah dari Al-Quran”. (HR.Abu Dawud)
3.
Penyendirian periwayatan oleh rawi tertentu.
أن
النبي ص.م أولم على صفية بسوبق وتم
Artinya : “Sesungguhnya Nabi SAW mengadakan walimah untuk
shafiyah dengan jamuan makanan yang
terbuat dari tepung gandum dan kurma”. [32]
4.
Penyendirian perawi tertentu oleh rawi tertentu pula
تفرد
به فلان عن فلان
Artinya : “ Si Fulan meriwayatkan hadist tersendiri dari si fulan”
Berdasarkan letak keghariban, hadis gharib dibagi menjadi tiga
kelompok :
a.
Gharib matnan wa isn adan ( gharib sanad dan matan) yaitu hadis
yang tidak diriwayatkan melainkan oleh satu sanad.
b.
Gharib isn adan la matnan ( gharib sanad namun tidak matan) yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang masyhur kemudian diriwayatkan olehrawi
yang tidak masyhur melalui jalan lain).
c.
Gharib matnan la isnadan, hadis yang awalnya satu sanad namun
selanjutnya menjadi masyhur.
Cara menentukan keghariban hadis :
I’tibar adalah cara menentukan hadis tersebut gharib
atau tidak dengan diperiksa dikitab dengan demikian dapat diketahui apakah
menjadi mutabi’ (Hadis yang mengikuti periwayatan orang lain sejak pada gurunya
atau gurunya guru).
Macam mutabi’ :
a.
Mutabi’ tam, periwayatan mengikuti guru terdekat hingga terjauh.
b.
Mutabi’ qashir, periwayatan hanya mengikuti guru terjauh.
أن
يروي حديثا اخر بمعناه
Artinya :’’ Meriwayatkan hadis sesuai dengan maknanya (syahid)”
Macam syahid :
a.
Syahid bi al-lafdzhi, sesuai dengan makna khusus.
b.
Syahid bi al-ma’na, sesuai dengan makna umumnya.[33]
Contoh kitab yang di dalamnya terdapat hadis gharib
(1)
Kitab Athraf al-Gharaib wa al-Afrad karya Muhammad bin Thahir
al-Maqdisi (448-507 H)
(2)
Al-Afrad ‘ala Tartib Al-Athraf oleh Abu al-Hasan ‘Ali ibn ‘Umar
al-Daruquthni al-Baghdadi (306-385 H)
(3)
Al-Ahadits al-Shihhah al-Gharaib karya Yususf ibn’Abd al-Rahman
al-Mizzi al-Syafi’i (654-742 H)
(4)
Al-Sunan allati Tafarrada bikull sanah minha Ahl Baladah karya Abu
Dawud al-Sijistani
c.
Kedudukan Hadis Ahad
Derajat
kedudukan hadis ahad dibawah hadis mutawatir, jika hadis mutawatir sudah mutlak
dan dijamin dari Rasulullah maka hadi sahad masih diduga berasal dari
Rasulullah. Jadi masih ada kemungkinan hadis ahad bukan berasal dari
Rasulullah. Yang masih dikhawatirkan adalah adanya hadis palsu yang tercampur
dalam hadis ahad, karena pada zaman dulu banyak yang membuat hadis-hadis palsu.
Maka dari itu kedudukan hadis ahad dibawah hadis mutawatir[34].
Menurut jumhur
ulama hadis ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah dalam kehidupan. Pendapat
ini didukung oleh Muslim ibn al-Hajjaj bahwa berlandasan hadis ahad maqbul
(dapat diterima)
-
Kelompok Qadariyah, Rafidah dan Zahriyah hukum beriman dengan hadis
ahad tidak wajib, kalaupun wajib harus yang aqli bukan syar’i.
-
Al-Juba’i dari kalangan Mu’tazilah tidak wajib hukum beriman dengan hadis ahad kalau bukan
yang hadis aziz (dua orang rawi) [35].
3.
Perbedaan Pengetahuan antara (Ilmu) dalam Hadist Mutawatir dan Ahad
Pengetahuan yang berasal dari hadis
mutawatir berbedang dengan pengetahuan yang disampaikan dari hadis ahad.
Pengetahuan yang disampaikan dari hadis mutawatir bersifat dharuri yang
diperoleh langsung dari pengamatan oleh panca indera. Oleh karena itu, berita
yang berasal dari hadis mutawatir berdasarkan pada ilmu pasti bukan prasangka
belaka. Sehingga berita yang berasal dari hadis mutawatir menghasilkan
keyakinan pada diri orang-orang yang mendengar kebenaran berita tersebut karena
hadist mutawatir bersifat qath’I yang dimana mengharuskan orang-orang
mempercayai dan membenarkan hadis ini tanpa ada keraguan seikitpun karena periwayat
hadisnya berjumlah banyak dan tidak mungkin bersepakat dusta, serta hadis
mutawatir maqbul untuk dijadikan hujjah.
Berbeda dengan hadis mutawatir,
penegetahuan atau berita yang disampaikan dari hadist ahad bersifat nadzari dan
dzanni yaitu berita yang disampaikan tidak bersifat pasti dan bisa jadi hanya
berasal dari prasangka, hal ini disesbabkan karena hadis ahad diriwayatkan oleh
perawi yang jumlahnya sedikit dan tidak mencapai tingkatan mutawatir. Perihal
tentang diterima atau ditolaknya hadis ahad sebagai hujjah dalam hukum islam,
para ulama berbeda pendapat. Hadis ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah dan
wajib diamalkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis ahad yang berada dalam
kumpulan hadis yang muttafaq ‘alaih ( Shahi al-Bukhari dan Shahih Muslim )
menunjukkan atas ilmu yang yakin dan wajib diterima[36].
KESIMPULAN
Hadis merupakan
segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad baik itu ucapan, perbuatan
maupun ketetapannya. Hadis digunakan sebagai sumber hukum setelah Al-Quran.
Namun tidak semua hadis dapat digunakan sebagai dasar hukum yang pasti. Dalam
segi kuantitas atau jumlah perawinya, hadis dibagi menjadi hadis mutawatir dan
hadis ahad. Hadis mutawatir sudah dipastikan benar atau pastisedangkan hadis
ahad masih ada keraguan. Hadis mutawatir terbagi menjadi hadis mutawatir,
maknawi, amali dan juga lafdhzi. Sedangkan hadis ahad terbagi menjadi hadis
mashyur, aziz dan gharib. Tingkatan hadis mutawatir lebih tinggi daripada hadis
ahad. Jumlah periwayat hadis ahad meliputi satu, dua, tiga atau lebih perawi
yang tidak mencapai derajat mutawatir.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Muhammad
dan Drs. M. Mudzakir, 2000. Ulumul Hadis. Malang: Pustaka Setia
Basith Junaidy, Abdul. 2001. Rekayasa As-Sunnah. Yogykarta:
Ittaka Press
Budiman, Ade.
2017. Modul Materi : Ulumul Hadis, Kimisi Pendidikan dan Seni Budaya Islam.
Banten
Darmalaksana, Wahyudin.
2004.Hadis Di Mata Orientalis. Bandung: Benang Merah Pres
Idri. 2010.Studi hadis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Juliana. 2017. Hadis Ahad Sebagai
Sumber Hukum Islam (Pemikiran Imam Ghazali dan Imam al-Sarakhsi, Pendekatan
Epistemologi). Banda Aceh: Media Syariah
Khaeruman, Badri. 2010.Ulum Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Khamzah. 2015. Al-qur’an hadis kelas X SMA. Surabaya: Asik
Pustaka
Sumbulah, Umi. 2014. Studi Al-Quran dan Hadis. Malang: UIN
Maliki Press
Zuhri, Muhammad.
2003. Hadis Nabi Telaah Historis dan Meetodelogi. Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya
Catatan:
1. Similarity 14%, bagus
2. Perbaiki footnote
3. Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof.,
Dr., Ustadz dll) dihilangkan.
4. Berikan penjelasan mengapa disebut gharib
mutlaq dan nisbi untuk masing-masing hadis.
[1]M. Khamzah, Al-qur’an hadis kelas X SMA, Asik Pustaka,
Surabaya, 2015, hlm. 42.
[2] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Pustaka Setia,
Malang, 2000, hlm. 87.
[3] Wahyudin Darmalaksana, Hadis Di Mata Orientalis, Benang
Merah Pres, Bandung, 2004, hlm. 35.
[4] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, Pustaka Setia, Bandung,
2010, hlm. 96.
[5] Wahyudin Darmalaksana, op. cit. hlm. 36.
[6] Prof. Dr. Muh Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Meetodelogi, PT
Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2003, hlm. 84
[7] Ade Budiman, Modul Materi : Ulumul Hadis, Kimisi Pendidikan dan
Seni Budaya Islam, Banten, 2017, hlm. 24
[8]Badri Khaeruman, op. cit. hlm. 98.
[9]Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, op. cit. hlm. 92
[10]Badri Khaeruman, M.ag, op. cit. hlm. 99.
[11]Wahyudin Darmalaksana, hlm. 37.
[12] Idri, Studi hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), 141
[13] Muh Zuhri, Hadis nabiTelaah Historis dan Metodologis,
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), 87
[14] Op.cit, 141
[15] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di masa Orientalis, (Bandung:
Benang Merah Press, 2004), 38
[16] Ibid, 38
[17] Badri Khaeruman, Ulum al hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2010), 100
[18] Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ulumul hadis,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 93
[19] Ibid, 94
[20] Ibid
[21] Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ulumul hadis,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
[22] Op,cit, 94
[23] Umi Sumbulah, dkk, Studi Al-Quran dan Hadis, (Malang: UIN
Maliki Press, 2014), 195
[24] Idri, Studi hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), 145
[25] Ibid, 147
[26] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di mata orientalis,( Bandung:
Benang Merah Press, 2004), 39
[27] Op,cit,
[28]Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir , Op,cit 95
[29] Badri Khaeruman, Op,cit 104
[30] Ibid, 39
[31]Badri Khaeruman Op,cit, 105
[32]Ibid, 105
[33] Ibid, 107
[34] Abdul Basith Junaidy, Rekayasa As-Sunnah,(Yogykarta: Ittaka
Press, 2001), 112
[35] Idri, Studi hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), 154
[36]Juliana, Hadis Ahad Sebagai Sumber Hukum Islam (Pemikiran Imam
Ghazali dan Imam al-Sarakhsi, Pendekatan Epistemologi), Media Syariah,
Vol.18, No.2, 2016, hal.297
Tidak ada komentar:
Posting Komentar