Kamis, 01 November 2018

Klasifikasi Hadis dari Aspek Kuantitas Periwayat (PAI H ICP Semester Ganjil 2018/2019)



KLASIFIKASI HADIS DARI SEGI KUANTITAS
Oleh : Attika Manazila Qutrotun Nada dan Estu Kinanti
Mahasiswa Jurusan PAI, FITK, UIN Maulana Malik Ibrahin Malang
التجريد
الحديث هوكل ما قول و فعل و تيقن يأتي من النبي محمد صلى الله عليه وسلم و يستخدام مصدر أو نظرية لمجموعة القنون الثاني بعد القرآن الكريم. إفادة الحديث ليبين شيء الذي لم يبين في القرآن. في زمان رسول الله الصحابة يرتبك بما شرعة في القرآن إذان النبي يعطي التبيان ليبين تلك الشرعة. لا كل الحديث يستطيع أن يصبح مصدر قوي ولكن الحديث مجمعة من كميةالخميرة يعني كانت كيفية و كمية. في كيفية الحديث ينقسم على إثنان انواع يعني الحديث متوتر و الحديث احاد. الحديث متوتر يستطيع أن يصبح مصدر خطع ولكن الحديث احاد ضن. الحديث متوتر ينقسم على اثنانانواع يعني متوتر معنوى، متوتر عملى ومتوتر لفظى. الحديث احاد ينقسم على الحديث مشهر و عزيز و غريب.
Abstrak
Hadis adalah segala sesuatu baik perkataan, perbuatan dan ketetapan dari Nabi Muhammad SAW dan digunakan sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran. Fungsi dari hadis adalah untuk menjelaskan sesuatu yang belum dijelaskan dalam Alquran. Pada zaman Rasulullah banyak sahabat yang masih bingung dengan syariat yang ada dalam Alquran kemudian Rasulullah memberikan penjelasan diluar Alquran yang kemudian termaktub dalam sebuah hadis. Tidak semua jenis hadis dapat dijadikan sebagai dasar hukun yang kuat. Maka dari itu hadis dikelompokkan sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya. Dalam makalah ini dibahas pengelompokam hadis sesuai jumlah perawinya (segi kuantitasnya) yaitu dibagi menjadi hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang sudah qath’i atau pasti sebab adanya jumlah perawi yang banyak dan tidak terputus, terdiri dari hadis mutawatir ma’nawi, mutawatir amali dan mutawatir lafdhi. Sedangkan hadis ahad adalah hadis yang masih dzanni(ada keraguan) karena sedikit jumlah periwayatnya yang meliputi hadis masyhur, hadis aziz dan hadis gharib.
Keyword: Mutawatir, maknawi, lafdzi, ahad, masyhur, aziz dan gharib.
A.    Pendahuluan
Agama islam adalah agama yang benar yang diturunkan Allah kepada nabi terakhir Nabi Muhammad SAW kepada umat manusia di muka bumi. Setiap agama pasti memiliki kitab suci sebagai dalil  dalam penetapan dasar hukum. Hal ini berlaku dan pasti dimiliki oleh agama islam yang mena agama islam memiliki 2 kitab suci atau kitab pediman hidup bagi manusia, yakni Alquran dan Hadis.
Hadis merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad yang dapat dijadikan sebagai sumber atau dalil dalam penetapan hukum yang kedua setelah Alquran, baik sumber tersebut berasal dari perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi selama hidupnya ketika menjabat sebagai nabi terakhir. Keberadaan hadis nabi sangat mendukung sekali dalam penetapan hukum islam karena memang fungsinya sebagai pelengkap kitab suci yang pertama. Namun, tidak semua yang ada dalam hadis bisa dijadikan hujjah atau dalil sebagai hukum dalam islam. Jika ayat-ayat Alquran bersifat qath’i atau pasti, maka ini berbeda dengan hadis, karena tidak semua hadis nabi memenuhi persyaratan yang ditetapkan para ulama untuk menetapkan hukum baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Dari segi kuantitasnya hadis digolongkan menjadi 2 macam yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis mutawatir dibagi menjadi hadis mutawattir amali, ma’nawi dan lafdzi. Sedangkan hadis ahad terbagi menjadi 3 bagian yaitu hadis masyhur, aziz dan gharib. Kedua macam hadist tersebut bisa dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum islam jika benar-benar telah memenuhi syarat yang ditetapkan, dan wajib untuk ditaati dan dikerjakan dalam menjalankan ibadah.
Dalam kesempatan kali ini, kami sebagai penulis akan mengklasifikasikan dan menjelaskan tentang pembagian hadis sari segi kuantitasnya dan akan membandingkan kehujjahan dari kedua macam hadis tersebut dalam penetapan dan pengamalan hukumnya bagi orang islam.
1.      Hadis Dari Segi Kuantitasnya
Nabi Muhammad dalam menyampaikan hadisnya bertemu dengan jumlah orang yang berbeda, adakalanya beliau bertemu dan menyampaikan hadisnya kepada banyak orang, beberapa orang bahkan hanya 1orang yang menerima hadis dari nabi tentang hukum suatu perkara. Jika dilihat dari segi dapat dipercaya atau tidaknya suatu hadis berdasarkan jumlah orang yang menerima hadis tersebut, maka sudah bisa dipastikan bahwa hadis nabi yang diterima dan disampaikan oleh banyak orang bisa dijadikan hujjah karena keshohihan dari sanad dan matan yang terpercaya serta menjamin tidak akan terjadi persekongkolan antar perawi. Untuk mengklsifikasikan macam-macam hadis dilihat dari segi uantitasnya, kami sebagai penulis mengikuti mengikuti kesepakan pendapat jumhur ulama atas pembagian hadis, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
1.      Hadis mutawatir
a.      Pengertian Hadis mutawatir
Kata mutawatir dari segi bahasa berarti sesuatu yang datang lalu disampaikan dengan beriringan tanpa putus atau diselangi dengan yang lainnya. Kata mutawatir berarti Muttabi’(مُتَّبِغْ)  yang berarti sesuatu yang datang berturut-turut tanpa ada jarak.[1] Sedangkan menurut istilah, hadis mutawatir adalah :
اَلْحَدِيْثُ المُتَوَتِّرُ هُوُ الَّذِيْ رَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيْرٌ يُؤْمَنُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكِذْبِ عَنْ مِثْلِهِمْ اِلَى انْتِهَاءِ السَّنَدِ وَ كَانَ مُسْتَنَدُهُمُ الحِسُّ
Artinya :“Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang jumlahnya banyak sehingga tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah perawi dari awal sampai akhir sanad. Dan sanad mereka adalah pancaindera.”[2]
            Menurut Habieb Ashiddieqy bahwa hadis mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan sejumlah orang yang tidak dapat dihitung jumlahnya dan tidak dapat diperhitungkan bahwa mereka dengan sengaja bersepakat untuk dusta. Dan keadaan ini berlangsung dari sanad petama hingga sanad yang terakhir. [3]
            Pada intinya hadis mutawatir yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang berjumlah banyak dari setiap generasi atau sanad yakni sejak generasi sahabat (awal) sampai generasi akhir. Sebuah hadis bisa dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir jika telah memenuhi syarat-syarat di bawah ini:
(1)   Hadis yang diriwayatkan oleh perawi harus benar-benar berasal dari Nabi Muhammad SAW yang dapat ditangkap dengan pancaindera mereka. Apabila hadis tersebut berasal dari pemikiran seorang perawi yang meriwayatkannya tau hasil dari istinbath-nya maka hadis tersebut bukanlah hadis mutawatir.[4]
(2)   Perawi yang meriwayatkan hadis mtawatir harus mencapai jumlah perawi yang banyak  yang menurut adat mereka mustahil bersepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah banyaknya perawi pada hadis mutawatir, menurut Abu At-Thayyib, Hymlah perawi 4 orang dan ulama lain ada yang berpendapat sepuluh orang rawi, dua puluh, empat puluh bahkan ada yang menetapkan jumlah perawi hadis mutawatir minimal harus tujuh puluh.[5]
(3)   Jumlah perawi hadis mutawatir harus sama dari thabaqah/sanad yang pertama, selanjutnya hingga yang terakhir dengan bilangan mutawatir pada syarat yang kedua.
Hadis yang dapat memenuhi tiga syarat di atas, maka hadis tersebut bisa digolongkan sebagai hadis mutawatir. Dalam hadis mutawatir yang menjadi ukuran adalah dari segi jumlah rawinya (kuantitas) dan secara rasional mereka mustahil bersepakat untuk berdusta, serta perawi pada hadis ini tidak diharuskan untuk memiliki kriteria seperti hadis shahih dan hasan, yaitu adil dan dabit. Oleh karena itu, seandainya sejumlah orang yang terbilang banyak dan mereka menyampaikan suatu hadis atau kabar berita walaupun mereka tidak memiliki sifat adil dalam dirinya dan dabit dalam hafalan dan tulisannya, maka apa yang disampaikan oleh mereka bernar dan terpercaya.
Hadis mutawatir dibagi menjadi tiga macam, yaitu mutawatir lafzhi, mutawatir maknawi dan mutawatir amali, masing-masing hadis tersebut memiliki pengertian sebagai berikut :
1.      Hadis Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzhi yaitu mutawatir redaksinya.[6] Secara istilah hadis mutawatir ialah hadis yang lafazh dan makna hadis tersebut mamiliki kesesuaian antara yang satu dengan yang lainnya, yakni :

مَا اِتَّفَقَتْ اَلْفَاظُ الرُّوَاةِ فِيْهِ وَلَوْ حُكْمًا وَ فِيْ مَعْنَاهُatauهُوَ مَا تَوَاتَرَ لَفْظُهُ
Hadis yang memiliki kesamaan pada makna, lafaz dan hukumnya. Contoh hadis ini :
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنِ النَّارِ (رواه البخاري)
Artinya : “Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka.”
            Dalam jumlah periwataran hadis diatas terjadi perbedaan antar ulama, menurut Abu Bakar Al-Bazzar bahwa hadis tersebut jumlah perawinya 40 orang, namun ada sebagian ulama yang mengatakan hadis tersebut disampaikan oleh 62 orang sahabat dengan penyampaian lafaz dan maknanya sama.
2.      Hadis Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi, yaitu hadis mutawatir yang yang disampaikan oleh banyakperawi dengan lafazh dan maknanya berbeda tetapi sebenarnya memiliki makna yang sama jika disimpulkan.[7]Sebagaimana yang dijelaskan kaidah dalam ilmu hadis bahwa :
مَا اِخْتِلَفُوْا فِيْ لَفْظِهِ وَ مَعْنَاهُ مَعَ رُجُوعِهِ لِمَعْنًى كُلِّيًّ
Artinya : “Hadis yang berlainan bunyi (lafazh) dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umumnya.”[8]
Contoh hadis mutawati maknawi ini yaitu hadis tentang tata cara Nabi Muhammad SAW berdoa dengan  mengangkat kedua tangannya :
قال أبو موسى الأشعري : دعا النبي صلى الله عليه و سلم ثم رفع يديه و رأيت بياض إبتيه, قول أنس : كان النبي صلى الله عليه و سلمو لا يرفع يديه في شيئ من دعائها إلا في الإستسقاء
Dalam hadis ini menceritkan Abu Musya Al-Asy’ari bahwa Nabi Muhammad SAW ketika berdo beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih dari kedua ketiaknya, dan Anas berkata : Nabi Muhammad SAW tidak mengangkat kedua tangannya, kecuali ketika Nabi melakukan shalat istisqo’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis yang semakna dengan hadis di atas banyak sekali (sebanyak 100 jumlah hadis), diantaranya :
قَلَ عُمَرُ اِبْنُ الْخَطَّابِ : كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم : اِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِيْ الدُّعَاعِ لَمْ يَحُطّثهُمَا حَتَّى يَسْمَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Artinya :
“Umar bin Khattab berkata :” Rasulullah bila telah mengangkat kedua tangannya ketika berdoa tidak akan menurunkan kedua tangannya sebelum menyapukan kedua telapak tangannya ke mukanya.”
            Kedua hadis diatas, berbeda dalam penyampaian redaksinya (lafadz hadis) dengan maknanya, tetapi memiliki pengertian umum (kulli) yang sama, yakni Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya ketika berdia.
3.      Hadis Mutawatir Amali
Hadis mutawatir amali adalah hadis mutawatir yang berhubungan dengan perbuatan Rasulullah SAW, yang dilihat dan ditiru oleh para sahabat, tabi’in dan diikuti oleh banyak orang, dan dilakukan tanpa ada perbedaan oleh banyak orang dari generasi pertama hingga akhir.[9] Diantara contoh dari hadis mutawatir amali yaitu hadis-hadis yang berkenaan dengan ibadah seperti pelaksanaan waktu shalat wajib, jumlah rakaat, shalat jenazah , shalat id, kadar zakat harta, dan lain-lain.
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّى (رواه البخارى و مسلم)
Artinya : “Shalatlah kamu seperti kalian melihat aku shalat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kitab-kitab yang secara khusu memuat tentang hadis mutawatir, diantaranya :
a.       Al-Azhar Al-Mutanatsirah di Al-Mutawatirah, yang disusun oleh Imam Sayuti. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadis.
b.      Nazhm Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawtirah, yang disusun oleh Muhammad Ja’far Al-Kattani (1345 H).

b.      Kedudukan Hadis Mutawatir
Para ulama dan seluruh umat islam sepakat bahwa hadis mutawatir memberi faedah ilmu dzaruri yaitu seatu kewajiban dan keharusan bagi siapa saja yang menerima hadis mutawatir untuk menerimanya secara bulat sehingga dapat membawa kepada keyakinan yang qath’I (pasti).[10] Derajat hadis mutawtir sangat tinggi terutama hadis mutawatir lafzhi yang derajatnya seimbang dengan Alquran.
Hadis mutawatir tidak pelu lagi untuk diteliti tentang keadilan dan kekuatan hafalan (dhabit) perawinya, Karena jumlah perawi hadis mutawatir sudah menjamin bahwa tidak mungkin para perawinya akan bersepakat untuk berdusta, dalam arti lain hadis mutawatir tidak menjadi objek dari pembahasan tentang pembagian ilmu hadis dari segi maqbul dan mardudnya.[11]
Hadis mutawatir bersifat qath’iyyul wurud, yaitu hadis ini dipastikan sumber asalnya dari Nabi Muhammad SAW. Keyakinan atau ilmu yang diperoleh dari khabar atau hadis mutawatir sama dengan kilmu (keyakinan) yang diperoleh dari melihat dengan mata kepala sendiri.  Para ilama bersepakat bahwa harus diterima sebagai hadis yang berasal dari Nabi SAW dan يجب العمل به  yaitumorang islam wajib mengamalkannya, maksudnya jika dalam hadis mutawatir tersebut menyatakan bahwa Nabi menyebut suatu perintah mka harus dilaksankan, begitu sebaliknya bila di sana ada larangan dari Nabi maka harus dijauhi atau disingkiri.
  1. Hadis Ahad
a.      Pengertian Hadis Ahad
Dalam bahasa arab kata ahad (احاد) bentuk jamak dari kata ahad (احد) yang berarti satu[12]. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya sedikit yaitu hanya satu, dua, tiga atau lebih yang tidak mencapai tingkatan perawi hadis mutawatir[13].
Pengertian hadis ahad menurut para ahli:
  1. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, hadis ahad adalah hadis yang sanadnya bersambung sampai Nabi Muhammad SAW (shahih) akan tetapi artinya zhanni dan tidak mencapai qath’i (yakin)[14]. Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan yang membedakan antara hadis ahad dengan hadis mutawattir, yaitu:
a.       Kuantitas rawinya masih tinngi hadis mutawattir.
b.      Hadis ahad zhanni, bukan qath’i sepertihalnya hadis mutawattir.
  1. Muhammad Ajjaj al-Khatib, hadis ahad adalah hadis yang jumlah rowinya satu, dua atau lebih tetapi tidak mencapai mutawatir, derajatnya dibawah tingkatan mutawatir[15].

b.      Pembagian Hadis Ahad
  1. Hadis Masyhur (Hadis Mustafidz[16])
Jumlah perawinya mencapai tiga orang atau lebih yang tidak sampai mencapai mutawatir[17].Secara bahasa masyhur berati terkenal[18]. Begitu pula mustafidz yang berarti tersebar atau tersiar[19]. Jika dilihat dari maknanya keduanya memiliki arti yang sama, namun sebagian ulama membedakan antara kedua hadis tersebut. Masyhur merupakan isim maf’ul dari syahara شهرت الامر (aku memasyhurkan sesuatu)
Ada perbedaan antara masyhur dengan mustafidz, mustafidz jumlah rawinya mencapai tiga mulai dari thabaqah pertama sedangkan masyhur hanya terdapat salah satu thabaqah saja diantara thabaqah-thabaqahnya. Misalnya pada thabaqah pertama dan kedua jumlah rawinya hanya satu orang dan pada thabaqah tiga jumlah rawinya mencapai tiga atau lebih. Maka hal ini disebut dengan hadis masyhur. Sedangkan hadis mustafidz setiap thabaqahnya harus ada minimal tiga perawi. Selain pendapat tersebut ada juga ulama yang berpendapat bahwa perbedaan hadis masyhur dengan mustafidz terletak pada jumlah rawinya. Hadis masyhur diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tanpa mencapai mutawatir sedangkan hadis mustafidz diriwayatkan oleh minimal empat rawi dengan tidak mencapai derajat mutawatir[20].
Contoh hadis ahad :
من أتى الجمعة فليغتسل ( رواه الجماعة )
Artinya : “ Barang siapa pergi sholat jumat, hendaklah ia mandi.” (H.R. Al-Jama’ah)[21]
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده (رواه البخارى ومسلمو الترمذى)
Artinya : Rasulullah SAW bersabda, “ seseorang muslim adalah kaum muslimin yang tidak terganggu oleh lidah dan tangannya.“ (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)[22].
Mansyhur istilah mensyaratkan jumlah rawi tertentu pada setiap tingkatan sanad.
Hadis masyhur non istilah yaitu hadis masyhur yang meskipun tidak ada sanadnya, meliputi :
a.       Masyhur dikalangan ulama hadis
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع
Artinya : “ Bahwasannya Rasulullah membaca kunut dalam satu bulan setelah ruku” (HR. Bukhari Muslim)
b.      Masyhur dikalangan ahli hadis, para ulama dan masyarakat umum
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
Artinya : “ Orang islam adalah orang yang menyebabkan orang-orang islam selamat dari lisan dan tangannya” (Muttafaq ‘Alaih)
c.       Masyhur dikalangan ahli ushul fiqh
رفع عن امتى الخطاء والنسيان ومااستكرهوا عليه
Artinya : “Diangkat (dimaafkan) dari umatku (sesuatu perbuatan yang dilakukan karena) tersalah, lupa atau karena dipaksakan”
d.      Masyhur dikalangan ulama fiqh (fuqaha’)
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر
Artinya : ” Rasulullah melarang jual beli yang didalamnya mengandung tipu daya ”
e.       Masyhur dikalangan ulama bahasa Arab
نعم العبد صهيب لولم يخف الله لم يعصه
Artinya : “ Hamba Allah yang paling baik adalah Suhayb, meskipun tidak takut kepada Allah, ia tidak maksiat kepada-Nya”
f.       Masyhur dikalangan masyarakat umum
العجلة من الشيطان
Artinya : “ Terburu-buru termasuk (perbuatan) setan” (HR. al-Turmudzi dan dia menilainya sebagai hadis Hasan)
g.      Masyhur dikalangan ahli pendidikan
أدبنى ربى فأحسن تأديبى
Artinya : “Tuhanku telah mendidikku maka ia menjadikan pendidikannku menjadi baik[23].
Hadis Masyhur termuat dalam kitab-kitab berikut:
(1)   Kitab al-Maqashid al-Hasanah fi Ma Isytahara ‘ala al-Alsinah karya al-Sakhawi
(2)   Kitab Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas fi Ma Isytahara min al-Hadits ‘ala Alsinah al-Nas karya al-Aljubi
(3)   Kitab Tamyiz al-Thayyib min al-Khabits fi Ma Yadur ‘ala Alsinah al-Nas min al-Hadits oleh Ibn al-Dhabya’ al-Syaybani[24]

  1. Hadis Aziz
Berasal dari bahasa arab  عز- يعزyang berarti sedikit atau jarang[25]
Menurut istilah hadis aziz adalah hadis yang jumlah perawinya dua orang[26]. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, pengertian hadis aziz sebagai berikut
وهو ما انفرد برواته عن راويه اثنان فلا يرويه اقل من اثنين عناثنين
Artinya : “hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi dan tidak boleh kurang dari dua periwayat tersebut[27]
Contoh hadis aziz:
أ‌.       قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : نحن الاخرون فى الدنيا السّابقون يوم القيامة (عن حذيفة وأبو هريرة)
Artinya :” Rasullah SAW bersabda,” Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di akhirat[28].
ب‌. لايؤمنون أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه ووالده وولده والناس أجمعين (متفق عليه)
Artinya : “ Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga aku lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya (Mutafaq ‘alaih)[29]
Meskipun dalam setiap thabaqahnya ada yang meriwayatkan lebih dari dua perawi namun disalah satu thabaqah hanya ada dua perawinya maka hadis tersebut diberi nama hadis aziz.
(1)   Hadis aziz pada thabaqah pertama
نحن الاخرون السابقون يوم القيامة ( رواه أحمد والنسائى)
Artinya : “ Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari kiamat” (HR. Ahmad dan N-Nasa’i)
(2)   Hadis aziz pada thabaqah kedua
لايؤمن أحد كم حتى أكون أحب إليه من نفسه ووالده وولده والناس أجمعين (متفق عليه)
Artinya : “ Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga aku lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya sendiri,orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya”.
  1. Hadis Gharib
Jumlah perawinya hanya 1 orang (sendiri)[30].
Hadis gharib dibagi menjadi dua, yaitu :
a.       Hadis gharib muthlaq, terdapat penyendirian dalam hadis tersebut.
الإيمان بضع وسبعون شبعة والحياء شبعة من الإيمان
Artinya : “Iman itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang. Malu salah satu cabang dari iman.”(Mutafaq ‘alaih)[31]
b.      Hadis gharib nisbi, terdapat penyendirian yang yang meliputi sifat dan keadaan para perawinya.

1.      Penyendirian sifat (keadilan, kedhabitan, ketsiqatan perawi).
كان رسول الله ص.م يقرأ في الأضحى والفطر بق والقران المجيد وقتربت الساعة وانشق القمر (أخرجه مسلم)
Artinya :Rasulullah SAW pada hari raya qurban dan hari taya fitri membaca surat Qaaf dan surat Al-Qomar.” (HR. Muslim)
2.      Penyendirian kota atau tempat tinggal.
أمرنا رسول الله ص.م أن نقرأ بفاتحة الكتاب وما تيسرمنه (رواه أبو داود)
Artinya : “ Rasulullah memerintah kepada kita agar membaca Al-Fatihah dan surat mudah dari Al-Quran”. (HR.Abu Dawud)
3.      Penyendirian periwayatan oleh rawi tertentu.
أن النبي ص.م أولم على صفية بسوبق وتم
Artinya : “Sesungguhnya Nabi SAW mengadakan walimah untuk shafiyah  dengan jamuan makanan yang terbuat dari tepung gandum dan kurma”. [32]
4.      Penyendirian perawi tertentu oleh rawi tertentu pula
تفرد به فلان عن فلان
Artinya : “ Si Fulan meriwayatkan hadist tersendiri dari si fulan”
Berdasarkan letak keghariban, hadis gharib dibagi menjadi tiga kelompok :
a.       Gharib matnan wa isn adan ( gharib sanad dan matan) yaitu hadis yang tidak diriwayatkan melainkan oleh satu sanad.
b.      Gharib isn adan la matnan ( gharib sanad namun tidak matan) yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang masyhur kemudian diriwayatkan olehrawi yang tidak masyhur melalui jalan lain).
c.       Gharib matnan la isnadan, hadis yang awalnya satu sanad namun selanjutnya menjadi masyhur.
Cara menentukan keghariban hadis :
I’tibar  adalah cara menentukan hadis tersebut gharib atau tidak dengan diperiksa dikitab dengan demikian dapat diketahui apakah menjadi mutabi’ (Hadis yang mengikuti periwayatan orang lain sejak pada gurunya atau gurunya guru).
Macam mutabi’ :
a.       Mutabi’ tam, periwayatan mengikuti guru terdekat hingga terjauh.
b.      Mutabi’ qashir, periwayatan hanya mengikuti guru terjauh.
أن يروي حديثا اخر بمعناه
Artinya :’’ Meriwayatkan hadis sesuai dengan maknanya (syahid)”
Macam syahid :
a.       Syahid bi al-lafdzhi, sesuai dengan makna khusus.
b.      Syahid bi al-ma’na, sesuai dengan makna umumnya.[33]

Contoh kitab yang di dalamnya terdapat hadis gharib
(1)   Kitab Athraf al-Gharaib wa al-Afrad karya Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (448-507 H)
(2)   Al-Afrad ‘ala Tartib Al-Athraf oleh Abu al-Hasan ‘Ali ibn ‘Umar al-Daruquthni al-Baghdadi (306-385 H)
(3)   Al-Ahadits al-Shihhah al-Gharaib karya Yususf ibn’Abd al-Rahman al-Mizzi al-Syafi’i (654-742 H)
(4)   Al-Sunan allati Tafarrada bikull sanah minha Ahl Baladah karya Abu Dawud al-Sijistani



c.       Kedudukan Hadis Ahad
Derajat kedudukan hadis ahad dibawah hadis mutawatir, jika hadis mutawatir sudah mutlak dan dijamin dari Rasulullah maka hadi sahad masih diduga berasal dari Rasulullah. Jadi masih ada kemungkinan hadis ahad bukan berasal dari Rasulullah. Yang masih dikhawatirkan adalah adanya hadis palsu yang tercampur dalam hadis ahad, karena pada zaman dulu banyak yang membuat hadis-hadis palsu. Maka dari itu kedudukan hadis ahad dibawah hadis mutawatir[34].
Menurut jumhur ulama hadis ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah dalam kehidupan. Pendapat ini didukung oleh Muslim ibn al-Hajjaj bahwa berlandasan hadis ahad maqbul (dapat diterima)
-          Kelompok Qadariyah, Rafidah dan Zahriyah hukum beriman dengan hadis ahad tidak wajib, kalaupun wajib harus yang aqli bukan syar’i.
-          Al-Juba’i dari kalangan Mu’tazilah tidak wajib hukum  beriman dengan hadis ahad kalau bukan yang  hadis aziz (dua orang rawi) [35].
3.      Perbedaan Pengetahuan antara (Ilmu) dalam Hadist Mutawatir dan Ahad
            Pengetahuan yang berasal dari hadis mutawatir berbedang dengan pengetahuan yang disampaikan dari hadis ahad. Pengetahuan yang disampaikan dari hadis mutawatir bersifat dharuri yang diperoleh langsung dari pengamatan oleh panca indera. Oleh karena itu, berita yang berasal dari hadis mutawatir berdasarkan pada ilmu pasti bukan prasangka belaka. Sehingga berita yang berasal dari hadis mutawatir menghasilkan keyakinan pada diri orang-orang yang mendengar kebenaran berita tersebut karena hadist mutawatir bersifat qath’I yang dimana mengharuskan orang-orang mempercayai dan membenarkan hadis ini tanpa ada keraguan seikitpun karena periwayat hadisnya berjumlah banyak dan tidak mungkin bersepakat dusta, serta hadis mutawatir maqbul untuk dijadikan hujjah.
            Berbeda dengan hadis mutawatir, penegetahuan atau berita yang disampaikan dari hadist ahad bersifat nadzari dan dzanni yaitu berita yang disampaikan tidak bersifat pasti dan bisa jadi hanya berasal dari prasangka, hal ini disesbabkan karena hadis ahad diriwayatkan oleh perawi yang jumlahnya sedikit dan tidak mencapai tingkatan mutawatir. Perihal tentang diterima atau ditolaknya hadis ahad sebagai hujjah dalam hukum islam, para ulama berbeda pendapat. Hadis ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis ahad yang berada dalam kumpulan hadis yang muttafaq ‘alaih ( Shahi al-Bukhari dan Shahih Muslim ) menunjukkan atas ilmu yang yakin dan wajib diterima[36].

KESIMPULAN
Hadis merupakan segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad baik itu ucapan, perbuatan maupun ketetapannya. Hadis digunakan sebagai sumber hukum setelah Al-Quran. Namun tidak semua hadis dapat digunakan sebagai dasar hukum yang pasti. Dalam segi kuantitas atau jumlah perawinya, hadis dibagi menjadi hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis mutawatir sudah dipastikan benar atau pastisedangkan hadis ahad masih ada keraguan. Hadis mutawatir terbagi menjadi hadis mutawatir, maknawi, amali dan juga lafdhzi. Sedangkan hadis ahad terbagi menjadi hadis mashyur, aziz dan gharib. Tingkatan hadis mutawatir lebih tinggi daripada hadis ahad. Jumlah periwayat hadis ahad meliputi satu, dua, tiga atau lebih perawi yang tidak mencapai derajat mutawatir.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan Drs. M. Mudzakir, 2000. Ulumul Hadis. Malang: Pustaka Setia

Basith Junaidy, Abdul. 2001. Rekayasa As-Sunnah. Yogykarta: Ittaka Press

Budiman, Ade. 2017. Modul Materi : Ulumul Hadis, Kimisi Pendidikan dan Seni Budaya Islam. Banten

Darmalaksana, Wahyudin. 2004.Hadis Di Mata Orientalis. Bandung: Benang Merah Pres

Idri. 2010.Studi hadis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Juliana. 2017. Hadis Ahad Sebagai Sumber Hukum Islam (Pemikiran Imam Ghazali dan Imam al-Sarakhsi, Pendekatan Epistemologi). Banda Aceh: Media Syariah

Khaeruman, Badri. 2010.Ulum Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia

Khamzah. 2015. Al-qur’an hadis kelas X SMA. Surabaya: Asik Pustaka

Sumbulah, Umi. 2014. Studi Al-Quran dan Hadis. Malang: UIN Maliki Press

Zuhri, Muhammad. 2003. Hadis Nabi Telaah Historis dan Meetodelogi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya

Catatan:
1.      Similarity 14%, bagus
2.      Perbaiki footnote
3.      Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof., Dr., Ustadz dll) dihilangkan.
4.      Berikan penjelasan mengapa disebut gharib mutlaq dan nisbi untuk masing-masing hadis.





[1]M. Khamzah, Al-qur’an hadis kelas X SMA, Asik Pustaka, Surabaya, 2015, hlm. 42.
[2] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Malang, 2000, hlm. 87.
[3] Wahyudin Darmalaksana, Hadis Di Mata Orientalis, Benang Merah Pres, Bandung, 2004, hlm. 35.
[4] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 96.
[5] Wahyudin Darmalaksana, op. cit. hlm. 36.
[6] Prof. Dr. Muh Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Meetodelogi, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2003, hlm. 84
[7] Ade Budiman, Modul Materi : Ulumul Hadis, Kimisi Pendidikan dan Seni Budaya Islam, Banten, 2017, hlm. 24
[8]Badri Khaeruman, op. cit. hlm. 98.
[9]Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, op. cit. hlm. 92
[10]Badri Khaeruman, M.ag, op. cit. hlm. 99.
[11]Wahyudin Darmalaksana, hlm. 37.
[12] Idri, Studi hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,  2010), 141
[13] Muh Zuhri, Hadis nabiTelaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), 87
[14] Op.cit, 141
[15] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di masa Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), 38
[16] Ibid, 38
[17] Badri Khaeruman, Ulum al hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), 100
[18] Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ulumul hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 93
[19] Ibid, 94
[20] Ibid
[21] Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ulumul hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
[22] Op,cit, 94
[23] Umi Sumbulah, dkk, Studi Al-Quran dan Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2014), 195
[24] Idri, Studi hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,  2010), 145
[25] Ibid, 147
[26] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di mata orientalis,( Bandung: Benang Merah Press, 2004), 39
[27] Op,cit,
[28]Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir , Op,cit 95
[29] Badri Khaeruman, Op,cit 104
[30] Ibid, 39
[31]Badri Khaeruman Op,cit, 105
[32]Ibid, 105
[33] Ibid, 107
[34] Abdul Basith Junaidy, Rekayasa As-Sunnah,(Yogykarta: Ittaka Press, 2001), 112
[35] Idri, Studi hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,  2010), 154
[36]Juliana, Hadis Ahad Sebagai Sumber Hukum Islam (Pemikiran Imam Ghazali dan Imam al-Sarakhsi, Pendekatan Epistemologi), Media Syariah, Vol.18, No.2, 2016, hal.297

Tidak ada komentar:

Posting Komentar