KLASIFIKASI HADIS DARI ASPEK KUANTITAS
Fitryanisa
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: fitryanisafitr@gmail.com
Reni Rahmawati
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: renirhmwt24@gmail.com
Abstract
This article discusses the classification of hadiths based on rawi
quantities. Hadiths seen from the number of people who narrated it were divided
into two kinds, namely mutawatir and ahad. There are also scholars who divide
it into three types, namely mutawatir hadith, ahad hadith and masyhur hadiths.
But what we commonly use is mutawatir and ahad. Mutawatir hadiths are divided
into mutawatir lafhzi, mutawatir maknawi and mutawatir amali. Likewise ahad is divided into masyhur hadith, aziz
hadith and gharib hadith. Each of the mutawatir and ahad hadiths has certain
characteristics or criteria agreed upon by the scholars.
Abstrak
Artikel ini membahas tentang klasifikasi hadis berdasarkan
kuantitas rawi. Hadis dilihat dari jumlah orang yang meriwayatkannya dibagi
menjadi dua macam, yaitu mutawatir dan ahad. Ada juga ulama yang membaginya ke
dalam tiga macam, yaitu hadis mutawatir, hadis ahad dan hadis masyhur. Tetapi
yang umum kita gunakan adalah mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir dibagi ke
dalam mutawatir lafhzi, mutawatir maknawi dan mutawatir amali. Demikian pula
hadis ahad dibagi menjadi hadis masyhur, hadis aziz dan hadis gharib. Masing-masing
dari hadis mutawatir dan ahad memiliki ciri-ciri atau kriteria tertentu yang
telah disepakati para ulama.
Keyword
: Hadis, Mutawatir, Ahad
A. Pendahuluan
Hadis
merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alquran yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW. Hadis bisa sampai kepada kita saat ini karena telah melalui jalur
periwayatan yang sangat panjang. Hadis diterima sahabat secara lisan dan
kemudian mereka hapalkan. Periwayatan ini tidak berhenti di sahabat tetapi
berlanjut diterima ole tabi’in melalui sahabat dan tabi’ut tabi’in melalui
tabi’in dan begitu seterusnya hingga sampai kepada kita.
Pada
zaman sahabat, mereka disifati adil. Sehingga periwayatan yang mereka sampaikan
dapat dipercaya dan tidak menimbulkan permasalahan. Zaman setelah sahabat,
hadis nabi diriwayatkan oleh begitu banyak orang dari kalangan tabi’in, tabi’ut
tabi’in dan seterusnya.. Hadis Nabi saat itu telah tersebas luas. Bersamaan
dengan itu, muncul keraguan mengenai kebenaran dari hadis yang mereka
sampaikan. Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu cara yang dilakukan
adalah melihat jumlah rawi dari suatu hadis agar bisa memastikan hadis tersebut
dapat diterima atau tidak. Oleh karena itu, jumhur ulama telah membagi hadis
berdasarkan jumlah rawi menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis
ahad.
B. Klasifikasi Hadis dari Aspek
Kuantitas
Klasifikasi hadis berdasarkan kuantitas dilihat dari seberapa
banyaknya rawi yang menjadi
sumber berita hadis tersebut. Tidak semua ulama bersepakat dalam pengklasifikasian ini. Ada yang membaginya
menjadi tiga macam, yaitu hadis mutawatir, masyhur, dan ahad dan
ada pula yang membaginya menjadi dua macam, yaitu, hadis mutawatir dan ahad.[1]
Ada dua versi pembagian hadis berdasarkan kuantitas. Versi pertama
oleh kebanyakan ahli fiqih dan ahli ushul, membagi hadis menjadi tiga, yaitu mutawatir, masyhur dan
ahad. Versi kedua oleh sebagian
besar ulama hadis, membagi hadis menjadi dua macam, yaitu mutawatir dan ahad.
Lalu hadis ahad dibagi lagi menjadi tiga, yaitu masyhur, aziz,
dan gharib. Berbeda dengan ulama ushul, ulama hadis berpendapat bahwa hadis
masyhur tidak berdiri sendiri melainkan adalah bagian dari hadis ahad.[2]
Maka dari itu, klasifikasi hadis berdasarkan kuantitas yang umum kita gunakan
adalah mutawatir dan ahad.
1.
Hadis
Mutawatir
a.
Pengertian
Hadis Mutawatir
Secara
bahasa, mutawatir merupakan isim
fa’il dari tawatur artinya at-tatabu’i (berturut-turut atau beriringan
satu sama lain).[3]
Sedangkan
secara istilah, hadis mutawatir ialah[4] :
ما
رواه جمع عن جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب.
Hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.
Nur Ad-Din ‘Atar mendefinisikan hadis mutawatir sebagai berikut.[5]
الّذي
رواه جمع كثير لا يمكن تواطؤهم على الكذب عن مثلهم انتهاء السند و كان مستند هم
الحسّ.
Hadis yang
diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk
berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada pancaindra.
Habsy
As-Siddiqie dalam bukunya Ilmu Mustalah Al-Hadis mendefinisikan hadis
mutawatir sebagai berikut.[6]
ما
كان عن محسوس اخبر به جماعة بلغوا في الكثره مبلغا تحيل العادة تواطؤهم على الكذب.
Hadis yang
diriwayatkan berdasarkan pengamatan pancaindra orang banyak yang menurut adat
kebiasaan mustahil untuk berbuat dusta.
Definisi
mutawatir sendiri sebenarnya pertama kali dikemukaan oleh Al-Baghdadi, meskipun
ulama sebelumnya, Al-Syafi’i, sudah mengisyaratkan hal itu tetapi dengan
istilah lain, yaitu “khabar ‘ammah”. Al-Baghdadi berpendapat, hadis
mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut
adat mustahil mendustakan kesaksiannya.[7] Banyak
ulama-ulama lain yang juga mengemukakan pendapatnya mengenai konsep mutawatir,
seperti Ibnu Shalah, Al-Asqalani, Al-Hakim dan ulama-ulama setelahnya.
Secara
garis besar definisi-definisi yang dipaparkan di atas memiliki maksud atau
redaksi yang sama. Apabila digabungkan, maka hadis mutawatir adalah hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang rawi berdasarkan pancaindra yang mustahil
mereka bersepakat untuk berdusta dari awal sanad sampai akhir sanad.
b.
Syarat-syarat
Hadis Mutawatir
Mengenai
syarat-syarat hadis mutawatir, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin
dan mutaakhirin.[8] Ulama
mutaqaddimin tidak membicarakan syarat bagi hadis mutawatir. Menurut
mereka, khabar mutawatir sebagai manapun sifatnya, apabila telah
diketahui berstatus mutawatir, maka wajib untuk diyakini kebenarannya,
diamalkan kandungannya dan tidak boleh ada keraguan padanya. Sedangkan, menurut
ulama mutaakhirin dan ahli ushul, suatu hadis baru dapat ditetapkan
sebagai hadis mutawatir apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut.
1.)
Diriwayatkan
oleh banyak perawi
Hadis
mutawatir adalah hadis yang harus diriwayatkan oleh banyak perawi yang mustahil
mereka bersepakat sebelumnya untuk berdusta. Tetapi mengenai berapa tepatnya
jumlah perawi yang dimaksud, para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda. Menurut
salah satu ahli ushul, Abu al-Husayn Muhammad Ibn al-Tayyib yang beraliran
Mu’tazilah berpendapat bahwa syarat mutawatir adalah diriwayatkan lebih dari 4
orang.[9]
Al-Qadi Al-Baqillani berpendapat bahwa jumlah perawi hadis mutawatir
sekurang-kurangnya 5 orang. Ia melakukan qiyas berdasarkan jumlah Nabi yang
mendapat gelar ulul azmi. Sementara itu, Astikhary menetapkan bahwa yang paling
baik minimal 10 orang, sebab jumlah itu merupakan awal bilangan banyak. Ulama
lain menentukan 12 orang, berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah
ayat 12. Ulama lain ada yang menetapkan sekurang-kurangnya 20, 40, 70, dan
sebagainya.[10]
Penentuan
jumlah tertentu sebagaimana yang telah disebutkan di atas bukan yang menjadi
pokok yang dijadikan ukuran. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak asalkan
sudah memberikan keyakinan bahwa hadis tersebut benar atau mustahil mereka
berdusta, maka dapat dimasukkan sebagai hadis mutawatir.
2.)
Adanya
keseimbangan jumlah perawi pada setiap Thabaqat (lapisan)
Untuk
bisa disebut hadis mutawatir maka jumlah perawi
antara thabaqat dengan thabaqat selanjutnya harus seimbang. Maksudnya
apabila suatu hadis diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, maka tabi’in yang
menerimanya juga harus berjumlah 20 orang. Jika kurang dari itu maka hadis
tersebut tidak dapat digolongkan menjadi hadis mutawatir.
3.)
Berdasarkan
tanggapan pancaindra
Berita
yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan tanggapan pancaindra. Maksudnya
berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar berasal dari apa yang mereka
dengar dan lihat dengan mata kepala sendiri. Dengan demikian, perlu
diperhatikan bahwa berita yang merupakan hasil renungan, pemikiran, rangkuman suatu peristiwa atau hasil istinbath
dari satu dalil dengan dalil bukanlah hadis mutawatir.[11]
Misalnya berita tentang keesaan Allah menurut hasil pemikiran para filosof,
tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir.
c.
Macam-macam
Hadis Mutawatir
Sebagian
ulama membagi hadis mutawatir menjadi dua, mutawatir lafhzi dan mutawatir
ma’nawi. Sebagian ulama lainnya membaginya menjadi tiga, yaitu mutawatir
lafhzi, mutawatir maknawi dan mutawatir amali.
1.)
Hadis
Mutawatir Lafhzi
Hadis
mutawatir lafhzi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan
redaksi dan maknanya sesuai antara riwayat yang satu dan lainnya.
Menurut
Muhaddisin, yang dimaksud hadis mutawatir lafhzi adalah[12] :
مَا
اتَّفَقَتْ اَلفَاظُ الرّوَاةِ فِيْهِ وَلَوْحُكْمًا وَ فِي مَعْنَاهُ.
Hadis yang sama lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada
hukum dan maknanya.
Jadi,
hadis mutawatir lafahz adalah hadis yang bunyi lafahz, hukum dan maknanya sama.
contoh hadis ini yaitu:
مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ متعمّدًا فَلْيَتَبَوَّءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
Barang siapa
berbuat dusta terhadap diriku (yang mengatakan sesuatu yang tiada aku katakana
atau aku kerjakana), hendaklah ia menempati neraka. (H.R. Bukhari)
Menurut
Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat.[13] Sedangkan,
menurut Al-Imam Abu Bakar As-Sairi bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’
oleh lebih dari 60 orang sahabat. Sebagian ahli huffaz melengkapi
hadis ini diriwayatkan oleh 62 orang sahabat, yang didalamnya termasuk 10
sahabat yang dijamin masuk surga. Menurut mereka tidak ada hadis lain yang
perawinya terkumpul 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga selain hadis ini.
Abu Al-Qasim Ibnu Manduh berpendapat hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80
orang. Sebagian ulama ada juga yang mengatakan 100 orang, bahkan 200 orang.[14]
Hadis tersebut terdapat pula pada sepuluh kitab hadis terkenal seperti
Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Abu hanifah, Ad-Darimi, Ibn Majah,
At-Thayasili, Al-Hakim, dan At-Thabrani.[15]
Contoh lain
hadis mutawatir adalah hadis berikut.
نُزِلَ
القُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ.
Alquran
diturunkan atas tujuh huruf (tujug macam bacaan). (H.R.
Imam Ahmad dan Turmidzi)
Hadis ini diriwayatkan oleh 27 orang sahabat.[16]
2.)
Hadis
Mutawatir Maknawi
Hadis
mutawatir maknawi adalah hadis yang lafaz dan maknanya berbeda antara riwayat
satu dengan yang lainnya tetapi tetap memiliki kesesuaian makna secara umum.
Hal ini berdasarkan kaidah ilmu hadis.
مَا
اخْتَلَفُوْا فِي لَفْظِهِ وَ مَعْنَاهُ مَعَ رُجُوْعِهِ لِمَعْنَى كُلِّيٍّ.
Abu Bakar As-Suyuti mendefinisikan hadis mutawatir maknawi sebagai
berikut.
أَنْ يَنْقِلَ
جَمَاعَةٌ يَسْتَحِيْلُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ وَ قَائِعَ مُخْتَلِفَةً
تَشْتَرِكُ فِي أَمْرٍ.
Hadis yang
dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat
untuk berdusta atas kejadian yang berbeda, tetapi bertemu pada titik persamaan.
Contoh
hadis mutawatir maknawi , antara lain adalah hadis yang meriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad SAW mengangkat tangan ketika berdoa.
كَا
نَ النَّبِيُّ صَلَّى ﷲُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيهِ فِي شَيْءٍ
مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الْإِسْتِسْقَاءِ وَ إِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى
بَيَاضُ إِبْطَيْهِ.
Nabi Muhammad
SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam sholat
istisqo’ dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua
ketiaknya. (H.R. Bukhari)[18]
كَانَ
يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْ وَ مَنْكِبَيْهِ.
Rasulullah SAW
mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau. (Hadis yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud)[19]
قَالَ
عُمَرُ ابْنُ الْخَطَّابِ : كَانَ رَسُوْلُ ﷲِ صَلَّى ﷲُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :
اِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدّعَاءِ لَمْ يَحُطُّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا
وَجْهَهُ.
Umar bin
Khattab berkata, “Rasulullah bila telah mengangkat kedua tangannya pada waktu
berdoa, belum menurunkan keduanya sebelum menyapukan kedua tangannya itu ke
mukanya.” (H.R. Tirmidzi)[20]
Ketiga
hadis di atas, berbeda redaksi dan perincian maknanya, tetapi sebenarnya
mengandung pengertian umum yang sama, yaitu Nabi Muhammad SAW mengangkat kedua
tangannya saat berdoa. Hadis lain yang semacam hadis-hadis tersebut sangatlah
banyak yaitu lebih dari 100 hadis.[21]
3.)
Hadis
Mutawatir Amali
Hadis mutawatir amali adalah[22]:
مَا
عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ وَتَوَاتُرُ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى ﷲُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَعَلَهُ أَوْ أَمَرَبِهِ َأَوْ غَيْرَ
ذَلِكَ وَ هُوَ الَّذِيْ يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ تَعْرِيْفُ الإِجْمَاعِ اِنْطِبَاقًا
صَحِيْفًا.
Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia
dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW
mengajarkannya, menyuruhnya atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai
dengan ta’rif ijma’.”
Contohnya
adalah hadis-hadis yang menjelaskan tentang waktu dan rakaat sholat fardhu,
sholat Id, sholat jenazah, kadar zakat, hijab perempuan dan segala amal yang
telah disepakati para ulama (ijma’).
Hadis
mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yaitu suatu keharusan untuk
menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis mutawatir
tersebut, hingga membawa pada keyakinan yang qaht’i (pasti).
Hadis
mutawatir, terutama yang lafhzi, derajatnya sangat tinggi. Sayangnya hadis ini
sulit ditemukan. Tetapi yang perlu diperhatikan disini adalah para perawi hadis
mutawatir tidak perlu dipersoalkan mengenai keadilan maupun kedhabitannya.
Karena dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya, telah menjamin para perawi tidak melakukan kesepakatan
untuk berdusta. Para ulama ushul dan
juga Imam Nawawi dalam Syarah Muslim tidak menetapkan syarat “muslim”
bagi para perawi hadis mutawatir.[23]
Hadis mutawatir tidak menjadi objek pembicaraan ilmu hadis dari segi maqbul-mardud,
kualitas para perawinya tidak dijadikan sasaran pembahasan. Sekali lagi yang
menjadi titik tekan dalam hadis mutawatir adalah kuantitas perawi dan
kemungkinan adanya kesepakatan berdusta atau tidak.
Sebagian
ulama telah menyusun kitab-kitab yang memuat hadis-hadis mutawatir. Diantaranya
sebagai berikut.[24]
1.
Al-Azhar
Al-Mutanatsiroh fi Al-Akhbar Al-Mutawatiroh karya
Al-Suyuti,
2.
Al-La’ali’
Al-Mutanatsiroh fi Al-Ahadits Al-Mutawatiroh karya
Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi,
3.
Nazhm
Al-Mutanatsiroh min Al-Hadits Al-Mutawatiroh karya
Muhammad bin Ja’far Al-Kattani,
4.
Al-Ahadits
Al-Mutawatiroh karya Al-Sayyid Muhammad bin Nasib,
dan kitab-kitab lainnya.
2.
Hadis
Ahad
a.
Pengertian
Hadis Ahad
Secara
bahasa ahad artinya satu. Pengertian hadis ahad secara bahasa terasa belum
jelas. Apakah hadis ahad adalah khabar yang disampaikan hanya oleh satu orang
atau lebih kita dapat mengetahuinya dari definisi yang dikemukakan oleh para
ulama, antara lain sebagai berikut.
مَا
لَمْ تَبْلُغْ نَقَلَتُهُ فِي الْكَثْرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ
سَوَاءٌ كَانَ الْمُخْبِرُ وَاحِدًا أَوْ اِثْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أوْ أَرْبَعَةً
أَوْ خَمْسَةً أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الأَعْدَادِ الَّتِى لَا تَشْعُرُ بِأَنَّ
الْخَبَرَ دَخَلَ بِهَا فِي خَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ.
Hadis yang jumlah
perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya satu,
dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah
perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir.[25]
Secara singkat hadis ahad adalah:
مَا
لَمْ يَجْمَعْ شُرُوْطَ الْمُتَوَاتِرِ.
Hadis yang tidak memenuhi syarat hadis mutawatir.[26]
b.
Macam-macam
hadis Ahad
Berdasarkan
jumlah rawi pada tiap thabaqah (lapisan), hadis ahad dibagi menjadi tiga macam,
yaitu masyhur, aziz, dan gharib.
1.
Hadis
Masyhur
Masyhur
menurut bahasa berarti al-intisyar wa az-zuyu’ (sesuatu yang
sudah tersebar dan populer). Secara istilah hadis masyhur ialah hadis yang
diriwayatkan oleh tiga atau lebih perawi dan belum sampai pada derajat
mutawatir.[27]
Hadis ini juga sering disebut hadis mustafidh. Tetapi sebenarnya
terdapat perbedaan antara keduanya. Hadis mustafidh jumlah rawinya dari
thabaqah pertama hingga thabaqah terakhir adalah tiga orang atau lebih.
Sedangkan hadis masyhur, jumlah rawi untuk setiap thabaqahnya tidak harus tiga
orang.[28]
Bisa saja di thabaqah pertama hanya diriwayatkan satu orang perawi, kemudian di
thabaqah selanjutnya diriwayatkan oleh banyak perawi maka hadis itu tetap
dimasukkan dalam kategori hadis masyhur. Contohnya adalah hadis di bawah ini.
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
Sahnya amal-amal itu dengan niat
dan bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa yang ia niatkan. (H.R.
Mutafaq ‘alaih)
Hadis tersebut
pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh Umar seorang, kemudian pada
thabaqah kedua diriwayatkan oleh Al-qamah seorang dan pada thabaqah ketiga
diriwayatkan banyak orang, seperti Abd Al-Wahab, Sufyan, Al-Laits, Malik dan
Hammad.[29]
Beberapa
ulama seperti Al-Bazdawi, Al-Syasyi dan Al-Sarakhsi, yang melihat hadis masyhur
dari segi kesejarahannya,[30]
mereka berpendapat bahwa hadis masyhur adalah hadis yang awalnya diriwayatkan
secara ahad oleh sahabat, kemudian menjadi terkenal pada abad kedua dan ketiga dan
seterusnya, ketika banyak orang dengan jumlah mutawatir menerima dan
mengamalkan hadis tersebut, hadis tersebut menjadi seperti mutawatir. Oleh
sebab itu ada ulama yang mengatakan hadis masyhur berdiri sendri dan ada pula
yang memasukkannya bagian dari hadis ahad. Namun tetap tidak sampai kepada
derajat mutawatir karena ketatnya syarat hadis mutawatir.
Hadis
ini dinamakan masyhur tentunya karena telah tersebar luas atau popular di
kalangan masyarakat. Kadangkala istilah masyhur untuk suatu hadis bukan karena
jumlah perawinya, tetapi karena ketenarannya di kalangan para ahli ilmu
tertentu atau di kalangan masyarakat.[31] Sekalipun
bilangan rawinya tidak dapat dikatakan masyhur atau bahkan hadis tersebut tidak
mempunyai sanad sama sekali, baik itu shahih atau dhaif, tetapi
bila hadis tersebut populer maka tergolong hadis masyhur. Ada hadis yang masyhur
di kalangan ahli hadis, ulama ahli ilmu, ulama fiqih dan ushul fiqih dan orang
awam sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.
2.
Hadis
Aziz
Secara
bahasa hadis aziz berarti hadis yang mulia/kuat atau hadis yang sedikit/jarang.
Para ulama mendefinisikan hadis aziz sebagai berikut.[32]
الْحَدِيْثُ
الْعَزِيْزُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِي رَوَاهُ اِثْنَانِ وَلَوْ كَانَ فِي
طَبَقَةٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ رَوَاهُ بَعْدَ ذَلِكَ جَمَاعَةٌ.
Hadis Aziz
adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi,walaupun dua rawi tersebut
terdapat pada satu thabaqah saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak
rawi.
Dari
definisi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hadis aziz bukan hadis yang
harus diriwayatkan oleh dua perawi di setiap thabaqahnya, melainkan apabila
sudah ada dua perawi di salah satu thabaqah maka dapat dikatakan sebagai hadis
aziz. Contoh dari hadis aziz sebagai berikut.
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَ وَالَدِهِ
وَ وَلِدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
Tidaklah
beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai daripada dirinya,
orang tuanya, anaknya dan semua manusia. (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Hadis tersebut termasuk hadis aziz karena diriwayatkan oleh dua
orang perawi pada salah satu thabaqahnya, yaitu pada thabaqah kedua. Untuk
lebih jelasnya perhatikan urutan rawinya di bawah ini.[33]
3.
Hadis
Gharib
Secara
bahasa gharib berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Sedangkan
secara istilah, hadis gharib adalah[34]:
مَا
تَفَرَّدَ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِي أَيِّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَّفَرُّدُ
بِهِ السَّنَدُ.
Hadis yang pada
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, di mana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Penyendirian
perawi yang dimaksud definisi di atas ada dua kondisi. Yang pertama perawi
memang sendirian dalam meriwayatkan hadis. Dengan kata lain, tidak ada orang
yang meriwayatkannya selain perawi tersebut. Kondisi kedua yaitu penyendirian
perawi berkaitan dengan sifat atau keadaan perawi yang berbeda dengan sifat dan
keadaan perawi lain yang juga meriwayatkan hadis itu. Di samping itu,
penyendirian perawi juga bisa terjadi pada seluruh perawi di tiap-tiap thabaqah,
bisa terjadi di awal, tengah, atau akhir sanad.
Berdasarkan
penyendirian perawi sebagaimana dijlelaskan di atas, hadis gharib dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.
a.)
Gharib
Mutlak
Hadis
gharib mutlak adalah hadis yang perawinya menyendiri meskipun hanya dalam satu
thabaqah. Penyendirian ini harus berpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni
Tabi’in, bukan sahabat.[35] Mengapa
demikian, karena tujuan dari memperbincangkan hadis gharib dari segi
penyendirian rawi adalah untuk menetapkan apakah periwayatannya dapat diterima
atau ditolak. Sedangkan mengenai sahabat tidak perlu diragukan lagi keadilannya
dan hal itu telah diakui jumhur ulama ahli hadis. Jadi tidak perlu
diperbincangkan lagi. Berbeda dengan tabi’in yang masih mungkin terdapat celah,
sehingga perlu pertimbangan lebih agar periwayatannya dapat diterima. Salah
satu contoh hadis gharib mutlak:
اَلْإِيْمَانُ
بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ.
Iman itu
bercabang-cabang menjadi 70 cabang. Malu itu salah satu cabang dari iman. (H.R. Mutafaq ‘alaih)
Hadis
tersebut diterima oleh Abu Hurairah (sahabat) yang kemudian hanya diriwayatkan
oleh Abu Shalih (tabi’in), lalu dari Abu Shalih hanya diterima oleh Abdullah
bin Dinar (tabi’ut tabi’in) dan seterusnya hingga sampai ke Muslim. Hadis ini
tergolong hadis gharib mutlak karena hanya Abu shalih yang meriwayatkannya dari
Abu Hurairah dan hanya Abdullah bin Dinar yang meriwayatkannya dari Abu Shalih.
b.)
Gharib Nisbi
Hadis
gharib tergolong gharib nisbi apabila penyendirian perawi berkenaan dengan
sifat dan keadaan tertentu seorang perawi. Ada tiga indikator mengenai sifat
dan keadaan yang dimaksud, yaitu sifat keadilan dan kedhabitan (kesiqahan)
perawi, kota atau tempat tinggal tertentu, dan
meriwayatkannya dari rawi tertentu.
Contoh hadis gharib nisbi berdasarkan kesiqahan perawinya:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. يَقْرَأُ
فِي الْأَضْحَى وَالْفِطْرِ بِقٓ وَالْقُرْاٰنِ الْمَجِيْدِ وَ اقْتَرَبَـتِ السَّاعَةُ
وَانْشَقَّ الْقَمَرُ.
Rasulullah SAW
pada hari raya qurban dan hari raya idul fitri membaca surah Qaaf dan surah
Al-Qomar. (H.R. Muslim)
Hadis
tersebut diriwayatkan melalui dua jalur, jalur Muslim dan Ad-Daruqutni. Pada
rentetan sanad melalui jalur Muslim terdapat seorang rawi yang disifati sebagai
muslim yang siqah, yaitu Dumrah bin Said, yang meriwayatkan hadis tersebut dari
Ubaidillah. Ia disebut menyendiri tentang kesiqahannya karena tidak ada perawi
siqah selain dirinya yang meriwayatkan hadis tersebut.[36]
Contoh hadis gharib nisbi berdasarkan kota atau tempat tinggal
tertentu:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص.م. أَنْ
نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ مِنْهُ.
Rasulullah SAW
memerintahkan kepada kita agar membaca Al-Fatihah dan surah mudah dari Alquran.
(H.R. Abu Dawud)
Hadis
ini diterima Abu Dawud dari Abu Walid Ath-Thayalisi dari Hamam dari Qtadah dari
Abu Nasharah dan Sai’id. Semua rawi dari hadis ini berasal dari kota Basrah dan
tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.[37]
Contoh
hadis gharib nisbi yang penyendirian perawinya karena meriwayatkannya dari rawi
tertentu:
أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. أَوْ لَمْ عَلَى
صَفِيَّةَ بِسَوْبِقٍ وَ تَمَرٍ.
Sesungguhnya Nabi
SAW mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan jamuan makanan yang terbuat dari
tepung dan kurma.
Dalam
sanad hadis tersebut, terdapat seorang rawi bernama Wa’il yang meriwayatkan
hadis tersebut dari anaknya, Bakar bin Wa’il. Tidak ada perawi lain yang meriwayatkan
demikian. Sehingga hadis ini disebut hadis gharib nisbi dilihat dari segi
periwayatan dari orang tertentu.[38]
Selain
pembagian hadis gharib seperti yang telah dijelaskan di atas, ada juga ulama
yang membagi berdasarkan letak gharibnya (penyendiriannya), apakah terletak di
sanad atau matan. Terbagi menjadi tiga, yaitu gharib pada sanad dan matan,
gharib pada sanadnya saja dan gharib pada sebagian matannya.[39]
c.
Kedudukan
Hadis Ahad
Hadis
ahad kedudukannya tidak sekuat hadis mutawatir. Karena jumhur ulama hadis
bersepakat bahwa hadis ahad itu tidak qat’I (pasti) tetapi zanni (diduga).[40]
Hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW
sedangkan hadis ahad diduga dari Rasullah SAW, dengan anggapan mungkin benar
berasal beliau. Maka dari itu kedudukan hadis ahad sebagai sumber ajaran Islam,
berada di bawah kedudukan hadis mutawatir.
Beberapa
ulama seperti Al-Qasayani dan Ibnu Dawud berpendapat kita tidak wajib untuk mengamalkan
hadis ahad.[41]
Tetapi sebagian besar ulama, mulai dari kalangan sahabat, tabi’in dan
ulama-ulama setelahnya, baik dari ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqih
berpendapat, apabila hadis ahad tersebut telah diketahui berstatus shahih maka
dapat dijadikan hujah dan wajib diamalkan.[42] Sebagian
ulama menambahkan yang wajib diamalkan
adalah yang berurusan dengan amaliyah, ibadah, kaffarat dan hudud,
bukan yang berurusan dengan akidah.[43]
C. Penutup
Seperti
yang sudah dijabarkan di atas, hadis dilihat dari segi kuantitasnya
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu hadis mutawatir dan ahad. Hadis
mutawatir terbagi menjadi mutawatir lafhzi, maknawi dan amali. Sedangkan hadis
ahad dibagi lagi menjadi masyhur, aziz dan gharib.
Hadis
mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak dan menurut adat
kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Oleh karena itu,
hadis mutawatir bersifat qath’i (pasti) atau dharuri (mendesak
untuk diyakini) artinya hadis itu memang benar dari Rasulullah SAW. Sedangkan
hadis ahad diriwayatkan oleh perawi
dengan jumlah tertentu, tidak sebanyak hadis mutawatir, dan masih ada
kemungkinan mereka berduta, maka bersifat zanni (dugaan). Dengan
demikian, sebagai sumber ajaran agama Islam hadis mutawatir memiliki kedudukan
yang lebih tinggi daripada hadis ahad.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Maman. 2015. Teori Hadis. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset
Agus Solahudin, Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadis. Bandung: CV
Pustaka Setia
Hamang, M.
Nasri. 2010. Kehujahan Hadis Ahad menurut Mazhab Suni dan Syi’ah.
Al-Fikr: Vol.14 No.3
Jabbar Sabil,
Juliana. 2017. Hadis Ahad sebagai Sumber Hukum Islam. Media Syari’ah:
Vol.19 No.2
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadis, Bandung: Pustaka
Setia
M. Shofiyuddin.
2016. Epistemologi Hadis: Kajian Tingkat Validitas Hadis dalam Tradisi Ulama
Hanafi. Riwayah: Jurnal Studi Hadis Vol.2 No.1
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia
Muhammad Ahmad, Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung: CV
Pustaka Setia
Omar, Arifin.
1998. Penerimaan Hsadis Mutawatir dan Ahad Sebagai Nas Hukum. Islamiyyat 18 & 19
Witono, Toton. 2001. Klasifikasi Kuantitas Hadis
Zuhri ,Saifuddin. 2008. Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat.
SUHUF: Vol.20, No.1
Catatan:
Makalah ini bagus, hanya saja similarity cukup tinggi,
30%.
[1] Mudasir,
Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 113
[2]
Saifuddin Zuhri, Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat, SUHUF: Vol.20,
No.1, Mei 2008, hlm.55
[3] Toton Witono, Klasifikasi
Kuantitas Hadis, 2001, hlm.3
[4] Mudasir,
Loc.cit.
[5] Ibid, hlm.114.
[6] Ibid, hlm.115.
[7] Maman
Abdurahman, Teori Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2015),
hlm. 111.
[8]
Mudasir, Loc.cit.
[9]
Toton Witono, Op.cit. hlm.4.
[10]
Mudasir, Op.cit., hlm.116.
[11]
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 96.
[12]
Muhammad Ahmad, Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2000), hlm.69.
[13] Ibid,
hlm.71.
[14] Mudasir,Op.cit.,
hlm.120.
[15] Agus
Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009),
hlm.131
[16]
Mudasir, Loc.cit.
[17]
Agus Solahudin, Agus Suyadi, Loc.cit.
[18] Ibid, hlm.132.
[19]
Muhammad Ahmad, Mudzakir, Op.cit., hlm. 72.
[20]
Ibid, hlm. 91.
[21]
Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op.cit., hlm.132.
[22]
Ibid.
[23]
Mudasir, Op.cit., hlm.124.
[24] Arifin
Omar, Penerimaan Hadis Mutawatir dan Ahad Sebagai Nas Hukum, Islamiyyat
18 & 19, 1998, hlm.52
[25]
Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op.cit., hlm.133
[26]
Mudasir, Op.cit., hlm.125
[27] Agus Solahudin, Agus
Suyadi, Op.cit., hlm.134
[28] Badri Khaeruman,
Op.cit., hlm.100
[29] Ibid, hlm.101
[30] M.
Shofiyuddin, Epistemologi Hadis: Kajian Tingkat Validitas Hadis dalam
Tradisi Ulama Hanafi, Riwayah: Jurnal Studi Hadis Vol.2 No.1, 2016, hlm.11
[31]
Badri Khaeruman, Op.cit., hlm.101
[32] Muhammad Ahmad,
Mudzakir, Op.cit., hlm.95
[33]
Mudasir, Op.cit., hlm.134
[34] Ibid, hlm.135
[35] Ibid.
[36]
Ibid, hlm.137
[37] Badri Khaeruman,
Op.cit., hlm.106
[38] Ibid, hlm.107
[39]
Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op.cit., hlm.139
[40] M.
Nasri Hamang, Kehujahan Hadis Ahad menurut Mazhab Suni dan Syi’ah, Al-Fikr:
Vol.14 No.3, 2010, hlm.413
[41]
Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op.cit., hlm.140
[42]
Jabbar Sabil, Juliana, Hadis Ahad sebagai Sumber Hukum Islam, Media
Syari’ah, Vol.19 No.2, 2017, hlm.299
[43]
Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op.cit., hlm.141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar