Kamis, 01 November 2018

Klasifikasi hadis dari Aspek Kuantitas Periwayat (PAI I ICP Semester Ganjil 2018/2019)



KLASIFIKASI HADIS DARI ASPEK KUANTITAS

Fitryanisa
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Reni Rahmawati
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: renirhmwt24@gmail.com

Abstract
This article discusses the classification of hadiths based on rawi quantities. Hadiths seen from the number of people who narrated it were divided into two kinds, namely mutawatir and ahad. There are also scholars who divide it into three types, namely mutawatir hadith, ahad hadith and masyhur hadiths. But what we commonly use is mutawatir and ahad. Mutawatir hadiths are divided into mutawatir lafhzi, mutawatir maknawi and mutawatir amali. Likewise  ahad is divided into masyhur hadith, aziz hadith and gharib hadith. Each of the mutawatir and ahad hadiths has certain characteristics or criteria agreed upon by the scholars.
Abstrak
Artikel ini membahas tentang klasifikasi hadis berdasarkan kuantitas rawi. Hadis dilihat dari jumlah orang yang meriwayatkannya dibagi menjadi dua macam, yaitu mutawatir dan ahad. Ada juga ulama yang membaginya ke dalam tiga macam, yaitu hadis mutawatir, hadis ahad dan hadis masyhur. Tetapi yang umum kita gunakan adalah mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir dibagi ke dalam mutawatir lafhzi, mutawatir maknawi dan mutawatir amali. Demikian pula hadis ahad dibagi menjadi hadis masyhur, hadis aziz dan hadis gharib. Masing-masing dari hadis mutawatir dan ahad memiliki ciri-ciri atau kriteria tertentu yang telah disepakati para ulama.    
Keyword :  Hadis, Mutawatir, Ahad
A.      Pendahuluan
Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alquran yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Hadis bisa sampai kepada kita saat ini karena telah melalui jalur periwayatan yang sangat panjang. Hadis diterima sahabat secara lisan dan kemudian mereka hapalkan. Periwayatan ini tidak berhenti di sahabat tetapi berlanjut diterima ole tabi’in melalui sahabat dan tabi’ut tabi’in melalui tabi’in dan begitu seterusnya hingga sampai kepada kita.
Pada zaman sahabat, mereka disifati adil. Sehingga periwayatan yang mereka sampaikan dapat dipercaya dan tidak menimbulkan permasalahan. Zaman setelah sahabat, hadis nabi diriwayatkan oleh begitu banyak orang dari kalangan tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya.. Hadis Nabi saat itu telah tersebas luas. Bersamaan dengan itu, muncul keraguan mengenai kebenaran dari hadis yang mereka sampaikan. Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu cara yang dilakukan adalah melihat jumlah rawi dari suatu hadis agar bisa memastikan hadis tersebut dapat diterima atau tidak. Oleh karena itu, jumhur ulama telah membagi hadis berdasarkan jumlah rawi menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.

B.   Klasifikasi Hadis dari Aspek Kuantitas
Klasifikasi hadis berdasarkan kuantitas dilihat dari seberapa banyaknya  rawi yang menjadi sumber berita hadis tersebut. Tidak semua ulama bersepakat dalam  pengklasifikasian ini. Ada yang membaginya menjadi tiga macam, yaitu hadis mutawatir, masyhur, dan ahad dan ada pula yang membaginya menjadi dua macam, yaitu, hadis mutawatir dan ahad.[1]
Ada dua versi pembagian hadis berdasarkan kuantitas. Versi pertama oleh kebanyakan ahli fiqih dan ahli ushul, membagi hadis  menjadi tiga, yaitu mutawatir, masyhur dan ahad.  Versi kedua oleh sebagian besar ulama hadis, membagi hadis menjadi dua macam, yaitu mutawatir dan ahad. Lalu hadis ahad dibagi lagi menjadi tiga, yaitu masyhur, aziz, dan gharib. Berbeda dengan ulama ushul, ulama hadis berpendapat bahwa hadis masyhur tidak berdiri sendiri melainkan adalah bagian dari hadis ahad.[2] Maka dari itu, klasifikasi hadis berdasarkan kuantitas yang umum kita gunakan adalah mutawatir dan ahad.
1.        Hadis Mutawatir
a.     Pengertian Hadis Mutawatir
Secara bahasa, mutawatir  merupakan isim fa’il dari tawatur artinya at-tatabu’i (berturut-turut atau beriringan satu sama lain).[3]
Sedangkan secara istilah, hadis mutawatir ialah[4] :

ما رواه جمع عن جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب.
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.

Nur Ad-Din ‘Atar mendefinisikan hadis mutawatir sebagai berikut.[5]

الّذي رواه جمع كثير لا يمكن تواطؤهم على الكذب عن مثلهم انتهاء السند و كان مستند هم الحسّ.
Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada pancaindra.

Habsy As-Siddiqie dalam bukunya Ilmu Mustalah Al-Hadis mendefinisikan hadis mutawatir sebagai berikut.[6]

ما كان عن محسوس اخبر به جماعة بلغوا في الكثره مبلغا تحيل العادة تواطؤهم على الكذب.
Hadis yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan pancaindra orang banyak yang menurut adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dusta.

Definisi mutawatir sendiri sebenarnya pertama kali dikemukaan oleh Al-Baghdadi, meskipun ulama sebelumnya, Al-Syafi’i, sudah mengisyaratkan hal itu tetapi dengan istilah lain, yaitu “khabar ‘ammah”. Al-Baghdadi berpendapat, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mendustakan kesaksiannya.[7] Banyak ulama-ulama lain yang juga mengemukakan pendapatnya mengenai konsep mutawatir, seperti Ibnu Shalah, Al-Asqalani, Al-Hakim dan ulama-ulama setelahnya.
Secara garis besar definisi-definisi yang dipaparkan di atas memiliki maksud atau redaksi yang sama. Apabila digabungkan, maka hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang rawi berdasarkan pancaindra yang mustahil mereka bersepakat untuk berdusta dari awal sanad sampai akhir sanad.

b.    Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Mengenai syarat-syarat hadis mutawatir, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin.[8] Ulama mutaqaddimin tidak membicarakan syarat bagi hadis mutawatir. Menurut mereka, khabar mutawatir sebagai manapun sifatnya, apabila telah diketahui berstatus mutawatir, maka wajib untuk diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya dan tidak boleh ada keraguan padanya. Sedangkan, menurut ulama mutaakhirin dan ahli ushul, suatu hadis baru dapat ditetapkan sebagai hadis mutawatir apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut.
1.)    Diriwayatkan oleh banyak perawi
Hadis mutawatir adalah hadis yang harus diriwayatkan oleh banyak perawi yang mustahil mereka bersepakat sebelumnya untuk berdusta. Tetapi mengenai berapa tepatnya jumlah perawi yang dimaksud, para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda. Menurut salah satu ahli ushul, Abu al-Husayn Muhammad Ibn al-Tayyib yang beraliran Mu’tazilah berpendapat bahwa syarat mutawatir adalah diriwayatkan lebih dari 4 orang.[9] Al-Qadi Al-Baqillani berpendapat bahwa jumlah perawi hadis mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang. Ia melakukan qiyas berdasarkan jumlah Nabi yang mendapat gelar ulul azmi. Sementara itu, Astikhary menetapkan bahwa yang paling baik minimal 10 orang, sebab jumlah itu merupakan awal bilangan banyak. Ulama lain menentukan 12 orang, berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 12. Ulama lain ada yang menetapkan sekurang-kurangnya 20, 40, 70, dan sebagainya.[10]
Penentuan jumlah tertentu sebagaimana yang telah disebutkan di atas bukan yang menjadi pokok yang dijadikan ukuran. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak asalkan sudah memberikan keyakinan bahwa hadis tersebut benar atau mustahil mereka berdusta, maka dapat dimasukkan sebagai hadis mutawatir.
2.)    Adanya keseimbangan jumlah perawi pada setiap Thabaqat (lapisan)
Untuk bisa disebut hadis mutawatir maka jumlah perawi  antara thabaqat dengan thabaqat selanjutnya harus seimbang. Maksudnya apabila suatu hadis diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, maka tabi’in yang menerimanya juga harus berjumlah 20 orang. Jika kurang dari itu maka hadis tersebut tidak dapat digolongkan menjadi hadis mutawatir.
3.)    Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan tanggapan pancaindra. Maksudnya berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar berasal dari apa yang mereka dengar dan lihat dengan mata kepala sendiri. Dengan demikian, perlu diperhatikan bahwa berita yang merupakan hasil renungan, pemikiran,  rangkuman suatu peristiwa atau hasil istinbath dari satu dalil dengan dalil bukanlah hadis mutawatir.[11] Misalnya berita tentang keesaan Allah menurut hasil pemikiran para filosof, tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir.

c.    Macam-macam Hadis Mutawatir
Sebagian ulama membagi hadis mutawatir menjadi dua, mutawatir lafhzi dan mutawatir ma’nawi. Sebagian ulama lainnya membaginya menjadi tiga, yaitu mutawatir lafhzi, mutawatir maknawi dan mutawatir amali.
1.)    Hadis Mutawatir Lafhzi
Hadis mutawatir lafhzi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai antara riwayat yang satu dan lainnya.
Menurut Muhaddisin, yang dimaksud hadis mutawatir lafhzi adalah[12] :

مَا اتَّفَقَتْ اَلفَاظُ الرّوَاةِ فِيْهِ وَلَوْحُكْمًا وَ فِي مَعْنَاهُ.
Hadis yang sama lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.
Jadi, hadis mutawatir lafahz adalah hadis yang bunyi lafahz, hukum dan maknanya sama. contoh hadis ini yaitu:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ متعمّدًا فَلْيَتَبَوَّءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
Barang siapa berbuat dusta terhadap diriku (yang mengatakan sesuatu yang tiada aku katakana atau aku kerjakana), hendaklah ia menempati neraka. (H.R. Bukhari)
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat.[13] Sedangkan, menurut Al-Imam Abu Bakar As-Sairi bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh lebih dari 60 orang sahabat. Sebagian ahli huffaz melengkapi hadis ini diriwayatkan oleh 62 orang sahabat, yang didalamnya termasuk 10 sahabat yang dijamin masuk surga. Menurut mereka tidak ada hadis lain yang perawinya terkumpul 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga selain hadis ini. Abu Al-Qasim Ibnu Manduh berpendapat hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80 orang. Sebagian ulama ada juga yang mengatakan 100 orang, bahkan 200 orang.[14] Hadis tersebut terdapat pula pada sepuluh kitab hadis terkenal seperti Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Abu hanifah, Ad-Darimi, Ibn Majah, At-Thayasili, Al-Hakim, dan At-Thabrani.[15]
Contoh lain hadis mutawatir adalah hadis berikut.

نُزِلَ القُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ.
Alquran diturunkan atas tujuh huruf (tujug macam bacaan). (H.R. Imam Ahmad dan Turmidzi)
Hadis ini diriwayatkan oleh 27 orang sahabat.[16]
2.)    Hadis Mutawatir Maknawi
Hadis mutawatir maknawi adalah hadis yang lafaz dan maknanya berbeda antara riwayat satu dengan yang lainnya tetapi tetap memiliki kesesuaian makna secara umum. Hal ini berdasarkan kaidah ilmu hadis.

مَا اخْتَلَفُوْا فِي لَفْظِهِ وَ مَعْنَاهُ مَعَ رُجُوْعِهِ لِمَعْنَى كُلِّيٍّ.
Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umum. [17]
Abu Bakar As-Suyuti mendefinisikan hadis mutawatir maknawi sebagai berikut.

أَنْ يَنْقِلَ جَمَاعَةٌ يَسْتَحِيْلُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ وَ قَائِعَ مُخْتَلِفَةً تَشْتَرِكُ فِي أَمْرٍ.
Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta atas kejadian yang berbeda, tetapi bertemu pada titik persamaan.
Contoh hadis mutawatir maknawi , antara lain adalah hadis yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengangkat tangan ketika berdoa.

كَا نَ النَّبِيُّ صَلَّى ﷲُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الْإِسْتِسْقَاءِ وَ إِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ.
Nabi Muhammad SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam sholat istisqo’ dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya. (H.R. Bukhari)[18]
كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْ وَ مَنْكِبَيْهِ.
Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau. (Hadis yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud)[19]

قَالَ عُمَرُ ابْنُ الْخَطَّابِ : كَانَ رَسُوْلُ ﷲِ صَلَّى ﷲُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدّعَاءِ لَمْ يَحُطُّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.
Umar bin Khattab berkata, “Rasulullah bila telah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa, belum menurunkan keduanya sebelum menyapukan kedua tangannya itu ke mukanya.” (H.R. Tirmidzi)[20]
Ketiga hadis di atas, berbeda redaksi dan perincian maknanya, tetapi sebenarnya mengandung pengertian umum yang sama, yaitu Nabi Muhammad SAW mengangkat kedua tangannya saat berdoa. Hadis lain yang semacam hadis-hadis tersebut sangatlah banyak yaitu lebih dari 100 hadis.[21]
3.)    Hadis Mutawatir Amali
Hadis mutawatir amali adalah[22]:

مَا عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ وَتَوَاتُرُ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى ﷲُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَعَلَهُ أَوْ أَمَرَبِهِ َأَوْ غَيْرَ ذَلِكَ وَ هُوَ الَّذِيْ يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ تَعْرِيْفُ الإِجْمَاعِ اِنْطِبَاقًا صَحِيْفًا.
Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW mengajarkannya, menyuruhnya atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijma’.”
Contohnya adalah hadis-hadis yang menjelaskan tentang waktu dan rakaat sholat fardhu, sholat Id, sholat jenazah, kadar zakat, hijab perempuan dan segala amal yang telah disepakati para ulama (ijma’).

Hadis mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yaitu suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinan yang qaht’i (pasti).
Hadis mutawatir, terutama yang lafhzi, derajatnya sangat tinggi. Sayangnya hadis ini sulit ditemukan. Tetapi yang perlu diperhatikan disini adalah para perawi hadis mutawatir tidak perlu dipersoalkan mengenai keadilan maupun kedhabitannya. Karena dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, telah menjamin para perawi tidak melakukan kesepakatan untuk berdusta.  Para ulama ushul dan juga Imam Nawawi dalam Syarah Muslim tidak menetapkan syarat “muslim” bagi para perawi hadis mutawatir.[23] Hadis mutawatir tidak menjadi objek pembicaraan ilmu hadis dari segi maqbul-mardud, kualitas para perawinya tidak dijadikan sasaran pembahasan. Sekali lagi yang menjadi titik tekan dalam hadis mutawatir adalah kuantitas perawi dan kemungkinan adanya kesepakatan berdusta atau tidak.
Sebagian ulama telah menyusun kitab-kitab yang memuat hadis-hadis mutawatir. Diantaranya sebagai berikut.[24]
1.      Al-Azhar Al-Mutanatsiroh fi Al-Akhbar Al-Mutawatiroh karya Al-Suyuti,
2.      Al-La’ali’ Al-Mutanatsiroh fi Al-Ahadits Al-Mutawatiroh karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi,
3.      Nazhm Al-Mutanatsiroh min Al-Hadits Al-Mutawatiroh karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani,
4.      Al-Ahadits Al-Mutawatiroh karya Al-Sayyid Muhammad bin Nasib, dan kitab-kitab lainnya.


2.        Hadis Ahad
a.       Pengertian Hadis Ahad
Secara bahasa ahad artinya satu. Pengertian hadis ahad secara bahasa terasa belum jelas. Apakah hadis ahad adalah khabar yang disampaikan hanya oleh satu orang atau lebih kita dapat mengetahuinya dari definisi yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain sebagai berikut.

مَا لَمْ تَبْلُغْ نَقَلَتُهُ فِي الْكَثْرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمُخْبِرُ وَاحِدًا أَوْ اِثْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أوْ أَرْبَعَةً أَوْ خَمْسَةً أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الأَعْدَادِ الَّتِى لَا تَشْعُرُ بِأَنَّ الْخَبَرَ دَخَلَ بِهَا فِي خَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ.
Hadis yang jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir.[25]
Secara singkat hadis ahad adalah:
مَا لَمْ يَجْمَعْ شُرُوْطَ الْمُتَوَاتِرِ.
Hadis yang tidak memenuhi syarat hadis mutawatir.[26]

b.      Macam-macam hadis Ahad
Berdasarkan jumlah rawi pada tiap thabaqah (lapisan), hadis ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu masyhur, aziz, dan gharib.
1.      Hadis Masyhur
Masyhur menurut bahasa berarti al-intisyar wa az-zuyu’ (sesuatu yang sudah tersebar dan populer). Secara istilah hadis masyhur ialah hadis yang diriwayatkan oleh tiga atau lebih perawi dan belum sampai pada derajat mutawatir.[27] Hadis ini juga sering disebut hadis mustafidh. Tetapi sebenarnya terdapat perbedaan antara keduanya. Hadis mustafidh jumlah rawinya dari thabaqah pertama hingga thabaqah terakhir adalah tiga orang atau lebih. Sedangkan hadis masyhur, jumlah rawi untuk setiap thabaqahnya tidak harus tiga orang.[28] Bisa saja di thabaqah pertama hanya diriwayatkan satu orang perawi, kemudian di thabaqah selanjutnya diriwayatkan oleh banyak perawi maka hadis itu tetap dimasukkan dalam kategori hadis masyhur. Contohnya adalah hadis di bawah ini.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
Sahnya amal-amal itu dengan niat dan bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa yang ia niatkan. (H.R. Mutafaq ‘alaih)
Hadis tersebut pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh Umar seorang, kemudian pada thabaqah kedua diriwayatkan oleh Al-qamah seorang dan pada thabaqah ketiga diriwayatkan banyak orang, seperti Abd Al-Wahab, Sufyan, Al-Laits, Malik dan Hammad.[29]
Beberapa ulama seperti Al-Bazdawi, Al-Syasyi dan Al-Sarakhsi, yang melihat hadis masyhur dari segi kesejarahannya,[30] mereka berpendapat bahwa hadis masyhur adalah hadis yang awalnya diriwayatkan secara ahad oleh sahabat, kemudian menjadi terkenal pada abad kedua dan ketiga dan seterusnya, ketika banyak orang dengan jumlah mutawatir menerima dan mengamalkan hadis tersebut, hadis tersebut menjadi seperti mutawatir. Oleh sebab itu ada ulama yang mengatakan hadis masyhur berdiri sendri dan ada pula yang memasukkannya bagian dari hadis ahad. Namun tetap tidak sampai kepada derajat mutawatir karena ketatnya syarat hadis mutawatir.
Hadis ini dinamakan masyhur tentunya karena telah tersebar luas atau popular di kalangan masyarakat. Kadangkala istilah masyhur untuk suatu hadis bukan karena jumlah perawinya, tetapi karena ketenarannya di kalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat.[31] Sekalipun bilangan rawinya tidak dapat dikatakan masyhur atau bahkan hadis tersebut tidak mempunyai sanad sama sekali, baik itu shahih atau dhaif, tetapi bila hadis tersebut populer maka tergolong hadis masyhur. Ada hadis yang masyhur di kalangan ahli hadis, ulama ahli ilmu, ulama fiqih dan ushul fiqih dan orang awam sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.
2.      Hadis Aziz
Secara bahasa hadis aziz berarti hadis yang mulia/kuat atau hadis yang sedikit/jarang. Para ulama mendefinisikan hadis aziz sebagai berikut.[32]
الْحَدِيْثُ الْعَزِيْزُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِي رَوَاهُ اِثْنَانِ وَلَوْ كَانَ فِي طَبَقَةٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ رَوَاهُ بَعْدَ ذَلِكَ جَمَاعَةٌ.
Hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi,walaupun dua rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.
Dari definisi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hadis aziz bukan hadis yang harus diriwayatkan oleh dua perawi di setiap thabaqahnya, melainkan apabila sudah ada dua perawi di salah satu thabaqah maka dapat dikatakan sebagai hadis aziz. Contoh dari hadis aziz sebagai berikut.

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَ وَالَدِهِ وَ وَلِدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai daripada dirinya, orang tuanya, anaknya dan semua manusia. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut termasuk hadis aziz karena diriwayatkan oleh dua orang perawi pada salah satu thabaqahnya, yaitu pada thabaqah kedua. Untuk lebih jelasnya perhatikan urutan rawinya di bawah ini.[33]
 











3.      Hadis Gharib
Secara bahasa gharib berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Sedangkan secara istilah, hadis gharib adalah[34]:

مَا تَفَرَّدَ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِي أَيِّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَّفَرُّدُ بِهِ السَّنَدُ.
Hadis yang pada sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Penyendirian perawi yang dimaksud definisi di atas ada dua kondisi. Yang pertama perawi memang sendirian dalam meriwayatkan hadis. Dengan kata lain, tidak ada orang yang meriwayatkannya selain perawi tersebut. Kondisi kedua yaitu penyendirian perawi berkaitan dengan sifat atau keadaan perawi yang berbeda dengan sifat dan keadaan perawi lain yang juga meriwayatkan hadis itu. Di samping itu, penyendirian perawi juga bisa terjadi pada seluruh perawi di tiap-tiap thabaqah, bisa terjadi di awal, tengah, atau akhir sanad.
Berdasarkan penyendirian perawi sebagaimana dijlelaskan di atas, hadis gharib dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.
a.)  Gharib Mutlak
Hadis gharib mutlak adalah hadis yang perawinya menyendiri meskipun hanya dalam satu thabaqah. Penyendirian ini harus berpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni Tabi’in, bukan sahabat.[35] Mengapa demikian, karena tujuan dari memperbincangkan hadis gharib dari segi penyendirian rawi adalah untuk menetapkan apakah periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Sedangkan mengenai sahabat tidak perlu diragukan lagi keadilannya dan hal itu telah diakui jumhur ulama ahli hadis. Jadi tidak perlu diperbincangkan lagi. Berbeda dengan tabi’in yang masih mungkin terdapat celah, sehingga perlu pertimbangan lebih agar periwayatannya dapat diterima. Salah satu contoh hadis gharib mutlak:

اَلْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ.
Iman itu bercabang-cabang menjadi 70 cabang. Malu itu salah satu cabang dari iman. (H.R. Mutafaq ‘alaih)
Hadis tersebut diterima oleh Abu Hurairah (sahabat) yang kemudian hanya diriwayatkan oleh Abu Shalih (tabi’in), lalu dari Abu Shalih hanya diterima oleh Abdullah bin Dinar (tabi’ut tabi’in) dan seterusnya hingga sampai ke Muslim. Hadis ini tergolong hadis gharib mutlak karena hanya Abu shalih yang meriwayatkannya dari Abu Hurairah dan hanya Abdullah bin Dinar yang meriwayatkannya dari Abu Shalih.
b.)   Gharib Nisbi
Hadis gharib tergolong gharib nisbi apabila penyendirian perawi berkenaan dengan sifat dan keadaan tertentu seorang perawi. Ada tiga indikator mengenai sifat dan keadaan yang dimaksud, yaitu sifat keadilan dan kedhabitan (kesiqahan) perawi, kota atau tempat tinggal tertentu, dan  meriwayatkannya dari rawi tertentu.
Contoh hadis gharib nisbi berdasarkan kesiqahan perawinya:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. يَقْرَأُ فِي الْأَضْحَى وَالْفِطْرِ بِقٓ وَالْقُرْاٰنِ الْمَجِيْدِ وَ اقْتَرَبَـتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ.
Rasulullah SAW pada hari raya qurban dan hari raya idul fitri membaca surah Qaaf dan surah Al-Qomar. (H.R. Muslim)
Hadis tersebut diriwayatkan melalui dua jalur, jalur Muslim dan Ad-Daruqutni. Pada rentetan sanad melalui jalur Muslim terdapat seorang rawi yang disifati sebagai muslim yang siqah, yaitu Dumrah bin Said, yang meriwayatkan hadis tersebut dari Ubaidillah. Ia disebut menyendiri tentang kesiqahannya karena tidak ada perawi siqah selain dirinya yang meriwayatkan hadis tersebut.[36]  
Contoh hadis gharib nisbi berdasarkan kota atau tempat tinggal tertentu:

أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص.م. أَنْ نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ مِنْهُ.
Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita agar membaca Al-Fatihah dan surah mudah dari Alquran. (H.R. Abu Dawud)
Hadis ini diterima Abu Dawud dari Abu Walid Ath-Thayalisi dari Hamam dari Qtadah dari Abu Nasharah dan Sai’id. Semua rawi dari hadis ini berasal dari kota Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.[37]
Contoh hadis gharib nisbi yang penyendirian perawinya karena meriwayatkannya dari rawi tertentu:
أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. أَوْ لَمْ عَلَى صَفِيَّةَ بِسَوْبِقٍ وَ تَمَرٍ.

Sesungguhnya Nabi SAW mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan jamuan makanan yang terbuat dari tepung dan kurma.
Dalam sanad hadis tersebut, terdapat seorang rawi bernama Wa’il yang meriwayatkan hadis tersebut dari anaknya, Bakar bin Wa’il. Tidak ada perawi lain yang meriwayatkan demikian. Sehingga hadis ini disebut hadis gharib nisbi dilihat dari segi periwayatan dari orang tertentu.[38]
Selain pembagian hadis gharib seperti yang telah dijelaskan di atas, ada juga ulama yang membagi berdasarkan letak gharibnya (penyendiriannya), apakah terletak di sanad atau matan. Terbagi menjadi tiga, yaitu gharib pada sanad dan matan, gharib pada sanadnya saja dan gharib pada sebagian matannya.[39]

c.       Kedudukan Hadis Ahad
Hadis ahad kedudukannya tidak sekuat hadis mutawatir. Karena jumhur ulama hadis bersepakat bahwa hadis ahad itu tidak qat’I (pasti) tetapi zanni (diduga).[40] Hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW sedangkan hadis ahad diduga dari Rasullah SAW, dengan anggapan mungkin benar berasal beliau. Maka dari itu kedudukan hadis ahad sebagai sumber ajaran Islam, berada di bawah kedudukan hadis mutawatir.
Beberapa ulama seperti Al-Qasayani dan Ibnu Dawud berpendapat kita tidak wajib untuk mengamalkan hadis ahad.[41] Tetapi sebagian besar ulama, mulai dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelahnya, baik dari ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqih berpendapat, apabila hadis ahad tersebut telah diketahui berstatus shahih maka dapat dijadikan hujah dan wajib diamalkan.[42] Sebagian ulama menambahkan  yang wajib diamalkan adalah yang berurusan dengan amaliyah, ibadah, kaffarat dan hudud, bukan yang berurusan dengan akidah.[43]

C.   Penutup
Seperti yang sudah dijabarkan di atas, hadis dilihat dari segi kuantitasnya diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu hadis mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir terbagi menjadi mutawatir lafhzi, maknawi dan amali. Sedangkan hadis ahad dibagi lagi menjadi masyhur, aziz dan gharib.
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak dan menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Oleh karena itu, hadis mutawatir bersifat qath’i (pasti) atau dharuri (mendesak untuk diyakini) artinya hadis itu memang benar dari Rasulullah SAW. Sedangkan hadis ahad  diriwayatkan oleh perawi dengan jumlah tertentu, tidak sebanyak hadis mutawatir, dan masih ada kemungkinan mereka berduta, maka bersifat zanni (dugaan). Dengan demikian, sebagai sumber ajaran agama Islam hadis mutawatir memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hadis ahad.

























DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Maman. 2015. Teori Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset
Agus Solahudin, Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia
Hamang, M. Nasri. 2010. Kehujahan Hadis Ahad menurut Mazhab Suni dan Syi’ah. Al-Fikr: Vol.14 No.3
Jabbar Sabil, Juliana. 2017. Hadis Ahad sebagai Sumber Hukum Islam. Media Syari’ah: Vol.19 No.2
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia
M. Shofiyuddin. 2016. Epistemologi Hadis: Kajian Tingkat Validitas Hadis dalam Tradisi Ulama Hanafi. Riwayah: Jurnal Studi Hadis Vol.2 No.1
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia
Muhammad Ahmad, Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia
Omar, Arifin. 1998. Penerimaan Hsadis Mutawatir dan Ahad Sebagai Nas Hukum. Islamiyyat 18 & 19
Witono, Toton. 2001. Klasifikasi Kuantitas Hadis
Zuhri ,Saifuddin. 2008. Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat. SUHUF: Vol.20, No.1

Catatan:
Makalah ini bagus, hanya saja similarity cukup tinggi, 30%.



[1] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 113
[2] Saifuddin Zuhri, Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat, SUHUF: Vol.20, No.1, Mei 2008, hlm.55
[3] Toton Witono, Klasifikasi Kuantitas Hadis, 2001, hlm.3
[4] Mudasir, Loc.cit.
[5] Ibid, hlm.114.
[6] Ibid, hlm.115.
[7] Maman Abdurahman, Teori Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2015), hlm. 111.
[8] Mudasir, Loc.cit.
[9] Toton Witono, Op.cit. hlm.4.
[10] Mudasir, Op.cit., hlm.116.
[11] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 96.
[12] Muhammad Ahmad, Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm.69.
[13] Ibid, hlm.71.
[14] Mudasir,Op.cit., hlm.120.
[15] Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm.131
[16] Mudasir, Loc.cit.
[17] Agus Solahudin, Agus Suyadi, Loc.cit.
[18] Ibid, hlm.132.
[19] Muhammad Ahmad, Mudzakir, Op.cit., hlm. 72.
[20] Ibid, hlm. 91.
[21] Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op.cit., hlm.132.
[22] Ibid.
[23] Mudasir, Op.cit., hlm.124.
[24] Arifin Omar, Penerimaan Hadis Mutawatir dan Ahad Sebagai Nas Hukum, Islamiyyat 18 & 19, 1998, hlm.52
[25] Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op.cit., hlm.133
[26] Mudasir, Op.cit., hlm.125
[27] Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op.cit., hlm.134
[28] Badri Khaeruman, Op.cit., hlm.100
[29] Ibid, hlm.101
[30] M. Shofiyuddin, Epistemologi Hadis: Kajian Tingkat Validitas Hadis dalam Tradisi Ulama Hanafi, Riwayah: Jurnal Studi Hadis Vol.2 No.1, 2016, hlm.11
[31] Badri Khaeruman, Op.cit., hlm.101
[32] Muhammad Ahmad, Mudzakir, Op.cit., hlm.95
[33] Mudasir, Op.cit., hlm.134
[34] Ibid, hlm.135
[35] Ibid.
[36] Ibid, hlm.137
[37] Badri Khaeruman, Op.cit., hlm.106
[38] Ibid, hlm.107
[39] Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op.cit., hlm.139
[40] M. Nasri Hamang, Kehujahan Hadis Ahad menurut Mazhab Suni dan Syi’ah, Al-Fikr: Vol.14 No.3, 2010, hlm.413
[41] Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op.cit., hlm.140
[42] Jabbar Sabil, Juliana, Hadis Ahad sebagai Sumber Hukum Islam, Media Syari’ah, Vol.19 No.2, 2017, hlm.299
[43] Agus Solahudin, Agus Suyadi, Op.cit., hlm.141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar