KLASIFIKASI HADIS DARI SEGI KUANTITAS (HADIS MUTAWATTIR DAN HADIS
AHAD)
Uwly Iffat Arifin Al Hasyimi (17110010)
Iwan Bekti Setiawan (17110075)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
The writing of this article is about the classification of hadis in
terms of quantity, which aims to provide an explanation to the reader in more
detail and depth about the classification of hadis in terms of quantity. The
background of the writing of this article is because of the large of Muslims
who still don’t really understand and know the various kinds of hadis, one of
them is the distribution in terms of quantity. The distribution of hadis in
terms of quantity is reviewed by the number of narrators who narrate the hadis.
While the classification of hadith in terms of quantity itself there are 2
types, namely ahad hadis and mutawattir hadis.
Keywords
: Hadis, Ahad, Mutawattir
Abstrak
Penulisan artikel ini tentang klasifikasi hadis dari segi
kuantitas, yang bertujuan memberikan penjelasan kepada pembaca lebih rinci dan
mendalam mengenai klasifikasi hadis dari segi kuantitas. Latar belakang
penulisan artikel ini adalah karena banyaknya umat Islam yang masih belum
begitu memahami dan mengetahui macam-macam hadis, salah satunya pembagiannya dari
segi kuantitas. Pembagian hadis dari segi kuantitas ini ditinjau dari banyaknya
periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut. Sedangkan klasifikasi hadis dari
segi kuantitas ini sendiri ada 2 macam yaitu, hadis ahad dan hadis mutawattir.
Kata
kunci : Hadis, Ahad, Mutawattir
A.
Pendahuluan
Hadis adalah suatu perkataan, perbuatan dan ketetapan yang berasal
dari Nabi Muhammad SAW. Hadis dijadikan sebagai sumber hukum Islam kedua
setelah Alquran, dimana hadis ini dijadikan sebagai dasar operasional dalam
agama Islam.
Hadis memiliki beberapa fungsi diantaranya seperti memperjelas
suatu ayat Alquran yang bersifat mujmal, membuat hukum yang tidak tercantum di
dalam Alquran, memperinci apa yang ada didalam Alquran dan masih banyak fungsi
lainnya dari hadis.
Kehujjahan Hadis sudah tidak dapat diragukan lagi karena hadis
bersumber dari Rasulullah dan didalam Alquran juga dijelaskan apabila umat
Islam mengalami persoalan hendaknya kembalikan persoalan tersebut kepada Allah
dan Rasul-NYA. Rasulullah juga bersabda “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara
yang tidak akan sesat jika engkau berpegang teguh padanya, yaitu Alquran dan
sunahku”.
Disisi lain, hadis juga memiliki banyak macam ditinjau dari segi
kualitas dan kuantitasnya. Dari segi kuantitas hadis dibagi menjadi 2 yaitu
hadis mutawattir dan hadis ahad.
B.
Pengertian Hadis Mutawattir
Mutawattir,
secara bahasa adalah isim fa’il dari kata berbahasa Arab al-tawatur yang
memiliki makna al-tatabu’ (berturut-turut).[1]Dalam
hal ini, mutawattir mengandung artian yang sifatnya kontinyu secara
berturut-turut atau terus menerus tanpa adanya sesuatu yang menyela dan
menghalangi kontinuitas itu.
Secara istilah, Mahmud al-Thahhan
memberikan definisi sebagai berikut :
ما رواه عدد
كثير تحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
“Hadis
yang diriwayatkan oleh periwayat banyak yang menurut kebiasaan mereka mustahil
bersepakat untuk berdusta”.[2]
Definisi lebih lengkap mengenai
hadis mutawattir dikemukakan oleh ‘Ajjaj al-Khatib, yaitu :
ما رواه جمع
تحيل العادة تواطؤهم علي الكذب عن مثلهم
من اوّل السّند الي منتهاه علي ان لا يختل هذا الجمع في ايّ طبقة من طبقات السّند
“Hadis yang diriwayatkan oleh beberapa rawi
yang menurut kebiasaan mereka mustahil bersepakat untuk berdusta dari julah
rawi yang sepadan dari awal sanad hingga sanad terakhir dengan syarat jumlah
itu tidak berkurang pada tiap tingkatan sanad”.[3]
Dalam ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh
subhi al-Salih mendefinisikan bahwa hadis mutawattirr sebagai berikut :
هو الحديث
الصحيح الذي يرويه جمع يحيل العقل والعادة تواطؤهم علي الكذب عن جمع مثلهم في اول
السند ووسطه وآخره
“Hadis
sahih yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang menurut akal sehat dan kebiasaan
mereka mustahil bersepakat berdusta dari banyak periwayat di awal, tengah, dan
akhir sanadnya”.[4]
Jadi, hadis mutawattir adalah hadis
yang sahih dan diriayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut akal sehat dan
kebiasannya mereka mustahil bersepakat untuk berdusta pada apa yang
diriwayatkannya dan jumlah periwayat tidak berkurang pada setia tingkatan
sanadnya.
C.
Syarat-Syarat Hadis Mutawattir
Menurut ulama’ mutaakhirin dan ahli ushul
hadis bahwa suatu hadis tersebut bisa ditetapkan sebagai hadis mutawattir bila
memenuhi beberapa syarat. Syarat- syarat tersebut yaitu :
1. Diriwayatkan oleh sejumlah perawi
Hadis mutawattir memang harus diriwayatkan
oleh sejumlah perawi yang memberikan keyakinan bahwa mereka itu tidak
bersepakat untuk berdusta. Mengenai jumlah dari perawi ada beberapa pendapat
yaitu, ada yang menetapkan mengenai jumlah perawi dan ada pula yang tidak
menetapkan jumlahnya.
Al-Qadi Al-Baqilani menetapkan bahwa perawi
hadis dalam hadis mutawattir sekurang-kurangnya 5 orang. Sementara Astikhary
berpendapat bahwa yang aling baik yaitu minimal 10 orang karena 10 merupakan awal
bilangan banyak.[5]
2. Berdasarkan kebiasaan perawi mustahil untuk
berdusta
Perawi hendaknya yang menurut kebiasaannya
itu tidak mungkin untuk berdusta. Karena jika menurut kebiasaan perawi berdusta
maka bisa dikatakan hadis tersebut diragukan.
3. Jumlah perawi yang banyakharus terjadi pada
setiap lapisan sanad dari awal hingga akhir
Pada hadis mutawattir, jumlah perawi harus
seimbang antara suatu thabaqah dengan thabaqah lainnya.[6]
Jadi, jika suatu hadis diriwayatkan oleh 20 sahabat, kemudian diterima oleh 10
tabi’in dapat digolongkan sebagai hadis mutawattir karena jumlah perawi tidak
seimbang antara thabaqah satu dengan thabaqah lainnya.
4. Berdasarkan pada tanggapan pancaindra
Berita atau hadis yang disampaikan oleh
para perawi harus berdasarkan pancaindra. Maksudnya disini adalah para perawi
menyampaikan hadis tersebut benar-benar berdasarkan apa yang dilihat dan
didengar sendiri.
D. Pembagian
Hadis Mutawattir
Mengenai klasifikasi hadis mutawattir
dibagi menjadi 2, yaitu : hadis mutawattir lafzi dan hadis mutawattir maknawi.
Sebagian ulama’ juga ada yang membagi hadis mutawattir menjadi 3, yaitu : hadis
mutawattir lafzi, hadis mutawattir maknawi dan hadis mutawattir amali.
1. Hadis Mutawattir Lafzi
Secara bahasa atau etimologi, mutawattir
lafzi memiliki arti berurutan secara lafal. Sedangkan menurut istilah atau
terminologi, hadis yang teks dan maknanya disampaikan secara mutawattir.[7]
Imam Suyuti berpendapat, mutawattir lafzi
adalah hadis mutawattir yang lafal hadisnya sama atau hampir sama.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan
hadis mutawattir lafzi, yaitu :
ما رواه بلفظه جمع عن جمع لا يتوهّم تواطؤهم
علي الكذب من اوّله الي منتهاه
“Hadis yang secara
lafal diriwayatkan oleh banyak orang yang mustahis bersepakat untuk berdusta
baik dari awal sanad hingga akhir sanad”.[8]
Contoh dari hadis mutawattir lafzi sebagai
berikut :
حَدَّثَناَ مُحَمَدُ بْنُ عُبَيْدِ
الْغُبَرِيُّ حَدَّثَناَ اَبُو عَوَانَة عَنْ أَبِي حَصِيْنِ عَنْ أبِي صَالِحِ
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ الله صَلَّي الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (روه
مسلم)
حَدَّثَناَ سُوَيدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَناَ
عَلِيُّ بن سَهِيْرٍ عَنْ مُطَرِّفِ عَنْ عَطِيَّة عَنْ ابي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ الله صَلَّي الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (روه ابن ماجه)
“Barang
siapa yang berbuat dusta kepadaku secara sengaja, makahendaklah menempati
tempat duduknya di neraka”.
Hadis diatas diriwayatkan oleh
segolongan sahabat. Menurut sebagian penghafal hadis, hadis diatas diriwayatkan dari Rasulullah
oleh 60 sahabat. Menurut Ibnu Al-Shalah bahwa hadis mutawattir lafzi ini sangat
jarang atau langka.[9]
2. Hadis Mutawattir Maknawi
Hadis mutawattir maknawi adalah hadis
mutawattir yang susunan redaksinya berbeda-beda antara periwayat satu dengan
periwayat yang lainnya, tetapi maknanya sama.[10]
Abu Bakar As-Suyuti mendefinisikan hadis
mutawattir maknawi sebagai berikut:
هو ان تنقل جماعه يستحيل عادّة تواطنهم علي
الكذب وقائع مختلفة إشتركت في أمر ينواتر ذلك القدر المشترك
“Hadis yang
dinukiloleh sejumlah orang yang menurut kebiasaan mereka mustahil bersepakat
untuk berdusta atas kejadian yang berbeda, tetapi bertemu pada titik persamaan”.[11]
Dengan
kata lain, bahwa hadis mutawattir maknawi ini matannya bebeda secara
redaksional, tetapi mempunyai kesamaan makna atau peristiwa. Dan hadis seperti
ini relatif banyak dan semua sepakat mengenai kemutawattirannya.[12]
Jadi,
hadis mutawattir maknawi yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang
yangmenurut kebiasaan mereka mustahil bersepakat berdustayang lafalnya berbeda
namun memiliki makna atau titik pemahaman yang sama.
Contoh
hadis mutawattir maknawi yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a :
اَنَّ رَسُولُ الله صَلَّي الله عَلَيهِ
وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْئٍ مِنْ دُعَائِهِ اِلاَّ فِي
الاِسْتِسْقَاءِ فَاِنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّي يُرَى بَيَاضُ
اِبْطَيْهِ (رواه البخاري : 3301)
حَدَّثَنَا ابو بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ
قَالَ رَأَيْتُ رَسُولُ الله صَلَّي الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي
الدُعَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ اِبْطَيِهِ (رواه مسلم : 1490)
Hadis
diatas berjumlah sekitar 100 hadis yang memiliki redaksi atau lafal yang
berbeda namun memiliki makna dan titik pemahaman yang sama.
3. Hadis Mutawattir Amali
Hadis
mutawattir amali yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi, tetapi
hanya berupa pengamalan saja tanpa redaksi atau lafal.
Jenis
hadis mutawattir amali ini banyak jumlahnya dan banyak kita temukan, misalnya
seperti tata cara salat, haji, salat jenazah dan masih banyak lagi.
E. Kehujjahan
Hadis Mutawattir
Menurut Muhammad al-Shabbagh bahwa
pengetahuan yang disampaikan pada hadis mutawattir harus bersifat dharuri
yang diperoleh dari pengamatan pancaindra.[13]
Hal ini dikarenakan agar berita yang akan disampaikan berdasarkan pada sesuatu
atau ilmu yang pasti bukan berdasarkan prasangka dengan harapan agar dapat
meyakinkan kepada orang-orang yang mendengar berita tersebut.
Menurut Mahmud al-Thahhan bahwa hadis
mutawattir bersifat dharuri maksudnya adalah ilmu yang meyakinkan dan
mengharuskan seseorang untuk mempercayai dan membenarkannya tanpa ada keraguan
sedikitpun.[14]
Dengan begitu seluruh hadis mutawattir dapat diterima atau maqbul untuk
dijadikan sebagai hujjah tanpa harus mengkaji para rawinya.
F. Pengertian Hadis
Ahad
kata ahad berasal dari kata bahasa arab
jamak dari kata ahadun yang berarti satu. Secara bahasa hadis ahad yaitu orang
yang meriwayatkan hadis hanya satu. Sedangkan menurut ulama hadis secara
istilah atau terminologi hadis ahad adalah
هو ما لا يجتمع فيه شروط التواتر
“hadis
yang tidak memenuhi salah satu dari syarat hadis mutawatir”[15]
Muhammad Sa’id Ramadhan al-
Buthi berpendapat bahwa hadis ahad adalah “hadis yang sanadnya shahih dan
bersambung hingga sampai kepada sumbernya(nabi Muhammad) tetapi kandungannya
memberikan penggertian dzhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin”.[16]
Berdasarkan dari dua pendapat tentang
penggertian hadis ahad diatas menunjukan dua hal: pertama kuantitas
perwayatannya hadis ahad kedudukannya
dibawah hadis mutawatir, yang kedua dilihat dari segi isinya bahwa hadis
ahad berifat dzhanni bukan qoth’i. Sehingga bisa disimpulkan bahwa penggertian
hadis ahad adalah “Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau
lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur atau mutawatir”.[17]
G. Pembagian
Hadis Ahad
Mahmud al-Tahzan berpendapat bahwa dilihat
dari segi jumlah sanadnya hadis ahad dibagi menjadi tiga yaitu hadis
masyhur,hadis aziz dan hadis gharib.[18]
Sedangkan menurut para ulama hadis ahad
dibagi menjadi dua yaitu hadis masyhur dan ghoiru masyhur kemudian hadis ghoiru
masyhur ini dibagi menjadi dua bagian lagi yaitu hadis aziz dan hadis ghorib.[19]
1. Hadis Masyhur
Menurut
bahasa kata masyhur berarti populer atau sesuatu yang telah tersebar. Sedangkan
menurut istilah ialah
مَارَوَاهُ الثَّلَاثَةُ فَأَكْثَرَوَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ
”hadis yang diriwayatkan oleh tiga
orang atau lebih tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran bilangan mutawatir”.[20]
Jadi hadis ini disebut dengan hadis masyhur
karena memang sudah terkenal atau populer dikalangan masyarakat. Berikut ini
adalah contoh dari hadis masyhur:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما الأعمال بالنيات وإنما
لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته
إلى ما هاجر إليه
Hadist
tersebut diriwayatkan oleh imam buhori dan imam mslim dengan sanad seperti
tabel dibawah ini :
Ulama
memberikan beberapa status pada hadis ini yaitu shahih,hasan dan daif.[21]
Selain jumlah rawi yang meriwayatkan hadis dalam hadis masyhur juga
mempertimbangkan kemasyhuran suatu hadis walaupun diriwayatkan oleh sedikit
rawi maka dari itu hadis masyhur juga masih dibagi menjadi beberapa macam
kriteria hadis masyhur diantaranya yaitu[22] :
a.
Masyhur
dikalangan ahli hadis
b.
Masyhur
dikalangan ulama hadis dan ulama lain serta orang awam
c.
Masyhur
dikalangan ulama fikih
d.
Masyhur
dikalangan ulama ushul fikih
e.
Masyhur
dikalangan ahli sufi
f.
Masyhur
dikalangan ulama Arab
2.
Hadis
Ghairu Masyhur
Hadis
ghairu masyhur dibagi menjadi dua oleh para ulama yaitu ‘aziz dan gharib.[23]
a.
Hadis
‘Aziz
Aziz
berasal dari kata azza,yaizzu yang artinya sedikit atau jarang. Sedangkan
menurut istilah adalah
أَنْ لَا يَقِلَّ رُوَاتُهُ عَنِ اثْنَيْنِ فِيْ جَمِيْعِ طَبَقَاتِ
السَّنَدِ
“hadis yang perawinya kurang dari
dua orang dalam semua thabaqat sanadnya”[24]
Dari
penggertian tersebut Mahmud At-Tahan dan Ibnu Hajar menjelaskan bahwa walaupun
ada beberapa thobaqat yang perawinya lebih dari tiga tapi kalau ada satu
thabaqhat yang hanya dua orang perawi maka itu juga termasuk hadis aziz.[25]
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتّٰى أَكُوْنَ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
”Tidak
beriman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada
orang tua, anaknya, dan manusia semuanya”.
Berikut
adalah tabel sanad dari hadis tersebut:
b.
Hadis
Gharib
Secara
bahasa gharib berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Menurut istilah
ulama hadis gharib berarti: “hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri
dalam periwayatannya”.[26]
Ada
defenisi lain yang dikemukakan oleh H. Muhammad
Ahmad dan M. Mudzakir
مَا اِنْفَرَدَ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ فِيْ أَيِّ مَوْضِعٍ وَقَعَ
التَّفَرُّدُ بِهِ مِنَ السَّنَدِ
“Hadis yang pada sanadnya terdapat
seorang yang menyendiri dalam meriwayatkanya dimana saja dalam sanad itu
terjadi”.[27]
Jadi
dalam hadis gharib ini dalam periwayatnya hanya ada seorang perawi dalam
meriwayatkan suatu hadis dan tidak ada orang lain yang ikut dalam
meriwayatannya baik itu diawal ,tenggah ataupun akhir sanad. Hadis gharib
sendiri masih dibagi menjadi dua macam yaitu[28] :
· Gharib Mutlak
Gharib
mutlak adalah “Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada
asal sanad” Penyendirian ini berasal
dari ashlu sanna yaitu tabiin bukan sahabat karena jika sahabat meskipun dalam
penyendirian itu pasti keadilanya sudah diakui oleh jumhur ulama karena para
sahabat sudah menganggap keadilan sahabat tidak diragukan lagi. Tetapi jika
tabiin yang kesendirian dalam periwayatanya suatu hadis ini masih bisa
diragukan maka itu hadis ini disebut hadis gharib mutlak.[29]
Berikut adalah contoh hadis ghorib mutlak :
اَلوَلَاءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ النّّسّبِ لَا يُبَاعُ وَلاَ يُوْهَبُ
“kekerabatan dengan jalan
memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan jalan keturunan, tidak boleh
dijual dan tidak boleh dihibahkan”. Hadis Nabi ini diterima oleh Abdullah bin
Dinar dari Ibnu Umar dan hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkan hadis
ini. Beliau adalah seorang tabiin yang hafidz Al Quran dan seorang yang
dhobith.
· Gharib Nisbi
Ghorib
Nisbi adalah”Hadis yang terjadi gharib di pertenggahan sanadnya” hadis ini pada
awalnya dari sahabat sangat banyak yang meriwayatkanya akan tetapi
ditenggah-tenggah sanad terdapat perawi yang sendiri dalam meriwayatakan suatu
hadis.[30]
Berikut
adalah contoh dari hadis ghorib nisbi yang berkenaan dengan tempat tinggal atau
kota tertentu :
أُمِرَ نَا أَنْ
نَقْرَ أَبِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ(رواه ابو داود)
“kami diperintahkan oleh Rasul SAW agar
membaca surat Al-Fatihah dan surat yang mudah dari Alquran”. ( H.R.
Abu Dawud ) “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad Abu Al-Walid
Al-Tayalisi, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah, Dan said. Semua rawi ini berasal dari
Basrah dan tidak ada yang meriwayatkanya dari kota lain”.
H.
Penutup
Setelah melakukan kajian diatas, hadis merupakan suatu perkataan,
perbuatan dan ketetapan dari Rasulullah SAW. Sedangkan maksud dari
pengklasifikasian hadis disni guna menjaring hadis yang jumlahnya sangat
banyak. Disinilah juga muncul
kategori-kategori pengklasifikasian hadis dan pengkategorian ini berimplikasi
pada kehujjahan suatu hadis tersebut.
Hadis dari segi kuantitas ditinjau dari banyaknya periwayat yang
meriwayatkan suatu hadis. Dan hadis dari segi kuantitas dibagi menjadi 2 macam
yaitu, hadis mutawattir dan hadis ahad. Hadis mutawattir disini dipecah lagi
menjadi 3 macam yaitu, hadis mutawattir lafzi, maknawi dan amali.
Sedangkan hadis ahad,dipecah lagi menjadi 3 macam yaitu : masyhur, ‘aziz
dan gharib.
DAFTAR PUSTAKA
Idri. Studi Hadis. Jakarta : Kencana, 2010.
Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits. Bogor : Penerbit Ghalia
Indonesia, 2010.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2006
Rosidin,
Mukarom Faisal dan Ngatiman. Menelaah Ilmu Hadis Untuk Kelas XI Madrasah Aliyah
Program Keagamaan. Surakarta : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2015.
Catatan:
1.
Similarity
20%.
2.
Mengapa
referensi hanya 5 saja?
3.
Penulisan
yang benar adalah mutawatir, bukan mutawattir.
4.
Jika
mengambil referensi jurnal, maka harus dicantumkan juga nama jurnal, volume dan
nomor berapa serta halamannya.
[1]Idri, Studi
Hadis (Jakarta : Kencana, 2010) hlm. 130
[2]Ibid.,
hlm. 131
[3]Ibid.
[4]Ibid.,
hlm. 132
[5]Sohari Sahrani,
Ulumul Hadits (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 85
[6] Ibid.,
hlm. 87
[7] Mukarrom
Faisal Rosidi dan Ngatiman, Menelaah Ilmu Hadis Untuk Kelas XI Madrasah
Aliyah Program Keagamaan (Surakarta : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
2015) hlm. 53
[8] Idri,
op cit., hlm. 137
[9] Muhammad
Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006)
hlm. 90
[10]Mukarrom
Faisal Rosidi dan Ngatiman,op cit., hlm. 56
[11] Sohari
Sahrani, op cit., hlm. 89
[12] Toton
Witono, Klasifikasi Kuantitas Hadits (Hadits Ahad dan Mutawattir), 2001.
[13] Idri, op
cit., hlm. 139
[14]Ibid.,
hlm. 140
[15]Ibid.,
hlm. 141
[16]Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Sohari
Sahrani, op cit., hlm. 93
[20] Ibid.,
hlm. 94
[21] Ibid.
[22] Ibid.,
hlm. 96
[23] Ibid.,
hlm. 97
[24] Ibid.
[25] Ibid.,
hlm. 98
[26] Ibid.
[27] Ibid.,
hlm. 99
[28] Ibid.
[29] Ibid.,
hlm. 100
[30] Ibid.,
hlm 101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar