Puspita Dewi Qurroti A’yun
(16110144)
Muchtar Affan Maulana (16110155)
PAI
D Angkatan 2016
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail
:qurrotiayun20@gmail.com
Abstract
This
article discusses Democracy in the Qur'an and Hadith. Before discussing
democracy in the perspective of Islam we must know the meaning of democracy and
how the history of democracy in general. In the sense of democracy there are
opinions according to some experts on the meaning of democracy as well as
discussing the history of democracy in a general perspective of the history of
the emergence of democracy from the West and the history of the development of
democracy in Indonesia. Then discuss how democracy in the Qur’an and Hadith,
also mentioned verses of the Qur’an and hadith about democracy and the history
of democracy in the perspective of Islam is the history of democracy since the
time of the Prophet.
Keywords: Democracy, Definition, History, Al-Quran and Hadith.
Abstrak
Artikel
ini membahas tentang Demokrasi dalam al-Quran dan Hadis. Sebelum membahas
demokrasi dalam perspektif Islam kita harus mengetahui pengertian demokrasi
serta bagaimana sejarah demokrasi secara umum. Dalam pengertian demokrasi
terdapat pendapat menurut beberapa ahli mengenai pengertian demokrasi serta
membahas sejarah demokrasi dalam prespektif umum yaitu sejarah kemunculan
demokrasi dari Barat dan sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia. Kemudian
membahas bagaimana demokrasi dalam al-Quran dan Hadis, disebutkan juga ayat-ayat
al-Quran dan hadis tentang demokrasiserta sejarah demokrasi dalam prespektif
Islam yaitu sejarah demokrasi sejak zaman Nabi.
Kata
Kunci : Demokrasi, Pengertian, Sejarah, al-Quran dan Hadis.
A.
Pendahuluan
Pada mulanya Islam belum mengenal Demokrasi, kata Demokrasi baru
dikenal dalam Islam pada abad 5 M. Munculnya Demokrasi sebenarnya adalah bentuk
tanggapan atau respon Islam terhadap kejadian buruk monarki dan kediktaktoran
di negara-negara tertentu, seperti contoh di Yunani Kuno, kemudian ide-ide
demokrasi mulai berkembang pada abad 16 M. Tentang kontrak sosial dan
kedaulatan rakyat yang diperkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)[1].
Dalam Islam demokrasi sering disebut dengan istilah syura yang
berarti Musyawarah.Para pemikir Muslim terbagi menjadi beberapa kelompok
dalam membahas demokrasi dan syura. Sebagian dari mereka mengatakan
bahwa demokrasi dan syura memiliki kesamaan begitu pula ada yang
mengatakan bahwa keduanya saling bertolak belakang. Untuk itu, perlu mengetahui
penjelasan dari ajaran-ajaran Islam tentang bagaimana perspektif Islam mengenai
syura serta bagaimana kaitan syura dengan demokrasi yang berasal
dari konsep Barat. Kemudian bagaimana praktiknya dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya dalam dunia politik. [2]
B. Pengertian Demokrasi
Pengertian Demokrasi secara umum sudah tidak asing lagi
didengar oleh khalayak umum. Memang benar secara tidak langsung sebagian
masyarakat telah mengaplikasikan demokrasi dalam kehidupan, baik itu masyarakat
menyadari, muapun tidak menyadarinya. Meskipun demikian substansi dan konsep
demokrasi belum seutuhnya mereka (masyarakat) fahami dan hayati tentang
demokrasi sehingga untuk menyentuh pada hakikat demokrasi beberapa masih belum
bisa mengimbangi, atau sikap yang dicerminkanya pada suatu dialog atau
perbincanganya belum Demokratis karena belum sampai menyentuh tahap hakikat
tadi, maka perlu halnya mengetahui dan mengerti tentang definisi.
Secara asal-muasal atau ditinjau dari sudut katanyadari bahasa
Yunani kata Demokrasi berasal dari dua penggalan suku kata, yakni“demos”dan“Kratos”[3],
kata demos berarti “rakyat, warganegara, atau masyarakat, sedangkan
kata kratos memiliki arti kekuasaan atau kewenangan. Jika digabung kata demos
dan kratosberarti“Rakyat yang Berkuasa”yaitu suatu negara dimana
keadulatan pemerintahanya terletak kepada rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang dasar, pernyataan tersebut sejalan dengan pasal 1 ayat 2
undang-undang dasar 1945.
Nurcholis Majid juga menjelaskan tentang Demokrasi, dalam pandangan
beliau menjelaskan bahwa kata demokrasi bermakna kata kerja bukan bermakna kata
benda[4],
karena menurutnya jika menjadi kata kerja berarti mengandung makna yang
dinamis, dan harus diupayakan. Sehingga dalam penafsiranya, demokrasi Ialah
proses dimana penduduk atau warganegaranya berupaya untuk menuju dan menjaga civil
society (Masyarakat umum) yang menghargai, menghormati, dan mewujudkan
nilai-nilai demokrasi.
Terdapat pendapat lain tentang pendefinisian Demokrasi, kata
demokrasi berasal dari dua buah suku kata“demos”dan“cratein”dua
suku kata tersebut sama-sama dari Yunani yang memiliki arti“demos”berarti“rakyat”dan
kata“cratein” memiliki arti“Pemerintahan”, jika digabung kata Demokrasi
memiliki arti “pemerintahan oleh rakyat”[5],
dalam penjelasanya pemerintahan oleh rakyat memiliki makna tersendiri, terdapat
3 (tiga) penjelasan yakni;[6]
a)
Pemerintahan
yang dipilih oleh rakyat
b)
Pemerintahan
oleh rakyat (bukan kaum bangsawan)
c)
Suatu
pemerintahan oleh rakyat kecil atau “wong cilik”
Namun demikian, hal yang terpenting didalam pemerintahan bukan
tentang siapa yang memilih saja, namun siapa pemimpin yang dipilih oleh
masyarakat atau rakyat juga menjadi hal yang terpenting, percuma ketika
mendapatkan pemimpin yang misikin moral kaya harta (bangsawan) yang ada hanya
merusak budaya atau tatanan suatu negara. Meskipun secara harfiah demokrasi
memiliki makna pemerintahan oleh rakyat, namun secara operasional demokrasi
memiliki makna atau arti yang beragam. Jika diteropong dari sudut pandang
pemerintahan Demokrasi memiliki pengertian suatu sistem pemerintahan dimana
warga negara memiliki hak-hak dan kewajiban serta kedudukan yang tepat yang
telah dibuat dan disepakati bersama. Beberapa ahli juga mendefinisikan tentang
demokrasi, terdapat 4 tokoh ahli yakni;[7]
1)
Pendapat
Joseph Schmeter
Demokrasi
adalah suatu rencana institusional, dimana individu memperoleh kekuasaan dengan
perolehan yang kompetitif atas suara rakyat dari suatu putusan politik.
2)
Pendapat
Sidney Hook
Demokrasi
adalah suatu pemerintahan dimana jika ada hal-hal penting dalam
memutuskanya
didasarkan kepada masyarakat dewasa baik itu secara langsung maupun tidak
langsung.
3)
Pendapat
Philippe C. Schmitter
Demokrasi
adalah suatu sistem pemerintahan dimana ia dimintai pertanggung jawaban oleh
masyarakat atau warganegara atas hal-hal yang telah mereka lakukan, bertindak
secara tidak langsung dengan wakil-wakil rakyat yang telah terpilih.
4)
Pendapat
Henry B. Mayo
Demokrasi
adalah sebuah sistem yang kebijakan umumnya ditentukan atas dasar kesepakatan
mayoritas wakil-wakil rakyat kemudian diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala dengan memperhatikan prinsip kesamaan politik,
dalam penyelenggaraanya dilakukan dengan jaminan kebebasan politik.
Banyak tokoh lain yang juga menyinggung tentang demokrasi tidak
hanya tokoh-tokoh luar negeri saja, tokoh-tokoh di Indonesia juga banyak yang
menyampaikan pendefinisanya tentang demokrasi seperti definisi lain Demokrasi
adalah keadaan negara dengan posisi keadaulatan berada ditangan rakyat,
kemudian kekuasaan tertinggi dalam memutusan juga bersama keputusan rakyat, pemerintahan
dari rakyat dan kekuasaanya oleh rakyat[8].
Dengan banyak penafsiran tentang demokrasi wajar jika seseorang
tidak asing lagi dengan Demokrasi, namun dalam penerapan dan pendefinisanya
secara hakikat masih beberapa masyarakat yang belum dimengerti. Oleh karena
halnya dapat ditarik kesimpulan, hakikat dari demokrasi adalah segala bentuk
aktivitas tentang negara rakyat atau warga negara memiliki kekuasaan penuh
untuk mengerti dalam artian setidaknya tau dengan cara memusyawarahkannya
bersama rakyat karena kekuasaan terletak pada tangan rakyat dalam pelaksanaanya
diatur oleh undang-undang dasar.
Sehingga Demokrasi dalam pengaplikasianya tidak meninggalkan
unsur-unsur pengawasan, kebebasan yang diatur, akuntabel, dan transparan yang
tentunya tidak meninggalkan rakyat atau warganegara atas putusan atau
kebijakanya, dengan kata lain secara sederhananya didalam demokrasi terdapat
unsur utamanya yakni Musyawarah.
C. Sejarah Demokrasi
1.
Sejarah
dan Perkembangan Demokrasi di Barat
Istilah demokrasi telah diperkenalkan dan dipraktikkan pertama kali
di Yunani Kunopada beberapa abad sebelum Masehi. Implementasi demokrasi
dilakukan secara langsung. Pada waktu itu istilah negara dalam skala kota
disebut polis. Di pusat polis terdapat agora (yang
tersedia dalam polis) menurut masyarakat Yunani yaitu tempat pertemuan umum
dimana rakyat berkumpul membahas dan membicarakan segala masalah negara. Rakyat
mempunyai kesempatan memberi usulan kepada pemerintah, sebagai rujukan untuk
perumusan kebijakan negara. Penduduk pada negara kota sekitar 300.000 an. Tidak
semua warga polis boleh membicarakan negara hanya terbatas pada orang dewasa,
tidak berlaku bagi wanita, pedagang pendatang dan budak-budak. Jadi rata-rata
tidak lebih dari 5000 orang dan sangat sedikit yang melebihi jumlah 20.000
orang yang masuk kategori warganegara.[9]
Terdapat ratusan negara kota (polis) dengan berbagai ukuran
dan bentuk pemerintahan, dan jenjang peradaban. Dari ratusan negara kota
tersebut, ada satu negara kota yang paling berpengaruh bagi perkembangan
pemikiran politik, khususnya tentang demokrasi yaitu negara kota Athena. Karena
pengaruhnya yang luar biasa terhadap filsafat politik, dan dijadikannya sebagai
contoh utama yang baik dari partisipasi warga negara.[10]
Athena merupakan negara kota (polis) sejak abad ke 7 sebelum
Masehi. Athena disebut negara aristokrasi karena diperintah oleh kaum
bangsawan. Sistem pemerintahannya menimbulkan banyak masalah seperti masalah
politik, ekonomi dan sosial. Pada awal ke 6 sebelum Masehi terjadi perubahan
sosial. Solon berjasa dalam hal memulihkan hubungan persahabatan di antara
kelompok-kelompok yang bertikai ke keadaan semula. Sehingga lahirlah sebuah sistem
pemerintahan yang demokratis. [11]
Solon adalah seorang pembentuk undang-undang, yang mulanya adalah
seorang penyair. Prinsip memulihkan hubungan persahabatan antar
kelompok-kelompok menurut Solon adalah memberikan jalan adil yang memuaskan pada
semua pihak. Diberikannya hak-hak dan kemudahan-kemudahan kepada golongan yang
mayoritas miskin tanpa terlalu menghilangkan hak-hak dan keistimewaan yang
dimiliki kaum minoritas yang kaya. Prinsip demokrasi berdasarkan hukum Solon
dicontohkan dengan rakyat diberikan hak untuk mengikuti dan memungut suara
dalam sebuah dewan yaitu Ecclesia. Dengan dasar faktor kekayaan karena
hasil keringat, hak-hak dan kedudukan politik diberikan bukan kepada faktor kelahiran.Wewenang
dewan yang disebut Ecclesia yaitu dapat memilih pejabat negara,
mengesahkan undang-undang, dan sebagainya. Prinsip demokrasi di Athena sudah
cukup maju, namun dalam praktek pemerintahannya tidak berubah menjadi
demokratis yang sebenarnya. Sebab, rakusnya kekuasaan dari para bangsawan yang
kuat.[12]
Kemudian Cleisthenes melakukan perubahan dan pembaruan dalam sistem
pemerintahan di Athena pada 508 sebelum Masehi. Cleisthenes pada 510 sebelum
Masehi memperoleh kekuasaan politik setelah pemerintahan penguasa tiran yang
lalim yaitu Hipias yang dilengserkan oleh sekelompok bangsawan atas bantuan
Sparta. Bentuk pemerintahan yang dibangun Cleisthenes disebut “demokratia”.[13]
Demokrasi di Athena yaitu rakyat bermufakat untuk memutuskan berbagai persoalan
yang dihadapi oleh negara kota tersebut. Hal ini berarti bahwa Yunani sangat
menghargai individu yang memiliki informasi, tanggung jawab, dan rasa
keingintahuan yang tinggi. [14]
Sistem pemerintahan demokrasi di Athena berkembang juga di kawasan
Helena (Yunani) dan mengalami pasang surut sekitar 200 tahun. Berbagai macam
peristiwa yang menyebabkan masa depan suram bagi kelangsungan demokrasi saat
Lembaga-lembaga demokrasi mencapai puncak perkembangannya. Kemudian Athena
melakukan ekspansi ke beberapa negeri yang mengakibatkan robohnya beberapa
negara kota. Akhirnya menjadi pendorong pecahnya Perang Peloponnesia selama 27
tahun. Perang ini meruntuhkan dan mengakhiri masa kejayaan sistem pemerintahan
demokrasi Athena. Kemudian negara-negara kota di Yunani menjadi sasaran
serangan bagi raja dan petualang Macedonia, Philip II (382-336 sM).[15]
Pengalaman sejarah dan percobaan demokrasi Yunani Kuno menjadi
salah satu faktor munculnya gagasan, ide, dan lembaga demokrasi pascakekalahan
negara kota Athena. Kemudian ide-ide tersebut berlangsung di Romawi Kuno.[16]Ketika
wilayah Yunani dipersatukan dengan Romawi sistem pelaksanaan demokrasi
mengalami perkembangan. Romawi sebagai negara besar, tentu tidak mempraktekkan
demokrasi langsung seperti yang dipraktekkan bangsa Yunani. Romawi memodifikasi
ide demokrasi langsung model Yunani dengan menjadikan ibu negara Romawi, Roma
sebagai negara kota (polis), dengan pengertian yang luas yakni sebagai
perwakilan negara Romawi. Daerah diluar Roma harus menyetujui apa yang
diputuskan di Roma. Sumbangan yang diberikan Romawi adalah memberi kesadaran
bahwa menjadi negara kuat, negara memerlukan sistem kenegaraan. Pelopor salah
satu bentuk sistem ketatanegaraan yang berbentuk negara republik adalah Romawi.
Sistem yang mengabdi pada kepentingan umum.[17]
Pada abad pertengahan yang dimulai sekitar 476 M merupakan
runtuhnya Kerajaan Romawi Barat.[18]Penyebab
utama runtuhnya kerajaan Romawi adalah karena para penguasanya mulai meninggalkan
prinsip-prinsip demokrasi dalam sistem pemerintahannya, dengan lebih menekankan
kepada cara memerintah yang bersifat oligarki dan tirani.[19]
Pada abad ini gagasan demokrasi Yunani Kuno berakhir. Masyarakat pada abad ini
dicirikan oleh struktur masyarakat kaum bangsawan, kehidupan spiritual dikuasai
oleh Paus dan pejabat agama, dan kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan
kekuasaan di antara bangsawan. Jadi kaum bangsawan dan kaum agamawan yang
menentukan kehidupan sosial politik dan agama pada masa itu. Maka pada abad
pertengahan (abad kegelapan) demokrasi tidak muncul.[20]
Dengan situasi dan kondisi politik tersebut melahirkan perkembangan
demokrasi Abad Pertengahan dengan ditandainya peristiwa munculnya Magna
Charta, yang menumbuhkan kembali keinginan menghidupkan demokrasi. Magna
Charta sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan
dan Raja John di Inggris. Dalam piagam ini ditegaskan bahwa Raja mengakui dan
menjamin beberapa hak dan hak khusus untuk bawahannya. Selain itu terdapat dua
prinsip yang sangat mendasar :pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja;
kedua, hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. [21]
Gerakan renaissance dan reformasi merupakan momentum yang
menandai kemunculan kembali demokrasi di Barat sebelum Abad Pertengahan
berakhir. Pertama, Renaissance merupakan gerakan yang menghidupkan
kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno. Gerakan ini lahir di Barat
karena adanya kontak dengan dunia Islam pada puncak kejayaan peradaban ilmu
pengetahuan, dan hal ini telah mengilhami munculnya kembali gerakan demokrasi.
Orang mematahkan semua ikatan yang ada dan menggantikannya dengan kebebasan
bertindak seluas-luasnya sesuai dengan apa yang dipikirkan pada masa renaissance.[22]Kedua,
Munculnya gerakan reformasi pada abad 16, yang merupakan revolusi terhadap
kekakuan agama Kristen Katolik, yang menyerukan kebebasan berpikir pada
manusia, dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan pada kontrak sosial dan hukum
alam, yang berlandaskan pada prinsip trias politica dari Montesquieu.[23]
Pada abad ke 19 munculnya gagasan konstitusionalisme di
Eropa. Hak-hak politik rakyat dan hak-hak asasi manusia secara individu
merupakan tema dasar dalam pemikiran politik (ketatanegaraan). Untuk itu,
timbullah gagasan tentang cara membatasi kekuasaan pemerintahan melalui
pembuatan konstitusi yang tertulis maupun tidak tertulis. Salah satu ciri
penting pada negara yang menganut gagasan ini adalah sifat pemerintah yang
pasif, artinya pemerintah hanya menjadi pelaksana sebagai keinginan rakyat yang
dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen. [24]
Konsep konstitusionalisme mulai digugat menjelang
pertengahan abad ke 20 setelah perang dunia. Mariam Budiajo mengemukakan faktor
kecaman gagasan ini adalah akses-akses dalam industrialisasi dan system
kapitalis, tersebarnya paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekuasaan
secara merata serta kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa. Gagasan konstitusionalisme
bergeser kedalam gagasan baru bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyat. Pemerintah tidak boleh pasif, harus aktif dalam
melaksanakan upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya dengan
cara mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. [25]
Gagasan baru ini disebut sebagai gagasan Welfare State atau
“Negara Hukum Material”. Tugas pemerintah Welfare State adalah membangun
kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (Bestuurzorg) dengan
konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara dalam
menjalankannya. Pemerintah ini diberikan kemerdekaan untuk bertindak atas
inisiatif sendiri, tidak hanya bertindak atas inisiatif parlemen. [26]
Berdasarkan pernyataan diatas, sejarah dan perkembangan demokrasi
di Barat diawali konsep demokrasi langsung yang dipraktekkan oleh bangsa Yunani
Kuno yang berakhir pada abad pertengahan, karena para penguasanya mulai
meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Menjelang
akhir abad pertengahan lahirlah Magna Charta kemudian muncullah pada
abad ke 16 gerakan renaissance dan reformasi yang menekankan pada adanya
ha katas hidup, hak kebebasan dan hak memiliki. Kemudian pada abad ke 19 muncul
gerakan demokrasi konstitusional yang melahirkan gagasan welfare state.[27]
2.
Sejarah
dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Awalnya Indonesia dijajah secara berturut-turut oleh Portugis,
Perancis, Inggris, Belanda, dan Jepang sehingga keadaan ini sangat mengancam
kehidupan masyarakat, nyaris tidak ada demokrasi. Kemudian Indonesia merdeka
pada tahun 1945, rakyat dibebaskan sehingga kehidupan mereka lebih bebas dan
demokratis.[28]
Perkembangan demokrasi di Indonesia terbagi dalam empat periode yaitu
:[29]
a.
Demokrasi
pada periode 1945-1959
Pada periode ini demokrasi dikenal dengan demokrasi parlementer. Sebulan
setelah kemerdekaan Indonesia sistem parlementer di proklamirkan dan diperkuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950. Namun hal ini kurang cocok untuk
Indonesia. Sistem parlementer dalam Undang-Undang Dasar 1950 yaitu yang
mempunyai tanggung jawab politik ialah badan eksekutif yang terdiri dari
Presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta menteri-menterinya. Namun
karena fragmentasi partai politik setelah kabinet masa itu jarang bertahan lama
sehingga kerjasama yang dibangun mudah pecah dan mengakibatkan tidak stabilnya
politik nasional. [30]
Beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran
dan tempat yang realistis dalam tatanan politik dan tidak ada kemampuan anggota
partai yang tergabung dalam konstituate untuk mencapai kesepakatan bersama
mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru. Hal ini menjadi faktor
yang mendorong Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang
memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga berakhirnya masa
demokrasi berdasarkan system parlmenter. [31]
b.
Demokrasi
pada periode 1959-1965
Dominasi dari Presiden merupakan ciri-ciri periode ini. Adanya
Dektrit Presiden 5 Juli dapat menjadi usaha untuk mencari jalan keluar dari
kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Akan tetapi
banyak tindakan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar.
Misalnya Presiden Ir. Soekarno pada tahun 1960 membubarkan DPR hasilpemilihan
umum, sedangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas ditentukan bahwa
Presiden tidak mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan itu. [32]
Terjadi penyelewengan juga di bidang perundang-undangan dimana berbagai
tindakan pemerintah dilakukan melalui Penetapan Presiden yang menggunakan
Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Didirikan pula badan-badan seperti Fron
Nasional yang dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai dengan
strategi Komunisme Internasional menggariskan pembentukan Fron Nasional sebagai
persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Peristiwa G.30 S/PKI telah
mengakhiri periode ini karena konflik politik dan ideologi kemudian hal ini
memberikan peluang dimulainya demokrasi Pancasila. [33]
c.
Demokrasi
pada periode 1965-1998
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 serta ketetapan-ketetapan MPRS
merupakan landasan formil pada periode ini. Ketetapan MPRS No. XIX/1966 telah
menentukan ditinjaunya kembali produk-produk legislatif dari masa Demokrasi
Terpimpin yang berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964 diganti dengan
Undang-Undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan azas “kebebasan badan-badan
pengadilan”.Pimpinan tidak lagi mempunyai status menteri dan Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong diberi beberapa hak kontrol, disamping ia tetap mempunyai
fungsi untuk membantu pemerintah.[34]
Demokrasi Pancasila memandang kedaulatan rakyat sebagai inti dari
sistem demokrasi. Karena rakyat mempunyai hak yang sama untuk menentukan
dirinya sendiri.Namun dalam rezim Orde Baru Demokrasi Pancasila hanya sebagai
retorika, belum pada penerapan. Karena tidak diberikannya ruang bagi kehidupan
berdemokrasi dalam praktik kenegaraan dan pemerintahan. [35]
d.
Demokrasi
pada periode 1998-Sekarang
Harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia yaitu dengan
runtuhnya rezim otoriter Orde Baru. Bergulirnya reformasi mengiringi keruntuhan
rezim yang menandakan tahap awal bagi peralihan demokrasi Indonesia. Transisi
demokrasi merupakan fase genting yang kritis. Dalam fase ini demokrasi akan
ditentukan kemana arah yang akan dibangun. Fase ini dapat terjadi inversi
perjalanan bangsa dan negara yang mengantarkan Indonesia memasuki masa otoriter
kembali seperti yang terjadi pada periode orde lama dan orde baru. [36]
Tanda-tanda terwujudnya ke arah kehidupan demokratis dalam era
transisi menuju demokrasi di Indonesia adalah menempatkan kembali dan
merumuskan batasan TNI dalam kaitannya dengan keberadaannya pada negara
demokrasi, diamandemennya pasal-pasal dalam aturan ketatanegaraan RI (amandemen
I-V), kebebasan pers, dijalankannya kebijakan otonomi daerah, dan sebagainya. [37]
D. Demokrasi dalam al-Quran dan Hadis
Al-Quran dan Hadis menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan
dengan kehidupan politik, seperti al-syura, keadilan, tanggung jawab,
kepastian hukum, hak-hak manusia, dan lain-lain, yang kesemuanya memiliki
kaitan dengan syura atau demokrasi. [38]
Praktik demokrasi (syura) merupakan tradisi Arab sebelum
Islam yang sudah turun-menurun. Pra-masa Islam orang-orang Arab mempunyai
sebuah lembaga, dewan, atau badan yang disebut majlis, mala, dan nadi.
Di dalam dewan ini, para leluhur Arab dari suatu suku atau kota memilih dan
menentukan kepala pemerintahan suku atau kota mereka dan melakukan musyawarah
untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Tradisi ini dipertahankan oleh Islam.
Karena syura atau nadi merupakan tuntutan abadi dari sifat asal
manusia sebagai makhluk sosial-politik. [39]
Islam mengubah lembaga syura sebelum Islam yang berlandaskan pada suku atau
darah, menjadi lembaga syura sebagai lembaga komunitas yang mementingkan
prinsip hubungan Iman. Menjadikan kekuasaan yang sepenuhnya mencerminkan adanya
kesepakatan seluruh anggota masyarakat. Setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi
nabi dan rasul, beliau gemar berkonsultasi kepada sahabatnya dalam menyelesaikan
persoalan yang ada. Ketika Nabi Muhammad berhijrah ke Yastsrib praktik
demokrasi semakin mendapatkan tempat di tengah-tengah masyarakat. Di kota
Yatsrib Nabi Muhammad membuat kesepakatan bersama yakni Piagam Madinah. [40]
Setelah Nabi Muhammad wafat praktik demokrasi tetap berlanjut
dengan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama melalui proses pemilihan
dengan cara musyawarah oleh para kelompok dan sahabat senior Arab. Selanjutnya,
pada masa Abu Bakar melakukan musyawarah dengan sahabat senior tentang
menghadapi kaum riddah, pemberangkatan pasukan Usamah, pengumpulan ayat-ayat
AlQuran dan penunjukkan pengganti khalifah setelah beliau. Dalam pengangkatan
Umar ibn Khattab sebagai khalifah selanjutnya memang berbeda dengan
pengangkatan Abu Bakar. Melalui wasiatnya Abu Bakar menunjuk Umar ibn Khattab
sebagai khalifah. Abu Bakar sebelum menunjuk Umar ibn Khattab melakukan
musyawarah tertutup dengan sahabat seniornya. Jadi Abu Bakar menunjuk Umar ibn
Khattab tidak atas kemauannya sendiri, tetap dilakukannya musyawarah. Pada masa
pemerintahannya Umar membentuk majelis syura. Sebuah Lembaga yang
menggelar sidang umum, sidang khusus, dan sidang terbatas serta membicarakan
berbagai permasalahan.[41]
Kemudian pada pengangkatan khalifah ketiga dipilih dengan cara
dibentuknya majelis syura yang beranggotakan enam orang yang telah dibentuk
oleh Umar. Tetap dengan cara musyawarah pada kandidat tersebut yang pada
akhirnya Usman bin Affan terpilih menjadi khalifah. Usman tidak banyak
melakukan musyawarah secara terbuka, sehingga tingkatannya semakin menurun.
Beliau hanya bermusyawarah dengan orang-orang terdekat dan orang kepercayaannya
saja. Kemudian jabatan Usman beralih kepada Ali bin Abi Thalib. Pemilihan Ali
hanya ditentukan oleh sahabat senior dan peserta Perang Badar. [42]
Kepemimpinan yang berlangsung sejak masa Nabi Muhammad hingga
keempat khalifah dapat dikategorikan pemerintahan dengan sistem politik
demokrasi. Pertama, cara bermusyawarah dilaksanakan dengan kinerja yang
jelas, dan diikuti oleh para tokoh senior yang tergabung dalam “dewan pemilih”.
Kedua, pelaksanaan baiat oleh masyarakat. Ketiga, adanya
kebebasan berpendapat pada rakyat. Keempat, penegakan keadilan. Kelima,
para pemimpin Islam hidup sederhana. Dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad dan
Khulafa’ur Rasyidin, telah membangun struktur dan landasan organisasi sosial
politik bagi kerajaan dunia. [43]
Kemudian, dalam catatan Abdul Malik al-Sayed, sejarah Islam di zaman
dinasti Abbasiyah terdapat suatu lembaga musyawarah disebut Dewan Syura.
Anggota-anggota Dewan Syura merupakan pilihan rakyat dan dewan ini pula yang
memilih kepala pemerintahan propinsi. [44]
Syura mengalami
rekonstruksi yang diklaim sebagai sesuatu yang sama dengan demokrasi. Syura
diterjemahkan sebagai lembaga musyawarah dewan rakyat yang berhak membuat
keputusan politik berdasarkan musyawarah dengan suara terbanyak sebagai
ukurannya dan atas nama rakyat yang mewakilkan. Hal ini diklaim sebagai
demokrasi dalam Islam. Beberapa peniliti yaitu Yusuf Qaradhawi dan Ismail
al-Anshari menganggap syura sebagai demokrasi Islam sedangkan Taufiq
al-Shawi dan Taqi al-Din al-Nabhani menolak jika syura dikatakan identik
dengan demokrasi Barat. [45]
Manusia mengenal tiga cara dalam menetapkan keputusan yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat, yaitu:[46]
1.
Keputusan
yang ditetapkan oleh penguasa.
2.
Keputusan
yang diterapkan berdasarkan pandangan minoritas.
3.
Keputusan
yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas, dan cara ini biasanya menjadi
ciri umum demokrasi.
Walaupun syura dalam Islam membenarkan keputusan pendapat
mayoritas, tetapi menurut sementara pakar ia tidaklah mutlak. Karena Syura dilaksanakan
oleh orang-orang tertentu yang mempunyai sifat-sifat terpuji serta tidak
memiliki kepentingan pribadi atau golongan, serta pelaksanaannya sewajar saja
agar disepakati bersama. Jika ada di antara mereka yang tidak menerima
keputusan, hal ini bisa menjadi indikasi adanya sisi yang kurang berkenan di
hati dan pikiran orang-orang pilihan walaupun mereka minoritas, sehingga perlu
dibicarakan lebih lanjut untuk mencapai mufakat. Ini merupakan satu perbedaan
antara syura di dalam Islam dengan demokrasi secara umum. [47]
Kemudian dari segi pengangkatan pimpinan, terdapat perbedaan yakni
demokrasi menetapkan bahwa pimpinan diangkat melalui kontrak sosial, namun syura
mengaitkannya dengan “Perjanjian Ilahi”. Seperti diisyaratkan dalam QS. Al
Baqarah ayat 124 :
وَإِذِ
ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ
لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي
الظَّالِمِينَ
Artinya
:Dan (ingatlah), ketika Ibrahim
diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam
(pemimpin) bagi manusia.” Ibrahim berkata, “Saya bermohon agar pengangkatan ini
dianugerahkan juga kepada sebagian keturnanku.” Dia (Allah) berfirman,
“Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim.
Dari sini lahir perbedaan yakni dalam demokrasi sekuler persoalan
apapun dapat dibahas dan diputuskan. Sedangkan dalam syura tidak
dibenarkan untuk memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya
dari Tuhan secara tegas dan pasti serta menetapkan hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran Ilahi.[48]
Menurut al-Ashfani menjelaskan bahwasanya Demokrasi ada kaitanya
dengan Musyawarah meskipun tidak sama persis namun terdapat banyak hal yang
sama dari nilai yang terkandung dalam Demokrasi.Musyawarah diambil olehnya dari
kata al-Tasyawur, al-Musyawarah dan al-Masyurah memiliki arti
mengutarakan opini dengan tidak meninggalkan pertimbangan dari
oranglain, sejalan juga dengan pendapat dari Habib M. Quraish Shihab menyatakan
Musyawarah pada awalnya memiliki makna mengeluarkan madu dari sarang lebah.[49]
Selain itu juga dikuatkan dengan pendapat lain dari versi umum bahwasanya demokrasi
harus bangkit dari keinginan individu untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan kaitannya ketika hal tersebut menyangkut kehidupan masyarakat (Harold
Hongjukoh, 2000)[50]
Hal yang dimaksud sama antara Demokrasi dan Musyawarah dalam Islam
yakni terletak pada konsepnya yang sama-sama rakyat memiliki hak ikut serta
menentukan ketika negara mengambil kebijakan[51],
dari sinilah alasan mengapa demokrasi dan musyawarah memiliki kemiripan atau
saling berkesinambungan. Demokrasi mengandung unsur Musyawarah, lantas
bagaimana Al-Qur’an dan Hadits dalam
menyikapi Musyawarah.
Al-Qur’an juga menyikapi tentang Musyawarah, hal ini dibuktikan
dalam kandungan ayat Al-Qur’an pada Surat Ali ‘Imran ayat ke-159, kemudian
dalam Surat al-Syura ayat 38.[52]
(AL-Qur’an
Surat Ali ‘Imran: 159)
فَبِمَا رَحۡمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنۡتَ لَهُمۡۚ وَلَوۡ
كُنۡتَ فَظًّا غَلِيۡظَ الۡقَلۡبِ لَانْفَضُّوۡا مِنۡ حَوۡلِكَ فَاعۡفُ عَنۡهُمۡ وَاسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى
الۡاَمۡرِۚ فَاِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى اللّٰهِؕ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ
الۡمُتَوَكِّلِيۡنَ.
Artinya:
“Maka disebabkan karena rahmat dari Allah-lah kamu mempunyai perilaku yang
lemah lembut kepada mereka. Sekiranya jika kamu memiliki sikap yang keras juga
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Oleh sebab
itu maafkan mereka, mohonkan ampun mereka kepada Allah, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian jika kamu telah membulatkan tekad,
maka bertakwalah kepada-Nya, sesungguhnya dia (Allah) menyukai kepada
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Al-Qur’an Surat Ali’Imran: 159)
Dalam ayat tersebut menjelaskan tiga hal penting yakni tentang
sifat dan sikap. Dalam Surat Ali’Imran ayat 159 semua sifat dan sikap secara
berurutan diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk dilaksanakan sebelum
melakukan musyawarah, tiga sifat tersebut yaitu berlaku lemah lembut, tidak
kasar, dan tidak memiliki sifat dan sikap hati yang keras, meskipun dalam
sejarah turunya ayat tersebut turun saat perang uhud, namun ayat ini memiliki
makna yang berlaku global. Dalam penafsiran Imam al-Qurtubi ia menjelaskan
bahwa dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk
memaafkan kesalahan para sahabatnya, kemudian setelah dimaafkan maka nabi saw
memohonkan ampunan kepada Allah SWT, baru setelah itu mereka (para sahabat)
layak untuk diajak bermusyawarah.
Dapat ditarik sebuah pernyataan singkat dari ayat tersebut
sebenarnya Allah memberikan pengajaran kepada umat muslim melalui Nabi Muhammad
saw agar kita memiliki tekad yang bulat untuk memperoleh hasil yang dicapai
dalam bermusyawarah dengan bertawakkal sepenuhnya kepada Allah SWT.
Dalam kata “wasyawirhum fil Amr” diperbolehkanya seseorang
dalam berijtihad pada saat ketika memutuskan suatu ketetapan hukum baru atau perkara.
Ijtihad berarti memusyawarahkan suatu permasalahan dengan seorang yang ahli
dalam bidangnya untuk menetapkan suatu hal baru atau meperjelas dan
lain-lainya, dengan dasar Al-Qur’an dan as-Sunnah (Hadis). Pendapat lain
mengatakan tentang betapa pentingnya musyawarah Al-Mawardy misalnya, beliau
menjelaskan dengan 4 poin didalam kandungan ayat tersebut :[53]
1)
Sesungguhnya
Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk memusyawarahkan dalam memutuskan
perkara tentang perang, agar supaya mendapat keputusan yang tepat.
2)
Sesungguhnya
Allah SWT memerintahkan Rasulullah Muhammad saw untuk bermusyawarah bersama
dengan sahabatnya, hal ini bertujuan untuk menyenangkan hati para sahabatnya.
3)
Sesungguhnya
Allah SWT memerintahkan Rasulullah Muhammad saw untuk bermusyawarah dengan
sahabat-sahabatnya bertujuan untuk supaya memberikan contoh musyawarah yang
baik kepada umat-umatnya setelah sepeninggalan Rasulullah.
4)
Sesunggahnya
Allah SWT memerintahkan baginda Rasul saw untuk bermusyawarah kepada para
sahabat, dengan tujuan agar nampak jelas permasalahan yang dihadapi umat
muslim.
Kemudian penjelasan terhadap Al-Qur’an Surat Al-Syura ayat 38, pada
surat ini juga menjelaskan tentang Musyawarah,
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya: “Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan dari Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang permasalahan (urusan) mereka
(diputuskan) dengan Musyawarah antara mereka: dan mereka menafkahkan sebagian
riski yang ia peroleh dari yang kami berikan kepada mereka (Al-Qur’an Surat
al-Syura: 38).
Pada Surat al-Syura terdapat penekanan atau lebih
terlihat kandungan ayatnya terhadap Musyawarah, hal ini menunjukkan bahwasanya
dalam Islam Musyawarah memiliki nilai yang mulia dan istimewa. Dari riwayat
turunnya ayat tersebut memiliki dua makna ketika dianalisa, pertama umat Islam
telah mengenal musyawarah sebelum mereka hijrah ke kota Madinah, kedua
menunjukkan bahwa sebelum islam datang mereka telah mengenali tradisi
Musyawarah, hal ini dibuktikan dengan adanya Dar al-Nadwah.Dar al-Nadwah
adalah suatu tempat bertemunya kaum-kaum Quraish untuk membahas suatu
permasalahan yang sedang dialami, selain itu di Madinah juga terdapat tempat
yang serupa yakni berkumpulnya orang-orang suku Arab Madinah yang disebut
dengan Saqifah Bani Saidah.[54]
Sebenarnya dalam Al-Qur’an kaitanya dengan Musyawarah tidak
hanya dibahas dalam dua Surat tersebut, ternyata terdapat lagi pada Surat
Al-Baqarah ayat 30-32;[55]
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا
وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ
عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(31)
قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا
عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ(32)
Artinya:
"Ingatlah
Ketika Tuhanmu telah berfirman kepada Malaikat-Malaikat; Sesungguhnya Aku
(Allah) hendak menjadikan seorang khalifah di bumi, lalu mereka berkata seraya
bertanya mengapa hendak engkau menjadikan orang (Khalifah) di bumi, padah
mereka akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah? Padahal kami
senantiasa mensucikan Engkau dan bertasbih memuji Engkau? Kemudian Tuhan
berfirman: Sesungguhnya Aku (Allah) lebih mengetahui dari apa yang tidak kamu
ketahui. (ayat 30)
Dan Dia
mengajarkan kepada manusia (Nabi Adam) tentang nama-nama (benda) seluruhnya,
kemudian menyampaikanya kepada para Malaikat, lalu Allah berfirman: Sebutkan
kepada-Ku nama-nama (benda) jika kamu memang benar-benar menjadi orang yang
benar!. (ayat 31)
Lalu para
Malaikat berkata; Maha suci Engkau ya Allah, Sungguh tidak ada yang kami (para
Malaikat) ketahui selain dari apa yang Engkau telah mengajarkanya kepada kami,
sesungguhnya hanya Engkaulah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. (ayat 32)[56].
Dalam ayat tersebut juga menjelaskan tentang musyawarah, yakni
musyawarah tentang penciptaan awal manusia, disisi lain Allah memberikan
pengajaran kepada kita akan pentingnya musyawarah sebelum memutuskan perkara,
dari sini tentu musyawarah adalah sesuatu hal yang memiliki keutamaan dan
membawa manfaat (kemaslahatan).
Dalam hadis juga terdapat kaitanya tentang Musyawarah, seperti
hadis yang telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra yakni seseorang yang
memberikan pendapat atau solusi kepada orang lain hal itu dapat dipercaya,
berikut lafadz Hadisnya;[57]
حَدَّ ثَناَ ابنُ المُثَنَّى, حَدً ثَناَ يَحيَى بنُ أبِي بُكَيرٍ,
حَدً ثَناَ شَيبَانُ, عن عبدِ المَلِكِ بنِ عُمَيرَ, عن أبي سلمةَ, عن أبي هريرةَ,
قال: قال رسوللهِ صلّى اللهُ عليه وسلَّمَ: <المُستَشاَرُ مُؤْ تَمَنٌ>.
Artinya:
“(Musyawarah/ orang yang dimintai pendapat atau solusi dalam musyawarah itu
dapat dipercaya)”.
Menyikapi Hadis diatas, kami sependapat dengan pendapat imam
al-Qurtubi bahwa saat ketika meminta pendapat kepada seseorang baik itu lebih
tua ataupun tidak hendaknya sebagai peminta pendapat atau solusi harus
memperhatikan penyolusi. Hal yang diperhatikan adalah ilmu yang dikuasainya
harus benar-benar mapan dan mumpuni untuk memberi solusi sesuai dengan
permasalahan yang dibahas. Seperti contoh ada seorang meminta pendapat kaitanya
dengan Ilmu Agama, maka sebagai peminta solusi harus melihat terlebih dahulu
bagaimana keilmuan yang dimiliki seseorang yang memberi solusi dalam bidang
Agama, hal ini berlaku dengan Ilmu-Ilmu yang lainya.
Sejalan dengan ulama’ dalam menetapkan hukum baru, sebelum para
ulama’ menetapkan sebuah hukum (fatwa) maka ulama’-ulama’ tersebut melakukan
ijtihad, seseorang yang melakukan ijtihad adalah Mujtahid, Dan perbuatan
ijtihad adalah salah satu bentuk dari nilai musyawarah, dengan syarat sebagai
seorang mujtahid yang telah ditetapkan, haruslah seorang mujtahid
mumpuni dan lolos dari syarat-syarat sebagai seorang mujtahid salah
satunya adalah menguasai pada bidang yang dikaji, bidang fiqh (Hukum) misalnya.
Juga terdapat hadis lain yang menguatkan yakni hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, kandunganya adalah bila mana ada seseorang
pemimpin yang terpilih diantara kalian, orang-orang kaya juga sekalian
orang-orang dermawan, jika dalam mengambil keputusan dengan musyawarah, maka
segala yang nampak di bumi dari pada apa yang nampak didalam bumi. Seperti ini
haditsnya;[58]
حَدً ثَناَ أحمَدُ بنُ سَعِيْدٍ الأَشقَرُ قال: حَدً ثَناَ يُونُسُ
بنُ محمَّدٍ, وَهاَشِمُ بنُ القَاسِمِ, قالا: حَدً ثَناَ صَالِحٌ المُرِّيُّ, عن
سَعِيدٍ الجُرَيْرِيِّ, عن أبي عُثمَانَ النَّهديِّ, عن أبي هُرَيْرَةَ, قال: قال
رَسُول لله صلّـى اللهُ عليه وسلَّم: < إذَا كان أُمَرَاؤُكُمْ جِياَ رَكُمْ,
وَأَغنِياَؤُكُمْ سُمَحَاءَكُمْ, وَأٌمُورُكُمْ شُورَى بَيْنَكُمْ فَظَهْرُ
الأَرضِ خَيٌرٌ لَكُمْ مِن بَطْنلِهَا, < "397
Artinya:
Bilamana pemimpin dari kalian adalah orang-orang pilihan diantara kalian,
orang-orang kaya kalian semuanya dermawan, dan keputusan diambil dengan cara
musyawarah, maka sesuatu yang nampak diatas muka bumi ini lebih baik bagi
kalian dari pada apa yang tidak nampak didalam bumi. (397)
E. Penutup
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa demokrasi secara
umum adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Istilah
“demokrasi” ini pertama kali muncul dan dipraktekkan di Yunani Kuno pada
beberapa abad sebelum masehi yang terus mengalami perkembangan. Kemudian demokrasi
di Indonesia muncul setelah merdeka dan dibagi menjadi empat periode.
Dalam al-Quran dan hadis demokrasi dikenal sebagai syura. Dalam
membahas dan mengkaji demokrasi dalam al-Quran dan Hadis tidak bisa dilepaskan
dari konsep musyawarah dalam al-Quran dan Hadis. Praktik demokrasi (syura)
juga sudah dipraktikkan sejak Nabi Muhammad kemudian dilanjutkan dengan pengangkatan 4 khalifah.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. Konsep Negara Demokrasi.Bandung: PT Refika
Aditama, 2010.
Azra, Azyumardi. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat
Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
Ranadireksa, Hendarmin. Arsitektur Konstitusi Demokratik. Bandung:
Fokus Media, 2007.
Thaha, Idris.Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish
Madjid dan M. Amien Rais. Jakarta: TERAJU, 2005.
Urbaningrum, Anas. Melamar Demokrasi Dinamika Politik Indonesia.
Jakarta: Republika, 2004.
Al Hakim, Suparlan dkk. Pendidikan Kewarganegaraan dalam
KonteksIndonesia. Malang: Madani, 2016.
Sumbulah, Umi dkk.Studi Al-Qur’an dan Hadis.Malang:
UIN-Maliki Press, 2014.
Rosyada, Dede dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media, 2003.
Kementrian Agama. Mushaf Al-Awwal Al-Qur’an Terjemah 20 Baris.
Bandung: Mikraj Khazanah Ilmu, 2011.
Azhary,
Muhammad Tahir. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinahdan Masa
Kini. Jakarta: Kencana, 2010.
Shihab,
Quraish,Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat.Bandung:
Mizan, 2007.
Sutana,
Ija. Model Kekuasaan Legislatif dalam Sistem KetatanegaraanIslam. Bandung:
PT Refika Aditama, 2007.
Catatan:
Makalah ini sudah oke. Hanya saja perlu
diperbaiki penulisan footnotenya. Judul buku jangan dibuat kapital semua.
[1]Umi
Sumbulah dkk., Studi Al-Qur’an dan Hadis (Malang: UIN-Maliki Press,
2014), cet. 1, hlm. 349.
[2]Idris
Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M.Amien
Rais,(Jakarta: TERAJU,2005) hlm 33-34.
[3]
Suparlan Al Hakim dkk., Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia
(Malang: Madani, 2016), hlm. 190
[5]
Munir Fuady., Konsep Negara Demokrasi (Bandung: PT Refika Aditama,
2010), cet. 1, hlm. 1
[8]
Dede Rosyada dkk., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi,
HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm110.
[9]Hendarmin
Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, (Bandung: Fokus Media,
2007) hlm77.
[10]
Idris Thaha, DEMOKRASI RELIGIUS Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M.
Amien Rais,(Jakarta: TERAJU,2005) hlm 19.
[11]Munir
Fuady, Konsep Negara Demokrasi,(Bandung: PT Refika Aditama, 2010) hlm
66.
[13]
Idris Thaha, DEMOKRASI RELIGIUS Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M.
Amien Rais,(Jakarta: TERAJU,2005) hlm 19.
[14]Munir
Fuady, Konsep Negara Demokrasi,(Bandung: PT Refika Aditama, 2010) hlm 68.
[15]
Idris Thaha, DEMOKRASI RELIGIUS Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M.
Amien Rais,(Jakarta: TERAJU,2005) hlm 21.
[17]Hendarmin
Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, (Bandung: Fokus Media,
2007) hlm 78.
[19]
Munir fuady, Konsep Negara Demokrasi,(Bandung: PT Refika Aditama, 2010)
hlm 72.
[20]
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, (Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003) hlm 126.
[21]Ibid.,
[23]
Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi,(Bandung: PT Refika Aditama, 2010) hlm
75.
[24]
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani,
(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003) hlm 128.
[28]
Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi,(Bandung: PT Refika Aditama, 2010)
hlm 73.
[29]Azyumardi
Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2003) hlm 130.
[31]Ibid.,
[32]Ibid.,
[38]Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan,
2007) hlm 634.
[39] Idris Thaha, DEMOKRASI
RELIGIUS Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais,(Jakarta:
TERAJU,2004) hlm 51.
[44] Muhammad Tahir
Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. (Jakarta:
Kencana, 2010) hlm 116.
[45]Ija
Sutana, Model Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan Islam,(Bandung:
PT Refika Aditama, 2007) hlm 24-26.
[46]Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan,
2007) hlm 635.
[49]Umi
Sumbulah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. (Malang: UIN-Maliki Press, 2014)
hlm 350.
[50]
Suparlan Al-Hakim, op.cit, hlm. 195
[56]
Kementrian Agama., Mushaf Al-Awwal Al-Qur’an Terjemah 20 Baris (Bandung:
Mikraj Khazanah Ilmu, 2011), cet. 1, hlm4.
[57] Umi
Sumbulah, op.cit, hlm 361.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar